Anda di halaman 1dari 12

1

PENGARUH AKTIVITAS ORGANISASI TERHADAP KECERDASAN


EMOSIONAL MAHASISWI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
Departemen Luar Negeri, BEM FK UNS
ABSTRAK
Kurikulum pendidikan di Indonesia hanya berdasarkan pada hardskill yang
berhubungan dengan tingkat IQ (Intelegent Quotient), sehingga cenderung
menciptakan lulusan yang hanya mahir secara teori. Golemann (1995) menyatakan
bahwa kesuksesan lulusan perguruan tinggi ditentukan oleh IQ sebesar 20%
sedangkan EQ (Emotional Quotient) sebesar 80%.1 Dengan demikian EQ berperan
penting bagi pengembangan softskill mahasiswa. Keterlibatan aktif mahasiswa dalam
organisasi mampu meningkatkan kemampuan softskill yang ditunjukkan melalui
peningkatan EQ. Mahasiswi sebagai calon ibu memiliki peranan penting dalam pola
asuh anak. Ada keterkaitan EQ anak dengan pengalaman organisasi dan pendidikan
orang tua mereka. Sehingga, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
aktivitas organisasi terhadap EQ mahasiswi FK UNS.
Penelitian ini bersifat observational analitik dengan pendekatan case control
dan menggunakan teknik complex random sampling. Penelitian ini dilakukan di FK
UNS dengan subjek penelitian mahasiswi semester III, V, dan VII. Besar sampel pada
penelitian diperoleh berdasarkan rumus2 dengan (standar deviasi EQ subjek
penelitian) = 8, (perkiraan perbedaan rerata antara subjek dengan control) = 18,
(batas kepercayaan) = 0,05. Jumlah sampel yang diperoleh adalah 107 orang pada tiap
kelompok. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner Wong and Law Emotional
Intelligence Scale. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji t
tidak berpasangan.
Hasil uji t tidak berpasangan menunjukkan adanya perbedaan rerata antara
kelompok mahasiswi yang aktif berorganisasi dengan mahasiswi yang tidak aktif
berorganisasi. Rata-rata skor EQ pada kelompok mahasiswi yang aktif berorganisasi
sebesar 61,18, sedangkan pada kelompok mahasiswi yang tidak aktif berorganisasi
sebesar 56,58. Hasil uji t 2-tailed menunjukkan signifikansi sebesar 0,000, sehingga
nilai signifikansi untuk uji t 1-tailed sebesar 0.000. Dengan demikian, terdapat
perbedaan yang sangat signifikan antara skor EQ pada kelompok mahasiswi yang
aktif berorganisasi dengan yang tidak aktif berorganisasi.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara
aktivitas organisasi terhadap kecerdasan emosional pada mahasiswi FK UNS (p=
0,000).

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kurikulum pendidikan di Indonesia hanya berdasarkan pada hardskill yang
berhubungan dengan tingkat IQ (Intelegent Quotient). Kurikulum tersebut cenderung
menciptakan lulusan yang hanya mahir secara teori. Golemann menyatakan
bahwasannya kesuksesan lulusan perguruan tinggi ditentukan oleh IQ (Intelegent
Quotient) sebesar 20% sedangkan EQ Emotional Quotient) sebesar 80%.1 Dengan
demikian EQ berperan penting bagi pengembangan softskill mahasiswa.
Helmi dalam bukunya yang berjudul Model Mahasiswa yang Berdaya Saing
menyatakan bahwa mahasiswa harus memiliki lima kemampuan dasar yaitu IQ
(Intelegent Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), IT
(Information and
Technology) dan english skill, maka seorang mahasiswa
seharusnya memenuhi kelima aspek tersebut.3
Organisasi berperan penting dalam pengembangan softskill mahasiswa.
Keterlibatan aktif mahasiswa dalam organisasi mampu meningkatkan kemampuan
softskill. Kemampuan softskill ini ditunjukkan melalui peningkatan kecerdasan
emosional (Emotional Quotient, EQ). Aktifitas mahasiswa dalam berorganisasi
sangat berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosional.4 Pengembangan
EQ mahasiswa juga dapat dilakukan melalui kegiatan intra maupun ekstra kampus.
Sebagai contoh, keterlibatan mahasiswa dalam organisasi intra kampus dapat
mengasah kemampuan bersosialisasi dan kemudian dapat meningkatkan kecerdasan
secara emosional.
Beberapa studi tentang EQ menyatakan bahwa EQ mempengaruhi kualitas kerja
seseorang. EQ terbukti mempunyai dampak pada kualitas leadership seseorang dalam
organisasi,5,6 manajemen, dan pendidikan leadership. EQ terbukti dibutuhkan dalam
job performance, interpersonal relationships, dan problem solving.
Mahasiswi sebagai calon ibu memiliki peranan penting dalam polah asuh anak.
Pola asuh anak yang baik akan meningkatkan kecerdasan emosional anak tersebut.
Ada keterkaitan emotional quotient seorang anak dengan pengalaman organisasi dan
pendidikan orang tua mereka. Harod dan Scheer (2005) mengatakan bahwa tingkat
EQ remaja yang tinggi mempunyai korelasi yang signifikan dengan pengalaman
organisasi dan tingkat pendidikan kedua orang tua. Semakin tinggi pengetahuan
orang tua akan EQ maka semakin tinggi EQ anak (remaja) tersebut. Faktanya, budaya
dan norma yang berlaku dalam masyarakat mempengaruhi pola asuh orang tua yang
mengarah pada pengembangan EQ anak.6,7
Berdasarkan beberapa studi di atas, kedua orang tua terutama ibu seharusnya
memiliki EQ yang tinggi sehingga generasi muda kita memiliki EQ dan kualitas kerja

yang tinggi. Subjek penelitian ini adalah mahasiswi semester III, V, dan VII yang
seharusnya dipersiapkan untuk menjadi seorang ibu yang baik. Maka penulis tertarik
untuk meneliti Pengaruh Aktivitas Organisasi terhadap Kecerdasan Emosional pada
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Landasan Teori
Kecerdasan Emosi
Konsep kecerdasan emosi berdasarkan Aristoteles adalah those who possess the
rare skill to be angry with the right person, to the right degree, at the right time, for
the right purpose and the right way, are at en adventegous in any domain of life.8
Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu mengendalikan
emosi pada setiap kondisi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwasannya EQ
(Emotional Qoutient) lebih penting daripada IQ (Intellegent Quotient) dalam dunia
bisnis dan karier seseorang.1,9
Terdapat dua pendekatan perihal model EQ dan skalanya. Pertama, semuanya
adalah model kemampuan, skill yang lebih berfokus pada hubungan antara emosi dan
kecerdasan.10 Model pertama diterapkan oleh Mayer dan Salovey, sedangkan model
kedua diterapkan oleh BarOn dan Golemann. Model kedua merupakan model
campuran yang mencakup struktur kemampuan mental, eksistensi dan perlengkapan.
Konsep EQ lebih awal diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer namun lebih
dipopulerkan oleh Golemann. Salovey dan Mayer mendefinisikan EQ sebagai
kemampuan individu untuk memahami kemampuan diri sendiri dan lingkungan
perihal emosi dan perasaan, membedakan dan menggunakan pengetahuan yang
dimiliki dalam proses dan kegiatan pembuatan keputusan.10 Golemann memiliki
pendekatan lebih popular perihal EQ. Golemann mendefinisikan EQ pada empat
faktor yakni self awareness, self management, social awareness dan social skills.1
Self awareness didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengetahui segala yang
dirasakan secara pribadi, mengevaluasi skill sesuai dengan kenyataan, dan memiliki
kepercayaan diri. Self menegement didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengatur
perasaan menjadi lebih baik dalam setiap aktifitas, memelihara sikap positif terhadap
tujuan pribadi. Social awareness didefinisikan sebagai perasaan empati kepada orang
lain, menerima segala sudut pandang lingkungan, dan beradaptasi pada beragam
kharakteristik orang. Social skills didefinisikan sebagai kemampuan mengatur
perasaan dalam hubungan interpersonal, dan memahami jaringan sosial serta
berinteraksi secara pantas.11

Wong and Law dalam Davies et al. (2008)12 menggunakan empat dimensi
Emotional Intelligence (EI) antara lain:
1. Appraisal and expression of emotion in oneself
Hal ini berhubungan pada kemampuan individu untuk memahami emosinya
secara mendalam dan mengekspresikan emosi secara alamiah. seseorang yang
memiliki kemampuan yang bagus pada poin ini, akan mengetahui dan
memahami emosinya lebih baik daripada sebagian besar orang.
2. Appraisal and recognition of emotion in others
Hal ini berhubungan dengan kemampuan individu untuk merasa dan
memahami emosi orang-orang di sekitarnya. seseorang yang memiliki rerata
skor tinggi pada poin ini akan lebih sensitif pada emosi orang lain sebaik pula
untuk memprediksikan respon emosi orang lain.
3. Regulation of emotion in oneself
Hal ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatur
emosinya, mampu memulihkan stress psikologis lebih cepat. Seseorang yang
memiliki rerata skor tinggi pada poin ini akan mampu kembali normal dari
kekecewaan yang telah melanda kehidupannya.
4. Use of emotion to facilitate performance
Hal ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menggunakan
emosinya sebagai aktifitas konstruktif dan kinerja diri. Seseorang yang
memiliki rerata skor tinggi pada poin ini akan mampu memotivasi diri untuk
melakukan hal-hal terbaik secara berkelanjutan.
Kecerdasan Emosi dan Mahasiswi
Penelitian telah membuktikan bahwa EQ lebih berpengaruh daripada IQ dalam
kehidupan dan pendidikan.1,10 Banyak penelitian menemukan bahwa Emotional
Intelligence penting dalam proses pembelajaran dalam kelas, dalam melaksanakan
tugas-tugas kognitif, dalam dunia kerja, serta meningkatkan performa dalam
interview. Selain itu, riset membuktikan bahwa skill kecerdasan emosional
merupakan hal penting dan mungkin merupakan critical factor dari prestasi pelajar,
daya ingat dan kesehatan . Riset interdisipliner yang luas menemukan bahwa
kecerdasan emosional lebih prediktif terhadap kesuksesan akademis dan karir
seseorang dibandingkan IQ. Berbagai penemuan ini seharusnya menjadi dasar untuk
memasukkan program pengembangan keterampilan emosional dalam program
pendidikan sekolah dan perguruan tinggi.7
Aktivitas Organisasi
Kram dalam Chernis (2001) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
efektivitas organisasi terhadap perkembangan Kecerdasan Emosional. Boyatzis et al.
menyatakan bahwa individu dalam setiap organisasi akan memahami nilai-nilai
organisasi yang berpengaruh terhadap perkembangan Kecerdasan Emosional.
Kecerdasan emosi, seperti dinyatakan Goleman (1995) dalam bukunya, muncul

tertama melalui hubungan dengan orang lain. Pada saat yang sama, kecerdasan emosi
pun berpengaruh pada kualitas hubungan. Menurut Kram dan Chernis, baik hubungan
yang terbentuk secara formal maupun yang terbentuk secara natural dalam organisasi
berkontribusi terhadap kecerdasan emosional.4 Mahasiswa yang merupakan leader
memiliki skor EQ lebih tinggi dibandingkan anggota dalam organisasi kampus.
Selain itu, didapatkan pula perbedaan yang signifikan antara jenis organisasi dengan
skor EQ.13
Hubungan Tingkat EQ Orang Tua dengan EQ Anak
Ada keterkaitan emotional quotient anak dengan pengalaman organisasi dan
pendidikan orang tua. Harod dan Scheer (2005) mengatakan bahwa tingkat EQ
remaja yang tinggi mempunyai korelasi yang signifikan dengan pengalaman
organisasi dan tingkat pendidikan kedua orang tua. Semakin tinggi pengetahuan
orang tua akan EQ maka semakin tinggi EQ anak (remaja) tersebut. Faktanya, budaya
dan norma yang berlaku dalam masyarakat mempengaruhi pola didik orang tua yang
mengarah pada pengembangan EQ anak.7
Pola didik orang tua berdampak besar terhadap perkembangan EQ anaknya.
Orang tua (ibu dan bapak) dengan tingkat EQ yang baik telah terbukti dapat
mempengaruhi kemampuan anaknya dalah hal kontrol diri, kemampuan sosialisasi,
problem solving skills, optimisme, dan strategi. Ibu sebagai orang tua yang lebih
dekat pada anaknya harus dapat mendidik anak mereka dengan baik supaya memiliki
kecerdasan IQ, SQ, dan terutama EQ karena kecerdasan emosional mempengaruhi
kesuksesan seseorang.1 Penelitian Alegre menunjukkan bahwa waktu yang digunakan
seorang ibu untuk memberikan pendidikan dan berinteraksi dengan anak mereka
berkorelasi dengan kemampuan anak dalam beradaptasi, bersosialisasi, dan
interpersonal intelligence yang merupakan salah satu ranah EQ. Akan tetapi
sebaliknya dengan ayah, hanya beberapa aspek dalam EQ yang bisa diajarkan kepada
anaknya saat interaksi. Berdasarkan beberapa studi di atas menunjukkan bahwa pola
asuh ibu memang sangat penting dalam perkembangan EQ anak.

TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui Pengaruh Aktivitas Organisasi terhadap Kecerdasan Emosional
pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat observational analitik dengan pendekatan case control.
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswi semester III, V dan VII Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kriteria inklusi pada penelitian ini

adalah mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta semester


III, V dan VII, aktif dalam kegiatan organisasi intra dan atau ekstra kampus. Kriteria
eksklusi pada penelitian ini adalah mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta semester III, V dan VII yang memiliki pekerjaan part time.
Hal ini dikarenakan pekerjaan part time mampu meningkatkan kecerdasan emosional
mahasiswi.
Teknik sampel yang dipakai adalah complex random sampling. Besar sampel
pada penelitian diperoleh berdasarkan rumus2 dengan (standar deviasi kecerdasan
emosional pada subjek penelitian) = 8, (perkiraan perbedaan rerata antara subjek
dengan control) = 18, (batas kepercayaan) = 0,05. Jumlah sampel yang diperoleh
adalah 107 orang pada tiap kelompok. Digunakan kuesioner penelitian sebagai
pengendali variabel luar dan kuesioner Wong and Law Emotional Intelligence Scale.
Analisis data statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji t tidak
berpasangan.

Desain Penelitian
Mahasiswi FK UNS semester III, V, VII

Tidak Aktif Organisasi


(107)

Aktif Organisasi
(107)

Tes EQ (Emotional Quotient)


Wong and Law Emotional Intelligence Scale
Analisis Uji t tidak berpasangan
Gambar 1. Desain Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sampel Penelitian ini diperoleh dari Mahasiswi Fakultas Kedokteran UNS yang
berada dalam tingkat semester tiga, lima dan tujuh. Penelitian dilakukan pada tanggal
7 September 2009 hingga 14 September 2009. Total Sampel yang disebar sebanyak
107. Data tersebut kemudian dikelompokkan berdasar keaktifan organisasi dan
dihubungkan dengan skor Emotional Quotient (EQ).

Tabel 1. Hasil Uji Normalitas Data


Tests of Normality
AKTIVITAS_
ORG
SKOR_EQ

Kolmogorov-Smirnov(a)

Statistic
Df
AKTIF
.075
107
TIDAK
.083
107
AKTIF
a Lilliefors Significance Correction

Sig.
.171
.066

Pada tabel 1 menunjukkan bahwa signifikansi hampir semua kelompok memiliki


p> 0,05. Pada Uji Kolmogorov-Sminov, Kelompok mahasiswi yang aktif organisasi
memiliki signifikansi sebesar 0,171. Sedangkan mahasiswi yang tidak aktif organisasi
memiliki signifikansi sebesar 0,66. Nilai kedua Uji tersebut memiliki nilai
signifikansi >0,05 sehingga data masing-masing kelompok berdistribusi normal.
Dengan demikian, uji t tidak berpasangan dapat dilakukan.
Tabel 2. Hasil Perbandingan Rerata Masing-masing Kelompok
Group Statistics

SKOR_EQ

AKTIVITAS_OR
G
AKTIF
TIDAK AKTIF

Rerata

Std. Deviation

Std. Error
Rerata

107

61.18

6.677

.645

107

56.58

5.261

.509

Gambar 2. Perbandingan Rerata SKOR EQ Masing-masing Kelompok


Data tersebut kemudian dilakukan uji statistik dengan menggunakan Uji t tidak
berpasangan, hal ini dikarenakan penelitian ini menggunakan subjek yang berbeda.
Pada tabel 2 dan gambar 2, terlihat perbedaan rerata antara kelompok mahasiswi yang

aktif berorganisasi dengan mahasiswi yang tidak aktif berorganisasi. Rata-rata Skor
EQ pada kelompok mahasiswi yang aktif berorganisasi sebesar 61,18. Sedangkan
Rata-rata Skor EQ pada kelompok mahasiswi yang tidak aktif berorganisasi sebesar
56,58. Hasil Uji t 2-tailed menunjukkan signifikansi sebesar 0,000 sehingga nilai
signifikansi untuk Uji t 1-tailed sebesar 0.000. Dengan demikian, terdapat perbedaan
yang sangat signifikan antara skor EQ pada kelompok mahasiswi yang aktif
berorganisasi dengan yang tidak aktif berorganisasi.
Tabel 3. Hasil Uji t
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances

SKOR_EQ

Equal
variances
assumed
Equal
variances
not
assumed

t-test for Equality of Reratas

df

95%
Confidence
Interval of the
Difference

Sig.
(2tailed)

Rerata
Difference

Std. Error
Difference

Lower

Upper

Sig.

3.402

.067

5.595

212

.000

4.598

.822

2.978

6.218

5.595

201.004

.000

4.598

.822

2.978

6.219

Gambar 3. Perbandingan Dimensi EQ Berdasarkan Wong and Law Emotional


Intelligence Scale12
Keterangan :
1 : Appraisal and expression of emotion in oneself
2 : Appraisal and recognition of emotion in others
3 : Regulation of emotion in oneself
4 : Use of emotion to facilitate performance

Gambar 2 memperlihatkan bahwa kelompok mahasiswi yang aktif berorganisasi


memiliki skor lebih tinggi untuk masing-masing dimensi Emotional Quotient (EQ)
dibandingkan dengan kelompok mahasiswi yang tidak aktif berorganisasi. Hal ini
terlihat terutama pada dimensi ke tiga yakni Regulation of emotion in oneself sebesar
1,28. Sedangkan perbedaan rerata untuk dimensi ke satu, dua dan empat adalah
berturut-turut 1,08; 0,97 dan 0,79.
PEMBAHASAN
Sumber daya manusia merupakan modal terpenting dan berharga bagi suatu
bangsa. Untuk mencetak sumber daya manusia sebagai generasi penerus bangsa yang
sehat, cerdas, dan berkualitas, sangat diperlukan peran wanita. Wanita yang sehat
akan mampu untuk memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya, melahirkan bayi
yang sehat, merawat keluarganya dengan baik dan menyumbang lebih banyak lagi
bagi masyarakat. Oleh karena itu, perhatian terhadap peningkatan derajat kesehatan
dan kualitas individu wanita harus dilakukan untuk mendukung pembangunan bangsa
saat ini dan di masa yang akan datang.
Pola didik terhadap anak tidak lepas dari kualitas pendidik terutama wanita yang
melahirkan anak, mengasuh, dan membesarkan anak itu sampai beranjak dewasa. Hal
ini dipengaruhi dengan beberapa aspek kecerdasan termasuk IQ (Intelegent Quotient)
sebesar 20% sedangkan EQ (Emotional Quotient) sebesar 80%.1
Teori yang dinyatakan oleh Goleman (1995) mengenai empat aspek dalam EQ
yaitu self awareness, self management, social awareness, dan social skills
menunjukkan adanya keterkaitan antara EQ dengan pola asuh anak. Bagaimana
seorang ibu menunjukkan self awareness-nya terhadap anak dapat dilihat dari
kemampuan mengetahui segala yang dirasakan secara pribadi, mengevaluasi skill
sesuai dengan kenyataan, dan kepercayaan diri. Dengan adanya self awareness ini,
seorang anak akan melihat ibu sebagai seseorang yang percaya diri dan kuat dalam
menghadapi kenyataan hidup. Dalam aspek self management, seorang ibu
mempunyai kemampuan untuk mengatur perasaan menjadi lebih baik dalam setiap
aktivitas dan memelihara sikap positif terhadap tujuan pribadi. Seorang ibu yang
baik akan mengajarkan anaknya bagaimana menunjukkan empati kepada orang lain.
Hal ini tercermin dalam social awareness yang dimilikinya. Seorang anak akan
belajar bagaimana berinteraksi dan mengendalikan perasaan saat bersama dengan
orang lain dalam hubungan interpersonal dari seorang ibu yang aktif dalam kegiatan
sosial dengan penerapan social skills yang dimilikinya.11
Peningkatan empat aspek dalam EQ dapat dilakukan mulai dari masa kecil
seorang anak sampai usia dewasa, terutama pada waktu menjadi mahasiswa karena
perguruan tinggi merupakan titik utama perkembangan pendidikan. Mengembangkan
EQ dapat membantu mahasiswa dalam beradaptasi dengan tuntutan lingkungan

10

kampus dan untuk mahasiswi EQ dapat mengembangkan kemampuannya dalam


mempersiapkan diri menjadi seorang ibu yang nantinya bertanggung jawab pada
pengasuhan anak.
Peningkatan EQ seorang mahasiswa dapat dilakukan melalui keaktifannya dalam
hal berorganisasi. Berdasar pada studi yang dilakukan oleh Chernis (2001), baik
hubungan yang terbentuk secara formal maupun yang terbentuk secara alamiah dalam
sebuah organisasi berkontribusi terhadap kecerdasan emosional.4
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara skor EQ pada mahasiswi yang aktif berorganisasi dengan yang tidak
aktif berorganisasi. Nilai p yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebesar 0.000
sebagaimana nilai p<0,001 maka hasil penelitian ini sangat signifikan.
Perbedaan rerata nilai EQ tersebut terdiri atas beberapa dimensi. Wang and Law
membagi dimensi EQ menjadi empat bagian yakni (1) Appraisal and expression of
emotion in oneself; (2) Appraisal and recognition of emotion in others; (3)
Regulation of emotion in oneself; dan (4) Use of emotion to facilitate performance.
Berdasarkan gambar 5 terlihat bahwa perbedaan rerata dimensi EQ tertinggi pada
dimensi Regulation of emotion in oneself, Hal ini berhubungan dengan kemampuan
seseorang untuk mengatur emosinya, mampu memulihkan stress psikologis lebih
cepat. Seseorang yang memiliki rerata skor tinggi pada poin ini akan mampu kembali
normal dari kekecewaan yang telah melanda kehidupannya.12 Dengan demikian,
mahasiswi yang aktif berorganisasi diharapkan memiliki kepribadian yang kuat dan
tidak stres dalam menjalani hidup. Kekuatan ini akan sangat berpengaruh dalam
peran yang akan dijalankan sebagai seorang ibu di masa mendatang.

KESIMPULAN
Terdapat pengaruh yang signifikan antara aktivitas organisasi terhadap
kecerdasan emosional pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Surakarta (p= 0,000).

DAFTAR PUSTAKA
1. Golemann D. 1995. Emotional Intellegent: Why It can Matter More Than IQ.
New York: Bantam Book.
2. Gladys SL, Frank JH, and Amy HW. 2009. Exploring The Relationship of
Physical Activity, Emotional Intelligence, and Health in Taiwan College
Students. J Exerc Sci Fit Vol 7 1:5563.

11

3. Helmi AF. 2004. Model Mahasiswa yang Berdaya Saing. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada.
4. Chernis C. 2001. The Emotionally Intellegent Workplace.
5. McDowelle JO and Bell ED. 1997. Emotional intelligence and educational
leadership at East Carolina University. Paper presented at the meeting of the
Annual Meeting of the National Council for Professors of Educational
Administration. North Carolina.
6. Sung HY. n.d. Teachers Perspectives on Change in Student Population and the
Need for Emotional Intelligence in Education.
7. Sung HY. (2007). The influence of culture on parenting practices of East Asian
families and the impact on emotional intelligence of older adolescents.
Dissertation Abstract International, 68(3-A), 877.
8. Offermann LR, Bayley JL, Vasiopolous NL, Seal C and Seass M. 2004. The
Relative Contribution of Emotional Competence and Cognitive Ability to
Individual and Team Performance. Human Perform 17, 2, 219-243, pp: 221.
9. Cooper RK and Sawaf A. 1997. Escecutive EQ: Emotional Intellegent in
Leadership and Organization. New York : Grossett/Puttnam.
10. Salovey P and Meyer JD. 1990. Emotional Intellegence. Imagination, Cognition,
and Personality, 9: 185-211.
11. Rapisarda BA. 2002. The Impact of Emotional Intelligent on Work Team
Cohesiveness and Performance. Intl. J. Org. Anal. 10 (4): 363-379
12. Law KS, Song LJ, and Wong C. 2004. The Construct and Criterion of Emotional
Intelligence and Its Potential Utility for Management Studies. Journal of Applied
Psychology. 2004, Vol. 89, No. 3, 483496
13. Bar-On R. 1997. The Emotional Intellegence Inventory (EQ-i) : Technical
Manual. Toronto Canada : Multy Health System.

12

Anda mungkin juga menyukai