Desember Cetak Fix PDF
Desember Cetak Fix PDF
IKPM CABANG
KAIRO
E D I S I
DAFTAR ISI
NADHRAH
NA SA KH DA N
MA NSU KH DALAM
AL -QURA N
TAHNIAH
KIAT - KIAT
ME NU NT UT
ILM U
MABHATS
MEMA HAMI
KAIDA H QI RAAT
QU RA NIYAH
UDHAMA
10
N A P A K T I L A S
I M A M I B N U
K A T S I R
MARJA
K O M P O N E N
M E M A H A M I
Q U R A N
11
D A S A R
A L -
SALAM
12
M E M B U M I K A N
I S L A M D E N G A N
A K H L A K M U L I A
A L - Q U R A N
DZIKRA
Taubat
X I I
2 0 1 4
NADHRAH
Alfina Wildah
asakh adalah asal kata dari na-sakha. Secara etimologi menurut alZarkasyi nasakh bisa dipakai
empat arti, yaitu pembatalan atau
penghapusan (al-Izlah), pengubahan (al-Tabdl),
pengalihan (al-Tahwl), dan penyalinan (al-Naql).
Nasakh sendiri merupakan subjek, dan
mansukh merupakan suatu objek. Sedangkan
secara terminologi, para ulama mempunyai
berbagai macam pendapat dalam
mengartikan makna nasakh. Menurut
Ibnu Katsir, nasakh adalah
penghapusan hukum dengan
adanya dalil syariat yang datang
terakhir atau datang setelah
itu.
Al-Zurqani dalam
Manahil
Irfan
menjelaskan,
bahwa nasakh
adalah suatu
proses
penghapusan
hukum
syariat dengan dalil
syariat yang
datang setelah itu.
Penghapusan ini
adalah pencabutan kewajiban atas mukallafin
(yang dibebani), bukan penghapusan dengan
arti yang sebenarnya, karena sesuatu yang
pernah terjadi tidak bisa dihapus. Sedangkan
hukum syariat adalah sesuatu yang diturunkan
oleh Allah SWT yang ditujukan kepada
manusia, baik itu berupa suatu hal yang bersifat
perintah, larangan, dan pilihan. Dalil syariat
adalah wahyu yang diturunkan Allah SWT
dalam artian luas, baik yang terbaca maupun
tidak, ini mencakup al-Quran dan sunah.
Mayoritas ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda dengan makna yang hampir sama,
D E S E M B E R
Bersambung ke hlm 8
2 TAHNIAH
Faktofaktor
tersebut
tidak lain hanya
sebagian dari usaha
yang
dilakukan
oleh kita sebagai
manusia
dalam
berikhtiar mencari
ilmu.
Setelah
manusia berikhtiar,
Allah SWT yang
akan mengajarkan
ilmu
kepada
hamba-Nya.
I Q R A , E D I S I
X I I ,
D E S E M B E R
2 0 1 4
FIKRAH
Jakfar Shodiq
yang baik atau jika tidak maka diamlah. (HR. Bukhari dan
Muslim). Begitulah cara Rasulullah mengajarkan, jika kita
hendak berkata maka berpikirlah terlebih dahulu. Apabila
tampak adalah kebaikan maka ucapkanlah perkataan
tersebut, namun jika yang tampak adalah keburukan atau
bahkan kita ragu-ragu, maka tahanlah diri kita dari
mengucapkan perkataan tersebut. Kemudian Rasulullah
juga mengingatkan kita dalam sabdanya: Di antara tanda
baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang
tidak bermanfaat baginya. (HR. Al-Tirmidzi). Oleh karena
itu, termasuk di antara baiknya Islam seseorang adalah
ketika ia menjaga lisannya dan meninggalkan perkataanperkataan yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya
atau bahkan perkataan yang dapat mendatangkan bahaya
bagi dirinya.
Adapun salah satu bahaya besar jika kita tidak
menjaga lisan adalah menyebabkan pelakunya dimasukkan
ke dalam api neraka, meskipun itu hanya perkataan yang
dianggap sepele oleh pelakunya. Begitu juga bahwa
perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang
masuk neraka adalah perkataan yang keluar dari lisannya.
Hal yang termasuk maksiat dalam perkataan yang perlu
kita hindari seperti perkataan yang mengandung
kesyirikan, persaksian palsu, menuduh berzina, perkataan
dusta, ghibah dan adu domba. Sebagaimana telah di
jelaskan sebagian di atas. Kemudian yang akan kita
dapatkan dalam menjaga lisan adalah surga. Rasulullah
SAW bersabda: Barang siapa yang mampu menjamin untukku
apa yang ada di antara kedua rahangnya lisan dan apa yang ada
di antara kedua kakinya kemaluan aku akan menjamin baginya
surga. (HR. Bukhari) Dari Hadis tersebut, kita sebagai
seorang Muslim sudah selayaknya menjaga lisan kita dari
hal-hal yang membahayakan agar mendapat rida Allah
SWT.
Manusia adalah apa yang diucapkannya. Oleh
karena itu, setiap orang hendaknya berucap dengan sopan.
Selain utuk menjaga perasaan sesamanya, kata-kata adalah
cermin hati seseorang. Dari kata-kata, yang diucapkan atau
ditulis, kita bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkan
oleh orang tersebut. Kalimat-kalimat yang mengekspresikan kemarahan, kesedihan, kebahagiaan, ketegaran dan
lainnya menunjukkan si pengucap atu penulis sedang
dalam kondisi tersebut. Lebih dari itu, melalui kata-kata,
kita juga bisa menilai dan memahami kepribadian orang
yang menuturkan kalimat tersebut.
Melalui tulisan singkat ini, kita sudah
mengetahui manfaat menjaga lisan serta akibatnya.
Dengan demikian, kita harus berpikir terlabih dahulu atau
menyaring perkataan kita sebelum kita mengucapkannya,
apakah perkataan tersebut mendapatkan rida Allah SWT
atau malah mendapat murka Allah SWT. Wallahu Alam.
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
X I I ,
D E S E M B E R
2 0 1 4
4 QADHAYA
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
X I I , D E S E M B E R
2 0 1 4
QADHAYA
warisnya. Allah SWT berfirman yang artinya:
Bagi seorang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu
-bapak dan kerabatnya, dan bagi seorang perempuan ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (QS. al-Nisa: 7)
Sementara itu, dalam Hadis juga dijelaskan
larangan untuk meniadakan warisan tersebut untuk
perempuan. Rasulullah SAW bersabda: Siapa saja memutus
warisan dari ahli warisnya, maka Allah akan memutus
warisannya dari surga pada hari Kiamat nanti. Hadis tersebut
juga menjelaskan hak masing-masing, baik laki-laki
maupun perempuan dalam memperoleh harta warisan
serta larangan untuk menzalimi dengan meniadakannya.
Ketiga: wanita wajib mendapat nafkah,
makanan dan tempat tinggal yang layak dari ayah dan
ibunya jika dia belum menikah. Apabila tidak ada orang
tua, maka sebagai gantinya adalah saudara, keluarga atau
kerabatnya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 233: Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anakanaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara
sempurna, dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian
mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya
dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli
waris pun (berkewajiban) seperti itu pula.
Adapun bagi istri wajib mendapatkan nafkah
dari suaminya dan segala keperluan yang dibutuhkan
seperti makan; minum; pakaian dan tempat tinggal dengan
cara yang baik. Allah SWT berfirman: Laki-laki (suami) itu
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
X 1 I ,
D E S E M B E R
2 0 1 4
6 MABHATS
al-Nasyr fi alQiraat
al-Asyr
menyebutkan tiga syarat
dalam hal ini. Pertama,
setiap qiraat harus
sesuai dengan bahasa
Arab walaupun dalam
satu segi. Kedua, harus
sesuai dengan salah satu
Mushaf
Utsmani
walaupun
memiliki
berbagai kemungkinan,
dan tentunya harus
memiliki
sanad
mutawatir
dari
Rasulullah SAW.
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
X I I ,
D E S E M B E R
2 0 1 4
MABHATS
sanad yang mutawatir. Al-Quran merupakan mukjizat yang
menjadi pondasi umat Islam. Oleh karena itu, sanad yang
tidak mutawatir tidak dapat dikatakan sebagai al-Quran.
walaupun terdapat perbedaan pendapat dari para ulama
mengenai makna mutawatir dalam al-Quran itu sendiri.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, salah
satu dari macam-macam qiraat dilihat dari segi sanadnya
yaitu syadz. Secara bahasa, syadz berasal dari kata syadzayasyudzu, sedangkan secara istilah, Syaban Muhammad
Ismail dalam buku al-Qiraat Ahkamuha wa
Mashdaruha menjelaskan, qiraat syadz adalah qiraat yang
tidak memenuhi tiga rukun qiraat.
Dengan pengertian seperti ini, dapat dipahami
bahwa qiraat selain mutawatir termasuk qiraat syadz. Di sisi
lain, sebagian ulama mengatakan bahwa qiraat tidak harus
mutawatir, melainkan cukup dengan riwayat sahih masyhur
disertai dua syarat lainnya. Pendapat ini tidak disetujui oleh
sebagian ulama lainnya, salah satunya Musa Syahin Lasyin
dalam bukunya Al-Laali al-Hisan fi Ulum al-Quran.
Dalam pandangannya, riwayat sahih masyhur tidak
mencukupi syarat qiraat yang diterima.
Dalam hal ini, Syaban Muhammad Ismail
menjelaskan bahwa syarat diterimanya qiraat dengan sanad
mutawatir merupakan pendapat jumhur ulama dari para
Ushuliyyin; Fuqaha; Muhadditsin dan Qurra, sedangkan
pendapat yang mengatakan diterimanya qiraat dengan sanad
sahih masyhur merupakan pendapat yang lemah, sebab
menyamakan al-Quran dan selain al-Quran. Hal ini sesuai
dengan definisi al-Quran yang telah disepakati ulama, yaitu
kalam Allah yang dinukil secara mutawatir. Dengan
demikian, bacaan apapun dalam al-Quran, jika tidak dinukil
secara mutawatir, tidak bisa disebut al-Quran.
Selanjutnya, jika dilihat dari diterima atau
tidaknya qiraat, terdapat tiga karakteristik qiraat. Pertama,
qiraat yang diterima bacaannya seperti qiraat yang dibaca
saat ini, yaitu qiraat yang memiliki sanad mutawatir, sesuai
dengan rasm Utsmani dan kaidah bahasa Arab. Kedua, qiraat
yang diambil dengan sanad ahad, sesuai dengan kaidah
bahasa Arab tetapi lafalnya berbeda dengan rasm Utsmani.
Qiraat
ini
diterima dengan
syarat
tidak
boleh membaca
al-Quran dengan
qiraat ini, karena
pengambilan
qiraat
dengan
riwayat
ahad
tidak
bisa
dijadikan
sandaran.
Ketiga,
qiraat
yang
dinukil
dengan riwayat
tsiqah
ataupun
tidak dan tidak
sesuai
dengan
kaidah
bahasa
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
X I I ,
D E S E M B E R
2 0 1 4
8 NADHRAH
Nasakh
dalam al-Quran
adalah suatu proses
penghapusan hukum
syariat dengan dalil
syariat yang datang
setelah
itu.
Penghapusan ini
adalah pencabutan
k e w aj i ban at as
mukallafin (yang
dibebani), bukan
penghapusan dengan
arti yang sebenarnya,
karena sesuatu yang
pernah terjadi tidak
bisa dihapus.
Sedangkan hukum
syariat adalah
sesuatu yang
diturunkan oleh
Allah SWT kepada
manusia, baik itu
berupa suatu hal
yang bersifat
perintah, larangan,
dan pilihan.
B U L E T I N
Urgensi
Mansukh
p em b ah a s an
N as a k h
Sebuah
kisah
yang
diriwayatkan oleh Abu Abdurrahman
menceritakan bahwa pada suatu hari, Ali
bin Abi Thalib memasuki sebuah masjid di
Kufah. Di masjid tersebut, ia melihat
seorang lelaki yang sedang menjelaskan
perkara agama kepada gerombolan orangorang di masjid. Ketika Ali melihat orang
tersebut mencampuradukkan perintah dan
larangan. Ali pun bertanya kepadanya:
Apakah kamu tahu nasakh dan
mansukh? Lelaki itu menjawab, Tidak.
Mendengar jawaban demikian, Ali berkata
kepadanya: (Kalau demikian) berarti
engkau telah celaka dan mencelakakan
(orang lain).
Kisah ini menunjukkan
urgensi mempelajari nasakh dan mansukh.
Ada beberapa sebab mengapa nasakhmansukh penting untuk dipelajari. Pertama,
karena objek kajiannya yang luas dan
panjang, sehingga memiliki beragam
metode dan cabang kajian. Kedua, selain itu
permasalahan ini memiliki bahasan yang
sangat rumit dan mendalam yang sering
menjadi perselisihan antar ahli fikih
dengan pengkaji studi al-Quran. Ketiga,
seseorang yang mempelajari NasakhMansukh secara mendalam akan mampu
membuka tabir sejarah penerapan hukum
Islam, sehingga mereka mampu
mengetahui kebijaksanaan Allah dalam
memberikan pembelajaran terhadap umat
manusia. Keempat, pondasi penting
dalam memahami ajaran Islam dan
mengetahui hukum-hukum yang
benar, terutama dalam
permasalahan dan dalil-dalil yang
secara zahir bertentangan.
Manna Qattan
menjelaskan berbagai macam cara
untuk mengetahui nasakh dan
mansukh: Pertama, adanya suatu
riwayat yang jelas dari Nabi
Muhammad SAW atau para
Sahabat. Kedua, ijmak umat bahwa
ayat ini yang telah terhapus
(mansukh), dan ayat ini yang menjadi
penghapusnya (Nasikh). Ketiga,
I Q R A , E D I S I
X I I ,
D E S E M B E R
2 0 1 4
NADHRAH
I Q R A , E D I S I
X I I ,
D E S E M B E R
2 0 1 4
1 0 UDHAMA
Ari Kurniawati
ama lengkapnya
adalah Imaduddin
Abu Fid Ismail
ibnu Katsir bin Dlai
ibnu Katsir bin Zar` al-Qausi alQurasyi al-Busrawi al-Damsyiqi alSyafii. Menurut ahli sejarah beliau
dilahirkan di Mijdal, daerah
Bashrah sebelah timur kota
Damaskus pada tahun 701 H.
Namun, sejauh ini belum ada yang
menetapkan hari dan bulan beliau
dilahirkan. Ia hidup pada abad ke-8
di masa Dinasti Mamalik. Ayahnya
bernama Syihabuddin Abu Hafsh
Umar bin Katsir dilahirkan tahun
640 H. Abu Hafsh adalah seorang
ulama, ahli fikih, penceramah, ahli
bahasa, syiar, dan adab. Sosok seorang ayah memang
sangat berpengaruh dalam keluarga. Figur ayahnya yang
banyak mempengaruhi kepribadian Ibnu Katsir untuk
terus menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan dan
mendapatkan derajat yang tinggi, sehingga beliau terkenal
dengan Imam di segala disiplin ilmu. Pada bulan Jumadil
Ula tahun 703 H, Ibnu Katsir ditingal oleh ayah
tercintanya. Semenjak ayahnya wafat, peran ayah
digantikan oleh kakak kandungnya. Sejak ditinggal
ayahnya, Ibnu Katsir mulai banyak bergelut dalam
keilmuan yang langsung diajarkan oleh kakaknya.
Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke
Damaskus untuk menambah ilmu pengetahuan.
Sesampainya disana ia bertemu dengan banyak ulama dan
syekh terkenal seperti Imam Nawawi, Syekh Burhanuddin
Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari, Ibnu Taimiyah,
Syamsuddin al-Dzahabi, Ibnu Qayim dan banyak ulama
lainnya. Dengan kecerdasannya, pada usia sebelas tahun
ia sudah mengkhatamkan hafalan al-Qurannya di bawah
bimbingan Syekh Syamsuddin Abi Abdillah, seorang
imam masjid di kota Batikh. Ibnu Katsir mewarnai
hidupnya dengan beragam keilmuan baik ilmu agama
maupun sejarah. Dengan kecerdasan, pemahaman yang
baik, kekuatan hafalannya dan kepandaiannya dalam
memilih guru, di masa mudanya, dengan waktu yang tidak
lama dan atas izin Allah, Ibnu Katsir mampu menguasai
ilmu Fikih dan Hadis, sehingga tak sedikit ulama di
zamannya yang memuji kepandaiannya. Ibnu Katsir juga
sempat mulazamah dengan Syekh Jamaludin Yusuf bin
Zaki al-Mazzi (742 H), seorang ulama Suriah yang
mengarang kitab Tahdzibu al-Kamil. Syekh al-Mazzi
inilah yang kemudian menjadi mertuanya, setelah
menikahkan salah seorang putrinya bernama Zainab Binti
al-Hafidz al-Mazzi. Dalam kitab Bidayah wa Nihayah
ia menyebutkan bahwa istri dan ibu mertuanya adalah
seorang hafidzah al-Quran. Dari hasil pernikahannya, Ibnu
Katsir memiliki keturunan sebanyak lima orang yang
semuannya dididik untuk menyibukkan diri dalam bidang
keilmuan, khususnya Hadis, Fikih dan Sejarah. Beliau
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
X I I ,
D E S E M B E R
2 0 1 4
MARJA
11
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
X 1 I ,
Data Buku:
Judul: Mabadi
Asasiyyah li Fahmi
al-Quran
Penulis: Abu alAla al-Maududhi
Penerbit: Dar alQalam
Tahun: 2011
D E S E M B E R
2 0 1 4
1 2 SALAM
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
X 1 I ,
D E S E M B E R
2 0 1 4