Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
Sepsis adalah penyebab tersering di perawatan pasien di unit perawatan intensif. Sepsis
hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Insidennya diperkirakan
sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya.
Syok akibat sepsis merupakan penyebab kematian tersering di unit pelayanan
intensif di Amerika Serikat (AS). Penelitian epidemiologi sepsis di AS menyatakan insiden

sepsis sebesar 3/1.000 populasi yang meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur
(0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun). Angka
perawatan sepsis berkisar antara 2 sampai 11% dari total kunjungan ICU. Angka kejadian sepsis
di Inggris berkisar 16% dari total kunjungan ICU. Insidens sepsis di Australia sekitar 11 tiap
1.000 populasi. Sepsis berat terdapat pada 39 % diantara pasien sepsis. Angka kematian sepsis
berkisar antara 25 - 80 % diseluruh dunia tergantung beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin,
ras, penyakit penyerta, riwayat trauma paru akut, sindrom gagal napas akut, gagal ginjal dan
jenis infeksinya yaitu nosokomial, polimikrobial atau jamur sebagai penyebabnya.
Sepsis dapat mengenai berbagai kelompok umur, pada dewasa, sepsis umumnya terdapat
pada orang yang mengalami immunocompromised yang disebabkan karena adanya penyakit
kronik maupun infeksi lainnya. Mortalitas sepsis di negara yang sudah berkembang menurun
hingga 9% namun, tingkat mortalitas pada negara yang sedang berkembang seperti Indonesia
masih tinggi yaitu 50-70% dan apabila terdapat syok septik dan disfungsi organ multiple, angka
mortalitasnya bisa mencapai 80%.
Pada satu penelitian, insiden dari sepsis bakterimia (baik garam negatif maupun positif)
meningkat dari 3,8/1000 pada tahun 1970 menjadi 8,7/1000 pada tahun 1987. Antara tahun 1980
dan 1992, peningkatan insiden infeksi nosokomial meningkat 6,7 kasus per 1000 menjadi
18,4/1000. Peningkatan jumlah pasien yang mengalami immunocompromised dan peningkatan
dari penggunaan diagnsosis invasif dan teraupeutik merupakan salah satu faktor predisposisi
dalam meningkatnya insiden sepsis yang apabila telat ditangani dapat menjadi sepsis berat dan
menjadi syok sepsis yang sebagian besar berujung pada kematian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang
berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas, takikardia,
takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.
Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan:

Hyperthermia/hypothermia (>38C; <35,6C)


Tachypneu (respiratory rate >20/menit)
Tachycardia (pulse >100/menit)
>10% cell immature
Suspected infection

Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); Creactive Protein (CrP).
SIRS adalah suatu bentuk respon inflamasi terhadap infeksi atau non-infeksi yang ditandai
oleh gejala :

Tabel 1. Kriteria SIRS


Sepsis adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang disebabkan oleh
infeksi. Sepsis berat adalah sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi
yang tidak terbatas hanya pada laktat asidosis, oliguria maupun perubahan mental akut.
Sedangkan syok sepsis adalah sepsis dengan hipotensi yang ditandai dengan penurunan TDS< 90
mmHg atau penurunan >40 mmHg dari tekanan darah awal tanpa adanya obat-obatan yang dapat
menurunkan tekanan darah.
B. DERAJAT SEPSIS
2

Gambar 1. Derajat sepsis


Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 gejala sebagai berikut:
a) Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C)
b) Takipnea (resp >20/menit)
c) Tachycardia (nadi >100/menit)
d) Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e) >10% cell imature
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oliguria bahkan anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau
penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang
diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi
jaringan.
C. ETIOLOGI
3

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negative dengan presentase 60-70%
kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun yang terpacu untuk
melepaskan mediator inflamasi.
Shock sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70% (pseudomonas
auriginosa, klebsiella, enterobakter, echoli, proteus). Infeksi bakteri gram positif 20-40%
(stafilokokus aureus, stretokokus, pneumokokus), infeksi jamur dan virus 2-3% (dengue
hemorrhagic fever, herpes viruses), protozoa (malaria falciparum). Sedangkan pada kultur yang
sering ditemukan adalah pseudomonas, disusul oleh stapilokokus dan pneumokokus. Shock
sepsis yang terjadi karena infeksi gram negatif adalah 40% dari kasus, sedangkan gram positif
adalah 5-15% dari kasus.
Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri gram (-)

yang memproduksi endotoksin

glikoprotein kompleks sedangkan bakteri gram (+) memproduksi eksotoksin yang merupakan
komponen utama membran terluar dari bakteri menghasilkan berbagai produk yang dapat
menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk
yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS).
LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi.
Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. LPS
endotoksin gram (-) dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak, dia dapat langsung
mengaktifkan sistme imun selular dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala
septikemia. LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik tetapi merangsang pengeluaran mediator
inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang
disebut faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor /TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan
IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita
immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.
FAKTOR RESIKO
1. Umur
- Pasien yang berusia kurang dari 1 tahun dan lebih dari 65 tahun
2. Pemasangan alat invasive
- Venous catheter
- Arterial lines
- Pulmonary artery catheters
- Endotracheal tube
4

- Tracheostomy tubes
- Intracranial monitoring catheters
- Urinary catheter
3. Prosedur invasive
- Cystoscopic
- Pembedahan
4.
5.
-

Medikasi/Therapeutic Regimens
Terapi radiasi
Corticosteroids
Oncologic chemotherapy
Immunosuppressive drugs
Extensive antibiotic use
Underlying Conditions
Poor state of health
Malnutrition
Chronic Alcoholism
Pregnancy
Diabetes Melitus
Cancer
Major organ disease cardiac, hepatic, or renal dysfunction

Gmabar 2. Etiologi Sepsis

Tabel 2. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis.


Sistem pendekatan sepsis dikembangkan dengan menjabarkan menjadi dasar predisposisi,
penyakit penyebab, respons tubuh dan disfungsi organ atau disingkat menjadi PIRO
(predisposing factors, insult, response and organ dysfunction)seperti pada tabel 3.

Gambar 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis

Tabel 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis
D. PATOGENESIS
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat. Hal ini
dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung terus menerus dengan
sendirinya, dikatakan intravaskular karena proses ini menggambarkan penyebaran infeksi
melalui pembuluh darah dan dikatakan peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah
perluasan dari peradangan biasa.
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator inflamasi
termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan antiinflamasi. Sitokin yang
termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1,interferon yang bekerja membantu sel untuk
menghancurkan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi
yaitu IL-1-reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi
atau represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan
untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi proses penyembuhan.
Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon proinflamasi akan meluas menjadi respon
sistemik. Respon sistemik ini meliputi kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan
kerusakan jaringan akibat gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi.
Sedangkan konskuensi dari kelebihan respon antiinfalmasi adalah alergi dan immunosupressan.
7

Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga menciptakan kondisi ketidak
harmonisan imunologi yang merusak.

Gambar 4. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis


Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri gram
negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan lipopolisakarida
(LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah penderita sehingga
membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan
bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+

dan akan bereaksi dengan makrofag dan

mengekspresikan imunomodulator.
Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka dapat berperan
sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai
antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai APC (Antigen Presenting Cell).
Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari MHC (Major
Histocompatibility Complex). Antigen yang bermuatan MHC akan berikatan dengan CD 4+
(Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan perantara T-cell Reseptor.
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan mengeluarkan
substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator akan mengeluarkan IFN-,
IL2

dan

M-CSF

(Macrophage

Colony

Stimulating

Factor),

sedangkan

Th2

akan

mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1 dan TNF yang merupakan sitokin
proinflamantori. IL-1 yang merupakan sebagai imuno regulator utama juga memiliki efek pada
8

sel endothelial termasuk didalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E 2) dan


merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan neutrofil
tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi.10 Neutrofil yang beradhesi akan
mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel akan terbuka
dan menyebabkan kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk
kedalam radikal bebas (nitrat oksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria
sehingga endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya
kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan
sehingga terjadi kerusakan organ multipel.
Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-, IL-8, IL-6
menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi pada jaringan
iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil metabolisme xantin dan
hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme asam amino yang turut menyebabkan
kerusakan jaringan. ROS penting artinya bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam
memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh
darah, Namun bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia
akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan bisa menjadi
disfungsi organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal
dan hematologi.

Gambar 5. Patogenesis sepsis

10

Gambar 6. Pengaktifan komplemen dan sitoki pada sepsis


HUBUNGAN INFLAMASI DENGAN KOAGULASI
Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi trombin yang merupakan
suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu gumpalan fibrin di dalam
mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue factor, dia juga menggangu proses fibrinolisis
melalui pengaktifan IL-1 dan TNF dan memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1
yang kuat mengahambat fibrinolisis. Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan activated protein C
(APC) dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif tetapi
karena adanya thrombin dan trombomodulin, dia berubah menjadi enzyme-activated protein C.
Sedangkan APC dan kofaktor protein S mematikan produksi trombin dengan menghancurkan
kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga tidak terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja
plasminogen activator inhibitor-1 yang menghambat pembentukkan plasminogen menjadi
plasmin yang sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Semua proses ini
menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang bermanisfestasi perdarahan yang dikenal dengan
koagulasi intravaskular diseminata yang merupakan salah satu kegawatan dari sepsis yang
mengancam jiwa.

11

Gambar. 7. Sepsis menyebabkan suatu kematian organ

Gambar 8. Sepsis menyebabkan gangguan koagulasi


E. GEJALA KLINIS

12

Umumnya klinis pada sepsis tidak spesifik, biasanya hanya didahului oleh tanda-tanda
non spesifik seperti demam, menggigil dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah dan
tampak kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering adalah paru-paru, traktus digestifus,
traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan sistem saraf pusat. Gejala sepsis tersebut akan
semakin berat pada pendeita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama yang
sering diikuti dengan syok.

F. DIAGNOSIS

Dalam mendiagnosis sepsis, diperlukan anamnesa dan pemeriksaan yang menyeluruh.

13

Tabel 4. Sepsis menurut Society of Critical Care Medicine


G. DATA LABORATORIUM

14

Tabel. 5. Data laboratorium yang merupakan indikator pada sepsis

H. PENATALAKSANAAN
Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman dalam
mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi penyebab (berdasarkan
pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai panduan dalam memberikan terapi
antimikroba empirik.
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,
mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan
inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi
bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.

15

1. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan oksigenasi, terapi
cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6
jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan
saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70%
dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk
mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20
g/kg/menit).
Banyak pasien syok sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai respon
pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Untuk mencapai
cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Jika tekanan
darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka perlu dipertimbangkan pemberian
vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10 ug/kgBB/menit. Dopamin diberikan bila
sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90-110
mmHg. Dosis awal adalah 2-5 mg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan
MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan sampai 20 g/ KgBB/menit. Bila
masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada 2-5 mg/Kg BB/menit, tetapi di
kombinasi dengan levarterenol (noreepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor
masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan
vasokonstriktor lain (fenilefrin atau epinefrin)
2. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya tidak
mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan
prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi
yang adekuat.
3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotik
intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah
kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas
melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber
16

sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan
antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki
keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat
pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data
mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa
terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.
Indikasi terapi kombinasi yaitu:

Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui


Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen (pseudomonas
aureginosa, enterokokus)

4. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
b. Terapi cairan
Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9%

atau ringer laktat) maupun koloid.


Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik

melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.


Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar
Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih
kontroversi antara 8-10 g/dL.

c. Vasopresor dan inotropic

Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian


cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai
dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan
darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8g/kg.menit,norepinefrin
0.03-1.5g/kg.menit, phenylepherine 0.5-8g/kg/menit atau epinefrin 0.10.5g/kg/menit. Inotropik dapat digunakan: dobutamine 2-28 g/kg/menit,

17

dopamine 3-8 g/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 g/kg/menit atau fosfodiesterase


inhibitor (amrinone dan milrinone).
d. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9
mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
e. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila
diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 g/kg/menit) seringkali diberikan untuk
mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based
belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.
f. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan

produksi

(glikolisis,

glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan


penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin.
Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein.
Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin.
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas
sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai
kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana
insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah
pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih
perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.
h. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan
DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi).
Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan
supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi
mengakibatkan

kegagalan

organ.

Terapi

antikoagulan,

berupa

heparin,

antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan,


tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.

18

Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal merupakan


harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan dan dapat
meningkatkan efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian TNF antibodi
hanya efektif bila diberikan sebagai profilak. Suatu studi preklinik dengan
antibodi CB0006 dan TNF antibodi lainnya dapat digunakan sebagai profilak dan
mungkin juga dapat digunakan untuk pengobatan walaupun terapeutic windownya sempit. Pemberian HA-1A Human monoclonal antibody sebaiknya
dipertimbangkan pada pasien sepsis yang penyebabnya dicurigai bakteri Gram
negative, terutama pada sumber infeksi saluran cerna dan saluran kemih yang
sering disebabkan kuman Gram negatif (Mansjoer, 2001).
i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis
50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok,
kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.
Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis dapat
menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia
pemberian dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jam
sampai 9 jam pada ke dua studi ini tidak didapatkan peningkatan angka mortalitas
(Root, 1991). Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil yang sama dan
hanya dapat memperbaiki keadaan shock tetapi tidak memperbaiki angka
mortalitas.
5. Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog lipopolisakarida);
antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI; antagonis PAF;
metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (N-asetilsistein,
selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA); imunostimulator (imunoglobulin, IFN-,
G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi).
Endogenous activated protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi,
koagulasi dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari bentuk

19

rekombinan dari human activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan


mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko kematian yang tinggi.

20

Tabel 6. Antibiotik berdasarkan sumber infeksi (Sepsis Bundle: Antibiotic Selection Clinical
Pathway from the Nebraska Medical Centre)

I. KOMPLIKASI
MODS (disfungsi organ multipel)
Penyebab kerusakan multipel organ disebabkan karena adanya gangguan perfusi jaringan
yang mengalami hipoksia sehingga terjadi nekrosis dan gangguan fungsi ginjal dimana
pembuluh darah memiliki andil yang cukup besar dalam pathogenesis ini.
21

Gambar 9. Sepsis menyebabkan MODS

22

Gambar 10. MODS karena sepsis


o KID (Koagulasi Intravaskular Diseminata)
Patogenesis sepsis menyebabkan koagulasi intravaskuler diseminata disebabkan
oleh faktor komplemen yang berperan penting seperti yang sudah dijelaskan pada
patogenesis sepsis diatas.
o Disungsi hati dan jantung, neurologi
o ARDS
Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan pada aliran
darah kapiler dan perubahan permebilitas kapiler, yang dapat mengakibatkan
edema interstitial dan alveolar. Neutrofil yang terperangkap dalam mirosirkulasi
23

paru menyebabkan kerusakan pada membran kapiler alveoli. Edema pulmonal


akan mengakibatkan suatu hipoxia arteri sehingga akhirnya akan menyebabkan
Acute Respiratory Distress Syndrome.

Gambar 11. Patofisiologi sepsis menyebabkan ARDS


o Gastrointestinal :
Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak sadar dan
terpasang intubasi dan tidak dapat makan, maka bakteri akan berkembang dalam
saluran pencernaan dan mungkin juga dapat menyebabkan suatu pneumonia
nosokomial

akibat

aspirasi.

Abnormalitas

sirkulasi

pada

sepsis

dapat

menyebabkan penekanan pada barier normal dari usus, yang akan menyebabkan
bakteri dalam usus translokasi ke dalam sirukulasi (mungkin lewat saluran limfe).
o Gagal ginjal akut
Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus ginjal.
vaskular dan sel endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses inflamasi yang
menyebabkan gangguan fungsi organ ginjal.

24

o Syok septik

Gambar 12a dan b.


Patogenesis sepsis
menyebabkan gagal ginjal
akut

25

o Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap walaupun telah


dilakukan terapi cairan yang adekuat karena maldistribusi aliran darah
karena adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang
bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan
sehingga terjadi hipovelemia relatif.
o Hipotensi disebabkan karena Endotoksin dan sitokin (khususnya IL-1,
IFN-, dan TNF-) menyebabkan aktivasi reseptor endotel yang
menginduksi influx kalsium ke dalam sitoplasma sel endotel,
kemudian berinteraksi dengan kalmodulin membentuk NO dan
melepaskan Endothelium Derived Hyperpolarizing Factor (EDHF)
yang meyebabkan hiperpolarisasi, relaksasi dan vasodilatasi otot polos
yang diduga menyebabkan hipotensi.

26

ALGORITMA PENATALAKSANAAN RESUSITASI DAN SEPSIS

27

J. PROGNOSIS
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan sekarang ratarata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien). Hasil yang buruk sering
28

mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya, dalam waktu 6 jam dari diagnosa
dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan asidosis metabolik decompensated menjadi
mapan, terutama dalam hubungannya dengan kegagalan multiorgan, syok septik cenderung
ireversibel dan fatal.

29

BAB III
PENUTUP
Sepsis adalah penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan intensif. Sepsis
dapat mengenai siapa saja namun paling rentan pada orang-orang yang mengalami
imunokompromis dengan penyakit kronik. Sepsis adalah sindrom inflamasi sistemik yang sangat
mengancam jiwa. Permulaan dari infeksi yang berlanjut dengan SIRS lalu terjadilah sepsis yang
apabila terlambat ditangani dapat menjadi sepsis yang berat yang kemudian berakibat syok septic
yang menyebabkan komplikasi-komplikasi seperti disfungsi organ multipel yang berakhir
dengan kematian. Ketika seseorang mengalami infeksi, tubuh akan kompensasi dengan
mengeluarkan respon-respon infeksi seperti proinflamasi dan antiinflamasi.
Keseimbangan faktor-faktor ini dalam melawan infeksi akan menciptakan suatu proses
perbaikan tubuh namun apabila terjadi ketidakseimbangan proses-proses ini dimana prosesproses ini akan saling mempengaruhi maka akan menimbulkan ketidakharmonisan imunologi
yang merusak tubuh sendiri. Etiologi sepsis disebabkan oleh berbagai macam agen infeksi
seperti bakteri, virus maupun parasit. Agen infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis
berdasarkan epidemiologi adalah bakteri gram negative dan positif dimana mereka menghasilkan
toksin-toksin yang menyebabkan kerusakan sel tubuh terutama pembuluh darah karena
penyebaran mereka terutama hematogen.
Untuk mendiagnosis sepsis diperlukan pemeriksaan fisik maupun laboratorium seperti
darah lengkap, faktor-faktor pembekuan darah, konsentrasi laktat dalam darah dan lain-lain.
Penatalaksanaan penting dari sepsis ini adalah perbaikan hemodinamik, pemberian antibiotic,
focus infeksi harus diobati dan terapi suportif seperti nutrisi, albumin dan lain-lain. Kegawatan
yang paling umum disebabkan sepsis adalah kerusakan multipel organ yang disebabkan karena
adanya kerusakan pembuluh darah akibat proses inflamasi-inflamasi sehingga perfusi pembuluh
darah terganggu yang berakibat organ-organ akan mengalami kelainan fungsinya karena saluran
nutrisi mereka terganggu oleh karena proses infeksi. Kelainan multipel organ akibat sepsis dapat
mengenai otak, paru, ginjal, hati, jantung maupun darah yang dapat menyebabkan kematian.

30

DAFTAR PUSTAKA
1. Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock: rapid recognition and
institution of therapy are crucial. Postgraduate Med. 2002;3:50-9.
2.

Angus DC, Linde WT, Lidicker J. Epidemiology of severe sepsis in the United States.
Crit Care Med. 2001;20:1303-31.

3. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. Pathophysiology of sepsis and multiple organ


dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds. Textbook of critical care. 15th ed.
London: Elsevier Saunders Co; 2005. p.1249-57.
4. Hoyert DL, Anderson RN. Age-adjusted death rate. Natl Vital Stat Rep. 2001;49:1-6
5. Michael R Pinsky, MD, CM, FCCP, FCCM. Shock Septic.
http://emedicine.medscape.com/article/168402-overview#a0156 . Diunduh Januari 2015.
6. Leksana, Ery. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi cairan. Bagian
Anestesi dan Terapi Intensif RSUP.dr.Kariadi. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro,2006.
7. Sepsis. Available from : http://www.chestnet.org/accp/pccsu/sepsis-definitionsepidemiology-etiology-and-pathogenesis?page=0,3. Diunduh pada tanggal 26 Januari
2015.
8. PAPDI, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi IV, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2006.
9. Sepsis. Available from : http://www.biomerieux-diagnostics.com/servlet/srt/bio/clinicaldiagnostics/dynPage?
open=CNL_HCP_INF_SEP&doc=CNL_HCP_INF_SEP_G_CHP_TXT_1&pubparams.s
form=1&lang=en . Diunduh pada tanggal 26 Januari 2015.
10. A.Guntur.H. Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III . Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbit IPD FK UI. 2007;1840-43.
11. Sepsis. Available from : http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S0103507X2009000400013&script=sci_arttext&tlng=en. Diunduh tanggal 26 Januari 2015.
12. Sepsis. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/169640overview#showall diunduh tanggal 26 Januari 2015.

31

13. Sepsis. Available from :


http://www.atsu.edu/faculty/chamberlain/Website/lectures/lecture/sepsis.htm. diunduh
pada tanggal 26 Januari 2015.
14. Sepsis. Available from :
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectiousdisease/sepsis/. Diunduh pada tanggal 26 Januari 2015.
15. PB PAPDI. Panduan Tatalaksana Kegawatdaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
Edisi I. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2010. 123-5.
16. Sepsis. Available from : http://www.medicalexhibits.com/medical_exhibits.php?
exhibit=06907_07W&query=effect%20sepsis%20bacteria%20blood%20poison
%20immunologic%20shock .Diunduh Januari 2015.
17. Sepsis. Available from : http://jasn.asnjournals.org/content/15/10/2756.full . Diunduh
Januari 2015
18. International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock : 2012
Diunduh Januari 2015 dari sscm.org

32

Anda mungkin juga menyukai