Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN AL-IJAZ

IKPM CABANG
KAIRO

E D I S I

Nasakh dan Mansukh dalam Al-Quran

DAFTAR ISI
NADHRAH

NA SA KH DA N
MA NSU KH DALAM
AL -QURA N

TAHNIAH

KIAT - KIAT
ME NU NT UT

ILM U

MABHATS

MEMA HAMI
KAIDA H QI RAAT
QU RA NIYAH

UDHAMA

10

N A P A K T I L A S
I M A M I B N U
K A T S I R

MARJA
K O M P O N E N
M E M A H A M I
Q U R A N

11
D A S A R
A L -

SALAM

12

M E M B U M I K A N
I S L A M D E N G A N
A K H L A K M U L I A

A L - Q U R A N

DZIKRA
Taubat

Putri Rezeki Rahayu

X I I

2 0 1 4

NADHRAH

Alfina Wildah

asakh adalah asal kata dari na-sakha. Secara etimologi menurut alZarkasyi nasakh bisa dipakai
empat arti, yaitu pembatalan atau
penghapusan (al-Izlah), pengubahan (al-Tabdl),
pengalihan (al-Tahwl), dan penyalinan (al-Naql).
Nasakh sendiri merupakan subjek, dan
mansukh merupakan suatu objek. Sedangkan
secara terminologi, para ulama mempunyai
berbagai macam pendapat dalam
mengartikan makna nasakh. Menurut
Ibnu Katsir, nasakh adalah
penghapusan hukum dengan
adanya dalil syariat yang datang
terakhir atau datang setelah
itu.
Al-Zurqani dalam
Manahil
Irfan
menjelaskan,
bahwa nasakh
adalah suatu
proses
penghapusan
hukum
syariat dengan dalil
syariat yang
datang setelah itu.
Penghapusan ini
adalah pencabutan kewajiban atas mukallafin
(yang dibebani), bukan penghapusan dengan
arti yang sebenarnya, karena sesuatu yang
pernah terjadi tidak bisa dihapus. Sedangkan
hukum syariat adalah sesuatu yang diturunkan
oleh Allah SWT yang ditujukan kepada
manusia, baik itu berupa suatu hal yang bersifat
perintah, larangan, dan pilihan. Dalil syariat
adalah wahyu yang diturunkan Allah SWT
dalam artian luas, baik yang terbaca maupun
tidak, ini mencakup al-Quran dan sunah.
Mayoritas ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda dengan makna yang hampir sama,

D E S E M B E R

eraka itu adalah orang-orang yang


bertaubat,
beribadah,
memuji
(Allah), mengembara (demi ilmu dan
agama), ruku, sujud, menyuruh
berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar dan
memelihara hukum-hukum Allah SWT. Penggalan
arti dari QS. al-Taubah: 112 tersebut
menyebutkan ciri-ciri golongan yang akan
selamat pada hari kebangkitan kelak.

perbedaan hanya terdapat pada lafal atau tata


letak bahasanya. Namun ada beberapa
perbedaan antara para ulama klasik dan
kontemporer, perbedaan ini terletak pada
penerapan definisi tersebut
Ulama klasik berpendapat, nasakh
dalam al-Quran adalah penghapusan hukum
syariat dengan dalil syariat yang datang setelah
itu. Namun ulama klasik mengartikan nasakh
dengan memasukkan ke dalam berbagai
pengertian, seperti: pengkhususan (mukhashis)
dengan suatu hal yang umum (am);
pembatasan (taqyid) terhadap hal yang
bebas atau luas
(muthlaq); penjelasan
(bayan) terhadap hal
yang global (mujmal),
hingga pengecualian
(istitsna). Menurut
Abu Zahrah, definisi
ulama klasik ini
berasal dari kalangan
Sahabat, Tabiin dan
Tabi Tabiin. Sedangkan ulama kontemporer
lebih mempersempit batasan-batasan pengertian
nasakh, sehingga suatu hukum yang dihapus
benar-benar dihapuskan oleh dalil yang syariat
dan datang setelahnya.
Dari beberapa definisi, pendapat alZurqani dalam mendefinisikan nasakh lebih
tepat. Definisi ini bisa diterapkan dengan
beberapa poin: pertama, mansukh atau hukum
yang dihapuskan berupa hukum syariat. Kedua,
dalil yang menghapus hukum sebelumnya

Bersambung ke hlm 8

Sekelompok orang-orang ini biasa disebut


dengan sebutan firqah najihah. Dalam ayat
tersebut, Allah menyebutkan ciri-ciri orang yang
selamat pada hari pembalasan, tapi tidak
menyebutkan siapa mereka, dari bangsa apa dan
golongan mana. Ayat ini menjadi salah satu tafsir
dari Hadis Rasulullah yang menyebutkan pada
akhir zaman nanti umat Islam terbagi menjadi
beberapa
Bersambung ke hlm 5

2 TAHNIAH

Kiat-kiat Menuntut Ilmu

Faktofaktor
tersebut
tidak lain hanya
sebagian dari usaha
yang
dilakukan
oleh kita sebagai
manusia
dalam
berikhtiar mencari
ilmu.
Setelah
manusia berikhtiar,
Allah SWT yang
akan mengajarkan
ilmu
kepada
hamba-Nya.

alam perjalanan menuntut


ilmu, seorang pencari
ilmu
tidak
jarang
menemui
berbagai
kesulitan. Adanya kesulitan tersebut,
pada hakikatnya merupakan tanda
bertambahnya pengetahuan. Pepatah
Arab mengatakan, Barang siapa yang
tidak pernah merasakan kesulitan dalam
mencari ilmu, ia berada dalam kebodohan
sepanjang hidupnya.
Salah satu kesulitan yang biasa
menimpa seorang pencari ilmu adalah
kesukaran dalam menghafal. Diakui
atau tidak, hal tersebut menghambat
seorang pencari ilmu dalam menguasai
sebuah ilmu. Salah satu bait syair Imam Syafii
menyebutkan, solusi untuk menghilangkan
kesulitan
dalam
menghafal
adalah
meninggalkan maksiat. Hafalan dan ilmu yang
didapat, sedikit ataupun banyak, akan
ternodai dengan adanya maksiat, sekalipun
maksiat tersebut remeh nilainya. Oleh karena
itu, tidak salah jika Imam Syafii mewasiatkan
kepada kita untuk meninggalkan maksiat,
karena hal tersebut dapat memudahkan
seorang penuntut ilmu dalam menghafal.
Ilmu ibarat sebuah pisau. Semakin
tajam jika terus digunakan dan akan tumpul
jika dibiarkan saja. Apabila ilmu dibiarkan
mengendap tanpa diamalkan, maka lambat
laun ia akan hilang, sebab buah dari
mengamalkan ilmu adalah lekatnya ilmu
tersebut dalam ingatan seseorang.
Kemampuan setiap orang dalam
menerima dan menyerap ilmu memang tidak
sama. Meski demikian, hal tersebut
seharusnya tidak membuat seorang penuntut
ilmu terjebak dalam putus asa. Selain kuasa
Allah yang memudahkan seseorang dalam
mencari ilmu, banyak faktor yang mendukung
untuk menguasai ilmu, bahkan dapat
menguatkan hafalan.
Faktor pertama agar ilmu melekat
dalam diri pencari ilmu adalah tulisan. Tulisan
merupakan salah satu senjata seorang pencari
ilmu, agar ilmu yang didapat tidak cepat
terlupakan. Selain itu, Syekh Hisyam Kamil
dalam sebuah kesempatan menyampaikan,
menjaga pandangan (ghaddu al-bashar)

merupakan faktor lain yang mempengaruhi


kuatnya hafalan seorang pencari ilmu. Batasan
pandangan yang dimaksud seperti halnya
seorang lak-laki memandang perempuan dari
ujung kepala hingga ujung kaki dan sebaliknya.
Lebih lanjut beliau juga menjelaskan bahwa
pandangan merupakan salah satu pintu masuk
tipu daya setan.
Faktor penting lainnya yang sering
dilalaikan oleh seorang pencari ilmu adalah
menghidupkan malam hari dengan ibadah.
Dalam hal ini, jika seorang mampu membaca
seratus ayat al-Quran saat bangun di malam hari,
maka ia termasuk dalam golongan orang-orang
yang taat kepada Allah (qanithin). Apabila hal ini
dilakukan dengan istikamah, insya Allah seorang
penuntut ilmu tidak akan menemui kesulitan
berarti. Ini artinya, sebesar apapun upaya yang
dilakukan, munajat kepada Allah memiliki ruang
yang besar dalam setiap kemudahan yang
didapat oleh seorang penuntut ilmu. Allah
berfirman: Dan bertakwalah kepada Allah, dan
Allah akan memberikan pengajaran kepadamu, dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. alBaqarah: 282)
Beberapa hal yang telah disebutkan
di atas, bukanlah faktor mutlak bagi seorang
pencari ilmu untuk dapat menguatkan
hafalannya atau mengurangi kesulitan dalam
mencari ilmu. Faktor-faktor tersebut tidak lain
hanya sebagian usaha yang dapat dilakukan oleh
kita sebagai manusia dalam berikhtiar mencari
ilmu. Setelah manusia berikhtiar, maka Allah
SWT yang akan mengajarkan ilmu kepada
hamba-Nya.
Memasuki ujian di termin ini, tidak
sedikit dari kita yang memiliki masalah kesulitan
dalam menghafal pelajaran ataupun menghafal al
-Quran. Kiat mencari ilmu di atas, setidaknya
dapat anda lakukan dalam setiap kondisi agar
kita semua menjadi penuntut ilmu yang baik.
Dalam edisi undur diri kali ini, IQRA
menghadirkan konsep nasikh-mansukh dalam al
-Quran; mengenal lebih jauh sosok Ibnu Katsir;
memahami ilmu qiraat; mengkaji wanita dalam
syariat Islam serta bagaimana menyebarkan
Islam dengan akhlak karimah. Semoga sukses
dan selamat membaca!

Susunan Redaksi Buletin IQRA Kajian AL-IJAZ IKPM Kairo


Dewan Penasihat: Ketua IKPM Cabang Kairo; Pembimbing: Bagian Keilmuan IKPM Cabang Kairo; Penanggung Jawab Umum: Alfina Wildah; Pemimpin
Umum: Putri Rezeki Rahayu; Pemimpin Redaksi: Jakfar Shodiq; Pemimpin Usaha: Uswatun Hasanah; Editor: Saeful Luthfy, Maulidatul Hifdhiyah Malik;
Layouter: Rusydiana Tsani, Nur Fitria Qurrotu Aini; Kru: Novan Hariansyah, Hilmy Mubarak, Jauharotun Naqiyah, Anisa Nur Rohmah, Ari Kurniawati, Risky Maratul
Mu'allamah, Nisaul Mujahidah.
Alamat Redaksi: Swessry B - Gami', Hay 10, Nasr City, Egypt 32206
B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

X I I ,

D E S E M B E R

2 0 1 4

FIKRAH

Hati-hati dengan Lisan

Jakfar Shodiq

alah satu kenikmatan Allah SWT yang tak terhingga


adalah lisan. Dengannya kita dapat berbicara, makan
dan minum. Meskipun lisan merupakan anggota
badan manusia yang cukup kecil jika dibandingkan
anggota badan lainnya. Akan tetapi, ia dapat menyebabkan
pemiliknya dimasukkan ke surga atau sebaliknya
dilemparkan ke dalam api neraka. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya kita sebagai seorang muslim memperhatikan
apa yang hendak diucapkan dari lisan kita, karena bisa jadi
perkataan yang kita anggap ringan dan sepele namun
ternyata hal itu merupakan sesuatu yang mendatangkan
murka Allah SWT. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
Sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang
mendatangkan keridaan Allah, namun dia menganggapnya ringan,
karena sebab perkataan tersebut Allah meninggikan derajatnya, dan
sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang
mendatangkan kemurkaan Allah, namun dia menganggapnya
ringan, dan karena sebab perkataan tersebut dia dilemparkan ke
dalam api neraka. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada
sebuah
pepatah
Arab
mengatakan:Tergelincirnya kaki itu lebih baik dari pada
tergelincirnya lisan. Dari pepatah tersebut kita dapat
mengambil pelajaran bahwa lisan sangatlah berbahaya jika
kita tidak benar-benar menjaganya. Sebab dengan lisan apa
saja bisa berubah, yang dahulunya teman bisa menjadi
musuh, yang dahulunya baik bisa menjadi buruk. Ambil saja
contoh dari sebuah pertemanan, ada tiga orang anak lakilaki mereka sangat akrab sekali menganggapnya mereka
bukan hanya teman biasa. Mereka bagai sahabat yang tidak
terpisahkan karena mereka dahulu selalu bersama dari kecil
hingga dewasa. Akan tetapi suatu ketika persahabatan
mereka terputus dan berubah menjadi musuh. Hal ini
disebabkan mereka tidak bisa menjaga lisan mereka, saling
tuduh menuduh, menjelekkan satu sama yang lain sampai
menyakiti hati yang lain.
Menjaga lisan sangatlah penting bagi kehidupan
kita supaya tidak terjadi salah faham dan menyakiti hati
orang lain. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat
al-Isra ayat 36 yang berbunyi:Dan janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggung jawabannya. Ayat di atas menjelaskan
bahwa janganlah kamu katakan aku melihat padahal kamu
tidak melihat, jangan pula katakan aku mendengar sedang
kamu tidak mendengar, jangan pula katakan aku tahu sedang
kamu tidak mengetahui, karena sesungguhnya Allah SWT
akan meminta pertanggungjawaban atas semua hal tersebut,
begitu juga apa yang kita bicarakan dengan lisan kita sendiri.
Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita
bagaimana cara kita untuk menjaga lisan agar tidak
menyakiti orang lain yaitu dengan mengatakan perkataan
yang baik atau jika tidak, maka diam adalah lebih baik.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah perkataan

yang baik atau jika tidak maka diamlah. (HR. Bukhari dan
Muslim). Begitulah cara Rasulullah mengajarkan, jika kita
hendak berkata maka berpikirlah terlebih dahulu. Apabila
tampak adalah kebaikan maka ucapkanlah perkataan
tersebut, namun jika yang tampak adalah keburukan atau
bahkan kita ragu-ragu, maka tahanlah diri kita dari
mengucapkan perkataan tersebut. Kemudian Rasulullah
juga mengingatkan kita dalam sabdanya: Di antara tanda
baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang
tidak bermanfaat baginya. (HR. Al-Tirmidzi). Oleh karena
itu, termasuk di antara baiknya Islam seseorang adalah
ketika ia menjaga lisannya dan meninggalkan perkataanperkataan yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya
atau bahkan perkataan yang dapat mendatangkan bahaya
bagi dirinya.
Adapun salah satu bahaya besar jika kita tidak
menjaga lisan adalah menyebabkan pelakunya dimasukkan
ke dalam api neraka, meskipun itu hanya perkataan yang
dianggap sepele oleh pelakunya. Begitu juga bahwa
perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang
masuk neraka adalah perkataan yang keluar dari lisannya.
Hal yang termasuk maksiat dalam perkataan yang perlu
kita hindari seperti perkataan yang mengandung
kesyirikan, persaksian palsu, menuduh berzina, perkataan
dusta, ghibah dan adu domba. Sebagaimana telah di
jelaskan sebagian di atas. Kemudian yang akan kita
dapatkan dalam menjaga lisan adalah surga. Rasulullah
SAW bersabda: Barang siapa yang mampu menjamin untukku
apa yang ada di antara kedua rahangnya lisan dan apa yang ada
di antara kedua kakinya kemaluan aku akan menjamin baginya
surga. (HR. Bukhari) Dari Hadis tersebut, kita sebagai
seorang Muslim sudah selayaknya menjaga lisan kita dari
hal-hal yang membahayakan agar mendapat rida Allah
SWT.
Manusia adalah apa yang diucapkannya. Oleh
karena itu, setiap orang hendaknya berucap dengan sopan.
Selain utuk menjaga perasaan sesamanya, kata-kata adalah
cermin hati seseorang. Dari kata-kata, yang diucapkan atau
ditulis, kita bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkan
oleh orang tersebut. Kalimat-kalimat yang mengekspresikan kemarahan, kesedihan, kebahagiaan, ketegaran dan
lainnya menunjukkan si pengucap atu penulis sedang
dalam kondisi tersebut. Lebih dari itu, melalui kata-kata,
kita juga bisa menilai dan memahami kepribadian orang
yang menuturkan kalimat tersebut.
Melalui tulisan singkat ini, kita sudah
mengetahui manfaat menjaga lisan serta akibatnya.
Dengan demikian, kita harus berpikir terlabih dahulu atau
menyaring perkataan kita sebelum kita mengucapkannya,
apakah perkataan tersebut mendapatkan rida Allah SWT
atau malah mendapat murka Allah SWT. Wallahu Alam.

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

X I I ,

D E S E M B E R

2 0 1 4

4 QADHAYA

Membaca Wanita dalam Syariat Islam


Risky Maratul Muallamah

ecara etimologi, syariat diartikan sebagai peraturan


atau jalan. Dalam surat al-Jatsiyah ayat 18, Allah SWT
berfirman: Kemudian Kami jadikan engkau
(Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu,
maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan
orang-orang yang tidak mengetahui. Sedangkan dalam kamus
diartikan sebagai segala sesuatu yang disyariatkan atau
diperintahkan Allah SWT untuk hamba-Nya dalam hal agama
seperti: puasa; salat; haji serta segala perbuatan yang
mengandung kebaikan. Kata syariat dalam Mujam Alfadz
Al-Quran juga diartikan sebagai suatu perkara dalam agama
yang sudah dijelaskan dan disampaikan.
Pada masa Jahiliyah kaum wanita begitu
dipandang sebelah mata. Jangankan untuk memuliakannya,
menganggapnya sebagai seorang manusia pun tidak.
Kedudukan wanita ketika itu berada pada titik paling hina dan
selalu direndahkan. Kelahiran dan kehadirannya amat dibenci
dan sama sekali tidak diharapkan. Perilaku Jahiliyah ini telah
diabadikan dalam al-Quran surat al-Nahl ayat 58-59 yang
artinya: Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam),
dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan
kabar buruk yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan
memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan
membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah
buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu. Tidak hanya itu,
kehadiran mereka dianggap bencana dan musibah. Mereka
juga dianggap sebagai penyebab kemiskinan dan kekafiran.
Setelah datangnya syariat Islam, wanita sangat
dihormati, dimuliakan dan dijunjung tinggi martabatnya.
Membebaskannya dari siksaan ataupun tuduhan seperti yang
terjadi pada kaum sebelumnya. Begitu banyak ayat al-Quran
yang mejelaskan tentang kewajiban untuk melindungi
perempuan. Contohnya dalam hal perceraian yang dijelaskan
dalam surat al-Baqarah ayat 231: Dan apabila kamu
menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya, maka
tahanlah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka
dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka
dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barangsiapa
melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri.
Ayat tersebut menjelaskan adanya larangan untuk menyakiti
atau menzalimi perempuan. Ini adalah wujud bahwa
perempuan harus dilindungi dan dijaga. Dijelaskan juga dalam
surat al-Nisa ayat 34: Maka perempuan-perempuan yang salehah
adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika
(suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).
Seorang perempuan kedudukannya sama dengan
laki-laki dalam hal pahala dan keutamaan di sisi Allah SWT.
Hal itu bergantung pada kadar keimanan dan amal saleh. Nabi
SAW bersabda: Sesungguhnya wanita itu adalah saudara (bagi)
laki-laki. Aturan dan hukum yang ada dalam Islam
diperuntukkan bagi laki-laki dan perempuan kecuali beberapa
ayat al-Quran atau Hadis yang menjelaskan tentang perbedaan

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

X I I , D E S E M B E R

2 0 1 4

antara keduanya. Contohnya, laki-laki diwajibkan salat Jumat


di masjid, sedangkan perempuan tidak diwajibkan; laki-laki
diwajibkan untuk menafkahi keluarganya, sedangkan wanita
tidak diwajibkan untuk menafkahi siapapun.
Syariat Islam memahami perbedaan laki-laki dan
wanita dalam kodrat dan kemampuan masing-masing. Allah
berfirman dalam QS. al-Mulk ayat 14: Apakah Allah yang
menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau
rahasiakan) dan Dia Maha halus lagi Maha Mengetahui?. Dari
ayat tersebut, dapat dipahami bahwa hukum yang ada dalam
Islam sudah ditentukan sesuai kemampuan masing-masing,
karena Allah menciptakan manusia baik laki-laki maupun
perempuan, dan dengan demikian, Dia juga yang
mengetahui mana yang dianggap baik dan buruk bagi
masing-masing laki-laki dan perempuan.
Dalam Islam, kedudukan laki-laki dan wanita
setara. Suatu ketika, seorang Sahabat bernama Nasibah binti
Kaab datang kepada Rasulullah. Dalam barisan Sahabiyah,
Nasibah merupakan salah satu Sahabat yang banyak ikut
dalam berbagai peperangan besar, salah satunya perang
Uhud. Ia bertanya, Wahai Rasulullah, aku mendapati (ayat
dalam al-Quran) selalu untuk laki-laki. Lantas, pada bagian mana
wanita disebut? Kemudian turunlah surat al-Ahzab ayat 35,
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, lakilaki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya,
laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar. (HR. Tirmidzi)
Dari riwayat tersebut, dapat dipahami bahwa
kedudukan wanita dengan laki-laki sama sekali tidak berbeda. Keduanya dijanjikan pahala yang besar selama mereka
bertakwa kepada Allah. Ini artinya, persamaan antara lakilaki dan perempuan adalah persamaan dalam mendapatkan
hak dan tugas atau perintah masing-masing. Sama halnya
dengan persamaan mereka sebagai makhluk Allah SWT
yang sama-sama mempunyai akal untuk berpikir dan
makhluk yang dibebani dengan perintah dan larangan-Nya.
Beberapa permasalahan terkait Wanita
Pertama: diperbolehkan bagi seorang perempuan
salat berjamaah di masjid, akan tetapi jika terjadi fitnah
(menarik perhatian kaum laki-laki), hukumnya menjadi
makruh. Rasulullah bersabda: Sebaik-baik masjid bagi kaum
wanita adalah rumah-rumah mereka. Hadis ini menjelaskan
bahwa seorang wanita lebih baik salat berjamaah di rumahnya ketimbang di masjid.
Kedua: seorang perempuan wajib mendapatkan
harta warisan, sebagaimana yang telah Allah SWT tentukan
untuknya dan tidak boleh diputus atau dihilangkan dari ahli

QADHAYA
warisnya. Allah SWT berfirman yang artinya:
Bagi seorang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu
-bapak dan kerabatnya, dan bagi seorang perempuan ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (QS. al-Nisa: 7)
Sementara itu, dalam Hadis juga dijelaskan
larangan untuk meniadakan warisan tersebut untuk
perempuan. Rasulullah SAW bersabda: Siapa saja memutus
warisan dari ahli warisnya, maka Allah akan memutus
warisannya dari surga pada hari Kiamat nanti. Hadis tersebut
juga menjelaskan hak masing-masing, baik laki-laki
maupun perempuan dalam memperoleh harta warisan
serta larangan untuk menzalimi dengan meniadakannya.
Ketiga: wanita wajib mendapat nafkah,
makanan dan tempat tinggal yang layak dari ayah dan
ibunya jika dia belum menikah. Apabila tidak ada orang
tua, maka sebagai gantinya adalah saudara, keluarga atau
kerabatnya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 233: Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anakanaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara
sempurna, dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian
mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya
dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli
waris pun (berkewajiban) seperti itu pula.
Adapun bagi istri wajib mendapatkan nafkah
dari suaminya dan segala keperluan yang dibutuhkan
seperti makan; minum; pakaian dan tempat tinggal dengan
cara yang baik. Allah SWT berfirman: Laki-laki (suami) itu

pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan


sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan),
dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari
hartanya. (QS. al-Nisa: 34). Keempat: seorang wanita tidak
boleh menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan
orang lain. Rasulullah SAW bersabda: Siapa saja wanita
yang menikah tanpa izin dari walinya maka batal (tidak sah)
nikahnya. Hadis lain yang menjelaskan hal serupa
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah SAW
bersabda:Seorang wanita dilarang untuk menikahkan
perempuan lainnya dan dilarang menikahkan dirinya sendiri.
Keempat: seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan orang lain.
Rasulullah SAW bersabda: Siapa saja wanita yang menikah
tanpa izin walinya maka batal (tidak sah) nikahnya. Hadis
lain yang menjelaskan hal serupa diriwayatkan oleh Ibnu
Majah. Rasulullah SAW bersabda: Seorang wanita dilarang
untuk menikahkan perempuan lainnya, dan (juga) dirinya
sendiri.
Penulis menyimpulkan bahwa agama Islam
telah menjunjung tinggi derajat wanita, sehingga tidak
dianggap seperti budak atau tempat cacian serta
meletakkannya di tempat yang paling mulia. Mereka juga
dibebani dengan perintah dan larangan Allah SWT serta
dijaga oleh-Nya dari siksaan seperti yang dilakukan di
zaman jahiliyah. Allah menentukan segala syariatnya
berupa perintah dan larangannya untuk wanita sebagai
bukti bahwa mereka dimuliakan dan dijaga oleh Allah
SWT. Wallahu Alam.

Sambungan Taubat dari hlm. 1


kelompok yang selamat yaitu ahli sunnah dan jamaah.
Terlepas siapa mereka, tulisan ini akan
mengungkap salah satu dari ciri-ciri yang disebutkan di
atas, yaitu orang yang bertaubat. Menurut Sayid Muhamad
Abu al-Azaim dalam bukunya Ushul al-Wushul li
maiyati Rasulullah, pengertian taubat adalah kembali
kepada Allah dan penyesalan terhadap perbuatan yang
telah dilakukan. Perbuatan yang dimaksud adalah dosa
yang dilakukan seorang hamba. Seorang mukmin yang
beriman dan mengerjakan maksiat, sepatutnya meminta
ampunan kepada Allah atas segala dosa-dosanya Dan orang
-orang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri
sendiri (segera) mengingat Allah SWT, lalu memohon ampunan atas
dosa-dosanya dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa
selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu
sedang mereka mengetahui. (QS. Al-Maidah: 135)
Lebih lanjut, Abu al-Azaim membagi taubat ke
dalam dua kategori. Pertama, taubat secara umum seperti
dalam firman Allah SWT pada surat al-Nur ayat 31, Dan
bertaubat kamu semua kepada Allah SWT wahai orang-orang yang
beriman agar kamu beruntung. Maksud dari taubat di sini
adalah kembali kepada Allah SWT dengan meninggalkan
hawa nafsu dan syahwat kenikmatan dunia untuk
mendapat kemenangan yang tak terbatas, yaitu kenikmatan
surga.

Kedua, taubat secara khusus sesuai dengan


firman Allah SWT dalam QS. al-Tahrim: 8, Wahai orangorang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
sungguh-sungguh (taubat nasuha). Mudah-mudahan Tuhan kamu
akan menghapus segala kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan
kamu ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungaisungai. Taubat nasuha adalah taubat yang benar-benar
ikhlas meminta ampunan kepada Allah dan istikamah
dalam ketaatan. Menjalani semua perintah-Nya serta
meninggalkan maksiat hanya untuk mencari rida Allah
SWT semata, tanpa diimbuhi perasaan lainnya seperti
pujian dari orang atau membanggakan diri.
Ketika seseorang datang kepada Allah dengan
hati yang bersih dan melepaskan semua hawa nafsunya,
maka Allah akan menutup hidupnya dengan khusnul
khatimah. Rasulullah dalam salah satu Hadisnya bersabda:
Seseorang yang bertaubat adalah kekasih Allah, dan seseorang
yang (mau) bertaubat bagaikan orang yang tidak mempunyai
dosa. (HR. Ibnu Majah). Pada hakikatnya, seorang mukmin
sangat dianjurkan bertaubat dan memohon ampun kepada
Allah SWT ketika khilaf dalam melakukan dosa. Semoga
kita menjadi orang-orang yang dicintai Allah dan bersama
orang-orang yang mencintai Allah SWT. Wallahu alam

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

X 1 I ,

D E S E M B E R

2 0 1 4

6 MABHATS

Memahami Kaidah Qiraat Quraniyah


Nur Fitria Qurrotu Aini

Ibnu al-Jazari dalam

al-Nasyr fi alQiraat
al-Asyr
menyebutkan tiga syarat
dalam hal ini. Pertama,
setiap qiraat harus
sesuai dengan bahasa
Arab walaupun dalam
satu segi. Kedua, harus
sesuai dengan salah satu
Mushaf
Utsmani
walaupun
memiliki
berbagai kemungkinan,
dan tentunya harus
memiliki
sanad
mutawatir
dari
Rasulullah SAW.

urunnya al-Quran dalam


tujuh huruf merupakan
kemudahan bagi umat
Islam dalam membaca al
-Quran. Perbedaan dialek dari
setiap bangsa Arab menjadikan
bacaan al-Quran setiap kaum
berbeda sesuai dengan apa yang
mereka dapatkan dari para Sahabat.
Pembacaan al-Quran seperti inilah
yang biasa disebut qiraat. Hal ini
telah dipelajari oleh umat Islam
setelahnya hingga qiraat menjadi
sebuah disiplin ilmu.
Qiraat secara etimologis
merupakan bentuk jamak dari alQiraah yang berarti bacaan.
Sedangkan secara terminologis
qiraat merupakan sebuah ilmu untuk
mengetahui cara pelafalan kalimat alQuran serta perbedaan di dalam
bacaannya yang dinisbatkan kepada
penukil qiraat tersebut.
Al-Quran
dan
qiraat
merupakan dua entitas berbeda yang
memiliki kaitan erat. Al-Quran adalah
wahyu yang turun kepada Rasulullah,
sedangkan qiraat ialah perbedaan dalam
melafalkan
al-Quran
dan
cara
membacanya. Lebih dari itu, dalam qiraat
juga disyaratkan adanya talaqqi dan
musyafahah dengan para syekh, sehingga
sanad
yang
bersambung
sampai
Rasulullah tidak terputus.
Hukum mengikuti qiraat
adalah sunah mutabaah, sedangkan kiyas
di dalamnya batil. Diterimanya sebuah
qiraat berdasarkan pada atsar, dengan
tidak ada penambahan ataupun campur
tangan dari siapapun dalam qiraat ini.
Selain itu, tidak ada kiyas dalam qiraat,
karena qiraat bertumpu pada penukilan
riwayat yang mutawatir. Dengan
demikian, kiyas dalam qiraat batil dan
kita tidak dapat mengiaskan satu bacaan
dengan bacaan lainnya.
Ketentuan-ketentuan dalam Qiraat
Para ulama memberikan
syarat-syarat khusus dalam qiraat. Syarat
inilah yang menjadi batasan mutawatir
dari para qurra. Ibnu al-Jazari dalam alNasyr
fi
al-Qiraat
al-Asyr
menyebutkan tiga syarat dalam hal ini.

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

X I I ,

D E S E M B E R

2 0 1 4

Pertama, setiap qiraat harus sesuai dengan


bahasa Arab walaupun dalam satu segi.
Kedua, harus sesuai dengan salah satu
Mushaf Utsmani walaupun memiliki
berbagai kemungkinan, dan tentunya harus
memiliki sanad mutawatir dari Rasulullah
SAW.
Maksud dari syarat pertama,
sesuai dengan bahasa Arab, qiraat tersebut
harus sesuai dengan kaidah Nahwu baik
fasih ataupun yang lebih fasih, yaitu
disepakatinya kaidah tersebut sekalipun
terdapat perbedaan di dalamnya. Adapun
maksud dari syarat kedua, bukan mushaf
yang telah dimusnahkan pada masa Ustman
bin Affan, melainkan sesuai dengan salah
satu mushaf yang telah disebarkan ke
berbagai wilayah Islam ketika itu.
Kedua persyaratan tersebut
belum bisa diterima jika sanad dalam qiraat
tersebut tidak mutawatir. Ibnu Jazari
berpendapat,
sanad
merupakan
hal
terpenting dalam qiraat. Sebaliknya, ia
mengatakan bahwa qiraat syadz lahir dari
ketiadaan mutawatir dalam penukilan
riwayat,
sekalipun
qiraat
tersebut
menggunakan bahasa yang lebih fasih dan
makna yang kuat.
Adapun jika dilihat dari segi
sanad, terdapat enam macam periwayatan
dalam qiraat. Pertama, mutawatir, yaitu
riwayat yang diriwayatkan oleh sekumpulan
para rawi dan tidak mungkin sepakat untuk
berbohong di dalamnya. Kedua, masyhur,
yakni riwayat sahih yang diriwayatkan oleh
para rawi, sesuai dengan rasm Utsmani dan
kaidah bahasa Arab, akan tetapi riwayat ini
tidak mencapai derajat mutawatir karena
tidak diriwayatkan oleh banyak rawi.
Ketiga, ahad, yaitu riwayat yang
memiliki sanad sahih akan tetapi tidak sesuai
dengan rasm Utsmani dan kaidah bahasa
Arab. Dalam arti lain, riwayat ini tidak
masyhur dan tidak mutawatir. Keempat,
syadz, yaitu riwayat yang tidak sahih
sanadnya. Kelima, maudhu, yaitu hadis palsu
atau menisbatkan hadis bukan kepada
perawi aslinya. Keenam, syabih bi al-mudraj
yaitu memberikan penambahan dengan
penafsiran ayat pada riwayat tersebut.
Dari berbagai macam riwayat ini,
tidak ada perbedaan pendapat dari para
ulama, bahwasanya al-Quran harus memiliki

MABHATS
sanad yang mutawatir. Al-Quran merupakan mukjizat yang
menjadi pondasi umat Islam. Oleh karena itu, sanad yang
tidak mutawatir tidak dapat dikatakan sebagai al-Quran.
walaupun terdapat perbedaan pendapat dari para ulama
mengenai makna mutawatir dalam al-Quran itu sendiri.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, salah
satu dari macam-macam qiraat dilihat dari segi sanadnya
yaitu syadz. Secara bahasa, syadz berasal dari kata syadzayasyudzu, sedangkan secara istilah, Syaban Muhammad
Ismail dalam buku al-Qiraat Ahkamuha wa
Mashdaruha menjelaskan, qiraat syadz adalah qiraat yang
tidak memenuhi tiga rukun qiraat.
Dengan pengertian seperti ini, dapat dipahami
bahwa qiraat selain mutawatir termasuk qiraat syadz. Di sisi
lain, sebagian ulama mengatakan bahwa qiraat tidak harus
mutawatir, melainkan cukup dengan riwayat sahih masyhur
disertai dua syarat lainnya. Pendapat ini tidak disetujui oleh
sebagian ulama lainnya, salah satunya Musa Syahin Lasyin
dalam bukunya Al-Laali al-Hisan fi Ulum al-Quran.
Dalam pandangannya, riwayat sahih masyhur tidak
mencukupi syarat qiraat yang diterima.
Dalam hal ini, Syaban Muhammad Ismail
menjelaskan bahwa syarat diterimanya qiraat dengan sanad
mutawatir merupakan pendapat jumhur ulama dari para
Ushuliyyin; Fuqaha; Muhadditsin dan Qurra, sedangkan
pendapat yang mengatakan diterimanya qiraat dengan sanad
sahih masyhur merupakan pendapat yang lemah, sebab
menyamakan al-Quran dan selain al-Quran. Hal ini sesuai
dengan definisi al-Quran yang telah disepakati ulama, yaitu
kalam Allah yang dinukil secara mutawatir. Dengan
demikian, bacaan apapun dalam al-Quran, jika tidak dinukil
secara mutawatir, tidak bisa disebut al-Quran.
Selanjutnya, jika dilihat dari diterima atau
tidaknya qiraat, terdapat tiga karakteristik qiraat. Pertama,
qiraat yang diterima bacaannya seperti qiraat yang dibaca
saat ini, yaitu qiraat yang memiliki sanad mutawatir, sesuai
dengan rasm Utsmani dan kaidah bahasa Arab. Kedua, qiraat
yang diambil dengan sanad ahad, sesuai dengan kaidah
bahasa Arab tetapi lafalnya berbeda dengan rasm Utsmani.
Qiraat
ini
diterima dengan
syarat
tidak
boleh membaca
al-Quran dengan
qiraat ini, karena
pengambilan
qiraat
dengan
riwayat
ahad
tidak
bisa
dijadikan
sandaran.
Ketiga,
qiraat
yang
dinukil
dengan riwayat
tsiqah
ataupun
tidak dan tidak
sesuai
dengan
kaidah
bahasa

Arab, maka tidak diterima walaupun sesuai dengan rasms


Utsmani. Qiraat yang kehilangan salah satu rukunnya, yaitu
tidak mutawatir, tidak sesuai dengan rasm Utsmani serta
tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab disebut qiraat syadz.
Qiraat seperti ini tidak boleh dibaca dan tidak bisa dikatakan
al-Quran.
Lebih
lanjut,
perbedaan
qiraat
juga
mengakibatkan perbedaan pendapat dalam pengambilan
suatu hukum. Imam Haramain mengatakan qiraat syadz
tidak boleh dipakai seperti halnya pendapat Imam Syafi'i.
Perkataan ini diikuti oleh Abu Nasr al-Qusyairi, dan Ibnu alHajib.
Sedangkan Abu Thib, Husain, Ruwayani dan
Rafi'i membolehkan penggunaan qiraat syadz. Para ulama
tersebut memperkuat pendapatnya dengan perkataan Imam
Abu Hanifah yang membolehkan penggunaan qiraat Ibnu
Masud dalam pengambilan suatu hukum. Adapun Imam
Nawawi berpendapat bahwa hukum membaca qiraat syadz
baik dalam salat ataupun lainnya tidak boleh. Para ulama
menyetujui hal ini dan mengatakan bahwa qiraat syadz
bukanlah al-Quran.
Adanya perbedaan dalam qiraat tidak terlepas
dari faktor-faktor yang menyebabkan munculnya berbagai
qiraat dalam al-Quran. Di antara sebab tersebut: pertama,
kembali pada para Sahabat yang berbeda dalam
membacakan al-Quran, berdasarkan apa yang telah
Rasulullah SAW bacakan kepada mereka. Kedua, kembali ke
Mushaf Utsmani yang disebar ke berbagai wilayah. Ketiga,
ketika pengumpulan al-Quran pada masa Utsman, tidak
sempurna mendapat kesepakatan dari seluruh Sahabat, akan
tetapi masih terjadi perbedaan dalam kemutawatiran riwayat
dari al-Quran. Keempat, tulisan (khat) Arab pada setiap
mushaf yang disebar juga menjadi salah satu faktor
perbedaan qiraat dalam al-Quran.
Dari seluruh faktor ini, hal mendasar yang
menjadi penyebab perbedaan qiraat kembali pada definisi
tujuh huruf (sabatu ahruf). Adanya perbedaan dalam qiraat
al-Quran bukan merupakan perbedaan tadhad akan tetapi
perbedaan tanawwu'. Dengan demikian, perbedaan yang ada
tidak mengubah al-Quran seperti yang diwahyukan kepada
Rasulullah SAW. Tujuh huruf yang terdapat dalam al-Quran
mencakup berbagai qiraat dengan sanad yang tersambung
hingga Rasulullah SAW.
Munculnya beragam qiraat juga tidak terlepas
dari para Qurra dengan talaqqi dan musyafahah yang mereka
lakukan dengan para Sahabat. Para Qurra inilah yang
mempelajari qiraat al-Quran dan kemudian membacakan
berbagai qiraatnya kepada umat Islam setelahnya.
Telah disepakati oleh para ulama bahwa qiraat
yang dibacakan oleh tujuh imam merupakan qiraat
mutawatir. Ketujuh imam tersebut yaitu Nafi' al-Madani;
Ibnu Katsir al-Makki; Abu Amru bin Ala al-Bashri;
Abdullah bin Amru al-Syami; Ashim bin al-Najud al-Kufi;
Hamzah al-Kufi; dan Kisai al-Kufi. Adanya qiraat beserta
beragam metodenya tidak terlepas dari para qurra yang
melakukan musyafahah dengan para Sahabat. Para qurra ini
kemudian membacakan kepada generasi setelahnya hingga
sampai kepada umat Islam saat ini. Wallahu alam.

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

X I I ,

D E S E M B E R

2 0 1 4

8 NADHRAH

Nasakh
dalam al-Quran
adalah suatu proses
penghapusan hukum
syariat dengan dalil
syariat yang datang
setelah
itu.
Penghapusan ini
adalah pencabutan
k e w aj i ban at as
mukallafin (yang
dibebani), bukan
penghapusan dengan
arti yang sebenarnya,
karena sesuatu yang
pernah terjadi tidak
bisa dihapus.
Sedangkan hukum
syariat adalah
sesuatu yang
diturunkan oleh
Allah SWT kepada
manusia, baik itu
berupa suatu hal
yang bersifat
perintah, larangan,
dan pilihan.

B U L E T I N

Sambungan dari Nasakh dan Mansukh dalam al-Quran


berupa dalil syariat. Ketiga, dalil yang
menghapus itu datang setelah dalil pertama
(yang dihapus). Keempat, adanya
pertentangan antara dua dalil dalam satu
pokok masalah.

mengetahui sejarah ayat yang datang terlebih


dahulu dan ayat yang datang setelah itu (asbab
nuzul). Dengan demikian, perkataan atau ijtihad
seorang mufasir tidak dapat dikatakan Nasakh.

Urgensi
Mansukh

Nasakh sendiri terbagi menjadi empat


bagian pokok: pertama, penghapusan al-Quran
dengan al-Quran (Nasakh al-Quran bi al-Quran).
Metode penghapusan al-Quran dengan al-Quran
adalah salah satu metode yang disetujui dan
diperbolehkan oleh para ulama. Ayat dalam alQuran adalah suatu kesatuan, sehingga saling
menafsirkan satu sama lain, dan ayat al-Quran
semuanya mutawatir karena bersumber langsung
dari Allah SWT. Jika ayat al-Quran bisa
dihapuskan maka selayaknya dihapus dengan ayat
al-Quran itu sendiri.
Kedua, penghapusan al-Quran dengan
Hadis (Nasakh al-Quran bi al-Sunnah). Metode ini
dibagi menjadi dua bagian; pertama, penghapusan al
-Quran dengan Hadis mutawatir (Nasakh al-Quran
bi al-Sunnah al-Mutawatiroh). Dalam metode ini
terjadi perbedaan pendapat dalam praktiknya.
Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Ahmad
berpendapat bahwa penghapusan al-Quran dengan
Hadis mutawatir diperbolehkan. Pendapat kedua
yang dikemukakan oleh Imam Syafii dan Ahlu
Dhahir, menyatakan bahwa Hadis mutawatir tidak
bisa menghapus ayat al-Quran, karena tidak ada
lagi yang lebih mulia daripada al-Quran itu sendiri.
Kedua, penghapusan al-Quran dengan Hadis ahad
(Nasakh al-Quran bi al-Sunnah al-Ahadiyyah).
Mayoritas ulama tidak setuju dengan metode
penghapusan ayat al-Quran dengan hadis ahad,
karena derajat Hadis ahad tidak sekuat Hadis
mutawatir
Ketiga, penghapusan Hadis dengan alQuran. Mayoritas ulama setuju dengan metode ini,
sebab al-Quran lebih kuat dari Hadis. Dengan
begitu, al-Quran bisa menghapus hukum yang
terkandung dalam suatu Hadis.
Keempat, penghapusan Hadis dengan
Hadis, metode ini dibagi menjadi empat bagian:
penghapusan Hadis mutawatir dengan Hadis
mutawatir; penghapusan Hadis ahad dengan Hadis
ahad; penghapusan Hadis ahad dengan Hadis
mutawatir dan terakhir penghapusan Hadis
mutawatir dengan Hadis ahad. Tiga bagian
pertama menurut logika dan syariat dibolehkan
dan bisa terjadi. Bagian keempat, yaitu
penghapusan Hadis mutawatir dengan Hadis ahad
banyak ditentang oleh para ulama, dikarenakan
kedudukan Hadis mutawatir lebih kuat daripada
Hadis ahad.

p em b ah a s an

N as a k h

Sebuah
kisah
yang
diriwayatkan oleh Abu Abdurrahman
menceritakan bahwa pada suatu hari, Ali
bin Abi Thalib memasuki sebuah masjid di
Kufah. Di masjid tersebut, ia melihat
seorang lelaki yang sedang menjelaskan
perkara agama kepada gerombolan orangorang di masjid. Ketika Ali melihat orang
tersebut mencampuradukkan perintah dan
larangan. Ali pun bertanya kepadanya:
Apakah kamu tahu nasakh dan
mansukh? Lelaki itu menjawab, Tidak.
Mendengar jawaban demikian, Ali berkata
kepadanya: (Kalau demikian) berarti
engkau telah celaka dan mencelakakan
(orang lain).
Kisah ini menunjukkan
urgensi mempelajari nasakh dan mansukh.
Ada beberapa sebab mengapa nasakhmansukh penting untuk dipelajari. Pertama,
karena objek kajiannya yang luas dan
panjang, sehingga memiliki beragam
metode dan cabang kajian. Kedua, selain itu
permasalahan ini memiliki bahasan yang
sangat rumit dan mendalam yang sering
menjadi perselisihan antar ahli fikih
dengan pengkaji studi al-Quran. Ketiga,
seseorang yang mempelajari NasakhMansukh secara mendalam akan mampu
membuka tabir sejarah penerapan hukum
Islam, sehingga mereka mampu
mengetahui kebijaksanaan Allah dalam
memberikan pembelajaran terhadap umat
manusia. Keempat, pondasi penting
dalam memahami ajaran Islam dan
mengetahui hukum-hukum yang
benar, terutama dalam
permasalahan dan dalil-dalil yang
secara zahir bertentangan.
Manna Qattan
menjelaskan berbagai macam cara
untuk mengetahui nasakh dan
mansukh: Pertama, adanya suatu
riwayat yang jelas dari Nabi
Muhammad SAW atau para
Sahabat. Kedua, ijmak umat bahwa
ayat ini yang telah terhapus
(mansukh), dan ayat ini yang menjadi
penghapusnya (Nasikh). Ketiga,

I Q R A , E D I S I

X I I ,

D E S E M B E R

2 0 1 4

Pembagian Nasakh menurut sumbernya

NADHRAH

Pembagian Nasakh ditinjau dari lafal dan praktiknya


Jika dilihat secara praktinya nasakh dibagi menjadi tiga bagian: pertama,
penghapusan hukum dan ayat (Nasakh al-Hukm wa al-Tilawah maan), contohnya terdapat
pada salah satu riwayat Sayyidah Aisyah mengatakan: al-Quran telah menjelaskan
bahwa jika seorang bayi telah menghisap sepuluh isapan yang diketahui maka akan
menjadi mahramnya. Kemudian ayat ini dihapus dengan lima isapan yang diketahui telah
menjadikan bayi tersebut mahram dari ibu susuannya.
Kedua, penghapusan ayat dan hukum masih tetap ada (Nasakh al-Tilawah maa
baqai al-Hukm), contoh: ayat tentang hukum rajam. Hukum rajam dijatuhkan kepada
para pezina baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah. Ayat ini tidak
tercantum dalam mushaf Utsmani tetapi hukumnya masih berlaku.
Ketiga, penghapusan hukum dan ayat masih tetap ada (Nasakh al-Hukm maa
baqai al-Tilawah). Contohnya ada dalam surat al-Baqarah ayat 240 yang dihapus dengan
ayat 234. Ini dalam permasalahan masa idah. Pada ayat pertama dikatakan bahwa masa
idah adalah satu tahun, kemudian datang ayat setelahnya yang menjelaskan bahwa masa
idah adalah empat bulan dan sepuluh hari. Dalam contoh ini terdapat perdebatan, ulama
lain berpendapat dua ayat ini bisa termasuk dalam pengkhususan (takhsis) bukan nasakh.
Jika wanita hamil maka masa idahnya adalah satu tahun, dan masa idah bagi yang tidak hamil adalah empat bulan
sepuluh hari. Namun ayat pertama tidak bisa digunakan sebagai dalil bagi masa idah yang hamil, karena habisnya masa
idah bagi orang yang hamil adalah ketika ia melahirkan. Ini terdapat pada surat al-Thalaq ayat 4, dan bukan satu tahun.

Perdebatan Ulama seputar Nasakh dan Mansukh


Al-Qaradhawi mengelompokkan pandangan
ulama seputar Nasakh-Mansukh ke dalam tiga kelompok:
pertama, kelompok yang mengatakan adanya nasakh dalam
al-Quran, kelompok ini memperluas makna nasakh
tersebut, sehingga sangat mudah sekali berkata bahwa
ayat ini dihapus dengan ayat ini dalam surat ini. Kedua,
kebalikan dari kelompok pertama, yaitu kelompok yang
mengingkari adanya nasakh dalam al-Quran secara
keseluruhan. Ini adalah perkataan Abu Muslim alAshfahani, Imam Razi serta ulama kontemporer seperti
Muhammad Abduh dan Khudri Bek. Ketiga, pendapat
tengah-tengah, yaitu dikatakan nasakh jika dilandaskan
dalil yang benar dan jelas, sehingga akal bisa lebih
menerima dan hati tenang. Pendapat ini yang banyak
diambil oleh para ulama, sebab tidak menolak nasakh
mentah-mentah namun menerima dengan harus adanya
dalil yang kuat, dan tidak terlalu mudah menggolongkan
suatu ayat sebagai ayat yang terhapuskan.
Syubhat tentang Naskh dan Mansukh
Sebagian kalangan mengatakan, jika
penghapusan dalam al-Quran itu ada, maka Allah SWT
menghapus suatu hukum dan digantikan dengan hukum
lainnya. Jika memang terjadi penghapusan dalam al-Quran
maka Allah SWT tidak mengetahui isi dalam al-Quran itu
sendiri. Sedangkan telah dinyatakan bahwa al-Quran itu
kitab yang benar hingga akhir zaman. Adanya
penghapusan ayat dalam al-Quran berarti menghapus sifat
kebenaran al-Quran tersebut.
Jawaban dari syubhat ini: penghapusan alQuran sama sekali tidak mengubah sifat Allah SWT yang
Maha Mengetahui, karena Allah SWT mengetahui
maslahat hamba-hamba-Nya, kapan suatu hukum
B U L E T I N

ditetapkan dan dihapuskan. Setiap apa yang Allah SWT


kehendaki pun tidak harus didasari sebab dan akibat
layaknya perbuatan manusia. Selain itu, ada hikmah di
balik penghapuskan tersebut, yaitu penetapan hukum
yang dilakukan secara bertahap atau yang sering kita sebut
tadarruj. Proses tadarruj ahkam seperti contoh hukum arak,
ketika zaman dahulu arak dibolehkan dalam Islam namun
hukum tersebut dihapuskan secara perlahan agar umat
Islam lebih siap untuk menerimanya.
Lebih dari itu, Allah SWT menurunkan suatu
kejadian tentu ada hikmahnya, seperti penghapusan
syariat yang ada pada agama sebelum agama Islam. Hal ini
menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna.
Seluruh urusan dunia dan akhirat semua diatur dalam
Islam. Begitu juga nasakh sebagian hukum dalam Islam.
Ketika suatu hukum yang sulit dihapus dan diganti
dengan mudah, maka itu adalahtanda bahwa Allah SWT
menyayangi hamba-Nya Sedangkan ketika yang mudah
diganti dengan yang sulit, merupakan tambahan pahala
bagi yang mengerjakannya.
Hikmah lainnya, bagi seorang muslim
hendaknya ditanamkan dalam hati kita bahwa ayat alQuran antara satu dengan lainnya berkesinambungan,
maka dengan adanya ayat yang dihapus atau menghapus
merupakan rahmat Allah SWT. Sehingga ketika kita sudah
beriman kepada Allah SWT, kita akan mengikuti apa yang
Allah SWT telah turunkan. Hal ini memang sempat
dipertanyakan oleh orang-orang kafir saat itu, namun alQuran kemudian menjawab bahwa penurunannya yang
berangsur-angsur adalah untuk memantapkan hati
Rasulullah SAW, juga berdampak pada pemantapan hati
kaum muslimin. Setelah Rasulullah SAW wafat, tidak ada
lagi pengurangan atau penambahan dalam hukum Islam.
Wallahu Alam bi al-Shawab.

I Q R A , E D I S I

X I I ,

D E S E M B E R

2 0 1 4

1 0 UDHAMA

Napak Tilas Imam Ibnu Katsir

Ari Kurniawati

ama lengkapnya
adalah Imaduddin
Abu Fid Ismail
ibnu Katsir bin Dlai
ibnu Katsir bin Zar` al-Qausi alQurasyi al-Busrawi al-Damsyiqi alSyafii. Menurut ahli sejarah beliau
dilahirkan di Mijdal, daerah
Bashrah sebelah timur kota
Damaskus pada tahun 701 H.
Namun, sejauh ini belum ada yang
menetapkan hari dan bulan beliau
dilahirkan. Ia hidup pada abad ke-8
di masa Dinasti Mamalik. Ayahnya
bernama Syihabuddin Abu Hafsh
Umar bin Katsir dilahirkan tahun
640 H. Abu Hafsh adalah seorang
ulama, ahli fikih, penceramah, ahli
bahasa, syiar, dan adab. Sosok seorang ayah memang
sangat berpengaruh dalam keluarga. Figur ayahnya yang
banyak mempengaruhi kepribadian Ibnu Katsir untuk
terus menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan dan
mendapatkan derajat yang tinggi, sehingga beliau terkenal
dengan Imam di segala disiplin ilmu. Pada bulan Jumadil
Ula tahun 703 H, Ibnu Katsir ditingal oleh ayah
tercintanya. Semenjak ayahnya wafat, peran ayah
digantikan oleh kakak kandungnya. Sejak ditinggal
ayahnya, Ibnu Katsir mulai banyak bergelut dalam
keilmuan yang langsung diajarkan oleh kakaknya.
Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke
Damaskus untuk menambah ilmu pengetahuan.
Sesampainya disana ia bertemu dengan banyak ulama dan
syekh terkenal seperti Imam Nawawi, Syekh Burhanuddin
Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari, Ibnu Taimiyah,
Syamsuddin al-Dzahabi, Ibnu Qayim dan banyak ulama
lainnya. Dengan kecerdasannya, pada usia sebelas tahun
ia sudah mengkhatamkan hafalan al-Qurannya di bawah
bimbingan Syekh Syamsuddin Abi Abdillah, seorang
imam masjid di kota Batikh. Ibnu Katsir mewarnai
hidupnya dengan beragam keilmuan baik ilmu agama
maupun sejarah. Dengan kecerdasan, pemahaman yang
baik, kekuatan hafalannya dan kepandaiannya dalam
memilih guru, di masa mudanya, dengan waktu yang tidak
lama dan atas izin Allah, Ibnu Katsir mampu menguasai
ilmu Fikih dan Hadis, sehingga tak sedikit ulama di
zamannya yang memuji kepandaiannya. Ibnu Katsir juga
sempat mulazamah dengan Syekh Jamaludin Yusuf bin
Zaki al-Mazzi (742 H), seorang ulama Suriah yang
mengarang kitab Tahdzibu al-Kamil. Syekh al-Mazzi
inilah yang kemudian menjadi mertuanya, setelah
menikahkan salah seorang putrinya bernama Zainab Binti
al-Hafidz al-Mazzi. Dalam kitab Bidayah wa Nihayah
ia menyebutkan bahwa istri dan ibu mertuanya adalah
seorang hafidzah al-Quran. Dari hasil pernikahannya, Ibnu
Katsir memiliki keturunan sebanyak lima orang yang
semuannya dididik untuk menyibukkan diri dalam bidang
keilmuan, khususnya Hadis, Fikih dan Sejarah. Beliau
B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

X I I ,

D E S E M B E R

2 0 1 4

sengaja mengabadikan namanya pada anak terakhirnya


dengan harapan anaknya tumbuh menjadi seorang
pakar di berbagai bidang keilmuan.
Ibnu Katsir selain aktif mendalami keilmuan
beliau juga mengisi hari-harinya dengan mengajar di
Masjid dan Madrasah. Beliau selalu mengamalkan ilmu
yang didapatnya kepada siapapun dan tidak mengenal
batasan, karena itulah murid yang menimba ilmu
kepadanya pun tidak terhitung. Di antara murid yang
diajarnya rata-rata sudah menjadi ulama besar dan telah
mendapat izin untuk berfatwa, seperti Saaduddin anNawawi, Syahabuddin bin Hijjy, Ibnu al-Jazariy, dan
Imam Zarkasyi.
Kecintaan Ibnu Katsir kepada ilmu tentu
membuatnya selalu ingin berkarya dan membagi
ilmuanya. Ibnu Katsir memiliki karya yang sangat
banyak, terutama dalam bidang Hadis karena beliau
terkenal sebagai pakar Hadis di zamannya. Selain Hadis,
ada beberapa kitab Tafsir dan Sejarah. Di antara karyakarya beliau, Tafsir al-Quran al-Adzim, Fadhail al-Quran,
Qaidah Ibnu Katsir fi al-Qiraat dan Muqadimmah fi Qiraat.
Karya dalam Hadis pun lebih banyak dari tafsirnya
seperti, al-Baits al-Hatsist fi Ikhtishar Ulum al-Quran,
Takmil fi al-Jarh wa al-Tadil, Jami Masanid wa Sunan alHadi , Musnad Syaikhaini Abi Bakar wa Umar, Thabaqat al
-Syafiiyah dan masih banyak karya lainnya. Adapun
karyanya dalam bidang Sejarah adalah al-Bidayah wa alNihayah.
Ibnu Katsir memiliki pengaruh yang besar
dalam bidang keilmuan di zamannya. Hampir sebagian
besar memuji kepribadian Ibnu Katsir khususnya pada
kitab-kitab yang telah ia tulis semasa hidupnya seperti
tafsir, Hadis dan bidayah wa nihayah. Seorang gurunya,
Syekh al-Dzahabi berkata, Ibnu Katsir memiliki
kualitas yang tinggi dalam ilmu Rijal, Matan, dan Fikih.
Ia banyak mengembara untuk mencari ilmu lalu
menuliskannya. Ibnu Katsir menghabiskan waktunya
untuk belajar, mengajar dan berkarya. Hingga di akhir
hayatnya ia kehilangan kedua matanya (baca: buta) yang
diperkirakan semenjak tahun 767 H, tujuh tahun
sebelum ia meninggal. Tidak ada riwayat pasti yang
menjelaskan penyebab Ibnu Katsir kehilangan kedua
matanya, akan tetapi diperkirakan bahwa Ibnu Katsir
kelelahan karena sepanjang hidupnya ia habiskan hanya
untuk menuntut ilmu, mengulang pelajaran, menulis,
berdiskusi dan berfatwa. Meskipun ia buta, akal
pikirannya tetap mampu membagikan ilmu kepada
sesama. Inilah yang membuatnya banyak dikenang
banyak orang.
Ahli sejarah sepakat bahwa Ibnu Katsir
meninggal di Damaskus tahun 774 H, sebagian besar
menetapkan hari Kamis, bulan Syaban. Beliau
dikuburkan di pemakaman Sufiyyah, Damaskus, di sisi
makam guru yang ia hormati dan cintai, yaitu Syekh
Ibnu Taimiyah.

MARJA

Komponen Dasar Memahami Al-Quran


Jauharotun Naqiyah

11

emahami al-Quran tidaklah dapat dilakukan seseorang tanpa ia


memiliki alat. Abu al-Ala al-Maududi dalam hal ini, menulis karya
untuk membantu kita memahami al-Quran dalam karyanya
Mabadi Asasiyah li Fahmi al-Quran.
Mengawali pembahasannya, dalam bukunya ia membedakan antara
uslub wahyu dan uslub yang digunakan manusia dalam menulis. Hal ini kemudian
dilanjutkan dengan maklumat penting yang harus dimiliki seseorang sebelum
memahami al-Quran, dilanjutkan dengan hakikat al-Quran sendiri hingga berakhir
pada seputar perbedaan dalam menafsirkan al-Quran.
Secara umum, buku-buku yang kita baca lebih membahas pada hal
tertentu sesuai dengan judulnya. Namun akan kita temukan al-Quran dengan uslub
yang belum pernah digunakan dalam buku-buku. Semuanya dituangkan tidak
hanya sekali akan tetapi diulang-ulang serta dengan uslub yang bermacam-macam.
Untuk mendapatkan ajaran yang ada dalam al-Quran, maka kita harus
mengimaninya. Hal ini berbeda dengan mereka yang tidak beriman atau
mempercayai al-Quran atau mempelajarinya hanya untuk memberikan syubhat.
Orang-orang seperti ini tidak akan menemukan hakikat yang diajarkan al-Quran.
Adapun hal penting yang harus dimiliki seseorang dalam memahami al-Quran
ialah kita harus mengetahui dari jenis apakah kitab al-Quran itu? Bagaimanakah
penurunannya? Apakah pembahasan yang ada di dalamnya? Apakah maksud atau
tujuan dalam al-Quran sendiri? Pertanyaanpertanyaan seperti inilah yang seharusnya
dapat dijawab dan diketahui oleh seorang yang
ingin memahami al-Quran. Kesalahan mereka
yang jatuh dalam syubhat tidak lain karena
tidak adanya pengetahuan yang dimiliki
tentang al-Quran. Tidak hanya itu, kita juga
harus mengetahui hakikat al-Quran sendiri.
Dalam masalah ini Abu al-Ala alMaududi menuliskan beberapa poin, pertama,
Allah menciptakan alam dan manusia di
dalamnya, memberikan akal yang dengannya
manusia dapat membedakan hak dan batil,
serta memberikan manusia kebebasan untuk
memilih antara keduanya. Kedua, ketika Allah
telah memberikan hal tersebut, maka ketika itu
pula Ia menekankan bahwa tidak ada Tuhan
yang disembah selain-Nya. Selain itu, Ia pun
menjadikan akhirat tujuan dalam kehidupan
manusia. Barangsiapa melanggarnya ia masuk
dalam ajaran yang tidak dikehendaki Allah.
Ketiga, Allah tidak menciptakan
manusia kecuali ia dapat membedakan hak dan
batil, namun sebagian dari mereka tidak
mengikuti ajaran yang benar. Keempat, Allah
memilih seorang di antara manusia untuk
menunjukan ajaran yang sesuai dengan
perintah-Nya. Kelima, diutuslah rasul di setiap
umat, akan tetapi tidak semua beriman
kepadanya. Di antara mereka ada yang
mengimaninya dan sebaliknya. Terakhir
diutuslah Nabi Muhammad guna menunjukan
umat Islam pada ajaran Allah dengan al-Quran
yang merupakan kitab umat Islam. Di
dalamnya terdapat petunjuk Allah yang
diturunkan pada Nabi Muhammad.

Pembahasan dan fokus al-Quran


ialah manusia, tentang apakah yang menjadi
sebab kebahagiaan dan kerugiannya. Al-Quran
diturunkan untuk membawa manusia pada
ajaran yang diinginkan Allah.
Di akhir pembahasan, Abu al-Ala
Maududi juga menuliskan metode seseorang
dalam mempelajari al-Quran lebih detail baik
secara global (ijmali) atau terperinci (tafsili) bagi
mereka yang ingin mendalami al-Quran.
Secara global, seorang yang ingin mempelajari
al-Quran harus melepaskan pemikiran yang
tidak berkaitan dengan al-Quran. Selain itu, ia
juga harus menjernihkan pikirannya dari segala
hal yang memungkinkannya jatuh dalam
syubhat. Kemudian membuka akalnya dengan
hati terbuka dan kesadaran akan sebuah tujuan
suci, yaitu memahami al-Quran.
Dengan hal ini, seorang yang ingin
memahami al-Quran harus mengulang-ulang
tanpa henti dalam mempelajarinya. Tidak
hanya itu, setelah seorang mempelajarinya
secara global, maka ia harus mempelajari
secara terperinci, dengan menetapkan dalam
pikirannya setiap segi yang diajarkan al-Quran
pada saat mempelajarinya. Inti dari bagaimana
kita bisa memahami al-Quran ialah bahwa
seorang tidak akan dapat menemukan permata
dalam al-Quran pun ruhnya selama ia tidak
melakukan apa-apa yang datang dari al-Quran.
Wallahu Alam bi al-Shawab.

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

X 1 I ,

Data Buku:
Judul: Mabadi
Asasiyyah li Fahmi
al-Quran
Penulis: Abu alAla al-Maududhi
Penerbit: Dar alQalam
Tahun: 2011

D E S E M B E R

2 0 1 4

1 2 SALAM

Membumikan Islam dengan Akhlak Mulia


Novan Hariansyah

da pesan menarik yang saya tangkap dalam


novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya
Hanum Salsabila. Dalam novel tersebut,
Hanum menyampaikan urgensi perangai yang
baik bagi seorang Muslim. Menurutnya, untuk menjadi
agen Muslim yang baik, kita tidak harus melakukan suatu
hal yang besar. Namun sebaliknya, perubahan besar
dimulai dari hal-hal sederhana, dari etika misalnya.
Dalam film yang diadapsi dari novel tersebut,
kita kemudian diajak melihat bagaimana kehancuran Islam
berawal dari hilangnya perangai mulia dari pemimpin kaum
Muslim di masa lalu. Hal yang tidak jauh berbeda dapat
kita lihat langsung saat ini. Pemimpin kita lebih banyak
mendahulukan kepentingannya, dan bahkan menghalalkan
segala cara untuk mencapai misi tersebut. Sepertinya
mereka telah lupa pelajaran tentang budi pekerti yang telah
didapatkan sejak dini. Mungkin mereka dan tentu saja
semua umat Muslim perlu kembali belajar dan menelaah
pelajaran bernama akhlak mulia.
Pada dasarnya, Islam terdiri dari tiga pilar
utama, yaitu akidah, syariat dan akhlak. Ketiganya harus
ada pada diri setiap mukmin. Seorang Muslim dituntut
untuk tidak hanya sempurna dalam beribadah kepada
Allah, namun ia juga dibebani untuk berbuat baik kepada
semua makhluk yang ada di sekitarnya. Dalam arti lain,
hubungan vertikal (dengan Khalik) dan horizontal (dengan
makhluk) harus seimbang.
Jika beribadah dilakukan pada waktu-waktu
tertentu, bahkan dapat ditinggalkan jika ada udzur syari dan
diganti di waktu lain, maka tidak demikian halnya dengan
akhlak. Akhlak harus dilakukan kapanpun dan di manapun,
sebab sebagian besar waktu manusia digunakan untuk
berinteraksi dengan sesamanya. Saat itulah peran akhlak
karimah dibutuhkan.
Dalam berinteraksi dengan orang lain, kita
hendaknya mengutamakan dan selalu berprilaku baik,
sebab jika tidak, kita akan masuk dalam barisan orangorang yang rugi di akhirat kelak. Rasulullah SAW bertanya
kepada Sahabat, Tahukah kalian, siapakah orang yang
bangkrut itu? Para Sahabat menjawab: Menurut kami, orang
yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki
uang dan harta. Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya
umatku yang bangkrut adalah mereka yang pada hari Kiamat
datang dengan salat, puasa dan zakat, namun mereka suka
mencaci, menuduh orang lain berzina, memakan harta, menyakiti
dan membunuh orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk
diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis,
sementara tuntutan mereka belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian
dosa dari setiap orang tersebut diambil untuk dibebankan
kepadanya, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka. (HR.
Muslim dan Tirmidzi)
Begitu pentingnya masalah akhlak ini, sampai
Rasulullah memohon kepada Allah untuk dianugerahkan
kepadanya akhlak mulia, Ya Allah, sebagaimana Engkau
telah menciptakanku dengan bentuk yang sempurna, maka
perbaikilah akhlakku. Tidak hanya itu, dalam Hadis lainnya

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

X 1 I ,

D E S E M B E R

2 0 1 4

Rasulullah juga meminta untuk dijauhkan dari budi pekerti


tercela, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbagai
kemungkaran akhlak, amal, hawa nafsu dan segala penyakit. (HR.
Tirmidzi dan Thabrani)
Mayoritas manusia menilai sebuah agama
berdasarkan perangai dan tindakan pemeluknya. Oleh karena
itu, umat Islam berkewajiban mendidik dan membina anakanak mereka untuk berakhlak baik, sehingga di kemudian
hari mereka mampu menunjukkan pada masyarakat bahwa
Islam mengajarkan perangai mulia.
Prilaku yang baik adalah kunci utama
terbentuknya sebuah masyarakat yang baik. Jika individuindividu yang ada dalam sebuah masyarakat berakhlak mulia,
maka bisa dipastikan akan ada kerjasama yang baik antar
individu. Mereka kemudian akan bahu-membahu dalam
kebaikan. Dengan begitu, rahmat Allah akan turun pada
masyarakat tersebut.
Ada banyak keuntungan yang akan kita dapatkan
ketika kita berakhlak mulia. Pertama, kita akan disukai dan
dicintai oleh banyak orang, karena setiap manusia pasti suka
dengan orang-orang yang berakhlak mulia. Kedua, kita turut
berperan menyebarkan nilai-nilai Islam yang lurus dan sangat
menjunjung budi pekerti luhur. Ketiga, kita akan menjadi
orang yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW serta menjadi
orang yang paling dekat dengannya kelak di hari Kiamat.
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya di antara orang yang
paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat denganku
pada hari Kiamat ialah orang yang akhlaknya paling mulia.
Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat
duduknya dariku pada hari akhir ialah orang yang paling banyak
bicara (kata-kata tidak bermanfaat dan memperolok manusia)." Para
Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling
banyak bicara itu?" Nabi menjawab: "Yaitu orang-orang yang
sombong." (HR. Tirmidzi)
Dengan berakhlak mulia, seorang Muslim bisa
mencapai derajat para ahli ibadah yang beribadah kepada
Allah siang dan malam; yang selalu berpuasa dan memohon
ampunan kepada Allah di waktu malam menjelang fajar.
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya seorang Muslim yang
ibadahnya sedang-sedang saja, dapat mencapai dan menyamai derajat
orang-orang yang selalu berpuasa dan melantunkan ayat suci al-Quran
dengan akhlak mulia dan kebiasaanya baik. (HR. Ahmad dan
Thabrani)
Apabila seseorang ingin berperangai mulia, maka
hendaknya ia meniru akhlak Rasulullah yang telah mendapat
pengakuan dari Allah sebagai makhluk yang paling mulia
akhlaknya. Hal ini sebagaimana termaktub dalam QS. alQalam: 4, Dan sungguh engkau (wahai Muhammad) memiliki budi
pekerti yang sangat mulia. Rasulullah merupakan teladan
terbaik bagi siapapun yang ingin berakhlak mulia. Allah SWT
berfirman: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu, yaitu orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari Kiamat, dan Dia banyak menyebut
nama Allah. (QS. al-Ahzab: 21). Wallahu Alam bi al-Shawab.

Anda mungkin juga menyukai