The Administration Public Theory Premire
The Administration Public Theory Premire
Faham Negara Integralistik adalah suatu faham yang memandang kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat harus dilihat secara keseluruhan (integral), tidak terpisah sendirisendiri, dengan kata lain setiap kepentingan apapaun selalu harus dikaitkan dengan
kepentingan Negara secara keseluruhan.
3
10
daerah itu adalah suatu alat (means) untuk mencapai tujuan (end) dalam wujud
pelayanan publik guna mensejahterakan masyarakat.
Oleh karena itu argumen pertama untuk menentukan pelayanan publik
yang diperlukan oleh masyarakat adalah Pemerintah Daerah perlu mengidentifikasi
apa-apa saja input (masukan) sesuai kebutuhan masyarakat untuk diolah menjadi
output (produk) yang perlu dihasilkan oleh Pemerintah Daerah sehingga menjadi
outcome yang dapat memenuhi pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah
Daerah, dan bagimana dampaknya yang ditimbulkan oleh pelayanan publik tersebut. 13
Pada dasarnya output Pemda adalah untuk menghasilkan good and regulations untuk
kepentingan publik.Kelompok dari Goods adalah barang-barang atau fasilitas publik
yang dihasilkan Pedmda seperti pasar, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dsb.
Sedangkan dalam kelompok Regulations yang dihasilkan umumnya yang bersifat
Regulatory atau Pengaturan, seperti pengaturan untuk KPT, KK, Akte Kelahiran,
IMB, Izin usaha , pengaturan tata tertib dan ketentraman, dlsb. Apabila dikaitkan
dengan posisi Pemerintah Daerah sebagai lembaga yang memperoleh legitimasi dari
rakyat untuk menyelenggarakan good and regulations tersebut, pertanyaanya
adalah: Sejauh mana Pemerintah Daerah mampu mempertanggungjawabkan
kuantitas dan kualitas output yang dihasilkannya, sehingga benar-benar dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat? Untuk itulah rakyat membayar pajak dan
mempercayakan penggunaan pajak tersebut kepada wakil-wakil rakyat yang dipilih
melalui mekanisme Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah. Dari dasar
pemikiran ini lahir konsep yang sangat dikenal sebagai No Tax Without
Representation 14
Dalam pada itu, dalam penyelenggaraan otonomi daerah menurut semangat UU
No. 32 Tahun 2004 yang menganut prinsip otonomi nyata dan bertanggungjawab
mengisyaratkan bahwa Pemerintahan Daerah dalam menentukan isi otonomi sesuai
dengan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, bagaimanapun juga harus
dikaitkan dengan kebutuhan riil masyarakat di daerah, dengan perkataan lain
seberapapun luasnya otonomi daerah yang diberikan, haruslah mampu
memanifestasikan pelayanan publik yang berkorelasi atau yang relevant dengan
kebutuhan masyarakat. Misalnya, adalah tidak logis atau tidak riil-rasional, kalau
Pemerintahan Daerah yang murni perkotaan, ditekankan kepada kegiatan urusanurusan yang berkaitan dengan urusan kehutanan, pertanian, pertambangan,
perindustrian atau peternakan. Walaupun urusan-urusan tersebut ada di perkotaan,
tapi relatif kecil sekali dibandingkan kebutuhan-kebutuhan yang merupakan corecompetence di perkotaan.
Derasnya arus urbanisasi ke Jakarta seiring dengan kembalinya arus mudik
Lebaran, merupakan bentuk kegagalan konsistensi Indonesia sebagai negara agraris.
Grand design implementasi otonomi daerah dalam koridor UU nomor 32 tahun 2004,
Depdagri, Jakarta 2005, hlm.50
14
Ibid, hlm. 50
13
Salah satu akan persoalan yang mendasari adalah sempitnya akses petani kecil dan
buruh tani terhadap tanah serta infrastruktur pertanian 15
Kondisi ini semakin parah karena kebijakan pembangunan yang menitik beratkan
kepada pertumbuhan (growth) masih tetap menenmpatkan kota-kota besar seperti
Jakarta sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan, di sisi lain berbagai persoalan di
pedesaan seperti minimnya infrastruktur dan kesulitan lahan terus terjadi, sehingga
tidak mengherankan jika warga desa terus mengalir ke kota untuk mencari nasib.
Beberapa warga desa yang ikut bersama pemudik balik ke Jakarta mengaku, bahwa
mengadu nasib ke Jakarta, karena kondisi lahan di desa mereka sangat
memprihatinkan, kekeringan menyebabkan banyak lahan terlantar, tiadanya jaringan
irigasi, jalan, dan listrik di pedesaan menyebabkan parahnya kehidupan ekonomi di
pedesaan.16 Kalau begitu, buat apa kebijakan desentralisasi dengan memberikan
otonomi yang luas dan bertanggung jawab kepada Daerah kalau bukan untuk
mensejahterakan rakyat di pedesaan? Pertanyaan inilah yang harus terjawab, baik
oleh penentu kebijakan di daerah maupun di pusat, terutama dalam mencari akar
permasalahannya.
Oleh karena itu, setidaknya ada dua pendekatan yang bisa dipakai dalam
menentukan isi otonomi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sbb:
Pertama, pendekatan isi otonomi yang berorientasi kepada penyediaan
pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan pokok (Basic needs) masyarakat, seperti
: pelayanan kesehatan, pendidikan, lingkungan air minum, transportasi perkotaan,
fasilitas untuk pejalan kaki (trotoir), fasilitas pencegah dan pemadam kebakaran,
relokasi pedagang kaki lima, resetlement daerah2 kumuh dlsb.
Kedua, pendekatan atas dasar sektor unggulan (core-competence) daerah,
yaitu kebutuhan daerah untuk melakukan kewenangan yang berdasarkan pertimbangan
urusan-urusan unggulan yang akan dilakukan daerah tersebut untuk memajukan
daerahnya masing-masing. Penentuan core-competence ini didasarkan kepada
perhitungan terhadap apa yang menjadi unggulan suatu daerah yang pengembangannya
akan berdampak sangat besar terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah ybs,
misalnya core-competence di bidang pertanian, peternakan, industri, pariwisata dlsb.
Untuk menentukan core-competence suatu daerah, bisa diukur dari 3
indikator sbb:
a. Komposisi penduduk menurut mata pencahariannya. Dari data statistik mata
pencaharian penduduk, akan terlihat sektor mana yang
paling menyerap tenaga
kerja penduduk daerah ybs. Dengan demikian, Pemerintah Daerah sudah seharusnya
memberikan perhatian untuk pengembangan sektor-sektor yang menyerap tenaga
kerja penduduk terbanyak;
b. Pemanfaatan lahan. Dari pemanfaatan lahan akan terlihat sektor mana yang
dikembangkan di daerah yang bersangkutan;
15
16
Dipetik dari harian Kompas, 29 Oktober 2006, Kegagalan Negara Agraris, hlm.3.
Ibid. hlm 3.
c. Komposisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dari komposisi PDRB dapat
dilihat sektor mana yang memberikan kontribusi paling besar terhadap perekonomian
daerah. Dari setiap sektor yang ada dalam komposisi PDRB, dilihat sektor mana yang
mempunyai forward linkage dan backward linkage terbesar, terutama dampaknya
terhadap kegiatan penduduk.
Pertimbangan dari ketiga faktor tersebut akan memberikan gambaran
kepada Pemerintah Daerah, sektor-sektor mana yang menjadi andalan daerah yang
bersangkutan untuk dikembangkan, sehingga pemahaman sektor unggulan tsb akan
menjadi acuan bagi Daerah dalam menentukan isi otonomi atas dasar corecompetence daerah ybs., sudah barang tentu termasuk fasilitas pelayanan umum
yang harus disediakan oleh pemerintah, dalam bentuk infrastruktur, fasilitas umum
dlsb.
Keleluasaan (diskresi) yang cukup luas yang diberikan kepada Daerah oleh
UU No.32 Tahun 2004 untuk menentukan isi otonominya, dengan mengacu kepada
pendekatan core-competence, maka isi otonomi daerah dari satu daerah akan
berbeda dengan daerah lainnya, tergantung dari sektor mana yang akan
dikembangkan sebagai core competence diluar kewenangan yang menjadi kewajiban
untuk penyediaan basic services.
Dari kondisi tersebut, maka Pemerintahan Daerah haruslah berhati-hati
dalam menentukan urusan-urusan mana saja yang akan dijadikan ruang lingkup
otonominya. Akan tetapi, bukan juga berarti bahwa Pemerintahan Daerah dapat
mengenyampingkan urusan-urusan yang merupakan pelayanan terhadap kebutuhan
pokok (basic services) masyarakat seperti: pendidikan, kesehatan, lingkungan,
transportasi dlsb, dan juga urusan yang berkaitan dengan pengembangan corecompetence daerah ybs. Disamping itu, harus juga menjadi perhatian Pemerintahan
Daerah untuk menentukan pilihan (option) yang paling optimal dalam melaksanakan
urusan otonominya, terutama yang menyangkut dengan pelayanan publik, apakah suatu
urusan tersebut akan sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintahan Daerah sendiri public),
atau diserahkan sepenuhnya kepada swasta (private), atau dilakukan kemitraan
antara Pem.Daerah dengan Swasta (public private partnership) .17
Dalam pada itu, perlu menjadi perfhatian bahwa urusan pemerintahan
Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan (option) dalam UU No. 32 Tahun 2004
ditegaskan bahwa urusan itu adalah urusan yang secara nyata ada dan berpotensi
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan. 18 Walaupun pelaksanaan ketentuan
tersebut dijanjikan dalam UU 32/2004 akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah, namun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebaiknya pro-aktif
mengambil initiatif dan oto-aktivitas dalam menentukan option tersebut, karena
17
18
Ibid., hlm 52
Lihat Pasal 14 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 beserta penjelasannya.
10
11
12
Filipina di urutan ke-98. Dalam pada itu, menurut Badan Pusat Statistik 2004, kini
penduduk miskin mencapai 36,1 juta. Kondisi kemiskinan seperti ini setara dengan
keadaan 15 tahun yang lalu.20
Inilah salah satu masalah cukup mendasar yang menjadi tantangan kita dalam
menghadapi krisis multidimensi, melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
di Indonesia menuju kepada proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good
governance), dan yang berpihak kepada rakyat.
13
saja, sedangkan dualisme dalam fungsi (dualism in function) tetap tidak terhapuskan,
karena justru penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan fungsi
dekonsentrasi yang menyangkut fungsi pemerintahan umum (Algemene bestuur)
yang menurut Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Tugas Tugas Pemerintah Pusat dalam bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai
Negeri dan Penyerahan Keuangannya kepada Pemerintah Daerah diletakkan kembali di
tangan Kepala Derah dalam kedudukannya sebagai alat pusat.
Dengan demikian, kedudukan dan peranan Kepala Daerah semakin diperkuat
dan semakin dominan. Itulah era pemerintahan yang disebut Executive heavy atau
sering juga disebut Strong Executive System. Itulah pula sebabnya, banyak
kritikan yang dilontarkan kepada rezim pemerintahan pada saat itu, yang menyatakan
bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959, terutama setelah dikeluarkannya PenPres Nomor 6 Tahun 1959 dipandang
sebagai retreat from autonomy.
Dengan demikian pula, terlihat adanya kausalitas antara sistem politik dan
pemerintahan yang berlaku, dengan upaya mewujudkan asas desentralisasi
pemerintahan. Pemerintah Indonesia tampaknya sangat menyadari kausalitas ini.
Oleh karena itu, pada era rezim Orde Baru diambil keputusan politik yang
menetapkan Demokrasi Pancasila sebagai landasan berpolitik bangsa. Dengan
keputusan politik tersebut, seluruh tatanan pemerintahan harus disesuaikan dengan
isi dan semangat Demokrasi Pancasila. Konsekuensinya, harus disusun Undang
Undang yang menjadi landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.
Maka keluarlah Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok - pokok
Pemerintahan di Daerah. Melalaui Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini
pemerintah bertekad untuk mewujudkan Otonomi Daerah. Namun, dikehendaki agar
pelaksanaan Otonomi Daerah ini tidak mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,
ataupun membahayakan kesinambungan gerak pembangunan nasional. Maka lahirlah
konsep otonomi nyata dan bertanggung jawab, Otonomi daerah dipandang lebih
merupakan kewajiban daripada hak. Prinsip Otonomi yang seluas - luasnya, yang
digelar melalui UU No. 18 Tahun 1965 tidak dianut lagi, karena berdasarkan
pengalaman konsep ini sangat rawan disintegrasi dan dikhawatirkan akan mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa.
Melalui konsep Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini, pemberian otonomi
daerah dalam wujud hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah sendiri, disesuaikan dengan kemampuan daerah, serta kerangka besar dalam
pembangunan nasional. Tampaknya, syarat - syarat semacam ini yang memunculkan
kendala baru bagi perwujudan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Penelitian yang terus menerus saya lakukan, menemukan bahwa UU Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menitik beratkan pelaksanaan otonomi daerah pada
Daerah Tingkat II, demikian pula paradigma yang menyatakan bahwa azas
desentralisasi dilaksanakan bersama - sama dengan asas dekonsentras i, ternyata
kembali terjebak dengan kecendurungan awal munculnya sentralisasi pelaksanaan
14
15
dimana Kepala Daerah dipilih dan ditetapkan oleh DPRD, dan bertanggung jawab
kepada DPRD, tetapi di pasal lain menegaskan bahwa kedudukan DPRD dan Kepala
Daerah adalah sejajar sebagai mitra - kerja. Sedangkan DPRD sendiri tidak jelas
bertangungg jawab kepada siapa. Kalau bertanggung jawab kepada rakyat, tidak
terdapat mekanisme yang jelas bagaimana bentuk pertanggung jawaban DPRD
tersebut. Dengan demikian, kondisi tersebut tidak memungkinkan adanya kemitraan
yang sejajar dan kecendurungan secara realitas posisi DPRD lebih kuat daripada
Kepala Daerah, sehingga mencerminkan gejala bahwa kewenangan DPRD lebih tinggi
dari Kepala Daerah.
16
17
Pertama, DPRD akan dipilih dengan sistem proportional terbuka, ini berarti
ada tanda gambar dan sekali gus daftar nama caleg. Kalau pemilih tidak memilih nama,
maka alternatifnya adalah menusuk tanda gambar, yang berarti Elite Parpol yang akan
memegang peranan utama menentukan siapa yang akan didudukkan di lembaga
legislatif daerah. Hasil Pemilu 5 April 2004 juga menunjukkan bahwa hanya 2 orang
anggota DPR di tingkat Nasional yang benar-benar terpilih yang memenuhi Bilangan
Pembagi Pemilih (BPP). Masalahnya sering calon yang mendapatkan suara terbanyak,
tidak memenuhi treshold BPP yang diunjuk mewakili parpol di DPR atau DPRD dan
menimbulkan konflik internal di tubuh parpol. Kalau rakyat lebih banyak memilih
I Made Suwandi, Implikasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Dalam koridor UU 32 Tahun 2004),
LAPI, Materi Workshop, 2004, hlm. 3-4.
22
18
tanda gambar dan bukan orang, akibatnya, akuntabilitas individu akan berkurang,
sedang akuntabilitas kolektif akan lebih menonjol.
Kalau Kepala Daerah dipilih secara langsung, ini berarti bahwa Kepala Daerah
akan mendapatkan legitimasi penuh dari rakyat pemilih, artinya rakyat akan
memberikan legitimasi politik secara langsung kepada orang yang dipilihnya. Dengan
kata lain akuntabilitas Kepala Daerah akan lebih kuat dibanding dengan akuntabilitas
DPRD, dimana akuntabilitas Kepala Daerah lebih bersifat individu dibanding dengan
akuntabilitas DPRD yang bersifat kolegial. Akibatnya, akan terjadi pergeseran (shift)
titik berat kekuatan politik yang tadinya ke DPRD (Legislative heavy) akan bergeser
kepada Kepala Deerah (Executive heavy). Ini adalah akibat akuntabilitas Kepala
Daerah yang lebih kuat dibandingkan dengan DPRD. Kondisi tersebut akan diperkuat
lagi dengan adanya dukungan perangkat daerah kepada Kepala Daerah. Dengan
demikian, jelas akan lebih memperkuat posisi Kepala Daerah.
Kedua, konsekuensi dari pemilihan langsung, maka baik DPRD maupun Kepala
Daerah akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih. Ini berarti, tidak
lagi Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD sekalipun DPRD mempunyai posisi
sebagai wakil rakyat, karena Kepala Derah pun akan mengklaim dirinya sebagai wakil
rakyat yang dipilih secara langsung. Persoalannya sekarang, kepada siapa Kepala
Daerah harus bertanggung jawab? Karena Kepala Derah dipilih langsung oleh rakyat,
maka seyogyanya ia (Kepala Daerah) bertanggung jawab langsung kepada rakyat.
Lantas mekanismenya bagaimana kalau Kepala Daerah bertanggung jawab langsung
kepada rakyat, dan apakah rakyat bisa memberhentikan Kepala Derah apabila rakyat
tidak menyukai atau mempercayainya lagi. Di negara - negara maju, seperti di
Amerika, Kepala Derah dapat diberhentikan oleh rakyat apabila diatas 50% pemilih
menyatakan tidak menghendaki lagi Kepala Daerah ybs. Kondisi ini, akan berjalan baik,
apabila pendidikan politik rakyat sudah mantap, seperti di Amerika. Namun, kalau
cara - cara tersebut diterapkan di Indonesia, dimana pendidikan politik rakyat belum
mantap, pelaksanaan demokrasi tendensinya anarkhis, maka sudah bisa dipastikan
akan terjadi instabilitas dalam pemerintahan daerah, dimana di kalangan masyarakat
Indonesia masih kental cara - cara money politics dalam pemilihan Kepala Daerah,
maka dengan imbalan uang, rakyat akan dengan mudah digerakkan untuk memilih
seseorang calon Kepala Derah, demikian juga sebaliknya rakyat akan dengan mudah
digerakkan untuk menjatuhkan Kepala Daerah dengan cara - cara yang sama. Sebagai
konsekuensinya, pemerintahan yang tidak stabil sudah barang tentu akan mengganggu
stabilitas keamanan dan counter - productive terhadap laju pertumbuhan dan
investasi, yang pada gilirannya kondisi tersebut akan menciptakan krisis yang
berkepanjangan. Karena itu, dalam rangka pemilihan Kepala Derah perlu adanya
sosialisasi dan pendidikan politik yang intensif bagi rakyat pemilih, supaya mereka
menyadari bahwa sekali mereka memilih Kepala Daerah maka mereka akan
menanggung segala konsekuensi dari pilihannya tersebut. Karenanya perlu penegasan
dan difahami oleh rakyat bahwa pemberhentian Kepala Derah hanya dapat dilakukan
apabila ybs melakukan tindak - pidana, mengundurkan diri atau tidak lagi mampu
19
20
PNS tetap harus difungsikan sebagai perekat negara dan bangsa disamping
professionalisme pegawai yang perlu terus ditingkatkan.
10. Penutup.
Demikian, beberapa pokok-pokok pikiran tentang pelaksanaan kebijakan
penyelenggaraan otonomi daerah sebagai bahan masukan dalam Seminar ini untuk
didiskusikan lebih lanjut.
Terima kasih atas perhatiannya.
Jakarta, 10 Nopember 2006.
3.
21
Undang Nomor 32 Tahun 1956, Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang Undang Nomor 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden (PenPres) No. 6 Tahun 1959,
PenPres No. 5 Tahun 1960, Undang - Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang - Undang
Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1979, sampai kepada
paket kebijakan terakhir, yaitu Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa paket Undang - Undang Nomor
22 dan 25 Tahun 1999 sebagai produk kebijakan politik desentralisasi dan otonomi
daerah pada masa pemerintahan transisi, masih mengandung berbagai kelemahan dan
masalah, baik ditinjau dari tataran konsep maupun tataran operasional.
Yang menjadi fokus pertanyaan adalah apakah kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah yang dituangkan dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu,
baik secara konsep akademik maupun operasional signifikan dalam upaya menerapkan
prinsip - prinsip akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
terutama dalam mewujudkan pemerintahan daerah yang baik, bersih, berwibawa dan
bertanggung jawab (Good Governance) serta berpihak kepada rakyat. Hal tersebut,
adalah suatu prasyarat yang harus terjawab dalam upaya menjalankan keinginan
politik (political will) pemerintah untuk menjadikan Daerah Otonom yang mandiri
berdasarkan prinsip - prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, peningkatan
daya saing daerah, serta menjamin tetap terjaga dan terpeliharanya Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Berbagai pendapat dan pandangan telah banyak dilontarkan orang terhadap
kelahiran Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 25
Tahun 1999. Ada yang menganggap Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 terlalu
luas memberikan kewenangan kepada daerah, sehingga dengan keleluasaan
(discretionary power) yang diberikan kepada Daerah, dikhawatirkan akan
menimbulkan perpecahan (disintegrasi) karena terkotak - kotaknya antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain, dan tidak terkendalinya oleh pemerintah pusat,
yang akhirnya daerah yang merasa sangat kuat akan tidak peduli terhadap daerah
lainnya, sehingga timbul kesenjangan antar daerah dan laju pertumbuhan antar
daerah, yang pada gilirannya akan mengakibatkan lemahnya persatuan dan kesatuan
bangsa. Bahkan ada yang beranggapan bahwa dengan otonomi daerah ini,
dikhawatirkan akan memindahkan birokrasi pusat ke daerah dengan segala ekses
-eksenya seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) akan merajalela di daerah,
arogansi kekuasaan, egoisme kedaerahan yang sempit, timbulnya raja - raja kecil di
daerah dlsb.
Namun sebaliknya, ada pula yang beranggapan bahwa Undang - Undang ini
masih jauh dari harapan, dan masih berbau status quo, pemerintah yang menamakan
dirinya sebagai pemerintah orde reformasi nyatanya tidak reformis dan dalam
memberikan otonomi kepada daerah, masih setengah hati. Apalagi Undang Undang
22
23
yang dimiliki oleh pemerintah daerah.24 Oleh karena itu, ditinjau dari tataran teoritis,
karakteristik hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah telah
didudukkan sebagai variabel penting yang membedakan dua konsep antara perspektif
desentralisasi politik (political decentralization perspective) dan perspectif
desentralisasi administrative (administrative decentralization perspective)25
Salah satu hal yang amat penting dan mungkin terlupakan adalah bahwa
urusan/kewenangan yang sudah dimiliki oleh Daerah otonom sejak pembentukannya
dengan Undang - Undang yang secara materiil sudah diserahkan kepada Daerah ybs,
yang menurut Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 (Pasal 7, 8, dan 11 serta
penjelasannya) harus ada pengakuan (erkennen) dari Pemerintah sampai sekarang
belum dijalankan secara tuntas sampai dicabutnya Undang Undang Nomor 22 Tahun
1999 oleh Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004.
4.
24
25
Bryant, Carolie dan Louise G., White, Managing Development in the Third World, terjemahan Rusyant
Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang, Jakarta: LP3ES, 1987, hlm. 213-214.
31
Ibid., hlm.215.
32
Ibid., hlm.215-216.
33
Midjaja, Subarda, Pidato Pengarahan pada Pembukaan Sespanas-Seskoad, Bandung, 20 Januari 1992,
dalam Ateng Syafrudin, Pendayagunaan Otonomi Daerah yang Bertitik Berat pada Daerah Tingkat II
dan Implikasinya pada Manajemen Pembangunan, Makalah disajikan dalam diskusi terbatas, 5-6
September 1992, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan, Bandung:
Unpad, hlm.1.
30
26
pada daerah tingkat lokal itu akan dilaksanakan, bukan mepersoalkan kekhawatiran
disintegrasi.34
Sejalan dengan pendapat Bryant, Rondinelli (1988) lebih luas memaparkan
konsep decentralization dengan memberikan batasan sebagai berfikut:
hlm. 18-19.
27
28
mengelola program dan proyek serta administrasi pembangunan yang meliputi strategi
pertumbuhan dan pemerataan yang dijalankan selama tahun 1970-an; Ketiga, melihat
kenyataan kehidupan masyarakat semakin kompleks, kegiatan pemerintahan semakin
meluas, sehingga semakin sulit untuk mencapai efisiensi dan efektifitas apabila semua
perencanaan dan kegiatan pembangunan dipusatkan pada pemerintah pusat.
Dari berbagai batasan dan pengertian yang dikemukakan diatas, ternyata
decentralization tidak berdiri sendiri, melainkan decentralization sebagai genus dan
mempunyai species yang bermacam - macam. Namun Mawhood (1987 : 9) dengan tegas
mengatakan bahwa decentralization adalah devolution of power from central to local
governments. Sementara deconcentration yang dalam hal ini oleh Mawhood telah
dipersamakan dengan administrative decentralization, didefinisikan sebagai the
ransfer of administrative responsibility from central to local government. 36 Dengan
demikian, Mawhood tidak menjadikan decentralization sebagai genus dengan species
devolution dan deconcentration, melainkan memisahkan antara decentralization dan
deconcentration.
Kalau kita bandingkan dengan versi kontinental, pada prinsipnya sama
mendudukan decentralization sebagai genus dengan species yang bermacam-macam,
hanya dengan istilah yang berbeda. Menurut versi kontinental, desentralisasi
digolongkan menjadi dua, yaitu ambtelijke decentralisatie dan staatskundige
decentralisatie yang dibagi lagi menjadi territoriale decentralisatie dan functionele
decentralisatie. Yang dimaksud dengan ambtelijke decentralisatie, adalah pemberian
(pemasrahan) kekuasaan dari atas kebawah di dalam rangka kepegawaian, guna
kelancaran pekerjaan semata - mata. Sedangkan yang dimaksud dengan staatskundige
decentralisatie merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di
dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi pemerintahan negara, sehingga
dengan demikian, decentralisatie tsb mempunyai dua wajah, yaitu autonomie dan
medebewind atau zelfbestuur.37
Dalam hubungan ini, dapat dipahami bahwa pengertian decentralisatie sebagai
staatskundige decentralisatie
(desentralisasi
ketatanegaraan)
merupakan
pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah - daerah untuk
mengurus rumah tangganya sendiri (daerah - daerah otonom). Desentralisasi ini
adalah sistem untuk mewujudkan asas demokrasi yang memberikan kesempatan
kepada rakyat untuk ikut serta dalam proses penyelenggaraan kekuasaan negara.
Menurut konsep ini, desentralisasi lazim dibagi dalam dua macam: Pertama,
dekonsentrasi (deconcentration) atau ambtelijke decentralisatie adalah pelimpahan
kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat lebih atas kepada bawahannya guna
Diana Conyers (1984), dalam Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, Desentralisasi dan Otonomi
Daerah: Perspektif Teoritis dan Perbandingan, dalam Paradigma Baru Otonomi Daerah, Pusat Penelitian
Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPPI), 2001, hlm.24.
37
Didiskusikan dalam Bagir Manan, Hubungan antara Pusat dan Daerah berdasarkan Azas Desentralisasi
Menurut UUD 1945, Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Hukum pada Universitas
Padjadjaran, Bandung, 1990, hlm.19.
36
29
30
operasional. Karena, otonomi adalah hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dengan perkataan lain, otonomi itu
merupakan manifestasi atau perwujudan kewenangan yang diberikan (toekennen)
oleh pemerintah pusat, sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi teritorial
(territoriale decentralisatie) sebagai suatu sistem dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Kalau dikatakan, bahwa otonomi itu bermakna kebebasan atau kemandirian
(zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid), maka di dalamnya
terkandung dua aspek utama, Pertama, pemberian tugas dan kewenangan untuk
menyelesaikan suatu urusan; Kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang untuk
memikirkan dan menetapkan sendiri cara - cara penyelesaian tugas tersebut. 41
Dengan demikian, otonomi dapat diartikan sebagai kesempatan untuk
menggunakan prakarsa sendiri atas segala macam nilai yang dikuasai untuk mengurus
kepentingan umum (penduduk). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu
merupakan wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. 42
Kemudian mengenai medebewind atau zelfbestuur, diartikan sebagai
pemberian kemungkinan kepada pemerintah pusat/ pemerintah daerah yang
tingkatannya lebih atas untuk minta bantuan kepada pemerintah daerah/ pemerintah
daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan
pemerintah pusat atau rumah tangga (daerah yang tingkatannya lebih atas) tersebut.
Istilah zelfbestuur adalah terjemahan dari selfgovernment yang di Inggris diartikan
sebagai segala kegiatan pemerintahan di tiap bagian dari Inggris yang dilakukan oleh
wakil - wakil dari yang diperintah. Di Belanda medebewind atau zelfbestuur diartikan
sebagai pembantu penyelenggaraan kepentingan - kepentingan dari pusat atau daerah
- daerah yang tingkatannya lebih atas oleh alat - alat perlengkapan daerah yang lebih
bawah. Dalam menjalankan tugas - tugas medebewind, urusan - urusan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pusat cq
daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang
dimintakan bantuan. Akan tetapi, bagaimana cara daerah otonom yang dimintakan
bantuan itu, dalam melakukan bantuannya itu diserahkan sepenuhnya kepada daerah
itu sendiri. Daerah otonom yang diminta bantuan itu tidak berada di bawah perintah
dari dan tidak pula dapat diminta pertanggungjawaban oleh pemerintah pusat/ daerah
yang lebih tinggi.43 Selanjutnya dikatakan, bahwa Jika ternyata ada daerah yang
tidak menjalankan tugas bantuannya atau tidak begitu baik melakukan tugasnya,
sebagai sanksinya pemerintah pusat/ daerah yang minta bantuan hanya dapat
menghentikan perbuatan dari daerah yang dimintakan bantuan, untuk selanjutnya
dipertimbangkan tentang pelaksanaan kepentingan atasan termaksud dengan jalan
31
lain, dengan tidak mengurangi hak pemerintah pusat/ daerah yang minta bantuan
untuk menuntut kerugian dari daerah yang melalaikan kewajibannya. 44
Berbeda dengan konsep medebewind menurut versi Indonesia yang menurut
Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebut dengan tugas pembantuan, yaitu
suatu penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa untuk melaksanakan tugas
tertentu, disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya
manusia, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskan. Jadi, antara yang menugaskan (pemerintah pusat) dan yang
ditugaskan ada hubungan sub - ordinasi, karena yang ditugaskan berkewajiban untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkannya. Pengertian tugas pembantuan versi
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 menurut pandangan saya adalah keliru,
karena kalau itu rumusannya berarti dekonsentrasi bukan tugas pembantuan,
karena dalam konsep itu pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia, semuanya disediakan oleh pemerintah pusat. Padahal, di dalam konsep tugas
pembantuan yang perlu disediakan oleh pemerintah pusat adalah hanya pembiayaan,
sedangkan peralatan dan personil justru merupakan kewajiban pemerintah daerah
dalam upaya membantu pelaksanaan tugas tertentu dari pemerintah pusat atau pem
erintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
Dengan menyimak berbagai batasan dan pengertian desentralisasi seperti
diuraikan diatas, saya dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar melihat karena
kecendurungan sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, maka
dilancarkan ide desentralisasi dengan berbagai corak dan bentuknya. Seperti
ditegaskan dalam tulisan Syarif Hidayat (2001 : 27-28) bahwa secara prinsipal, dapat
dikatakan bahwa lahirnya ide desentralisasi merupakan sebuah anti - thesa dari
sentralisasi.45 Padahal, seperti telah disinggung dimuka, bahwa desentralisasi bukan
merupakan sistem yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari
suatu sistem yang lebih besar, yaitu negara bangsa (nation state). Dengan perkataan
lain, walaupun suatu negara bangsa menganut asas desentralisasi, namun tidak semua
urusan kewenangan diserahkan kepada daerah otonom, melainkan ada bagian - bagian
urusan tertentu yang tetap dikelola secara sentral (terpusat). Karenanya, menurut
pandangan saya suatu negara bangsa menganut desentralisasi bukan merupakan
alternatif dari sentralisasi, karena antara desentralisasi dan sentralisasi tidak
dilawankan dan karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub - sub
sistem dalam kerangka sistem organisasi negara. 46 Karenanya pula, suatu negara
bangsa merupakan genusnya, sedangkan sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi
dan tugas pembantuan merupakan speciesnya. Masalahnya, bagaimana mencari
keseimbangan diantara species tersebut.
Ibid., hlm.21-22
Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, op.cit., hlm.27-28.
46
E. Koswara, Otonomi Daerah, Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Jakarta: Yayasan Pariba,
2001, hlm. 47.
44
45
32
5.
33
34
35
kewenangan pusat kepada daerah, sebaiknya sejauh mungkin dieliminir, sebab kalau
tidak, hal tersebut bukan saja akan mengaburkan makna persatuan dan kesatuan
bangsa, melainkan pula akan mengaburkan makna pemberian otonomi yang luas, nyata
dan bertanggungjawab, yang justru dimaksudkan untuk memperkuat integrasi,
persatuan dan kesatuan bangsa, pengembangan demokrasi, bahkan menurut
perspektif Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang
Undang Nomor 22 Tahun 1999 diupayakan untuk mewujudkan peningkatan daya saing
daerah, yang pada akhirnya ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat,
pemerataan dan keadilan.
Ini prinsip transparansi yang harus dijaga benar dalam penyelenggaraaan
pemerintahan daerah, agar tidak menyimpang dari upaya mewujudkan Good
Governance.
36
daerah, namun dalam praktiknya, masih timbul persoalan - persoalan yang mengemuka
di lapangan, antara lain:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
37
dan diseminasi terlebih dahulu, tanpa ada guide - lines dan rambu - rambu yang
mestinya jadi acuan bagi pelaksanaan UU tersebut, baik bagi perangkat pemerintah
daerah maupun bagi perangkat pemerintah pusat. Padahal Presiden menurut UUD
(Pasal 5, ayat 2) mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan PP tentang mulai
diberlakukannya suatu Undang - Undang, sebelum peraturan pelaksananaan
(peraturan organik) dikeluarkan, sehingga PP tersebut merupakan umbrella yang
memuat guide - lines sebagai acuan, baik dalam hal menafsirkan sesuatu pasal maupun
rambu - rambu bagi pelaksanaan secara operasional di lapangan. Sebab, banyak
penjelasan Pasal - pasal dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang tidak
jelas, meskipun dalam penjelasannya disebutkan cukup jelas.
(6) Isu lain yang menonjol adalah menyangkut kedudukan dan peran Gubernur, baik
sebagai Kepala Daerah Otonom Propinsi, maupun dan terutama dalam
kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah dalam kaitannya dengan pelaksanaan
asas dekonsentrasi tidak jelas dan tidak secara eksplisit menggambarkan
lingkup dekonsentrasi di Propinsi. Walaupun Undang Undang Nomor 22 Tahun
1999 menyatakan secara eksplisit bahwa Daerah Propinsi berkedudukan juga
sebagai Wilayah Administrasi, namun tidak jelas apakah dengan demikian
kedudukan Gubernur juga sebagai Kepala Wilayah, atau dalam kedudukan selaku
Wakil Pemerintah apakah Gubernur juga sebagai Kepala Wilayah? Dalam
penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Wilayah Administrasi adalah daerah
administrasi menurut Undang - Undang Dasar 1945. Di dalam UUD 1945,
penjelasan Pasal 18 (lama), bahwa Daerah - daerah itu bersifat autonom
(Streek en locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat administrative belaka.
Lazimnya daerah administrasi yang menganut Split model yang dikepalai oleh
seorang Kepala Wilayah.
(7) Demikian pula kewenangan dekonsentrasi bagi instansi vertikal tidak dengan
tegas dinyatakan bahwa instansi vertikal adalah perangkat Departemen
dan/atau Lembaga Pemerintah Non - Departemen (LPND) yang mempunyai tugas
dan kewenangan khusus (Sektoral/ Teknis; dekonsentrasi fungsional) di wilayah
dalam yurisdiksi tertentu sebagai lingkungan kerjanya, dan tidak hanya
berkoordinasi dengan Gubernur, melainkan kedudukannya berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada Gubernur selaku wakil pemerintah (dalam konteks
Integrated Perfectoral System).
Dalam kedudukan sebagai Wakil Pemerintah menurut Undang - Undang yang
baru, yaitu Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang Gubernur
lebih tegas, walaupun hanya terbatas kepada 3 (tiga) hal sebagai berikut:
(a)
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten/ kota;
(b)
Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan
kabupaten/ kota;
38
39
a.
(1) UUD 1945 telah diamandemen, terutama pasal-pasal yang terkait langsung dengan
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu: Pasal - pasal 1, 5, 18, 18A, 18B,
20, 21, 22D, 23E ayat 24 ayat (1), 31 ayat (1), 33 dan 34.
(2). Beberapa Ketetapan MPR yang berkaitan dengan pemerintahan daerah, yaitu: (1)
Ketetapan MPR No. XV?MPR/1988; (2) Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999; (3)
Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000; (4) Ketetapan MPR No. VI/MPR?2002; (5)
Ketetapan MPR No. I/MPR/2003; (6) Keputusan MPR No. 5/MPR/2003.
(3) Perlunya penyerasian dan penyelarasan dengan Undang - undang lainnya, yang erat
kaitannya dengan penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah, diantaranya: (1)
Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) Undang Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara; (3) Undang Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; (4) Undang Undang Nomor 23
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; (5) Undang
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; (6) Undang Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan; (7)
40
b.
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberi kuasa kepada Pemerintah
untuk mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi, namun tanpa diberikan rambu
- rambu yang jelas, sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak
mendorong otonomi daerah. Penyusunan pengaturan perundang - undnagan sebagai
tindak lanjut penyesuaian dengan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 belum
dapat dilakukan sepenuhnya, sehingga banyak daerah mengambil prakarsa sendiri
dalam membuat peraturan daerah dengan wewenang yang diberikan TAP MPR No.
IV/2000. Dalam pada itu, belum sinkronnya berbagai peraturan perundang undangan, baik yang diterbitkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah,
sehingga sering menimbulkan penafsiran yang berbeda.
c.
d.
41
e.
f.
42
43
44
rendah, kecuali kalau ditetapkan secara pasti (clear cut) mana soal - soal yang masuk
lingkungan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota.
Dengan demikian, ajaran ini tidak mendorong daerah untuk berprakarsa dan
mengembangkan potensi wilayahnya diluar urusan yang tercantum dalam undang undang pembentukannya. Kalau dibandingkan dengan negeri Belanda dan Inggris atau
di negara - negara maju lainnya akan sangat berbeda, dimana teori ini dapat
digunakan secara efektif, karena pada umumnya mereka sudah established, baik
aparatur maupun masyarakatnya tergolong kepada kaum menengah, baik dari segi
pendidikan maupun dari strata sosialnya.
Walaupun pengembangan paradigma baru yang dituangkan ke dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 berasal dari ide Ketetapan MPR - RI Nomor IV/MPRRI/2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
namun Ketetapan MPR itu sendiri perlu dikaji, baik secara akademik, politik, juridis,
maupun operasional.
Tap MPR di atas dapat dikatakan sebagai upaya politik untuk menggeser
pendulum pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah pada titik keseimbangan
(equilibrium), terutama keseimbangan antara kekuasaan Pemerintah Pusat dengan
kekuasaan Pemerintah Daerah disemua tingkat pemerintahan.
Namun, perlu adanya klarifikasi terhadap TAP MPR tersebut, terutama
mengenai apa yang dimaksud dengan pemberian otonomi bertingkat dan penyesuaian
terhadap Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen kedua. Kalau yang dimaksud dengan
pemberian otonomi bertingkat terhadap Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota sama
dengan system penyerahan kewenangan otonomi proporsional bertingkat berarti
kembali kepada paradigma lama sebagaimana dianut dalam Undang - Undang Nomor 5
Tahun 1974, sedangkan penyesuaian terhadap Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen
kedua, setidak - tidaknya terdapat tiga persoalan yang prinsip, yaitu: Pertama,
meskipun Pasal 18 UUD 1945 diperluas menjadi tiga Pasal, yaitu Pasal - pasal 18, 18A
dan 18B yang meliputi 11 (sebelas) ayat, namun tidak ada satu ayatpun yang secara
ekplisit mengatur tentang pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah, misalnya
Pasal 18 ayat (5) hanya menyatakan bahwa Pemerintah Daerah menjalankan otonomi
seluas - luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang - undang ditentukan
sebagai urusan pemerintah pusat . Penggunaan istilah otonomi seluas - luasnya
berarti kembali kepada paradigma Undang - Undang Nomor 18 Tahun 1965, dimana
istilah itu baik dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 maupun dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun
1999 tidak dipergunakan lagi, karena berdasarkan
pengalaman istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecendurungan pemikiran
yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi dengan
maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah. Demikian pula, Pasal 18A ayat
(1) hanya menyatakan bahwa Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
45
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan undang - undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah. Kedua, Pasal 18 baru UUD 1945 tidak menganut
lagi asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di daerah,
disamping asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan. Pasal 18 ayat (2) hanya
menyatakan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Penekanan terhadap terminologi asas otonomi dikhawatirkan akan
menimbulkan misleading dalam penafsiran, karena tidak lazim dipakai, baik dalam
tataran konsep akademik, maupun dalam tataran operasional, karena otonomi bukan
asas melainkan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
yang diserahkan oleh
pemerintah pusat kepada daerah. Ketiga, menyangkut Pembagian Daerah. Dalam
perubahan kedua UUD 1945 tidak lagi mengenal Pembagian Daerah seperti halnya
dalam Pasal 18 lama, karena dalam Pasal 18 baru, ayat (1) yang dibagi adalah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut,
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah - daerah provinsi, dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap - tiap provinsi,
kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang undang.
Ada sementara anggapan orang bahwa Pasal 18 baru ayat (1) ini bernuansa
Federasi, karena secara eksplisit menyatakan NKRI dibagi, kecuali apabila
Penjelasan Pasal 18 lama, tetap berlaku sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
batang tubuh UUD 1945, sehingga ketiga persoalan diatas bisa diklarifikasikan
(clarified) dengan baik. Namun Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 lama dinyatakan tidak
berlaku
lagi,
karena
semangatnya
sudah
ditampung
dalam
berbagai
perubahan/tambahan Pasal dalam UUD 1945 yang baru. Walaupun demikian, saya
tidak berpretensi untuk menganggap bahwa Perubahan Kedua UUD 1945 yang
menyangkut Pasal 18 ayat (1) sebagai Pasal yang bernuansa Federasi, karena saya
tetap berpegang kepada Pasal 1 ayat (1) yang dalam Perubahan Pertama UUD 1945,
tidak diadakan perubahan, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 ayat (1) : Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
46
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional; dan
f. Agama.
Ayat (4) menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau
dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau
wakil Pemerintah di daerah, atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah
dan/ atau pemerintahan desa. Selanjutnya ayat (5) menegaskan bahwa dalam urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah atau:
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Dari uraian Pasal 10 ini dapat diartikan bahwa tidak ada kemungkinan daerah
akan memperoleh tambahan kewenangan dari Pemerintah selain dari yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 13 dan 14 Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004. Padahal,
mestinya sebagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5)
tersebut dimungkinkan untuk diserahkan kepada daerah melalui asas desentralisasi,
tidak hanya melalui tugas pembantuan. Mengenai penetapan asas penyelenggaraan
pemerintahan, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 agak rancuh mengaturnya,
karena dalam UU tsb asas penyelenggaraan pemerintahan diatur dengan menetapkan
bahwa antara penyelenggaraan pemerintahan di Pusat dan di Daerah berbeda.
Pada Pemerintah pusat menggunakan asas - asas desentralisasi, tugas
pembantuan, dan dekonsentrasi, sedang penyelenggaraan pemerintahan di daerah
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Padahal asas - asas tersebut
merupakan suatu kebijakan (policy) yang berlaku baik di pusat maupun di daerah
sebagai satu kesatuan sistem yang tidak bisa dipisahkan. Disamping itu, otonomi dan
tugas pembantuan sebagai asas adalah misleading, karena otonomi dan tugas
pembantuan bukan asas, melainkan suatu hak, wewenang dan kewajibansebagai
manifestasi atau perwujudan atau konkritisasi dianutnya asas desentralisasi dalam
NKRI. Walaupun kata-kata asas otonomi dan tugas pembantuan itu berasal dari UUD
(setelah diamandemen), tetapi kalau itu merupakan kekeliruan, mestinya diadakan
judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, jangan sampai perundang - undangan di
bawahnya ikut keliru.52
6.
52
47
48
c.
d.
e.
f.
7.
seperti sumber daya air, hutan, lautan, lingkungan hidup dlsb.; kemungkinan
terjadi pengaturan daerah yang over regulated atau benturan antara peraturan
daerah di tingkat Daerah Kabupaten/ Kota dengan Daerah Propinsi, ataupun
Pusat, karena lemahnya antara perencanaan pembangunan Daerah Kabupaten/
Kota, Daerah Propinsi, dan Pusat, sehingga integritas dan sinergitas tidak
terjamin, karena masing - masing merasa mempunyai kompetensi sendiri - sendiri,
yang memungkinkan terjadinya segmentasi antar Daerah (tidak transparan);
munculnya egoisme kedaerahan yang sempit yang mendorong atau
menjurus kepada eksklusivisme daerah dan proteksionisme kedaerahan, sehingga
akan mengganggu kepada makna persatuan dan kesatuan bangsa.
sikap dan perilaku birokrasi pusat yang cenderung untuk tetap
mempertahankan statusquo, terutama dalam mempertahankan kewenangan pusat
yang enggan menyerahkannya kepada Daerah (tidak transparan);
belum sinkronnya perundang - undangan sektoral pusat dengan Undang Undang tentang pemerintahan daerah, sehingga para pejabat birokrasi
Departemen Sektoral pusat masih berpegang kepada Undang - Undang Sektoral
yang bersangkutan, dan belum menyesuaikan dengan jiwa dan semangat Undang
Undang Nomor 22 Tahun 1999 cq. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004;
terjadinya multi-interpretasi, baik terhadap jiwa dan semangat Undang
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999
maupun terhadap pasal - pasal didalamnya yang tidak atau kurang jelas.
1).
2)
49
4)
5)
i.
6)
50
Mengingat pengaturan lebih lanjut yang menegaskan kedudukan dan tugas serta
kewenangan Gubernur selaku Wakil Pemerintah, tidak ada, maka seyogyanya
sebagai tindak lanjut Pasal 38 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, segera
dikeluarkan Instruksi Presiden yang intinya menugaskan dan memberikan
keleluasaan kepada Gubernur untuk mengusahakan secara terus - menerus agar
segala peraturan perundang - undangan dan peraturan daerah dijalankan oleh
instansi - instansi pemerintah dan pemerintah daerah, serta mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin stabilitas dan kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan di daerah secara baik".
8)
9)
10)
51
12)
8.
PENUTUP
52
E. Koswara Kertapradja
53