Anda di halaman 1dari 13

KAJIAN AL-IJAZ

IKPM CABANG
KAIRO

E D I S I

I V

URGENSI ILMU TAFSIR


DALAM MEMAHAMI
KANDUNGAN AL-QURAN

TAHNIAH
AKHL AK

QU R AN I

MABHATS
M
O
T
D

E
R
E
A

N J A W A B
T U D U H A N
I E N T A L I S
R H A D A P
M A K K I Y A H
N
M A D A N I Y A H

UDHAMA

10

F A K H R U D D I N
A L - R A Z I :
M U F A S I R
J E N I U S ,
A H L I
F I L S A F A T

MARJA

11

M E N E G A S K A N
K E A G U N G A N A L Q U R A N M E L A L U I
S Y U B H A T

SALAM
MAR I

12

ME MB AC A

2 0 1 3

NADHRAH

DAFTAR ISI
NADHRAH

M A R E T

Urgensi Ilmu Tafsir dalam Memahami Kandungan Al-Quran

Hilmy Mubarok

l-Quran dengan segala sisi kemukjizatnya, menjadi kitab pedoman


yang tidak hilang bersama waktu,
segala hukum yang ada di dalamnya
berlaku hingga hari kiamat kelak. Selain merupakan kitab akhir zaman yang diturunkan
kepada Rasulullah SAW, ia juga merupakan
kitab penyempurna terhadap kitab-kitab sebelumnya. Al-Quran sendiri mampu dipahami
oleh setiap individu pada masa yang berbedabeda dengan cara pandang dan dari sisi yang
berbeda-beda pula.
Usamah al-Azhari dalam
bukunya, al-Madkhal ila
Ushul al-Tafsir menuliskan
beberapa disiplin ilmu yang
diambil dari berbagai
sisi al-Quran, seperti
ilmu bahasa Arab
nahwu- yang melihat alQuran dari sisi irab dan dari
sisi hubungan antar huruf atau
kalimat. Bahkan dewasa ini, ada pula
yang mengkaji sisi kebahasaannya dengan
menitik beratkan pada setiap lafal al-Quran,
seperti Muhyiddin al-Darwisy. Sedangkan dari
sisi Qiraah, muncul istilah-istilah tajwid, seperti
makharij al-huruf, sifat-sifat huruf dan hukumhukum tertentu dalam membaca al-Quran. Hal
yang sama juga dilakukan oleh para mufasir
yang berusaha mengungkapkan makna yang
tersurat atau pun tersirat dalam setiap ayat alQuran. Selain ketiga ilmu tersebut, masih
banyak lagi beberapa disiplin ilmu yang lahir
dari usaha memahami kandungan isi al-Quran.

Pada akhir pembahasan, Usamah al


-Azhari mencoba mengategorikan pembagian
disiplin ilmu yang berhubungan dengan alQuran, di antaranya, pertama, disiplin ilmu
yang berada di dalam kandungan al-Quran,
seperti Kisah-kisah para nabi, Pendidikan
akhlak, Fikih dan Syariat. Kedua, disiplin ilmu
yang memberi maklumat tambahan terhadap
seorang mufasir, seperti ilmu Hikmah. Ketiga,
disiplin ilmu yang mempunyai isyarat atau
penguat di dalam al-Quran, seperti ilmu Kedokteran dan Mantik. Keempat, ilmu yang tidak
ada kaitannya sama sekali dengan al-Quran,
baik karena kebatilannya atau
tidak ada faedah di dalamnya,
seperti ilmu Mitologi dan
Astrologi.
Hakikat Ilmu Tafsir
Berangkat dari itu semua,
ada salah satu disiplin ilmu yang
harus kita ketahui, bukan hanya karena
ia memiliki hubungan dengan al-Quran,
tetapi ilmu ini juga merupakan ilmu untuk
memahami kandungan al-Quran itu sendiri,
yaitu ilmu Tafsir. Mayoritas ulama menilai ilmu
Tafsir bukan hanya ilmu yang penting untuk
dipelajari, tetapi mereka juga menilai ilmu ini
sebagai salah satu ilmu yang mulia. Kemuliaan
ini bisa dilihat dari tiga sisi. Pertama, dari sisi
objek yang dikaji. Ilmu Tafsir merupakan ilmu
yang mempelajari al-Quran, kitab pedoman
untuk seluruh manusia. Kedua, tujuan mempelajarinya ilmu tafsir adalah untuk menyingkap
makna-makna
Bersambung ke hlm 8

A L - Q U R A N

DS EZB IA KG A RI AP E D O M A N

ISTIKHARAH
Nur Fitria Qurrotu Aini

Tetapi boleh jadi


kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal itu baik bagimu, dan boleh
jadi kamu menyukai sesuatu,
padahal itu tidak baik bagimu.
Allah mengetahui sedang kamu
tidak mengetahui. (QS. alBaqarah: 216).
Dalam kehidupan
terkadang kita mengalami

kebimbangan, dan dihadapkan


pada pilihan-pilihan dilematis.
Untuk menghadapi kesulitan
itu tidak jarang dari manusia
terjerumus ke dalam kesyirikan.
Terkadang apa yang menurut
manusia baik belum tentu baik
dimata Allah dan sebaliknya
apa yang menurut manusia
buruk tetapi baik dimata Allah.

Islam memberikan
jalan keluar dalam menghadapi
hal
ini
yaitu
dengan
beristikharah.
Istikharah
berasal dari kata al-khairyang
bermakna sesuatu yang baik.
Istikharah bertujuan memohon
petunjuk dari allah SWT untuk
menunjukan sesuatu yang
Bersambung ke hlm 5

2 TAHNIAH

Akhlak Qurani

Sesungg
uhnya telah ada
pada (diri)
Rasulullah suri
teladan yang baik
bagimu. Yaitu bagi
orang yang
mengharap
(rahmat) Allah
dan (kedatangan)
hari kiamat
(QS. al-Ahzab:
21).

aat diutus kepada bangsa


Q u r a i s y , R asul ul l ah
membawa sat u mi si
penting, yaitu mengajarkan budi pekerti. Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak, demikian sabdanya.
Keagungan akhlak Rasulullah
telah terlihat sejak ia berada
dalam masa kanak-kanak, dan
terus terbawa hingga ia menjadi
pemimpin yang paling berhasil di
muka bumi ini. Perbuatan, ucapan dan ketetapannya yang kini
diabadikan dalam Hadis, menjadi
panutan umat Islam, tentunya
setelah al-Quran. Di dalam kitab
suci ini dijelaskan tiga unsur
pokok yang menjadi pondasi
utama agama Islam, akidah,
syariat, dan akhlak.
Ada dua ragam akhlak yang
ditegaskan al-Quran. Pertama, akhlak rabbaniyah yang menjelaskan etika seorang hamba
kepada penciptanya, seperti ikhlas, takut,
tawakal serta tidak mengedepankan urusan
duniawi demi mendapatkan kebahagiaan
ukhrawi. Sikap yang terakhir lebih dikenal
dengan istilah zuhud, salah satu pokok
peribadatan dalam dunia tasawuf. Sedangkan
tipe akhlak kedua adalah akhlak insaniyyah.
Tipikal yang kedua ini menuntut umat
Muhammad untuk bersikap baik kepada
sesamanya melalui beberapa sifat, seperti
jujur, amanat, tawadu, sabar, adil, lapang
dada, taawun dan sebagainya. Orang yang
beriman adalah orang yang mengamalkan
keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Hal
ini ditegaskan dalam berbagai ayat al-Quran
yang menerangkan sifat -sifat seorang
M u k m i n , s e pert i Q S . al -Anf al : 2-4,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetar
hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya),
dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. Yaitu
o rang -o rang yang m e ndi ri kan s halat dan
menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami
berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang

beriman dengan sebenar-benarnya


Selain itu, dalam al-Quran juga
dijelaskan bahwa hamba-hamba yang dicintai
Allah adalah mereka yang berakhlak karimah.
Sebaliknya, Allah pun membenci semua akhlak
tercela. Dalam hal ini, berbagai bentuk azab
dihadirkan al-Quran sebagai peringatan bagi
pembacanya. Hal yang sama juga ditegaskan
dalam banyak kisah al-Quran, yang menyampaikan pesan tentang bobroknya akhlak umat sebagai salah satu faktor pembunuh peradaban gemilang di masa lalu. Oleh karena itulah, manusia
dituntut untuk menjadikan Rasulullah sebagai
teladan, agar kehancuran dan binasa yang sama
tidak menimpa mereka. Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu.
Yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat (QS. al-Ahzab: 21).
Tujuan dari semua ajaran tersebut
sebenarnya berpangkal pada satu kata, takwa.
Kepatuhan dan ketaatan seorang hamba kepada
Tuhan-Nya inilah bentuk hakiki akhlak. Akhlak
meminta seorang hamba untuk tunduk pada
semua perintah-Nya, baik yang tertera dalam
kalam atupun sabda utusan-Nya. Kendatipun
demikian, menurut Yusuf al-Qaradhawi, baik alQuran maupun Sunah tidak pernah menafikan
peran akal untuk melaksanakan semua perintah
tersebut. Ia justru berada dalam posisi sentral
dalam hal ini, yaitu sebagai pengantar untuk
memahami perintah-perintah yang ditegaskan alQuran ataupun Hadis.
Pada akhirnya, keputusan sepenuhnya terletak di tangan seorang hamba. Dengan akal yang dimilikinya, ia akan menentukan
untuk berakhlak terpuji atau sebaliknya. Meski
hal tersebut tidak mudah, kita tetap dituntut
untuk berusaha memenuhi kriteria seorang
Mukmin yang telah diterangkan al-Quran, sebab
balasan seorang hamba tergantung seberapa
gigih ia berusaha. Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan
diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi
balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah segala
sesuatu bermuara. (QS. al-Najm: 39-42).

Susunan Redaksi Buletin IQRA Kajian AL-IJAZ IKPM Kairo


Dewan Penasehat: Ketua IKPM Cabang Kairo; Pembimbing: Bagian Keilmuan IKPM Cabang Kairo; Penanggung Jawab Umum: Novan Hariansyah, Dede permana;
Pemimpin Umum: Maulidatul Hifdhiyah; Pemimpin Redaksi: Faiq Aziz; Editor: Saeful Luthfy; Layouter: Rusydiana Tsani; Kru: Hilmy Mubarak, Muhammad Hafif
At-Tauhiidi, Jakfar Shodiq, Alfina Wildah, Jauharotun Naqiyah, Anisa Nur Rohmah, Ari Kurniawati, Risky Maratul, Nur Fitria Qorrotu Aini, Putri Rezeki Rahayu,
Uswahtun Hasanah, Kuntum Afifah.
Alamat Redaksi: Swessry B - Gami', Hay 10, Nasr City, Egypt 32206
B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I V , M A R E T

2 0 1 3

FIKRAH 3

Pelajaran Moral dari Al-Quran


Anisa Nur Rohmah

eiring waktu berjalan, moralitas masyarakat pun


mengalami perkembangan. Namun, sebagaimana
kita saksikan saat ini, moralitas sebagai tolak ukur
perkembangan sebuah peradaban, kini bukan
berkembang ke arah yang lebih baik, tetapi semakin memburuk dan sangat mengkhawatirkan. Sekarang banyak di
sekeliling kita kejadian-kejadian yang jauh dari nilai-nilai
moral, khususnya yang ditetapkan di dalam al-Quran.
Pada dasarnya, moralitas masyarakat yang
dinilai buruk ini lahir dari sikap masyarakat yang cenderung
individualis. Mereka hanya mementingkan diri mereka
sendiri, sehingga lahir sebuah keegoisan. Berbagai cara
dilakukan demi terwujudnya hasrat pribadi tersebut, tanpa
menghiraukan benar-salah atau sesuai -tidaknya dengan
ketetapan Allah SWT yang ada di dalam al-Quran.

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia


(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri" (Lukman: 18).
Sebagai pedoman bagi umat manusia, al-Quran
mengandung ayat-ayat yang menjelaskan nilai-nilai moralitas. Salah satunya ayat di atas yang menjelaskan bahwa
Allah memerintahkan manusia untuk bersikap rendah hati,
dapat dipercaya, baik budi, beriman, dan mau mendengarkan apa yang disampaikan oleh orang lain.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa pada hakikatnya Allah SWT telah menentukan batas-batas bagi makhluk
-Nya dalam menjalani kehidupan, khususnya bagi manusia.
Namun sayang, kebanyakan manusia tidak melihat hal
tersebut, sehingga mereka mengabaikan dan bahkan
melanggarnya. Selain itu, moral masyarakat yang cenderung
individualis juga disebabkan prinsip mereka sendiri yang
dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, teman, atau siapapun di sekitarnya. Padahal, jika ia mau melihat dan menyadari bahwa nilai-nilai moral tersebut memiliki kaitan yang
sangat erat dengan ketaatan kepada Sang Pencipta, maka
sesungguhnya ia benar-benar mendapatkan petunjuk untuk
menjalani kehidupan.
Harun Yahya, seorang penulis dan pemikir
Islam, menyatakan bahwa terjadinya tindak kekerasan dan
konflik yang berkepanjangan seperti saat ini, dikarenakan
kaum Muslim mulai menganut ideologi-ideologi kaum
Kafir yang tentu saja menyeleweng dari norma-norma yang
telah diajarkan al-Quran. Oleh sebab itulah, Muhammad
Abu shi, di dalam bukunya "Maqalatni fi al-Takwl"
menuliskan bahwa seorang Muslim tidak boleh mengafirkan sesama Muslim, karena di dalam ilmu akidah
disebutkan bahwa seorang hamba tidak terlepas dari
keimanan, kecuali hatinya sudah dihingggapi keingkaran.
Kemudian hal ini dipertegas dengan perkataan Imam alGhazali yang menyatakan bahwa tindakan mengafirkan

sesama Muslim merupakan sebuah kebodohan.


Dalam hal ini, ada beberapa solusi yang diberikan al-Quran untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Pertama, bertafakur. Dalam al-Quran, sering kita temukan
ayat-ayat yang berakhiran "tidakkah kamu perhatikan?",
"terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal," dan lain sebagainya. Hal tersebut menekankan betapa pentingnya bertafakur dengan memperhatikan tanda-tanda kekuasaan
Allah. Salah satunya terdapat di dalam QS. al-Nahl: 11,
"Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanamtanaman; zaitun, kurma, anggur, dan segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang mau memikirkan." Jika kita
renungkan sejenak, bagaimana mungkin biji kecil dari
pohon-pohon itu mampu menghasilkan buah-buahan
yang manis dan diminati banyak orang?
Kedua, berbaik sangka pada setiap peristiwa.
Segala sesuatu di atas muka bumi ini tidak akan terjadi
kecuali dengan izin Allah SWT. Sebagaimana kita ketahui,
bahwa segala apa yang dikehendaki-Nya adalah baik,
meski terasa pahit oleh kita. Pahit manis sebuah peristiwa,
hanya bisa dirasakan oleh mereka yang selalu berusaha
baik sangka dan mencari hikmah dari setiap peristiwa
tersebut. Misalnya dalam peristiwa banjir yang menimpa
sebuah derah. Di antara mereka ada yang menganggap hal
ini merupakan bencana dan sebagian lain menganggap
bahwa ini adalah ujian. Pada akhirnya, siapa yang mau dan
mampu melewati ujian tersebut maka dialah orang yang
beruntung.
Ketiga, tidak pernah berhenti melawan iblis.
Sudah jelas bahwa iblis adalah musuh yang nyata bagi
manusia. Dalam QS. al-Araf ayat 200, Allah berfirman,
"Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah." Dengan kata lain, ketika kita merasa
setan sedang menggoda dengan bisikan-bisikannya, maka
kita seharusnya kita segera mengucapkan lafal istiadzah.
Keempat, menjadi moderat dalam batasan al-Quran. Dalam
hal ini kita harus mempunyai pandangan yang seimbang
ketika kita sudah terjun dalam ranah kemasyarakatan.
Artinya, kita mampu menempatkan diri sesuai dengan
tempat atau kapasitas kita masing-masing. Tidak masalah
untuk bersikap moderat, selama tidak bertentangan dengan aturan yang ada di dalam al-Quran.
Dari nilai-nilai moral yang ditawarkan alQuran di atas, seharusnya kita sadar akan karunia-Nya,
karena semua itu tiada lain kembali untuk kebaikan kita.
Sehingga perlu dicatat bahwa terkadang setiap apa yang
buruk adalah baik untuk kita dan apa yang tidak kita
inginkan adalah baik untuk kita. Oleh karena itu, kita
dianjurkan untuk terus berpegang teguh terhadap alQuran yang mengajarkan nilai-nilai moral untuk dijadikan
pegangan dalam kehidupan.

B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I V , M A R E T

2 0 1 3

4 QADHAYA

Hakikat Gibah dalam Kehidupan Sehari-hari


Dede Permana
Istilah ghibah sangat berdekatan dengan makna
dari kalimat al-Jarh dalam ilmu Hadis, karena masing-masing
kata memiliki konotasi dan substansi yang dapat menjatuhkan
martabat seseorang dalam pandangan publik. Tidak selamanya
kita harus melindungi seseorang apabila ia memiliki aib ataupun keburukan yang dapat membahayakan lingkungan tempat
pergaulannya, karena di saat-saat tertentu, kita perlu menjelaskan hal-hal yang perlu diketahui oleh orang lain mengenai
pribadi buruk tersebut. Namun kita juga tidak dibenarkan
untuk membuka peluang selebar-lebarnya sehingga kita akan
membuka apa yang Allah telah sembunyikan dari kesalahan
maupun kekurangan orang tersebut. Hemat kata, terdapat
kode etik yang harus diterapkan dalam hal ini.
Hukum Gibah
Semua ulama sepakat bahwa gibah haram hukumnya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah dalam surat alHujurat ayat 12 tentang larangan berghibah:
dan Hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan
dengan gamblang definisi gibah itu sendiri. Dalam riwayat
Imam Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi, Nabi Muhammad
SAW brsabda: yang
berarti ketika kita menyebutkan sesuatu yang berkaitan dengan kepribadian saudara kita, dan dia tidak suka hal tersebut
dibeberkan walau hanya kepada satu orang, meskipun hal
tersebut sesuai dengan fakta yang ada dan tidak dibuat-buat.
Tidak ada bedanya hukum membicarakan kejelekan seseorang yang masih hidup maupun telah tiada,
keduanya tetap haram hukumnya. Hal ini disebabkan oleh
luhurnya hakikat Islam yang sangat menghargai martabat dan
kehormatan seseorang, baik di saat ia hidup maupun sudah
meninggal. Sebagaimana penjelasan Aisyah yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dalam shahihnya:
.
Namun di sisi lain syariat telah memberikan
sedikit kelonggaran mengenai hal ini, yaitu tatkala sebuah
kemaslahatan hanya bisa dicapai melalui pembicaraan tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi:
. Dari kaidah ini kita dapat melihat apabila maslahat
yang ada lebih berat dan rajih daripada larangan tersebut
menurut skala prioritas, maka kita diperbolehkan untuk membuka tabir aib yang ada sesuai dengan kebutuhan, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah lain:

Dalam beberapa hal, syariat justru mewajibkan
gibah. Hal ini pernah diajarkan Nabi ketika salah seorang
Sahabat bertanya kepadanya. Saat itu, Fatimah bintu Qais
datang kepada Nabi dan meminta saran untuk memberikan
keputusan; lamaran mana yang akan dia terima, antara Abu alJahm dan Muawiyah. Nabi kemudian menjawab dengan lugas
dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA:
.
..
Dalam kisah ini, secara sederhana Nabi memberikan gamB U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I V , M A R E T

2 0 1 3

baran tentang kedua orang yang akan meminang Fatimah


Binti Qais bahwa keduanya kurang baik, kemudian Nabi
menyarankan Fatimah untuk menikahi Usamah Bin Zaid.
Fatimah akhirnya menikahi Usamah karena kepatuhannya
kepada Nabi. Dalam hal ini, Nabi hanya memberikan
penjelasan singkat mengenai keduanya tanpa harus membeberkan banyak hal mengenai kehidupan Muawiyah
maupun Abu al-Jahm.
Apabila kita menelisik sedikit ke dalam konsep
al-Jarh wa al-Tadil pada pembahasan Hadis nabawi, akan
tampak dengan jelas bahwa para ulama telah memberikan
pondasi awal sebelum memberikan gambaran terhadap
kepribadian seseorang yang meriwayatkan Hadis. Hal ini
dilakukan tidak lain untuk memberikan hukum yang pada
matan Hadis yang disampaikannya. Apabila sang perawi
dinilai bagus dalam agamanya dan kepribadiannya, maka ia
dapat dikategorikan ke dalam golongan perawi tsiqah.
Sedangkan matan Hadis yang dibawanya dapat dipakai
untuk berdalih apabila kita dihadapkan kepada suatu permasalahan yang bersifat hukum, baik itu hukum duniawi
maupun kabar ukhrawi yang bersifat samiyat. Namun jika
terdapat sedikit dusta yang terdengar dari perawi Hadis,
maka kita tidak memiliki harapan untuk dapat mengategorikannya sebagai Hadis nabawi, kecuali jika Hadis tersebut dikuatkan oleh jalur-jalur periwayatan yang lain dan
kandungannya sesuai dengan isi ataupun makna Hadis
yang menguatkannya. Jadi, dalam hal ini Hadis yang dibawa oleh perawi yang telah terkena tuduhan dusta dalam
perkataannya, statusnya menjadi tabi (Hadis yang menguatkan Hadis lain; pen), bukan sebagai suatu Hadis yang
berdiri sendiri, dan memberikan ketetapan hukum terhadap suatu perkara tanpa adanya Hadis sahih yang menguatkannya.
Mustafa Abu Imarah, guru besar pada jurusan
Hadis Universitas al-Azhar mengamini proses tajrih dalam
kaitannya sebagai penentu hukum suatu Hadis. Dengan
kata lain, ia memandang perlunya memasukkan segelintir
manusia yang tidak jelas sisi keagamaannya sebagai perawi
yang lemah. Namun beliau juga memberikan rambu-rambu
penting di dalam hal ini, bahwasanya kita harus menghemat perkataan yang dapat menjatuhkan kepribadian seseorang. Jika memang bisa memakai isyarat untuk memberikan sinyal bahwa orang tersebut tidak beres, maka lebih
baik memakai isyarat saja, seperti kedipan mata yang dibarengi oleh penggelengan kepala, atau merentangkan
kelima jari tangan yang menandakan penolakan, maupun
paras wajah yang masam, hal tersebut sudah cukup untuk
memberikan konotasi bahwa seseorang yang kita bicarakan
memang ada apa-apanya. Dari sinilah, diketahui alasan
mengapa para nuqqad al-Hadist semisal Ibnu Hajar alAsqalani, Ibnu Abi Hatim al-Razi, Hakim al-Naisabury, alSakhawy, al Iraqi, al-Khatib al-Baghdadi dan ulama-ulama
Hadis lainnya sangat pelit dalam melekatkan label dhaif

QADHAYA 5
pada seorang perawi. Biasanya kita hanya mendapatkan
satu kata saja, semisal fulan dhaif, wahima, wahin, ataupun la
yutabar dan lain sebagainya.
Dalam buku al-Irsyad fi Ulum al-Hadist,
Mustafa Abu Imarah, dijelaskan pembahasan yang membolehkan gibah demi mencapai maslahah syariah. Ia menegaskan bahwa ulama telah membolehkan gibah dalam
Sembilan butir permasalahan, yaitu: Pertama, Pengakuan
orang yang teraniaya. Kedua, Pemberitahuan kepada
pihak berwajib tentang suatu kasus yang harus ditanganinya. Ketiga, Orang yang tidak memiliki pengetahuan
seputar masalah hukum, kemudian ia menceritakan perlakuan orang yang memperlakukannya dengan sewenangwenang atas nama hukum. Keempat, Memberitahukan
seseorang tentang rencana buruk golongan lain yang akan
mencelakakannya. Kelima, Memberi label Jarh para perawi Hadis yang memang bersifat demikian. Dalam hal ini
wajib hukumnya. Keenam, Meminta pendapat tentang
kepribadian seseorang yang ingin berinteraksi kepada kita,
baik sebagai tetangga, mitra bisnis, dan lain sebagainya.
Diwajibkan bagi orang yang dimintai keterangan untuk
tidak menyembunyikan informasi yang dibutuhkan, dengan niat baik untuk menasihati orang yang bertanya tersebut. Ketujuh, Membeberkan nama ulama atau tokoh
pemikiran yang sering memberikan opini yang bersifat
bidah atau sesat, untuk memperingatkan khayalak akan

bahaya pemikirannya. Kedelapan, Memberikan keterangan kepada seseorang akan kekurangannya, apabila tanpa
diberitahukan tentang ciri-cirinya maka kita sulit untuk
mengenalnya. Dalam hal ini banyak dari ulama yang kita
kenal melalui laqab atau julukan kelainan fisiknya, semisal :
al-Araj (orang yang pincang), julukan bagi al-Jhidz, alQshir, dan lain sebagainya. Kesembilan, Memperkenalkan seseorang berdasarkan pekerjaannya, walaupun ia
adalah pekerja kasar yang pekerjaannya dipandang rendah
di mata manusia, seperti penyemir sepatu, pembersih
selokan, dan lain sebagainya.
Menceritakan keburukan seseorang diistilahkan dalam ilmu Hadis dengan kata al-Jarh, yang berarti
melukai. Sebagaimana kita melukai seseorang dengan
pedang, maka melukai pribadinya dengan lisan tentu tidak
hanya meninggalkan luka sesaat, dikarenakan proses
mengembalikan nama baik memerlukan waktu yang lebih
lama daripada proses untuk menjatuhkannya. Sebagaimana
kita tidak ingin kehormatan kita dijatuhkan, maka kita juga
berkewajiban menjaga nama baik dan kehormatan sesama
saudara kita lainnya. Ushikum wa iyyaya nafsi, wa billahi alTaufiq wa al-minan.

Istikharah.. Sambungan dari hlm. 1


terbaik bagi kita,karena hanya Allah Yang Mahatahu segala
urusan manusia.Rasulullah SAW menganjurkan akan hal ini
sebagaimana sabdanya, Tidak akan kecewa bagi mereka yang
melaksanakan istikharah...(HR.Thabrani).
Namun istikharah tidak dapat dilakukan begitu
saja tanpa melalui usaha-usaha dan tahapan yang benar.
Istikharah merupakan jalan keluar dan bukan jalan
pintas. Kebanyakan manusia memiliki pandangan yang
keliru tentang istikharah dan penggunaannya. Istikharah
hanya dilakukan ketika menghadapi masalah. Kemudian,
setelah masalah tersebut terpecahkan, Allah SWT
dilupakan. Padahal, istikharah seharusnya dilakukan dalam
menghadapi semua urusan. Oleh karena itulah, umat Islam
dalam memulai segala pekerjaan dianjurkan untuk berdoa,
yang tidak lain merupakan bentuk istikharah. Hal ini
ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya: Katakanlah!
Tuhanku tidak peduli terhadap kalian, (selain) doa yang kalian
panjatkan (QS. al-Furqan :77).
Selain itu, istikharah juga bermakna berdoa
kepada Allah SWT untuk memohon hal terbaik atas
keputusan dan tindakan yang kita lakukan. Tidak hanya itu,
ketika memohon pada-Nya, hendaknya kita juga harus
selalu berprasangka baik dan menyerahkan semua
permasalahan kepada Allah. Jika sudah benar-benar
tawakal, maka hati kita akan merasa tenang. Ketenangan
hati inilah yang merupakan hakikat istikharah, sebab
istikharah tidak hanya sebuah permohonan petunjuk,
namun juga permohonan untuk menenangkan jiwa dalam
menghadapi setiap masalah yang ada.
Namun sayang, istikharah yang sudah menjadi

tradisi dalam kehidupan umat Islam tersebut, saat ini tak


lagi sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
Dewasa ini, mimpi setelah melakukan istikharah diyakini
sebagai petunjuk atas istikharah yang dilakukan. Hakikatnya
tidak seperti itu, akan tetapi sebelum beristikharah kita
dianjurkan untuk berusaha dan mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang logis. Setelah itu, barulah
dilakukan istikharah untuk memohon ketetapan dan
kemantapan hati.
Pandangan
para ulama dalam menyikapi
istikharah berbeda-beda. Menurut Muhammad Husain
Thabathabai, dalam menghadapi suatu masalah, seseorang
harus berusaha dan berpikir keras untuk mendapatkan jalan
keluarnya. Jika ia tidak mampu, maka hendaknya ia
meminta pendapat dan nasihat orang lain. Namun jika
kedua hal tersebut masih belum bisa memberikan solusi,
maka tidak ada alternatif lain kecuali berdoa dan meminta
petunjuk keoada Allah SWT. Singkatnya, tak ada dosa
apabila sesorang melakukan istikharah, karena istikharah
tak bermakna apa-apa selain untuk menentukan apa yang
harus ia tempuh untuk mencari jalan keluar
permasalahannya. Istikharah tidak berarti mengubah
ketetapan Allah SWT.
Sekali lagi, istikharah bukanlah jalan pintas
dalam menghadapi kesulitan atau pilihan tertentu. Akan
tetapi, istikharah merupakan langkah untuk memantapkan
hati atas keputusan dan pilihan yang kita ambil tanpa
melupakan usaha dan nalar-nalar yang logis. Wallahu alam
bi al-Shawab.
B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I V , M A R E T

2 0 1 3

6 MABHATS

Menjawab Tuduhan Orientalis terhadap Makkiyah dan Madaniyah

Ari Kurniawati

Al-Quran
diturunkan
dalam dua
priode.
Periode
makkiyah
yang mayoritas
diturunkan di
Mekah dan
madaniyah
yang mayoritas
diturunkan di
Madinah

B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

alah satu pembahasan penting sekaligus menarik dalam


studi ulum al-Quran
adalah pembahasan tentang
ayat-ayat makkiyah dan madaniyah. Ia begitu penting sebab
dengan memahaminya, penafsiran dan kajian terhadap suatu
ayat akan lebih mengena. Selain
itu, pemahaman dan pengetahuan mengenai keduanya memungkinkan seorang mufasir
untuk menyimpulkan ayat-ayat
yang nasikh dan mansukh.
Selain urgen, pembahasan ini
juga sangat menarik, karena ia
selalu menjadi salah satu target
tuduhan miring Orientalis atas
otentisitas dan keagungan alQuran. Lebih menarik lagi,
dengan memahami makkiyah
dan madaniyah, dapat dilihat bagaimana al
-Quran dengan keindahan bahasanya
membantah semua hujatan Orientalis
yang ditujukan padanya. Urgensi dan
poin menarik inilah yang menjadikan
pembahasan makkiyah dan madaniyah
berada dalam urutan awal pada bukubuku Ulum al-Quran.
Salah satu ciri khas dalam
pembahasan makki-madani adalah riwayat
perkataan Sahabat yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan klasifikasi
sebuah ayat. Hal ini tentu sangat berbeda
bila dibandingkan dengan pembahasan
lainnya yang menggunakan Hadis sebagai
salah satu sumber utama. Mengenai
sumber riwayat yang unik ini, Abu Bakar
al-Baqilani dalam Intishar mengatakan
bahwa hal tersebut disebabkan Rasulullah tidak pernah memerintahkannya.
Selain penggunaan riwayat Sahabat,
metode lain yang digunakan untuk memahami makki-madani adalah ijtihad para
Sahabat sendiri, dengan melihat dan
memperhatikan karakteristik suatu ayat,
dan kemudian menyimpulkan kategori
yang paling tepat untuk ayat tersebut.
Dari kedua metode tersebut,
ada beberapa cara yang ditetapkan ulama
untuk mengetahui karakter makki-madani
suatu ayat. Pertama, berdasarkan waktu
turunnya. Suatu ayat akan dimasukkan
I V , M A R E T

2 0 1 3

dalam kategori makkiyah apabila ia diturunkan sebelum hijrah, sekalipun ia diturunkan di Madinah. Sebaliknya, ayat madaniyah adalah ayat yang diturunkan pasca hijrah,
meskipun ia turun di Mekah. Kedua, berdasarkan tempat turunnya. Ayat makkiyah
merupakan ayat yang turun di Mekah dan
sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah, sedangkan ayat madaniyah adalah ayat
yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya.
Ketiga, berdasarkan objek pembicaraannya.
Apabila ayat tersebut membicarakan penduduk Mekah, maka ayat tersebut akan
dikategorikan sebagai ayat makkiyah, dan
sebaliknya, jika ayat tersebut membahas
warga Madinah, maka ia merupakan ayat
madaniyah.
Secara zahir, ada beberapa
karakteristik yang membedakan ayat
makkiyah dan madaniyah. Beberapa sifat ayat
makkiyah antara lain: (1) Menyeru kepada
tauhid, seperti yang ditegaskan dalam QS. Al
-Qashash: 70 yang artinya: Dialah Allah.
Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Bagi-Nya segala puji di dunia dan akhirat,
dan bagi-Nya segala penentuan, dan hanya kepadaNya kalian dikembalikan. (2) Mengingkari
syirik. Hal ini dijelaskan dalam surat alAnkabut ayat 41, Perumpamaan orang-orang
yang mengambil pelindung selain Allah seperti labalaba yang membuat rumah, dan sesungguhnya
rumah yang paling rapuh adalah rumah laba-laba
jika mereka mengetahui. (3) Pengungkapan
kisah-kisah nabi dan kaum terdahulu. (4)
Menjelaskan urgensi budi pekerti dalam
kehidupan sehari-hari, salah satunya seperti
yang terdapat dalam sebuah ayat yang
berbunyi: Dan Tuhanmu telah memerintahkan
kamu untuk tidak menyembah selain Dia, dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibubapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu
di antara mereka atau keduanya telah berusia
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
kata ah dan janganlah kamu membentak
mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia. (QS. Al-Isra: 23). Selain itu,
secara zahir ayat-yat makkiyah pada
umumnya pendek namun mengandung
balaghah yang cukup dalam; menggunakan
model bahasa yang cukup keras dan dahsyat.
Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kondisi
masyarakat Quraisy pada waktu itu. Mereka
terkenal sebagai ahli sastra dan balaghah, juga

MABHATS 7
teramat keras wataknya.
Adapun ayat madaniyah memiliki karakteristik
sebagai berikut: (1) Menjelaskan syariat dan hukum
peribadatan. (2) Menerangkan sifat-sifat kaum munafik.
(3) Menjelaskan ketentuan khusus dalam berinteraksi
dengan kaum non-Muslim. Sedangkan gaya bahasa yang
terdapat dalam ayat madaniyah secara global panjang dan
banyak menggunakan takid. Seperti halnya ayat makkiyah,
ayat madaniyah pun diturunkan demikian, sebab masyarakat
Madinah terkenal lembut dan mengakui kerasulan
Muhammad, sehingga ayat-ayat yang turun kepada mereka
lebih banyak didominasi oleh ayat-ayat yang menjelaskan
syariat agama Islam.
Meski demikian, para Orientalis yang selalu
meragukan dan mengingkari keagungan al-Quran, tidak
mau begitu saja mengamini fakta ini. Kesesuaian ayat
makkiyah dan madaniyah dengan keadaan Makah dan
Madinah saat itu, menurut mereka, menunjukkan bahwa
turunnya al-Quran dipengaruhi oleh kondisi masyarakat
Arab. Hal ini dalam pandangan mereka merupakan bukti
terkuat bahwa al-Quran tak lebih dari produk budaya
masyarakat Arab ketika itu. Berangkat dari pemikiran
seperti inilah, mereka mengingkari keotentikan dan

memanusiakan al-Quran.
Menanggapi hal ini, para pemikir Islam tak
mau diam begitu saja. Nuruddin Ithr, dalam Ulum alQuran al-Karim menyebut perkataan Orientalis sebagai
perkataan yang hanya diucapkan oleh orang-orang dungu.
Demi menjawab keragu-raguan yang dilontarkan
Orientalis terhadap al-Quran, ada beberapa argumen logis
yang diungkapkan para pemikir Islam. Pertama, bila alQuran memang merupakan produk budaya dan sesuai
dengan kondisi masyarakat Mekah ataupun Madinah,
bagaimana mungkin terdapat karakteristik ayat makiyah
dalam ayat madaniyah, dan begitu juga sebaliknya. Salah
satunya terlihat dalam surat al-Kautsar yang merupakan
surat terpendek dalam al-Quran, sedangkan ia merupakan
surat madaniyah. Hal ini tentunya sudah menyalahi
ketentuan yang menyatakan bahwa ayat madaniyah pada
umumnya panjang. Bila demikian adanya, masihkah bisa
dikatakan bahwa al-Quran terpengaruh oleh keadaan
masyarakat Mekah dan Madinah?
Selain itu, ada beberapa ayat madaniyah yang
menggunakan gaya bahasa keras, sedangkan ciri tersebut
merupakan ciri khas ayat makkiyah. Misalnya terdapat
dalam surat al-Shaff ayat 1-3, yang artinya: Bertasbih

perbedaan karakteristik dan isi kandungan antara Makkiyah


dan Madaniyah. Kita lihat penduduk Mekah mayoritas dari
mereka buta akan agama, kemasyarakatan dan akhlak.
Dengan inilah gaya bahasa al-Quran keras dan seolah-olah
merendahkan mereka, namun di balik semua itu al-Quran
menuntun mereka menuju jalan yang benar.
Metode inilah yang menguatkan Rasulullah
dalam menghadapi serangan musuhnya saat berdakwah,
hingga menumbuhkan benih percaya diri dalam berdakwah. Metode ini pula turut berpengaruh terhadap keadaan
manusia saat itu. Dengan begitu kaum Muslimin merasa
selalu dalam penjagan Allah, karena penglihatan-Nya lah
yang selalu menyelimuti makhluk-Nya dari segala sisi.
Bahkan kaum kafir Mekah saat itupun tidak melihat adanya
keraguan dalam segi bahasa maupun kandungan dalam alQuran. Mereka merasa bahwa turunnya al-Quran kepada

Muhammad Rajab al-Bayyumi

kepada Allah apa yang ada di langit dan di bumi, dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu katakan apa yang tidak kamu
perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu
kerjakan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam ayat ini adalah penggunaan
kata Wahai orang-orang yang beriman yang menunjukkan bahwa ayat ini adalah
ayat madaniyah, namun kalimat berikutnya yang begitu keras memperingatkan
orang-orang yang beriman (masyarakat Madinah), merupakan gaya yang
ditemukan pada ayat-ayat makkiyah. Seharusnya, dalam posisinya sebagai ayat
madaniyah, gaya bahasanya tidaklah demikian, namun sebaliknya. Bila demikian,
masihkah bisa dikatakan bahwa al-Quran menyesuaikan diri dengan lingkungan
Mekah dan Madinah?
Al-Quran diturunkan dalam dua priode. Periode makkiyah yang mayoritas diturunkan di Mekah dan madaniyah yang mayoritas diturunkan di Madinah.
Tujuan Allah menurunkan al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW sebagai hidayah kepada seluruh manusia dan mengeluarkan orang-orang yang percaya padaNya dari zaman kegelapan menuju jalan yang terang. Karena perkara inilah, ada

penduduk Mekah membawa kekuatan yang mampu merubah keadaan yang ada menuju keadaan baru yang lebih
baik.
Meski demikian, para Orientalis tetap saja tidak
mau berhenti berusaha untuk membuat keraguan terhadap
al-Quran. Sebagian dari mereka ada yang menggunakan
metode ilmiah dalam mendalami ulum al-Quran, akan tetapi
mereka tetap saja terbelenggu dengan keyakinan serta hawa
nafsu mereka. Sebenarnya, jika mereka benar-benar bersandar pada metode Ilmiah, mereka akan menyadari bahwa
al-Quran bukah hasil karya manusia, karena di dalamnya
banyak hal yang manusia tidak tahu karena kemampuan
manusia itu sendiri terbatas. Wallahu alam.

B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I V , M A R E T

2 0 1 3

8 NADHRAH

Imam Zarkasyi,
ia adalah
disiplin ilmu
yang membahas
bagaimana
memahami kitab
Allah yang
diturunkan
kepada Nabi
Muhammad
SAW dengan
menjelaskan
makna, hukum
dan hikmah yang
terkandung di
dalamnya.

B U L E T I N

I Q R A ,

Sambungan Urgensitas Tafsir...


yang terkandung di setiap lafal yang ada di
dalam ayat-ayat al-Quran. Ketiga, kebutuhan kita terhadapnya. Kita semua membutuhkan ilmu tafsir tersebut, karena hanya
dengan memahami al-Quran-lah kita
mampu melaksanakan segala perintah dan
menjauhi larangan Allah SWT.
Selain itu, sejarah pun mencatat bagaimana para ulama semenjak
zaman Sahabat hingga sekarang berusaha
mempelajari ilmu ini dan mengembangkannya. Umar bin Khatthab, dalam
menghafal surat al-Baqarah, memerlukan
waktu selama lima tahun. Hal tersebut
bukan
karena
kesulitannya
dalam
menghafal, karena toh al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka. Namun hal
ini disebabkan pemahaman kandungan
dalam ayat-ayat al-Quran. Ketika itu Umar
tidak ingin melanjutkan hafalan ke ayat
setelahnya, sebelum ia paham dengan
kandungan ayat yang dihafalkan dan diamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ibnu Jariral-Thabari meriwayatkan dari
Said bin Zubair, ia berkata, Barang siapa
membaca al-Quran kemudian tidak tahu
tafsirnya, maka dia seperti orang buta atau
orang Badui (Arab gunung). Sedangkan al
-Suyuthi, seorang ulama kontemporer,
berpendapat bahwa hukum mempelajari
ilmu tafsir adalah fardlu kifayah.
Mengenai akar kata tafsir,
meski beberapa ulama berbeda pendapat
mengenai hal ini, namun secara garis besar
makna kata tafsir tidak terlepas dari arti
menyingkap atau menjelaskan. Pertama,
sebagian ulama mengatakan asal kata tafsir
diambil dari kata yang bermakna
menjelaskan atau menyingkap kandungan
sebuah kata yang membingungkan. Allah berfirman, Tidaklah
orang-orang Kafir itu datang
kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan
kepadamu suatu yang benar dan
yang paling baik penjelasannya.
Kedua, tafsir merupakan kata
(terbalik) yang berasal dari kata
yang artinya sama
dengan

yaitu
menyingkapkan, "
yang artinya seorang
perempuan
menyingkapkan
kerudungnya. Ketiga, dikatakan
bahwa tafsir berasal dari kata
" " yaitu proses seorang
dokter memeriksa organ dalam
E D I S I

I V , M A R E T

2 0 1 3

pasien untuk mengetahui sebab penyakit yang


dialaminya. Mereka yang mengatakan pendapat ini,
berangkat dari pemahaman bahwa seorang mufasir
memeriksa isi al-Quran untuk mengetahui kandungan hukum dan maknanya.
Adapun secara istilah, Husain alDzahabi dalam bukunya Al-Tafsir wa al-Mufasirun
mengatakan tafsir merupakan sebuah penjelasan
terhadap firman Allah atau lafal-lafal al-Quran
beserta kandungannya. Pendapat ini sedikit berbeda dengan pendapat Abu Hayyan dalam tafsirnya, al-Bahr al-Muhith. Ia secara jelas
mendefinisikan bahwa tafsir merupakan disiplin
ilmu yang mampu berdiri sendiri, Tafsir adalah
ilmu yang membahas cara mengucapkan lafallafalal-Quran, beserta maksud dan hukum-hukum
yang dikandungnya, baik secara per kata atau per
kalimat. Adapun definisi yang paling mudah
dipahami, seperti yang disebutkan oleh Maulaya
Hammad dalam bukunya Ilmu Ushul al-Tafsir,
muhawalah fi al-Bina, adalah definisi yang dikemukakan oleh Imam Zarkasyi, ia adalah disiplin ilmu
yang membahas bagaimana memahami kitab Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan menjelaskan makna, hukum dan hikmah
yang terkandung di dalamnya.
Di sisi lain, tafsir berkaitan erat dengan
takwil. Terbukti banyak ulama, baik klasik atau
kontemporer yang berkonsentrasi dalam Ulum alQuran, selain menulis pembahasan tentang tafsir,
juga membahas takwil. Selain itu, mereka pun
berbeda pendapat dalam mendefinisikan keduanya.
Di antara ulama ada yang mengategorikan bahwa
keduanya sama dan sebagian yang lain menilai
keduanya berbeda. Fahd Sulaiman al-Rumy, dalam
bukunya Buhuts Fi al-Tafsir wa Manahijuhu, menuliskan bahwa di antara ulama yang menilai bahwa
keduanya sama yaitu, Imam Suyuthi. Salah satu
dalil yang ia pakai adalah riwayat yang datang dari
Abu 'Abbas Ahmad bin Yahya Tsa'lab, Arti tafsir
dan takwil adalah sama. Selain itu, ia pun berdalil
dengan doa Nabi Muhammad SAW kepada Ibnu
Abbas, wahai Tuhanku fahamkanlah ia terhadap
agama dan ajarilah ilmu takwil. Dalil ini dikuatkan
dengan perkataan Ibnu Abbas sendiri, aku termasuk mereka yang mengetahui penafsiran al-Quran.
Sedangkan ulama yang menilai
keduanya berbeda, mereka pun berbeda pendapat,
tergantung sisi pandang mereka masing-masing.
Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa
keduanya berbeda dilihat dari umum wa khushush.
Kelompok ulama yang melihat dari sudut pandang
ini pun berbeda pendapat, di antara mereka mengatakan bahwa tafsir lebih umum dari takwil,
karena pemakaian kata tafsir yang lebih luas dan
lebih banyak dari pada takwil. Tafsir digunakan di
dalam lafal, kosa kata dan lain sebagainya, sedangkan takwil hanya dipakai dalam istilah, seperti

NADHRAH 9
takwil mimpi. Sebagian lain mengatakan kebalikannya. Artinya, takwil-lah yang lebih umum daripada tafsir, karena
pemakaianya yang lebih luas daripada tafsir. Takwil dipakai bukan hanya di dalam istilah kata, sedangkan tafsir hanya
dipakai di dalam istilah tersebut.
Kedua, sebagian ulama lain mengatakan keduanya berbeda dilihat dari istilah masing-masing keduanya. Ulama yang
berpandangan seperti ini pun berbeda. Di antara mereka mengatakan bahwa tafsir bermakna memutuskan keinginan
Allah apa adanya, sedangkan takwil bermakna menguatkan makna-makna sebuah ayat- yang muncul tanpa memutuskan benar atau salahnya. Di antara mereka pun berpendapat bahwa tafsir berkaitan dengan riwayat, sedangkan
takwil berkaitan dengan dirayah. Di antara yang lain mengatakan bahwa tafsir untuk kita sebagai makhluk, sedangkan
takwil hanya diketahui oleh Sang Khaliq, dengan dalil ayat 7 surat Ali Imran.
Perkembangan Ilmu Tafsir
Jika melihat sejarah, diketahui bahwa ilmu tafsir sudah ada semenjak zaman Rasulullah SAW. Pada waktu
itu, ketika para Sahabat mengalami kesulitan memahami al-Quran, mereka datang kepada Rasulullah untuk menanyakannya. Rasulullah sebagai seorang yang diberikan Allah wahyu tersebut, kemudian menjelaskan dan menafsirkan
maksud ayat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan para Sahabat tidak sama dalam memahami al -Quran,
terlebih pada sisi balaghah dan susunan kalimatnya, sekalipun al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka.
Di sini muncul sebuah pernyataan dari kalangan Orientalis, jika al-Quran diturunkan dengan bahasa yang
disesuaikan dengan keadaan umat kala itu, maka ini menunjukkan bahwa al-Quran terpengaruh oleh budaya atau merupakan produksi budaya. Menanggapi tudingan seperti ini syekh Syarawi mencoba menjawabnya dengan sebuah
analogi. Kita sepakat bahwa rambu-rambu lalu lintas sangat penting bagi setiap pengemudi, sehingga setiap pengemudi
kendaraan harus mampu memahami setiap rambu-rambu lalu lintas yang ada, agar selamat sampai tujuan dan terhindar
dari mara bahaya. Namun, bagaimana ketika rambu-rambu lalu lintas tersebut menggunakan tanda atau bahasa yang
sama sekali tidak dipahami oleh pengemudi, apakah akan menciptakan lalu lintas yang aman dari bahaya? Apakah bisa
menjamin setiap pengemudi untuk sampai ke tujuan
mereka masing-masing? Tentu saja tidak. Begitu juga
dengan al-Quran yang merupakan kitab pedoman seluruh
umat manusia umumnya, dan umat Islam khususnya,
bagaimana menjadi pedoman bagi umat kala itu bangsa
Arab- kalau kitab tersebut tidak bisa dipahami?
Dengan penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa metodologi penafsiran al-Quran ketika
zaman Nabi, Sahabat dan Tabiin menggunakan penafsiran
yang mereka dapatkan dari Rasulullah. Kendati demikian,
di antara zaman tersebut tetap ada perbedaan. Jika pada
zaman Nabi, penafsiran langsung datang dari Rasulullah,
sedangkan pada zaman Sahabat dan Tabiin tidak secara
langsung, tetapi melalui periwayatan yang diambil dari
Rasulullah.
Seiring berjalannya waktu, metode tersebut
mengalami perubahan dan perkembangan, baik positif
atau negatif. Dikatakan metodologi tersebut berkembang
ke arah negatif, sebab ada beberapa penafsiran setelah
zaman Sahabat dan Tabiin yang tidak sesuai dengan metodologi yang benar, atau metodologi yang sesat atau
hanya menggunakan nafsu saja, dan tidak mempertimbangkan benar atau salahnya. Salah satu contohnya,
penafsiran yang menggunakan riwayat israiliyat yang tidak
sesuai dengan syariat Islam, penafsiran yang mengacu
pada paham sekte yag sesat dan lain sebagainya.
Adapun mengenai perkembangan positif,
metodologi penafsiran berkembang tidak hanya menggunakan metode atsari (Tafsir bi al-Matsur), akan tetapi
berkembang menjadi bermacam-macam metodologi, di
antaranya metodologi penafsiran Ahlusunah, metodologi
fikih, metodologi ilmu eksperimen, maupun metodologi
bayani yang digunakan oleh Zamakhsyari, Amin al-Khuli,
Muhammad Ahmad Khalafullah dan Aisyah Abdurrah-

man yang dikenal dengan bintu syathi. Selain itu, Muhammad Ali Ridlai dalam bukunya Manahij al-Tafsir wa
Ittijahatuhu juga menambahkan beberapa metodologi, di
antaranya metodologi penafsiran modern, seperti metodologi penafsiran sosio-kultural, metodologi politis,
penafsiran jihad dan lain sebagainya.
Hal lain yang menjadi perhatian para ulama
terhadap al-Quran adalah penetapan beberapa syarat dan
ketentuan untuk seseorang yang ingin menafsirkan alQuran. Sebagaimana yang ditulis Maulaya Hammad dalam
bukunya, Ilmu Ushul al-Tafsir, muhawalah fi al-Bina, bahwa
syarat mufasir dibagi menjadi dua, yaitu syarat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan syarat yang berkaitan
dengan akhlak yang harus dimiliki oleh seorang mufasir.
Di antara ilmu pengetahuan yang harus dimiliki oleh mufasir antara lain, ilmu Fikih, ilmu gramatikal
bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), serta beberapa ilmu
yang termasuk dalam lingkup ulum al-Quran, seperti
Asbab Al-nuzul, Nasikh wa Mansukh, Makky-Madany,
Muhkam-Mutasyabih, kisah-kisah al-Quran dan lain sebagainya. Selain ilmu tersebut, ilmu yang harus dikuasai oleh
seorang mufasir antara lain ilmu Ushul Fiqh, Qiraah, dan
beberapa ilmu lainnya. Adapun akhlak-akhlak yang harus
dimiliki seorang mufasir secara umum merupakan akhlak
mulia yang harus dimiliki setiap Mukmin
Semua hal di atas menunjukkan bahwa alQuran memang benar-benar kitab pedoman untuk seluruh umat manusia, dan kemukjizatannya tidak terbatas
oleh waktu. Kandungannya akan terus dikaji dan rahasiarahasianya akan terus ditelusuri, hingga seluruh manusia
mendapatkan segala apa yang mereka butuhkan untuk
kehidupan mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Wallahu A'lam.
B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I V , M A R E T

2 0 1 3

1 0 UDHAMA

Fakhruddin Al-Razi

Mufasir Jenius, Ahli Filsafat


Faiq Aziz

ama lengkapnya
Abu Abdullah
Muhammad bin
Umar bin alHusain bin al-Hasan bin Ali
al-Tami mi al-Bakri al Thabaristani al-Razi, yang
juga dikenal dengan nama
Ibnu al-Khatib al-Syafii.
Silsilah nasabnya bersambung
kepada Abu Bakr al-Shiddiq
RA. Razi dilahirkan pada
tahun 544 H dan tumbuh
besar di kota Ray. Ray
merupakan ibu kota Irak ajami ketika itu, yang terletak di
sebelah utara pegunungan Iran. Kota ini sebenarnya telah
menghilang sejak lama, tetapi masih banyak beberapa
peninggalannya yang didapati di Teheran, ibu kota Iran
sekarang. Fakhruddin al-Razi memulai perjalanan
keilmuannya dari kota Ray, yang dilanjutkan pada kedua
bagian kota Irak, ajami dan arabi, Khurasan dan Syam.
Selain itu, Razi juga dikenal menguasai dua bahasa sekaligus,
yaitu bahasa Arab dan bahasa Persia.
Pendidikan Razi didapatkannya langsung dari
sang ayah, Dhiya al-Din. Darinya, Razi belajar Teologi dan
Fikih. Razi kemudian melanjutkan pendidikannya dengan
berguru pada al-Jaili, al-Kamal al-Samani, dan Muhammad
bin Umar dalam bidang Filsafat. Tak lama berselang, Razi
mulai mengajarkan Teologi setelah berhasil menghafalkan
kitab al-Syamil yang ditulis oleh Imam Haramain.
Dalam perjalanan keilmuannya, ia banyak
mempelajari ilmu Kalam, Ushul Fikih, Fikih Syafii dan
bahasa Arab. Hal ini menjadikan banyak ulama yang
mengaguminya, sebab ia mampu menggabungkan beberapa
disiplin ilmu dalam satu waktu. Dengan wawasan dan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya itulah Razi berhasil
menelurkan banyak karya dalam berbagai cabang keilmuan,
seperti Tafsir, Teologi, Fikih, Nahwu, Sastra Arab, Filsafat,
Kedokteran, Arsitek, dan Astronomi. Melalui karyakaryanya, Razi ingin menegaskan luasnya khazanah
keilmuan yang dimiliki oleh umat Islam, yang meliputi
hampir seluruh pengetahuan di berbagai belahan dunia, baik
Timur ataupun Barat.
Kemahiran dan luasnya pengetahuan yang
dimiliki Razi menjadikan banyak ulama yang mengagumi
kemampuan intelegensianya. Salah satunya adalah Judah
Muhammad. Dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun karya
Muhammad Husain al-Dzahabi, Judah Muhammad berujar,
Razi merupakan seorang ulama yang sangat memahami
ilmu Ushul, piawai dalam menafsirkan al-Quran, serta sosok
individu yang amat cerdas. Selain itu, karya-karya yang
ditulisnya pun begitu fenomenal. Pernyataan ini diperkuat
oleh Husain al-Dzahabi, Buah karyanya tersebar luas di
dunia, mulai ufuk Timur hingga Barat. Karya-karyanya yang
begitu legendaris seolah menegaskan kejeniusannya dalam
B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I V , M A R E T

2 0 1 3

segala bidang keilmuan.


Fakhruddin al-Razi juga disebut sebagai
pembaharu Islam abad ke-6 H setelah Abu Hamid alGhazali. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya karya
yang ia hasilkan dalam berbagai cabang keilmuan Islam.
Dalam bidang Teologi, tak kurang dari dua belas judul
buku telah ditulisnya, antara lain: al-Mathalib al-Aliyah,
Asas al-Taqdis dan al-Mahshul fi Ilmi al-Kalam. Adapun
dalam ilmu Mantik dan Filsafat, Razi menulis sekitar
lima belas judul buku, seperti al-Mulakhash fi al-Hikmah
wa al-Manthiq, Kitab al-Manthiq al-Kabir wa Mbahits Wujud
wa Adam, dan Syarh Isyarat wa Tanbihat li Ibnu Sina.
Sedangkan karya-karyanya yang paling masyhur dan
fenomenal sebagian besar adalah tafsir al-Quran, seperti
Mafatih al-Ghaib, Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Tawil (Tafsir
Shagir), Tafsir surat al-Baqarah ala Wajh al-Aql wa al-Naql,
Tafsir surat al-Ikhlas, serta Risalah fi al-Tanbih ala Badhi alAsrar al-Mudah fi Badhi ayat al-Quran al-Karim.
Setelah sekian lama bergelut dalam ilmu
Kalam dan Filsafat, Razi akhirnya menyadari bahwa
cahaya petunjuk dan keyakinan yang hakiki ada di dalam
al-Quran. Menurutnya, al-Quran adalah hakikat untuk
mengetahui kebenaran, bukan ilmu Kalam dan Filsafat.
Dalam salah satu kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu
Shalah dalam Thabaqat al-Mufassirin, Razi berkata:
Betapa aku termasuk orang yang merugi, sebab aku
berlebihan menyibukkan diri dalam ilmu Kalam.
Kemudian ia menangis.
Muhammad Fadhil Ibnu Asyur dalam alTafsir wa Rijaluhu menjelaskan bahwa Razi pernah
berkata, Aku telah mengetahui hakikat ilmu Kalam dan
Filsafat. Namun tidak kutemui pada keduanya hikmah
yang setara dengan hikmah yang dijelaskan al-Quran. AlQuran mengajarkan manusia untuk bertawakal kepada
Allah yang Maha Besar dan Maha Mulia. Ia menjauhkan
manusia dari lautan perselisihan yang disebabkan
ketidakmampuan manusia untuk menyelami hakikat
ilmu-ilmu tersebut. Sejak saat itulah, Razi mulai
mengarang tafsir al-Quran.
Fakhruddin al-Razi menghembuskan nafas
terakhirnya pada tahun 606 H di kota Ray. Disebutkan
dalam kitab Wafyat al-Ayan karya Ibnu Khalkan bahwa
Razi meninggal di kota Harah, dan dikebumikan pada
sore harinya di gunung Masakib yang terletak di desa
Muzdakhan (sebuah desa dekat kota Harah). Dalam alTafsir wa al-Mufassirun, Husain Dzahabi menjelaskan
bahwa penyebab wafatnya Razi adalah pandangannya
yang kontradiktif dengan golongan Karamiah dalam hal
akidah. Perselisihan ini mengakibatkan keduanya saling
mengafirkan satu sama lain. Hal ini juga yang
mendorong beberapa orang dari golongan Karamiah
meracuninya, hingga ia pun wafat tak lama setelah
meminum racun tersebut.

Menegaskan Keagungan Al-Quran melalui Syubhat

MARJA 1 1

Muhammad Hafif At-Tauhidi

elah lama berbagai macam syubhat dilancarkan kepada umat Islam, khususnya
kepada kitab suci mereka, al-Quran. Mereka yang membenci Islam mencurahkan
segala upaya untuk menurunkan derajat al-Quran dari kedudukan sakralnya sebagai
kalamullah, dengan menyatakan bahwa al-Quran tak lebih dari karya tulis yang dibuat
oleh Muhammad SAW, dan juga produk budaya masyarakat Arab, dan lain sebagainya.
Keadaan tersebut menuntut umat Islam untuk menjawabnya. Umat Islam juga
membutuhkan cendekiawan rabani untuk mengetahui kebenaran atas syubhat tersebut, juga
untuk membedakan yang benar dan salah. Terlebih distorsi nilai al-Quran yang digalang oleh
para pengingkar tersebut terkadang sangat kabur, sehingga tidak sedikit yang beranggapan
bahwa syubhat inilah nilai Islam yang sebenarnya.
Di tengah geliat ulama dalam menjawab syubhat terhadap al-Quran, muncul
sebuah buku fenomenal karya seorang ulama dengan kapabilitas keilmuan yang tak diragukan
lagi, Muhammad Rasyid Ridha, yang berjudul al-Wahyu al-Muhammadi. Buku yang telah
diterjemahkan ke dalam enam bahasa dunia ini, lahir untuk menjawab syubhat-syubhat yang
dilontarkan untuk al-Quran, juga untuk meyakinkan umat Islam akan keagungan kitab sucinya.
Berbicara mengenai penulis buku ini, namanya sudah pasti tidak asing lagi di telinga
umat Islam. Gagasan-gagasan dan idenya banyak mewarnai kancah pemikiran Islam. Tafsirnya
yang sebagian ditulis oleh Muhammad Abduh, al-Mannar, menjadi rujukan ulama hingga hari
ini. Tidak hanya itu, berbagai konsep perjuangan yang dibentuknya menginspirasi banyak

pemikir setelahnya. Di Indonesia sendiri, tidak


s e d i ki t p e n d i r i ormas Islam yang
mengaplikasikan pemikiran cendekiawan
bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali
Ridha bin Syamsuddin al-Qalmuni al-Husaini
ini.
a l -W a h y u a l -M u h a m m a d i
merupakan buku yang lahir dari sebuah
k e t i d a k s e n g a j a a n p e n u l i s n ya . Dal am
mukadimah buku ini dijelaskan bahwa buku ini
baru ditulis ketika Rasyid Ridha tengah
menadaburkan surat Yunus yang menjelaskan
otentisitas al-Quran, yaitu bahwa al-Quran
merupakan kalamullah, dan bukan ucapan
Rasulullah SAW. Masih dalam mukadimah,
Rasyid Ridha juga menegaskan bahwa buku ini
dimaksudkan untuk menjadi media dakwah
kepada seluruh umat manusia. Terlebih kepada
mereka yang mendewakan materi dan jauh dari
hidayah, seperti masyarakat Barat. Selain itu,
buku ini juga merupakan ringkasan dari tematema yang ada dalam tafsir al-Manar yang
sebelumnya dimuat dalam majalah dengan
nama yang sama.
Buku ini merupakan jawaban atas
syubhat-syubhat yang dilekatkan pada alQuran oleh mereka yang membenci dan
mengingkari Islam. meyakinkan kaum non
Muslim akan keagungan al-Quran, sekaligus
untuk membantah tuduhan mereka atas nabi
Muhammad SAW. Sehingga syubhat yang
mereka utarakan bukannya melemahkan posisi,
namun justru semakin menegaskan akan

otentisitas dan kebenarannya.


Data Buku:
Pembahasan pokok buku ini
terletak pada bab terakhir. Uniknya, penulis
kelahiran Syam ini menuntun pembaca Al-Wahyu aluntuk sampai pada bab tersebut melalui Muhammadi
pengantar-pengantar yang cukup menarik Penulis:
dalam bab-bab sebelumnya. Pada bab
pertama, dijelaskan tentang definisi wahyu Muhammad Rasyid
dan komparasi antar agama. Kemudian Ridha
dalam bab berikutnya, diterangkan tentang Penerbit:
hujah atas kemutlakan wahyu Muhammd Al-Ahram alSAW. Dilanjutkan dengan pengungkapan
syubhat-syubhat yang mengaburkan nilai- Tijariyyah
nilai Islam, nabi Muhammad, dan juga al- Cetakan:
Quran dalam bab ketiga. Rasyid Ridha juga II/ 2008 M
juga secara detail menerangkan kemukjizatan Tebal:
sastrawi al-Quran melalui penjelasan tentang
balaghah dan gaya bahasa al-Quran dalam 317 halaman
bab selanjutnya. Diakhiri dengan pemaparan
sepuluh maksud pokok (maqashid) al-Quran
dalam mendidik al-Quran yang merupakan
pembahasan paling luas dalam buku ini.
Secara umum, pembahasan dalam buku ini, khususnya
mengenai jawaban atas syubhat-syubhat, banyak dibahas oleh
cendekiawan-cendekiawan Muslim setelahnya, seperti Muhammad
Imarah, Yusuf Qaradhawi, dan lainnya. Namun, terlepas dari hal itu,
kapabilitas Rasyid Ridha sebagai pelopor dalam mendobrak kejumudan
taklid dan perjuangannya untuk membuka mata umat Islam dari
penindasan pemikiran dan fisik di masanya menjadi kredit tersendiri di
mata pembaca. Apalagi didukung dengan gayanya yang
mengomparasikan kitab suci antar agama. Oleh karena itulah, buku ini
sangat cocok untuk dijadikan rujukan dalam mengenali medan dakwah
Islam. Wallahu alam bi al-Shawab.
B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I V , M A R E T

2 0 1 3

1 2 SALAM

Mari Membaca
Maulidatul Hifdhiyah

qra, demikianlah bunyi wahyu yang pertama kali


didapatkan Rasululllah. Bila dibaca sekilas, lafal
tersebut sama persis dengan nama buletin ini, sebab
keduanya memang berasal dari sumber yang sama,
QS. al-Alaq: 1. Meski demikian, tulisan ini tidak
bermaksud untuk menceritakan asal-usul dan alasan
mengapa lafal tersebut digunakan sebagai nama buletin ini,
karena hal ini bukanlah konsumsi publik. Adapun catatan
ini, sengaja ditulis guna mendaburkan perintah pertama
yang diwahyukan kepada Rasulullah tersebut. Mengapa
harus iqra?
Hakikat Iqra
Lafal iqra berasal dari kata qaraa yang pada
awalnya berarti menghimpun. Apabila satu huruf atau
kalimat telah dirangkai dan diucapkan, maka lafal tersebut
telah dihimpun. Arti asal ini menunjukkan bahwa kata iqra
yang diterjemahkan dengan bacalah, tidak menuntut
adanya adanya tulisan atau bacaan yang dibaca keras-keras
agar didengar orang lain. Kata qaraa juga bisa bermakna
menyampaikan; menelaah; membaca; meneliti; mengkaji,
dan lain sebagainya. Al-Quran sendiri menyebut kata ini
sebanyak tiga kali, yaitu pada QS. al-Ira: 14 dan QS. alAlaq: 1 dan 3. Adapun lafal al-Quran, yang juga berasal
dari kata qaraa, disebut sebanyak tujuh belas kali, dan
selain keduanya diulang hingga tujuh puluh kali di dalam alQuran.
Objek bacaan yang dijelaskan oleh al-Quran
pun berbeda-beda. Ada kalanya objek tersebut berupa
bacaan yang bersumber dari Tuhan, seperti al-Quran dan
kitab-kitab suci sebelumnya. Hal ini ditegaskan misalnya
dalam QS. al-Isra: 45, Dan apabila kamu membaca al-Quran,
niscaya Kami jadikan di antara kamu dan orang-orang yang tidak
beriman pada kehidupan akhirat suatu penghalang yang tertutup,
juga pada QS. Yunus: 94 yang artinya: Maka jika kamu
berada dalam keraguan tentang apa yang Kami turunkan
kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca
kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran
untukmu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang meragu. Namun terkadang objek
yang dimaksud al-Quran juga termasuk tulisan karya
manusia, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Isra: 14.
Selain itu, makna kata yang berasal dari lafal qaraa berbeda
dengan lafal yang diambil dari kata tala-tilawatan. Lafal yang
terahir ini, merujuk pada bacaan yang bersifat sakral dan
mutlak kebenarannya. Salah satu contohnya terdapat dalam
ayat yang berbunyi, Itu adalah ayat-ayat Allah yang Kami
bacakan kepadamu dengan benar, dan sesungguhnya kamu benarbenar salah seorang di antara nabi yang diutus. (QS. al-Baqarah:
252).
Dalam salah satu kaidah ilmu balaghah
dijelaskan bahwa suatu kata dalam susunan kalimat yang
tidak disebutkan objeknya, maka objek kata tersebut
bersifat umum, dan mencakup segala hal yang dimaksud
oleh kata tersebut. Ini artinya, kata qaraa dapat dikatakan
B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

I V , M A R E T

2 0 1 3

bersifat umum, sebab selain ia mengandung banyak arti,


objek yang disebutkan pun tidak bersifat psesifik. Oleh
karena itulah, objek kata tersebut mencakup kedua objek
yang telah disebutkan di atas, al-Quran dan selainnya.
Manusia dan Perintah Membaca
Bila diteliti, perintah membaca yang diberikan
Allah kepada Rasulullah sangatlah mencengangkan.
Bagai mana t i d ak, seorang ummi sepertinya justru
diperintahkan membaca sebagai tugas pertamanya. Lebih
mengherankan lagi, perintah tersebut diulang untuk yang
kedua kalinya dalam surat yang sama.
Al-Quran tentu memiliki tujuan khusus di balik
pengulangan tersebut, seperti halnya pengulangan kisah-kisah
di dalamnya. Dalam mengulang kisah, al-Quran menyisipkan
informasi baru yang tidak dicantumkan dalam kisah sebelumnya. Sedangkan dalam kaitannya dengan perintah pertama
ini, al-Quran ingin menekankan urgensi membaca sebagai
sebuah kunci bagi umatnya dalam menjalani kehidupan di
muka bumi ini.
Petunjuk-petunjuk yang dijabarkan Allah di
dalam al-Quran tidak akan bisa dijangkau oleh manusia tanpa
adanya proses membaca. Penemuan-penemuan sains terkini,
yang banyak memberikan kemudahan untuk kehidupan
manusia didapatkan dari hasil membaca, meneliti dan mengkaji, pada hakikatnya telah dijelaskan oleh al-Quran sejak
empat belas abad silam. Lebih dari itu, tidak bisa dipungkiri
bahwa kemajuan suatu peradaban juga tidak bisa dilepaskan
dari proses belajar dan membaca.
Dalam hal ini, Dinasti Abbasiyah menjadi salah
satu prototipenya. Sejarah mengenang, keberhasilan dinasti
ini menguasai berbagai wilayah dalam kurun waktu delapan
abad tidak terlepas dari kegiatan terjemah dan kajian keilmuan lainnya. Selain itu, salah satu pembicaraan mengenai
keistimewaan dinasti ini adalah kegigihan penguasanya membangun pusat kajian dan terjemah, baik di dalam ataupun di
luar negeri.
Demikianlah al-Quran menjelaskan urgensi membaca dan kaitannya dengan manusia. Adapun dalam posisi
pencari ilmu (thalib al-Ilmi), kegiatan membaca mutlak untuk
dilakukan, sebab mereka diharapkan bisa memberikan solusi
atas permasalahan-permasalahan yang berkembang di masa
kini. Tidak hanya itu, mereka juga diharapkan untuk
mengembalikan kejayaan Islam, yang pernah direngkuh oleh
Islam berabad-abad silam. Kedua tugas ini, tidak akan
mampu diemban tanpa membaca.
Jostein Gaarder, seorang cendekiawan berkebangsaan Norwegia pernah berujar, Aku tahu, setiap kali
aku membuka buku, aku akan bisa menguak sepetak langit.
Jika aku membaca sebuah kalimat baru, aku akan sedikit
lebih banyak tahu dibandingkan sebelumnya. Segala yang
kubaca akan membuat dunia dan diriku menjadi lebih besar
dan luas. Selamat membaca!

Anda mungkin juga menyukai