PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kurikulum pendidikan di Indonesia hanya berdasarkan pada hardskill yang
berhubungan dengan tingkat IQ (Intelegent Quotient). Kurikulum tersebut cenderung
menciptakan lulusan yang hanya mahir secara teori. Golemann menyatakan
bahwasannya kesuksesan lulusan perguruan tinggi ditentukan oleh IQ (Intelegent
Quotient) sebesar 20% sedangkan EQ Emotional Quotient) sebesar 80%.1 Dengan
demikian EQ berperan penting bagi pengembangan softskill mahasiswa.
Helmi dalam bukunya yang berjudul Model Mahasiswa yang Berdaya Saing
menyatakan bahwa mahasiswa harus memiliki lima kemampuan dasar yaitu IQ
(Intelegent Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), IT
(Information and
Technology) dan english skill, maka seorang mahasiswa
seharusnya memenuhi kelima aspek tersebut.3
Organisasi berperan penting dalam pengembangan softskill mahasiswa.
Keterlibatan aktif mahasiswa dalam organisasi mampu meningkatkan kemampuan
softskill. Kemampuan softskill ini ditunjukkan melalui peningkatan kecerdasan
emosional (Emotional Quotient, EQ). Aktifitas mahasiswa dalam berorganisasi
sangat berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosional.4 Pengembangan
EQ mahasiswa juga dapat dilakukan melalui kegiatan intra maupun ekstra kampus.
Sebagai contoh, keterlibatan mahasiswa dalam organisasi intra kampus dapat
mengasah kemampuan bersosialisasi dan kemudian dapat meningkatkan kecerdasan
secara emosional.
Beberapa studi tentang EQ menyatakan bahwa EQ mempengaruhi kualitas kerja
seseorang. EQ terbukti mempunyai dampak pada kualitas leadership seseorang dalam
organisasi,5,6 manajemen, dan pendidikan leadership. EQ terbukti dibutuhkan dalam
job performance, interpersonal relationships, dan problem solving.
Mahasiswi sebagai calon ibu memiliki peranan penting dalam polah asuh anak.
Pola asuh anak yang baik akan meningkatkan kecerdasan emosional anak tersebut.
Ada keterkaitan emotional quotient seorang anak dengan pengalaman organisasi dan
pendidikan orang tua mereka. Harod dan Scheer (2005) mengatakan bahwa tingkat
EQ remaja yang tinggi mempunyai korelasi yang signifikan dengan pengalaman
organisasi dan tingkat pendidikan kedua orang tua. Semakin tinggi pengetahuan
orang tua akan EQ maka semakin tinggi EQ anak (remaja) tersebut. Faktanya, budaya
dan norma yang berlaku dalam masyarakat mempengaruhi pola asuh orang tua yang
mengarah pada pengembangan EQ anak.6,7
Berdasarkan beberapa studi di atas, kedua orang tua terutama ibu seharusnya
memiliki EQ yang tinggi sehingga generasi muda kita memiliki EQ dan kualitas kerja
yang tinggi. Subjek penelitian ini adalah mahasiswi semester III, V, dan VII yang
seharusnya dipersiapkan untuk menjadi seorang ibu yang baik. Maka penulis tertarik
untuk meneliti Pengaruh Aktivitas Organisasi terhadap Kecerdasan Emosional pada
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Landasan Teori
Kecerdasan Emosi
Konsep kecerdasan emosi berdasarkan Aristoteles adalah those who possess the
rare skill to be angry with the right person, to the right degree, at the right time, for
the right purpose and the right way, are at en adventegous in any domain of life.8
Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu mengendalikan
emosi pada setiap kondisi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwasannya EQ
(Emotional Qoutient) lebih penting daripada IQ (Intellegent Quotient) dalam dunia
bisnis dan karier seseorang.1,9
Terdapat dua pendekatan perihal model EQ dan skalanya. Pertama, semuanya
adalah model kemampuan, skill yang lebih berfokus pada hubungan antara emosi dan
kecerdasan.10 Model pertama diterapkan oleh Mayer dan Salovey, sedangkan model
kedua diterapkan oleh BarOn dan Golemann. Model kedua merupakan model
campuran yang mencakup struktur kemampuan mental, eksistensi dan perlengkapan.
Konsep EQ lebih awal diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer namun lebih
dipopulerkan oleh Golemann. Salovey dan Mayer mendefinisikan EQ sebagai
kemampuan individu untuk memahami kemampuan diri sendiri dan lingkungan
perihal emosi dan perasaan, membedakan dan menggunakan pengetahuan yang
dimiliki dalam proses dan kegiatan pembuatan keputusan.10 Golemann memiliki
pendekatan lebih popular perihal EQ. Golemann mendefinisikan EQ pada empat
faktor yakni self awareness, self management, social awareness dan social skills.1
Self awareness didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengetahui segala yang
dirasakan secara pribadi, mengevaluasi skill sesuai dengan kenyataan, dan memiliki
kepercayaan diri. Self menegement didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengatur
perasaan menjadi lebih baik dalam setiap aktifitas, memelihara sikap positif terhadap
tujuan pribadi. Social awareness didefinisikan sebagai perasaan empati kepada orang
lain, menerima segala sudut pandang lingkungan, dan beradaptasi pada beragam
kharakteristik orang. Social skills didefinisikan sebagai kemampuan mengatur
perasaan dalam hubungan interpersonal, dan memahami jaringan sosial serta
berinteraksi secara pantas.11
Wong and Law dalam Davies et al. (2008)12 menggunakan empat dimensi
Emotional Intelligence (EI) antara lain:
1. Appraisal and expression of emotion in oneself
Hal ini berhubungan pada kemampuan individu untuk memahami emosinya
secara mendalam dan mengekspresikan emosi secara alamiah. seseorang yang
memiliki kemampuan yang bagus pada poin ini, akan mengetahui dan
memahami emosinya lebih baik daripada sebagian besar orang.
2. Appraisal and recognition of emotion in others
Hal ini berhubungan dengan kemampuan individu untuk merasa dan
memahami emosi orang-orang di sekitarnya. seseorang yang memiliki rerata
skor tinggi pada poin ini akan lebih sensitif pada emosi orang lain sebaik pula
untuk memprediksikan respon emosi orang lain.
3. Regulation of emotion in oneself
Hal ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatur
emosinya, mampu memulihkan stress psikologis lebih cepat. Seseorang yang
memiliki rerata skor tinggi pada poin ini akan mampu kembali normal dari
kekecewaan yang telah melanda kehidupannya.
4. Use of emotion to facilitate performance
Hal ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menggunakan
emosinya sebagai aktifitas konstruktif dan kinerja diri. Seseorang yang
memiliki rerata skor tinggi pada poin ini akan mampu memotivasi diri untuk
melakukan hal-hal terbaik secara berkelanjutan.
Kecerdasan Emosi dan Mahasiswi
Penelitian telah membuktikan bahwa EQ lebih berpengaruh daripada IQ dalam
kehidupan dan pendidikan.1,10 Banyak penelitian menemukan bahwa Emotional
Intelligence penting dalam proses pembelajaran dalam kelas, dalam melaksanakan
tugas-tugas kognitif, dalam dunia kerja, serta meningkatkan performa dalam
interview. Selain itu, riset membuktikan bahwa skill kecerdasan emosional
merupakan hal penting dan mungkin merupakan critical factor dari prestasi pelajar,
daya ingat dan kesehatan . Riset interdisipliner yang luas menemukan bahwa
kecerdasan emosional lebih prediktif terhadap kesuksesan akademis dan karir
seseorang dibandingkan IQ. Berbagai penemuan ini seharusnya menjadi dasar untuk
memasukkan program pengembangan keterampilan emosional dalam program
pendidikan sekolah dan perguruan tinggi.7
Aktivitas Organisasi
Kram dalam Chernis (2001) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
efektivitas organisasi terhadap perkembangan Kecerdasan Emosional. Boyatzis et al.
menyatakan bahwa individu dalam setiap organisasi akan memahami nilai-nilai
organisasi yang berpengaruh terhadap perkembangan Kecerdasan Emosional.
Kecerdasan emosi, seperti dinyatakan Goleman (1995) dalam bukunya, muncul
tertama melalui hubungan dengan orang lain. Pada saat yang sama, kecerdasan emosi
pun berpengaruh pada kualitas hubungan. Menurut Kram dan Chernis, baik hubungan
yang terbentuk secara formal maupun yang terbentuk secara natural dalam organisasi
berkontribusi terhadap kecerdasan emosional.4 Mahasiswa yang merupakan leader
memiliki skor EQ lebih tinggi dibandingkan anggota dalam organisasi kampus.
Selain itu, didapatkan pula perbedaan yang signifikan antara jenis organisasi dengan
skor EQ.13
Hubungan Tingkat EQ Orang Tua dengan EQ Anak
Ada keterkaitan emotional quotient anak dengan pengalaman organisasi dan
pendidikan orang tua. Harod dan Scheer (2005) mengatakan bahwa tingkat EQ
remaja yang tinggi mempunyai korelasi yang signifikan dengan pengalaman
organisasi dan tingkat pendidikan kedua orang tua. Semakin tinggi pengetahuan
orang tua akan EQ maka semakin tinggi EQ anak (remaja) tersebut. Faktanya, budaya
dan norma yang berlaku dalam masyarakat mempengaruhi pola didik orang tua yang
mengarah pada pengembangan EQ anak.7
Pola didik orang tua berdampak besar terhadap perkembangan EQ anaknya.
Orang tua (ibu dan bapak) dengan tingkat EQ yang baik telah terbukti dapat
mempengaruhi kemampuan anaknya dalah hal kontrol diri, kemampuan sosialisasi,
problem solving skills, optimisme, dan strategi. Ibu sebagai orang tua yang lebih
dekat pada anaknya harus dapat mendidik anak mereka dengan baik supaya memiliki
kecerdasan IQ, SQ, dan terutama EQ karena kecerdasan emosional mempengaruhi
kesuksesan seseorang.1 Penelitian Alegre menunjukkan bahwa waktu yang digunakan
seorang ibu untuk memberikan pendidikan dan berinteraksi dengan anak mereka
berkorelasi dengan kemampuan anak dalam beradaptasi, bersosialisasi, dan
interpersonal intelligence yang merupakan salah satu ranah EQ. Akan tetapi
sebaliknya dengan ayah, hanya beberapa aspek dalam EQ yang bisa diajarkan kepada
anaknya saat interaksi. Berdasarkan beberapa studi di atas menunjukkan bahwa pola
asuh ibu memang sangat penting dalam perkembangan EQ anak.
TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui Pengaruh Aktivitas Organisasi terhadap Kecerdasan Emosional
pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat observational analitik dengan pendekatan case control.
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswi semester III, V dan VII Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kriteria inklusi pada penelitian ini
Desain Penelitian
Mahasiswi FK UNS semester III, V, VII
Aktif Organisasi
(107)
Kolmogorov-Smirnov(a)
Statistic
Df
AKTIF
.075
107
TIDAK
.083
107
AKTIF
a Lilliefors Significance Correction
Sig.
.171
.066
SKOR_EQ
AKTIVITAS_OR
G
AKTIF
TIDAK AKTIF
Rerata
Std. Deviation
Std. Error
Rerata
107
61.18
6.677
.645
107
56.58
5.261
.509
aktif berorganisasi dengan mahasiswi yang tidak aktif berorganisasi. Rata-rata Skor
EQ pada kelompok mahasiswi yang aktif berorganisasi sebesar 61,18. Sedangkan
Rata-rata Skor EQ pada kelompok mahasiswi yang tidak aktif berorganisasi sebesar
56,58. Hasil Uji t 2-tailed menunjukkan signifikansi sebesar 0,000 sehingga nilai
signifikansi untuk Uji t 1-tailed sebesar 0.000. Dengan demikian, terdapat perbedaan
yang sangat signifikan antara skor EQ pada kelompok mahasiswi yang aktif
berorganisasi dengan yang tidak aktif berorganisasi.
Tabel 3. Hasil Uji t
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances
SKOR_EQ
Equal
variances
assumed
Equal
variances
not
assumed
df
95%
Confidence
Interval of the
Difference
Sig.
(2tailed)
Rerata
Difference
Std. Error
Difference
Lower
Upper
Sig.
3.402
.067
5.595
212
.000
4.598
.822
2.978
6.218
5.595
201.004
.000
4.598
.822
2.978
6.219
10
KESIMPULAN
Terdapat pengaruh yang signifikan antara aktivitas organisasi terhadap
kecerdasan emosional pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Surakarta (p= 0,000).
DAFTAR PUSTAKA
1. Golemann D. 1995. Emotional Intellegent: Why It can Matter More Than IQ.
New York: Bantam Book.
2. Gladys SL, Frank JH, and Amy HW. 2009. Exploring The Relationship of
Physical Activity, Emotional Intelligence, and Health in Taiwan College
Students. J Exerc Sci Fit Vol 7 1:5563.
11
3. Helmi AF. 2004. Model Mahasiswa yang Berdaya Saing. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada.
4. Chernis C. 2001. The Emotionally Intellegent Workplace.
5. McDowelle JO and Bell ED. 1997. Emotional intelligence and educational
leadership at East Carolina University. Paper presented at the meeting of the
Annual Meeting of the National Council for Professors of Educational
Administration. North Carolina.
6. Sung HY. n.d. Teachers Perspectives on Change in Student Population and the
Need for Emotional Intelligence in Education.
7. Sung HY. (2007). The influence of culture on parenting practices of East Asian
families and the impact on emotional intelligence of older adolescents.
Dissertation Abstract International, 68(3-A), 877.
8. Offermann LR, Bayley JL, Vasiopolous NL, Seal C and Seass M. 2004. The
Relative Contribution of Emotional Competence and Cognitive Ability to
Individual and Team Performance. Human Perform 17, 2, 219-243, pp: 221.
9. Cooper RK and Sawaf A. 1997. Escecutive EQ: Emotional Intellegent in
Leadership and Organization. New York : Grossett/Puttnam.
10. Salovey P and Meyer JD. 1990. Emotional Intellegence. Imagination, Cognition,
and Personality, 9: 185-211.
11. Rapisarda BA. 2002. The Impact of Emotional Intelligent on Work Team
Cohesiveness and Performance. Intl. J. Org. Anal. 10 (4): 363-379
12. Law KS, Song LJ, and Wong C. 2004. The Construct and Criterion of Emotional
Intelligence and Its Potential Utility for Management Studies. Journal of Applied
Psychology. 2004, Vol. 89, No. 3, 483496
13. Bar-On R. 1997. The Emotional Intellegence Inventory (EQ-i) : Technical
Manual. Toronto Canada : Multy Health System.
12