PATOMEKANISME HEPATOBILIER
PADA DRUG ERUPTION
Disusun oleh:
GENTA G TAMZIL
110.2009.120
PEMBIMBING
DR YANTO WIDIANTORO,SP.KK
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Puji serta syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya, tidak lupa shalawat serta salam penulis haturkan
pula kepada nabi besar Muhammad SAW, sehingga penulisan referat ini dengan judul
Patomekaniseme hepatobilier dengan drug eruption dapat terselesaikan dengan baik.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kepaniteraan bagian ilmu
Penyakit Kulit Dan Kelamin di RSU. dr. Slamet Garut. Besar harapan penulis agar referat
ini dapat memberikan manfaat baik kepada penulis maupun kepada rekan-rekan yang
lain.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada :
1. dr. H. Yanto Widiantoro, Sp.KK, selaku kepala SMF Kulit Dan Kelamin RSU dr.
Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada penulis.
2. Dosen- dosen Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin FK Universitas YARSI yang telah
memberi bimbingan serta pengajaran kepada penulis selama ini.
3. Perawat Poli Kulit Dan Kelamin, yang telah banyak membantu dan berbagi ilmu
dengan kami.
4. Rekan-rekan kepaniteraan SMF Kulit Dan Kelamin, atas bantuan, dukungan, dan
kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik guna perbaikan yang lebih baik pada referat
ini. Akhir kata, dengan segenap kerendahan hati dan penuh harap atas ridho-Nya, semoga
referat ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Garut, Maret 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.............................................................................................................20
Gambar 2.............................................................................................................21
Gambar 3.............................................................................................................22
Gambar 4.............................................................................................................23
Gambar 5.............................................................................................................24
Gambar 6.............................................................................................................25
Gambar 7.............................................................................................................27
Gambar 8.............................................................................................................29
Gambar 9.............................................................................................................30
Gambar 10...........................................................................................................31
Gambar 11............................................................................................................32
Gambar 12...........................................................................................................34
Gambar 13...........................................................................................................35
Gambar 14...........................................................................................................38
Gambar 15...........................................................................................................43
Gambar 16...........................................................................................................45
Gambar 17...........................................................................................................47
BAB I
PENDAHULUAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang
biasanya sistemik. Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, dapat melalui
mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat
kumur, obat mata, tapal gigi dan obat topical. Obat adalah zat yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat secara
topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat oleh
kulit.1
Obat semakin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga
reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug
reaction) atau RSO. Salah satu bentuk RSO adalah reaksi obat alergik (ROA).
Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA). 1
Konsekuensi dari penggunaan obat-obatan tersebut adalah peningkatan
morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Satu macam obat dapat menyebabkan
lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh
bermacam-macam obat. 1
Erupsi Obat dapat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang
mengancam jiwa manusia. Reaksi obat dapat terjadi hanya pada kulit ataupun
pada kelainan sistemik, seperti Sindrom Hipersensitivitas Obat
(Drug
BAB II
DRUG ERUPTION
III. 1 Epidemiologi
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi
alergi obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi
epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan
kejadian alergi obat adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 1520% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan.3
Sekitar 10% fixed drug eruption terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda
pernah dilaporkan adalah 8 bulan dan usia tertua adalah 87 tahun.(6) Kajian dari
NOEGROHOWATI (1999) mendapatkan fixed drug eruption (63%), sebagai
manifestasi klinis dari erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi dan anak,
disusul dengan erupsi eksematosa (3%) dan urtikaria (12%).4
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston
Collaborative Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang
timbul terhadap pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang
dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993.3 Di
internasional, drug eruption terjadi pada 2-3% pasien rawat inap. 5
Di Amerika Serikat, lebih dari 100.000 kematian diakibatkan karena
reaksi simpang obat (RSO) atau adverse drug reactions yang serius. 3-6% pasien
rawat jalan dan 6-15% dari pasien rawat inap mengalami reaksi simpang obat
yang serius. Faktor yang berhubungan dengan meningkatnya risiko reaksi
hipersensitivitas obat adalah asma, SLE (Systemic Lupus Erythematosus), atau
pada pengguna beta bloker. Walaupun pasien atopik tidak banyak tersensitisasi
oleh obat, tetapi pasien atopic memiliki risiko tinggi untuk menghadapi reaksi
alergi serius.6
III. 2 Etiopatogenesis
5
Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang
dihasilkan dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya. ROA
merupakan bagian dari RSO (reaksi tipe B).6 ROA memiliki beberapa
karakteristik klinis tertentu, yaitu :
1. Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.
2. Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.
3. Umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.
4. Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis
jauh di bawah kisaran dosis terapeutik.
5. Adanya
eosinofilia
4. Genetik
Gen HLA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi
obat. Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di
antara individu dewasa yang orang tuanya mengalami reaksi alergi
terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap agen
antimikroba; sedangkan individu dengan orang tua tanpa reaksi
alergi, hanya 1,7% mengalami reaksi alergi. 6,7
5. Reaksi Obat Sebelumnya
Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat
sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam
jangka waktu tidak terbatas. Sensitisasi silang antara obat dapat
terjadi, misalnya antara berbagai kelompok sulfonamid. Pasien
dengan riwayat hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi
untuk terjadinya sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien
dengan alergi penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk
terjadinya alergi terhadap antimikroba non--laktam. Reaksinya
8
hipersensitivitas
terhadap
obat
tersebut.
Obat
dan
Terjadinya
reaksi
hipersensitivitas
karena
obat
harus
dan exanthema
Meski
mekanisme
yang
pasti
belum
diketahui,
dan
kompleksitas
berhubungan
dengan
peningkatan
obat
obatan
yang
menyebabkan
reaksi
CD4+.
Sedangkan
peptida
pendek
dari
antigen
endogen
dimana
metabolit
reaktif
yang
terbentuk
penisilin);
terbentuk,
terikat
kedua
pada
kompleks
permukaan
sel
obat-antibodi
dan
yang
mengaktivasi
menghancurkan
trombosit
(trombositopenia)
dan
1,5
mengaktifkan
kaskade
komplemen,
menyebabkan
vaskulitis
yang
diinduksi
obat,
reaksi
diperkirakan
disebabkan oleh deposit kompleks imun obat dan IgG pada endotel
pembuluh kulit kecil yang menyebabkan peradangan yang
diperantarai komplemen. Pada eritema multiforme, peradangan
yang diperantarai kompleks imun mungkin berperan atau
metabolisme yang diperantarai IgE yang bertanggung jawab,
melibatkan elemen reaksi fase lambat.6
d) Tipe IV(Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini tidak melibatkan immunoglobulin, melainkan
limfosit, APC dan sel Langerhans yang mempresentasikan antigen
kepada limfosit.1 Limfosit T yang sudah tersensitisasi mengenali
antigen dan 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen
menyebabkan pembebasan serangkaian limfokin, antara lain
marcrophage inhibilition factor dan macrophage activation factor.
Makrofag yang diaktifikan dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
Contoh klasiknya adalah dermatitis kontak alergik.1
17
19
mendadak dan terasa gatal serta panas. Lesi urtika biasanya hilang
dalam beberapa jam, jarang lebih dari 24 jam dan secara serentak
muncul lesi urtika yang baru pada tempat yang lain. Ukuran lesi urtika
bervariasi antara beberapa milimeter hingga 10-20 cm. Urtikaria yang
diinduksi obat seringkali diikuti demam dan gejala umum lain berupa
malaise, vertigo, dan sakit kepala.3,6,8
Gambar 2. Urtikaria
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.
Angioedema terjadi bila pembengkakan juga terjadi pada dermis
dan jaringan subkutan, ditandai dengan edema setempat yang hanya
berkembang pada lokasi tertentu saja.1 Edema biasanya simetris.
Daerah predileksinya adalah bibir, kelopak mata, gentalia eksterna, dan
punggung tangan dan kaki.1,6 Edema pada glottis, laring dan lidah
merupakan reaksi edema yang paling berat dan tanpa pertolongan
pertama dapat menqakibatkan kematian akibat asfiksia. Penyebab
tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID.1
21
Gambar 3. Angiooedema
Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.
Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America.
2003
Urtikaria selain diperantarai reaksi tipe I, juga dapat merupakan
bagian dari reaksi tipe III. Mekanisme terjadinya urtikaria diperantarai
IgE, dan juga melalui pembentukan kompeks imun. Penyebab tersering
urtikaria adalah penisillin, asam asetisalisilat, dan NSAID lain. Sebuah
penelitian mengungkapkan bahwa antibiotika -laktam (melalui
mekanisme alergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus, dan
NSAID (melalui mekanisme pseudoalergi) bertanggung jawab pada
sepertiga kasus lainnya dari reaksi urtikaria yang diinduksi obat.
c. Fixed Drug Eruption (FDE)
FDE atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-satunya EOA
yang selalu diprovokasi oleh obat atau bahan kimia.1 Tidak ada faktor
etiologi lain yang dapat mengelisitasi. FDE merupakan EOA yang
sering dijumpai ketiga. Gambaran FDE berupa eritema dan vesikel
berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular, pada kasus yang
berat dapat timbul bula. Tempat predileksi adalah di sekitar mulut, di
daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka
penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas
22
disertai
eritema
dan
rasa
panas
setempat.1
Lesi
kemudian
Obat
yang
sering
menyebabkan
FDE
ialah
sulfonamide,
23
29
Multiforme
atau
disebut
juga
Herpes
iris,
lendir
dengan
gambaran
bermacam-macam
selaput lender. Pada keadaan berat mengenai badan. Lesi tidak terjadi
serentak, tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu. Gejala khas ialah
bentuk iris(target lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah
berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh
lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.3
Pada tipe vesikobulosa lesi mula-mula berupa macula, papul,dan
urtika yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk
ini dapaat juga mengenai selaput lender.3 Pada pemeriksaan darah tepi
tidak ditemukan kelainan, pada kasus yang berat dapat terjadi anemia
dan proteinuria ringan.3
k. Sindroma Stevens Johnson (SSJ)
Sindrom Steven Johnson (SSJ) disebut juga eritema multiforme
mayor merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lender dan
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan
sampai berat; kelainan paada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura.1
Penyebab utama dari SSJ adalah alergi obat(>50% kasus).
Penyebab lainnya adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host,
neoplasma dan radiasi. Banyak obat yang menjadi penyebab sindrom
ini, yang tersering adalah sulfonamid, antikonvulsan aromatik,
beberapa NSAID dan alopurinol yang bertaggung jawab pada 2/3
kasus SSJ. Aminopenisillin dan klormenazon juga dilaporkan sebagai
penyebab tersering. Penyakit ini serupa dengan NET disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik). Gambaran klinis tergantung
kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSj dan NET adalah
pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi
aktivasi sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokinsitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8
pada sel epidermis. Keratinositepidermal mengekspresi ICAM-1,
ICAM-2 dan MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF di
32
epidermis meningkat.1,7
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia < 3 tahun karena imunitas
belum begitu berkembang.Keadaan umumnya dapat bervariasi dari
ringan sampai berat. Mulainya penyakit akut dapat disertai dengan
gejala prodromal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk,
pilek dan nyeri tenggorokan.1
atas eritema, vesikel dan bula.3 Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu juga terdapat purpura.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput
lender di orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut(100%),
kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital(50%), sedangkan
di lubang hidung dan anus jarang(masing-masing 8% dan 4%).
Kelainanna berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga
terjadi erosierosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa
mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang
sering tampaik ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Lesi di mukosa
mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas
dan esophagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sulit/tidak dapat
menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan
keluhan sukar bernapas. Kelainan mata terjadi pada 80% diantara
semua kasus, yang tersering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu
dapat pula berupa konjungtivitis purulent, perdarahan, simblefaron,
ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Komplikasi tersering ialah
bronkopneumonia,
selain
itu
dapat
pula
terjadi
kehilangan
34
dosis
setara.
Kelebihan
metilprednisolon
adalah
efek
kesadaran(spoor-komatosa),
selanjutnya
lesi
kulit
SSJ,
Dermatitis
kontak
iritan
karena
baygon
dan
Hemaglutinasi pasif
Radio immunoassay
Degranulasi basofil
Tes fiksasi komplemen
b.
2.
Sistemik
a) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat
sisteik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet
prednisone(1 tablet=5mg). Pada kelainan urtikaria, eritema,
dermatitis
medikamentosa,
purpura,
eritema
nodusum,
dapat
diberi
krim
kortikosteroid,
misalnya
krim
Metabolisme Obat
Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga membuat mereka mampu
menembus membran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih hidrofilik
melalui proses-proses biokimiawi di dalam hepatosit, menghasilkan
produk-produk larut air yang diekskresi ke dalam urin atau empedu.
Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur oksidatif utamanya melalui
sistem enzim sitokrom P-450.
41
b. Sistem tahap II
Reaksi konjugasi pada tahap II umumnya mengikuti aktivasi tahap I,
dimana akan mengakibatkan xenobiotik yang telah larut air dapat
diekskresikan melalui urin atau empedu. Beberapa macam reaksi konjugasi
terdapat di dalam tubuh, termasuk glukoronidasi, sulfas, dan konjugasi
glutation serta asam amino. Reaksi ini memerlukan kofaktor yang tercukupi
melalui makanan.
42
Banyak yang diketahui mengenai peran dari sistem enzim tahap I pada
metabolism bahan kimia seperti halnya aktivasinya oleh racun lingkungan
dan komponen makanan tertentu. Walau begitu, peran detoksifikasi tahap I
pada praktek klinik tidak terlalu diperhatikan. Kontribusi dari sistem tahap
II lebih diperhatikan dalam penelitian dan praktek klinik. Dan hanya sedikit
yang diketahui saat ini mengenai peran sistem detoksifikasi pada
metabolism zat endogen.
III. 3
Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit
karena asam empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati
karena gangguan transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi Fas
sitoplasmik ke membran plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami
pengelompokan sendiri dan memacu kematian sel melalui apoptosis.
Disamping itu, banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450
yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang
dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan
ikatan baru yang tidak punya peran.
43
10
Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikelvesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik
sel T, merangsang respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel sitotoksik
dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria
dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi.
Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak
epitel saluran empedu.
Kerusakan dari sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organella
intraseluler yang terpengaruh. Hepatosit normal terlihat di tengah-tengah
gambar yang dipengaruhi melalui 6 cara.
1,9
a. Kerusakan hepatosit
Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan
penurunan ATP, menyebabkan gangguan aktin. Kegagalan perakitan
benang-benang aktin di permukaan hepatosit menyebabkan rupturnya
membran hepatosit.
b. Gangguan protein transport
Obat yang mempengaruhi protein transport di membran kanalikuli dapat
mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan
gangguan pompa transport misal multidrug resistanceassociated protein 3
(MRP3) menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan kolestasis.
44
45
11
1,2
terhambatnya
pengeluaran
empedu.
Rifampisin
dapat
pula
Reaksi Hipersensitivitas
Biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses
eosinofilia
dan
kelainan
histologik
berupa
peradangan
Reaksi idiosinkrasi
idiosyncratic)
karena
kelainan
metabolisme
(Metabolic-
Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu
sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit,
eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas.
Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak
dapat diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi
.
olehsistem imun
12
BAB IV
KESIMPULAN
Banyak tipe erupsi yang dapat disebabkan oleh obat, dan tiap obat dapat
memicu timbulnya erupsi obat alergi. Oleh karena itu sebelum memberikan
terapi obat, harus dipertimbangkan besar kecilnya resiko, keuntungan serta
kerugian dari terapi tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, faktor
resiko, manifestasi klinis EOA dan edukasi pada pasien, serta penulisan resep
yang tepat dapat menurunkan morbiditas EOA.
Apabila terjadi EOA dan obat tersangka penyebab erupsi tersebut telah
dapat dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa
kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu
tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan, sehingga dapat dicegah
pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aishah S,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Cetakan ketiga. Jakarta :
FK UI ; 2008. h 154-8.
2. Shear NH, Knowles SR, Shapiro L. Cutaneous Reactions to Drugs. Dalam :
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell, editor.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York :
McGrawHill ; 2008. p 355-62.
3. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical Press. 2006 (cited 2013 July 19) Available from :
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf.
4. Partogi D. Fixed Drug Eruption. 2009 (cited 2013 July 19). Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3411/1/08E00858.pdf
5. Blume JE, Elston DM. Drug Eruption. New York : Emedicine (Updated 2013
April 8; cited 2013 July 19).
6. Riedl MA, Casillas AM. Adverse Drug Reactions: Types and Treatment
Options. Am Fam Physician. 2003 (cited 2013 July 18). Available from :
http://www.aafp.org/afp/2003/1101/p1781.html.
7. Budi Iman. Erupsi Obat Alergik. 2008 (cited 2013 July 18). Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3400/1/08E00602.pdf.
8. DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. Dalam : Patterson R, et al. Alergic
Diseases. Edisi ke-5. Philadelpia : Lippincott-Raven Publisher ; 1997. p 317
352.
9. Bratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Bratawidjaya KG,
Rengganis I. Imunologi Dasar. Edisi ke-8. Jakarta : FKUI ; 2009. h 106 129.
49
10. Purwanto SL. Alergi Obat. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6.
1976. (cited 2013 19 July). Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht
11. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC ; 2005.
12. Revuz J, Allanore LV. Drug Reactions. In : Bolognia JL, et al, editor.
Dermatology Volume 1. 2nd ed. Spain : Mosby Elsevier ; 2008. p 301-19.
13. James WD, Berger TG, Elston DM. Drug Eruption. In : Andrews Disease of
The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2006. p
115-38.
14. Paller AS, Manchini AJ. The Hipersensitivity Syndromes. In : Hurwitz
Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2011. p
454-69.
Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi
Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius.
Jakarta. 2002. p:133-139
50