Anda di halaman 1dari 3

Sufisme dan Peran Mengurai Ambivalensi

Agama
Oleh: Zulfan Taufik

Kekerasan atas nama agama sering mewarnai kehidupan


manusia. Di Indonesia misalnya, selama lebih dari satu dasawarsa,
berbagai insiden kekerasan terkait dengan isu-isu keagamaan
seringkali terjadi. Bentuk dan modusnya pun bervariasi. Mulai dari
kerusuhan atau amuk massa yang berdampak pada jatuhnya korban
jiwa dan kerusakan properti milik kelompok keagamaan, bentrok
antar komunitas agama di berbagai wilayah, serangan teror
pengeboman yang menimpa berbagai gereja di berbagai kota besar
Indonesia, serta berbagai kekerasan sektarian yang menimpa
kelompok atau aliran keagamaan yang dipandang sesat seperti
Ahmadiyah.
Disharmoni tersebut, tidak jarang disebabkan oleh keyakinan
bahwa semua agama adalah berbeda, baik dalam dimensi eksoterik
maupun dalam dimensi esoterik, bahkan bertentangan satu sama
lain. Keyakinan tersebut mengakibatkan munculnya berbagai
kelompok yang rela terlibat konflik, bahkan berperang dan
membunuh dengan berbagai penganut agama lain.
Selama berabad-abad, agama telah menjadi pengawal
peradaban manusia. Kebudayaan dengan pelabagai perniknya
berkembang subur dan berbunga harum tak lepas dari peranan
agama dan agamawan, di mana agama dianggap sebagai bagian
kebudayaan itu sendiri, bahkan menjadi elemen dasar kehidupan baik
komunal maupun individual. Namun, tak dapat disangkal pula bahwa
agama telah mendapat tantangan berat dan kini sedang
dipertaruhkan pamornya. Sejarah menunjukkan bahwa cinta kasih,
pengorbanan diri, dan pengabdian kepada orang lain sering kali
memang berakar pada pandangan dunia keagamaan; Pada saat yang
sama, sejarah dengan jelas menunjukkan pula bahwa agama sering
kali justru memperlihatkan contoh terburuk perilaku manusia. Dengan
kata lain, di satu sisi agama diharapkan turut ambil bagian dalam
gerak aktual proses humanisasi, di sisi lain agama kerap kali justru
merusak dan menghambat proses tersebut.
Melihat agama di dalam konteks sosial, tidak dapat semata
dimaknai sebagai ritus, doa, dan pengalaman mistik yang bersifat

personal dan unik, namun ia juga hadir dengan fungsi manifes dan
laten yang kadang tidak dikehendaki oleh pemeluknya sendiri. Di satu
sisi, agama dapat menjadi sarana integrasi sosial, mengikat
solidaritas sesama penganutnya dalam jamaah, gereja, sangha, dan
komunitas-komunitas keagamaan, wahana pencipta, pembangun, dan
pemelihara perdamaian dan kedamaian; sekaligus instrumen yang
cukup efektif bagi disintegrasi sosial, mencipta konflik, ketegangan,
friksi, kontradiksi, dan bahkan perang.
Charles Kimball (2003: 15) mengingatkan bahwa ketika agama
ditempatkan secara keliru, bisa berubah menjadi kekuatan pembunuh
yang mengerikan, korup, dan jahat. Menurutnya, ada lima faktor yang
bisa membuat agama busuk dan menjadi bencana dengan
mendukung terciptanya ideologisasi konflik dan kekerasan atas nama
agama, peminggiran yang lain dan berbeda, dan penegasian atas
pluralitas keberagamaan. Pertama, bila agama mengklaim kebenaran
dirinya sebagai kebenaran mutlak, absolut, dan tak tergugat.
Sementara klaim kebenaran agama-agama lain adalah palsu dan
tidak benar. Kedua, kepatuhan buta kepada pimpinan agama. Ketiga,
kecenderungan pada zaman yang ideal. Zaman ini dipahami sebagai
zaman di mana manusia terbebaskan dari beban dosa, kekacauan,
kejahatan, dan yang paling penting tercapainya kebahagiaan hidup
yang sejati nan sempurna. Keempat, agama melakukan pembenaran
terhadap segala cara untuk mencapai tujuan. Kelima, agama
menyerukan perang suci (holy war). Perang suci yang semestinya
dipahami
sebagai
pembelaan
defensif,
justru
sering
kali
diinterpretasikan sebagai bentuk perlawanan ofensif.
Dari sini dapat dipahami bahwa keberadaan agama mengemban
dua fungsi sekaligus, yaitu memupuk persaudaraan dan perpecahan.
Manakala agama selalu mengedepankan absolutisme klaim
kebenaran, memotivasi diri dengan mekanisme ketakutan, dan
mereduksi dirinya hanya pada tataran institusi, maka agama akan
selalu
terperangkap
dalam
kecenderungan-kecenderungan
kontradiktif. Ketidakpekaan agama terhadap kecenderungankecenderungan kontradiktifnya akan membuatnya semakin lemah,
terutama ketika harus berhadapan dengan modernitas yang antara
lain ditandai oleh penghargaan terhadap otonomi manusia dan
pengutamaan perspektif sekuler yang memang relativistik. Bila
agama tak menyadari itu semua, maka kehidupan religius akan
mengalami, apa yang disebut Claude Geffra (1969: 85) sebagai
alienasi kultural.

Kenyataan ambivalensi demikian, menuntut adanya suatu


pendekatan baru dalam pemahaman agama yang lebih progresif,
pluralis, dan inklusif, sehingga kita bisa lebih optimis untuk kehidupan
keagamaan di masa depan dan tidak terjebak pada truth claim dan
peggunaan double standard yang ada dalam masing-masing agama.
Dalam konteks inilah, sufisme menjadi wakil Islam yang paling
kompeten untuk melakukan dialog sejati antara Islam dan agamaagama lain berkat kemampuannya menggali makna batini (the inner
meaning) dengan menerobos bentuk-bentuk lahiriah.
Ibn al-Arabi, misalnya, berpandangan bahwa orang yang
menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang
Tuhan adalah orang yang bodoh. Pasalnya, Tuhan dalam
kepercayaannya
sendiri,
sebagaimana
dalam
kepercayaankepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana
Dia sebenarnya. Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat
diketahui. Ini sama dengan mengetahui Tuhan yang tidak dapat
diketahui (to know the Unknowable God). Orang seperti itu mengakui
hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan
kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk
berbagai kepercayaan lain. Padahal, Tuhan yang menampakkan diriNya dalam semua bentuk kepercayaan yang berbeda-beda itu adalah
satu dan sama.
Perjumpaan dan dialog agama-agama bagi para sufi, sangat
dianjurkan dengan sikap dan pemahaman yang terbuka, sehingga
dapat memberikan kontribusi bagi kerukunan antar umat beragama.
Keyakinan dan pemahaman seperti ini sangat dibutuhkan untuk
memberikan perspektif baru kepada masyarakat dalam memandang
agama lain. Sehingga dengan pemikiran yang terbuka terhadap
keyakinan agama lain, konflik yang melibatkan agama dapat
diminimalisasi dan bahkan ditiadakan.

Anda mungkin juga menyukai