Anda di halaman 1dari 51

Referat

PATOMEKANISME HEPATOBILIER
PADA DRUG ERUPTION

Disusun oleh:
GENTA G TAMZIL
110.2009.120

PEMBIMBING
DR YANTO WIDIANTORO,SP.KK

DISERAHKAN DALAM RAANGKA TUGAS KEPANITERAAN


KLINIK SMF ILMU KULIT DAN KELAMIN
RSU dr SLAMET GARUT
PERIODE 02 MARET 2015- 03 APRIL 2015

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Puji serta syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya, tidak lupa shalawat serta salam penulis haturkan
pula kepada nabi besar Muhammad SAW, sehingga penulisan referat ini dengan judul
Patomekaniseme hepatobilier dengan drug eruption dapat terselesaikan dengan baik.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kepaniteraan bagian ilmu
Penyakit Kulit Dan Kelamin di RSU. dr. Slamet Garut. Besar harapan penulis agar referat
ini dapat memberikan manfaat baik kepada penulis maupun kepada rekan-rekan yang
lain.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada :
1. dr. H. Yanto Widiantoro, Sp.KK, selaku kepala SMF Kulit Dan Kelamin RSU dr.
Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada penulis.
2. Dosen- dosen Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin FK Universitas YARSI yang telah
memberi bimbingan serta pengajaran kepada penulis selama ini.
3. Perawat Poli Kulit Dan Kelamin, yang telah banyak membantu dan berbagi ilmu
dengan kami.
4. Rekan-rekan kepaniteraan SMF Kulit Dan Kelamin, atas bantuan, dukungan, dan
kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik guna perbaikan yang lebih baik pada referat
ini. Akhir kata, dengan segenap kerendahan hati dan penuh harap atas ridho-Nya, semoga
referat ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Garut, Maret 2015
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR................................................................................................3
BAB I

PENDAHULUAN......................................................................................4

BAB II DRUG ERUPTION ...................................................................................5


BAB III PATOMEKANISME HEPATOBILIER PADA DRUG INDUCED............43
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................51

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.............................................................................................................20
Gambar 2.............................................................................................................21
Gambar 3.............................................................................................................22
Gambar 4.............................................................................................................23
Gambar 5.............................................................................................................24
Gambar 6.............................................................................................................25
Gambar 7.............................................................................................................27
Gambar 8.............................................................................................................29
Gambar 9.............................................................................................................30
Gambar 10...........................................................................................................31
Gambar 11............................................................................................................32
Gambar 12...........................................................................................................34
Gambar 13...........................................................................................................35
Gambar 14...........................................................................................................38
Gambar 15...........................................................................................................43
Gambar 16...........................................................................................................45
Gambar 17...........................................................................................................47

BAB I
PENDAHULUAN

Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang
biasanya sistemik. Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, dapat melalui
mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat
kumur, obat mata, tapal gigi dan obat topical. Obat adalah zat yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat secara
topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat oleh
kulit.1
Obat semakin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga
reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug
reaction) atau RSO. Salah satu bentuk RSO adalah reaksi obat alergik (ROA).
Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA). 1
Konsekuensi dari penggunaan obat-obatan tersebut adalah peningkatan
morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Satu macam obat dapat menyebabkan
lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh
bermacam-macam obat. 1
Erupsi Obat dapat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang
mengancam jiwa manusia. Reaksi obat dapat terjadi hanya pada kulit ataupun
pada kelainan sistemik, seperti Sindrom Hipersensitivitas Obat

(Drug

Hypersensitivity Syndrome) atau Toxic Epidermal Necrolysis. 2

BAB II
DRUG ERUPTION

III. 1 Epidemiologi
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi
alergi obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi
epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan
kejadian alergi obat adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 1520% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan.3
Sekitar 10% fixed drug eruption terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda
pernah dilaporkan adalah 8 bulan dan usia tertua adalah 87 tahun.(6) Kajian dari
NOEGROHOWATI (1999) mendapatkan fixed drug eruption (63%), sebagai
manifestasi klinis dari erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi dan anak,
disusul dengan erupsi eksematosa (3%) dan urtikaria (12%).4
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston
Collaborative Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang
timbul terhadap pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang
dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993.3 Di
internasional, drug eruption terjadi pada 2-3% pasien rawat inap. 5
Di Amerika Serikat, lebih dari 100.000 kematian diakibatkan karena
reaksi simpang obat (RSO) atau adverse drug reactions yang serius. 3-6% pasien
rawat jalan dan 6-15% dari pasien rawat inap mengalami reaksi simpang obat
yang serius. Faktor yang berhubungan dengan meningkatnya risiko reaksi
hipersensitivitas obat adalah asma, SLE (Systemic Lupus Erythematosus), atau
pada pengguna beta bloker. Walaupun pasien atopik tidak banyak tersensitisasi
oleh obat, tetapi pasien atopic memiliki risiko tinggi untuk menghadapi reaksi
alergi serius.6

III. 2 Etiopatogenesis
5

a. Reaksi Simpang Obat dan Reaksi Obat Alergik


Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai
respon terhadap obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi
pada dosis normal pada penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau
terapi penyakit, atau untuk modifikasi fungsi fisiologis.7
Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2 kelompok yaitu
tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim
terjadi, bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan
dapat terjadi pada tiap individu. Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari
kasus- kasus RSO. Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat
diprediksi, tidak lazim terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering
tidak berhubungan dengan farmakologi obat, serta hanya terjadi pada
individu yang rentan. Reaksi ini meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi,
reaksi alergi (hipersensitivitas), dan pseudoalergi. Sekitar 25 - 30% reaksi
tipe B merupakan reaksi obat alergik.7
Belakangan ditambahkan beberapa tipe reaksi, yaitu reaksi yang
berhubungan dengan dosis dan waktu (tipe C), reaksi lambat (tipe D), efek
withdrawal (tipe E) dan kegagalan terapi yang tidk diharapkan (tipe F).
Reaksi tipe C tidak Iazim terjadi, dan berhubungan dengan dosis
kumulatif, misalnya pada ketergantungan benzodiazepin, nefropati
analgetik serta penekanan aksis hypothalamic - pituitary - adrenal oleh
kortikosteroid. Tipe D dapat dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang
berhubungan dengan waktu (yang kemudian disebut sebagai tipe D), dan
efek withdrawal (tipe E). Reaksi tipe D tidak lazim terjadi, biasanya
berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau kadang - kadang terlihat
setelah penggunaan obat, misalnya efek karsinogenik dan teratogenik dari
obat. Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim terjadi, dan timbul segera setelah
penghentian obat, misalnya pada opiate withdrawal syndrome. Reaksi tipe
F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis, dan seringkali disebabkan oleh
interaksi obat, misalnya pemberian dosis kontrasepsi oral yang tidak
adekuat, khususnya pada pemakaian penginduksi enzim spesifik.6

Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang
dihasilkan dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya. ROA
merupakan bagian dari RSO (reaksi tipe B).6 ROA memiliki beberapa
karakteristik klinis tertentu, yaitu :
1. Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.
2. Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.
3. Umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.
4. Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis
jauh di bawah kisaran dosis terapeutik.
5. Adanya

eosinofilia

pada darah atau jaringan mendukung

keterlibatan proses alergi.


6. Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.
Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap
obat, yaitu faktor yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat
obat, dan pajanan obat), serta faktor yang berhubungan dengan pasien
(usia, genetik, reaksi obat sebelumnya, penyakit dan pengobatan medis
yang menyertai).6
1. Sifat Obat
Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya
antiserum, streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan
antigen kompleks yang potensial untuk menyebabkan sensitisasi
pada pasien. Obat- obatan dengan berat molekul rendah(dibawah
1000 Dalton) merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik.6
2. Pajanan Obat
Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar
untuk tersensitisasi, sedangkan pemberian oral memiliki risiko
paling kecil untuk tersensitisasi. Aplikasi topikal menginduksi
reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pemberian oral atau nasal
menstimulasi produksi imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan
IgE, kadang kadang IgM.
Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan
7

respons imunologik spesifik obat, contohnya adalah pada lupus


eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya pengobatan
hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia
hemolitik yang diinduksi penisilin 6,7
Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi
dibandingkan dengan pengobatan parenteral lama dengan dosis
tinggi. Frekuensi pemberian obat dapat berdampak sensitisasi.
Kerapnya pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval
pengobatan makin lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.7
3. Usia
Secara umum reaksi obat alergik dapa terjadi pada seluruh
golongan, namun umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh
obat dibandingkan dengan dewasa, walaupun demikian ROA yang
serius dapat juga terjadi pada anak-anak. Bayi dan usia lanjut
jarang mengalami alergi obat dan kalau pun terjadi lebih ringan,
hal tersebut dikaitkan dengan imaturitas atau involusi sistem imun.
7.8

4. Genetik
Gen HLA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi
obat. Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di
antara individu dewasa yang orang tuanya mengalami reaksi alergi
terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap agen
antimikroba; sedangkan individu dengan orang tua tanpa reaksi
alergi, hanya 1,7% mengalami reaksi alergi. 6,7
5. Reaksi Obat Sebelumnya
Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat
sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam
jangka waktu tidak terbatas. Sensitisasi silang antara obat dapat
terjadi, misalnya antara berbagai kelompok sulfonamid. Pasien
dengan riwayat hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi
untuk terjadinya sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien
dengan alergi penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk
terjadinya alergi terhadap antimikroba non--laktam. Reaksinya
8

tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat.7


6. Penyakit medis yang menyertai
Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi
sistem imun seperti HIV-AIDS meningkatkan resiko dan frekuensi
terjadinya ROA.5 Hal tersebut terjadi akibat tertekannya sistem
imun sehingga tubuh mengalami defisiensi limfosit T supresor
yang mengatur sintesis antibodi IgE.2 Contoh lain adalah ruam
makulopapular setelah pemberian ampisilin yang lebih sering
terjadi selama infeksi virus Epstein-Barr dan di antara pasien
dengan leukemia limfatik. 6,7
7. Pengobatan medis yang menyertai
Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi
terhadap obat.7
b. Erupsi Obat Alergik
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik
pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian
obat yang biasanya sistemik. 1,6
Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. 1
Erupsi obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik
(EOA).1,6
Mekanisme imunologik
EOA terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah
mempunyai

hipersensitivitas

terhadap

obat

tersebut.

Obat

dan

metabolitnya berfungsi sebagai hapten yang menginduksi antibody


humoral.

Terjadinya

reaksi

hipersensitivitas

karena

obat

harus

dimetabolisme terlebih dahulu menjadi produk yang secara kimia sifatnya


reakif. Untuk memudahkan pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat
alergik dilakukan klasifikasi secara imunopatogenesis, yaitu : 6
1. Reaksi yang diperantarai oleh antibodi :
a) IgE : eritema, urtikaria, angioedema.
b) IgG : purpura, vaskulitis, erupsi morbiliformis.
9

2. Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas


3. Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik
a) Eksantema fikstum /fixed drug eruption
b) Eritema multifomis (Stevens Johnson Syndrome)
c) Nekrolisis epidermal toksik
4. Reaksi tersangka alergi : reaksi Jarisch- Herxheimer.
Reaksi alergik yang secara (immediate), terjadi dalam beberappa menit
dan ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu
membahayakan jiwa maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat
(accelerated) timbul dari 1 sampai 72 jam sesudah pemberian obat dan
kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria. Kadang-kadang berupa rash
morbiliformis atau edema laring. Reaksi yang lambat (late) timbul lebih
dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini ditimbulkan oleh
antibody IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik

dan exanthema

dihubungkan dengan antibody IgM.6


Aspek imnunopatogenesisnya adalah:
1. Metabolisme Obat dan Hipotesis Hapten
Suatu subtansi dikatakan merupakan imunogen lemah atau tidak
imunogenik bila berat molekul kurang dari 4000 Dalton. 2 Sebagian
besar obat-obatan merupakan senyawa kimia organik sederhana
dengan berat molekul rendah, sehingga merupakan imunogen lemah
atau bahkan tidak imunogenik.5,6 Obat-obatan dengan berat molekul
rendah dapat menjadi imunogenik bila obat atau metabolit obat
berikatan dengan karier makromolekul, seringkali melalui ikatan
kovalen, membentuk kompleks hapten-karier, sehingga pengolahan
antigen menjadi efektif.7,8 Untungnya, sebagian besar obat merupakan
molekul yang stabil dan memiliki sedikit kemampuan atau tidak
mampu (tidak cukup reaktif) membentuk ikatan kovalen dengan
komponen jaringan. Hal ini menerangkan rendahnya insidens alergi
obat.7 Ternyata terdapat beberapa obat dengan BM rendah (misalnya
10

polimiksin), yang bersifat irnunogenik tanpa konjugasi dengan


jaringan.

Meski

mekanisme

yang

pasti

belum

diketahui,

imunogenesitas suatu obat mungkin berhubungan dengan kemampuan


obat membentuk polimer rantai panjang. Sedangkan obat-obatan
dengan berat molekul tinggi merupakan antigen lengkap yang dapat
menginduksi respons imun dan memicu reaksi hipersensitivitas.6,7
Kecenderungan obat tertentu untuk menimbulkan sensitisasi adalah
karena obat tersebut memang cenderung membentuk metabolit yang
sangat reaktif.
Pemahaman baru tentang pengenalan obat oleh sistem imun
berdasarkan pada model hapten. Potensi obat untuk menjadi alergenik
sangat bergantung pada struktur kimia obat. Peningkatan ukuran
molekul

dan

kompleksitas

berhubungan

dengan

peningkatan

kemampuan untuk memicu respons imun.6,7


Umumnya

obat

obatan

yang

menyebabkan

reaksi

hipersensitivitas harus mengalami bioaktivasi atau metabolisme


menjadi produk kimia yang reaktif. Umumnya metabolisme obat
dianggap sebagai proses detoksifikasi, obat yang sebelumnya nonpolar
dan larut lemak menjadi lebih polar dan hidrofilik sehingga mudah
dieksresi. Jika metabolit tidak mengalami detoksifikasi yang adekuat,
dapat menyebabkan toksisitas langsung pada sel atau hipersensitivitas
yang diperantarai imun.7
Metabolisme obat dibagi menjadi 2 langkah, yaitu reaksi fase I dan
reaksi fase II. Reaksi fase I adalah oksidasi - reduksi atau reaksi
hidrolisis, dan reaksi fase II adalah reaksi konjugasi yang
menghasilkan pembentukan senyawa inaktif yang mudah diekskresi. 1,6
Reaksi oksidasi membutuhkan isoenzim sitokrom P450, prostaglandin
sintetase, dan bermacam- macam peroksidase jaringan. Reaksi fase II
diperantarai oleh berbagai enzim antara lain epoksida hidrolase,
glutation S-transferase (GST), dan N-asetyl transferase (NAT).1 Untuk
dapat menimbulkan reaksi imunologik hapten harus bergabung dengan
11

protein pembawa (carrier) yang ada di dalam sirkulasi atau protein


jaringan hospes. Carrier diperlukan oleh obat atau metabolitnya untuk
merangsang sel limfosit T agar merangsang sel limfosit B membentuk
antibodi terhadap obat atau metabolitnya.8
Pada umumnya metabolit reaktif yang dibentuk pada fase I
seringkali mengalami detoksifikasi dan eliminasi secara cepat. 1,6
Metabolit reaktif obat yang tidak didetoksifikasi dapat mengikat
protein atau asam nukleat, sehingga menyebabkan nekrosis sel atau
menyebabkan perubahan produk gen. Reaksi tersebut merupakan efek
toksik langsung. Hal ini terjadi pada metabolit reaktif sulfonamid.
Kemungkinan lain, metabolit reaktif dapat bertindak sebagai hapten
yang terikat secara kovalen dengan makromolekul yaitu protein atau
membran permukaan sel. Pengikatan tersebut membentuk imunogen
besar dan multivalen yang dapat menginisiasi respon imun. Respon
imun dapat langsung terhadap obat atau rnetabolitnya, dapat pula
terhadap determinan antigen baru (neoantigen) yang terbentuk melalui
kombinasi obat dengan protein, misalnya trombositopelia karena
kuinin, terbentuk antibodi IgG yang spesifik untuk kuinin yang terikat
pada permukaan trombosit. Kemungkinan lain, ikatan antara obat dan
protein jaringan (komponen jaringan lain) dapat mengubah tempat
pengikatan obat pada molekul protein jauh dari tempat pengikatan
yang sesungguhnya. Perubahan pada protein jaringan ini kemudian
dapat dikenali sebagai benda asing oleh sistem imun. Mekanisme ini
terjadi pada drug-induced autoimmunity. Contoh fenomena ini adalah
sindrom lupus eritematosus sistemik yang diinduksi hidralazin.5
Antigen harus memiliki multipel combining site (multivalen)
sehingga dapat memicu reaksi hipersensitivitas. Hal ini menyebabkan
bridging molekul antibodi IgE dan lgG atau reseptor antigen pada
limfosit. Konjugasi obat atau metabolitnya (hapten) dengan karier
makromolekul membentuk hapten-karier yang multivalen yang penting
untuk inisiasi respon imun dan elisitasi reaksi hipersensitivitas. Ligan
12

yang univalen (obat atau metabolitnya) dalam jumlah besar dapat


menghambat respon imun melalui kompetisi dengan konjugat
multivalen pada reseptor yang sama, oleh karena itu konsentrasi
menentukan frekuensi, berat dan angka kejadian ROA. 6,8
Kulit merupakan organ yang aktif bermetabolisme, mengandung
enzim untuk memetabolisme obat baik fase I maupun II. Isoenzim
sitokrom P450 multiple berada di kulit. Netrofil, monosit dan
keratinosit memiliki enzim yang potensial yang dapat mengoksidasi
obat menjadi metabolit reaktif. Kulit juga merupakan organ imunologis
yang mengandung sel Langerhans dan sel dendritik pada pathogenesis
ROA. Kombinasi aktivitas metabolik mungkin dapat menerangkan
mengapa kulit merupakan organ yang paling sering mengalami ROA.6
2. Pengenalan Obat Oleh Sel T
Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya
melalui molekul major histocornpatibitity complex (MHC). Antigen
eksogen misalnya protein ditangkap oleh antigen presenting cell
(APC), diproses melalui perencanaan enzimatik menjadi peptida kecil,
yang kemudian dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel
T

CD4+.

Sedangkan

peptida

pendek

dari

antigen

endogen

dipresentasikan molekul MHC kelas I kepada se T CD 8+. Sel T tidak


hanya mengenal suatu peptida tetapi juga antigen nonpeptida baik
alami atau sintetik, antara lain lemak, fenil-pirofosfat, glukosa, logam,
atau obat-obatan yang dipresentasikan melalui MHC atau molekul
sepert MHC kepada sel T.8
Mekanisme imunologik erupsi obat yang terpenting adalah
presentasi obat oleh APC, yaitu sel dedritik termasuk sel Langerhans
kulit, kepada limfosit T. Hal tersebut merupakan interaksi yang
kompleks antara ikatan haptenated peptide pada molekul MHC pada
APC dan reseptor sel T. Pengikatan ini dimodulasi oleh beberapa
faktor termasuk sitokin, haptenated peptide itu sendiri dan molekul
adhesi antara sel T dan APC. Beberapa kemungkinan presentasi obat
13

oleh APC telah dikemukakan sebagai berikut :8


a) Metabolisme obat ekstra hepatik (aktivasi intraseluler)
Kebanyakan obat didetoksifikasi intraseluler melalui isoenzim
sitokrom P450. Metabolisme obat melibatkan reaktive intermediate
yang dapat mengikat protein secara langsung. Jalan ini dialami
sulfametoksasol,

dimana

metabolit

reaktif

yang

terbentuk

(hidroksilamin dan nitroso supranetoksasol) mengikat protein


secara kovalen.
b) Aktivasi ekstraseluler
Aktivasi ekstraseluler dapat terjadi secara spontan atau melalui
metabolisme dependent myeloperoksidase. Reaktive intermediate
dapat mengikat secara langsung kompleks peptida - MHC atau
mengikat protein ekstraseluler. Ikatan protein obat tersebut akan
ditangkap APC dan diolah menjadi peptida - obat, yang kemudian
dipresentasikan molekul MHC pada permukaan.
3. Tidak ada aktivasi
Jalan ini melibatkan pengikatan obat secara langsung, dan agak
labil kepada kompleks peptida - MHC. Obat ini dapat mengikat MHC,
peptida atau keduanya. Tidak dibutuhkan pengikatan dengan protein
sebelumnya, ambilan (uptake) maupun pengolahan, serta metabolisme
untuk presentasi.8
Diferensiasi subset Th bergantung pada konsentrasi antigen, sifat
APC, dan faktor lingkungan mikro (misalnya hormon). Keberadaan
IL-4 menyebabkan polarisasi kuat kepada Th2, sedangkan diferensiasi
Th1 diinduksi oleh IFN- atau TGF - , terutama tanpa keberadaaan
IL-4. Th2 menstimulasi produksi sel mast, eosinofil dan antibodi IgE.
IL-4 bertanggung jawab pada produksi IgE, IL-5 untuk eosinofilia, dan
kombinasi IL-3, IL-4, dan IL-10 untuk produksi sel mast. Sedangkan
sitokin yang dihasilkan Th1 memperantarai respons imun yang
berbeda-beda. Aktivasi makrofag oleh IFN-, dan lebih luas lagi oleh
TNF dan granulocyte macrophage colony stimulating factor. Th1 juga
memperantarai respon imflamasi seluler kompleks yang dikenal
14

sebagai hipersensitivitas tipe lambat, dan dengan sekresi IFN dan


TNF, juga berefek sitotoksik langsung ke berbagai tipe sel. Jadi, tiap
subset Th menginduksi dan meregulasi kumpulan fungsi efektor yang
saling berkaitan yang bekerja pada antigen dan patogen yang spesifik. 8
Aktivasi ThI menyebabkan produksi sitokin sepertiI IL-2 dan IFN, yang mengakibatkan aktivasi sel T sitotoksik, serta menyebabkan
reaksi seperti dermatitis kontak, eksim obat, NET, atau erupsi
mortibiliformis. Aktivasi Th2 menyebabkan produksi IL-4, IL-5, IL13, dan produksi antibodi IgE yang mengakibatkan reaksi klinis seperti
urtikaria anafilaksis.8
4. Klasifikasi Reaksi Alergik
Reaksi Obat Alergik dibagi dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas
oleh Coombs dan Gell yaitu Tipe I (Reaksi hipersensitivitas
cepat/reaksi anafilaktik), tipe II (Reaksi sitotoksik), tipe III (Reaksi
komplek imun), dan tipe IV (Reaksi hipersensitivitas tipe lambat).
Reaksi tipe I - III diperantarai oleh antibodi spesifik obat, sementara
reaksi tipe IV oleh limfosit T spesifik obat. ROA pada beberapa
keadaan dapat sesuai dengan salah satu dari keempat tipe tersebut,
namun pada umumnya sulit untuk mengklasifikasikan ROA ini ke
dalam sistem Coombs dan Gell, karena mekanisme yang bertanggung
jawab untuk elisitasi belum diketahui.1,8
a) Tipe I (Reaksi Anafilaktik)
Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi
yang merugikan, tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan
reaksi. Terjadi jika obat atau metabolitnya mengikat sekurang kurangnya 2 molekul IgE yang terikat pada permukaan sel mast
atau basophil sehingga mengakibatkan degranulasi sel mast dan
basofil serta pelepasan histamin dan berbagai mediator lain (misal
serotonin, bradikinin, heparin, SRSA leukotrien dan prostaglandin)
dari sel. Gambaran klinis yang khas tipe I adalah urtikaria dengan
atau tanpa angioederma. Selain itu juga bisa terjadi spasme
15

bronkus, muntah dan yang paling bahaya adalah reaksi anafilaktik.


Penisilin merupakan penyebab utama erupsi obat tipe cepat yang
IgE dependent.3,6-8
b) Tipe II (Reaksi sitotoksik)
Tipe II terjadi jika antibodi IgG atau IgM mengikat antigen di
permukaan sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik
oleh sel efektor yang diperantarai komplemen. Gabungan obatantibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel
sasaran ialah eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis
sel sehingga reaksi tipe ini disebut juga reaksi sitolisis atau
sitotoksik.3,6,8
Reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme ;
pertama, obat terikat secara kovalen pada membran sel dan
antibodi kemudian mengikat obat dan mengaktivasi komplemen
(misalnya

penisilin);

terbentuk,

terikat

kedua

pada

kompleks

permukaan

sel

obat-antibodi
dan

yang

mengaktivasi

komplemen (rnisalnya sefalosporin); ketiga obat yang terikat pada


permukaan sel menginduksi respons imun yang mengikat langsung
antigen spesifik jaringan (misalnya -methyl-dopa). Contoh obat
yang menimbulkan reaksi ini adalah sedormid (sedatif) yang dapat
mengikat trombosit dan imunoglobulin yang terbentuk terhadapnya
sehingga

menghancurkan

trombosit

(trombositopenia)

dan

menimbulkan pulpura. Kloramfenikol dapat mengikat sel darah


putih dan mengakibatkan agranulositosis. Fenasetin, klorpromazin,
penisilin, kina, dan sulfonamid dapat mengikat sel darah merah,
mengakibatkan anemia hemolitik. 6
c) Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi
(antibodi IgG atau IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan
mengaktifkan komplemen.1 Komplemen yang teraktivasi kemudian
melepaskan berbagai mediator diantaranya enzim-enzim yang
16

dapat merusak jaringan seperti macrophage chermotatic factor.

1,5

Makrofag dikerahkan ketempat tersebut melepas enzim yang dapat


merusak jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a
(anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil rnelepas
granul. Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila
kompleks diendapkan di jaringan.6
Mekanisme tipe III diduga terlibat pada banyak erupsi obat,
meliputi urtikaria, vaskulitis dan eritema multiforme. Lesi urtikaria
dapal juga terlihat pada awal reaksi yang diikuti demam,
limfadenopati, dan artralgia.1 Reaksi ini berhubungan dengan
kompleks imun dalam sirkulasi terdiri atas antibodi IgG dan obat,
yang

mengaktifkan

kaskade

komplemen,

menyebabkan

pembentukan anafilatoksin (C3a, C5a).8 Selanjutnya terjadi


pelepasan histamin dan mediator lain dari sel mas dan basofil.
Reaksi ini lebih sering disebabkan oleh sulfonamid dan penisilin.
Pada

vaskulitis

yang

diinduksi

obat,

reaksi

diperkirakan

disebabkan oleh deposit kompleks imun obat dan IgG pada endotel
pembuluh kulit kecil yang menyebabkan peradangan yang
diperantarai komplemen. Pada eritema multiforme, peradangan
yang diperantarai kompleks imun mungkin berperan atau
metabolisme yang diperantarai IgE yang bertanggung jawab,
melibatkan elemen reaksi fase lambat.6
d) Tipe IV(Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini tidak melibatkan immunoglobulin, melainkan
limfosit, APC dan sel Langerhans yang mempresentasikan antigen
kepada limfosit.1 Limfosit T yang sudah tersensitisasi mengenali
antigen dan 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen
menyebabkan pembebasan serangkaian limfokin, antara lain
marcrophage inhibilition factor dan macrophage activation factor.
Makrofag yang diaktifikan dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
Contoh klasiknya adalah dermatitis kontak alergik.1
17

Erupsi eksematosa, eritroderma, dan fotoalergik merupakan


reaksi tipe IV. Reaksi tipe ini melibatkan limfosit efektor yang
spesifik yang juga terlibat pada purpura, sindrom Lyells, bulosa,
likhenoid, dan erupsi obat yang menyerupai lupus. Mekanisme tipe
IV bersama-sama tipe III terlibat pada erupsi makulo-papular, fixed
drug eruption, dan eritema nodosum.6
Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri
sendiri, namun dapat bersama sama. Limfosit T berperan pada
inisiasi respons antibodi, dan antibodi bekerja sebagai essensial
link pada beberapa reaksi yang diperantarai sel, misalnya ADCC.
Mekanisme Non-Imunologis
Reaksi pseudo-allergik menstimulasi reaksi alergi yang bersifat
antibody dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah
aspirin dan kontras media. Ada teori yang menyatakan bahwa ada satu atau
lebih mekanisme yang terlibat, pelepasan mediator sel mast dengan cara
langsung, aktivasi langsung dari sy=istem komplemen , atau pengaruh
langsung pada metabolisme enzim arakidonat sel.9
Efek kedua diakibatkan oleh proses farmakologik obat terhadap tubuh
yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena
penggunaan kemoterapi antikanker. Penggunaan obat-obat tertentu secara
progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan
mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata difus.9
III. 3 Gambaran Klinis
ROA dapat mengenai setiap organ, seperti darah, pulmo, hepar, dan renal,
tetapi yang tersering mengenai kulit (EOA). 3,7 Manifestasi EOA yang tersering
(erupsi morbiliformis, urtikaria, angioedema, fixed drug eruption), yang
terberat (sindroma Stevens Jhonson, nekrosis epidermal toksik), serta
beberapa manifestasi lain berupa dermatitis kontak alergik, dermatitis
eksfoliative, purpura, vaskulitis, reaksi fotoalergik, eritema multiformis dan
eritema nodosum.1,7
18

a. Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis


Erupsi makulopapular atau morbiliformis atau disebut juga erupsi
eksantematosa merupakan EOA yang paling sering dijumpai dan dapat
diinduksi oleh hampir semua obat. Erupsi ini timbul generalisata dan
simetris, dan dapat terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens,
dan/atau papul yang tersebar di wajah, telapak tangan dan kaki.
Membran mukosa tidak terkena. Lesi biasanya mucul dalam 1 2
minggu setelah inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul setelah
obat dihentikan. Lesi selalu diikuti dengan gejala pruritus, dapat pula
diikuti demam, edema fasial / kelopak mata, malaise, dan nyeri sendi
yang biasanya hilang dalam beberapa hari sampai minggu setelah obat
dihentikan. Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat, namun hal ini
sangat jarang terjadi. Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif
menjadi eritroderma atau dermatitis eksfoliativa dengan melanjutkan
terapi.1,5=6

Gambar 1. Erupsi Eksantematosa


Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia
Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia.
United States of America. 2003. p: 333-352

19

Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata


akut (PEGA) yang ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul
mendadak diikuti malaise dan demam tinggi. Lesi kulit berupa
vesikopapula, pustul, dan bula yang terjadi harnpir diseluruh tubuh.
Mernbran mukosa jarang terlibat. Gambaran klinis menyerupai
psoriasis pustular.1,10
Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat
belum diketahui dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu
mekanisme, yaitu mekanisme reaksi tipe III dan tipe IV. Reaksi ini
terjadi setelah beberapa hari pemberian obat dan tidak terjadi setelah
pemberian dosis pertama, hal ini menunjukkan perlunya periode
sensitisasi sebelum reaksi terjadi. Beberapa erupsi makulopapular
diperantarai oleh sel T. Baru-baru ini dilaporkan keterlibatan sel T
CD8+ dalam mekanisme terjadinya erupsi obat morbiliformis dan
bulosa. Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi obat dihasilkan dari
bioaktivasi obat menjadi intemediate reaktif. Intemediate reaktif
intraseluler ini mengikat protein sitoplasma secara kovalen, kemudian
dipresentasikan oleh MHC kelas I kepada sel T CD8+.6,8
Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan
ampisillin, NSAID, sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol, tetrasiklin,
eritromisis, fenobarbital, dan bahkan retinoid. 1,6 Penyebab utama
adalah antibiotika laktam, dan arti epilepsi. Harus diingat bahwa
tidak semua eksantem morbiliformis atau makulopapular diinduksi
oleh obat. Infeksi tertentu khususnya virus dapat menginduksi eksatem
yang sukar dibedakan dengan yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA
kebanyakan dihubungkan dengan penggunaan antibiotika terutama
kelompok penisilin.6
b. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua.
Urtikaria merupakan reaksi vascular di kulit dengan adanya oedema
setempat yang pucat atau kemerahan dengan halo yang timbul
20

mendadak dan terasa gatal serta panas. Lesi urtika biasanya hilang
dalam beberapa jam, jarang lebih dari 24 jam dan secara serentak
muncul lesi urtika yang baru pada tempat yang lain. Ukuran lesi urtika
bervariasi antara beberapa milimeter hingga 10-20 cm. Urtikaria yang
diinduksi obat seringkali diikuti demam dan gejala umum lain berupa
malaise, vertigo, dan sakit kepala.3,6,8

Gambar 2. Urtikaria
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.
Angioedema terjadi bila pembengkakan juga terjadi pada dermis
dan jaringan subkutan, ditandai dengan edema setempat yang hanya
berkembang pada lokasi tertentu saja.1 Edema biasanya simetris.
Daerah predileksinya adalah bibir, kelopak mata, gentalia eksterna, dan
punggung tangan dan kaki.1,6 Edema pada glottis, laring dan lidah
merupakan reaksi edema yang paling berat dan tanpa pertolongan
pertama dapat menqakibatkan kematian akibat asfiksia. Penyebab
tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID.1

21

Gambar 3. Angiooedema
Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.
Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America.
2003
Urtikaria selain diperantarai reaksi tipe I, juga dapat merupakan
bagian dari reaksi tipe III. Mekanisme terjadinya urtikaria diperantarai
IgE, dan juga melalui pembentukan kompeks imun. Penyebab tersering
urtikaria adalah penisillin, asam asetisalisilat, dan NSAID lain. Sebuah
penelitian mengungkapkan bahwa antibiotika -laktam (melalui
mekanisme alergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus, dan
NSAID (melalui mekanisme pseudoalergi) bertanggung jawab pada
sepertiga kasus lainnya dari reaksi urtikaria yang diinduksi obat.
c. Fixed Drug Eruption (FDE)
FDE atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-satunya EOA
yang selalu diprovokasi oleh obat atau bahan kimia.1 Tidak ada faktor
etiologi lain yang dapat mengelisitasi. FDE merupakan EOA yang
sering dijumpai ketiga. Gambaran FDE berupa eritema dan vesikel
berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular, pada kasus yang
berat dapat timbul bula. Tempat predileksi adalah di sekitar mulut, di
daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka
penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas
22

disertai

eritema

dan

rasa

panas

setempat.1

Lesi

kemudian

meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama dan baru hilang


bahkan sering menetap. Kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat
yang sama.11

Gambar 4. Fixed drug eruption


Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.
Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America.
2003

Obat

yang

sering

menyebabkan

FDE

ialah

sulfonamide,

barbiturate, trimethoprim dan analgesic. Ukuran lesi bervariasi dari


beberapa milimeter hingga sentimeter. Dengan pemberian obat inisial,
lesi soliter dapat terbentuk. Pada pemberian ulang obat penyebab, lesi
terjadi tidak hanya pada lokasi biasanya, tapi juga pada tempat lain.1

23

Gambar 5. Fixed drug erupsi pada genitalia akibat sulfonamide


Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.
Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America.
2003
Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV.
Terdapat peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor.
Limfosit T helper / sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan
keratinosit yang nekrotik.5,7 Limfosit T yang menetap di lesi kulit
berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi
pada tempat yang sama. Ditemukannya keratinosit pada lesi kulit FDE
menunjukkan peningkatan ICAM 1 (yang terlibat dalam interaksi
antara keratinosit dan limfosit) dan FILA-DR. Peningkatan ekspresi
ICAM-1 menjelaskan migrasi limfosit T ke epidermis. Beberapa obat
penyebab FDE adalah sulfonamid, tetrasiklin, barbiturat, fenazon,
fenitoin, trimetoprim, dan analgesik.1,5
d. Dermatitis Eksfoliativa(Eritroderma)
DE atau eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang
biasanya disertai skuama.

DE biasanya muncul dalam beberapa

minggu atau bahkan beberapa hari setelah penggunaan obat. Erupsi


24

berupa eritema diseluruh tubuh diikuti deskuamasi terutama pada


telapak tangan dan kaki3. Proses dapat berlanjut beberapa minggu atau
bulan setelah penghentian obat. Pada eritroderma karena alergi obat
terlihat eritema tanpa skuama, skuama baru timbul pada stadium
penyembuhan. 6,12

Gambar 6. Dermatitis eksfoliativa, erupsi dan skuama di wajah, lengan dan


tubuh.
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.
Mekanisme yang pasti belum diketahui, diduga melalui mekanisme
tipe IV. DE dapat berasal dari erupsi eksantematosa jika obat penyebab
masih dilanjutkan.2 DE selain diinduksi obat, juga dapat merupakan
perluasan penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya seperti psoriasis,
atau berkaitan dengan limfoma hodgkin, leukemia, dan keganasan
lainnya.1,5 Banyak obat yang dapat menjadi penyebab DE, namun yang
paling sering adalah sulfonamid, penisilin, barbiturat, karbamazepin,
fenitoin, fenilbutason, allopurinol, dan garam emas.1
e. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit/mukosa berupa
bercak/pembengkakan berwarna merah/kebiruan yang tidak hilang bila
ditekan.1 Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi
obat. Erupsi biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk
25

pergelangan kaki atau tungkai bagian bawah dengan penyebar keatas.


Erupsi terdiri atas makula atau bercak kecil berbatas tegas berwarna
merah kecoklatan yang tidak hilang dengan penekanan, dan disertai rasa
gatal.1,5 Kelainan dapat berupa Petekie (makula merah, diameter 2-3
mm, merah, kemudian coklat & akhirnya menghilang), Ekimosis
(makula kebiruan, sedikit bengkak, diameter > 2-3 mm, letak kelainan
lebih dalam; kemudian menguning & akhirnya menghilang), Vebeses
(purpura berbentuk linear), Hematoma (kumpulan darah dalam jaringan
kulit / mukosa. Berjumlah cukup banyak pembengkakkan &
fluktuasi)1

Gambar 7. Purpura pada tungkai bawah


Sumber Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.
Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America.
2003
Purpura karena hipersensitivitas obat dapat diakibatkan oleh
trombositopenia. Mekanisme trombositopenia berhubung dengan
pembentukan kompleks antigen antibodi dengan afinitas pada
trombosit. Teryata banyak obat yang menyebabkan kerusakan kapiler
tanpa mengenai tombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non
trombositopenik atau purpura vascular/purpura primer. Purpura non
trombositopenik/purpura sekunder secara umum berkaitan dengan
26

deposit kompleks imun di dinding venula.


Beberapa obat penyebab purpura trombositopenik adalah asam
asetilsalisilat, karbamazepin, indometasin, isoniazid, nitrofurantoin,
penisilinamin, fenitoin, dan derivatnya, derivat pirazolon, quinidin,
sulfonamid, dan tiourasil. Sedangkan beberapa obat penyebab purpura
non trombositopenik adalah ampisilin, penisilin, sulfatrimetoprim,
sulfonamid, asam asetilsalisilat.5
f. Vaskulitis
Vaskulitis adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat
berupa palpable purpura yang mengenai kapiler.3 Vaskulitis ditandai
dengan adanya inflamasi dan nekrosis pembuluh darah.3 Bentuk
tersering adalah vaskulitis yang mengenai kapiler dan venul. Vaskulitis
dapat hanya terbatas pada kulit, atau dapat melibatkan organ lain,
antara lain hepar, ginjal, dan sendi. Ukuran dan jumlah lesi bervariasi.
Biasanya distribusi simetris pada ekstremitas bawah dan daerah
sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, malaise, myalgia dan
anoreksia.3,5 Vaskulitis clapat terjadi pada semua umur, dengar awitan
rata-rata pada dekade kelima.
Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme
reaksi tipe III, jadi berhubungan dengan deposit kompleks imun. Obat
hanya salah satu penyebab vaskulitis. 2 Obat-obatan yang dianggap
sebagai penyebab adalah penisilin, sulfonamid, tiourasil, hidantoin,
iodida, alopurinol, tiazid, NSAID, antidepresan, antiaritmia.3,4
g. Reaksi fotoalergik
Fotosensitivitas dapat berupa fenomena non imunologik fototoksik,
atau reaksi imunologik fotoalergik.2 Reaksi fotoalergik bergantung
pada obat, respons imun dan cahaya. UVA (320-400nm) terlibat pada
sebagian besar reaksi fotoalergik. Reaksi fotoalergik dapat diinduksi
oleh obat topikal atau sisternik.13
Gambaran klinis reaksi fotoalergik sama dengan gambaran
27

dermatitis kontak alergi pada umumnya. Reaksi kulit diawali di daerah


yang terpajan sinar matahari, kemudian dapat meluas yang tidak
terpajan matahari.3 Reaksi fotoalergik terhadap photosensitizer
sistemik lebih jarang dibandingkan dengan yang diinduksi kontaktan.6

Gambar 8. Ruam pada reaksi fotoalergik


Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.
Reaksi fotoalergik diperantarai oleh limfosit dan merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat serupa dengan dermatitis kontak alergik.
Reaksi fotoalergik membutuhkan fase induksi dan elisitas. Periode
sensitisasi dapat beberapa hari sampai beberapa bulan. Konsentrasi
obat yang dibutuhkan untuk elisitasi dapat sangat kecil.2 sebagaian
besar reaksi fotoalergik disebabkan oleh agen topikal, antara lain
sulfonamid, fenotiazin, dan halogennated salicylanilides. Fotoalergen
sistemik, misalnya fenotiazin, klorpromazin, sulfa, tiazid, kuinidin, dan
griseofulvin dapat menimbulkan reaksi fotoalergik.1,6
h. Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA)
Penyakit pustulosis eksemantosa generalisata akut(PEGA) atau
acute generalized exanthematous pustulosis(AGEP) jarang terjadi,
diduga disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus,
hipersensitivitas terhadap merkuri, dan dermatitis kontak.3
28

Kelainan kulitnya berupa pustule-pustul miliar non-folikular yang


timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi
menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam
tinggi(>380C), dan pustule-pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7
hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa hari.3
Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustule intraepidermal
atau subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrate
polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinophil atau nekrosis fokal
sel-sel keratinosit.3
Terdapat 2 perbedaan utama antara PEGA dan psoriasis pustulosa
yaitu PEGA terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada
PEGA pustule-pustul pada kulit yang eritematosa dan demam lebih
cepat menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga berbeda.3
i. Eritema nodosum (EN)
EN merupakan EOA yang jarang terjadi. Kelainan kulit berupa
eritema yang lunak dan nodus yang nyeri dengan eritema diatasnya
disertai gejala umum berupa demam, malese dan artritis tidak biasa
pada EN yang diinduksi obat. Distribusi lesi simetris dengan tempat
predileksinya di daerah tungkai bawah. Pada kasus yang berat dapat
mengenai paha dan lengan. Awitan EN cepat namun regresi perlahan.
EN dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya
tuberculosis, infeksi streptokokus, dan leprae.

29

Gambar 10. Eritema nodusum pada tungkai bawah


Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.
Terdapat beberapa pertentangan apakah obat dapat menyebabkan
EN. Biasanya dengan Imunofluoresen langsung gagal menunjukkan
deposit imun, tapi kadang-kadang terdapat IgG atau IgM. Reaksi
imunologis yang menyebabkan inflamasi di pembuluh darah subkutan
mungkin mencetuskan lesi.
Obat-obatan yang dianggap sering menyebabkan EN adalah
sulfonamid, bromida, dan kontrasepsi oral.1 Obat-obatan lain seperti
30

penisilin, barbiturat, dan salisilat lebih jarang menyebabkan EN.2


j. Eritema Multiforme (EM)
Eritema

Multiforme

atau

disebut

juga

Herpes

iris,

dermatostomatitis dan eritema eksudativum multiforme merupakan


erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-kadang pada
selaput

lendir

dengan

gambaran

bermacam-macam

spectrum(polimorfik) dan gambaran khas bentuk iris. Pada kasus yang


berat disertai symptom konstitusi dan lesi vesikel. Penyebab yang pasti
belum diketahui. Obat merupakan penyebab EM pada 10-20% kasus,
sisanya kemungkinan disebabkan oleh infeksi dan penyakit lain.1,5
Gejala klinis berupa spektrum yang bervariasi dari erupsi lokal
kulit dan selaput lendir sampai bentuk berat berupa kelainan multi
system yang dapat menyebabkan kelainan. Terdapat dua tipe dasar
yaitu tipe macula eritema dan tipe vesikobulosa.3

Gambar 11. Eritema Multiformis


Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W.
Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd
edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media
Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
Tipe makula-eritema mendadak, simetris dengan tempat predileksi
di punggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas , dan
31

selaput lender. Pada keadaan berat mengenai badan. Lesi tidak terjadi
serentak, tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu. Gejala khas ialah
bentuk iris(target lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah
berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh
lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.3
Pada tipe vesikobulosa lesi mula-mula berupa macula, papul,dan
urtika yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk
ini dapaat juga mengenai selaput lender.3 Pada pemeriksaan darah tepi
tidak ditemukan kelainan, pada kasus yang berat dapat terjadi anemia
dan proteinuria ringan.3
k. Sindroma Stevens Johnson (SSJ)
Sindrom Steven Johnson (SSJ) disebut juga eritema multiforme
mayor merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lender dan
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan
sampai berat; kelainan paada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura.1
Penyebab utama dari SSJ adalah alergi obat(>50% kasus).
Penyebab lainnya adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host,
neoplasma dan radiasi. Banyak obat yang menjadi penyebab sindrom
ini, yang tersering adalah sulfonamid, antikonvulsan aromatik,
beberapa NSAID dan alopurinol yang bertaggung jawab pada 2/3
kasus SSJ. Aminopenisillin dan klormenazon juga dilaporkan sebagai
penyebab tersering. Penyakit ini serupa dengan NET disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik). Gambaran klinis tergantung
kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSj dan NET adalah
pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi
aktivasi sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokinsitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8
pada sel epidermis. Keratinositepidermal mengekspresi ICAM-1,
ICAM-2 dan MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF di
32

epidermis meningkat.1,7
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia < 3 tahun karena imunitas
belum begitu berkembang.Keadaan umumnya dapat bervariasi dari
ringan sampai berat. Mulainya penyakit akut dapat disertai dengan
gejala prodromal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk,
pilek dan nyeri tenggorokan.1

Gambar 12. Contoh lesi pada Sindrom Stevens Johnson


Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.
Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan
selaput lender di orifisium dan kelainan mata. Kelainan kulit terdiri
33

atas eritema, vesikel dan bula.3 Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu juga terdapat purpura.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput
lender di orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut(100%),
kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital(50%), sedangkan
di lubang hidung dan anus jarang(masing-masing 8% dan 4%).
Kelainanna berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga
terjadi erosierosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa
mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang
sering tampaik ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Lesi di mukosa
mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas
dan esophagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sulit/tidak dapat
menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan
keluhan sukar bernapas. Kelainan mata terjadi pada 80% diantara
semua kasus, yang tersering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu
dapat pula berupa konjungtivitis purulent, perdarahan, simblefaron,
ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Komplikasi tersering ialah
bronkopneumonia,

selain

itu

dapat

pula

terjadi

kehilangan

darah/cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, syok dan ebutaan


karena gangguan lakrimasi. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak
khas.3

34

Gambar 13. Gambaran pasien Sindrom Stevens Jhonson


Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.
Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme,
bervariasi dari perubahan dermal ringan sampai nekrolisis epidermal
yang menyeluruh. Kelainan berupa3:
1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah
dermis superficial
2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subdermal
4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa
5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
Diagnosis banding SSJ adalah NET karena NET merupakan bentuk
parah dari SSJ. Apabila terdapat epidermolisis generalisata maka
diangnosanya adalah NET. Keadaan umum pada NET lebih buruk.3
Obat yang dianggap sebagai kausanya harus dihentikan, termasuk
jamu dan adiktif. Pengobatan yang diberikan jika keadaan umum
pasien baik dan lesi tidak menyeluruh adalah dengan prednisone 3040mg sehari. Jika keadaan umum pasien kurangbaik atau lesi
35

menyeluruh pasien harus dirawat inap. Penggunaan kortikosteroid


merupakan life-saving, dapat digunakan injeksi deksametason dengan
dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Setelah beberapa hari (2-3 hari)
bila masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan tidak timbul lesi
baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi maka dosis
diturunkan 5 mg setiap harinya dan setelah mencapai 5 mg sehari lalu
diganti dengan tablet kortikosteroid. Jadi lama pengobatan kira-kira 10
hari. Selain deksametason dapat pula digunakan metilprednisolon
degan

dosis

setara.

Kelebihan

metilprednisolon

adalah

efek

sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan dengan deksametason


namun harganya lebih mahal. Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu,
maka imunitas pasien akan berkurang sehingga harus diberikan
antibiotic untuk mencegah infeksi, misalnya bronkopneumonia yang
menyebabkan kematian. Contoh antibiotic yang biasa digunakan
adak=lah ciprofloksasin 2 x 400 mg iv, klindamisin 2 x 600 mg iv
sehari, ceftriakson 2 gr 1 x 1 sehari. Untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid diberikan diet yang rendah garam dan tinggi protein
karena kortikosteroid bersifat katabolic.Setelah seminggu diperiksa
pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat
diberikan KCl 3 x 500 mg.1
Pada pasien dengan lesi di mulut dan tenggorokan yang
menyebabkan sulit/tidak dapat menelan dapat diberikan infus seperti
dextrose 5%, NaCl 9% dan Ringer Laktat dengan perbandingan 1:1:1
dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali. Jika dengan terapi tersebut
belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan transfuse
darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi
darah (whole blood) adalah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat
leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfuse
leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung
banyak sitokin dan leukosit jadi meninggikan daya tahan. Indikasi
pemberian transfuse pada SSJ dan NET adalah :1
36

1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat


setelah 2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ
30 mg deksametason sehari dan NET 40mg sehari.
2. Bila terdapat purpura generalis
3. Jika terdapat leukopenia
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vit.C
500 mg atau 1000 mg sehari iv. Terapi topical tidak sepenting terapi
sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim
sulfodiazin-perak, untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in
orabase dan betadine gargle Untuk bibir yang biasanya kelainannya
berupa krusta tebal kehitaman data diberikan emolien misalnya krim
urea 10%.1
l. Nekrosis Epidermal Toksik (NET)
NET disebut juga Sindrom Lyell merupakan penyakit yang berat,
lebih berat daripada SSJ, sehingga jika pengobatan tidak cepat dan
tepat dapat menyebabkan kematian. NET ialah penyakit berat, gejala
terpenting ialah epidermolisis generalisata (karena sel sasarannya
adalah epidermis), dapat disertai kelainan pada selaput lender di
orifisium dan mata.3,5 Etiologinya sama dengan SSJ. Penyebab utama
juga alergi obat yang berjumlah 80-95% dari semua pasien. NET
merupkan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian
karena gangguan cairan dan elketrolit atau karena sepsis. NET disertai
periode prodromal berupa demam, rhinitis, konjungtivitis, yang
bertahan beberapa hari hingga minggu yang dapat disertai dengan
penurunan

kesadaran(spoor-komatosa),

selanjutnya

lesi

kulit

berkembang cepat, biasanya dalam 3 hari. Awalnya, pasien merasakan


seperti terbakar atau nyeri pada lesi eritema generalisata kemudian
timbul banyak vesikel dan bula dan dapat disertai dengan purpura.
Bula dan pengelupasan kulit(epidermolisis) pada area yang luas
mengakibatkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa,
yaitu kulit yan ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas.1.5
37

Gambar 14. Nekrosis Epidermal Toksik


Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah pada ginjal yang berupa
nekrosis tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan
bersama-sama dengan glomerulonephritis. Diagnosis banding NET
adalah

SSJ,

Dermatitis

kontak

iritan

karena

baygon

dan

Staphylococcus Scalded Skin Syndrome(SSSS).3


III. 4 Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu
memastikan penyebab erupsi obat alergik :6
a. Pemeriksaan in vivo :
1. uji tempel (patch test)
2. uji tusuk (prick/scratch test)
3. uji provokasi (exposure test)
Pemeriksaan tersebut memerlukan persiapan untuk menghadapi
kemungkinan reaksi anafilaksis.
b. Perneriksaan in vitro :
1. Yang diperantarai antibodi :
a)
b)
c)
d)

Hemaglutinasi pasif
Radio immunoassay
Degranulasi basofil
Tes fiksasi komplemen

2. Yang diperantarai sel :


38

a) Tes transformasi limfosit


b) Leucocyte migration inhibition test
Pemilihan pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme imunologis
yang mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa pemeriksaan tersebut
merupakan pemeriksaan penunjang dan hasilnya memerlukan interpretasi
yang teliti.1
III. 5 Diagnosis
Diagnosis erupsi obat berdasarkan :
a. Anamnesis : adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan
penggunaan obat sehingga perlu ditanyakan obat-obat/jamu yang didapat,
kelainan yang timbul akut atau beberapa hari setelah konsumsi obat, rasa
gatal yang dapat disertai demam yang biasanya subfebril.
b. Pemeriksaan Klinis (Kelainan kulit yang ditemukan) : adanya kelainan
klinis sesuai dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang
diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi
disebabkan oleh obat tersebut. Perlu diperhatikan distribusi lesi yang
menyebar, simetris atau setempat, bentuk kelainan yang timbul (urtikaria,
purpura, eksantema, papul, eritroderma, eritema nodusum).
c. Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif
dan dapat dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik.
III. 6 Diagnosis banding
i. Dermatitis Kontak Iritan
ii. Pitiriasis Rosea
iii. Urtikaria, selain karena obat
III. 7 Pengobatan
Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena
kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri
atau metabolitnya. Pengobatan dibagi dalam:
a.

Pengobatan kausal : Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka


(apabila obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk
rnenghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan obat
39

b.

tersangka (satu golongan).


Pengobatan simtomatik :Pengobatan dilaksanakan sesuai dengan tipe
reaksi yang mendasarinya :
1.

Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) : Bila terjadi syok dapat


diberikan epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 0,5 ml secara subkutan
atau intravena. Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan,
tetapi bukan merupakan pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi
dapat diatasi dalam waktu 15 20 menit, meskipun penderita masih
harus diamati selama 24 jam berikutnya untuk mencegah komplikasi.

2.

Pada reaksi tipe yang lain : Penghentian penggunaan obat tersangka


umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan beratringannya reaksi, pemberian kortikosteroid (prednison 40 100
mg/hari) dan antihistamin dapat dipertimbangkan.l

Pengobatan dapat diberikan secara 1:


1.

Sistemik
a) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat
sisteik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet
prednisone(1 tablet=5mg). Pada kelainan urtikaria, eritema,
dermatitis

medikamentosa,

purpura,

eritema

nodusum,

eksantema fikstum, dan PEGA karena alergi obat, dosis standar


untuk orang dewasa adalah 3x10 mg prednisone sehari. Pada
eritroderma dosisnya adalah 3x10 mg sampai 4x 10 mg sehari.
b) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika
terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang
2.

kalau dibandingkan dengan kortikosteroid.


Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit,
apakah kering atau basah. Kalau keadaan kering, seperti apda
eritema atau urtikaria, dapat diberikan bedak, contohnya bedak
salisilat 2% ditambah dengan antipruritus, misalnya menthol 40

1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan membasah seperti


dermatitis medikamentosa perlu dikompres, misalnya kompres
larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema
nodusum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema
fikstum jika kelainan membasah dapat diberikan kompres dan jika
kering

dapat

diberi

krim

kortikosteroid,

misalnya

krim

hidrokortison 1% atau 2,5%. Pada eritroderma dengan kelainan


berupa eritema yang menyeluruh dan skuamasi dapat diberi salep
lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.
III. 8 Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada
beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan sindrom Leyll
dan sindrom Steven-Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung
pada luas kulit yang terkena. 1
BAB III
PATOMEKANISME HEPATOBILIER DENGAN DRUG INDUCED
III. 1

Metabolisme Obat
Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga membuat mereka mampu
menembus membran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih hidrofilik
melalui proses-proses biokimiawi di dalam hepatosit, menghasilkan
produk-produk larut air yang diekskresi ke dalam urin atau empedu.
Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur oksidatif utamanya melalui
sistem enzim sitokrom P-450.

41

Gambar 15. Metabolisme Obat


III. 2

Sistem Enzim yang Berperan Dalam Detoksifikasi


a. Sistem tahap I
Sistem detoksifikasi tahap I, melibatkan terutama enzim supergene

sitokrom P-450, secara umum merupakan enzim pertahanan pertama


melawan bahan asing. Sebagian besar bahan kimia dimetabolisme melalui
biotransformasi tahap I. Pada reaksi umum tahap I, enzim sitokrom P-450
(CYP450) menggunakan oksigen dan sebagai kofaktor, NADH, untuk
menambah kelompok reaktif, misalnya hidroksil radikal. Sebagai hasil dari
tahap ini dalam detoksifikasi, diproduksi suatu molekul reaktif yang lebih
toksik daripada molekul awal. Apabila molekul reaktif ini tidak berlanjut
pada metabolisme selanjutnya, yaitu tahap II (konjugasi), dapat
menyebabkan kerusakan pada protein, RNA, dan DNA di dalam sel.
Beberapa penelitian menunjukkan bukti terhadap hubungan antara
terjadinya induksi tahap I dan/atau berkurangnya aktivitas tahap II dengan
meningkatnya resiko penyakit, misalnya kanker, SLE, dan penyakit
Parkinson.

b. Sistem tahap II
Reaksi konjugasi pada tahap II umumnya mengikuti aktivasi tahap I,
dimana akan mengakibatkan xenobiotik yang telah larut air dapat
diekskresikan melalui urin atau empedu. Beberapa macam reaksi konjugasi
terdapat di dalam tubuh, termasuk glukoronidasi, sulfas, dan konjugasi
glutation serta asam amino. Reaksi ini memerlukan kofaktor yang tercukupi
melalui makanan.

42

Banyak yang diketahui mengenai peran dari sistem enzim tahap I pada
metabolism bahan kimia seperti halnya aktivasinya oleh racun lingkungan
dan komponen makanan tertentu. Walau begitu, peran detoksifikasi tahap I
pada praktek klinik tidak terlalu diperhatikan. Kontribusi dari sistem tahap
II lebih diperhatikan dalam penelitian dan praktek klinik. Dan hanya sedikit
yang diketahui saat ini mengenai peran sistem detoksifikasi pada
metabolism zat endogen.
III. 3

Mekanisme Hepatotoksisitas

Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit
karena asam empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati
karena gangguan transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi Fas
sitoplasmik ke membran plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami
pengelompokan sendiri dan memacu kematian sel melalui apoptosis.
Disamping itu, banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450
yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang
dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan
ikatan baru yang tidak punya peran.

43

Gambar 16. Ilustrasi yang menggambarkan mekanisme terjadinya DILI, yang


meliputi metabolisme obat, kerusakan hepatosit, aktivasi sistem
imun dan menghasilkan terjadinya kerusakan jaringan. CYP
(Cytochrome P450), IFN (Interferon), IL (Interleukin), NL (Natural
Killer Cell), NKT (Natural Killer T Cell), dan TNF (Tumor
Necrosis Factor).

10

Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikelvesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik
sel T, merangsang respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel sitotoksik
dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria
dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi.
Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak
epitel saluran empedu.

Kerusakan dari sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organella
intraseluler yang terpengaruh. Hepatosit normal terlihat di tengah-tengah
gambar yang dipengaruhi melalui 6 cara.

1,9

a. Kerusakan hepatosit
Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan
penurunan ATP, menyebabkan gangguan aktin. Kegagalan perakitan
benang-benang aktin di permukaan hepatosit menyebabkan rupturnya
membran hepatosit.
b. Gangguan protein transport
Obat yang mempengaruhi protein transport di membran kanalikuli dapat
mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan
gangguan pompa transport misal multidrug resistanceassociated protein 3
(MRP3) menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan kolestasis.
44

c. Aktivasi sel T sitolitik


Ikatan kovalen dari obat pada enzim P-450 dianggap imunogen,
mengaktifkan sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun multifaset.
d. Apoptosis hepatosit
Aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF-? menyebabkan
berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat pada kematian sel
terprogram (apoptosis).
e. Gangguan mitokondria
Beberapa oba t menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada
-oksi dasi (mempengaruhi produksi energi dengan cara menghambat
sintesis dinucleotide adenine nicotinamide dan dinucleotide a denine flavin,
yang menyebabkan menurunn ya produksi ATP) dan enzim rantai respirasi.
f. Kerusakan duktus biliaris
Metabolit racun yang diekskresikan di empedu dapat m enyebabkan
kerusakan epitel duktus biliaris.

45

11

Gambar 17. Mekanisme Hepatotoksisitas


Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada
hati dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan
yang unpredictable.

1,2

1. Predictable Drug Reactions (intrinsik) : merupakan obat yang dapat


dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan
kepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini
ada obat yang langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak secara
tidak langsung yaitu dengan mengacaukan metabolisme atau faal sel hati.
Obat hepatotoksik predictable yang langsung merusak sel hati umumnya
tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya ialah karbon tetraklorid
dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang merusak secara tidak
langsung masih banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin,
metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol
dan metotreksat menimbulkan steatosis yaitu degenerasi lemak pada sel
hati. Parasetamol menimbul kan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi
dan steroid yang mengalami alkilasi pada atom C--17 menimbulkan ikterus
akibat

terhambatnya

pengeluaran

empedu.

Rifampisin

dapat

pula

menimbulkan ikterus karena mempengaruhi konjugasi dan transpor


bilirubin dalam hati.

2. Unpredictable Drug Reactions/Idiosyncratic drug reactions: kerusakan hati


yang tim bul disini bukan disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat,
tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orangorang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah
timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah
46

kecil orang yang rentan.


Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat
dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan karena
kelainan metabolisme.

Reaksi Hipersensitivitas
Biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses

sensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam


kulit,

eosinofilia

dan

kelainan

histologik

berupa

peradangan

granulomatosa atau eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau


dua challenge dose, gejala-gejala di atas biasanya segera timbul lagi.

Reaksi idiosinkrasi
idiosyncratic)

karena

kelainan

metabolisme

(Metabolic-

Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu
sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit,
eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas.
Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak
dapat diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi
.

selama beberapa hari sampai beberapa minggu Hal ini menunjukkan


bahwa diperlukan waktu yang cukup lama agar penumpukan metabolit
hepatotoksik dari obat sampai pada taraf yang memungkinkan terjadinya
kerusakan hati.

Gambar 18. Mekanisme terjadinya kerusakan hati yang dimediasi


47

olehsistem imun

12

BAB IV
KESIMPULAN
Banyak tipe erupsi yang dapat disebabkan oleh obat, dan tiap obat dapat
memicu timbulnya erupsi obat alergi. Oleh karena itu sebelum memberikan
terapi obat, harus dipertimbangkan besar kecilnya resiko, keuntungan serta
kerugian dari terapi tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, faktor
resiko, manifestasi klinis EOA dan edukasi pada pasien, serta penulisan resep
yang tepat dapat menurunkan morbiditas EOA.
Apabila terjadi EOA dan obat tersangka penyebab erupsi tersebut telah
dapat dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa
kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu
tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan, sehingga dapat dicegah
pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik.

48

DAFTAR PUSTAKA
1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aishah S,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Cetakan ketiga. Jakarta :
FK UI ; 2008. h 154-8.
2. Shear NH, Knowles SR, Shapiro L. Cutaneous Reactions to Drugs. Dalam :
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell, editor.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York :
McGrawHill ; 2008. p 355-62.
3. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical Press. 2006 (cited 2013 July 19) Available from :
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf.
4. Partogi D. Fixed Drug Eruption. 2009 (cited 2013 July 19). Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3411/1/08E00858.pdf
5. Blume JE, Elston DM. Drug Eruption. New York : Emedicine (Updated 2013
April 8; cited 2013 July 19).
6. Riedl MA, Casillas AM. Adverse Drug Reactions: Types and Treatment
Options. Am Fam Physician. 2003 (cited 2013 July 18). Available from :
http://www.aafp.org/afp/2003/1101/p1781.html.
7. Budi Iman. Erupsi Obat Alergik. 2008 (cited 2013 July 18). Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3400/1/08E00602.pdf.
8. DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. Dalam : Patterson R, et al. Alergic
Diseases. Edisi ke-5. Philadelpia : Lippincott-Raven Publisher ; 1997. p 317
352.
9. Bratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Bratawidjaya KG,
Rengganis I. Imunologi Dasar. Edisi ke-8. Jakarta : FKUI ; 2009. h 106 129.

49

10. Purwanto SL. Alergi Obat. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6.
1976. (cited 2013 19 July). Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht
11. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC ; 2005.
12. Revuz J, Allanore LV. Drug Reactions. In : Bolognia JL, et al, editor.
Dermatology Volume 1. 2nd ed. Spain : Mosby Elsevier ; 2008. p 301-19.
13. James WD, Berger TG, Elston DM. Drug Eruption. In : Andrews Disease of
The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2006. p
115-38.
14. Paller AS, Manchini AJ. The Hipersensitivity Syndromes. In : Hurwitz
Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2011. p
454-69.
Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi
Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius.
Jakarta. 2002. p:133-139

50

Anda mungkin juga menyukai