Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN AL-IJAZ

IKPM CABANG
KAIRO

E D I S I

V I I I

D Z U L H I J J A H

NADHRAH

DAFTAR ISI
NADHRAH

Keutamaan Bulan Dzulhijjah

KEUTAMAAN BULAN
DZULHIJJAH

TAHNIAH

MEMAKNAI
KEMENANGAN

MABHATS

HIKMAH DI BALIK
IBADAH HAJI

UDHAMA

10

IMAM JAILANI: WALI PARA


AULIA

MARJA

11

ASR AR

AL- HAJ

SALAM

12

MENGAMALKAN
SYARIAT

A L - Q U R A N

DZIKRA
S E B A G A I

1 4 3 4

P E D O M A N

Ketaatan

Putri Rezeki Rahayu

Rusydiana Tsani

elah datang pada umat Islam bulan


yang penuh kemuliaan, keberkahan
dan keagungan, yaitu bulan Dzulhijjah. Banyak orang yang menunggu
datangnya bulan ini, seperti orang-orang yang
hendak berhaji dan para penjual hewan
kurban.
Awalnya bangsa Arab jahiliyah
merayakan datangnya bulan ini dengan
mengadakan perayaan besar-besaran
yang diikuti dengan
pesta khamr. Akan
tetapi
se t e la h
datangnya Nabi
Muhammad,
perayaan tersebut
diganti dengan
h a l- h a l
yang
penuh
dengan
kebaikan.
Sepuluh
hari awal dalam bulan
Dzulhijjah memiliki keistimewaan yang sering
disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam
berbagai kesempatan. Salah satunya adalah,
Tidak ada satu hari pun di mana amalan saleh
pada hari itu lebih dicintai Allah daripada sepuluh
hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah). Para
Sahabat bertanya, Ya Rasulullah, tidak juga jihad
(perang) di jalan Allah? Rasulullah menjawab,
Dan tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali orang
yang keluar berjihad bersama harta dan nyawanya,

slam merupakan agama


yang mengajarkan
kepada manusia agar taat
kepada Sang Pencipta,
Allah SWT. Ketaatan ini bukan
hanya ketaatan zahir, tetapi
juga batin. Bulan Dzulhijjah
merupakan bulan yang banyak
mengajarkan kita suatu
ketaatan dalam menjalankan

dan dia tidak kembali dengan membawa apapun dari


keduanya. Hadis ini telah disahihkan oleh
Bukhari, Turmudzi dan Ibnu Majah.
Dalam Hadis ini, Rasulullah
menegaskan bahwa amalan di sepuluh hari
pertama Dzulhijjah lebih dicintai Allah
dibandingkan orang yang berjihad di jalan
Allah, yakni berperang melawan orang Kafir.
Bahkan, jihad tidak ada artinya bila
dibandingkan dengan amalan pada sepuluh
hari tersebut, kecuali jika dia berjihad
dengan harta dan
nyawanya lalu dia mati
syahid, barulah lebih
utama.
Hal
ini
menunjukkan keagungan
sepuluh hari pertama
bulan Dzulhijjah.
Disebutkan dalam
Lathaif Al-Maarif,
Abu Usman Al-Nahdi
dari kalangan Tabiin mengatakan,
Sesungguhnya para Sahabat mengagungkan tiga
sepuluh; yaitu sepuluh malam terakhir di bulan
Ramadhan, sepuluh hari pertama di bulan
Dzulhijjah, dan sepuluh hari terawal dari
Muharram.
Sepuluh hari pertama di bulan
Dzulhijjah menunjukkan keutamaan mutlak di
atas hari-hari lain selama setahun. Tidak ada
hari yang lebih utama dibandingkan sepuluh
hari ini. Malah

semua perintah Allah.


Tentunya kita
sebagai umat Islam tidak akan
pernah lupa, sebuah histori
ketaatan Nabi Ibrahim AS
terhadap apa yang
diperintahkan oleh Allah SWT.
Nabi Ibrahim yang merupakan
Khaliullah (kekasih Allah) dan
juga bapak dari para anbiya,

Bersambung ke hlm 8

termasuk Nabi Muhammad


SAW. Banyak kisah yang
diceritakan dalam al-Quran
mengenai ketaatan Nabi
Ibrahim dalam menjalankan
perintah dan tugasnya sebagai
utusan Allah. Salah satunya
adalah dalam membangun
kabah. Hal ini sebagimana
Bersambung ke hlm 5

Memaknai Kemenangan

2 TAHNIAH

Kemenangan
hakiki dalam
hari raya
adalah
kemenangan
orang-orang
yang
bertambah
ketakwaannya

ulan Dzulhijjah merupakan


salah satu bulan istimewa
dalam Islam. Hal ini tidak lain
karena pada bulan tersebut
terdapat dua agenda besar yang tidak
ditemukan dalam bulan-bulan lainnya,
haji dan kurban. Ibadah haji merupakan
ibadah yang amat spesial dan sarat makna. Di dalamnya umat Islam dihadapkan
pada berbagai hikmah, sekaligus diminta
untuk meneladani sosok-sosok hamba
yang begitu taat kepada Allah.
Ritual pelaksanaan ibadah
haji dijelaskan cukup rinci dalam surat alBaqarah ayat 197-202. Pada ayat 197 misalnya, diterangkan mengenai waktu pelaksanaan
dan hal-hal yang dilarang selama haji.
(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah
dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji
dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar
dalam (melakukan ibadah) haji. Segala hal baik
yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai
orang-orang yang mempunyai akal sehat!
Kemudian, pada ayat-ayat berikutnya, mereka yang melaksanakan ibadah
haji diminta untuk selalu mengingat dan
memohon ampun kepada Allah. Maka
apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah
kepada Allah di Masyar al-haram. Dan berzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi
petunjuk kepadamu, sekalipun sebelumnya kamu
benar-benar termasuk orang yang tidak tahu.
Kemudian bertolaklah kamu dari tempat orang yang
banyak bertolak (Arafah) dan mohonlah ampunan
kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Perintah ini kemudian diakhiri
dengan anjuran bagi umat Islam, agar mereka
berdoa memohon kebaikan di dunia dan
akhirat. Hal ini tidak lain disebabkan banyaknya manusia yang memohon kebaikan untuk
hal-hal duniawi. Orang-orang dengan karakter
ini, dalam lanjutan ayat tersebut, dinyatakan
tidak memperoleh apa-apa di akhirat nanti.
Adapun kebalikannya, yaitu orang-orang yang
memohon keberkahan untuk kehidupan
akhiratnya, disebut sebagai golongan yang

memperoleh imbalan setimpal atas apa yang


mereka kerjakan.
Sementara itu, ketika jutaan umat
manusia tengah khusyuk menunaikan rukun
demi rukun ibadah haji di Baitullah, para umat
manusia di belahan bumi lainnya sedang sibuk
mempersiapkan perayaan agung, idul Adha.
Peristiwa yang berawal dari keikhlasan Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail tersebut disambut
dengan suka cita oleh berbagai umat Muslim di
berbagai belahan dunia.
Di Mesir, euforia perayaan hari raya
Kurban tampak amat jelas. Puluhan ekor kambing dan bahkan juga sapi- terlihat di berbagai
ruas jalan di seluruh penjuru kota. Tentu saja hal
ini patut diapresiasi, namun akan lebih baik
apabila kita semua merenungkan kembali tentang pengorbanan dan kebesaran jiwa Nabi
Ibrahim menerima perintah Tuhannya, menyembelih putra sewayang yang telah lama
dinantikan kehadirannya, Nabi Ismail.
Untuk itulah, kami hadir dengan
pembahasan khusus di edisi kali ini. Di rubrik
Nadhrah, dibahas secara detail tentang keutamaan bulan Dzulhijjah dan serba-serbi ritual
ibadah di dalam bulan tersebut. Setelah itu, pada
rubrik Qadhaya diulas cukup mendalam
mengenai sejarah diperintahkannya kurban
melalui pembahasan tematik kisah-kisah kurban
dalam al-Quran. Pada rubrik setelahnya,
Mabhhats, pembaca akan dijelaskan tentang
hikmah-hikmah pelaksanaan haji, sekaligus
tanda-tanda kebesaran Allah di balik peristiwa
sakral ini.
Akhir kata, merenungkan kembali
makna perayaan tersebut sungguh jauh lebih
dibutuhkan dibandingkan sekadar berfoya-foya
dalam merayakannya. Hal ini semakin terasa
urgen, mengingat mayoritas manusia saat ini,
salah mengartikan kemenangan. Padahal, kedua
hari raya dalam Islam, baik Idul Fitri maupun
Idul Adha mengajarkan bahwa kenikmatan
direguk setelah usaha maksimal, bahwa umat
Islam baru bisa merayakan keduanya setelah
menjalankan puasa, mendekatkan diri kepada
Allah, dan ritual peribadatan lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh ulama, kemenangan hakiki
dalam hari raya adalah kemenangan orang-orang
yang bertambah ketakwaannya Selamat membaca!

Susunan Redaksi Buletin IQRA Kajian AL-IJAZ IKPM Kairo


Dewan Penasihat: Ketua IKPM Cabang Kairo; Pembimbing: Bagian Keilmuan IKPM Cabang Kairo; Penanggung Jawab Umum: Novan Hariansyah, Dede permana;
Pemimpin Umum: Putri Rezeki Rahayu; Pemimpin Redaksi: Faiq Aziz; Editor: Maulidatul Hifdhiyah Malik; Layouter: Saeful Luthfy; Kru: Hilmy Mubarak,
Muhammad Hafif Handoyo, Jakfar Shodiq, Alfina Wildah, Rusydiana Tsani, Jauharotun Naqiyah, Anisa Nur Rohmah, Ari Kurniawati, Risky Maratul Mu'allamah, Nur Fitria
Qorrotu Aini.
Alamat Redaksi: Swessry B - Gami', Hay 10, Nasr City, Egypt 32206
B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

V I I I ,

D Z U L H I J J A H

1 4 3 4

FIKRAH

Menjawab Syubhat Seputar Ayat Kurban


Anisa Nur Rohmah
"Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama
mereka." (QS. al-Baqarah: 120)
Ayat di atas merupakan cerminan sosok kaum
Orientalis yang senantiasa memusuhi dan menyerang Islam
dari segala aspek. Berbagai upaya dan usaha pun mereka
kerahkan, di antaranya penyebaran opini keliru mengenai
penyembelihan hewan kurban di hari Idul Adha.
Penyembelihan hewan kurban merupakan
perayaan sebuah sunatullah. Berawal dari kisah Nabi Ibrahim AS yang diberi wahyu berupa mimpi untuk menyembelih anaknya, lalu dengan izin-Nya diganti dengan seekor
domba. Menurut keyakinan orang-orang Yahudi dan
Nasrani di dalam kitabnya, anak Nabi Ibrahim yang disembelih adalah Ishaq. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang
ada pada kitab suci (al-Quran) umat Islam, yang menegaskan bahwa yang disembelih bukanlah Ishaq melainkan
Ismail. Kisah penyembelihan itu pun diceritakan secara
detail di dalam al-Quran pada surat al-Shafft ayat 100-113.
Menurut kaum Orientalis, ayat al-Quran yang
berbicara akan hal itu menggunakan uslub yang kurang
begitu jelas, seperti kata "ghulam" dalam kalimat
"fabasyarnhu bighulmin halm", yang justru mengarah kepada pemahaman yang membingungkan. Namun, tuduhan itu
terbantahkan, sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir
Qurtubhi "Al-Jmi` li Ahkam al-Quran" bahwa kata
"ghulam" di sini menunjukkan bahwa si anak telah lahir dan
tumbuh, dan bukannya yang akan lahir ke dunia. Sehingga
jelas bahwa "ghulam" yang dimaksudkan disini ialah Ismail,
karena jika yang dimaksud adalah Ishaq, berita gembira
akan lahirnya Ishaq sendiri terjadi setelah perintah penyembelihan itu. Maka akan sangat tidak rasional jika wahyu dan
perintah Allah kepada seorang Nabi-Nya ditunda karena
menunggu kelahiran sang anak. Padahal wahyu dan
perintah Allah adalah suatu kewajiban yang harus segera
dilaksanakan. Seperti penggalan ayat setelahnya "falamm
balaga ma`ahu as-sa`ya" yang menurut penafsiran Ibnu
`Asyur diartikan dengan pencapaian umur anak Ibrahim
dalam kata "baligh." Karena pada waktu itu, menurut Ibnu
`Asyur, Ismail berumur 13 tahun dan pada waktu itu juga
Ibrahim mendapat mimpi berupa wahyu untuk menyembelih anaknya. Lebih dari itu, ketika al-Quran menceritakan
sesuatu dengan uslub yang tersembunyi, sebenarnya itulah
bagian dari i`jaz al-Quran. Karena begitu dalamnya makna
yang terkandung di dalam al-Quran, sehingga dengan cara
seperti itu al-Quran mengajak kita agar mau menadaburkan
dan menyelami makna yang tersirat di dalamnya.
Di samping itu, dijelaskan bahwa anak yang
dianugerahkan Allah kepada Ibrahim adalah seorang yang
sabar (ghulmin halm). Jika kita merujuk kepada surat alAnbiy` ayat 85 "Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, Zulkifli.
Mereka semua termasuk orang-orang yang sabar" dijelaskan
bahwa Allah SWT menyifati Nabi Ismail sebagai seorang
yang penyabar, sebagaimana Allah juga menyifati Nabi

Ibrahim sebagai khalilullah (kekasih Allah), dan kepada


para nabi lainnya dengan keistimewaannya masing-masing.
Lalu di dalam surat al-Shafft ayat 113 dijelaskan, "wa
basyarnhu bi Ishqa nabiyyan minal as-slihn" yang menurut
penafsiran Ibnu Katsir dan Ibnu `Asyur, kata "wa" di sini
merupakan "wawu al-`athf" yang menunjukkan suatu permulaan atau pemisah dari kisah sebelumnya. Jika kabar
gembira akan lahirnya Ishaq baru dimulai setelah perintah
penyembelihan itu, lantas berita gembira sebelumnya,
mengenai lahirnya seorang anak penyabar pastilah menunjuk kepada Ismail. Meski nama Ismail tidak disebut secara
terang-terangan, tapi beberapa bukti telah menunjuk
kepadanya, seperti yang telah dijelaskan beberapa mufasir
di dalam tafsirnya.
Perbedaan pendapat mengenai putra Nabi
Ibrahim yang akan disembelih, Nabi Ismail ataukah Nabi
Ishaq, memunculkan sebuah keraguan dalam syariat Islam.
Oleh karena itu, kemunculan syubhat seperti di atas, seharusnya menjadikam kita menjadi lebih yakin dengan apa
yang dikabarkan oleh al-Quran, karena ia satu-satunya
kitab yang tetap terjaga kebenarannya hingga akhir zaman.
Al-Quran juga merupakan pelengkap dari kitab samawi
sebelumnya dan merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad yang menjadi panutan kita dalam menjalani
hidup. Kemudian sebagai umat Islam dan seorang yang
beriman, kita harus meyakini bahwa yang disembelih
adalah Nabi Ismail, karena al-Quran sendiri dengan lantang telah menjelaskan akan hal itu. Jika menurut kaum
Orientalis uslub yang digunakan al-Quran dalam menceritakan hal itu menimbulkan kerancuan, itu karena kurangnya ketelitian dalam mengungkap makna yang terkandung di dalamnya, serta keinginan mereka untuk menciptakan keraguan terhadap umat Islam. Sebagaimana firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 109, Sebagian besar Ahli
Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang
(timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka
kebenaran.
Maka dari itu, kita sebagai umat Islam jangan
mudah terkecoh dan lengah dengan tuduhan-tuduahn
kaum Orientalis dalam mengobrak-abrik pondasi dan
dasar-dasar agama Islam. Hendaknya kita selalu merujuk
kepada al-Quran dan Sunah, serta pendapat para ulama
yang ahli dalam bidangnya. Dengan itu, kita akan terjaga
dan jauh dari hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam
sesungguhnya. Wallahu a`lam bi al-Shawb.

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

V I I I ,

D Z U L H I J J A H

1 4 3 4

4 QADHAYA

Napaktilas Kurban dalam Al-Quran


Muhammad Hafif Handoyo

i bulan ini kita diingatkan akan ketaatan-ketaatan


yang dilakukan oleh orang-orang yang dipilihNya sebagai pemimpin umat. Kita diingatkan
akan kepatuhan pemimpin para Nabi, Ibrahim
AS. Kita disenandungkan dengan kepasrahan Ismail AS, pun
kita dibuat kagum dengan ketegaran ibunda Hajar. Mereka
menjadi keluarga panutan umat terbaik ini hingga terkenang
dalam untaian waktu kehidupan. Di sepuluh awal bulan
Dzulhijjah, selain merupakan hari yang disebut langsung
dalam al-Quran, sehingga menjadikannya mulia, ia juga berisi
peribadatan-peribadatan yang selain berguna untuk meningkatkan ketakwaan, juga untuk menapaktilasi ketaatan-ketaatan
dari hamba-hamba saleh tersebut.
Salah satu ibadah yang terdapat dalam bulan ini
adalah berkurban, yang dikenal dalam istilah Fikih dengan alUdhiyah. Perintah ibadah ini tertera jelas dalam surat alKautsar:


Sebagaimana ditulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya, pendapat
paling benar dari riwayat yang berkaitan dengan kalimat inhar
dalam surat tersebut adalah ibadah penyembelihan.
Telah masyhur bahwa ibadah ini merupakan
napaktilas dari ketaatan Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan
oleh Allah SWT melalui mimpi yang dialaminya, untuk
menyembelih anak yang diidam-idamkannya selama ini, Ismail
AS. Hal ini termaktub dalam QS. al-Shaffat: 102 yang artinya:
... Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha
bersamanya, berkatalah (Ibrahim), Wahai anakku! Sesungguhnya
aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah
bagaimana pendapatmu? Dia (Ismail) menjawab, Wahai ayahku!
Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah engkau
akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.
Kurban dalam al-Quran
Kurban merupakan kata serapan yang berasal dari
bahasa Arab, yaitu bentuk mashdar dari kata qaruba yang
bermakna dekat. Dalam tataran makna etimologis, kata
kurban dan derivasinya tersebut diulang beberapa kali dalam
al-Quran dengan pengertian yang berbeda-beda, tergantung
konteks ayat. Terkadang berkaitan dengan tempat, waktu,
nasab, kedudukan, penjagaan, dan qudrah.
Raghib al-Asfahani dalam bukunya Mufradt
Alfdh al-Qurn menyebutkan beberapa kaitan arti derivasi
kata kurban. Untuk yang berkaitan dengan tempat salah
satunya termaktub dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 5,

Yang terkait dengan waktu, misalnya, (QS. al-Anbiya: 1)

Yang berhubungan dengan nasab, di antaranya, (QS. al-Nisa:
7)

Yang berkaitan dengan kedudukan, misalnya, (QS. Ali imran:
45)
B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

V I I I ,

D Z U L H I J J A H


Yang terkait penjagaan, contohnya, (QS. al-Araf: 56)

Sedangkan yang berhubungan dengan qudrah di antaranya,
(QS. Qaf: 16)

Penjelasan di atas adalah makna kurban ditinjau dari aspek bahasa. Adapun makna kurban dalam istilah
syara, adalah sesuatu yang berfungsi untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Dari pengertian ini kurban masih
menunjukkan suatu ibadah yang bersifat umum, yang
mana dengannya seorang hamba mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Oleh karena itu, dalam Hadis atau penjelasan
ulama, tertera bahwa salat ataupun sedekah merupakan
bentuk kurban. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Imam Baihaqi, dan ahli Hadis lainnya
dengan sanad sahih bahwa Nabi SAW bersabda, Dan
salat adalah kurban Akan tetapi, dalam perkembangannya istilah ini mengalami penyempitan makna. Seperti yang
disebutkan oleh Raghib al-Ashfahani bahwa kata kurban
menjadi suatu nama yang dilekatkan pada sembelihan. Dari
sini kata kurban dalam bahasa Arab bersinonim dengan aldzabhah atau al-naskah.
Dalam al-Quran, kata kurban dengan makna
yang terakhir ini tersebutkan beberapa kali. Dalam surat alMaidah ayat 27,

Dalam surat Ali Imran ayat 183,

juga dalam surat al-Ahqaf ayat 28,

Kisah kurban dalam al-Quran
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ibadah
kurban identik dengan apa yang dilakukan Nabi Ibrahim
AS setelah mendapatkan mimpi agar menyembelih
putranya, Ismail AS. Namun, jauh sebelumnya aktifitas ini
telah dilakukan oleh dua anak Nabi Adam AS, Qabil dan
Habil, walaupun dalam bentuk kurban yang berbeda.
Bahkan dalam beberapa riwayat yang dapat diterima
kebenarannya menunjukkan keterkaitan antara dua fenomena kurban ini.
Dalam al-Quran, kisah kurban Qabil dan Habil
ini hanya disebutkan secara singkat, yaitu dalam firmanNya surat al-Maidah ayat 27 sampai 31. Hal ini, sebagaimana penjelasan Sayyid Quthb dalam tafsir F Dhill alQurn bahwa tujuan utama kisah-kisah yang terdapat
dalam al-Quran adalah untuk diambil hikmah atau pelajaran yang terdapat di dalamnya, tanpa bertele-tele dengan
panjangnya cerita. Dari pandangannya ini, Sayyid Quthb
menolak untuk memaparkan kisah ini yang dikatakannya
bersumber dari berita-berita israiliyat atau dari Ahli Kitab.
Berbeda dengan mufasir-mufasir sebelumnya
yang kebanyakan meriwayatkan cerita ini, seperti
1 4 3 4

QADHAYA
Fakhrudin al-Razi dan Ibnu Katsir. Bahkan, Ibnu Katsir
menilai salah satu sanad dari riwayat yang menceritakan
kisah ini- riwayat dari Abu Hatim- dengan derajat baik
atau jayyid. Dari sini penulis menyimpulkan kisah ini termasuk boleh untuk diceritakan.
Kisah kurban dua anak Nabi Adam AS ini
berawal dari perintah Nabi Adam AS sendiri kepada
keduanya, Qabil dan Habil, untuk menikah dengan selain
saudara perempuan kembar mereka. Qabil memiliki
saudari kembar yang rupawan, tidak demikian halnya
dengan Habil yang memiliki saudari yang tidak cantik.
Oleh karena itu, Qabil tidak menerima perintah Nabi
Adam AS untuk menikah dengan saudari Habil. Tidak!
Aku lebih berhak untuk menikahi saudari kembarku, ujar
Qabil menolak perintah ayahnya. Setelah itu Nabi Adam
AS menyuruh keduanya untuk berkurban dengan apa yang
dimiliki masing-masing untuk melihat siapa yang diterima
kurbannya oleh Allah SWT. Maka, berkurbanlah Habil
yang notabene seorang penggembala, dengan kambing
yang paling bagus, paling gemuk, dan yang paling dicintainya. Sebaliknya, Qabil merasa berat untuk berkurban
dengan hartanya. Ia yang berprofesi sebagai petani pun
berkurban dengan ala kadarnya, bahkan dalam riwayat lain
disebutkan ia berkurban dengan hasil tani yang paling
buruk. Kemudian Allah SWT menurunkan api yang melahap kurban Habil yang berupa kambing sebagai tanda
diterima, tidak demikian halnya dengan kurban Qabil.
Timbullah sifat hasad dalam diri Qabil. Mufasir berbeda
pendapat berkenaan dengan penyebab timbulnya sifat
hasad ini, apakah karena Qabil iri kurbannya tidak
diterima ataukah karena tidak bisa menikahi kembarannya.
Pendapat pertama yang rajih karena sesuai dengan konteks
ayat. Setelah itu, Qabil berniat untuk membunuh
saudaranya dan niat itupun direalisasikannya.
Kisah di atas adalah cuplikan kisah kurban dua
anak Adam AS dari beberapa riwayat yang terdapat dalam

buku-buku tafsir. Beberapa waktu berselang, peristiwa


kurban kembali terulang. Berawal dari sebuah mimpi yang
dialami oleh khallullah, Ibrahim AS. Mimpi yang sampai
tiga kali terjadi itu berisikan perintah Allah kepadanya
untuk menjadikan anaknya sebagai kurban dengan menyembelihnya. Inilah awal dari kurban yang terjadi dalam
bentuk penyembelihan. Sebagaimana hadis Nabi, Saya
adalah anak dari dua sembelihan... Maksud dari dua sembelihan yaitu ayahnya Nabi SAW, Abdullah bin Abdul
Muthalib dan Ismail AS, walaupun pada akhirnya mereka
tidak jadi disembelih karena mendapatkan tebusan. Abdullah ditebus dengan 100 ekor unta, sedangkan Ismail AS,
karena ketaatannya yang paripurna, ia ditebus oleh Allah
SWT secara langsung dengan digantikan oleh kambing
yang bagus dan gemuk yang dikatakan oleh ibnu Abbas
telah dipelihara di surga. Nah, kambing inilah yang menjadi benang merah dengan cerita kurban sebelumnya.
Sebagaimana riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas
berkata, Itu adalah kambing yang dikurbankan oleh anak
Adam (Habil) yang telah diterima oleh Allah SWT.
Dari dua kisah yang disinggung dalam alQuran berkaitan dengan kurban ini tersimpulkan bagaimana asal-usul peribadatan kurban, sehingga kata yang awalnya hanya bemakna umum sebagai sesuatu yang
digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
tersebut diidentikkan dengan sembelihan. Akan tetapi
yang perlu diperhatikan, tidak semua kisah tentang sembelihan adalah kurban. Hal ini tampak dari apa yang diperintahkan Nabi Musa AS kepada bani Israil untuk menyembelih sapi. Alasannya, karena sembelihan itu tidak
ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,
melainkan sebagai hukuman kepada mereka yang telah
berbuat kejahatan, yaitu pembunuhan. Wallahu alam bi alshawab.

Ketaatan Sambungan dari hlm. 1


yang dikabarkan oleh al-Quran dalam QS. al-Baqarah: 127,
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasardasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami
terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ayat ini
menjelaskan bagaimana Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi
Ismail, mendirikan dan membangun kembali kabah.
Setelah itu Nabi Ibrahim berdiri di atas batu ketika hendak
meninggikan pondasi kabah, sebab Allah SWT
memintanya untuk meninggikan pondasi tersebut setinggi
tangannya. Nabi Ibrahim kemudian menaati perintah Allah
SWT. Namun, beberapa saat setelahnya, Namun Nabi
Ibrahim kembali kepada Allah meminta untuk mengerjakan
semua perintah-Nya dengan kecintaan dan kesempurnaan
Nabi Ibrahim kemudian bertanya kepada dirinya sendiri,
Mengapa tidak kujadikan pondasi ini lebih tinggi dari
tanganku? Ketika itu tidak ada alat untuk meninggikan
pondasi, dan Nabi Ibrahim tidak memiliki pekerja kecuali
anaknya, Nabi Ismail. Nabi Ibrahim lantas mengambil
batu, dan berdiri di atasnya untuk meninggikan kabah.

Oleh karena itu, hingga saat ini, ketika kita berada di


kabah, kita melihat makam Ibrahim terdapat bekas telapak
kaki, yang tidak lain merupakan tanda kebesaran Allah.
Histori lain tentang ketaatan Nabi Ibrahim
kepada Allah, yaitu ketika ia diperintahkan oleh Allah
untuk menyembelih anaknya sendiri. Tanpa ragu Nabi
Ibrahim pun menaati dan mengerjakan apa yang
diperintahkan Allah. Bahkan yang disembelih pun (Nabi
Ismail) tanpa mengelak dan menolak apa yang Allah
perintahkan kepada Nabi Ibrahim terhadapnya. Kisah ini
diabadikan dalam surat al-Shaffat ayat 99-113.
Kisah yang digambarkan oleh al-Quran dalam
surat al-Shaffat di atas, memeberikan kita pelajaran
bagaimana seorang hamba harus tunduk dan mematuhi
segala perintah Allah, serta melaksankannya dengan penuh
kecintaan dan kesempurnaan tanpa rasa ragu dan bertanyatanya sebab dan akibatnya. Sebagaimana Nabi Ibrahim dan
anaknya Nabi Ismail menaati apa yang diperintahkan Allah
tanpa ragu, hal ini karena semua yang Allah takdirkan
adalah baik, karena Dialah Maha Mengetahu segala sesuatu.

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

V I I I ,

D Z U L H I J J A H

1 4 3 4

6 MABHATS

Hikmah di Balik Ibadah Haji


Saeful Luthfy

Seorang hamba

harus tunduk dan


mematuhi segala
perintah Allah,
serta
melaksanakannya
dengan penuh
kecintaan dan
kesempurnaan.

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

Sesungguhnya rumah yang mulamula dibangun untuk (tempat beribadah)


manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah
(Makah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk
bagi semua manusia. Padanya terdapat tandatanda yang nyata, (di antaranya) makam
Ibrahim. Barangsiapa memasukinya
(Baitullah), maka amanlah dia. Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, dan barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya. (QS. Ali
Imran: 96-97)
Ayat di atas menggambarkan
bahwa rumah Allah (tempat ibadah) yang
pertama kali dibangun di atas muka bumi
ini adalah kabah. Dalam tafsir Fathu al
-Qadir karya Imam Syaukani, dijelaskan
bahwa tempat ibadah yang paling mulia
adalah kabah. Selain itu, ayat ini juga
turun sebagai jawaban atas klaim kaum
Yahudi yang menyatakan bahwa Baitu alMaqdis lebih mulia daripada kabah.
Kendati demikian, mucul sebuah pertanyaan, siapakah yang pertama kali membangun kabah? Terdapat beberapa
pendapat. Pendapat pertama mengatakan
malaikat, kedua: Nabi Adam AS, ketiga:
Nabi Ibrahim AS. Dari ketiga pendapat
tersebut, para ulama, termasuk Imam
Syaukani menggabungkan ketiganya.
Pertama kali dibangun oleh malaikat,
kemudian diperbarui oleh Nabi Adam
dan terakhir oleh Nabi Ibrahim. Selain
itu, kabah merupakan tempat yang
penuh dengan keberkahan bagi seluruh
manusia, karena barangsiapa yang memasuki Baitu al-Haram ia akan mendapatkan pahala yang berlipat, ampunan dari
Allah SWT dan ia senantiasa dalam
keadaan aman. Keamanan dalam hal ini
bukan hanya didapatkan oleh manusia,
melainkan juga hewan, sebab dalam
melaksanakan ibadah haji, seseorang
tidak diperbolehkan membunuh hewan.
Di antara tanda-tanda kebesaran Allah di Makah adalah makam
Ibrahim. Menurut Imam Syarawi, dalam
ayat di atas penyebutan kalimat
dan menggunakan kata plural,
kemudian ayat selanjutnya
makam
Ibrahim mengunakan kata tunggal. Hal
ini menunjukkan bahwa makam Ibrahim
adalah salah satu dari tanda kebesaranV I I I ,

D Z U L H I J J A H

1 4 3 4

Nya. Lebih lanjut, Imam Syarawi menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim berdiri di atas batu
untuk meninggikan pondasi kabah, sebab
Allah SWT memintanya untuk meninggikan
pondasi tersebut setinggi tangannya. Nabi
Ibrahim kemudian memenuhi permintaan
ini.
Dari peristiwa ini, sangat jelas
terlihat bahwa Nabi Ibrahim telah menjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT.
Namun, beberapa saat setelahnya, Nabi
Ibrahim kembali kepada Allah dan meminta
untuk mengerjakan semua perintah-Nya
dengan kecintaan dan kesempurnaan. Nabi
Ibrahim kemudian bertanya kepada dirinya
sendiri, Mengapa tidak kujadikan pondasi
ini lebih tinggi dari tanganku? Ketika itu
tidak ada alat untuk meninggikan pondasi,
dan Nabi Ibrahim tidak memiliki pekerja
kecuali anaknya, Nabi Ismail. Nabi Ibrahim
lantas mengambil batu, dan berdiri di
atasnya untuk meninggikan kabah. Oleh
karena itu, hingga saat ini, ketika kita melihat
makam Ibrahim terdapat bekas telapak kaki,
yang tidak lain merupakan tanda kebesaran
Allah. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bagaimana seorang hamba harus tunduk
dan mematuhi segala perintah Allah.
Selain hikmah dari peristiwa unik
tersebut, ayat ini juga menjelaskan perintah
melaksanakan ibadah haji yang merupakan
kewajiban manusia terhadap Allah SWT.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Wahai
manusia, telah diwajibkan atas kalian haji, maka
berhajilah. Barangsiapa yang berhaji dan tidak
berbuat keji serta fasik, ia diampuni dari dosadosanya seakan ia baru dilahirkan dari perut
ibunya. Dalam riwayat lain, Dan haji mabrur
tidak ada baginya pahala kecuali surga. (HR.Ahmad)
Dalam ibadah haji terdapat
banyak sekali hikmah yang bisa didapatkan.
Namun, tentu lebih baik jika dipahami terlebih dahulu tentang definisi haji. Dalam
kitab Al-Imta bi Syarhi Matan Abi
Syuja fi al-Fiqh al-Syafii karya Syekh
Hisam al-Kamil Hamid, haji secara etimologis adalah tujuan (berpergian). Sedangkan
secara terminologis haji adalah berpergian ke
Baitu al-Haram untuk mengerjakan manasik
dengan syarat-syarat tertentu. Menurut Ibnu
al-Imad dalam Kasyfu al-Asrar, hikmah
susunan kata dari
menunjukkan arti (kemurahan) dan
(dosa). Hal ini diibaratkan bahwa
seorang hamba ketika melakukan ibadah haji

MABHATS
berkata: ( Wahai
Tuhanku, aku datang kepada-Mu dengan dosaku, agar
Engkau mengampuniku dengan kemurahan-Mu).
Ibadah haji merupakan ibadah yang mengajarkan manusia untuk berserah diri kepada Allah. Di dalamnya dijelaskan shilah (hubungan) istimewa antara manusia dan Sang Khalik. Hal ini dikarenakan dalam ibadah haji
manusia dari berbagi penjuru bumi rela berdatangan ke
Bait al-Haram untuk memenuhi panggilan dan perintah
Allah SWT. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa
ibadah haji merupakan panggilan Allah terhadap hambaNya, karena banyak dari mereka yang mampu namun
belum berhaji. Lebih ironis lagi, tidak sedikit dari mereka
yang tinggal dekat dengan Makah, dan belum menunaikan
ibadah haji.
Di sisi lain, haji juga bisa diartikan sebagai
larangan. Larangan yang dimaksud adalah segala apa yang
dilarang dalam haji, bahkan sesuatu yang menurut kita
baik, di dalam haji bisa jadi terlarang. Contohnya memakai
parfum. Larangan memakai parfum tersebut tidak berarti
bahwa penggunaan wangi-wangian dilarang dalam Islam,
melainkan adanya hikmah di balik larangan tersebut, yaitu
semua manusia sama di hadapan Allah, kaya ataupun
miskin. Larangan tersebut cukup beralasan, sebab bisa saja
si kaya akan menggunakan parfum mahal agar terlihat
berwibawa dibandingkan si miskin. Oleh karena inilah,
pakaian yang dikenakan ketika pelaksanaan ibadah haji
juga sama, semua berwarna putih. Hal ini tidak lain karena
manusia di hadapan Allah semuanya sama, yang membedakan bukan harta ataupun jabatan, tapi takwa.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. (QS. alHujurat: 13)
Ibadah haji juga merupakan ibadah yang banyak dilipatgandakan atas setiap perbuatan baik yang dilakukan, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini dikarenakan
selain ibadah haji merupakan kewajiban, ibadah haji juga
dilakukan di tempat yang mulia (kabah) dan di waktu yang
mulia (Dzulhijjah) yang merupakan salah satu bulan yang
dimuliakan oleh Allah SWT.
Selain itu, dalam ihram yang merupakan salah
satu rukun haji, kita seakan harus meninggalkan kebiasan
sehari-hari kita dalam berpakaian, karena dalam ihram kita
berpakaian dengan kain sama dan disunahkan putih. Hal
ini menunjukkan semua manusia sama di hadapan Allah.
Adapun warna putih melambangkan sebuah kesucian dan
kebersihan hati. Lebih dari itu, kain ini juga mengingatkan
kita bahwa ketika kita lahir dahulu yang menempel di
badan kita hanya sebuah kain, begitu juga nanti ketika kita
meninggal, hanya sehelai kain putih yang akan menempel
di tubuh kita.
Ibadah haji pada intinya adalah berserah diri.
Hal ini terlihat ketika tawaf (memutari kabah). Tawaf
seseorang tidak akan diterima kecuali setelah ia mencium
atau melambaikan tangan ke arah hajar aswad. Ritual
tersebut mungkin saja terlihat amat remeh dan tidak logis.
Bahkan seseorang mungkin juga akan bertanya-tanya,
mengapa ia harus mencium dan melambaikan tangan ke
B U L E T I N

hajar aswad, sedangkan ia tidak lain hanya sebuah batu


yang sama sekali tidak berfaedah?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh sebuah
riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Ketika itu,
Umar bin Khattab mencium hajar aswad. Saat
melakukannya, Umar berkata,Saya mengetahui kamu adalah
batu yang tidak memberikan manfaat dan bahaya. Kalaulah
bukan karena Rasulullah SAW menciummu, aku tidak akan
menciummu. Di sinilah kemampuan otak manusia terbatas
dalam memahami hal-hal metafisis. Kebesaran dan
hikmah Allah tiada satupun yang mampu menandinginya.
Kita sebagai hamba hanya diminta untuk patuh dan
mengikuti apa yang diperintahkan Allah SWT. Bahkan
menurut Imam Syarawi, inilah salah satu tanda kebesaran
Allah, kita diperintahkan untuk melempari tiga batu
(jumrah), namun hanya disuruh mencium satu batu.
Menurutnya, hal ini merupakan bentuk muntaha al-yaqin
(kenyakinan total) terhadap perintah Allah SWT.
Tanda kebesaran Allah lainnya adalah air Zamzam yang berada di bawah kabah, dan tidak pernah habis
diminum bahkan dibawa oleh jutaan orang dari berbagai
belahan dunia. Keberadaan air Zam-zam ini tidak luput
dari sosok Siti Hajar bersama anaknya Nabi Ismail yang
ditinggal oleh Nabi Ibrahim. Saat itu, Nabi Ibrahim
meninggalkan keduanya karena hendak melaksanakan
perintah Allah. Sesaat sebelum meninggalkan keduanya,
Nabi Ibrahim berujar: Allah tidak akan pernah meninggalkan kita. Namun tak dinyana, mereka kemudian kehabisan bekal, sehingga Siti Hajar pergi menaiki Shafa dan
Marwa hingga tujuh kali untuk mencari air. Ia berharap
bisa melihat burung ataupun orang, karena anaknya sangat
membutuhkan air minum. Akhirnya setelah tujuh kali
berjalan, ia menemukan mata air di bawah kaki anaknya.
Kisah tersebut mengajarkan kita bagaimana manusia
diharuskan berusaha keras dalam mendapatkan sesuatu,
setelah itu bertawakal kepada Allah SWT. Hal ini tidak lain
karena manusia hanya bisa berusaha dan hasilnya Allah
yang menentukan.Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya
usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). (QS. al-Najm: 39
-40)
Rukun haji yang terakhir adalah berdiam di
Arafah. Dalam sebuah riwayat dijelaskan Arafah merupakan tempat pertemuan Nabi Adam dengan Siti Hawa
ketika mereka berdua diturunkan dari surga. Arafah merupakan tempat di mana semua manusia dari berbagai bangsa, suku dan etnis berkumpul dalam suatu gunung dan
mereka semua sama-sama makhluk Allah. Mereka saling
mengenal satu sama lain, tidak ada kelebihan di antara
yang lain, dan yang paling penting, mereka sama-sama
bermunajat kepada Allah SWT.
Pada intinya, ibadah haji bukan hanya sekadar
menjalankan rukun dan kewajiban yang ada. Lebih dari itu,
kita harus belajar untuk lebih banyak mengambil hikmah
dalam setiap apa yang Allah perintahkan. Dalam haji kita
diajarkan sabar, kita diajarkan untuk bertawaduk, berusaha
dan mematuhi apapun perintah Allah SWT. Wallahu alam
bi al-Shawab.
I Q R A , E D I S I

V I I I ,

D Z U L H I J J A H

1 4 3 4

8 NADHRAH

Ibnu Hajar
mengatakan dalam
kitabnya Fath
al-Bari bahwa
sebab yang
menjadikan
sepuluh hari
Dzulhijjah lebih
istimewa adalah
adanya ibadahibadah induk,
yaitu salat, puasa,
sedekah, haji, yang
tidak terdapat
pada hari lain.

B U L E T I N

Sambungan Keutamaan Bulan Dzulhijjah...


sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih
besar keutamaannya dibandingkan sepuluh
hari terakhir Ramadhan. Ini karena
Rasulullah SAW menyebut secara umum
tidak ada satu hari pun di mana pada
waktu ini amalan saleh lebih dicintai Allah.
Sebagian ulama mengkompromikan
keutamaan hari ini dengan mengatakan
bahwa sepuluh malam terakhir di bulan
Ramadhan lebih utama dibandingkan
sepuluh malam terawal Dzulhijjah, karena
pada sepuluh malam terakhir Ramadhan
terdapat Lailatul Qadar. Meski demikian,
sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah
(siangnya) lebih utama daripada siang hari
di sepuluh akhir Ramadhan. Pendapat ini
dipegang oleh Syaikh al-Islam Ibnu
Taimiyyah, Ibnu al-Qayyim, dan beberapa
ulama lainnya. Adapun Ibnu Rajab,
memandang Hadis tentang keutamaan
sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini adalah
nas yang menunjukkan keutamaannya
secara mutlak (umum), yaitu lebih utama
daripada sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya
Fath al-Bari bahwa sebab yang
menjadikan sepuluh hari Dzulhijjah lebih
istimewa adalah adanya ibadah-ibadah
induk, yaitu salat, puasa, sedekah, haji,
yang tidak terdapat pada hari lain.
Oleh karena itu, seyogyanya
kita mengetahui keagungan hari-hari ini
dan merebut faedah darinya. Jangan
sampai kita membiarkan ia berlalu begitu
saja. Dalam Hadis Ibnu Umar RA, Nabi
SAW bersabda, Tidak ada hari yang paling
agung dan amat dicintai Allah untuk beramal di
dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini.
Maka perbanyaklah di dalamnya tahlil, takbir
dan tahmid. Mengetahui Hadis terebut,
miris rasanya jika melihat
kebanyakan manusia
membiarkan sepuluh hari ini
berlalu sia-sia, dan tidak
bersungguh-sungguh
merebut kebaikan yang ada
p a d a n y a , se b a g a i m a n a
mereka mengejar keutamaan
yang ada pada sepuluh malam
terakhir Ramadhan.
Salah satu keistimewaan lain
yang dimiliki bulan
Dzulhijjah adalah puasa
Arafah. Puasa tersebut jatuh
pada tanggal 9 Dzulhijjah,
sehari
sebelum
dilaksanakannya Idul Adha.
Dinamakan Puasa Arafah

I Q R A , E D I S I

V I I I ,

D Z U L H I J J A H

1 4 3 4

karena saat itu jamaah haji sedang wukuf di terik


matahari padang Arafah. Puasa Arafah ini
dianjurkan bagi mereka yang tidak berhaji.
Sedangkan yang berhaji tidak disyariatkan
melakukanya.
Mengenai hari Arafah, diriwayatkan
oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW
bersabda, Di antara hari yang Allah banyak
membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arafah.
Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan
keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah
berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka? Ibnu
Rajab mengatakan dalam kitab Lathaif alMaarif, Hari Arafah adalah hari pembebasan
dari api neraka. Pada hari itu, Allah akan
membebaskan siapa saja yang sedang wukuf di
Arafah dan penduduk negeri kaum muslimin yang
tidak melaksanakan wukuf. Oleh karena itu, hari
setelah hari Arafah yaitu hari Idul Adha- adalah
hari id bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Baik
yang melaksanakan haji dan tidak, sama-sama akan
mendapatkan pembebasan dari api neraka dan
ampunan pada hari Arafah.
Mengenai keutamaan puasa Arafah
sendiri telah disebutkan dalam Hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Qatadah, Nabi SAW
bersabda, Puasa Arafah dapat menghapuskan dosa
setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa
Asyura (sepuluh Muharram) akan menghapuskan dosa
setahun yang lalu. (HR. Muslim). Ini menunjukkan
bahwa Puasa Idul Adha atau puasa Arafah adalah
jalan untuk mendapatkan pengampunan di hari
Arafah. Hanya sehari puasa, bisa mendapatkan
pengampunan dosa untuk dua tahun. Hari Arafah
juga merupakan waktu mustajab doa, sebagaimana
disebutkan dalam Hadis hasan yang diriwayatkan
oleh Turmudzi, Sebaik-baik doa adalah doa pada hari
Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula
diucapkan oleh para nabi sebelumku adalah ucapan Laa
ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku
walahul hamdu wa huwa ala kulli sya-in qadiir (Tidak
ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala
kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala
sesuatu).
Sedangkan amalan lain yang hanya ada
dalam bulan ini adalah haji, salah satu rukun Islam
yang utama. Disebutkan dalam ayat 95-97 surat
Ibrahim mengenai haji, Katakanlah: "Benarlah (apa
yang difirmankan) Allah." Maka ikutilah agama
Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orangorang yang musyrik. Sesungguhnya rumah yang mula-mula
dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah
Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan
menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat
tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim.
Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban

NADHRAH

manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan


perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.
Haji dengan berbagai syarat dan rukunnya
merupakan salah satu amalan yang spesial dari amalan-amalan
lainnya. Ia mengajari anak manusia berbagai macam hal yang
terhimpun dalam satu paket ibadah ini. Mengajarkan akan
tidak berharganya materi yang didapat di dunia di hadapan
haribaan-Nya, dengan menanggalkan segala asesori
kesombongan yang biasa membungkus tubuh dan jiwa dari
masing-masing individu. Merasakan betapa fana dan tidak
berharganya segala hal yang selama ini diagung-agungkan,
tiada beda antara yang kaya maupun miskin. Ia juga mengajari
diri untuk menahan dari segala bentuk larangan dan hal-hal
mubah yang seringkali dilakukan. Misalnya tidak
diperbolehkannya menebang tumbuhan, membunuh hewan,
dan memakai parfum. Haji juga mengajarkan untuk menaati
seluruh perintah-Nya, menahan hawa nafsu untuk dapat
melaksanakan perintah-Nya dengan sempurna. Ibadah haji
merupakan ibadah yang menapaktilasi perjuangan para
pendahulu yang tersirat dalam berbagai urutan amalannya. Sai

misalnya, menggambarkan perjuangan seorang ibu demi


anak yang dikasihinya, sekaligus bentuk dari kepasrahan
pasangan suami istri terhadap ketentuan Allah SWT yang
menjadikannya tinggal di bumi yang tidak ada
penghidupan ataupun harapan. Ya Tuhan Kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di
lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah
Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang
demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah
hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah
mereka rizki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka
bersyukur. Begitu pula Arafah yang menjadi tempat
bertemunya Adam AS dan Siti Hawa setelah berpisah
sekian lama. Setelah memasrahkan diri dan bertakwa
pada-Nya, dengan berbekalkan keyakinan yang tinggi
keduanya akhirnya dipertemukan. Kabah yang menjadi
pusat peribadatan juga mempunyai kisah yang sangat
panjang, bahkan ia adalah tempat ibadah yang pertama
kali dibangun di bumi, mulai dari Adam AS yang
meninggikannya diikuti dengan Ibrahim AS dan anaknya
Ismail AS, juga kebijaksanaan Muhammad SAW dalam
memecahkan masalah untuk meletakkan hajar aswad yang
hampir-hampir membuat perang antar suku meletus.
Setiap sudut dalam pelaksaan ibadah haji mempunyai nilai
sejarah sendiri yang dipenuhi dengan banyak usaha nabinabi Allah.
Kurban yang dilaksanakan dalam bulan ini
juga tidak lepas dari histori yang penting. Perjalanan
histori terjadinya kurban di bulan ini tidak lepas dari
keikhlasan seorang ayah untuk mengorbankan anak
tercintanya kepada Sang Pencipta. Tentu hal tersebut
tidak akan terwujud jika kedua ayah dan anak tersebut
tidak memiliki kecintaan yang tinggi kepada-Nya.
Ditetapkannya kurban sebagai salah satu syariat Islam
B U L E T I N

seakan menjadi pengingat sepanjang masa akan tulusnya


keikhlasan Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS. Maka tatkala
anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku! Sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah
kamu akan mendapatiku dalam golongan orang-orang yang
sabar." Digantikannya Ismail AS dengan domba yang
sehat tepat sebelum terjadinya penyembelihan tentu
bukan pilihan yang sembarangan. Bukan dombanya yang
dilihat, akan tetapi esensi keikhlasan dan kasih sayang si
penggembala dalam merawatnyalah yang perlu dicermati.
Ia memelihara hewan kurban tersebut dari kecil hingga
cukup umur, merawatnya ketika sakit, memilih makanan
terbaik untuk mereka, menjaga dari semua gangguan yang
bisa mencelakakannya dan semua bentuk pengorbanan
yang dilakukan agar hewan-hewan tersebut selamat
sampai berakhir di penjagalan. Memang hal itu dilakukan
untuk mencari nafkah, akan tetapi bukan itu yang kita
sorot saat ini. Sang pembeli pun pastinya memilih hewan
terbaik untuk disembelih di bulan ini, agar menjadi
persembahan terbaik untuk-Nya. Dari sini dapat kita lihat
bahwa umat Islam saling berlomba melakukan yang
terbaik untuk-Nya.
Demikianlah amalan-amalan dan keutamaan
yang terdapat pada bulan Dzulhijjah, pantaslah kiranya
jika bulan Dzulhijjah disebut sebagai bulan yang penuh
keagungan dibandingkan dengan bulan lainnya. Bulan
yang terhimpun di dalamnya berbagai macam amalan
yang istimewa, bersiramkan keberkahan dan dipenuhi
dengan ketaqwaan. Wallahu alam bi al-Shawab.

I Q R A , E D I S I

V I I I ,

D Z U L H I J J A H

1 4 3 4

1 0 UDHAMA

Imam Jailani: Wali Para Aulia

Dede Permana

ata al Jailan merupakan sebuah nama kumpulan perkampungan besar yang ada di Persia
pada waktu itu. Imam Abdul Qadir terlahir
pada salah satu tempat bernama Benq Qasba
pada desa Bushter yang berada di dalam kawasan al Jailan
tersebut, pada tahun 470 H di daerah Bab al-Azajwafat,
Baghdad.
Ayah beliau bernama Musa Janki Dausat bin
Abdullah al-Jaili bin Yahya al-Zahid bin Muhammad bin
Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa al Jun bin Abdullah al-Mahdl bin Hasan al Mutsana bin Hasan al-Mujtaba
bin Ali bin Abi Talib RA. Sedangkan ibu beliau bernama
Fathimah binti Abdullah al-Shumai bin Jamaludin bin
Muhammad bin Mahmud bin Abdullah bin Kamaludin Isa
bin Abu Alaudin Muhammad al-Jawwad bin Ali al-Ridha
bin Musa al-Kadhim bin Jakfar al-Shadiq bin Muhammad al
-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Abu Abdullah Hussein bin Imam Ali RA. Meskipun beliau memiliki hubungan
nasab yang langsung dengan ahlu al-bait, beliau lebih menisbatkan dirinya kepada desa kelahirannya. Karena dalam
bahasa Persia, kata al-Jailan bisa diartikan sebagai isyarat
kepada kata al-Asyraf yang berarti kemuliaan. Istilah ini
merupakan istilah yang dipakai oleh semua orang yang
menisbatkan dirinya kepada ahlu bait, sampai saat ini.
Beliau juga memiliki beberapa julukan yang
akrab ditujukan untuk beliau. Di antaranya adalah al-Baz alAsyhab, Muhyidin, Syaikh al-Islam, Syaikhul Kulli (merujuk
kepada murid beliau yang terdiri dari golongan jin dan
manusia), dan lain sebagainya. Namun beliau lebih sering
disebutkan dalam kasidah karya murid beliau yang menceritakan potret hidupnya dengan julukanBazullah al Asyhab.
Imam Abdul Qadir al-Jailani kecil banyak belajar
dari kakeknya, Abdullah al-Shumai, yang terkenal dengan
kedalaman ilmu agamanya. Ketika ia besar, ibunya menyampaikan pesan untuk pergi menuntut ilmu. Dimulailah masa
yang lebih menantang dalam kehidupan sang Imam. Beliau
menyadari sepenuhnya akan pentingnya menuntut ilmu bagi
seorang Muslim. Beliau kemudian berangkat menuju ulamaulama yang ada di Baghdad, sehingga dikatakan dalam suatu
riwayat, tidak ada pintu yang tersisa dari rumah para ulama
tersebut kecuali telah diketuk (dikunjungi) olehnya. Beliau
banyak mempelajari ilmu Fikih terutama mazhab Hanbali.
beliau juga mempelajari Tafsir, Hadis dan juga Sastra dari
beberapa ulama terkemuka di bidangnya.
Dalam bidang Tasawuf, beliau bertemu pertama
kali dengan Syekh Hammad al-Dabbas, yang melatihnya
pendekatan sufistik secara mendalam, sehingga beliau menjauh dari dunia materi dan beralih ke dalam pelatihan ruh
dan muraqabah (pendekatan). Di masa mudanya beliau
dikenal dengan sifat terpuji, kejujuran dan sopan santun.
Beliau dikenal sangat jujur dalam perkataan dan perbuatannya, dan juga beliau sangat santun kepada para
gurunya. Hal inilah yang memberikan beliau kemudahan
dalam menuntut ilmu kepada para guru dan masyayikh-nya.
B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

V I I I ,

D Z U L H I J J A H

Setelah menimba ilmu dari berbagai sumber,


Imam Abdul Qadir al Jailani kemudian dinobatkan
menjadi seorang kepala pengurus pada sekolah yang
dulu dibangun oleh Syaikh beliau Imam Hammad al
Dabbas pada Bab al-Azaj. Pada awal kepengurusannya
beliau lebih sering memberikan khutbah yang menarik
bagi rakyat umum, sehingga para peminat pelajaran
agama Islam semakin banyak, dan semakin bertambah.
Begitu juga jumlah murid yang berdatangan untuk masuk ke dalam sekolah tersebut, sehingga sekolah tersebut
sudah tidak cukup lagi untuk menampung banyaknya
jumlah murid yang ada. Proses perluasan telah berkalikali dilakukan sebagai solusi untuk mencukupi fasilitas
belajar mengajar bagi seluruh peminat ilmu agama pada
masa kepengurusan beliau. Tidak aneh jika beliau menjadi ulama yang tersohor dengan keilmuannya dan
disukai oleh para pengikutnya. Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa jamaah yang mendengarkan khutbah
dan pelajaran beliau telah mencapai 70.000 orang. Tidak
hanya itu, beliau juga berhasil mengislamkan banyak
orang dari pemeluk agama di luar Islam, dan beliau juga
telah menyadarkan ribuan orang Islam untuk bertaubat
dan kembali ke jalan yang benar.
Beliau menutup mata untuk selamanya pada
Jumat malam Sabtu, 8 Rabi al Akhir 561 H dalam umur
91 tahun. Wafatnya beliau membuat penduduk Baghdad
sangat bersedih atas kehilangan seorang sosok kharismatik tersebut, hingga dalam suatu riwayat diceritakan
bahwa tiada seorang pun dari penduduk negerinya yang
tidak mengantarnya sampai ke liang lahat. Beliau dikebumikan di Bab al-Azaj di bagian selatan kota Baghdad
(saat ini bernama Bab al-Syaikh, dengan menisbatkannya
kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani).
Di antara karamah beliau, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh al-Tadfi, al-Syathnufi, dan al-Yafii
bahwa beliau sudah memiliki ciri khusus dari karamah
yang Allah berikan semenjak beliau lahir. Di antaranya
adalah ketika sudah masuk bulan Ramadhan, Abdul
Qadir al-Jailani kecil tidak mau menyusu kepada ibunya
pada siang harinya. Hal ini dijadikan pertanda bahwa
bulan Ramadhan telah datang, sehingga masyarakat yang
ada di sekitar beliau dapat memperkuat istbat mereka
tentang kapan jatuhnya hari pertama bulan Ramadhan.
Imam Jailani juga banyak meninggalkan
karya yang begitu fenomenal dan berharga bagi umat
Islam. Salah satu karya terpenting adalah tafsir al-Jailani,
al Fawatih al Ilahiyah wa al mafatih al ghaibiyah al muwadlohah lil kalim al Quraniah wa al hikam al furqaniyah.
Selain buku tafsirnya, kita dapat menemukan berbagai
karya lainnya,seperti al Fathu al Rabbany, al Shalawat wa al
awrad, dan berbagai karya lainnya yang sedang ditelusuri
oleh murid dan keturunannya yang meneruskan ajarannya.

1 4 3 4

MARJA

Etika dalam Ibadah Haji

11

Faiq Aziz
Selain bulan Ramadhan, umat Islam memiliki satu bulan lain yang tak kalah
mulianya. Adalah bulan Dzulhijjah, bulan di mana ribuan, dan bahkan jutaan umat Islam
berbondong-bondong pergi ke Tanah Suci, demi memenuhi panggilan Rabb-nya. Mereka
datang untuk menjalakan ibadah haji yang merupakan rukun iman kelima, Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. (QS. Al-Baqarah: 196)
Setiap tahunnya, umat islam yang hendak menyempurnakan agamanya, sibuk
mempersiapkan diri untuk menunaikan ibadah haji. Karena haji hanya wajib ditunaikan
sekali, tidak banyak dari umat islam yang mempelajarinya secara mendalam dan terus menerus. Ulama tentu mengetahui akan hal itu, oleh karenanya mereka berlomba-lomba menulis
sebuah buku tuntunan bagi para penuntut ilmu dan calon jamaah haji.
Adalah Asrar al-Hajji, sebuah karya seorang ulama terkemuka, Abu Hamid alGhazali yang membahas keutamaan dan adab-adab dalam menjalankan ibadah haji.
Abu Hamid al-Ghazali mengklasifikasikan buku ini dalam beberapa bab. Di
pendahuluan buku ini, beliau mengajak kaum Muslimin untuk melengkapi agamanya dengan
berhaji, beliau mengingatkan umat Islam untuk menunaikan ibadah haji sebelum ajal menjemputnya. Selanjutnya ia menjelaskan bab-bab yang terdapat dalam buku ini, ia membagai
bukunya ke dalam, tiga bab besar; pertama, mengenai keutamaan haji, keutamaan kota Mekah
dan Bait al-Atiq (Kabah), jumlah rukun haji dan syarat-syarat wajibnya. Kedua, ia menerangkan
amalan-amalan haji yang zahir secara berurutan, dari permulaan safar hingga perpulangan dari
menunaikan ibadah haji. Ketiga, ia menerangkan adab-adabnya secara terperinci kemudian
amalan-amalan batinnya.
Salah satu bab yang sangat menarik
adalah bab yang menerangkan mengenai adab
dalam berhaji. Abu Hamid al-Ghazali dalam
buku ini menjelaskan dan membagi adab-adab
haji menjadi sepuluh adab. Pertama, agar
nafkah (biaya haji) yang digunakan halal dan
membersihkan hati dari niat berniaga. Ia benar
-benar berniat ikhlas karena Allah SWT semata. Dari sini hati menjadi lebih tenang dikarenakan ia selalu mengingat Allah SWT dan
senantiasa meninggikan syiar-Nya. Sebagaimana Hadis Rasulullah SAW, Kelak di akhir
zaman, manusia yang pergi menunaikan haji, dibagi
menjadi empat kelompok, para sultan yang bertamasya, orang-orang kaya yang sibuk berdagang,
para fakir miskin yang selalu meminta-minta, orang
membaca al-Quran agar senantiasa dipuji (sumah).
Kedua, tidak membantu musuh
Allah dengan membayar bea cukai. Yaitu
mereka orang-orang yang menghalang-halangi
manusia menuju Masjidil Haram. Mereka
adalah para petinggi-petinggi Mekah dan orang
-orang Badui yang senantiasa mengintai manusia di jalan-jalan. Oleh karenanya, menyerahkan harta kepada mereka sama saja dengan
membantu mereka berbuat zalim. Ketiga, memperbanyak bekal dan meningkatkan diri dengan
gemar memberi, berinfak, namun tidak berlebihan dan tidak pula israf, melainkan dengan
cara yang hemat. Yang dimaksud dengan israf
di sini ialah menikmati makanan yang enakenak, bermewah-mewah dalam minuman dan
sebagainya. Keempat, menjauhi perkataan keji,
berbuat fasik, pertengkaran, sebagaimana yang

telah disebutkan dalam al-Quran. Merayu


wanita dan berbincang-bincang mengenai Data Buku:
jimak termasuk kedalam golongan perkataan
keji. Sedangkan fasik adalah tidak taat kepada perintah Allah. Kelima, agar berhaji Judul: Asrar aldengan berjalan jika mampu, karena yang Haj
demikian adalah lebih baik. Ibnu Abbas
Penulis: Abu Haberpesan kepada anak-anaknya ketika maut
hendak menjemputnya, Wahai anak-anakku, mid al-Ghazali
berhajilah kalian dengan berjalan kaki. Karena Penerbit: Syirkah
bagi orang-orang yang berhaji dengan berjalan
kaki, dia akan diberi ganjaran setiap langkahnya Ilanat aldengan tujuh ratus kebaikan dari kebaikan- Syarqiyah
kebaikan ihram.
Tahun: 1992
Keenam, agar tidak menunggangi
sesuatu (kendaraan) kecuali hanya satu tunggangan saja. Ketujuh, berpakaian dengan
pakaian yang usang, kusut lagi berdebu
(tidak bermewah-mewah). Kedelapan, agar
ditemani oleh satu ekor hewan dan jangan
dibebani dengan beban yang tidak ia
sanggupi. Kesembilan, agar gemar berkurban
walaupun ketika itu tidak wajib baginya. Kesepuluh, agar ikhlas dan
meningkatkan diri dengan apa yang telah ia nafkahkan baik itu berbentuk sebuah materi atau hewan kurban, dan berlapang dada terhadap
segala bentuk kerugian yang ia alami.
Ketahuilah seseorang tidak akan mampu berhubungan
dengan Allah, kecuali ia menjauhkan diri dari syahwat, meninggalkan
hal-hal yang nikmat dan hanya berpegang teguh kepada Allah pada
setiap gerakannya. Karya Abu Hamid al-Ghazali yang berjumlah 114
halaman ini, masih menyimpan banyak rahasia dan adab-adab dalam
berhaji, begitu juga dengan bab-bab lain yang belum sempat kita bahas.
Wallahu alam bi al-Shawab

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

V I I I ,

D Z U L H I J J A H

1 4 3 4

1 2 SALAM

Mengamalkan Syariat
Maulidatul Hifdhiyah Malik

uatu ketika, teman saya bertanya: Apa hukum


berjilbab bagi seorang Muslimah?
Saya jawab, Wajib!
Lantas, bagaimana jika Muslimah tersebut me-

nolak?
Katakan padanya, Jilbab itu bagian dari syariat Islam. Jika
ia seorang Muslimah, maka wajib baginya untuk tunduk
pada syariat-syariat yang telah ditetapkan dalam agama
Islam, termasuk kewajiban untuk berjilbab.
Islam dibangun dengan pondasi utama yang
sangat kokoh, al-Quran. Dalam al-Quran, dijelaskan tiga
elemen penting yang berfungsi memperkuat bangunan
tersebut, akidah, syariat dan akhlak. Akidah berperan pada
keimanan, sedangkan syariat dan akhlak berfungsi untuk
memberikan batas-batas pada perbuatan (amaliyah). Ketiga
hal tersebut berkaitan erat satu sama lain, sebab Islam
secara haikiki berarti keimanan yang dibenarkan (diikiti)
oleh perbuatan (al-iman yushaddiquhu al-amal). Ini artinya
beriman saja tidak cukup, karena keimanan tanpa amalan
tidak akan bermakna dan sia-sia.
Atas dasar inilah, Allah memerintahkan hambaNya untuk mengikuti syariat-syariat yang telah ditetapkan.
Hal ini ditegaskan dalam sebuah ayat yang artinya: Dan
Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas
tentang urusan (agama), maka mereka tidak berselisih kecuali
setelah datang ilmu kepada mereka, karena kedengkian (yang ada)
di antara mereka. Sungguh, Tuhanmu akan memberi putusan
kepada mereka pada hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka
perselisihkan. Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad)
mengikuti syariat dari agama itu, maka ikutilah syariat tersebut,
dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak
mengetahui. (QS. al-Jatsiyah: 17-18)
Syariat samawiyah yang diturunkan Allah kepada manusia memiliki empat tujuan pokok. Pertama, agar
manusia mengenal dan mengesakan Allah. Kedua, untuk
menjelaskan tata cara beribadah kepada-Nya. Ketiga,
menganjurkan kepada manusia untuk berbuat kebajikan
dan mencegah kemungkaran (amar maruf-nahi munkar).
Keempat, memberikan batasan dalam perbuatan manusia.
Dari keempat tujuan tersebut, dapat dipahami
bahwa syariat adalah undang-undang yang ditetapkan Allah
untuk umat Islam. Dalam syariat dijelaskan tata cara
bagaimana mereka beribadah, berhubungan dengan sesama, dan sekaligus diberikan batas-batas dalam berbuat.
Hijab

Perintah mengenakan hijab ditegaskan Allah


dalam QS. al-Ahzab: 59, Wahai Nabi! Katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali,
sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Dalam ayat tersebut, dengan jelas dikatakan
bahwa hijab diwajibkan bagi seluruh wanita Muslim.
B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

V I I I ,

D Z U L H I J J A H

Hikmah di balik perintah berjilbab, sesuai dengan ayat di


atas, agar mereka gampang dikenali dan tidak diganggu.
Ironisnya, perintah dengan hikmah agung tersebut, justru direduksi oleh seorang cendekiawan Muslim
bernama Muhammad Said al-Asymawi. Menurutnya, ayat
tersebut diturunkan untuk budak-budak wanita Arab ketika
itu, sehingga ia tidak relevan jika diterapkan di masa kini.
Asymawi mengatakan, pada masa al-Quran diturunkan,
wanita Arab memiliki adat mengenakan baju-baju terbuka,
baik ketika mereka berada di dalam ataupun di luar rumah.
Hal yang sama juga dilakukan oleh budak wanita Arab kala
itu. Hal ini amat berbahaya, mengingat budak-budak wanita
tersebut juga memiliki kebiasaan buang hajat di tanah-tanah
terbuka, sehingga mengundang perhatian laki-laki yang ada di
sekitar tempat tersebut. Atas dasar inilah, ayat tersebut diturunkan.
Berangkat dari asumsi semacam inilah, Asymawi
menyatakan bahwa ayat tersebut tidak bisa diterapkan di
masa kini, karena sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat
tersebut tidak ditemukan sekarang. Selain itu, dalam pandangan Asymawi, ayat ini dikhususkan untuk budak-budak
wanita saja, dan kewajiban mengenakan jilbab bermaksud
untuk memberi identitas khusus yang membedakan mereka
dengan perempuan merdeka.
Pandangan Asymawi tersebut keliru besar.
Bagaimana tidak? Ia menyatakan bahwa pemakaian jilbab
hanya diwajibkan untuk budak yang bermaksud membuang
hajat di luar rumah. Lantas, bagaimanakah dengan perempuan-perempuan merdeka yang bermaksud untuk pergi ke
tempat-tempat umum? Apakah mereka diperintahkan untuk
melepas hijabnya?
Rasulullah bersabda: Ketika seorang perempuan telah
mendapati haidl, maka tidak ada yang boleh diperlihatkan kecuali
wajah dan telapak tangan. Ini artinya, seorang Muslimah,
apabila telah mencapai masa yang dijelaskan Nabi, tidak
diperbolehkan membuka auratnya, dengan alasan dan dalam
keadaan apapun. Selain itu, inti dari perintah berjilbab yang
ditegaskan oleh ayat di atas terletak pada kewajiban untuk
menutup aurat, dan bukan pada sebab yang yang melatarbelakangi perintah tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah
ushuliyyah yang diungkapkan ulama bahwa sebuah perintah
turun karena adanya lafal umum, dan bukan karena sebab
khusus (al-Ibratu bi umum lafdzi la bi khusus al-sabab).
Demikianlah perintah hijab yang dijelaskan alQuran. Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal tulisan ini,
jilbab merupakan bagian dari syariat Islam yang bertumpu
pada al-Quran. Adapun syariat Islam, merupakan aktualisasi
dari keimanan, sehingga keduanya tidak mungkin dipisahkan.
Selain itu, syariat hijab yang ditegaskan Allah
dalam al-Quran berlaku untuk semua Muslimah, dan harus
diamalkan setiap saat. Adapun pandangan yang diutarakan
oleh Asymawi merupakan pendapat yang sangat keliru, dan
tidak sesuai dengan kaidah yang telah disepakati oleh mayoritas ulama. Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki?
(Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang meyakini (agama)nya? (QS. al-Maidah: 50)
1 4 3 4

Anda mungkin juga menyukai