Anda di halaman 1dari 13

MENGANALISIS KELEMAHAN DAN KELEBIHAN

PRODUCTION SHARING KONTRAK (PSC)


DI AREA JPDA

OLEH
MARIA IMACULATA UT
11.02.01.135
SEMESTER XII

School of Petroleum Studies


Petroleum Management
Dili Institute of Technology (DIT)
2014
Production Sharing Contract (PSC) adalah jenis fiscal arrangement yang digunakan untuk
mengatur kegiatan eksplorasi dan produksi minyak (Walde, 2003). Disamping itu, Johnston
(2003) mendefinisikan Production Sharing Contract sebagai suatu persetujuan kontrak kerjasama
antara pemerintah dengan perusahaan minyak (Kontraktor) dimana pemerintah tetap sebagai
pemilik sumber daya mineralnya dan kontraktor sebagai pihak operasional yang menanggung
biaya eksplorasi, produksi, pengembangan dan resiko. Disisi yang sama, Bindeman (1999)
mengangap bahwa Production Sharing Contract merupakan jenis persetujuan kontrak untuk
eksplorasi dan pengembangan minyak, dimana pemerintah tetap berkuasa atas sumber daya
mineralnya dan hanya melibatkan suatu kontraktor dengan menyediakan anggaran dan teknis
untuk eksplorasi dan produksi minyak. Production Sharing Contract dapat diimplementasikan
apabila kedua belah pihak menyetujuinya berdasarkan negosiasi bilateral yang dilakukan. Secara
singkat Production Sharing Contract sebagai sebuah alat atau instrumen yang dapat
menghubungkan pihak pemerintah dengan kontraktor dalam melakukan kegiatan bisnis
perminyakan. Dilain pihak, Gao (2004) mengangap Production Sharing Contract sebagai kontrak
komersial dan merupakan suatu hukum perdata.
Production Sharing Contract sebagai suatu parameter yang digunakan oleh pemerintah dan
kontraktor untuk menentukan masing-masing porsi pendapatannya, sehingga Budiarta (1995)
mengilistrasikan bahwa Production Sharing Contract merupakan kontrak bagi hasil dimana
produksi dibagi berdasarkan suatu persentase tertentu yang disepakati. Disamping itu,
pemerintah mengangap Production Sharing Contract sebagai suatu aset yang digunakan untuk
menyusun strategi perencanaan pengelolaan sumber daya mineral guna menyediakan hasil dan
manfaat yang optimal bagi seluruh masyarakat. Dengan kata lain, Production Sharing Contract
dianggap sebagai suatu peraturan dasar dan syarat yang digunakan oleh negara pengahasil

minyak untuk memberi kontrak sumber daya mineralnya

kepada kontraktor guna

mengeksplorasikan dan memproduksi sehingga akan memberikan kontribusi bagi pemerintah


dan masyarakat. Sebagai contoh, Allen dan Seba (1993) dan Johnston (1994) mengatakan
bahwa banyak negara didunia memiliki sumber daya mineral namun mereka tidak akan
mengelolanya sendiri karena membutuhkan dana dan biaya yang besar serta resiko yang tinggi
sehingga pemerintah melakukan kontrak kerjasama PSC dengan kontraktor asing untuk
menyelidiki dan mengembangkannya. Kemudian, Stevens (2003) menambahkan bahwa
kebanyakan negara penghasil minyak didunia ingin adanya intervensi perusahaan minyak
internasional guna membantu menyelidiki, mengembangkan, menyediakan infrastruktur dan
pekerjaan baru dan pendapatan bagi. Oleh karena itu, pemerintah mendorong kegiatan eksplorasi
dan produksi minyak melalui terminologi fiskal dan lisensinya (Khin dan Leang, 1993)
Kontrak kerjasama perminyakan Timor Leste adalah Production Sharing Contract. Production
Sharing Contract ini pertama digunakan dengan FTP (First Tranche Petroleum). FTP ini
merupakan jumlah penyisihan dari pendapatan kotor yang dibagi antara Pemerintah dengan
kontraktor. Model kontrak ini diberlakukan sejak tahun 1992 oleh pemerintah Indonesia dan
Australia guna mengelolah kekayaan minyak didalam JPDA. Namum kontrak ini diberlakukan
hingga 20 Mei 2002, kemudian kini telah diganti Production Sharing Contract dengan Royality
dan tampa FTP.
Joint Petroleum Development Areas (JPDA) merupakan area pengelolaan minyak bersama
antara Timor Leste dengan Australia, dimana hasil produksi minyak dibagi 90% Timor Leste dan
10% untuk Australia (Timor Sea Treaty, Article 4a).
Tulisan ini akan menganalisis kelebihan dan kelemahan Production Sharing Contract
(PSC) di area Joint Petroleum Development (JPDA) serta memberikan rekomendasi guna
mendapatkan solusi yang efektif dalam menghadapi kelemahan-kelemahan yang ada.
Dibawah Production Sharing Contract, hak dan manajemen pengelolaan minyak tetap
dilakukan oleh pemerintah walaupun pengusahaannya dilakukan oleh kontraktor. Kontraktor
yang bertanggung jawab atas biaya eksplorasi, produksi dan resiko. Kemudian kontraktor wajib
membuat dan mengajukan usulan rencana pengembangan lapangan (Plan of Development)
sebelum mengembangkan dan mengisi formulir persetujuan pengeluaran dana (Authorization for

Expenditure) yang disetujui pemerintah. Apabila kegiatan operasi minyak sukses dilakukan maka
kontraktor diberi kesempatan untuk mengembalikan seluruh biaya investasinya (Cost Recovery)
dari produksi minyak (Gross Production), kemudian memperoleh bagian pendapatannya dari
profit oil yang dibagi dengan pemerintah. Dibawah kontrak ini, pemerintah melakukan audit
terhadap kegiatan operasi perminyakan yang dilakukan kontraktor mulai dari tahap eksplorasi
hingga pemasaran. Audit yang dilakukan meliputi pre audit, current audit dan post audit
(Campbells, 1987).
Kontrak kerjasama perminyakan Timor Leste adalah Production Sharing Contract. Production
Sharing Contract ini pertama digunakan dengan FTP (First Tranche Petroleum). FTP ini
merupakan jumlah penyisihan dari pendapatan kotor yang dibagi antara pemerintah dengan
kontraktor. Model kontrak ini diberlakukan sejak tahun 1992 oleh pemerintah Indonesia dan
Australia guna mengelolah kekayaan minyak didalam JPDA. Namun kontrak ini tetap
diberlakukan hingga 20 Mei 2002, kemudian kini telah diganti Production Sharing Contract
dengan Royality dan tampa FTP.
Secara singkat, aplikasi model Production Sharing Contract bagi pengelolaan minyak diarea
JPDA adalah sebagai berikut; jangka waktu produksi 30 tahun termasuk 7 tahun eksplorasi,
royality 5%, cost recovery 95%, profit oil split 40% bagi pemerintah (Timor Leste dan Australia)
dan 60% untuk kontraktor, pajak pendapatan 30%, partisipasi pemerintah 20%, dan Domestic
Market Obligation adalah 25% (PSC JPDA, Article 7.1a, b dan c).
Joint Petroleum Development Areas (JPDA) merupakan area pengelolaan minyak bersama
antara Timor Leste dengan Australia, dimana hasil produksi minyak dibagi 90% Timor Leste dan
10% untuk Australia (Timor Sea Treaty, Article 4a).
Study ini difokuskan pada analisa model Production Sharing Contract di JPDA. Analisa ini
merupakan suatu langkah yang dilakukan untuk mereview, mengkaji, mengevaluasi dan
meninjau kembali aplikasi model kontrak tersebut bagi pengelolaan sumber daya minyak dan gas
bumi didalam JPDA. Tujuannya untuk mengetahui fiskal Production Sharing Contract JPDA
termasuk optimalisasi jumlah tenaga kerja, sistem transfer teknologi dan pengelolaan dampak
lingkungan. Oleh karena itu, sebagai negara penghasil minyak , Timor Leste membutuhkan
strategi dan mekanisme pengelolaan minyak terutama bersikap terhadap kontraktor Asing serta

usaha meningkatkan kemampuan Nasional (Community Development) melalui kegiatan pelatihan


dan transfer teknology.
Hasil yang diharapkan dari analisis ini adalah untuk mengetahui dan mengidentifikasi
kelebihan serta kelemahan yang ada didalam substansi Production Sharing Contract JPDA
sehingga akan direkomendasikan kepada pemerintah Timor Leste untuk memperbaiki kelemahan
yang ditemukan dalam model kontrak tersebut agar mencapai model aplikasi Production Sharing
Contract yang efektif bagi pengelolaan minyak dan gas bumi di JPDA, menyediakan Production
Sharing Contract yang benar-benar mengoptimalkan manfaat bagi negara dan masyarakat Timor
Leste.

Analisis Kelebihan dari kelemahan di area JPDA serta membuat perbandingan dengan
Indonnesia dan Norwegia :
No

Parameter

Kelebihan

Kelemahan

System Fiscal
Memberikan keuntungan yang Semua

Timor Leste

yang

di

besar bagi pemerintah karena

lakukan oleh perusahan harus

pemerintah mendapatkan hasil

mengikuti

dari royalty, pajak dan profit.


Pemerintah tidak menangun
1

kegiatan

resiko

karena

semua

pemerintah,

semua

kemauan

dan

contractor

tidak bisa menolak.


kurangnya
di Perusahan

serahkan pada kontraktor bila


terjadi kesalahan di area JPDA.
Peralatan
menjadi
milik

informasi

saat

melakukan

contract atau tanda tanggan


dengan pemerintah.

Negara apa bila pemerintah


sudah mengenbalikan
pada contractor.
Hak terhadap

biaya

hidrokarbon

tetap milik Negara bukan milik


2

Indonesia

contractor.
Hak terhadap

hidrokarbon Kontraktor
menanggung
risikonya yang besar apa bila

tetap

dimiliki

negara

terjadi kebocoran atau tidak


ada minyak.
(Indonesia).

Dilihat dari siatem ini


Pertamina tetap mengelola
pemerintah
lebih
kontrol (memang, memberikan
menguntungkan dari pada
contractor.
kontrol manajemen kepada
Perminalah yang membedakan
PSC tersebut dari perjanjian
sebelumnya).
Kontraktor

menyerahkan

program kerja dan anggaran


untuk

mendapatkan

persetujuan dari pemerintah.


Pembagian profit oil (Minyak
Keuntungan/PO)

jumlah

minyak yang tersisa setelah


alokasi royalti minyak dan cost
oil (minyak biaya) adalah 65
persen/35

persen

untuk

keuntungan Pertamina.
Pada pertengahan tahap awal
eksplorasi,
Indonesia

sistem

PSC

mengharuskan

adanya

daerah

yg

dikembalikan ke host country


(Pemerintah

Indonesia).

Seringkali daerah ini akan


dipilih daerah yg dianggap
tidak

memiliki

jebakan.
IndoExplo

prospek

Perusahaan

PT

akhirnya

mengembalikan daerah sebelah


timur seluas 20% dari luas

Dalam hal ini, perusahaan


minyak tidak bisa mengklaim
untuk mengambil jumlah barel
minyak sesukanya.
Sistem ini menggunakan
istilah deduksi
(pengurangan), sementara
pada PSC digunakan istilah
cost recovery atau biaya
investasi migas yang harus
ditanggung oleh pemerintah.

awal.
Kontrak servis atau service Dengan system

Norwegia

agreements

(SA)

umumnya

mendapatkan hak penguasaan

formula

pada wellhead (kepala sumur)

kontraktor

IOC menetapkan title sebagai

menggunakan
sederhana:

mendapatkan cash fee (komisi)


karena

memberikan

dengan

jasa

memproduksi

sumberdaya mineral.
Kontraktor
biasanya
bertanggung

jawab

upaya

Lapangan

fiskalisasi.
Khususnya pada PSC dan
pembagian

(seperti sistem R/T dan PSC).


Sebagai gantinya, apabila
eksplorasi

berhasil,

dikurangi

pada titik ekspor atau titik

yang

dengan

kotor

royalti minyak.
Untuk PSC, haknya diberikan

sebagian

eksplorasi dan pengembangan

produksi

menyediakan seluruh kapital


berhubungan

R/T, IOC

SA.

Kebanyakan
minyak

keuntungan (sekitar 55-60%)


didasarkan

pada

basis

produksi

yang

bersifat

meningkat

atau

menurun

kontraktor akan mendapatkan

(sliding scale). Yang lainnya

kembali biaya yang sudah

(sekitar 20-25%) didasarkan

dikeluarkan melalui penjualan

pada faktor R atau sistem

migas ditambah fee.


ROR.
kerja Pemerintah harus menbuka lapangan kerja untu para kaun muda di

di Timor Leste

Timor Leste agar tidak bisa muncul lagi komflik di Negara baru ini apa
bila kurangnya lapangan kerja maka bisa membuat orang gelap mata
bahkan nekad berbuat nista. Kenyataan ini banyak terjadi di sekitar
kita, namun meski demikian masih banyak pengangguran yang peduli
dengan rasa malu menjual muka dan suara didepan khalayak, seperti
halnya seorang pengamen. Rakyat Timor Leste setelah berpisah dengan
Indonesia mengalami keterpurukan secara ekonomi. Akibatnya, banyak
pengangguran yang terjadi. Menurut versi Bank Dunia, angka pengangguran
di perkotaan mencapai 46 persen. Redaksi Harian PELITA: redaksi@pelita.or.id.

Lingkungan

di Timor Leste sebagai Negara yang baru merdeka dan menpunyai

Timor Leste

lingkungan yang baik dan memiliki sumber daya mineral yang banyak
sehingga menbuat banyak perusahan atau contractor yang ingin
menginvestasikan barang di Negara ini. Tapi kita ingin lingkungan ini
hidup dengan tenang maka harus melakukan apa yang terbaik untuk
nagara ini,kemudian harus menjamin keamanan untuk para investor

Lapangan
di Indonesia

agar mereka bisa menbuka lapangan kerja di Negara ini.


kerja Indonesia merupakan Negara yang sudah lama merdeka dan menpunyai
dan lapangan kerja begitu banyak di bandingkan Timor Leste.tapa di
lihat segi realities Indonesia masih banyak pengangguran karena di
lihat dari segi penduduknya sangat banyak. Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro yang di dampingi oleh Gubernur
OPEC untuk Indonesia Maizar Rahman hari Senin (30/10) memberikan
penjelasan kepada media massa seputar trend bahwa lapangan kerja di
Indonesia sangat banyak karena pemerintah menpunyai perencanaan
yang baik untuk menbuka lapangan kerja dan menberikan pajak sesuai
dengan standar sehingga banyak investor yang datang untuk
menginvestasikan

Lingkungan
Indonesia

barang

di

Indonesia

tersebut.

di Sebetulnya, bagi investor yang mengenal Indonesia, maka Indonesia


termasuk negara yang menarik. Ini juga pernah saya dengar dari
konsultan asing, karena peluang berhasilnya besar dan masyarakatnya
mendukung. Memang masih ada beberapa hambatan, tapi di negara
lainpun juga seperti itu terkadang kita memang hanya melihat kondisi
kita sendiri. Prospek ekonomi Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan
lebih baik dari tahun 2009,. Perbaikan ekonomi terjadi karena adanya
pemulihan ekonomi dunia dan perbaikan iklim investasi. Namun, masih
perlu dicermati terhadap beberapa tantangan, yang masih harus
dihadapi untuk perbaikan ekonomi di tahun 2010, antara lain: risiko
global dan pembalikan arus modal global, kenaikan harga komoditi
primer, terutama minyak mentah dan membengkaknya defisit anggaran
di negara maju dan tingginya beban utang. Kondisi makro Indonesia
tetap stabil dan kinerja perbankan terus membaik, dan menunjang

pengembangan sektor riil karena semuanya dilihat dari lingkungan


apabila lingkungan aman maka perencanaan pemerintah akan di
laksanakan kalau lingkungan tidak aman maka pemerintak akan
8

Lapangan
di Norwegia

menanggun resiko yang berat.


kerja Lapangan kerja di Norwegia sangat banyyak karena pemerintah
menbuka

banyak

lapangan

kerja

sehingga

Norwegia

tidak

menggunakan lebih banyak pendapatan minyak dibandingkan hasil


nyata investasi, yang diperkirakan pada tingkat empat persen. Sebagai
hasilnya, perubahan jangka pendek harga minyak dan gas hanya
memiliki pengaruh sedikit terhadap kebijakan anggaran.

Lingkungan
Norwegia

di Lingkungan di Norwegia sangat aman karena keamanan begitu tegas


dan pengganguran tidak banyak sehingga tidak terjadi konflik.
pemerintah, Norwegia memastikan bahwa kekayaan minyak negara
bisa memberikan manfaat bagi generasi mendatang karena penhasilan
ini digunakan sebagai sumber bertindak sebagai investasi jangka
panjang di perusahaan-perusahaan yang solid di seluruh dunia.
Keterbukaan dan etika merupakan hal utama yang dipertimbangkan
dalam strategi investasi di Norwegia.

Sumber : Daniel (1999). * Timor Leste Local Content (2007).


Fiskal arrangement yang perlu di review dan diperbaiki adalah pembayaran bonus, royaliti,
pengembalian biaya investasi (Cost Recovery), pembagian hasil minyak dan gas (Profit oil and
gas sharing), partisipasi pemerintah, bagian pendapatan pemerintah (Goverment take). Selai itu
didalam Production Sharing Contract juga harus memperhatikan penyediaan kesempatan kerja
bagi tenaga kerja nasional, sistem transfer teknologi, sistem pengelolaan dan perlindungan
lingkungan dari dampak-dampak yang akan terjadi berhubungan dengan operasi perminyakan
dilaut Timor. Ini sangat perlu dilakukan guna mencapai suatu model kontrak Production Sharing
Contract yang baik guna mengelola sumber daya minyak dan gas bumi didalam JPDA dengan
memaksimalkan keuntungan bagi negara.

Production Sharing Contract mempunyai kelebihan seperti hak kepemilikan sumber daya
mineral tetap dipegang oleh pemerintah, pemerintah bisa melakukan manajemen audit
(pengontrolan) terhadap kegiatan operasi minyak yang dilakukan kontraktor. Audit yang
dilakukan mulai dari pre audit, current audit hingga post audit (Campbells, 1987). Kemudian
adanya partisipasi pemerintah dalam menginvestasi modal, (Tsalik dan Schiffrin, 2005).
Sedangkan kelemahan Production Sharing Contract adalah adanya peluang meningkatnya costs
recovery, minimnya transfer teknologi dari kontraktor, pelatihan bagi tenaga kerja lokal terbatas
dan sistem pembagian pendapatan minyak dan gas kurang berdasarkan standar profit oil sharing.
Selain itu, kelemahan Production Sharing Contract selama ini terletak pada pengawasan dan
kontrol terhadap cost recovery. Apabila pengeluaran cost recovery merupakan sebuah
kemunduran bagi investor asing terutama perusahaan-perusahaan minyak. Sistem kontrak ini
malah merugikan karena pendapatan negara jauh lebih kecil ketimbang estimasi keuntungan
yang seharusnya diperoleh, dan satu-satunya hak pemerintah adalah menerima pajak dan royalty
dari pengusahaan blok minyak yang diproduksikan. Selain itu memperkecil kontrol pemerintah
tidak mempunyai wewenang untuk intervensi terhadap proses eksplorasi tersebut. Oleh karena
itu, Hilmi (1999) mengatakan bahwa dinegara yang menerapkan sistem Production Sharing
Contract, pemerintah tetap berkuasa atas sumber daya minyaknya sehingga sistem Production
Sharing Contract menjadi alat negara untuk mengawasi para kontraktor asing maupun lokal.
Optimalisasi kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal merupakan suatu keadaan yang
mengambarkan tersedianya lapangan kerja untuk diisi oleh pencari kerja. Sedangkan tenaga kerja
adalah masyarakat yang benar-benar terlibat dalam proses produksi. Dalam kontrak kerja sama
Production Sharing Contract, ada ketentuan yang mengatur tentang penyediaan kesempatan kerja
bagi masyarakat lokal. Oleh karena itu, Tiny (2005) mengatakan bahwa Production Sharing
Contract tidak hanya mengelola sumber daya mineral tetapi termasuk didalam pengelolaan dan
pengembangan kapasitas sumber daya manusia, transfer teknologi dan pengelolaan dampak
lingkungan. Production Sharing Contract yang normal dinegara lain seperti Indonesia dan India,
para kontraktor akan diminta untuk memberikan pelatihan dan mempekerjakan warga negaranya
dalam jumlah ratio yang sudah ditentukan (Monteiro, 2004).
Transfer teknologi adalah suatu proses yang menggunakan teknologi, keahlian, pengalaman
dan fasilitas agar bisa dikembangkan lebih lanjut atau berinovasi secara komersial sehingga

dapat bermanfaat secara ekonomi, sosial maupun kebudayaan (Yandri, 2001). Dalam teknologi
diperlukan tiga kriteria penting, yaitu kualitas teknologi yang akan ditransfer harus setinggi
mungkin, biaya serendah mungkin, dan pelaksanaannya sesuai dengan jadwal yang telah
disepakati (Habibie, 2007).
Didalam Production Sharing Contract juga mengatur tentang pendidikan dan pelatihan bagi
tenaga kerja lokal, seperti pelatihan dilaboratorium geologi, estabilish dan implementasi distance
learning program, estabilisment dan implement vocational petroleum course. Transfer teknologi
berdasarkan Production Sharing Contract adalah membangun database dan storage, database
training dan storage support, core store dan JPDA cores (Timor Leste Local Content Policy,
2007) selain itu, adanya bentuk transfer teknologi seperti manajemen teknologi, manajemen
kualitas, manajemen produktifitas, dan lain sebagainya (Yandri, 2004).
Dari pembahasan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa Production Sharing Contract
(PSC) merupakan jenis fiscal arrangement yang digunakan untuk mengatur kegiatan eksplorasi
dan produksi minyak. Adapun pendapat lain yang menyatakan bahwa Production Sharing
Contract sebagai suatu jenis persetujuan kontrak untuk eksplorasi dan pengembangan minyak,
dimana pemerintah tetap berkuasa atas sumber daya mineralnya dan hanya melibatkan suatu
kontraktor dengan menyediakan anggaran dan teknis untuk eksplorasi dan produksi minyak.
Production Sharing Contract dapat diimplementasikan apabila kedua belah pihak menyetujuinya
berdasarkan negosiasi bilateral yang dilakukan. Secara singkat Production Sharing Contract
sebagai sebuah alat atau instrumen yang dapat menghubungkan pihak pemerintah dengan
kontraktor dalam melakukan kegiatan bisnis perminyakan.
Joint Petroleum Development Areas (JPDA) merupakan area pengelolaan minyak bersama
antara Timor Leste dengan Australia, dimana hasil produksi minyak dibagi 90% Timor Leste dan
10% untuk Australia.
Kontrak kerjasama perminyakan Timor Leste adalah Production Sharing Contract. Production
Sharing Contract ini pertama digunakan dengan FTP (First Tranche Petroleum). FTP ini
merupakan jumlah penyisihan dari pendapatan kotor yang dibagi antara pemerintah dengan
kontraktor. Model kontrak ini diberlakukan sejak tahun 1992 oleh pemerintah Indonesia dan
Australia guna mengelolah kekayaan minyak didalam JPDA. Namun kontrak ini tetap

diberlakukan hingga 20 Mei 2002, kemudian kini telah diganti Production Sharing Contract
dengan Royality dan tampa FTP.
Beberapa kelemahan dari fiskal arrangement Fiskal arrangement yang perlu di review dan
diperbaiki adalah pembayaran bonus, royaliti, pengembalian biaya investasi (Cost Recovery),
pembagian hasil minyak dan gas (Profit oil and gas sharing), partisipasi pemerintah, bagian
pendapatan pemerintah (Goverment take). Selai itu didalam Production Sharing Contract juga
harus memperhatikan penyediaan kesempatan kerja bagi tenaga kerja nasional, sistem transfer
teknologi, sistem pengelolaan dan perlindungan lingkungan dari dampak-dampak yang akan
terjadi berhubungan dengan operasi perminyakan dilaut Timor. Ini sangat perlu dilakukan guna
mencapai suatu model kontrak Production Sharing Contract yang baik guna mengelola sumber
daya minyak dan gas bumi didalam JPDA dengan memaksimalkan keuntungan bagi negara.

REFERENSI
1.
2.
3.
4.
5.

Allen dan Seba (1993) dan Johnston (1994), (Defenisi Production Sharing Contract).
Budiarta (1995), (Parameter-Parameter Production Sharing Contract).
Bindeman (1999), (Defenisi Production Sharing Contract).
Campbells, (1987), (Kelebihan-Kelebihan Production Sharing Contract).
Campbells, (1987), (PSC, Hak atas kekayaan sumber daya minyak). Dalam

http://www.google.co.id/hak+atas+kekayaan+sumber+daya+minyak.
6. Daniel (1999). * Timor Leste Local Content (2007).
7. Gao
(2004),
(Defenisi
Production
Sharing
Contract),

dalam

http://www.google.co.id/defenisi/PSC
8. Habibie, 2007), (PSC, Transfer Technology).
9. Hilmi(1999),(kelemahan-kelemahanPSC),
10. Indonesian Production Sharing Contract model (1995), (Fiscal Arrangement
Indonesia).
11. Johnston (2003), (Pengembangan Sumber daya Minyak).
12. Khin dan Leang, 1993), (Terminology Fiscal dan Licensinya).
13. Monteiro, 2004). (Optimalisasi Kesempatan Kerja).
14. Norwegia PSC model (1998), (Fiscal Arrangement Norwegia).
15. Production Sharing Contract JPDA, Article 7.1a, b dan c).
16. Stevens (2003), (Intervensi Perusahaan Minyak Internasional).
17. Timor Sea Treaty, Article 4a.
18. Tsalik dan Schiffrin, 2005), (Kelebihan-kelebihan Production Sharing Contract).
19. Tiny (2005),(Optimalisasi Kesempatan Kerja, aplikasi PSC)
20. Walde, 2003), (Defenisi Production Sharing Contract),.
21. Yandri, 2001). (PSC, mengatur pelatihan dan pendidikan bagi tenaga kerja lokal).
22. Yandri, 2004), (PSC, Transfer Technology)

Anda mungkin juga menyukai