Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
30
Abstract. Law in global world should refer to the dinamic reality of its society, and not
ignore unless it would be lostrooted of its society life. Therefore, law can not be separated
from world society life which are continuously changed. In case of corruption criminal act
is not considered anymore merely as a national scale crime in nation. The depelopment of
international community has placed corruption criminal act as a part of international
crime, at the same time also as an transnational organized crime that in fight against it
absolutely needs international cooperation. Each State Party shall adopt, In accordance
with fundamental principle to its domestic law, such legislative and other measures as may
be necessary to established as criminal offences, when committed intentionally; the
conversion or transfer of property is the proceeds of crime. Indonesia has not implemented
this international development into its national criminal law.
Kata Kunci : Tindak Pidana Korupsi, TOC, Implementasi
A. Pendahuluan
Perkembangan kejahatan transnasional dan kejahatan internasional merupakan
karakteristik perkembangan hukum pidana pada abad 21. Perkembangan kejahatan tersebut
telah memberikan dampak luas dan mendasar selain terhadap kehidupan umat manusia,
juga terhadap asas-asas hukum, norma dan lembaga yang berkaitan dengan penerapan
hukum pidana dalam menghadapi kejahatan tersebut.1
Kejahatan lintas batas (TOC) merupakan ancaman bagi keamanan nasional suatu
negara atau suatu kawasan, mengingat kejahatan ini bersifat terorganisasi dan berorientasi
pada kekuasaan dan uang. TOC mengancam negara dalam seluruh dimensinya, dan pada
saat yang sama ancaman TOC terkait erat dengan keamanan individu warga negara. Secara
tidak langsung telah mengancam lima dimensi keamanan (militer, politik, ekonomi, sosial
dan lingkungan) harus dilihat sebagai ancaman terhadap keamanan negara.2
1
John McFarlene, Transnasional Crime as a Security issue dalam C. Hernandes and G.Pattugalan
(eds.), Transnasional Crime and Regional Security in the Asia Pacific, (Manila: ISDS&CSCAP, 1999), h.
34-37.
31
Dengan demikian TOC tidak dapat dipandang hanya sebagai sekedar kejahatan,
melainkan lebih dari itu sebagai bentuk ancaman keamanan negara, kawasan dan global.
Menurut Convention Against Transnational Organized Crime yang disahkan di Palermo
Italia Tahun 2000 (selanjutnya ditulis Konvensi Palermo) kejahatan-kejahatan yang masuk
TOC adalah Money Laundering, Corruption, Smuggling of Migrants by Land, Sea or Air
Crime, Trafficking in Persons, Especially Women and Children and Llicit Manufacturing
of and Trafficking in Firearms, Their Parts and Components and Ammunition Crime. Di
samping itu ada beberapa jenis kejahatan yang termasuk dalam kategori sebagai Serious
Crime, yang juga merupakan bagian dari TOC. Pelaku TOC adalah aktor non-negara,
yakni bisa perorangan, dan bisa juga perusahaan nasional atau multinasional. Modus yang
digunakan untuk melakukan TOC pun semakin canggih dan beragam. Sebagaimana halnya
perusahaan-perusahaan besar, kelompok-kelompok TOC juga melakukan aliansi-aliansi
strategis. Hal ini dilakukan TOC merupakan kelompok yang berorientasi kepada perolehan
laba dan berusaha memperkecil resiko dari tindakan pelanggarannya terhadap penegakan
hukum dan aturan-aturan nasional.
Tindak pidana korupsi bukanlah jenis kejahatan baru. Kongres PBB ke IV
mengenai
The Prevention of
of
Offenders
1980
mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan yang sukar dijangkau oleh hukum (offences
beyond the reach of the law). Kejahatan ini semakin menonjol aspek internasionalnya,
mengingat pelaku maupun hasil kejahatan sering kali melibatkan negara lain (tempat
melarikan diri atau tempat menyimpan hasil korupsi). Itulah sebabnya korupsi dipandang
sangat mengancam masyarakat internasional, baik negara maju apalagi negara-negara
berkembang. Pada tahun 2003 telah disepakati UN Convention Against Corruption 2003
(Konvensi Anti Korupsi 2003), yang menempatkan korupsi sebagai kejahatan
internasional. Korupsi mempunyai dampak serius terhadap masyarakat internasional
khususnya a). mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat (threats to the stability and
security of societies); b). merusak institusi dan nilai-nilai demokrasi (undermining the
institution and values of democracy); c). merusak nilai-nilai etika dan keadilan
(undermining ethical values and justice) dan d). membahayakan pembangunan
berkelanjutan dan kepastian hukum (jeopardizing suistainable development and the rule of
law).
Di era global sekarang, korupsi bisa melibatkan lebih dari satu kepentingan negara,
disamping juga dilakukan secara terorganisasi dengan rapi untuk memperoleh keuntungan
LEGITIMASI, Vol.1 No. 1, Juli-Desember 2011
32
pribadi atau kelompok. Korupsi yang dilakukan secara terorganisasi memudahkan pelarian
aset hasil korupsi, karena akan memperoleh bantuan dari kelompoknya yang mempunyai
komitmen sama terhadap kelancaran praktik korupsi, baik sebagai pembantu kemudahan
proses pelarian, pencucian uang dan sebagainya.
Peter Eigen mengidentifikasi setidaknya ada empat dampak serius dari kejahatan
korupsi, yakni 1) korupsi menyerang secara langsung institusi demokrasi; 2) menyebabkan
kerugian ekonomi yang sangat besar atau berarti; 3) memberikan dampak pada HAM,
utamanya penyangkalan atas hak-hak ekonomi warga dan 4) berpengaruh terhadap
lingkungan dan tradisi kehidupan suatu komunitas.3 Korupsi pada dasarnya mengancam
perdamaian dan keamanan internasional secara langsung atau tidak, sekaligus
menggoyahkan perasaan kemanusiaan. Korupsi memiliki unsur internasional, transnasional
maupun nasional. Unsur transnasional dari korupsi dapat dilihat dari adanya fakta bahwa
korupsi mempunyai dampak lebih dari satu negara, dengan melibatkan warga negara lebih
dari satu negara serta korupsi menggunakan sarana dan prasarana dan metode yang
melewati batas-batas territorial suatu negara. Sedangkan unsur nasional korupsi adalah
merugikan negara baik secara material maupun moral, mengganggu pertumbuhan
ekonomi, berpengaruh pada investasi, dan mengurangi kepercayaan warga pada
pemerintah suatu negara. Kejahatan ini sering kali terkait dengan bentuk kejahatan lain
seperti penyuapan, penggelapan, penyalahgunaan kedudukan, pencucian uang dan
menyembunyikan hasil kejahatan.
Di samping itu, tindak pidana korupsi juga dikategorikan sebagai kejahatan lintas
batas negara (TOC) dan juga sebagai kejahatan internasional. Dalam Konvensi Palermo
2000 disebutkan suatu kejahatan dikatakan bersifat internasional apabila:
1. It is committed in more than one State;
2. It is committed in one State but a substantial part of its preparation, planning, direction
or control takes place in another State;
3. It is committed in one State but involves an organized criminal group that engages in
criminal activities in more than one State; or
4. It is committed in one State but has substantial effect in another State.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa korupsi sebagai fakta sosial telah
mengalami perkembangan secara signifikan, korupsi sudah bukan lagi merupakan masalah
3
Peter Eigen, Corruption in a Globalized World, SAIS Review Vol.XXII No.1 (Winter-Spring),
2002.
33
nasional, namun telah bergeser menjadi kejahatan TOC dan kejahatan internasional.
Sehubungan dengan itu, maka permasalahan yang akan dibahas adalah pertama apakah
perkembangan Hukum Pidana Internasional tentang tindak pidana korupsi sudah
diimplementasikan ke dalam peraturan hukum pidana Indonesia? Kedua, bagaimana
kesiapan peraturan hukum pidana Indonesia dalam mengantifikasi kecenderungan
internasional tentang tindak pidana korupsi?
B. Kejahatan Internasional dan Kejahatan Transnasional Terorganisasi
Dilihat dari perkembangan dan asal-usul kejahatan internasional, maka kejahatan
internasional dapat dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu: (1) kejahatan internasional
yang berasal dari kebiasaan yang berkembang dalam praktik hukum internasional, (2)
kejahatan internasional yang berasal dari konvensi-konvensi internasional, dan (3)
kejahatan internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai HAM.
Ketiga kategori tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa kejahatan internasional
sebenarnya dapat dikategorikan ke dalam dua hal. Pertama, kejahatan internasional yang
bersifat ordinary (kejahatan penerbangan, kejahatan narkotika, kejahatan TOC dan
sebagainya), yang penegakannya dilakukan oleh pengadilan nasional dengan berdasar
hukum nasional masing-masing negara. Kedua, kejahatan internasional yang bersifat extra
ordinary, yaitu kejahatan internasional yang bersumber dari konvensi-konvensi tentang
HAM, penegakannya melibatkan pengadilan nasional dan juga pengadilan internasional
(ICC).
Pada prinsipnya setiap Konvensi Internasional yang mengatur tentang kejahatan
internasional berisikan hal-hal sebagai berikut:
1. Merumuskan perbuatan-perbuatan yang dilarang secara internasional dalam Konvensi;
2. Mewajibkan setiap negara peserta untuk mengancam pidana terhadap perbuatan yang
dilarang tersebut;
3. Mengatur batas-batas yurisdiksi negara dalam kaitannya dengan kejahatan yang
dilarang dalam Konvensi;
4. Mewajibkan setiap negara untuk melakukan kerjasama baik dalam bidang ekstradisi
maupun mutual in criminal legal matters.
Dalam kajian hukum pidana internasional, dibedakan antara kejahatan internasional
dengan kejahatan transnasional. Dilihat dari istilah yang digunakan yaitu transnasional
34
crime dan internasional crime, maka keduanya mempunyai ruang lingkup yang berbeda.
Lingkup kejahatan internasional lebih luas dibandingkan dengan kejahatan transnasional.
Kejahatan internasional mempunyai beberapa ciri sebagai berikut :
1. Pelaku tidak harus melibatkan beberapa kewarganegaraan dari beberapa negara
2. Locus delicti tidak harus dilakukan di luar wilayah dari suatu negara yang dirugikan
3. Akibat tindak pidananya tidak harus merugikan negara lain
4. Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan/kejahatan yang dilarang dalam:
a. Hukum kebiasaan internasional
b. Perjanjian internasional baik yang mengatur secara khusus tentang kejahatan
internasional
c. Konvensi lain yang tidak secara khusus mengatur tentang kejahatan internasional
(Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengatur pembajakan di laut lepas)
5. Perbuatan yang dilakukan dapat pula dianggap sebagai de jure delict gentium, sehingga
setiap negara dapat menerapkan asas universal
6. Penegakan yurisdiksi criminal dari suatu negara mempergunakan sarana kerjasama
internasional/tidak harus menggunakan kerjasama internasional
7. Kejahatan ini merupakan kejahatan internasional, karena perbuatan yang dilakukan
tercantum dan dilarang dalam konvensi internasional
8. Kejahatan yang dianggap oleh masyarakat internasional sebagai perbuatan yang dapat
mengancam perdamaian dan keamanan dunia
9. Pengadilan yang mengadili adalah pengadilan nasional atau pengadilan internasional
khususnya untuk kejahatan HAM.
Dari karakteristik mengenai kejahatan internasional tersebut di atas, dapatlah
dikemukakan adanya tiga unsur utama berkaitan dengan hubungan antara kejahatan
internasional dengan hukum pidana nasional atau hubungan antara hukum internasional
dengan hukum nasional. Adapun unsur tersebut adalah:
1. Adanya kewajiban negara untuk mengiplementasikan hukum internasional ke dalam
hukum nasional atau melakukan kriminalisasi kejahatan internasional dalam hukum
pidana nasional;
2. Adanya kewajiban setiap warga negara untuk melakukan kerjasama dalam
pemberantasan kejahatan internasional;
3. Penegakan kejahatan internasional dapat dilakukan melalui pengadilan nasional
maupun melalui pengadilan internasional.
35
tanggal
17
Mei
2002,
telah
diterima
program
kerjasama
untuk
Arief Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Jakrta: Citra Aditya Bakti, 2003), h.182.
36
37
pidananya merugikan warganegara lain atau beberapa negara, (4) perbuatan yang
dilakukan di atur dalam konvensi internasional tentang kejahatan internasional, (5) dalam
penegakan yurisdiksi kriminalnya diperlukan kerjasama internasional atau regional, seperti
ekstadisi atau mutual legal assistance, good neighbouring police atau Interpol, dan (6)
yang mengadili adalah pengadilan nasional.
C. Implementasi Standar Internasional tentang Tindak Pidana Korupsi dalam
Hukum Pidana Indonesia
Sedikitnya ada dua standar internasional dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi, yakni Konvensi Anti Korupsi 2003 dan Konvensi Palermo 2000. Ada
perkembangan tindak pidana baru dalam kejahatan korupsi sebagai bentuk kejahatan
internasional. Konvensi Anti Korupsi 2003 memasukkan jenis perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan dikualifikasikan sebagai kejahatan korupsi, antara lain sebagai berikut:
1. Penanggulangan korupsi dilakukan secara komprehensif antara upaya penal dan non
penal (Pasal 5 s/d 12). Upaya non penal ini menekankan pada tindakan preventif atau
pencegahan yang menekankan pada unsur pengawasan. Pengaturan tindakan
pencegahan terhadap kejahatan korupsi secara internasional dilakukan dengan
melibatkan partisipasi masyarakat, memperbaiki manejemen dalam sektor publik dan
privat, transparansi dan pertanggungjawaban. Selain itu dibentuk pula Lembaga Anti
Korupsi yang dibentuk sebagai bagian dari suatu institusi yang independen dan
terbebas dari pengaruh kekuasaan.
2. Pencegahan terhadap money laundering
a.
38
1) The promise, offering or giving to a public official or any other person, directly
or indirectly of an undue advantage in order that the public official or the
person abuse his or her real or supposed influence with a view to obtaining
from an administration or public authority of the State party and undue
adventage for the original instigator or for any other person;
2) The solicitation or acceptance by public official or any other person, directly or
indirectly, of an undue adventage for himself or herself for another person in
order that the public official or the person abuse his or her real supposed
influence with a view to obtaining from an administration or public authority of
State party an undue anventage
Selanjutnya pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana Emblezzement
(penggelapan) dalam Konvensi Korupsi 2003 ini mencakup beberapa perbuatan yang
terkait dengan ketentuan di atas adalah
1) Abuse of Functions (Pasal 19), Abuse of Functions merupakan perbuatan
berupa penyalahgunaan fungsi dan kedudukan untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan sesuatu yang merusak aturan, yang dilakukan oleh pejabat publik
dengan memberhentikan fungsinya untuk tujuan memperoleh keuntungan yang
tidak pantas untuk dirinya sendiri atau orang lain atau kelompoknya.
2) Llicit Enrichment (Pasal 20), Llicit Enrichment adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja berupa peningkatan secara drastis dalam aset seorang
pejabat publik dan ia tidak mampu memberikan alasan dalam hubungannya
dengan pendapatan yang sah.
3) Bribery in The Private Sector (Pasal 21), Bribery in The Private Sector
merupakan penambahan kejahatan baru dalam korupsi yaitu Private Sector
Corruption (korupsi di sector privat), padahal selama ini tindak pidana korupsi
dilakukan hanya di sektor publik. Penyuapan di sektor privat ini dilakukan
terhadap seseorang yang bekerja dalam suatu kapasitas baik untuk kepentingan
lembaga privat tersebut, atau untuk diri sendiri atau orang lain, dengan maksud
agar dia berbuat atau tidak berbuat yang melanggar kewajibannya.
Sebagaimana hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 21 Konvensi Korupsi 2003
yang berbunyi Each State Party shall legislative and other measures as may
39
40
the use physicial force, threats or intimidation or the promise, offering or giving of
an undue adventage to induce false testimony or to interfere in the giving of
testimony or the production of evidence in a proceeding in relation to the
commission of offences covered by this convention;
b.
the use of fhysical force, threats on intimidation to interfere with the exercise of
official duties by a justice or law enforcement official in relation to the commission
of offences covered by convention. Nothing in this subparagraph shall prejudice the
right of State Parties to have legislation that protect other categories of public
official.
Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka Obstruction of justice tidak hanya
dilakukan dengan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan saja, melainkan melalui
janji pemberian sesuatu, dengan maksud untuk adanya kesaksian palsu ataupun
menghalangi penyediaan proses penyidikan. Konvensi Palermo 2000 mengatur bahwa
korupsi merupakan salah satu prioritas utama pemberantasan kejahatan transnasional
terorganisasi di samping money laundering. Pengaturan masalah korupsi ini ditegaskan
dalam Pasal 8 Konvensi Palermo 2000 sebagai berikut:
1. Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to
established as criminal offences, when community intentionally:
(a) Promise, offering or giving to a public official, directly or indirectly, of an undue
advantage, for the official himself or herself or another persons or entitybin order
that official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties;
41
tindak
pidana
korupsi
dalam
Konvensi
Palermo
2000,
menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang tidak saja
menimbulkan dampak secara nasional, tetapi berdampak transnasional. Selama ini korupsi
diidetifikasikan sebagai kejahatan asal (predicate crime) yang berkaitan erat dengan money
laundering. Disamping itu paragraph 2 menekankan bahwa negara wajib melakukan
kriminalisasi terhadap kejahatan korupsi yang berkaitan dengan pejabat publik asing atau
pejabat sipil internasional. Ketentuan ini merupakan ketentuan baru dalam pengaturan
tindak pidana korupsi. Aspek internasional/transnasional dari tindak pidana korupsi
sebagai TOC bisa dilihat dari berbagai pasal dalam Konvensi Palermo yang menegaskan
pentingnya kerjasama internasional untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi. Ini diatur secara rinci dalam Pasal 13 tentang kerjasama untuk penyitaan, Pasal 16
tentang ekstradisi, Pasal 17 tentang transfer of sentences persons, Pasal 18 tentang mutual
legal assistance, Pasal 19 tentang join investigations, Pasal 20 tentang Special investigative
Techniques, Pasal 21 tentang transfer of criminal Proceedings, dan Pasal 26 tentang
Measures to enhance cooperation with law enforcement authorities, sebagaimana juga
berlaku untuk tindak pidana money laundering. Demikian pula berlaku pengaturan
perlindungan saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan 25 Konvensi Palermo yang juga
berlaku untuk tindak pidana money laundering.
Kerjasama
internasional
merupakan
salah
satu
unsur
adanya
kejahatan
42
hasil korupsi yang disimpan di negara lain.5 Adapun pengaturan di bidang kerjasama
internasional sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Korupsi 2003 adalah sebagai
berikut:
1. Ektradisi terhadap pelaku kejahatan korupsi yang melarikan diri ke negara lain.
Pengaturan ektradisi ini tercantum dalam Pasal 44 (1) sebagai berikut: This article
apple to the offence established in accordance eith this Convention where the person
who is the subject of the request for extradition is present in the territory of the
requsted State Party provided that the offences for which extradition is sought is
punishable under the domestic law of both the requsting State Party and the requested
State Party.
Pencantuman Pasal 44 tersebut di atas, disamping memuat perumusan tentang
pengertian ekstradisi, juga merupakan sumber hukum dari pelaksanaan ekstradisi antar
negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut, khususnya bagi negara yang tidak
melakukan kerjasama bilateral dalam bidang ekstradisi. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa setiap negara yang telah meratifikasi Konvensi maka secara
yuridis terikat pada ketentuan dalam Konvensi tersebut, khususnya dalam hal
ekstradisi. Berkaitan dengan ekstradisi maka Konvensi ini mengatur pula tentang
Transfer of sentence person (pasal 45), ketentuan ini biasanya tercantum dalam
perjanjian bilateral di bidang ekstradisi. Lebih lanjut dalam bidang kerjasama
internasional di samping melalui ekstradisi, maka mencakup pula kerjasama di bidang
pengumpulan barang-barang bukti yang diperlukan berkaitan dengan penyidikan,
penuntutan dan proses peradilan terhadap tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah
suatu negara, kerjasama internasional ini berupa Mutual Legal Assistance.
2. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi merupakan hal yang sangat fundamental bagi efektifitas pemberantasan
korupsi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51. Pengembalian asset hasil korupsi
sebagai suatu prinsip fundamental dari Konvensi ini, karena penegakan hukum bagi
pelaku tindak pidana korupsi memang tidak cukup dengan hanya mengadili sipelaku
saja, namun lebih dari itu adanya pengembalian terhadap kekayaan negara yang di
simpan di negara lain. Mengingat selama ini terdapat persoalan yang selalu saja muncul
berkaitan dengan pengembalian aset korupsi di negara lain. Pengembalian aset korupsi
5
43
dilakukan melalui tindakan penyitaan dan selanjutnya akan diserahkan pada negara
peminta, sedangkan hasil korupsi yang diperoleh dari sumber lain akan dikembalikan
pada pihak yang dirugikan, dengan membuktikan terhadap harta kepemilikan tersebut.
Pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak mengadopsi Konvensi Anti
Korupsi
Palermo
2000 sebagai
standar internasional
44
privat belum diatur). Sesuai dengan Konvensi Anti Korupsi 2003, maka bentuk kerjasama
internasional meliputi ektradisi, legal mutual assistance dan pengembalian aset negara
akibat korupsi. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi samasekali tidak mencantumkan kerjasama internasional tersebut, berbeda dengan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang yang telah mencantumkan kerjasama Mutual lagal assistance dalam masalah Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Sehubungan dengan masalah kerjasama, ada perkembangan baru dalam rangka
memberantas tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 37 ayat 2 Konvensi Anti Korupsi
2003 (cooperation with law enforcement authorities), yang sebenarnya merupakan sendi
dasar pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun tidak diatur oleh pembuat UndangUndang No. 20 Tahun 2001. Cooperation with law enforcement authorities menyangkut
kerjasama antar penegak hukum dengan pelaku tindak pidana korupsi yang saling
bekerjasama dalam membongkar kasus korupsi. Menurut Pasal 37 ayat 5 pelaku yang mau
bekerjasama mengungkap tindak pidana korupsi tidak dituntut, atau kalau dituntut dan di
hukum, maka harus seringan-ringannya. Ketentuan semacam ini penting, mengingat tindak
pidana korupsi sedemikian meluas mengganggu sendi-sendi pembangunan, ekonomi,
keamanan dan HAM. Oleh karena itu, bantuan dari pelaku dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi dirasa perlu diwujudkan. Kalau saja ketentuan ini diadopsi dalam UndangUndang No. 20 Tahun 2001, maka akan ada terobosan besar dan mendasar dalam undangundang nasional tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah merupakan
pelanggaran hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia yang sedemikian memuncak,
Nilai kuantitatif kerugian negara termasuk kesengsaraan rakyat melampaui batas toleransi,
baik dilihat dari sisi moral, etika, kesusilaan dan hukum. Secara kualitatif korupsi
menimbulkan kerugian immaterial berupa bobroknya moral sebagian penyelenggara
negara, termasuk aparatur penegak hukum yang jika dibiarkan akan menghasilkan generasi
peminpin yang tidak akan perduli lagi dengan kepentingan rakyat banyak.6
D. Penutup
Pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia belum mengimplementasikan
standar internasional, baik Konvensi Anti Korupsi 2003 atau Konvensi Palermo 2000.
6
Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, (Jakarta:
BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 2002), h. 5.
45
Pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia masih berorientasi pada tindak pidana
korupsi sebagai tindak pidana dalam skala nasional. Salah satu indikator utamanya adalah
belum diatur masalah kerjasama antar negara dengan berbagai bentuknya. Pemberantasan
tindak pidana korupsi hanya terdapat dalam perundang-undangan tentang tindak pidana
korupsi di Indonesia.
Perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi di Indonesia belum siap untuk
mengantisipasi perkembangan tindak pidana korupsi dewasa ini, baik sebagai kejahatan
internasional maupun transnasional-TOC, yang menggunakan sarana dan prasana maupun
metode canggih yang melintasi batas-batas negara. Kejahatan tersebut seperti mentransfer
hasil tindak pidana korupsi ke luar negeri yang dilakukan secara sistematis, mengalihkan
aset korupsi ke negara lain yang kemudian di cuci melalui proses Money Laundering
menjadi modal atau harta yang sekan-akan bersih atau halal, atau pelakunya melarikan diri
ke luar negeri dan mengubah semua identitas pribadinya termasuk kebangsaannya.
Oleh karena itu, suatu hal mendesak dilakukan amandemen terhadap UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni untuk
ditambahkan aturan-aturan yang berorientasi pada tindak pidana korupsi sebagai TOC
maupaun sebagai kejahatan internasional. Upaya tersebut dilakukan dengan memasukkan
aturan tentang kerjasama internasional, penanggalan kekebalan diplomasi bagi pejabat
diplomatik yang melakukan tindak pidana korupsi, pengembalian aset negara hasil korupsi,
juga aset pihak ketiga, dan kerjasama dengan tersangka dalam mengungkap tindak pidana
korupsi.
46
DAPTAR KEPUSTAKAAN
Arief, Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Atmasasmita, Romli. Korupsi Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia.
Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 2002.
Atmasasmita, Romli. Pengaruh Konvensi Internasional terhadap Perkembangan AsasAsas Hukum Pidana Nasional, makalah dalam Forum Dialog Hukum dan Non
Hukum, 7 September, 2004,
Bassiouni, M Cherif. International Criminal Law. Vol. I. Crimes, New York:
Transnational Publishers, 1986.
Eigen, Peter. Corruption in Globalized World. SAIS Review Vol XXII No.1. WinterSpring, 2002.
Mc. Farlene, John. Transnational Crime as a Security Issue dalam C. Hernandez and
G.Patuggalan (eds.). Transnational Crime and Reginal Security in the Asia Pacific.
Manila: ISDS&CSCAP, 1999.