Anda di halaman 1dari 9

Asma

Oleh : Sri Puspita Sari

Pengertian
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif
intermiten, reversible di mana trakea dan
bronki berespns dalam secara hiperaktif
terhadap reaksi stimulus tertentu (Brunner
& Sudarth, 2002).
Asma adalah gangguan pada bronkus yang
ditandai dengan bronkospasme periodic
yang reversible atau kontraksi
berkepanjangan saluran napas bronkus
(Black & Hawk, 2014).

Uji diagnosis Asma


Pemeriksaan yang ditemukan pada pasien
asma biasanya pasien mengalami kesulitan
bernapas yang ditandai adanya napas
cuping hidung, nafas melalui mulut, dan
penggunaan otot bantuan napas. Pada saat
diauskultasi terdapat mengi (wheezing),
terutama pada ekspirasi (Black & Hawk,
2014). Selain itu penting untuk mengkaji
riwayat alergi, penyebab dan gejala lain
padea alergi seperti sinusitis atau rhinitis.

Diagnosis pada asma ditegakkan berdasarkan


manifestasi klinis, hasil spirometri dan
respons terhadap terapi.
Spirometri menunjukan penurunan aliran udara ekspansi
puncak (peak expiratory flow reta / PEFR), polume expansi
paksa ( Forced expiratory volume / FEV) dan kapasitas residu
fungsional (fungsional residual capacity / TLC), asma
didefinisikan sebagai peningkatan volume ekspansi paksa
dalam satu detik (FEV1) setelah inhalasi preparat bronkodilator
betagonis sehingga menimbulkan obstruksi jalan napas yang
reversible. Pengkajian dasar untuk status pulmonal meliputi
oksimetri nadi dan analisa gas darah arteri. Oksimetri nadi
biasanya menunjukan saturasi oksigen yang rendah dan hasil
AGD biasanya menunjukan beberapa derajat hipoksemia, pada
keadaan berat terjadi peningkatan tekanan parsial karbon
dioksida arteri / PCO2 (Black & Hawk, 2014).
Oksimetri nadi untuk menunjukan saturasi oksigen
Analisa gas darah

Pada pasien asma riwayat kesehatan perlu dikaji secara


lengkap termasuk keluarga, lingkungan, riwayat pekerjaan
dan ungkapan factor-faktor yang mencetuskan serangan
asma, tes kulit positif atau Uji prick yaitu masukan
allergen melalui tusukan jarum di kulit pada sisi volar
lengan bawah, untuk mengetahui sensitivitas terhadap
allergen (Rasmin, M. dkk. 2001).
Selama episode akut rontgen dada dapat menunjukan
hiperinflasi dan pendataran diagfragma. Pemeriksaan
sputum dan darah dapat menunjukan eosinofilia (kenaikan
kadar eosinofil), terjadi peningkatan kadar serum
immunoglobulin E (igE) pada asma alergik (ekstinsik)
sputum berwarna jernih atau berbusa faktornya
disebabkan dari pajanan serbuksari, obat, makanan dan
debu. Pada asma non alergik (intrinsic/idiopatik) seputum
berwarna putih dan berserabut factor yang
mencetuskannya biasanya dari stress dan aktivitas fisik
sering terjadi pada usia diatas 40 tahun.

Penatalaksanaan Medis pasien


dengan Asma
Agonis

beta (agen -adrenergik) adalah medikasi awal yang


digunakan dalam mengobati asma karena agen ini mendilatasi
otot-otot polos bronchial. Agens adenergik juga meningkatkan
gerakan siliaris, menunjukan menurunkan mediator kimiawi
anafilaktik dan dapat menguatkan efek bronkhodilatasi dari
kortikosteroid
Metilsantin seperti aminofilin dan teofilin. Digunakan karena
mempunyai efek bronkhodilatasi. Agen ini membuat rileks otot
polos bronkus, meningkatkan gerakan mucus dalam jalan napas
dan meningkatkan kontraksi diagfragma.
Antikolinergik seperti atropine, tidak pernah digunakan dalam
riwayatnya untuk penggunaan rutin asma karena efek
sampingnya sistemik. Seperti kekeringan pada mulut,
penglihatan mengabur, berkemih anyang-anyangan, palpitasi
dan flusing.

Kortikosteroid

penting dalam pengobatan asma. Medikasi


ini mungkin diberikan secara intravena (hidrokortisol),
secara oral (prednisone, prednisolon) atau melalui
inhalasi (benklometason, dexametason) mekanisme
kerjanya belum jelas, medikasi ini untuk mengurangi
inflamasi dan bronchodilator. Kortikosteroid telah terbukti
efektif dalam pengobatan asma dan PPOK.
Inhibitor sel mast, natrium kromolin suatu inhibitor sel
mast adalah bagian integral dari pengobatan asma.
Medikasi ini diberikan melalui inhalasi. Medikasi ini
mencegah pelepasan mediator kimiawi anafilaktik,
dengan demikian mengakibatkan bronkhodilasi dan
penurunan inflamasi jalan napas.
Suplai oksigen diberikan apabila PO 2 turun atau dibawah
60 mmHg, apabila terjadi distress pernapasan dan
kelelahan lakukan intubasi (Black & hawk, 2014).

Allergen, genetika, usia,


stress, aktivitas

Mengaktifkan IgE
Reaksi antibody
Histamine bradikidin
prostagladin

Mengaktifkan saraf
otonom
Invpus saraf vegal
melalui parasimpatis

Inflamasi
Pelepasan mediator otot polos
Pembentukan mukus

Pelepasan asetilkolin
bronkhokontriksi

Asma
Antihistamin
steroid

>netrofil + makrofag

Antikolinergik
Bronchodilator
Beta agonis
metilsantina

Batuk
Sesak
Napas pendek
Mengi
Sekresi mukus

Tidak ada respon


Berlangsung 24 jam

Akumulasi udara pada


rongga pleura

Kerusakan
alveolar &
jaringan ikat

pneumotorak
emfisema
Sumbatan pada
alveolus

Gangguan
tekanan paru

atelektasis
Gagal napas

Status asmatikus

Terimakasih..

Anda mungkin juga menyukai