IKPM CABANG
KAIRO
E D I S I
I V
TAHNIAH
AKHL AK
QU R AN I
MABHATS
M
O
T
D
E
R
E
A
N J A W A B
T U D U H A N
I E N T A L I S
R H A D A P
M A K K I Y A H
N
M A D A N I Y A H
UDHAMA
10
F A K H R U D D I N
A L - R A Z I :
M U F A S I R
J E N I U S ,
A H L I
F I L S A F A T
MARJA
11
M E N E G A S K A N
K E A G U N G A N A L Q U R A N M E L A L U I
S Y U B H A T
SALAM
MAR I
12
ME MB AC A
2 0 1 3
NADHRAH
DAFTAR ISI
NADHRAH
M A R E T
Hilmy Mubarok
A L - Q U R A N
DS EZB IA KG A RI AP E D O M A N
ISTIKHARAH
Nur Fitria Qurrotu Aini
Islam memberikan
jalan keluar dalam menghadapi
hal
ini
yaitu
dengan
beristikharah.
Istikharah
berasal dari kata al-khairyang
bermakna sesuatu yang baik.
Istikharah bertujuan memohon
petunjuk dari allah SWT untuk
menunjukan sesuatu yang
Bersambung ke hlm 5
2 TAHNIAH
Akhlak Qurani
Sesungg
uhnya telah ada
pada (diri)
Rasulullah suri
teladan yang baik
bagimu. Yaitu bagi
orang yang
mengharap
(rahmat) Allah
dan (kedatangan)
hari kiamat
(QS. al-Ahzab:
21).
I Q R A ,
E D I S I
I V , M A R E T
2 0 1 3
FIKRAH 3
B U L E T I N
I Q R A ,
E D I S I
I V , M A R E T
2 0 1 3
4 QADHAYA
I Q R A ,
E D I S I
I V , M A R E T
2 0 1 3
QADHAYA 5
pada seorang perawi. Biasanya kita hanya mendapatkan
satu kata saja, semisal fulan dhaif, wahima, wahin, ataupun la
yutabar dan lain sebagainya.
Dalam buku al-Irsyad fi Ulum al-Hadist,
Mustafa Abu Imarah, dijelaskan pembahasan yang membolehkan gibah demi mencapai maslahah syariah. Ia menegaskan bahwa ulama telah membolehkan gibah dalam
Sembilan butir permasalahan, yaitu: Pertama, Pengakuan
orang yang teraniaya. Kedua, Pemberitahuan kepada
pihak berwajib tentang suatu kasus yang harus ditanganinya. Ketiga, Orang yang tidak memiliki pengetahuan
seputar masalah hukum, kemudian ia menceritakan perlakuan orang yang memperlakukannya dengan sewenangwenang atas nama hukum. Keempat, Memberitahukan
seseorang tentang rencana buruk golongan lain yang akan
mencelakakannya. Kelima, Memberi label Jarh para perawi Hadis yang memang bersifat demikian. Dalam hal ini
wajib hukumnya. Keenam, Meminta pendapat tentang
kepribadian seseorang yang ingin berinteraksi kepada kita,
baik sebagai tetangga, mitra bisnis, dan lain sebagainya.
Diwajibkan bagi orang yang dimintai keterangan untuk
tidak menyembunyikan informasi yang dibutuhkan, dengan niat baik untuk menasihati orang yang bertanya tersebut. Ketujuh, Membeberkan nama ulama atau tokoh
pemikiran yang sering memberikan opini yang bersifat
bidah atau sesat, untuk memperingatkan khayalak akan
bahaya pemikirannya. Kedelapan, Memberikan keterangan kepada seseorang akan kekurangannya, apabila tanpa
diberitahukan tentang ciri-cirinya maka kita sulit untuk
mengenalnya. Dalam hal ini banyak dari ulama yang kita
kenal melalui laqab atau julukan kelainan fisiknya, semisal :
al-Araj (orang yang pincang), julukan bagi al-Jhidz, alQshir, dan lain sebagainya. Kesembilan, Memperkenalkan seseorang berdasarkan pekerjaannya, walaupun ia
adalah pekerja kasar yang pekerjaannya dipandang rendah
di mata manusia, seperti penyemir sepatu, pembersih
selokan, dan lain sebagainya.
Menceritakan keburukan seseorang diistilahkan dalam ilmu Hadis dengan kata al-Jarh, yang berarti
melukai. Sebagaimana kita melukai seseorang dengan
pedang, maka melukai pribadinya dengan lisan tentu tidak
hanya meninggalkan luka sesaat, dikarenakan proses
mengembalikan nama baik memerlukan waktu yang lebih
lama daripada proses untuk menjatuhkannya. Sebagaimana
kita tidak ingin kehormatan kita dijatuhkan, maka kita juga
berkewajiban menjaga nama baik dan kehormatan sesama
saudara kita lainnya. Ushikum wa iyyaya nafsi, wa billahi alTaufiq wa al-minan.
I Q R A ,
E D I S I
I V , M A R E T
2 0 1 3
6 MABHATS
Ari Kurniawati
Al-Quran
diturunkan
dalam dua
priode.
Periode
makkiyah
yang mayoritas
diturunkan di
Mekah dan
madaniyah
yang mayoritas
diturunkan di
Madinah
B U L E T I N
I Q R A ,
E D I S I
2 0 1 3
dalam kategori makkiyah apabila ia diturunkan sebelum hijrah, sekalipun ia diturunkan di Madinah. Sebaliknya, ayat madaniyah adalah ayat yang diturunkan pasca hijrah,
meskipun ia turun di Mekah. Kedua, berdasarkan tempat turunnya. Ayat makkiyah
merupakan ayat yang turun di Mekah dan
sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah, sedangkan ayat madaniyah adalah ayat
yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya.
Ketiga, berdasarkan objek pembicaraannya.
Apabila ayat tersebut membicarakan penduduk Mekah, maka ayat tersebut akan
dikategorikan sebagai ayat makkiyah, dan
sebaliknya, jika ayat tersebut membahas
warga Madinah, maka ia merupakan ayat
madaniyah.
Secara zahir, ada beberapa
karakteristik yang membedakan ayat
makkiyah dan madaniyah. Beberapa sifat ayat
makkiyah antara lain: (1) Menyeru kepada
tauhid, seperti yang ditegaskan dalam QS. Al
-Qashash: 70 yang artinya: Dialah Allah.
Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Bagi-Nya segala puji di dunia dan akhirat,
dan bagi-Nya segala penentuan, dan hanya kepadaNya kalian dikembalikan. (2) Mengingkari
syirik. Hal ini dijelaskan dalam surat alAnkabut ayat 41, Perumpamaan orang-orang
yang mengambil pelindung selain Allah seperti labalaba yang membuat rumah, dan sesungguhnya
rumah yang paling rapuh adalah rumah laba-laba
jika mereka mengetahui. (3) Pengungkapan
kisah-kisah nabi dan kaum terdahulu. (4)
Menjelaskan urgensi budi pekerti dalam
kehidupan sehari-hari, salah satunya seperti
yang terdapat dalam sebuah ayat yang
berbunyi: Dan Tuhanmu telah memerintahkan
kamu untuk tidak menyembah selain Dia, dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibubapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu
di antara mereka atau keduanya telah berusia
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
kata ah dan janganlah kamu membentak
mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia. (QS. Al-Isra: 23). Selain itu,
secara zahir ayat-yat makkiyah pada
umumnya pendek namun mengandung
balaghah yang cukup dalam; menggunakan
model bahasa yang cukup keras dan dahsyat.
Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kondisi
masyarakat Quraisy pada waktu itu. Mereka
terkenal sebagai ahli sastra dan balaghah, juga
MABHATS 7
teramat keras wataknya.
Adapun ayat madaniyah memiliki karakteristik
sebagai berikut: (1) Menjelaskan syariat dan hukum
peribadatan. (2) Menerangkan sifat-sifat kaum munafik.
(3) Menjelaskan ketentuan khusus dalam berinteraksi
dengan kaum non-Muslim. Sedangkan gaya bahasa yang
terdapat dalam ayat madaniyah secara global panjang dan
banyak menggunakan takid. Seperti halnya ayat makkiyah,
ayat madaniyah pun diturunkan demikian, sebab masyarakat
Madinah terkenal lembut dan mengakui kerasulan
Muhammad, sehingga ayat-ayat yang turun kepada mereka
lebih banyak didominasi oleh ayat-ayat yang menjelaskan
syariat agama Islam.
Meski demikian, para Orientalis yang selalu
meragukan dan mengingkari keagungan al-Quran, tidak
mau begitu saja mengamini fakta ini. Kesesuaian ayat
makkiyah dan madaniyah dengan keadaan Makah dan
Madinah saat itu, menurut mereka, menunjukkan bahwa
turunnya al-Quran dipengaruhi oleh kondisi masyarakat
Arab. Hal ini dalam pandangan mereka merupakan bukti
terkuat bahwa al-Quran tak lebih dari produk budaya
masyarakat Arab ketika itu. Berangkat dari pemikiran
seperti inilah, mereka mengingkari keotentikan dan
memanusiakan al-Quran.
Menanggapi hal ini, para pemikir Islam tak
mau diam begitu saja. Nuruddin Ithr, dalam Ulum alQuran al-Karim menyebut perkataan Orientalis sebagai
perkataan yang hanya diucapkan oleh orang-orang dungu.
Demi menjawab keragu-raguan yang dilontarkan
Orientalis terhadap al-Quran, ada beberapa argumen logis
yang diungkapkan para pemikir Islam. Pertama, bila alQuran memang merupakan produk budaya dan sesuai
dengan kondisi masyarakat Mekah ataupun Madinah,
bagaimana mungkin terdapat karakteristik ayat makiyah
dalam ayat madaniyah, dan begitu juga sebaliknya. Salah
satunya terlihat dalam surat al-Kautsar yang merupakan
surat terpendek dalam al-Quran, sedangkan ia merupakan
surat madaniyah. Hal ini tentunya sudah menyalahi
ketentuan yang menyatakan bahwa ayat madaniyah pada
umumnya panjang. Bila demikian adanya, masihkah bisa
dikatakan bahwa al-Quran terpengaruh oleh keadaan
masyarakat Mekah dan Madinah?
Selain itu, ada beberapa ayat madaniyah yang
menggunakan gaya bahasa keras, sedangkan ciri tersebut
merupakan ciri khas ayat makkiyah. Misalnya terdapat
dalam surat al-Shaff ayat 1-3, yang artinya: Bertasbih
kepada Allah apa yang ada di langit dan di bumi, dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu katakan apa yang tidak kamu
perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu
kerjakan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam ayat ini adalah penggunaan
kata Wahai orang-orang yang beriman yang menunjukkan bahwa ayat ini adalah
ayat madaniyah, namun kalimat berikutnya yang begitu keras memperingatkan
orang-orang yang beriman (masyarakat Madinah), merupakan gaya yang
ditemukan pada ayat-ayat makkiyah. Seharusnya, dalam posisinya sebagai ayat
madaniyah, gaya bahasanya tidaklah demikian, namun sebaliknya. Bila demikian,
masihkah bisa dikatakan bahwa al-Quran menyesuaikan diri dengan lingkungan
Mekah dan Madinah?
Al-Quran diturunkan dalam dua priode. Periode makkiyah yang mayoritas diturunkan di Mekah dan madaniyah yang mayoritas diturunkan di Madinah.
Tujuan Allah menurunkan al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW sebagai hidayah kepada seluruh manusia dan mengeluarkan orang-orang yang percaya padaNya dari zaman kegelapan menuju jalan yang terang. Karena perkara inilah, ada
penduduk Mekah membawa kekuatan yang mampu merubah keadaan yang ada menuju keadaan baru yang lebih
baik.
Meski demikian, para Orientalis tetap saja tidak
mau berhenti berusaha untuk membuat keraguan terhadap
al-Quran. Sebagian dari mereka ada yang menggunakan
metode ilmiah dalam mendalami ulum al-Quran, akan tetapi
mereka tetap saja terbelenggu dengan keyakinan serta hawa
nafsu mereka. Sebenarnya, jika mereka benar-benar bersandar pada metode Ilmiah, mereka akan menyadari bahwa
al-Quran bukah hasil karya manusia, karena di dalamnya
banyak hal yang manusia tidak tahu karena kemampuan
manusia itu sendiri terbatas. Wallahu alam.
B U L E T I N
I Q R A ,
E D I S I
I V , M A R E T
2 0 1 3
8 NADHRAH
Imam Zarkasyi,
ia adalah
disiplin ilmu
yang membahas
bagaimana
memahami kitab
Allah yang
diturunkan
kepada Nabi
Muhammad
SAW dengan
menjelaskan
makna, hukum
dan hikmah yang
terkandung di
dalamnya.
B U L E T I N
I Q R A ,
yaitu
menyingkapkan, "
yang artinya seorang
perempuan
menyingkapkan
kerudungnya. Ketiga, dikatakan
bahwa tafsir berasal dari kata
" " yaitu proses seorang
dokter memeriksa organ dalam
E D I S I
I V , M A R E T
2 0 1 3
NADHRAH 9
takwil mimpi. Sebagian lain mengatakan kebalikannya. Artinya, takwil-lah yang lebih umum daripada tafsir, karena
pemakaianya yang lebih luas daripada tafsir. Takwil dipakai bukan hanya di dalam istilah kata, sedangkan tafsir hanya
dipakai di dalam istilah tersebut.
Kedua, sebagian ulama lain mengatakan keduanya berbeda dilihat dari istilah masing-masing keduanya. Ulama yang
berpandangan seperti ini pun berbeda. Di antara mereka mengatakan bahwa tafsir bermakna memutuskan keinginan
Allah apa adanya, sedangkan takwil bermakna menguatkan makna-makna sebuah ayat- yang muncul tanpa memutuskan benar atau salahnya. Di antara mereka pun berpendapat bahwa tafsir berkaitan dengan riwayat, sedangkan
takwil berkaitan dengan dirayah. Di antara yang lain mengatakan bahwa tafsir untuk kita sebagai makhluk, sedangkan
takwil hanya diketahui oleh Sang Khaliq, dengan dalil ayat 7 surat Ali Imran.
Perkembangan Ilmu Tafsir
Jika melihat sejarah, diketahui bahwa ilmu tafsir sudah ada semenjak zaman Rasulullah SAW. Pada waktu
itu, ketika para Sahabat mengalami kesulitan memahami al-Quran, mereka datang kepada Rasulullah untuk menanyakannya. Rasulullah sebagai seorang yang diberikan Allah wahyu tersebut, kemudian menjelaskan dan menafsirkan
maksud ayat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan para Sahabat tidak sama dalam memahami al -Quran,
terlebih pada sisi balaghah dan susunan kalimatnya, sekalipun al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka.
Di sini muncul sebuah pernyataan dari kalangan Orientalis, jika al-Quran diturunkan dengan bahasa yang
disesuaikan dengan keadaan umat kala itu, maka ini menunjukkan bahwa al-Quran terpengaruh oleh budaya atau merupakan produksi budaya. Menanggapi tudingan seperti ini syekh Syarawi mencoba menjawabnya dengan sebuah
analogi. Kita sepakat bahwa rambu-rambu lalu lintas sangat penting bagi setiap pengemudi, sehingga setiap pengemudi
kendaraan harus mampu memahami setiap rambu-rambu lalu lintas yang ada, agar selamat sampai tujuan dan terhindar
dari mara bahaya. Namun, bagaimana ketika rambu-rambu lalu lintas tersebut menggunakan tanda atau bahasa yang
sama sekali tidak dipahami oleh pengemudi, apakah akan menciptakan lalu lintas yang aman dari bahaya? Apakah bisa
menjamin setiap pengemudi untuk sampai ke tujuan
mereka masing-masing? Tentu saja tidak. Begitu juga
dengan al-Quran yang merupakan kitab pedoman seluruh
umat manusia umumnya, dan umat Islam khususnya,
bagaimana menjadi pedoman bagi umat kala itu bangsa
Arab- kalau kitab tersebut tidak bisa dipahami?
Dengan penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa metodologi penafsiran al-Quran ketika
zaman Nabi, Sahabat dan Tabiin menggunakan penafsiran
yang mereka dapatkan dari Rasulullah. Kendati demikian,
di antara zaman tersebut tetap ada perbedaan. Jika pada
zaman Nabi, penafsiran langsung datang dari Rasulullah,
sedangkan pada zaman Sahabat dan Tabiin tidak secara
langsung, tetapi melalui periwayatan yang diambil dari
Rasulullah.
Seiring berjalannya waktu, metode tersebut
mengalami perubahan dan perkembangan, baik positif
atau negatif. Dikatakan metodologi tersebut berkembang
ke arah negatif, sebab ada beberapa penafsiran setelah
zaman Sahabat dan Tabiin yang tidak sesuai dengan metodologi yang benar, atau metodologi yang sesat atau
hanya menggunakan nafsu saja, dan tidak mempertimbangkan benar atau salahnya. Salah satu contohnya,
penafsiran yang menggunakan riwayat israiliyat yang tidak
sesuai dengan syariat Islam, penafsiran yang mengacu
pada paham sekte yag sesat dan lain sebagainya.
Adapun mengenai perkembangan positif,
metodologi penafsiran berkembang tidak hanya menggunakan metode atsari (Tafsir bi al-Matsur), akan tetapi
berkembang menjadi bermacam-macam metodologi, di
antaranya metodologi penafsiran Ahlusunah, metodologi
fikih, metodologi ilmu eksperimen, maupun metodologi
bayani yang digunakan oleh Zamakhsyari, Amin al-Khuli,
Muhammad Ahmad Khalafullah dan Aisyah Abdurrah-
man yang dikenal dengan bintu syathi. Selain itu, Muhammad Ali Ridlai dalam bukunya Manahij al-Tafsir wa
Ittijahatuhu juga menambahkan beberapa metodologi, di
antaranya metodologi penafsiran modern, seperti metodologi penafsiran sosio-kultural, metodologi politis,
penafsiran jihad dan lain sebagainya.
Hal lain yang menjadi perhatian para ulama
terhadap al-Quran adalah penetapan beberapa syarat dan
ketentuan untuk seseorang yang ingin menafsirkan alQuran. Sebagaimana yang ditulis Maulaya Hammad dalam
bukunya, Ilmu Ushul al-Tafsir, muhawalah fi al-Bina, bahwa
syarat mufasir dibagi menjadi dua, yaitu syarat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan syarat yang berkaitan
dengan akhlak yang harus dimiliki oleh seorang mufasir.
Di antara ilmu pengetahuan yang harus dimiliki oleh mufasir antara lain, ilmu Fikih, ilmu gramatikal
bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), serta beberapa ilmu
yang termasuk dalam lingkup ulum al-Quran, seperti
Asbab Al-nuzul, Nasikh wa Mansukh, Makky-Madany,
Muhkam-Mutasyabih, kisah-kisah al-Quran dan lain sebagainya. Selain ilmu tersebut, ilmu yang harus dikuasai oleh
seorang mufasir antara lain ilmu Ushul Fiqh, Qiraah, dan
beberapa ilmu lainnya. Adapun akhlak-akhlak yang harus
dimiliki seorang mufasir secara umum merupakan akhlak
mulia yang harus dimiliki setiap Mukmin
Semua hal di atas menunjukkan bahwa alQuran memang benar-benar kitab pedoman untuk seluruh umat manusia, dan kemukjizatannya tidak terbatas
oleh waktu. Kandungannya akan terus dikaji dan rahasiarahasianya akan terus ditelusuri, hingga seluruh manusia
mendapatkan segala apa yang mereka butuhkan untuk
kehidupan mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Wallahu A'lam.
B U L E T I N
I Q R A ,
E D I S I
I V , M A R E T
2 0 1 3
1 0 UDHAMA
Fakhruddin Al-Razi
ama lengkapnya
Abu Abdullah
Muhammad bin
Umar bin alHusain bin al-Hasan bin Ali
al-Tami mi al-Bakri al Thabaristani al-Razi, yang
juga dikenal dengan nama
Ibnu al-Khatib al-Syafii.
Silsilah nasabnya bersambung
kepada Abu Bakr al-Shiddiq
RA. Razi dilahirkan pada
tahun 544 H dan tumbuh
besar di kota Ray. Ray
merupakan ibu kota Irak ajami ketika itu, yang terletak di
sebelah utara pegunungan Iran. Kota ini sebenarnya telah
menghilang sejak lama, tetapi masih banyak beberapa
peninggalannya yang didapati di Teheran, ibu kota Iran
sekarang. Fakhruddin al-Razi memulai perjalanan
keilmuannya dari kota Ray, yang dilanjutkan pada kedua
bagian kota Irak, ajami dan arabi, Khurasan dan Syam.
Selain itu, Razi juga dikenal menguasai dua bahasa sekaligus,
yaitu bahasa Arab dan bahasa Persia.
Pendidikan Razi didapatkannya langsung dari
sang ayah, Dhiya al-Din. Darinya, Razi belajar Teologi dan
Fikih. Razi kemudian melanjutkan pendidikannya dengan
berguru pada al-Jaili, al-Kamal al-Samani, dan Muhammad
bin Umar dalam bidang Filsafat. Tak lama berselang, Razi
mulai mengajarkan Teologi setelah berhasil menghafalkan
kitab al-Syamil yang ditulis oleh Imam Haramain.
Dalam perjalanan keilmuannya, ia banyak
mempelajari ilmu Kalam, Ushul Fikih, Fikih Syafii dan
bahasa Arab. Hal ini menjadikan banyak ulama yang
mengaguminya, sebab ia mampu menggabungkan beberapa
disiplin ilmu dalam satu waktu. Dengan wawasan dan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya itulah Razi berhasil
menelurkan banyak karya dalam berbagai cabang keilmuan,
seperti Tafsir, Teologi, Fikih, Nahwu, Sastra Arab, Filsafat,
Kedokteran, Arsitek, dan Astronomi. Melalui karyakaryanya, Razi ingin menegaskan luasnya khazanah
keilmuan yang dimiliki oleh umat Islam, yang meliputi
hampir seluruh pengetahuan di berbagai belahan dunia, baik
Timur ataupun Barat.
Kemahiran dan luasnya pengetahuan yang
dimiliki Razi menjadikan banyak ulama yang mengagumi
kemampuan intelegensianya. Salah satunya adalah Judah
Muhammad. Dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun karya
Muhammad Husain al-Dzahabi, Judah Muhammad berujar,
Razi merupakan seorang ulama yang sangat memahami
ilmu Ushul, piawai dalam menafsirkan al-Quran, serta sosok
individu yang amat cerdas. Selain itu, karya-karya yang
ditulisnya pun begitu fenomenal. Pernyataan ini diperkuat
oleh Husain al-Dzahabi, Buah karyanya tersebar luas di
dunia, mulai ufuk Timur hingga Barat. Karya-karyanya yang
begitu legendaris seolah menegaskan kejeniusannya dalam
B U L E T I N
I Q R A ,
E D I S I
I V , M A R E T
2 0 1 3
MARJA 1 1
elah lama berbagai macam syubhat dilancarkan kepada umat Islam, khususnya
kepada kitab suci mereka, al-Quran. Mereka yang membenci Islam mencurahkan
segala upaya untuk menurunkan derajat al-Quran dari kedudukan sakralnya sebagai
kalamullah, dengan menyatakan bahwa al-Quran tak lebih dari karya tulis yang dibuat
oleh Muhammad SAW, dan juga produk budaya masyarakat Arab, dan lain sebagainya.
Keadaan tersebut menuntut umat Islam untuk menjawabnya. Umat Islam juga
membutuhkan cendekiawan rabani untuk mengetahui kebenaran atas syubhat tersebut, juga
untuk membedakan yang benar dan salah. Terlebih distorsi nilai al-Quran yang digalang oleh
para pengingkar tersebut terkadang sangat kabur, sehingga tidak sedikit yang beranggapan
bahwa syubhat inilah nilai Islam yang sebenarnya.
Di tengah geliat ulama dalam menjawab syubhat terhadap al-Quran, muncul
sebuah buku fenomenal karya seorang ulama dengan kapabilitas keilmuan yang tak diragukan
lagi, Muhammad Rasyid Ridha, yang berjudul al-Wahyu al-Muhammadi. Buku yang telah
diterjemahkan ke dalam enam bahasa dunia ini, lahir untuk menjawab syubhat-syubhat yang
dilontarkan untuk al-Quran, juga untuk meyakinkan umat Islam akan keagungan kitab sucinya.
Berbicara mengenai penulis buku ini, namanya sudah pasti tidak asing lagi di telinga
umat Islam. Gagasan-gagasan dan idenya banyak mewarnai kancah pemikiran Islam. Tafsirnya
yang sebagian ditulis oleh Muhammad Abduh, al-Mannar, menjadi rujukan ulama hingga hari
ini. Tidak hanya itu, berbagai konsep perjuangan yang dibentuknya menginspirasi banyak
I Q R A ,
E D I S I
I V , M A R E T
2 0 1 3
1 2 SALAM
Mari Membaca
Maulidatul Hifdhiyah
I Q R A ,
E D I S I
I V , M A R E T
2 0 1 3