IKPM CABANG
KAIRO
E D I S I
V I I I
D Z U L H I J J A H
NADHRAH
DAFTAR ISI
NADHRAH
KEUTAMAAN BULAN
DZULHIJJAH
TAHNIAH
MEMAKNAI
KEMENANGAN
MABHATS
HIKMAH DI BALIK
IBADAH HAJI
UDHAMA
10
MARJA
11
ASR AR
AL- HAJ
SALAM
12
MENGAMALKAN
SYARIAT
A L - Q U R A N
DZIKRA
S E B A G A I
1 4 3 4
P E D O M A N
Ketaatan
Rusydiana Tsani
Bersambung ke hlm 8
Memaknai Kemenangan
2 TAHNIAH
Kemenangan
hakiki dalam
hari raya
adalah
kemenangan
orang-orang
yang
bertambah
ketakwaannya
I Q R A , E D I S I
V I I I ,
D Z U L H I J J A H
1 4 3 4
FIKRAH
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
V I I I ,
D Z U L H I J J A H
1 4 3 4
4 QADHAYA
I Q R A , E D I S I
V I I I ,
D Z U L H I J J A H
Yang terkait penjagaan, contohnya, (QS. al-Araf: 56)
Sedangkan yang berhubungan dengan qudrah di antaranya,
(QS. Qaf: 16)
Penjelasan di atas adalah makna kurban ditinjau dari aspek bahasa. Adapun makna kurban dalam istilah
syara, adalah sesuatu yang berfungsi untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Dari pengertian ini kurban masih
menunjukkan suatu ibadah yang bersifat umum, yang
mana dengannya seorang hamba mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Oleh karena itu, dalam Hadis atau penjelasan
ulama, tertera bahwa salat ataupun sedekah merupakan
bentuk kurban. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Imam Baihaqi, dan ahli Hadis lainnya
dengan sanad sahih bahwa Nabi SAW bersabda, Dan
salat adalah kurban Akan tetapi, dalam perkembangannya istilah ini mengalami penyempitan makna. Seperti yang
disebutkan oleh Raghib al-Ashfahani bahwa kata kurban
menjadi suatu nama yang dilekatkan pada sembelihan. Dari
sini kata kurban dalam bahasa Arab bersinonim dengan aldzabhah atau al-naskah.
Dalam al-Quran, kata kurban dengan makna
yang terakhir ini tersebutkan beberapa kali. Dalam surat alMaidah ayat 27,
Dalam surat Ali Imran ayat 183,
juga dalam surat al-Ahqaf ayat 28,
Kisah kurban dalam al-Quran
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ibadah
kurban identik dengan apa yang dilakukan Nabi Ibrahim
AS setelah mendapatkan mimpi agar menyembelih
putranya, Ismail AS. Namun, jauh sebelumnya aktifitas ini
telah dilakukan oleh dua anak Nabi Adam AS, Qabil dan
Habil, walaupun dalam bentuk kurban yang berbeda.
Bahkan dalam beberapa riwayat yang dapat diterima
kebenarannya menunjukkan keterkaitan antara dua fenomena kurban ini.
Dalam al-Quran, kisah kurban Qabil dan Habil
ini hanya disebutkan secara singkat, yaitu dalam firmanNya surat al-Maidah ayat 27 sampai 31. Hal ini, sebagaimana penjelasan Sayyid Quthb dalam tafsir F Dhill alQurn bahwa tujuan utama kisah-kisah yang terdapat
dalam al-Quran adalah untuk diambil hikmah atau pelajaran yang terdapat di dalamnya, tanpa bertele-tele dengan
panjangnya cerita. Dari pandangannya ini, Sayyid Quthb
menolak untuk memaparkan kisah ini yang dikatakannya
bersumber dari berita-berita israiliyat atau dari Ahli Kitab.
Berbeda dengan mufasir-mufasir sebelumnya
yang kebanyakan meriwayatkan cerita ini, seperti
1 4 3 4
QADHAYA
Fakhrudin al-Razi dan Ibnu Katsir. Bahkan, Ibnu Katsir
menilai salah satu sanad dari riwayat yang menceritakan
kisah ini- riwayat dari Abu Hatim- dengan derajat baik
atau jayyid. Dari sini penulis menyimpulkan kisah ini termasuk boleh untuk diceritakan.
Kisah kurban dua anak Nabi Adam AS ini
berawal dari perintah Nabi Adam AS sendiri kepada
keduanya, Qabil dan Habil, untuk menikah dengan selain
saudara perempuan kembar mereka. Qabil memiliki
saudari kembar yang rupawan, tidak demikian halnya
dengan Habil yang memiliki saudari yang tidak cantik.
Oleh karena itu, Qabil tidak menerima perintah Nabi
Adam AS untuk menikah dengan saudari Habil. Tidak!
Aku lebih berhak untuk menikahi saudari kembarku, ujar
Qabil menolak perintah ayahnya. Setelah itu Nabi Adam
AS menyuruh keduanya untuk berkurban dengan apa yang
dimiliki masing-masing untuk melihat siapa yang diterima
kurbannya oleh Allah SWT. Maka, berkurbanlah Habil
yang notabene seorang penggembala, dengan kambing
yang paling bagus, paling gemuk, dan yang paling dicintainya. Sebaliknya, Qabil merasa berat untuk berkurban
dengan hartanya. Ia yang berprofesi sebagai petani pun
berkurban dengan ala kadarnya, bahkan dalam riwayat lain
disebutkan ia berkurban dengan hasil tani yang paling
buruk. Kemudian Allah SWT menurunkan api yang melahap kurban Habil yang berupa kambing sebagai tanda
diterima, tidak demikian halnya dengan kurban Qabil.
Timbullah sifat hasad dalam diri Qabil. Mufasir berbeda
pendapat berkenaan dengan penyebab timbulnya sifat
hasad ini, apakah karena Qabil iri kurbannya tidak
diterima ataukah karena tidak bisa menikahi kembarannya.
Pendapat pertama yang rajih karena sesuai dengan konteks
ayat. Setelah itu, Qabil berniat untuk membunuh
saudaranya dan niat itupun direalisasikannya.
Kisah di atas adalah cuplikan kisah kurban dua
anak Adam AS dari beberapa riwayat yang terdapat dalam
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
V I I I ,
D Z U L H I J J A H
1 4 3 4
6 MABHATS
Seorang hamba
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
D Z U L H I J J A H
1 4 3 4
Nya. Lebih lanjut, Imam Syarawi menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim berdiri di atas batu
untuk meninggikan pondasi kabah, sebab
Allah SWT memintanya untuk meninggikan
pondasi tersebut setinggi tangannya. Nabi
Ibrahim kemudian memenuhi permintaan
ini.
Dari peristiwa ini, sangat jelas
terlihat bahwa Nabi Ibrahim telah menjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT.
Namun, beberapa saat setelahnya, Nabi
Ibrahim kembali kepada Allah dan meminta
untuk mengerjakan semua perintah-Nya
dengan kecintaan dan kesempurnaan. Nabi
Ibrahim kemudian bertanya kepada dirinya
sendiri, Mengapa tidak kujadikan pondasi
ini lebih tinggi dari tanganku? Ketika itu
tidak ada alat untuk meninggikan pondasi,
dan Nabi Ibrahim tidak memiliki pekerja
kecuali anaknya, Nabi Ismail. Nabi Ibrahim
lantas mengambil batu, dan berdiri di
atasnya untuk meninggikan kabah. Oleh
karena itu, hingga saat ini, ketika kita melihat
makam Ibrahim terdapat bekas telapak kaki,
yang tidak lain merupakan tanda kebesaran
Allah. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bagaimana seorang hamba harus tunduk
dan mematuhi segala perintah Allah.
Selain hikmah dari peristiwa unik
tersebut, ayat ini juga menjelaskan perintah
melaksanakan ibadah haji yang merupakan
kewajiban manusia terhadap Allah SWT.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Wahai
manusia, telah diwajibkan atas kalian haji, maka
berhajilah. Barangsiapa yang berhaji dan tidak
berbuat keji serta fasik, ia diampuni dari dosadosanya seakan ia baru dilahirkan dari perut
ibunya. Dalam riwayat lain, Dan haji mabrur
tidak ada baginya pahala kecuali surga. (HR.Ahmad)
Dalam ibadah haji terdapat
banyak sekali hikmah yang bisa didapatkan.
Namun, tentu lebih baik jika dipahami terlebih dahulu tentang definisi haji. Dalam
kitab Al-Imta bi Syarhi Matan Abi
Syuja fi al-Fiqh al-Syafii karya Syekh
Hisam al-Kamil Hamid, haji secara etimologis adalah tujuan (berpergian). Sedangkan
secara terminologis haji adalah berpergian ke
Baitu al-Haram untuk mengerjakan manasik
dengan syarat-syarat tertentu. Menurut Ibnu
al-Imad dalam Kasyfu al-Asrar, hikmah
susunan kata dari
menunjukkan arti (kemurahan) dan
(dosa). Hal ini diibaratkan bahwa
seorang hamba ketika melakukan ibadah haji
MABHATS
berkata: ( Wahai
Tuhanku, aku datang kepada-Mu dengan dosaku, agar
Engkau mengampuniku dengan kemurahan-Mu).
Ibadah haji merupakan ibadah yang mengajarkan manusia untuk berserah diri kepada Allah. Di dalamnya dijelaskan shilah (hubungan) istimewa antara manusia dan Sang Khalik. Hal ini dikarenakan dalam ibadah haji
manusia dari berbagi penjuru bumi rela berdatangan ke
Bait al-Haram untuk memenuhi panggilan dan perintah
Allah SWT. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa
ibadah haji merupakan panggilan Allah terhadap hambaNya, karena banyak dari mereka yang mampu namun
belum berhaji. Lebih ironis lagi, tidak sedikit dari mereka
yang tinggal dekat dengan Makah, dan belum menunaikan
ibadah haji.
Di sisi lain, haji juga bisa diartikan sebagai
larangan. Larangan yang dimaksud adalah segala apa yang
dilarang dalam haji, bahkan sesuatu yang menurut kita
baik, di dalam haji bisa jadi terlarang. Contohnya memakai
parfum. Larangan memakai parfum tersebut tidak berarti
bahwa penggunaan wangi-wangian dilarang dalam Islam,
melainkan adanya hikmah di balik larangan tersebut, yaitu
semua manusia sama di hadapan Allah, kaya ataupun
miskin. Larangan tersebut cukup beralasan, sebab bisa saja
si kaya akan menggunakan parfum mahal agar terlihat
berwibawa dibandingkan si miskin. Oleh karena inilah,
pakaian yang dikenakan ketika pelaksanaan ibadah haji
juga sama, semua berwarna putih. Hal ini tidak lain karena
manusia di hadapan Allah semuanya sama, yang membedakan bukan harta ataupun jabatan, tapi takwa.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. (QS. alHujurat: 13)
Ibadah haji juga merupakan ibadah yang banyak dilipatgandakan atas setiap perbuatan baik yang dilakukan, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini dikarenakan
selain ibadah haji merupakan kewajiban, ibadah haji juga
dilakukan di tempat yang mulia (kabah) dan di waktu yang
mulia (Dzulhijjah) yang merupakan salah satu bulan yang
dimuliakan oleh Allah SWT.
Selain itu, dalam ihram yang merupakan salah
satu rukun haji, kita seakan harus meninggalkan kebiasan
sehari-hari kita dalam berpakaian, karena dalam ihram kita
berpakaian dengan kain sama dan disunahkan putih. Hal
ini menunjukkan semua manusia sama di hadapan Allah.
Adapun warna putih melambangkan sebuah kesucian dan
kebersihan hati. Lebih dari itu, kain ini juga mengingatkan
kita bahwa ketika kita lahir dahulu yang menempel di
badan kita hanya sebuah kain, begitu juga nanti ketika kita
meninggal, hanya sehelai kain putih yang akan menempel
di tubuh kita.
Ibadah haji pada intinya adalah berserah diri.
Hal ini terlihat ketika tawaf (memutari kabah). Tawaf
seseorang tidak akan diterima kecuali setelah ia mencium
atau melambaikan tangan ke arah hajar aswad. Ritual
tersebut mungkin saja terlihat amat remeh dan tidak logis.
Bahkan seseorang mungkin juga akan bertanya-tanya,
mengapa ia harus mencium dan melambaikan tangan ke
B U L E T I N
V I I I ,
D Z U L H I J J A H
1 4 3 4
8 NADHRAH
Ibnu Hajar
mengatakan dalam
kitabnya Fath
al-Bari bahwa
sebab yang
menjadikan
sepuluh hari
Dzulhijjah lebih
istimewa adalah
adanya ibadahibadah induk,
yaitu salat, puasa,
sedekah, haji, yang
tidak terdapat
pada hari lain.
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
V I I I ,
D Z U L H I J J A H
1 4 3 4
NADHRAH
I Q R A , E D I S I
V I I I ,
D Z U L H I J J A H
1 4 3 4
1 0 UDHAMA
Dede Permana
ata al Jailan merupakan sebuah nama kumpulan perkampungan besar yang ada di Persia
pada waktu itu. Imam Abdul Qadir terlahir
pada salah satu tempat bernama Benq Qasba
pada desa Bushter yang berada di dalam kawasan al Jailan
tersebut, pada tahun 470 H di daerah Bab al-Azajwafat,
Baghdad.
Ayah beliau bernama Musa Janki Dausat bin
Abdullah al-Jaili bin Yahya al-Zahid bin Muhammad bin
Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa al Jun bin Abdullah al-Mahdl bin Hasan al Mutsana bin Hasan al-Mujtaba
bin Ali bin Abi Talib RA. Sedangkan ibu beliau bernama
Fathimah binti Abdullah al-Shumai bin Jamaludin bin
Muhammad bin Mahmud bin Abdullah bin Kamaludin Isa
bin Abu Alaudin Muhammad al-Jawwad bin Ali al-Ridha
bin Musa al-Kadhim bin Jakfar al-Shadiq bin Muhammad al
-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Abu Abdullah Hussein bin Imam Ali RA. Meskipun beliau memiliki hubungan
nasab yang langsung dengan ahlu al-bait, beliau lebih menisbatkan dirinya kepada desa kelahirannya. Karena dalam
bahasa Persia, kata al-Jailan bisa diartikan sebagai isyarat
kepada kata al-Asyraf yang berarti kemuliaan. Istilah ini
merupakan istilah yang dipakai oleh semua orang yang
menisbatkan dirinya kepada ahlu bait, sampai saat ini.
Beliau juga memiliki beberapa julukan yang
akrab ditujukan untuk beliau. Di antaranya adalah al-Baz alAsyhab, Muhyidin, Syaikh al-Islam, Syaikhul Kulli (merujuk
kepada murid beliau yang terdiri dari golongan jin dan
manusia), dan lain sebagainya. Namun beliau lebih sering
disebutkan dalam kasidah karya murid beliau yang menceritakan potret hidupnya dengan julukanBazullah al Asyhab.
Imam Abdul Qadir al-Jailani kecil banyak belajar
dari kakeknya, Abdullah al-Shumai, yang terkenal dengan
kedalaman ilmu agamanya. Ketika ia besar, ibunya menyampaikan pesan untuk pergi menuntut ilmu. Dimulailah masa
yang lebih menantang dalam kehidupan sang Imam. Beliau
menyadari sepenuhnya akan pentingnya menuntut ilmu bagi
seorang Muslim. Beliau kemudian berangkat menuju ulamaulama yang ada di Baghdad, sehingga dikatakan dalam suatu
riwayat, tidak ada pintu yang tersisa dari rumah para ulama
tersebut kecuali telah diketuk (dikunjungi) olehnya. Beliau
banyak mempelajari ilmu Fikih terutama mazhab Hanbali.
beliau juga mempelajari Tafsir, Hadis dan juga Sastra dari
beberapa ulama terkemuka di bidangnya.
Dalam bidang Tasawuf, beliau bertemu pertama
kali dengan Syekh Hammad al-Dabbas, yang melatihnya
pendekatan sufistik secara mendalam, sehingga beliau menjauh dari dunia materi dan beralih ke dalam pelatihan ruh
dan muraqabah (pendekatan). Di masa mudanya beliau
dikenal dengan sifat terpuji, kejujuran dan sopan santun.
Beliau dikenal sangat jujur dalam perkataan dan perbuatannya, dan juga beliau sangat santun kepada para
gurunya. Hal inilah yang memberikan beliau kemudahan
dalam menuntut ilmu kepada para guru dan masyayikh-nya.
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
V I I I ,
D Z U L H I J J A H
1 4 3 4
MARJA
11
Faiq Aziz
Selain bulan Ramadhan, umat Islam memiliki satu bulan lain yang tak kalah
mulianya. Adalah bulan Dzulhijjah, bulan di mana ribuan, dan bahkan jutaan umat Islam
berbondong-bondong pergi ke Tanah Suci, demi memenuhi panggilan Rabb-nya. Mereka
datang untuk menjalakan ibadah haji yang merupakan rukun iman kelima, Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. (QS. Al-Baqarah: 196)
Setiap tahunnya, umat islam yang hendak menyempurnakan agamanya, sibuk
mempersiapkan diri untuk menunaikan ibadah haji. Karena haji hanya wajib ditunaikan
sekali, tidak banyak dari umat islam yang mempelajarinya secara mendalam dan terus menerus. Ulama tentu mengetahui akan hal itu, oleh karenanya mereka berlomba-lomba menulis
sebuah buku tuntunan bagi para penuntut ilmu dan calon jamaah haji.
Adalah Asrar al-Hajji, sebuah karya seorang ulama terkemuka, Abu Hamid alGhazali yang membahas keutamaan dan adab-adab dalam menjalankan ibadah haji.
Abu Hamid al-Ghazali mengklasifikasikan buku ini dalam beberapa bab. Di
pendahuluan buku ini, beliau mengajak kaum Muslimin untuk melengkapi agamanya dengan
berhaji, beliau mengingatkan umat Islam untuk menunaikan ibadah haji sebelum ajal menjemputnya. Selanjutnya ia menjelaskan bab-bab yang terdapat dalam buku ini, ia membagai
bukunya ke dalam, tiga bab besar; pertama, mengenai keutamaan haji, keutamaan kota Mekah
dan Bait al-Atiq (Kabah), jumlah rukun haji dan syarat-syarat wajibnya. Kedua, ia menerangkan
amalan-amalan haji yang zahir secara berurutan, dari permulaan safar hingga perpulangan dari
menunaikan ibadah haji. Ketiga, ia menerangkan adab-adabnya secara terperinci kemudian
amalan-amalan batinnya.
Salah satu bab yang sangat menarik
adalah bab yang menerangkan mengenai adab
dalam berhaji. Abu Hamid al-Ghazali dalam
buku ini menjelaskan dan membagi adab-adab
haji menjadi sepuluh adab. Pertama, agar
nafkah (biaya haji) yang digunakan halal dan
membersihkan hati dari niat berniaga. Ia benar
-benar berniat ikhlas karena Allah SWT semata. Dari sini hati menjadi lebih tenang dikarenakan ia selalu mengingat Allah SWT dan
senantiasa meninggikan syiar-Nya. Sebagaimana Hadis Rasulullah SAW, Kelak di akhir
zaman, manusia yang pergi menunaikan haji, dibagi
menjadi empat kelompok, para sultan yang bertamasya, orang-orang kaya yang sibuk berdagang,
para fakir miskin yang selalu meminta-minta, orang
membaca al-Quran agar senantiasa dipuji (sumah).
Kedua, tidak membantu musuh
Allah dengan membayar bea cukai. Yaitu
mereka orang-orang yang menghalang-halangi
manusia menuju Masjidil Haram. Mereka
adalah para petinggi-petinggi Mekah dan orang
-orang Badui yang senantiasa mengintai manusia di jalan-jalan. Oleh karenanya, menyerahkan harta kepada mereka sama saja dengan
membantu mereka berbuat zalim. Ketiga, memperbanyak bekal dan meningkatkan diri dengan
gemar memberi, berinfak, namun tidak berlebihan dan tidak pula israf, melainkan dengan
cara yang hemat. Yang dimaksud dengan israf
di sini ialah menikmati makanan yang enakenak, bermewah-mewah dalam minuman dan
sebagainya. Keempat, menjauhi perkataan keji,
berbuat fasik, pertengkaran, sebagaimana yang
B U L E T I N
I Q R A , E D I S I
V I I I ,
D Z U L H I J J A H
1 4 3 4
1 2 SALAM
Mengamalkan Syariat
Maulidatul Hifdhiyah Malik
nolak?
Katakan padanya, Jilbab itu bagian dari syariat Islam. Jika
ia seorang Muslimah, maka wajib baginya untuk tunduk
pada syariat-syariat yang telah ditetapkan dalam agama
Islam, termasuk kewajiban untuk berjilbab.
Islam dibangun dengan pondasi utama yang
sangat kokoh, al-Quran. Dalam al-Quran, dijelaskan tiga
elemen penting yang berfungsi memperkuat bangunan
tersebut, akidah, syariat dan akhlak. Akidah berperan pada
keimanan, sedangkan syariat dan akhlak berfungsi untuk
memberikan batas-batas pada perbuatan (amaliyah). Ketiga
hal tersebut berkaitan erat satu sama lain, sebab Islam
secara haikiki berarti keimanan yang dibenarkan (diikiti)
oleh perbuatan (al-iman yushaddiquhu al-amal). Ini artinya
beriman saja tidak cukup, karena keimanan tanpa amalan
tidak akan bermakna dan sia-sia.
Atas dasar inilah, Allah memerintahkan hambaNya untuk mengikuti syariat-syariat yang telah ditetapkan.
Hal ini ditegaskan dalam sebuah ayat yang artinya: Dan
Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas
tentang urusan (agama), maka mereka tidak berselisih kecuali
setelah datang ilmu kepada mereka, karena kedengkian (yang ada)
di antara mereka. Sungguh, Tuhanmu akan memberi putusan
kepada mereka pada hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka
perselisihkan. Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad)
mengikuti syariat dari agama itu, maka ikutilah syariat tersebut,
dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak
mengetahui. (QS. al-Jatsiyah: 17-18)
Syariat samawiyah yang diturunkan Allah kepada manusia memiliki empat tujuan pokok. Pertama, agar
manusia mengenal dan mengesakan Allah. Kedua, untuk
menjelaskan tata cara beribadah kepada-Nya. Ketiga,
menganjurkan kepada manusia untuk berbuat kebajikan
dan mencegah kemungkaran (amar maruf-nahi munkar).
Keempat, memberikan batasan dalam perbuatan manusia.
Dari keempat tujuan tersebut, dapat dipahami
bahwa syariat adalah undang-undang yang ditetapkan Allah
untuk umat Islam. Dalam syariat dijelaskan tata cara
bagaimana mereka beribadah, berhubungan dengan sesama, dan sekaligus diberikan batas-batas dalam berbuat.
Hijab
I Q R A , E D I S I
V I I I ,
D Z U L H I J J A H