Anda di halaman 1dari 11

PAPER MATA KULIAH PERTANIAN ORGANIK

Bahan Organik

Disusun Oleh:
Nur Winda Y.

125040201111226

Falia Nanda Nur Alifah

125040201111304

Fransiscus Asisi

125040201111
Kelas C

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

Pada umumnya, lahan-lahan pertanian di Indonesia telah mengalami degradasi yang luar
biasa. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, lahan terdegradasi mencapai 38,6 juta
Ha. Angka-angka ini cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu indikator
kerusakan lahan tersebut adalah kandungan bahan organik yang relatif rendah (Syarif, 2015).
Menurut Nurul (2014), bahan organik adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di
dalam tanah, seperti seresah, biomass jasad renik, bahan organik terlarut dalam air, dan humus.

Kandungan bahan organik tanah sangat beragam, berkisar antara 2% 10% pada tanah-tanah
mineral atau bahkan sampai 100% pada tanah organik (Histosol). Pada wilayah yang memiliki
curah hujan rendah, maka vegetasi juga jarang sehingga akumulasi BO juga rendah. Pada
wilayah bertemperatur dingin, kegiatan mikroroganisme juga rendah sehingga proses
dekomposisi lambat.
Sumber Bahan Organik
Bahan organik tanah menjadi salah satu indikator kesehatan tanah. Bahan organik tanah
menyediakan nutrisi untuk aktivitas mikroba yang juga dapat meningkatkan dekomposisi bahan
organik, meningkatkan stabilitas agregat tanah, serta meningkatkan daya pulih tanah (Sutanto,
2005). Menurut Suntoro (2003) dan Budianta serta Ristiani (2013), bahan organik berasal dari:
1. Sumber primer, yaitu jaringan organik tanaman (flora) yang dapat berupa daun, ranting
dan cabang, batang, buah, serta akar.
2. Sumber sekunder, yaitu jaringan organik fauna yang dapat berupa kotoran dan
mikrofauna.
3. Sumber lain dari luar yang berupa pupuk organik, seperti:
a. Pupuk kandang
b. Pupuk hijau
c. Pupuk bokasi (kompos)
d. Pupuk hayati
Fungsi dan Peran Bahan Organik
Bahan organik berfungsi sebagai penyimpan unsur hara yang secara perlahan akan
dilepaskan ke dalam air tanah dan disediakan bagi tanaman. Bahan organik di dalam atau di atas
tanah juga melindungi dan membantu mengatur suhu dan kelembaban tanah. Pengelolaan yang
tidak memadai dapat menyebabkan pemanfaatan unsur hara yang tidak efisien karena hilangnya
unsur hara tersebut.

Syarat tanah sebagai media tumbuh membutuhkan kondisi fisik dan kimia yang baik.
Keadaan fisik tanah yang baik apabila dapat menjamin pertumbuhan akar tanaman. Peran bahan
organik menurut Syarif (2013) yaitu:
1. Terhadap Kesuburan Fisik Tanah
a. Bahan organik penting dalam pembentukan dan memperbaiki struktur tanah. Bahan
organik yang terdekomposisi menjadi bahan organik tanah mempunyai peran sebagai
bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah.
b. Meningkatkan kemampuan tanah menahan air
c. Membuat warna tanah menjadi coklat sampai hitam, sehingga meningkatkan
penyerapan energi radiasi matahari yang kemudian dapat mempengaruhi suhu tanah
2. Terhadap Kesuburan Kimia Tanah
a. Meningkatkan daya serap kapasitas tukar kation (KTK) tanah 30 kali lebih besar
dibandingkan koloid anorganik. Peningkatan KTK dikarenakan pelapukan bahan
organik akan menghasilkan humus (koloid organik) yang mempunyai permukaan
dapat menahan unsur hara dan air. Peningkatan KTK menambah kemampuan tanah
untuk menahan unsur-unsur hara.
b. Menurunkan muatan positif tanah melalui proses pengkelatan terhadap mineral Al
dan Fe yang reaktif, sehingga dapat menurunkan fiksasi P tanah dan meningkatkan
efisiensi pemupukan. Bahan organik berperan sebagai sumber asam-asam organik
yang mampu mengontrol kelarutan logam dalam tanah. Asam-asam organik mampu
mengkhelat unsur-unsur beracun dalam tanah sehingga menjadi tidak berbahaya bagi
tanaman dan juga menurunkan jumlah fosfat yang difiksasi oleh Fe dan Al melalui
mekanisme pengkelatan sehingga P tersedia bagi tanaman.
c. Unsur Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Sulphur (S) diikat dalam bentuk organik atau
dalam tubuh mikroorganisme, sehingga terhindar dari pencucian yang kemudian
dapat tersedia kembali. Pupuk anorganik bersifat sangat larut air, sehingga saat hujan
terjadi kehilangan yang sangat tinggi.
d. Bahan organik berperan sebagai penambah hara N, P, dan Kalium (K) bagi tanaman
dari hasil mineralisasi oleh mikroorganisme. Mineralisasi merupakan transformasi
oleh mikroorganisme dari sebuah unsur pada bahan organik menjadi anorganik,
seperti nitrogen pada protein menjadi amonium atau nitrit. Melalui mineralisasi, unsur
hara menjadi tersedia bagi tanaman.
3. Terhadap Biologi Tanah

Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro-fauna tanah.
Penambahan bahan organik dalam tanah akan meningkatkan aktivitas dan populasi
mikrobiologi dalam tanah, terutama yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan
mineralisasi bahan organik. Hal ini dikarenakan bahan organik menyediakan karbon
sebagai sumber energi bagi mikroorganisme.
Faktor yang Mempengaruhi Dekomposisi Bahan Organik
Proses dekomposisi dikendalikan oleh tiga tipe faktor, yaitu: kondisi lingkungan fisik,
kualitas dan kuantitas dari substrat yang tersedia untuk dekomposer, serta karakteristik dari
komunitas mikroba.
1. Lingkungan Fisik
a. Air / Kelembaban
Dekomposer mengalami kondisi paling produktif dalam kondisi lembab yang
hangat (pasokan oksigen yang cukup tersedia), kondisi yang menyebabkan tingkat
dekomposisi yang tinggi pada hutan tropis. Tingkat dekomposisi umumnya
mengalami penurunan pada kelembaban tanah yang kurang dari 30 sampai 50%
dari massa kering dikarenakan penurunan ketebalan dari lapisan lembab pada
permukaan tanah yang menyebabkan penurunan kecepatan difusi substrat oleh
mikroba. Proses dekomposisi juga mengalami penurunan pada kadar kelembaban
tanah yang tinggi (misalnya lebih besar dari 100 hingga 150% dari massa kering).
Pada kasus batangan pohon kayu yang membusuk, terdapat lingkungan mikro yang
unik dan umumnya memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini menyebabkan tingkat
laju dekomposisi batangan pohon ini menjadi terbatasi (dipengaruhi oleh jumlah
pasokan oksigen).
b. pH tanah
Proses dekomposisi terjadi lebih cepat pada kondisi netral daripada kondisi asam.
Peningkatan secara menyeluruh di tingkat dekomposisi pada pH yang lebih tinggi
mungkin mencerminkan adanya kompleksitas interaksi antar faktor, termasuk
perubahan dalam komposisi spesies tumbuhan dan terkait dengan perubahan dalam
kuantitas dan kualitas sampah. Terlepas dari penyebab perubahan keasaman dan
komposisi jenis tanaman yang terkait, pH rendah cenderung dikaitkan dengan
tingkat dekomposisi yang rendah.

c. Temperatur (Suhu)
Temperatur

mempengaruhi

proses

dekomposisi

secara

langsung

dengan

meningkatkan aktivitas mikroba dan secara tidak langsung dengan mengubah


kelembaban tanah serta kuantitas dan kualitas masukan bahan organik ke dalam
tanah. Meningkatnya suhu menyebabkan peningkatan eksponensial dalam proses
respirasi mikroba pada rentang temperatur yang luas sehingga mempercepat
mineralisasi karbon organik menjadi CO2. Keadaan temperatur yang tinggi secara
terus menerus menyebabkan proses dekomposisi berlangsung dengan lebih cepat.
Temperatur juga memiliki banyak efek tidak langsung terhadap proses dekomposisi.
Temperatur tinggi mengurangi kelembaban tanah dengan meningkatkan proses
evaporasi dan transpirasi.
d. Mineral Lempung (liat)
Mineral lempung (liat) dapat mengurangi tingkat dekomposisi terhadap bahan
organik tanah, sehingga dapat meningkatkan kandungan organik tanah. Lempung
mengubah lingkungan fisik tanah dengan meningkatkan kapasitas menahan air. Hal
ini mengakibatkan terjadinya pembatasan suplai oksigen yang dapat mengurangi
tingkat dekomposisi pada tanah lempung basah. Bahkan pada kelembaban tanah
yang sedang, mineral lempung dapat meningkatkan akumulasi bahan organik
dengan: mengikat bahan organik tanah; mengikat enzim mikroba; dan mengikat
produk aktivitas eksoenzim terlarut. Dapat dikatakan, efek akhir dari pengikatan
yang dilakukan oleh mineral lempung ini adalah perlindungan materi organik tanah
dan pengurangan tingkat dekomposisi.
e. Gangguan pada Tanah (aksesbilitas)
Gangguan pada tanah berpengaruh pada peningkatan dekomposisi dengan
mempromosikan proses aerasi serta mengekspos permukaan baru untuk proses
penyerangan oleh mikroba. Mekanisme dimana proses gangguan ini merangsang
terjadinya dekomposisi pada dasarnya sama pada semua skala; mulai dari
pergerakan cacing di dalam tanah sampai proses pengolahan tanah pada bidang
pertanian. Peristiwa proses ini pada hakikatnya mengganggu agregat tanah sehingga
bahan organik yang terkandung di dalamnya menjadi lebih terbuka terhadap
oksigen dan kolonisasi oleh mikroba. Dampak gangguan pada tanah ini yang paling

menonjol terlihat pada keadaan tanah basah yang hangat dimana proses aerasi
yang telah meningkat ini besar pengaruhnya terhadap proses dekomposisi.
2. Kualitas dan Kuantitas Substrat
Terdapat 5 sifat kimia bahan organik yang saling berkaitan dalam menentukan
kualitas substrat, yaitu ukuran molekul, jenis ikatan kimia, keteraturan struktur,
toksisitas, dan konsentrasi nutrisi. Setiap sifat dapat berfungsi sebagai indikator tingkat
laju dekomposisi karena sifat-sifat tersebut cenderung saling berkorelasi. Rasio
perbandingan konsentrasi karbon dengan nitrogen (rasio C:N) misalnya, sering
digunakan sebagai indeks dari kualitas pupuk karena dengan rasio C : N yang rendah
(konsentrasi nitrogen tinggi), umumnya mengalami dekomposisi yang cepat.
Materi organik tanah dihasilkan dari sampah oleh mikroba. Setelah mikroba ini
mati, komponen chitin serta komponen solid lain pada dinding sel mikroba tersebut
menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi massa dari sampah yang menghasilkan
senyawa humik. Hal inilah yang mengakibatkan pengurangan kualitas bahan organik
tanah secara bertahap (penuaan).
Komponen-komponen yang berbeda usia dari materi organik tanah ini dapat
mempengaruhi dekomposisi karena partikel baru bersifat kurang padat apabila
dibandingkan dengan yang tua dan cenderung tidak terikat pada partikel mineral tanah.
Keadaan tanah dimana memiliki proporsi materi organik tanah yang besar dalam
pecahan ringan, umumnya memiliki tingkat dekomposisi yang tinggi.
3. Komposisi Komunitas Mikroba dan Kapasitas Enzimatis
Aktivitas enzim dalam tanah bergantung pada komposisi komunitas mikroba dan
sifat dari matriks tanah. Komposisi dari komunitas mikroba berperan sangat penting
karena berpengaruh terhadap jenis dan tingkat produksi enzim. Enzim pemecah substrat
umum seperti protein dan selulosa, dihasilkan oleh begitu banyak jenis mikroba.
Aktivitas enzim tanah juga dipengaruhi oleh tingkat laju penonaktifan enzim di dalam
tanah, baik oleh degradasi ataupun dengan cara mengikat mineral tanah. Peristiwa
pengikatan enzim ke permukaan eksternal dari akar atau mikroba mengakibatkan
perpanjangan aktivitas enzim di dalam tanah, sedangkan pengikatan terhadap partikel
mineral dapat mengurangi aktivitasnya.
Rasio C/N

Perbandingan C/N berguna sebagai penanda kemudahan perombakan bahan organik dan
kegiatan jasad renik tanah. Kebanyakan energi yang diperlukan untuk mempertahankan populasi
tanah berfungsi dan mendukung kelangsungan proses tanah yang begitu banyak berasal dari
konversi karbondioksida. Ratio karbon dan nitrogen (C/N) mempunyai arti penting misalnya
apakah terjadi kompetisi antara jasad renik dan tanaman terhadap kebutuhan unsur hara nitrogen.
C/N berguna untuk mengetahui tingkat pelapukan dan kecepatan penguraian bahan organik serta
ketersedianya unsur hara nitrogen dalam tanah. (Bachtiar, 2006). Bahan organik yang
mempunyai C/N masih tinggi berarti masih mentah. C/N yang tinggi dianggap merugikan karena
bila diberikan langsung ke dalam tanah, maka bahan organik tersebut akan diserang oleh
mikrobia untuk memperoleh energi.
Leguminosa
Tanaman kacang-kacangan (leguminosa) merupakan tanaman yang penting dalam bidang
pertanian karena mempunyai bintil akar yang dapat menambat nitrogen langsung dari udara. Gas
nitrogen akan diolah menjadi senyawa yang dapat digunakan oleh tanaman. Nodul akar
merupakan rangkaian proses dimana rhizobia berinteraksi dengan akar tanaman legume untuk
membentuk nodul akar. Rhizobia merupakan kelompok organisme (bakteri) yang menambat N 2
dengan akar tanaman (terutama legume) secara kolektif. Rhizobia tertarik ke permukaan akar
tanaman, kemudian memperbanyak diri dan menyerang sel-sel dengan cara yang spesifik
melibatkan interaksi antar makromolekul (terdiri atas karbohidrat dan protein) yang disebut
dengan lektin. Infeksi rhizobia terhadap akar akan berkelanjutan sampai ke korteks, kemudian
membelah diri membentuk sel-sel akar. Bakteri juga membentuk suatu komplek enzim yang
dibutuhkan untuk menambat nitrogen. Bentuk rhizobia dalam satu sel akar yang mengandung
nodul aktif disebut bakteriod. Bakteriod membutuhkan oksigen yang diperlukan untuk
membentuk energi tingkat tinggi, yaitu ATP yang akan digunakan untuk membentuk nitrogen
bebas di udara melalui pembentukan enzim nitrogenase. Enzim nitrogenase ini labil terhadap
oksigen. Untuk mengatasi hal ini, oksigen dikontrol oleh fe-hame-protein berwarna jingga yang
disebut leghenoglobin. Mekanisme penambatan nitrogen bebas di udara mulai berlangsung
dengan melibatkan enzim nitrogenase dan energi pemutus ikatan rangkap tiga dari dua atom
nitrogen, yaitu ATP (Adenosin Tri Phosphate).
Proses Penambatan Nitrogen pada bintil akar

Proses ini membutuhkan sumber elektron dan proton serta molukel ATP kompleks enzim
nitrogenase. Sumber elektron dan proton berasal dari kabohidrat yang ditranslokasikan dari daun,
kemudian direspirasikan oleh bakteri. Respirasi karbohidrat dalam bakteroid menyebabkan
reduksi NAD+ menjadi NADH atau NADP+ menjadi NADPH dan juga terjadi reduksi
flavodoksin. NADH, NADPH, dan flavodoksin kemudian mereduksi feredoksin atau protein
yang secara efektif mereduksi N2 menjadi NH4+.
NH4+ yang terbentuk akan ditranslokasikan dari bakteroid sebelum dapat dimetabolisme
dan digunakan oleh tanaman inang. Dalam sitosol sel-sel yang mengandung bakteroid, NH 4+
diubah menjadi glutamine, asam glutamate, dan asparagine. Sedangkan pada beberapa spesies
tertentu, NH4+ dapat diubah menjadi senyawa-senyawa kaya nitrogen yang disebut ureida. Dua
macam ureida pokok pada tanman legum adalah allantoin dan asam allantoik.
Melalui sel transfer, asparagin dan ureida masuk ke dalam saluran xylem, kemudian
diangkut ke akar dan batang. Di sini senyawa-senyawa tersebut dipecah kembali menjadi NH 3+
dan secara cepat diubah menjadi asam-asam amino, amida, dan protein yang dibutuhkan oleh
tanaman.
Pengelolaan Bahan Organik Tanah
Upaya pengelolaan bahan organik tanah yang tepat perlu menjadi perhatian yang serius
agar tidak terjadi degradasi bahan organik tanah. Penambahan bahan organik secara kontinyu
pada tanah merupakan cara pengelolaan yang murah dan mudah. Namun demikian, walaupun
pemberian bahan organik pada lahan pertanian telah banyak dilakukan, umumnya produksi
tanaman masih kurang optimal karena rendahnya unsur hara yang disediakan dalam waktu
pendek serta rendahnya tingkat sinkronisasi antara waktu pelepasan unsur hara dari bahan
organik dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara. Kualitas bahan organik sangat menentukan
kecepatan proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik.
Pengaruh kualitas bahan organik terhadap dekomposisi dapat digunakan sebagai acuan
dalam seleksi bahan organik yang tepat untuk meningkatkan sinkronisasi dan efisiensi
penggunaan hara tanaman. Apabila penyediaan unsur hara tidak sinkron, maka akan terjadi
defisiensi unsur hara atau kelebihan unsur hara, meskipun jumlah total penyediaan sama dengan
jumlah total kebutuhan. Kandungan hara N, P, dan S sangat menentukan kualitas bahan organik
(Handayanto, 1999).

Nisbah C/N dapat digunakan untuk memprediksi laju mineralisasi bahan organik. Jika
bahan organik mempunyai kandungan lignin tinggi, maka kecepatan mineralisasi N akan
terhambat. Lignin adalah senyawa polimer pada jaringan tanaman berkayu yang mengisi rongga
antar sel tanaman, sehingga menyebabkan jaringan tanaman menjadi keras dan sulit untuk
dirombak oleh organisme tanah. Selain itu, polifenol berpengaruh terhadap kecepatan
dekomposisi bahan organik. Semakin tinggi kandungan polifenol dalam bahan organik, maka
akan semakin lambat proses dekomposisi dan mineralisasi. Polifenol adalah senyawa aromatik
hidroksil yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni polifenol sulit larut
dan polifenol mudah larut. Sifat khas dari polifenol adalah kemampuannya dalam membentuk
kompleks dengan protein, sehingga protein sulit dirombak oleh organisme perombak. Selain itu,
polifenol juga dapat mengikat enzim organisme perombak, sehingga aktivitas enzim menjadi
lemah (Suntoro, 2003).

KESIMPULAN
Dengan penggunaan bahan organik di lahan pertanian, keseimbangan tanah lebih terjaga
karena dapat memperbaiki sifat biologi, fisika, dan kimia tanah. Pencemaran oleh kegiatan
pertanian dapat diminimalisir sehingga produk yang dihasilkan cukup aman dan bergizi serta
baik untuk kesehatan. Selain untuk konsumen, dapat pula menciptakan lingkungan yang sehat
dan aman bagi petani. Produktifitas lahan pertanian dapat dijaga dan ditingkatkan dalam jangka
waktu panjang serta melestarikan sumber daya alam dan lingkungan di sekitarnya.
Keanekaragaman hayati dapat dipertahankan karena adanya sistem daur ulang dengan
mengaktifkan jasad renik, flora, dan fauna. Dengan demikian, tujuan pertanian organik dapat
tercapai melalui penambahan bahan organik ke tanah karena mampu mengurangi penggunaan
input bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Atmojo, Suntoro Wongso. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan
Upaya Pengelolaannya. Sebelas Maret University Press: Surakarta
Bachtiar, E. 2006. Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera: Medan
Bastaman, Syarif, M.Sc. 2013. Perbaikan Kesehatan Tanah dengan Bahan Organik Untuk
Kendalikan Jamur Patogen Ganoderma. PT Mitra Sukses Agrindo (MSA): Jakarta
Budianta, D dan Ristiani, D. 2013. Pengelolaan Kesuburan Tanah Mendukung Pelestarian
Sumberdaya Lahan dan Lingkungan. 196 p

Handayanto, E. 1999. Komponen Biologi Tanah Sebagai Bioindikator Kesehatan dan


Produktivitas Tanah. Universitas Brawijaya: Malang
Handayanto, E dan Hairiah, K. 2009. Biologi Tanah (Landasan Pengelolaan Tanah Sehat).
Pustaka Adipura. Hal 133-140
Sutanto, Rachman. 2005. Pertanian Organik, Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.
Penerbit Kanisius: Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai