Pembimbing:
dr. Julintari Indriyani, Sp.S
Oleh:
Melissa Mauli Sibarani (030.10.176)
LEMBAR PENGESAHAN
HEMATOMA SUBDURAL KRONIS BERULANG
Case ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti dan menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Periode 5 Januari 7 Februari 2015
Oleh:
1. Nama
NIM
PENDAHULUAN
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk
akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat
dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas
langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang mengalami efusi ke ruang subdural
akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi
tersebut merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit
kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.1
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang
mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan subdural paling
sering terjadi akibat trauma kapitis dengan insidensi sebanyak 75%, dan lebih sering terjadi pada
laki-laki dibandingkan dengan wanita. Adapun penyebab lain di antaranya trauma pada leher
karena guncangan pada badan, pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam
ruangan subdural, gangguan pembekuan darah, keganasan, atau pun perdarahan dari tumor
intracranial. Orang tua lebih rentan mengalami perdarahan dikarenakan pembuluh darah lebih
rapuh.
Hematoma subdural yang terjadi pada lansia menimbulkan kesulitan dalam penegakkan
diagnosis dan terapi. Hematoma subdural akut, di mana gejala klinis muncul dalam waktu
kurang dari 72 jam, biasanya terjadi pada usia muda. Sedangkan hematoma subdural kronis,
biasanya sering terjadi pada usia lanjut dengan insiden tertinggi pada usia 60-70 tahun, di mana
gejala klinis baru muncul lebih dari 20 hari.2 Insiden terjadinya hematoma subdural kronik
diperkirakan 1 dari 100.0000 populasi per tahun dan meningkat menjadi 7 dari 100.000 pada
populasi dengan usia 70-79 tahun.3 Secara signifikan, hematoma subdural kronis adalah
penyebab reversibel dari demensia.4
Angka kejadian hematoma subdural lebih banyak yang sifatnya unilateral (85%)
dibandingkan dengan bilateral. Hematoma subdural bilateral lebih sering terjadi pada bayi akibat
atrofi otak dan shaken baby syndrome.4
LAPORAN KASUS
I.
Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Alamat
Agama
Pekerjaan
Status Pernikahan
Pendidikan Terakhir: Tanggal Datang ke RS
Nomor CM
II.
: Tn. S
: Laki-laki
: 75 tahun
: Jl. Pisangan baru timur No. 11, Matraman.
: Islam
: : Duda
: 6 Januari 2015
: 957860
Anamnesis
(Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan anak pasien di Poli Neurologi pada
hari Selasa, 6 Januari 2015 pukul 12.45)
Keluhan Utama
disuruh pulang, tanpa diperiksa foto kepala. Berselang beberapa minggu setelah itu, pasien
kembali jatuh untuk kedua kalinya di kamar mandi. Tidak jelas bagaimana hal itu bisa terjadi
karena saat itu pasien sendirian dan baru diketahui saat pasien jatuh terduduk di lantai. Tidak
ditemukan adanya jejas/ luka di kepala akibat jatuh yang kedua kali tersebut. Tidak ada keluhan
pada saat itu seperti penurunan kesadaran, muntah, maupun gangguan gerak. Dua bulan
kemudian, yaitu bulan Mei 2014, pasien mulai mengeluhkan nyeri berdenyut pada seluruh
kepala, lemas pada seluruh bagian tubuh, terutama kedua tungkai bawah. Pasien mulai sulit
diajak berkomunikasi (sulit nyambung) dan sering menjawab pertanyaan dengan mengulang
kalimat/kata terakhir dari sipenanya. Pasien kemudian dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan dan
dilakukan foto kepala. Ditemukan adanya gambaran hematoma subdural bilateral di daerah
frontoparietal. Lalu diputuskan untuk dilakukan operasi di rumah sakit tersebut. Keadaan klinis
sesudah operasi membaik, nyeri kepala berkurang, tidak ada mual maupun muntah. Sesudah
operasi hingga saat ini, pasien hanya dibaringkan di tempat tidur dan mobilisasi menggunakan
kursi roda. Pasien sering mengompol dan BAB di tempat tidur, sehingga pasien menggunakan
pampers. Kemudian pada bulan November 2014, pasien mulai mengeluhkan kaki kiri sulit
diluruskan dan lutut kiri terasa kaku.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien diketahui menderita darah tinggi dan penyakit jantung, yang baru diketahui sejak pasien
memeriksakan dirinya pada bulan Mei 2014
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang serupa.
Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan merokok 2 bungkus per hari sejak usia muda (bekerja). Pasien tidak
suka minum kopi dan tidak suka makan-makanan yang berlemak.
III. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan Darah
: 160/90 mmHg
Nadi
: 90 x/menit
Suhu
: 36,3 oC
Pernafasaan
: 18 x/menit
Kepala
Ekspresi wajah
Rambut
: Hitam keputihan
Bentuk
: Normocephali
Mata
Konjungtiva
: anemis (-/-)
Sklera
: ikterik (-/-)
Telinga
Tidak dilakukan
Mulut
Bibir
Leher
Trakhea terletak ditengah
: Simetris
Paru Paru
Pemeriksaan
Inspeksi
Palpasi
Depan
Belakang
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
Perkusi
Auskultasi
napas simetris
napas simetris
Kiri
Kanan
Kiri
- Suara vesikuler
- Suara vesikuler
- Suara vesikuler
- Suara vesikuler
Kanan
Jantung
Inspeksi
Palpasi
: Tidak dilakukan
Perkusi
: Tidak dilakukan
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Tidak dilakukan
Auskultasi
STATUS NEUROLOGIS
A.
B.
C.
D.
Keadaan Umum
: Compos mentis
Gerakan Abnormal
:Leher
: sikap baik, gerak terbatas
Tanda Rangsang Meningeal
Tidak dilakukan
E. Nervus Kranialis
N.I ( Olfaktorius)
Subjektif
Tidak Dilakukan
N. II ( Optikus )
Tajam
penglihatan
(visus
Normal
Normal
Lapang penglihatan
Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
Melihat warna
Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
Isokor, D 3mm
Isokor, D 3mm
bedside)
Ukuran
Fundus Okuli
Tidak dilakukan
Baik ke Baik ke
6 arah
6 arah
Ortofori
Ortofori
Diplopia
N.V (Trigeminus)
Membuka mulut
Menggerakan Rahang
Oftalmikus
Maxillaris
Mandibularis
N. VII ( Fasialis )
Perasaan lidah ( 2/3 anterior )
Tidak Dilakukan
Motorik Oksipitofrontalis
Baik
Baik
Baik
Baik
Paresis
Baik
N.VIII ( Vestibulokoklearis )
Tes pendengaran
Tidak dilakukan
Tes keseimbangan
Tidak dilakukan
9
N. IX,X ( Vagus )
Perasaan Lidah ( 1/3 belakang )
Tidak Dilakukan
Refleks Menelan
Baik
Refleks Muntah
Tidak Dilakukan
N.XI (Assesorius)
Mengangkat bahu
Baik
Menoleh
Baik
N.XII ( Hipoglosus )
Pergerakan Lidah
Baik
Disatria
Tidak
Kiri
Postur Tubuh
Baik
Baik
Atrofi Otot
Eutrofik
Eutrofik
Tonus Otot
Spastik
Normal
Gerak involunter
(-)
(-)
Kekuatan Otot
4433
4444
Ekstremitas Atas
10
Kanan
Kiri
Postur Tubuh
Baik
Baik
Atrofi Otot
Eutrofik
Eutrofik
Tonus Otot
Spastik
Spastik
Gerak involunter
(-)
(-)
Kekuatan Otot
4433
4444
Ekstremitas Bawah
Kanan
Kiri
Refleks Fisiologis
Bisep
Trisep
Patela
Achiles
Pemeriksaan
Kanan
Kiri
Refleks Patologis
Babinski
H.
Gerakan
Chaddok
Involunter:
Oppenheim
Tidak ada
Sensorik
Gordon
(sentuhan )
Klonus
Hoffman Tromer
sulit dinilai
Fungsi
I. Tes
J.
11
Autonom
Miksi
: baik
Defekasi
: baik
Sekresi keringat
: baik
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tes romberg
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar HDL direk dan kadar ureum.
Sedangkan pemeriksaan lain dalam batas normal.
12
Kesan : LVH & Elongatio et atherosclerosis aortae. Pulmo, pleura, sinus, dan
diafragma dalam batas normal
13
14
IV.
Resume
Seorang pasien laki-laki usia 75 tahun datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih untuk
kontrol post operasi kepala atas indikasi hematoma subdural kronis frontoparietal
pada bulan Mei 2014. Keluhan saat ini masih terdapat nyeri kepala dan sulit
berkomunikasi, selain itu terdapat keluhan lemas terutama pada kedua tungkai bawah.
Pasien menjalani operasi kepala di RS Persahabatan karena sakit kepala berkelanjutan
setelah jatuh pada bulan Maret 2014 sebanyak 2 kali yang hanya berselang beberapa
minggu. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesan paresis n. VII dekstra, hemiparesis
dupleks, spastik pada tangan kanan, kaki kanan dan kiri. Pemeriksaan penunjang
berupa CT Scan yang dilakukan sebelum operasi menunjukkan adanya hematoma
subdural bilateral frontoparietal. Saat pasien dianamnesis, pasien sudah kontrol ketiga
kalinya di poli saraf RSUD Budhi Asih. Kontrol pertama dilakukan tanggal 24
Desember 2014 dan diberikan obat anti hipertensi, obat neuro protector, vitamin B,
dan obat penghilang nyeri. Terapi tersebut dilanjutkan pada kontrol kedua pada
tanggal 25 Desember 2014, dan kontrol terakhir pada tanggal 6 Januari 2015, keluhan
nyeri kepala pasien sudah berkurang, sehingga pasien hanya diberikan obat anti
V.
VI.
dektra
Diagnosis topis : Subdural hematoma
Diagnosis etiologi : Trauma Kapitis
Diagnosis patologi : Hemoragik
Penatalaksanaan
Terapi medika mentosa :
VII.
Amlodipin 1 X 10 mg
Piracetam 2 X 1200
Mecobalamine 2 X 500 mg
Natrium diklofenac 25 mg + Diazepam 1 mg 2X1
Prognosis
Ad vitam
Ad fungtionam
Ad sanationam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
15
ANALISA KASUS
Seorang pasien laki-laki berusia 75 tahun datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih setelah
menjalani operasi kepala dengan diagnosis subdural hematoma bilateral. Pasien datang dengan
keluhan nyeri kepala dan sulit berkomunikasi pasca operasi. Selain itu pasien juga merasakan
kelemahan pada kedua tungkai bawah serta kaki sebelah kiri kaku dan sulit diluruskan.
16
Hematoma subdural yang dialami pasien merupakan kasus yang sangat jarang terjadi.
Insidensi terjadinya sebesar 1/ 100.000 kasus per tahun dan meningkat menjadi 7/100.000 kasus
per tahun pada usia di atas 70 tahun. Prevalensi terjadinya lebih banyak pada laki-laki dibanding
pada perempuan terkait dengan resiko trauma.5
Penyebab tersering terjadinya subdural hematoma adalah trauma (75%) dan sisanya
merupakan perdarahan spontan (25%) yang biasanya terkait dengan konsumsi obat-obat
antikoagulan dan antiplatelet.6 Pada kasus ini, penyebab terjadinya subdural hematoma adalah
karena trauma kapitis. Seperti disebutkan sebelumnya, orangtua dengan usia >70 tahun lebih
rentan mengalami hematoma subdural dikarenakan pembuluh darahnya lebih rapuh. Perdarahan
yang terjadi pada hematoma subdural terletak antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan
dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena
otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam
keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa
vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater.7
Pada pasien ini terjadi trauma berulang, yang pertama pasien terjatuh dengan kepala kiri
terbentur aspal, lalu beberapa minggu kemudian, pasien terjatuh kembali di kamar mandi, namun
tidak diketahui dengan jelas kronologisnya. Sehingga subdural hematoma yang terjadi pada
pasien ini kemungkinan besar adalah subdural hematoma berulang.
Mekanisme trauma dapat berupa rudapaksa kepala yang dapat menyebabkan cedera pada
otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan
densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang
tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara
otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater.
Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat
pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti. Mekanisme yang sama terjadi bila ada
rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena
kompresi (penekanan) jaringan, peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas
jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan
jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang
berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi
17
benturan (sisicoup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi
countre coup ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul
kavitasi dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada
setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup, akibat benturan-benturan
otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam
tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis,
frontalis dan oksipitalis.8-9
Pada pasien ini, riwayat trauma kepala pertama yang kemungkinan menjadi penyebab
terjadinya hematoma subdural ini, sehingga kemungkinan hematoma subdural bilateral pun tidak
dapat disingkirkan.
Subdural hematoma yang terjadi pada pasien ini digolongkan ke dalam subdural hematoma
kronik, karena muncul gejalanya lebih dari 14 hari. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa
muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma
yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural
apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Hal tersebut
diakibatkan karena pada penderita usia lanjut, otak telah mengalami atropi. Hal ini menyebabkan
penyusutan massa parenkim otak dan jarak antara otak dan selaput pembungkus otak menjadi
renggang. Sehingga goncangan kecil mampu menyebabkan robekan bridging vein dan terjadi
perdarahan yang berlangsung perlahan.
Timbulnya gejala pada pasien dengan subdural hematoma kronik umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama
merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat
dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi
oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke
dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.10
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya
ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan
MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.11
18
Adapun manifestasi klinis yang muncul pada pasien tergantung letak dari kerusakan bagian
otak tertentu. Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks
serebri biasanya bertanggung jawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera
menentukan jenis kelainan yang terjadi. Adapun gejala yang muncul pada pasien ini di antara
lain: Nyeri kepala, timbul akibat adanya proses desak ruang oleh hematom yang terbentuk.
Lemas pada keempat ekstremitas, terutama kedua tungkai bawah akibat adanya penekanan pada
korteks serebri area motorik yaitu lobus presentralis. Lemas dijumpai pada keempat ekstremitas
sesuai dengan penekanan yang dijumpai baik dari sisi kiri maupun kanan dari hematoma
subdural. Selain itu pada hasil CT Scan juga didapatkan lesi iskemik pada kedua basal ganglia
dan korona radiata kiri. Di mana lesi pada korteks serebri menimbulkan gejala hemiparesis
kontralateral. Seperti pada pasien ini, didapatkan sisi kanan lebih lemah dan lebih spastik. Hal
tersebut menandakan gangguan yang terjadi bersifat lebih kronis dibandingkan sisi yang lain.
Dengan demikian, paresis yang terjadi pada pasien ini adalah hemiparesis dupleks, di mana
kekuatan otot antara kiri dan kanan berbeda dan terjadi dalam waktu yang tidak bersamaan. Di
samping itu, semenjak operasi, pasien memang hanya dibaringkan di tempat tidur, dan mobilisasi
menggunakan kursi roda. Pasien jarang dan malas berlatih sendiri. Hal itu juga yang dapat
menyebabkan sendi pasien ini mulai kaku dan sulit digerakkan. Sedangkan kehilangan
kemampuan berkomunikasi diakibatkan oleh penekanan pada lobus frontalis kiri di mana pada
sisi kiri hemisfer terdapat area broca dan wernicke yang merupakan pusat bicara seseorang.
Dari gambar CT Scan pasien ini pun tampak air fluid level yang lebih dominan di daerah
kiri dibandingkan dengan sisi kanan. Air fluid level menggambarkan adanya perbedaan densitas
pada lesi, yaitu gambaran hiperdens dan hipodens, menunjukkan gambaran hematoma subdural
yang kronis. Gambaran CT Scan pada pasien dengan subdural kronis menggambarkan lesi
hipodens. Namun pada pasien ini terdapat gambaran hipodens dan hiperdens. Hal tersebut bisa
mengindikasikan adanya hematoma subdural yang berulang ataupun dapat pula menunjukkan
ada sebagian hematoma yang sudah diserap/ mengalami reorganisasi.12
Pada perdarahan subdural kronis , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama
kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan
dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi
hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan
19
arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini.
Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater.
Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan
volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari
ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada tumor
serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50
tahun.
Pada pasien ini prognosis terhadap penyakitnya adalah dubia ad bonam dikarenakan
tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik, karena
sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi
parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai
sekitar 50 %.13
Pada pasien ini disarankan untuk dilakukan CT Scan ulang untuk melihat progresivitas
proses absorpsi yang sudah berlangsung. SDH kronis dapat terus berkembang karena terjadinya
perdarahan ulang (rebleeding) dan tekanan osmotik yang lebih tinggi dalam cairan SDH kronis
sebagai akibat dari darah yang lisis, akan menarik cairan ke dalam SDH. Perdarahan ulang
tersebut cenderung tidak akan berhenti karena tingginya kadar fibrinolitik dalam cairan SDH.
Hal-hal ini akan menyebabkan SDH tersebut terus berkembang. Kadang-kadang kompensasi
otak yang atrofi cukup baik sehingga hanya memberikan gejala sakit kepala. Oleh karena itu,
meskipun gejala klinis pasien ini membaik, ataupun nyeri kepala berkurang sesudah operasi,
tidak menutup kemungkinan terjadinya rebleeding SDH atau SDH berulang.14
DAFTAR PUSTAKA
1. Sastrodiningrat, A. G. Memahami Fakta Fakta pada Perdarahan Subdural Akut.
Majalah Kedokteran Nusantara. FK USU: Medan. 2006; 39 (3):297- 306.
2. Traynelis VC. Chronic Subdural Hematoma in the Elderly. Clin Geriatr Med. 1991;7
(3): 583-93
20
3. Chen JCT, Levy ML. Causes, Epidemiology, and Risk Factors of Chronic Subdural
Hematoma. Neuro Surg Clin N Am 2000; 11(3): 399-406.
4. Pary R, Tobias CR, Lipman S. Dementia: What to do. South Med J. 1990; 83 (10):
1182-9
5. Ernestus RI, Beldzinski P, Lanfermann H, Klug N. Chronic Subdural Hematoma:
Surgical Treatment and Outcome in 104 patiens. Surg Neurol 1997; 48(3): 220-5
6. Sambasivan M. An overview of chronic subdural hematoma: Experience with 2300
cases. Surg Neurol 1997; 47(5): 418-22
7. Biros MH, Heegaard WG. Head injury. In: Marx JA, ed. Rosens Emergency
Medicine: Concepts and Clinical Practice. 7th ed. Philadelphia, Pa: Mosby Elsevier;
2009:chap 38.
8. Tom S, Koyfman A, Radwine Z, Krause R, Talavera F.Subdural Hematoma in
Emergency Medicine, Medscape Reference,2011
9. PERDOSSI. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
2005
10. Brain Trauma Foundation, AANS, Joint Section of Neurotrauma and Critical
Care. Guidelines for the management of severe head injury. J
Neurotrauma. Nov 1996;13(11):641-734.[Medline].
11. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J. Surgical management of acute subdural
hematomas. Neurosurgery. Mar 2006;58(3 Suppl):S16-24; discussion Si-iv.
12. Cameron MM. Chronic subdural haematoma: a review of 114 cases. J Neurol
Neurosurg Psychiatry. Sep 1978;41(9):834-9.[Medline]
13. Indonesian Neurological Association. Advanced Neurology Life Support. 2005.
14. Iskandar J. Cedera Kepala: Memahami aspek-aspek penting dalam pengelolaan
penderita. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. 2004
21