Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Meningitis tergolong penyakit serius dan bisa mengakibatkan kematian.


Penderita meningitis yang bertahan hidup akan menderita kerusakan otak
sehingga lumpuh, tuli, epilepsi, retardasi mental.
Penyakit meningitis dan pneumonia telah membunuh jutaan balita di
seluruh dunia. Data WHO menunjukkan bahwa dari sekitar 1,8 juta kematian
anak balita di seluruh dunia setiap tahun, lebih dari 700.000 kematian anak terjadi
di negara kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat.
Ada tiga bakteri penyebab meningitis, yaitu Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae tipe b, dan Niesseria meningitides. Dari ketiga bakteri
itu, Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) adalah bakteri yang paling sering
menyerang bayi di bawah usia 2 tahun. Masa inkubasi (waktu yang diperlukan
untuk menimbulkan gejala penyakit) kuman tersebut sangat pendek yakni sekitar
24 jam. Bakteri pneumokokus adalah salah satu penyebab meningitis terparah.
Penelitian yang diungkapkan konsultan penyakit menular dari Leicester Royal
Infirmary, Inggris, Dr Martin Wiselka, menunjukkan bahwa 20-30 persen pasien
meninggal dunia akibat penyakit tersebut, hanya dalam waktu 48 jam. Angka
kematian terbanyak pada bayi dan orang lanjut usia. Pasien yang terlanjur koma
ketika dibawa ke rumah sakit, sulit untuk bisa bertahan hidup. Infeksi
pneumokokus lebih sering terjadi pada anak dibanding orang dewasa karena
tubuh anak belum bisa memproduksi antibodi yang dapat melawan bakteri
tersebut.
Sebanyak 50 persen pasien meningitis yang berhasil sembuh biasanya
menderita kerusakan otak permanen yang berdampak pada kehilangan
pendengaran, kelumpuhan, atau keterbelakangan mental. Komplikasi penyakit
tersebut akan timbul secara perlahan dan semakin parah setelah beberapa bulan.

1.2

TUJUAN

1. TUJUAN UMUM
Tujuan umum penulis dalam menyusun makalah ini adalah untuk
mendukung kegiatan belajar-mengajar jurusan keperawatan khususnya pada mata
kuliah keperawatan Neurobehavior II tentang asuhan keperawatan klien dengan
infeksi dan inflamasi system saraf pusat.
2. TUJUAN KHUSUS
Tujuan khusus penulis dalam menyusun makalah ini agar mahasiswa
mengetahui bagaimana asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan
inflamasi system saraf pusat: Meningitis, mengetahui penyebab, tanda dan
gejala, komplikasi yang mungkin terjadi, serta penatalaksanaan dari klien yang
mengalami meningitis.
1.3

RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dari meningitis.


2. Bagaimana penyebab terjadinya meningitis.
3. Bagaimana patofisiologi meningitis.
4. Apa saja tanda dan gejala dari meningitis.
5. Bagaimana penatalaksanaan medis untuk klien meningitis.
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien yang mengalami meningitis.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

KONSEP DASAR PENYAKIT

A. DESKRIPSI
anatomi meningen menyelimuti otak dan medulla spinalis. Selaput otak
terdiri atas tiga lapisan dari luar kedalam yaitu duramater, arakhnoid, dan
piamater. Duramater terdiri dari lapisan yang berfungsi kecuali di dalam tulang
tengkorak, dimana lapisan terluarnya melekat pada tulang dan terdapat sinus
venosus.
Falks serebri adalah lapisan vertikel dura meter yang memisahkan kedua
hemisfer serebri pada garis tengah. Tentorium serebri adalah ruang horizontal dari
dura meter yang memisahkan lobus oksipitalis dari serebellum. Arakhnoid
merupakan membrane lembut yang bersatu di tempatnya dengan pia meter,
diantaranya terdapat ruang subarachnoid dimana terdapat arteri dan vena serebri
dan dipenuhi oleh cairan serebrospinal. Sisterna magna adalah bagian terbesar
dari ruang subarachnoid di sebelah belakang otak belakang, memenuhi celah di
antara serebellum dan medulla oblongata.
Pia meter merupakan membrane halus yang kaya akan pembuluh darah
kecil yang menyuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Pia meter adalah
lapisan yang langsung melekat dengan permukaan otak dan seluruh medulla
spinalis.
Secara singkat pengertian dari meningitis adalah radang pada
meningen/membrane (selaput) yang mengelilingi otak dan medulla spinalis.

B. ETIOLOGI
Penyebab-penyebab dari meningitis meliputi:
1. Bakteri piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus, terutama
meningokokus, pneumokokus, dan hasil influenza.

2. Virus yang disebabkan oleh agen-agen virus yang sangat bervariasi.


3. Organisme jamur.

C. KLASIFIKASI
Meningitis diklasifikasikan sesuai dengan factor penyebabnya:
1. Asepsis
Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau
menyebabkan iritasi meningen yang di sebabkan oleh abses otak, ensefalitis,
limfoma, leukemia, ataui darh di ruang subarachnoid.
2. Sepsis
Meningitis sepsis menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh organism bakteri
seperti meningokokus, stafilokokus, atau basilus influenza.
3. Tuberkulosa
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus tuberkel.
Infeksi meningen umumnya dihubungkan dengan satu atau dua jalan, yaitu
melalui salah satu aliran darah sebagai konsekuensi dari infeksi-infeksi bagian
lain, seperti selulitis, atau melalui penekanan langsung seperti didapat setelah
cedera traumatic tulanh wajah. Dalam jumlah kecil pada beberapa kasus
merupakan iatrogenic atau hasil sekunder prosedur invasive (seperti lumbal
pungsi) atau alat-alat invasive (seperti alat pemantau TIK).
a. Meningitis virus
Tipe dari meningitis ini sering disebut meningitis aseptis. Tipe ini biasanya
disebabkan oleh berbagai jenis penyakit yang disebabkan virus seperti gondok,
herpes simpleks, dan herpes zooter. Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis
bakteri tidak terjadi pada meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada
kultur cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh korteks serebri dan lapisan
otak. Mekanisme atau respons dari jaringan otak terhadap virus bervariasi
bergantung padajenis sel yang terlibat.

b. Meningitis bacterial
Meningitis bacterial adalah suatu keadaan ketika meningens atau selaput
dari otak mengalami peradangan akibat bakteri. Sampai saat ini, bentuk paling
signifiakan dari meningitis adalah tipe bacterial. Bakteri paling sering dijumpai
pada meningitis bakteri akut, yaitu Neiserria meningitidis(meningitis
meningokokus), streptococcus pneumonia (pada dewasa), dan Haemophilus
influenza (pada anak-anak dan dewasa muda). Ketiga organisme ini menyebankan
sekitar 75% kasus meningitis bakteri. Bentuk penularannya melalui kontak
langsung, yang mencakup droplet dan secret dari hidung dan tenggorokan yang
membawa kuman (paling sering) atau infeksi dari orang lain. Akibatnyaa, banyak
yang tidak berkembang menjadi infeksi tetapi menjadi menjadi pembawa
(carrier). Insiden tertinggi pada meningitis disebabkan oleh bakteri gram negative
yang terrjadi pada lansia sama seperti pada seseorang yang menjalani bedah saraf
atau seseorang yang mengalami gangguan respons imun.

D. PATOFISIOLOGI
Otak dilapisi oleh tiga lapisan, yaitu : duramater, arachnoid, dan piamater.
Cairan otak dihasilkan di dalam pleksus choroid ventrikel bergerak / mengalir
melalui sub arachnoid dalam sistem ventrikuler dan seluruh otak dan sumsum
tulang belakang, direabsorbsi melalui villi arachnoid yang berstruktur seperti jarijari di dalam lapisan subarachnoid.
Organisme (virus / bakteri) yang dapat menyebabkan meningitis,
memasuki cairan otak melaui aliran darah di dalam pembuluh darah otak. Cairan
hidung (sekret hidung) atau sekret telinga yang disebabkan oleh fraktur tulang
tengkorak dapat menyebabkan meningitis karena hubungan langsung antara cairan
otak dengan lingkungan (dunia luar), mikroorganisme yang masuk dapat berjalan
ke cairan otak melalui ruangan subarachnoid. Adanya mikroorganisme yang
patologis merupakan penyebab peradangan pada piamater, arachnoid, cairan otak
dan ventrikel.
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti
dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian
atas. Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media,
mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf
baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui
nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan
dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong
perkembangan bakteri.
5

Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam
meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan
penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan
metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat
purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga
menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan
dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan
permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan
peningkatan TIK.

E. MANIFESTASI KLINIS
a. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
b. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan
koma.
c. Iritasi meningen mengakibatkan:
- Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran
karena adanya spasme otot-otot leher.
- Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan
fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
- Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan
pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi
maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
d. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
e. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat
eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik
tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak
teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
f. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
g. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba
muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler
diseminata.

E. KOMPLIKASI
1. Hidrosefalus obstruktif
2. MeningococcL Septicemia (mengingocemia)
3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
4. SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone)
5. Efusi subdural
6. Kejang
7. Edema dan herniasi serebral
8. Cerebral palsy
9. Gangguan mental
10. Gangguan belajar

F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu
menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna
sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis. Secara ringkas penatalaksanaan
pengobatan meningitis meliputi:
Pemberian antibiotic yang mampu melewati barier darah otak ke ruang
subarachnoid dalam konsentrasi yang cukup untuk menghentikan
perkembangbiakan bakteri. Baisanya menggunakan sefaloposforin generasi
keempat atau sesuai dengan hasil uji resistensi antibiotic agar pemberian
antimikroba lebih efektif digunakan. Obat anti-infeksi (meningitis tuberkulosa):

Isoniazid 10-20 mg/kgBB/24 jam, oral, 2x sehari maksimal 500 mg selama


1 setengah tahun.

Rifampisin 10-15 mg/kgBB/24 jam, oral, 1 x sehari selama 1 tahun.

Streptomisin sulfat 20-40 mg/kgBB/24 jam, IM, 1-2 x sehari selama 3 bulan.

Obat anti-infeksi (meningitis bakterial):

Sefalosporin generasi ketiga

Amfisilin 150-200 mg/kgBB/24 jam IV, 4-6 x sehari

Klorafenikol 50 mg/kgBB/24 jam IV 4 x sehari.

Pengobatan simtomatis:

Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2-0,5 mgkgBB/dosis, atau rectal: 0,4-0,6


mg/kgBB, atau fenitoin 5 mg/kgBB/24 jam, 3 x sehari atau Fenobarbital 5-7
mg/kgBB/24 jam, 3 x sehari.
Antipiretik: parasetamol/asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis.
Antiedema serebri: Diuretikosmotik (seperti manitol) dapat digunakan untuk
mengobati edema serebri.
Pemenuhan oksigenasi dengan O2.
Pemenuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik: pemberian
tambahan volume cairan intravena.

2.2 ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan meningitis meliputi: anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial (pada anak
perlu dikaji dampak hospitalisasi).
a. Anamnesis, meliputi:
- Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan,
agama, pendidikan, dsb.
- Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa
anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang,
dan penurunan tingkat kesadaran.

Riwayat Penyakit Saat Ini

Factor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahhui jenis


kuman penyebab. Disisi harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul
sepertyi kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajiian
klien meningitis, biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan akibat
dari infeksi dan peningkatan TIK.
Keluhan gejala awaal tersebut biasanya sakit kepala dan demam. Sakit
kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi
meningen. Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit.
Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih
mandalam, bagaiman sifat timbulnya kejang, stilus apa yang sering menimbulkan
kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan
kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan meningitis bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya
merupakan awal adanya penyakit. Perubahan yang terjadi bergantung pada
beratnya penyakit, demikian pula respons individu etrhadap proses fisiologis.
Keluhan perubahan peilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit,
dapat terjadi latergi, tidak responsive, dan koma. Pengkajian lainnya yang perlu
ditanyakan seperti riwayat selama menjalani perawatn di RS, pernahkah
menjalani tindakan invasife yang memungkinkan masuknya kuman ke meningen
terutama melalui pembuluh darah.
-

Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan


adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah
klien mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia
sel sabit dan henoglobinopatis lain, tinbadak bedah saraf, riwayat trauma kepala,
dan adanya pengaruh immunologis pada masa sebelumnya. Riwayat sakit TB
paru perlu ditanyakan pada klien terutama apabila ada keluhan batuk produktif
dan pernah menjalani pengobatan obat antituberkulosis yang sangat berguna
untuk mengidentifikasi meningitis tuberkulosa. Pengkajian pemakaian obat-obat
yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obatkortikosteroid, pemakaian
jenis-jenis antibiotic dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik)
dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar
untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

Pengkajian Psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien meningitis meliputi beberapa dimensi yang


memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Sebagian besar pangkajian ini dapat
diselesaikan melalui interasi menyeluruh dengan klien dalam pelaksanaan
pengkajian lain dengan member pernyataan dan tetap melakukan pengawasan
sepanjang waktu untuk menentukan kelayakan ekspresi emosi dan pikiran.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengauhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga maupun masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (ganngguan citra tubuh). Pengkajian
mengenai mekanisme koping yang secara sadar bias digunakan klien selama masa
stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini
yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan
pengobatan mmemerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan
pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang
akan terjadi pada gaya hidup individu. Persfektif keperawatan dalam mengkaji
terdiri atas dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit
neurologis dalam hubungannya dengan peran social klien dan rencana pelayanan
yang akan mendukung adaftasi pada gangguan neurologis didalam system
dukungan individu.
Pada pengkajian klien anak, perlu diperhatikan dampak hospitalisasi pada
anak dan family center. Anak dengan meningitis sangat rentan terhadap tindakan
invasive yang sering dilakukan untuk mengurangi keluhan stress anak dan
menyebabkan anak stress dan kurang kooperatif terhadap tindakan keperawatan
dan medis. Pengkajian psikososial yang terbaik dilaksanakan saat mengoservasi
anak-anak bermain atau selama berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak sering
kali tidak mampu untuk mengekspresikan perasaan mereka dan cenderung untuk
memperlihatkan masalah mereka melalui tingkah laku.

10

B. PEMERIKSAAN FISIK
Setelah melakukan anamneesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per system B3 (brain)
yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluha dari klien.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa TTV. Pada klien meningitis
biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih daru normal, yaitu 38-410 C,
dimulai dari fase sistemik. Kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan
ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang
sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan
frekuensi pernafasan sering berrhubungan dengan peningkatan laju metabolism
umum dan adanya infeksi pada system pernafasan sebelum mengalami
meningitis. Tekanan darah biasanya normal atau meningkat karena tanda-tanda
peningkatan TIK.
B1 (BREATHING)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan
otot bantu nafas, dan peningkatan prekuensi pernapasan yang sering didapatkan
pada klien meningitis yang disertai adanya gangguan pada system pernapasan.
Palpasi thoraks hanya dilakukan apabila terdapat deformitas pada tulang dada
pada klien dengan efusi fpeura massif (jarang terjadi pada klien dengan
meningitis). Auskultasi bunyi nafas tambahan sepetti ronkhi pada kien dengan
meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer dari paru.
B2 (BLOOD)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien
meningitis pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami renjatan
(syok). Infeksi fulminating terjadi pada sekitar 10% klien dengan meningitis
meningokokus, dengan tanda-tanda septicemia: demam tinggi yang tiba-tiba
muncul, lesi purpura yang menyebar (sekitar wajah dan ekstremitas), syok, dan
tanda-tanda koagulasi intravascular desiminata (disseminated intravascular
coagulation-DIC). Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah
serangan infeksi.

11

B3 (BRAIN)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
a. Tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran kliien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran
klien dan respons terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk
disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewasspadaan dan kesadaran.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya berkisar
pada tingkat latergi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalimi
koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kasadaran klien
dan bahan evaluasi untuk memantau pembarian asuhan keparawatan.
b. Fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspesi wajah dan aktifitas motorik yang pada klien
meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
c. Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tiidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan
papiledema mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif disertai abses
serebri dan efusi ssubdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK
berlangsung lama.
Saraf III,IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien
meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya yanpa kelainan. Pada
tahap lanjut meningitis yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan
dari fungsi dan reksi pupil akan didapatkan. Dengan alas an yang tidak diketahui,
klien meningitis mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan
terhadap cahaya.

12

Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis pada


otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. kemampuan menelan baik.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Adanya usuha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk (rigiditas
nukal).
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d. System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada
meningitis tahap lanjut mengalami perubahan.
e. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, lagamentum atau
periosteum derajat refleks pada respons normal. Refleks patologis akan
didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat kesadaran koma. Adanya
refleks Babinski (+) merupakan tanda adanya lesi UMN.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada keadaan
tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan
meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan
TIK juga berhubungan dengan meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area
fokal kortikal yang peka.
g. System sensorik
Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi raba,
nyeri, dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh. Sensasi
proprioseptif dan diskriminatif normal.

13

Pemeriksaan fisik lainnya terutama yang berhubungan dengan peningkatan


TIK. Tanda-tanda peningkatan TIK sekunder akibat eksudat purulen dan edema
serebri terdiri atas perubahan karakteristik tanda-tanda vital (melebarnya tekanan
pulsa dan bradikardi), pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah, dan
penurunan tingkat kesadaran
Adanya ruang merupakan salah satu cirri yang menyolok pada meningitis
meningokokal (neisseria meningitis). Sekitar setengah dari semua kloien dengan
tipe meningitis, mengalami lesi-lesi pada kulit diantaranya ruam ptekia dengan
lesi purpura sampai ekimosis pada daerah yang luas.
Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali yang
umumnya terlihat pada semua tipe meningitis. Tanda tersebut adalah rigiditas
nukal, tanda kering (positif) dan adanya tanda brudzinski. Kaku kuduk adalah
tanda awal adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya
spasme otot leher. Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat. Tanda pernig (positif)
ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi kearah abdomen, kaki
tidak dapat diekstgensikan sempurna.
Tanda brutzinski: tanda ini didapatkan bila leher klien difleksikan, maka
dihasilnya fleksi lutut dan pinggul; bila didapatkan fleksi pasif, maka ekstremitas
bawah pada salah satu sisi, maka gerakan yang sama terlihat pada sisi ekstremitas
yang berlawanan.
B4 (BLADDER)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan volume
haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung ke ginjal.
B5 (BOWEL)
Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan adanya
kejang.

14

B6 (BONE)
Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lutut dan
pergelangan kaki). Ptekia dan lesi purpura yang didahului oleh ruam. Pada
penyakit yang berat dapat ditemukan ekimosis yang besar pada wajah. Klien
sering mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum
sehingga mengganggu aktifitas hidup sehari-hari (ADL).

2.3 PENGKAJIAN PADA ANAK


Pengkajian pada anak sedikit berbeda dengan klien dewasa, hal ini
disebabkan pengkajian anamnesis lebih banyak dengan orang tua dan
pemeriksaan fisik berbeda karena belum sempurnanya organ pertumbuhan
terutama pada neonatus.
Pengkajian yang didapatkan pada anak bergantung pada usia anak dan
luasnya penyebaran infeksi di meningen. Hal lainnya yang bmempengaruhi klinis
pada anak adalah tipe organism yang menginvasi meningen dan seberapa besar
keektifan pemberian terapi, dalam hal ini adalah jenis antibiotic yang di pakai
sangat berpengruh terhadap gejala klinis pada anak. Untuk memudahkan penilaian
klinis, gejala meningitis pada anak dibagi menjadi tiga meliputi anak, bayi, dan
neonatus.
Pada anak, manifestasi klinisnya adalah timbul sakit secara tiba-tiba,
adanya demam, sakit kepala, panas dingin, muntah, dan kejang-kejang. Anak
menjadi cepat rewel dan agitasi serta dapat berkembang menjadi fotobia,
delirium, halusinasi, tingkah laku yang agresif atau mengantuk, stupor, dan koma.
Gejala atau gangguan pada pernapasan atau gangguan gastrointestinal seperti
sesak nafas,muntah, dan diare. Tanda yang khas adalah adanya tahanan pada
kepala jika difleksiakan, kaku leher, tanda krenig dan brudzinski (+). Akibat
perfusi yang tidak optimal biasanya memberikan tanda klinis seperti kulit dingin
dan sianosis. Gejala lainnya yang lebih sfesipik seperti petekia/purpura pada kulit
sering didapatkan apabila anak mengalami infeksi meningokokus
(meningokoksemia), keluarnya cairan dari telinga merupakan gejala khas pada
anak yang mengalami meningitis pneumokokus dan sinus dermal kongenital
terutama disebabkan oleh infeksi E.colli.

15

Pada bayi, manifestasi klinis biasanya tampak pada anak umur 3 bulan
sampai 2 tahun dan sering ditemukan adanya demam, nafsu makan menurun,
muntah, rewel, mudah lelah, kejang-kejang, dan menangis meraung-raung. Tanda
khas dikepala adalah fontanel menonjol. Kaku kuduk merupakan tanda meningitis
pada anak, sedangkan tanda-tanda brutzinski dan krenig dapat terjadi namun
lambat atau ada pada kasus meningitis tahap lanjut.
Pada neonatus, biasanya masih sukar untuk diketahui karena manifestasi
klinisnya tidak jelas dan tidak spesifik, namun pada beberapa keadaan gejalanya
mempunyai kemiripan dengan anak yang lebih besar, neonatus biasanya menolak
untuk makan, kemampuan untuk menetek buruk, gangguan GI berupa muntah dan
kadang-kadang ada diare. Tonus otot lemah, pergerakan dan kekuatan menangis
melemah. Pada kasus lanjut terjadi hipotermia atau demam, ikterus, rewel,
mengantuk, kejang-kejang, frekuensi napas tidak teratur/apnea, sianosis,
penurunan berat badan, tanda fontanel menonjol mungkin ada atau tidak. Leher
fleksibel, yaitu tidak didapatkan adanya kaku kuduk. Pada fase yang lebih berat
terjadi kolaps kardiovaskuler, kejang, dan apnea biasanya terjadi bila tidak diobati
atau tidak dilakukan tindakan yang cepat.
C. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostic rutin pada klien meningitis meliputi laboratorium
klinik rutin (Hb, leukosit,LED, trombosit, retikulosit, glukosa) pemeriksaan faal
hemostatis diperlukan untuk mengetahui sacera awal adanya DIC. Serum
elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya
ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremia.
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisis
cairan otak. Lumbal pungsi tidak bisa dikerjakan pada klien dengan peningkatan
TIK. Analisis cairan otak diperiksa untuk mengetahui jumlah sel, protein, dan
konsentrasi glukosa. Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa
cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada klien meningitis kadar
glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
Untuk lebih spesifik mengetahui jennies mikroba, maka organism
penyebab infeksi dapat diidentifikasi melalui kultur kuman pada cairan
serebrospinal dan darah. Counter immune elektrophoresis (CIE) digunakan secara
luas untuk mendeteksi antigen bakteri pada cairan tubuh, umumnya cairan
serebrospinal dan urine.

16

Pemeriksaan lainnya diperlukan sesuai klinis klien meliputi foto Rontgen


paru, CT scan kepala. CT scan dilakukan untuk menentukan adanya edema serebri
atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang
sudah sangat parah.
2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan peradangan dan
edema pada otak dan selaput otak.
2. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume
intracranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi
secret, penurunan kemampuan batuk, dan perubahan tingkat kesadaran.
4. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan perubahan
tingkat kesadaran, defresi pusat nafas diotak.
5. Gangguan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan infeksi
meningokokus.
6.

Nyeri kepala yang berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak.

7. Hipertemia yang berhubungan dengan inflamasi pada meningen dan


peningkatan metabolism umum.
8. Risiko tinggi deficit cairan tubuh yang berhubungan dengan muntah dan
demam.
9. Risiko perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan
kektidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
10. Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan adanya kejang berulang,
fiksasi kurang optimal.
11. Gangguan aktifitas sehari-hari yang berhubungan dengan kelemahan fisik
umum.
12. Risiko tinggi koping individu dan keluarga tidak efektif yang berhubungan
dengan prognosis penyakit, perubahan psiko-sosial, perubahan perspsi kognitif,
perubahan actual dalam strukltur dan fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa tidak
ada harapan.

17

13. Cemas yang berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit dan perubahan
kesehatan.

2.3 INTERVENSI
Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan peradangan dan edema
pada otak dan selaput otak.
Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan intervensi perfusi jaringa otak
meningkat.
Criteria hasil: Tingkat kesadaran meningkat menjadi sadar, disorientasi negative,
konsentrasi baik, perfusi jaringan dan oksigenassi baik, TTV dalam batas normal,
dan syok dapat dihindari.

Intervensi

Rasional

Anjurkan klien berbaring minimal 4-6


jam setelah lumbal pungsi.

Mencegah nyeri kepala yang menyertai


perubahan tekanan intracranial.

Monitor tanda-tanda peningkatan


tekanan intracranial selama perjalanan
penyakit (nadi lambat, TD meningkat,
kesadaran menurun, nafas ireguler,
refleks pupil menurun, kelemahan).

Mendeteksi tanda-tanda syok.

Monitor TTV dan neurologis tiap 5-30


menit. Catat dan laporkan segera
perubahan-perubahan tekanan intracranial ke dokter.

Perubahan-perubahan ini manandakan


ada perubahan tekanan intracranial dan
penting untuk intervensi awal.

Hindari posisi tungkai ditekuk atau


gerakan-gerakan klien, anjurkan untuk
tirah baring.
Mencegah peningkatan tekanan

18

intracranial.
Tinggikan sedikit kepala klien dengan
hati-hati, cegah gerakan yang tiba-tiba
dan tidak perlu dari kepala dan leher,
hindari fleksi leher.
Mengurangi tekanan intracranial.
Bantu seluruh aktivitas dan gerakangerakan klien. Anjurkan klien untuk
menghembuskan nafas dalam bila
miring dan bergerak ditempat tidur.
Cegah posisi fleksi pada lutut.

Sesuaikan dan atur waktu prosedur


perawatan dengan periode reelaxsasi;
hidari rangsangan lingkungan yang
tidak perlu.

Beri penjelasan kepada klien tentang


keadaa n lingkungan.

Evaluasi selama masa penyembuhan


terhadap gangguan motorik, sensorik
dan intelektual.

Mencegah keregangan otot yang dapat


menimbulkan peningkatan tekanan
intracranial.

Mencegah eksitasi yang merangsang otak


yang sudah iritasi dan dapat
menimbulkan kejang.

Mengurangi disorientasi dan untuk


Kolaborasi pemberian steroid osmotic. klarifikasi persefsi sensorik yang
terganggu.

Untuk merujuk ke rehabilitasi.

19

Menurunkan tekanan intracranial.

Resiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume


intracranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Tujuan: tidak terjadi peningkatan TIK pada klien dalam waktu 3x24 jam.
Kriterria hasil: Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual
dan muntah, GCS: 4,5,6, tidak terdapat papil edema, TTV dalam batas normal.
Intervensi

Rasional

Kaji factor penyebab dari


situasi/keadaan individu/penyebab
koma/penurunan perfusi jaringan dan
kemungkinan penyebab peningkatan
TIK.

Panas merupakan reflex dari hipotalamus.


Peningkatan kebutuhan metabolism dan
oksigen akan menunjang peningkatan
TIK.

Pertahankan kepala/leher pada posisi


yang netral, usahakan dengan sedikit
bantal. Hindari penggunaan bantal
yang tinggi pada kepala.

Berikan periode istirahat antara


perawatan dan batasi lamanya
prosedur.

Berikan cairan intravena sesuai


indikasi.

Perubahan kepala pada satu sisi dapat


menimbulkan penekanan pada vena
jugularis, dan menghambat aliran darah
ke otak sehingga TIK meningkat.

Memberikan suasana yang tenang dapat


mengurangi respon psikologis dan
memberikan istirahat untuk
mempertahankan TIK yang rendah.

Mengurangi edema serebral, peningkatan


minimum pada minimum pada pembuluh
darah, tekanan darah, dan TIK.

Duretik digunakan pada fase akutuntuk

20

mengalirkan air dari sel otak dan


mengurangi edema serebral dan TIK.
Berikan obat osmosis diuretic:
manitol, furoscide.

Berikan steroid: dexamethason,


methyl prednisone

Untuk menurunkan inflamasi dan


mengurangi edema jaringan.

Mengurangi nyeri

Berikan analgesic narkotik: kodein.

Hindari konfrantasi

Konfrontasi dapat meningkatkan rasa


marah, menurunkan kerja sama, dan
mungkin memperlambat penyembuhan

Mulai melakukan tindakkan untuk Mengurangi rangsangan eksternal yang


mengurangi
kecemasan.
Beri tidak perlu
lingkungan yang tenang dan suasana
penuh istirahat
Orientasikan klien terhadap prosedur Orientasi dapat menurunkan kecemasan
rutin dan aktivitas yang diharapkan

21

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1. Meningitis adalah radang pada meningen/membrane (selaput) yang
mengelilingi otak dan medulla spinalis.
2. Penyebab-penyebab dari meningitis meliputi: Bakteri, Virus, Organisme jamur.
3. Meningitis diklasifikasikan sesuai dengan factor penyebabnya: Asepsis, Sepsis,
Tuberkulosa
4. Asuhan keperawatan meliputi pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi,
implementasi, dan evaluasi.
5. Pengkajian meliputi: anamnesa: identitas klien, keluhan utama, riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan diagnostic.
6. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa
anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang,
dan penurunan tingkat kesadaran.
7. Diagnosa keperawatan ditegakkan berdasarkan gejala yang muncul saat
pengkajian dilakukan.

3.2 SARAN
Demikian makalah ini kami susun sebagaimana mestinya semoga
bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi tim penyusun dan semua mahasiswa
dan mahasiswi kesehatan pada umumnya. Saran kami, lebih banyak membaca
untuk meningkatkan pengetahuan.
Kami sebagai penyusun menyadari akan keterbatasan kemampuan yang
menyebabkan kekurangsempurnaan dalam makalah ini, baik dari segi isi maupun
materi, bahasa dan lain sebagainya. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan-perbaikan selanjutnya agar
makalah selanjutnya dapat lebih baik.

22

DAFTAR PUSTAKA

Alpers,Ann.2006.Buku Ajar Pediatri Rudolph. Ed.20.Jakarta:EGC.

Brough,Hellen,et al.2007.Rujukan Cepat Pediatri dan Kesehatan


Anak.Jakarta:EGC.

Ngastiyah.2005.Perawatan Anak Sakit.Ed.2.Jakarta:EGC

Suriadi, Rita Yuliani.2006.Asuhan keperawatan pada Anak


Ed.2.Jakarta:Percetakan Penebar Swadaya

23

Anda mungkin juga menyukai