Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Gangguan alergi yang melibatkan hidung ternyata lebih sering dari pada perkiraan
dokter maupun orang awam, yaitu mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh
penduduk dunia. Hidung, sebagai salah satu organ yang menonjol pada penyakit alergi 1.
Rhinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan lakilaki yang berusia 20 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang
disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap, serbuk yang ada di udara. Meskipun
bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius
karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang
menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan semakin
mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis2.
Rhinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus
meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, berkurangnya
produktivitas kerja dan prestasi sekolah, serta dapat mengganggu aktivitas sosial2. Prevalensi
rhinitis alergi di Indonesia mencapai 5-22% dan cenderung mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Dari tingginya prevalensi rhinitis alergi di Indonesia didasari dari faktor resiko
yang belum dipahami oleh penderita serta pengobatan yang tidak adekuat dan tidak
berkelanjutan. Di Indonesia alergen yang tersering menyebabkan rhinitis alergi yaitu tungau,
dan tungau debu rumah3.
Diperlukan pemahaman yang baik tentang rhinitis alergi dikarenakan cukup seringnya
angka kejadian penyakit ini. Dokter umum sebagai lini pertama harus lebih memahami
bagaimana penyakit ini terjadi dan faktor apa saja yang berperan terhadap terjadinya rhinitis
alergi, agar dapat memberikan edukasi dan terapi yang adekuat untuk pasien.

BAB II
Rhinitis Alergi | 1

LAPORAN KASUS
2.1

Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Alamat
No. RM
Tanggal Pemeriksaan

2.2

:
:
:
:
:
:

Ny. H
Perempuan
45 tahun
Jl. Pasar Bawah, Lahat
118546
4 Februari 2015

Anamnesis
Keluhan Utama :
Kedua lubang hidung sering tersumbat sejak 10 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Lahat dengan keluhan kedua lubang hidung
sering tersumbat sejak 10 tahun yang lalu. Diakui kedua lubang hidung tersumbat
diwaktu yang tidak menentu, baik pagi maupun malam, biasanya kedua lubang hidung
tersumbat jika cuaca dingin, ruangan berdebu. Keluhan kedua lubang hidung tersumbat
juga disertai pilek yang mengeluarkan cairan putih bening encer dan banyak namun tidak
berbau, bersin-bersin dapat mencapai 3-5 kali dan dapat berulang lebih sering. Pasien
juga sering merasakan mata berair, pipi memerah dan rasa gatal pada hidung sehingga
biasanya pasien menggaruk hidung dengan menggunakan punggung tangannya. Keluhan
pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja. Keluhan
tidak disertai dengan batuk, nyeri tenggorokan, nyeri kepala dan penurunan fungsi
pendengaran.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat asma (+)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat Diabetes Melitus(-)
Rhinitis Alergi | 2

Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluhan yang sama timbul pada ayah diakui pasien.
Riwayat Alergi :
Riwayat alergi terhadap makanan, dan obat-obatan disangkal pasien.
Riwayat Pengobatan :
Pasien mengobati keluhan dengan minum antibiotik.
Riwayat Kebiasaan :
Pasien bekerja sebagai petugas fisioterapi di RSUD Lahat, dan untuk berangkat bekerja,
pasien menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Pasien tidak menggunakan masker
saat bekerja dan mengendarai kendaraan bermotor.
2.3

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda Vital
Tekanan darah

: 120/80

Pernafasan

: 20 x/ menit

Nadi

: 84 x/menit

Suhu

: Afebris

Status Lokalis
Telinga
Bagian
Preaurikula

Kelainan
Kelainan kongenital
Radang
Tumor

Auris
Dextra
-

Sinistra
Rhinitis Alergi | 3

Trauma
Nyeri tekan
Aurikula
Kelainan kongenital
Radang
Tumor
Trauma
Nyeri tarik
Retroaurikula
Edema
Hiperemis
Nyeri tekan
Radang
Tumor
Sikatriks
Canalis
Acustikus Kelainan kongenital
Kulit
Externa
Sekret
Serumen
Edema
Jaringan granulasi
Massa
Cholesteatoma

Membrana Timpani

+
+

+
+

Intak
Reflek cahaya

Fungsi Pendengaran
Aurikula Dextra
Aurikula Sinistra
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Batas atas dan batas bawah


Tes Rinne
Tes Swabach
Tes Weber
Hidung
Bentuk

: normal

Cavum nasi

: lapang (+/+), perdarahan mengalir (-/-), blood clotting (-/-)

Mukosa

: Hiperemis (+/+)

Rhinitis Alergi | 4

Concha

: concha inferior eutrofi (+/+), hiperemis (+/+), livid pada


pangkal concha inferior (+/+)

Sinus paranasal

: nyeri tekan pada: pangkal hidung (-), pipi (-), dahi (-),
pembengkakan pada daerah muka (-)

Tenggorokan :
Mukosa
Uvula
Tonsil
2.4

: Hiperemis (-/-), Granul (-/-)


: Deviasi (-/-)
: T1 T1, Hiperemis (-), kripta melebar (-/-), detritus (-/-)

Resume
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Lahat dengan keluhan kedua lubang
hidung sering tersumbat sejak 10 tahun yang lalu. Diakui kedua lubang hidung tersumbat
diwaktu yang tidak menentu, baik pagi maupun malam, biasanya kedua lubang hidung
tersumbat jika cuaca dingin, ruangan berdebu. Keluhan kedua lubang hidung tersumbat
juga disertai pilek yang mengeluarkan cairan putih bening encer dan banyak namun tidak
berbau, bersin-bersin dapat mencapai 3-5 kali dan dapat berulang lebih sering. Pasien
juga sering merasakan mata berair, pipi memerah dan rasa gatal pada hidung sehingga
biasanya pasien menggaruk hidung dengan menggunakan punggung tangannya. Keluhan
pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja. Keluhan
tidak disertai dengan batuk, nyeri tenggorokan, nyeri kepala dan penurunan fungsi
pendengaran.
Pasien memiliki riwayat asma (+), keluhan yang sama seperti pasien di keluarga (+),
pasien mengobati keluhan dengan minum antibiotik, pasien memiliki kebiasaan
berkendara motor tanpa masker.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa hidung hiperemis (+/+), choncha inferior
eutrofi (+/+), hiperemis (+/+), livid pada pangkal concha inferior (+/+).

2.5

Diagnosis
Rhinitis Alergi Persisten Ringan Sedang

2.6

Diagnosis Banding
-

Rhinitis Vasomotor

Rhinitis Akut (virus, bakteri)


Rhinitis Alergi | 5

2.7

Penatalaksanaan
a. Non- Medikamentosa
Menghindari allergen penyebab, dengan menggunakan masker saat bekerja dan
berkendara
b. Medikamentosa
- Antihistamin ( Cetirizin 1x5mg )
- Dekongestan Oral ( Pseudoephedrine 3x60mg )

2.8

Prognosis
Quo Ad Vitam

: Bonam

Quo Ad Functionam

: Dubia ad bonam

ANALISA KASUS
Pasien di diagnosis Rhinitis Alergi Persisten Ringan Sedang berdasarkan :
Anamnesis
-

Kedua lubang hidung sering tersumbat sejak 10 tahun yang lalu. Diakui hidung
tersumbat diwaktu yang tidak menentu, baik pagi maupun malam, biasanya
hidung tersumbat jika cuaca dingin, ruangan berebu.

Hidung terasa gatal dan mengeluarkan cairan putih bening encer dan banyak
namun tidak berbau

Bersin-bersin dapat mencapai 3-5 kali dan dapat berulang lebih sering.

Mata berair

Keluhan pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat
bekerja.

Pemeriksaan Fisik
-

Mukosa hidung hiperemis(+/+)

choncha inferior eutrofi (+/+), hiperemis (+/+), livid pada pangkal concha
inferior (+/+)
Rhinitis Alergi | 6

Penatalaksanaan
-

Menghindari allergen

Antihistamin

Dekongestan

Berdasarkan teori Rhinitis Alergi


Anamnesis
-

serangan bersin berulang bila terjadinya lebih dari lima kali.

keluar ingus (rinore) putih bening encer dan banyak tidak berbau

hidung tersumbat dan gatal

mata gatal dan banyak air mata keluar (lakrimasi).

Klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2008, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya:
1) Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 hari perminggu atau
kurang dari 4 minggu.
2) Persisten atau menetap, bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
Klasifikasi tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi
1) Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2) Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Pemeriksaan Fisik
-

Mukosa edema, basah

Biasanya pada rhinitis alergi persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi

Concha inferior livid.

Penatalaksanaan
-

Menghindari allergen

Medikamentosa
Antihistamin atau antihistamin disertai dekongestan
Rhinitis Alergi | 7

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yang
terdiri dari 4 :
1) pangkal hidung (bridge)
2) dorsum nasi
3) puncak hidung
4) ala nasi
5) columela
6) lubang hidung (nares anterior).

Rhinitis Alergi | 8

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari 4 :
1) tulang hidung (os nasale)
2) prosesus frontalis os maksila
3) prosesus nasalis os frontal

Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung


Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yang terdiri atas 4:
Rhinitis Alergi | 9

1) sepasang cartilago nasalis lateralis superior


2) sepasang cartilago nasalis lateralis inferior (cartilago alar mayor)
3) beberapa pasang cartilago alar minor
4) tepi anterior cartilago septum
Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (choana) yang menghubungkan cavum nasi dengan
nasofaring4. Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrie4.
Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os ethmoid, vomer, krista
nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah cartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan columela4.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral
terdapat 4 buah concha. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah concha inferior,
kemudian yang lebih kecil adalah concha media, lebih kecil lagi ialah concha superior,
sedangkan yang terkecil disebut concha suprema. concha suprema disebut juga
rudimenter4.

Rhinitis Alergi | 10

Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam


Concha inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan concha media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid. Di antara concha-concha dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara concha inferior dengan
dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) ductus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara concha media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula ethmoid, prosesus
unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum ethmoid. Hiatus semilunaris merupakan
suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan
sinus ethmoid anterior4. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara concha
superior dan concha media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
cribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung4.
Perdarahan

Rhinitis Alergi | 11

Gambar 4. Perdarahan Hidung


Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.ethmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmica, sedangkan a.oftalmica berasal dari
a.carotis interna4. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sphenopalatine
yang keluar dari foramen sphenopalatine bersama n.sphenopalatine dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior concha media4.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.facialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sphenopalatine,
a.ethmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut Plexus
Kiesselbachs. Plexus Kiesselbachs letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak4.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmica yang
berhubungan dengan sinus cavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial4.
Persarafan
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.ethmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
Rhinitis Alergi | 12

n.oftalmicus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
n.maksila melalui ganglion sphenopalatina4.
Ganglion sphenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabutserabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superficialis mayor
dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sphenopalatina terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior concha media4.
Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfactorius. Saraf ini turun melalui lamina
cribosa dari permukaan bawah bulbus olfactorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mucosa olfactorius di daerah sepertiga atas hidung1.
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mucosa respiratori) dan mukosa penghidu (mucosa
olfactorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar
epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet4.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadangkadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel
goblet4.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam cavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung4.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah
epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar
mukosa dan jaringan limfoid4.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
Rhinitis Alergi | 13

longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler periglanduler


dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid
vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada
bagian ujungnya sinusoid ini

mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan

mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan
demikian mukosa hidung menyerupai suatu jaringan cavernosus yang erektil, yang
mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom4.
3.2 Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung adalah6 : 1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara. 2) Fungsi penghidu,
terdapatnya mucosa olfactorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu. 3) Fungsi fonetik untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. 4) Fungsi statik dan mekanik
untuk meringankan beban kepala. 5) Reflek nasal.
1) Fungsi Respirasi
Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi concha media dan kemudian turun ke bawah
ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arcus.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit
penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan
terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37
Celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah
di bawah epitel dan adanya permukaan concha dan septum yang luas2.
Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh: 3
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang
besar akan dikeluarkan dengan reflek bersin.
Rhinitis Alergi | 14

2) Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk
membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari
berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberry, jeruk, pisang
atau coklat2.
3) Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses
pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka
dan palatum mole turun untuk aliran udara6.
4) Reflek Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan
sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas2.

3.3 Rhinitis Alergi


3.3.1 Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut5.

Rhinitis Alergi | 15

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2008
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE7.
3.3.2 Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang
secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas
memiliki peran penting. Pada 20 30% semua populasi dan pada 10 15% anak
semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih
besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam rhinitis alergi yaitu alergen, yang
terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara
genetik telah memiliki kecenderungan alergi2.
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalasi yang masuk bersama
udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur,
serbuk sari, dan lain-lain2.
Penyebab alergi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : Spesifik dan
Non Spesifik1.
1) Spesifik
Yang paling berperan adalah alergen hirupan (inhalan). Alergen inhalan
merupakan alergen yang sering ditemukan dan sangat penting dalam kelompok
allergen. Alergen inhalan biasanya dibagi ke dalam 2 jenis berdasarkan
kemampuan hidup dalam lingkungannya, yaitu perenial dan seasonal.
a. Alergen perenial
Ada sepanjang tahun dan sulit dihindari. Berupa debu rumah, tungau debu
rumah, serpihan kulit binatang, jamur
b. Alergen seasonal
Biasanya dari serbuk sari tanaman.
c. Non Spesifik
a. Iklim
Udara lembab, perubahan suhu, angin. Iklim ini secara tidak langsung
Rhinitis Alergi | 16

berpengaruh terhadap penyebaran debu rumah dan tepung sari bunga, disamping
memberi suasana yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam jamur.
b. Hormonal
Wanita yang mempunyai bakat alergi dapat kambuh gejala alerginya jika sedang
hamil karena minum pil KB atau menderita hipertiroid.
c. Psikis
Meningkatnya emosi dan ketegangan jiwa pada orang yang berbakat alergi
memudahkan kambuhnya manifestasi alergi.
d. Infeksi
Infeksi memudahkan kambuhnya alergi demikian juga sebaliknya.
e. Iritasi
Rangsangan dapat pula menyebabkan kambuhnya alergi misalnya: asap rokok,
bahan-bahan polusi.
f. Genetik
Tak diragukan lagi besarnya faktor genetik terhadap penyakit alergi, karena
banyak penderita berasal dari keluarga yang juga menderita penyakit alergi.
Risiko untuk menderita penyakit alergi adalah sebayak 30 % bila satu orang tua
yang atopi dan lebih dari 30 % bila kedua orang tua atopi. Demikian pula ibu
yang atopi berperan lebih besar secara bermakna daripada ayah yang atopi.

Gambar 5. Jenis Alergen


Rhinitis Alergi | 17

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas 5:


1) Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya:
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta
jamur.
2) Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya:
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
3) Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya:
penisilin dan sengatan lebah.
4) Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa
misalnya: bahan kosmetik, perhiasan.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi
gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma bronchial dan
rhinitis alergi2.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis
besar terdiri dari5:
1) Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2) Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3) Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
Rhinitis Alergi | 18

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu1 :


1) tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersentitivity),
-

Pada pemaparan suatu antigen, IgE akan terikat dengan sel mast
sehingga terjadi hubungan silang, degranulasi dan pelepasan mediator.

Gejala mulai timbul dalam hitungan detik hingga beberapa menit


setelah terpapar oleh antigen tetapi selalu proses reaksinya
berlangsung sampai beberapa jam.

Respon fisiologis permulaan terhadap histamin dan mediatormediator

lain termasuk vasodilatasi, peningkatan permeabilitas

vaskuler, stimulasi kelenjar mukus dan kontraksi otot polos.


-

Respon fase lambat di stimulasi dengan pelepasan sintesis mediator


baru seperti leukotrien termasuk infiltrasi sel radang dan oedem
kronik jaringan.

Secara klinis, reaksi tipe 1 akan menghasilkan rinitis angiooedem,


diare, asma, dan dapat berlanjut ke anafilaksis.

Pertama kali tersensitisasi pada banyak pasien, reaksi alergi ini akan
menetap untuk beberapa tahun dan sering sampai seumur hidup.

Walaupun reaksi tipe 1 terhadap makanan tidak sering terjadi,


biasanya sangat mudah terinfeksi karena akan menghasilkan gejala
yang segera.

Reaksi ini biasanya berat dan dirawat seumur hidup dan dapat juga
melibatkan satu organ atau lebih.

Reaksi tipe 1 yang ditimbulkan oleh makanan dapat diidentifiksai


secara mudah dengan mengukur IgE darah secara invitro.

2) tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik,


-

Terjadi apabila antibodi terikat dengan antigen sendiri atau antigen


asing.

Kemudian

menghasilkan

fagositosis

aktivitas

sel

killer

atau

complement-lysis mediated.
Contoh klinis : anemia hemolitik, sindrom good pasture, reaksi
transfusi.
Rhinitis Alergi | 19

3) tipe 3 atau reaksi kompleks imun


-

Melibatkan kompleks antigen-antibodi dengan kerusakan jaringan


yang terlibat.

Molekul antibodi terutama IgG terikat

pada antigen sirkulasi

menghasilkan kompleks makromolekul yang dapat berpresipitasi


dalam kapiler, mengikat dan mengaktivasi komplemen untuk
menyebabkan peradangan jaringan.
4) tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).
-

Respon antara 24-28 jam sesudah kontak.

Diduga dalam perkembangan kondisi dari alergi kronik.

Reseptor sel T bereaksi dengan antigen spesifik yang sifatnya serupa


dengan sel B.

Kemudian IgE menghasilkan sel B pada tipe 1, dimana sensitisasi


sebelumnya diperlukan untuk mencetuskan kondisi utama dari
permukaan sel T.

Sebagai dasar dari tes tuberculin.

3.3.3 Prevalensi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit atopi,
diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%3. Rhinitis alergi telah menjadi problem
kesehatan global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh penduduk dunia.
Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10 alasan utama pasien datang berobat ke
dokter. Namun, prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya
pasien yang mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter1.
3.3.4 Patofisiologi
Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari "nonself" yang berpasangan dengan memory. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh
Rhinitis Alergi | 20

melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang
bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem
tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell dan Coombs menggambarkan empat
jenis reaksi hipersensitivitas: langsung, sitotoksik, komplek imun, dan tertunda.
Rhinitis alergi melibatkan terutama jenis, Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I5.
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu2:
a. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya
b. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Gambar 6. Patofisiologi rhinitis alergi ( early and late phase reaction )


Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA
kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0
Rhinitis Alergi | 21

untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin


seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13 2.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed
Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien
C4 (LT C4), bradikinin. Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3,
IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan
lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)2.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1)2.
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi2.
Rhinitis Alergi | 22

3.3.5 Gambaran Histopatologik


Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung2.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu
terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa
hidung menebal2.
3.3.6 Klasifikasi
Dahulu

rhinitis

alergi

dibedakan

dalam

macam

berdasarkan

sifat

berlangsungnya, yaitu: 5
1) Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau
rhino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung
dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2) Rhinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling
sering adalah alergen inhalasi, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalasi utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar
rumah (outdoor). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen
ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan
gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan

pencernaan. Gangguan

fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan


Rhinitis Alergi | 23

musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering


ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2008,
yaitu berdasarkan lamanya terjadi gejala7:
1) Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 hari seminggu atau
kurang dari 4 minggu setiap saat kambuh.
2) Persisten atau menetap, bila gejala lebih dari 4 hari seminggu atau lebih dari 4
minggu setiap saat kambuh.
Berdasarkan keparahan dan kualitas hidup , rhinitis alergi dibagi menjadi7
1) Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2) Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
3.3.7 Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rhinitis
alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila
terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan2.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Gejala klinis lainnya dapat berupa berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang
dikeluhkan5.
Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, biasanya dapat
Rhinitis Alergi | 24

ditemukan mukosa inferior hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya
bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner 1,4.

Gambar 7. Allergic Shiner pada pasien Rhinitis Alergi


Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal,
dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease 1,4.

Gambar 8. (Kiri ke Kanan) Allergic Crease dan Allergic Sallute


Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior
faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral
faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue)1,4.

Rhinitis Alergi | 25

Gambar 9. Facies Adenoid dan geographic tongue


Pemeriksaan Penunjang
1) In vitro
Pemeriksaan in vitro merupakan pemeriksaan diagnostik secara laboratorium
untuk mendeteksi dan mengidentifikasi

penyebab. Kelebihan pemeriksaan ini

dibandingkan tes kulit adalah aman dan nyaman bagi penderita sehingga dapat
dilakukan pada bayi dan anak kecil serta dapat dilakukan pada pasien dimana tes kulit
tidak dapat dilakukan yaitu penderita tidak dapat bebas dari antihistamin, antidepresan
trisiklik atau penderita dengan kelainan kulit (dermatografisme dan dermatitis atopi
berat). Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan
ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST
(Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay
Test)2.
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan
alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi
bakteri2.
2) In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukil kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET).
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai

Rhinitis Alergi | 26

konsentrasi. Keuntungan SET, selain allergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui2.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas
dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi ( Challenge Test) 2.
Allergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu
pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnmya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis
makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan2.
3.3.8 Diagnosis Banding
Diagnosa banding dari rhinitis alergi adalah sebagai berikut:2,5
1.

Rhinitis Non-alergik2
Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang disebabkan

oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi
yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum).
Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari penyebabnya, antara
lain:
a.

Rhinitis vasomotor
Rhinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa

hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Kelainan ini


merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rhinitis vasomotor
mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi sehingga sulit untuk
dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus
yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Etiologi yang pasti
belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi
vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan
vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer,
seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan
jasmani dansebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak
dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.
Rhinitis Alergi | 27

Tabel 1. Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor.


Penatalaksanaan rhinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala
dan dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif.
2.

Rhinitis Akut
Rhinitis akut itu sama saja dengan flu. Jangan bingung karena rhinitis akut
adalah bahasa kedokterannya influensa. Rhinitis akut adalah peradangan akut
pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri5.
Gejala rhinitis akut yang biasanya timbul beragam yaitu :
-

Stadium Prodromal Kering (stadium awal), gejala umum seperti


menggigil, nyeri kepala, pucat, kurang nafsu makan, kadang suhu
subfebril atau tidak terlalu panas, tapi sering juga terjadi suhu yang
tinggi apalagi pada anak-anak yang disertai rasa gatal, panas, rasa
kering pada hidung dan tenggorokan, iritasi hidung. Mukosa
hidung biasanya pucat dan kering.

Stadium Kataralis (stadium lanjutan), sekret mencair, obstruksi


atau penyumbatan hidung, kehilangan penciuman sementara,
lakrimalisasi atau airmata terus-menerus meleleh. Mukosa hidung
Rhinitis Alergi | 28

memerah, bengkak, dan terdapat sekret atau ingus yang banyak.


Setelah beberapa hari, terjadi fase yang di sebut fase mukus. Fase
mukus ini gejalanya sekret yang mengental, penciuman membaik
dan gejala lokal berkurang. Pada kondisi ideal dengan daya tahan
tubuh yang baik, perbaikan seharusnya dicapai dalam satu minggu.
Infeksi bakteri sekunder mungkin saja dapat terjadi. Sekret atau
ingus kemudian berwarna kuning kehijauan dan penyakit akan
lebih lama membaik.
Rhinitis akut ini tidak ada terapi atau pengobatan untuk penyebab.
Terapi simptomatis termasuk dekongestan hidung dengan tetes
atau dekongestan oral.
Rhinitis Virus
Terbagi menjadi 3, yaitu 5:
-

Rhinitis simplek (pilek, salesma, common cold, coryza)


Etiologi : oleh virus, melalui droplet udara. Masa inkubasi 1-4 hari
dan berakhir dalam 2-3 minggu.
Gambaran klinis : panas pada belakang hidung, hidung tersumbat,
rinore, dan bersin berulang-ulang, demam. Mukosa hidung merah
membengkak, sekret encer smpai mukopurulen dan banyak.
Pengobatan : tirah baring, pemberian obat antihistamin disertai
dekongestan dan analgetik.

Rhinitis Influenza
Gejala mirip dengan common cold

Rhinitis Eksantematous
Morbili, varisela, sering berhubungan dengan rhinitis, dimana
didahului dengan eksantemanya sekitar 2-3 hari.

Rhinitis Bakteri5
-

Infeksi Non Spesifik


Dapat terjadi secara primer ataupun sekunder. Primer, akibat
infeksi streptococcus atau staphylococcus. Membran putih keabuabuan yang lengket dapat terbentuk di rongga hidung dan bila
diangkat dapat menyebabkan perdarahan,
Rhinitis Alergi | 29

Rhinitis Difteri
Dapat bersifat primer pada hidung dan sekunder pada tenggorokan.
Diduga karena imunisasi yang tidak lengkap. Gejala berupa
demam, toksemia, terdapat limfadenitis dan dapat menimbulkan
paralisis otot pernafasan. Pada hidung terdapat sekret campur
darah, membran keabu-abuan tampak menutup concha inferior dan
cavum nasi bagian bawah, membran lengket dan bila diangkat
dapat menyebabkan perdarahan. Pengobatan yang diberikan
meliputi isolasi pasien, penisilin sitemik, dan anti toksin difteri.

3.3.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rhinitis alergi : 2,3,4,6,7
1.

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya dan eliminasi.

2.

Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi 1 (clasic) dan generasi 2 (non-sedative). Antihistamin generasi 1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar
darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai
efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (nonsedative).
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non
Rhinitis Alergi | 30

sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok


pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek cardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang
tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan
kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk
beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.
b.

Dekongestan
Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan

cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal bekerja


dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping
adalah rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa. Gejala rhinitis
medikamentosa dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka
panjang.
Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir 6
jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah
tablet lepas lambat (sustained release). Efek samping berupa iritabilitas,
pusing melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.
c.

Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung

akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topikal.
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit
pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi

aktifitas

limfosit,

mencegah

bocornya

plasma.

Hal ini

menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen


(bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal
bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga
Rhinitis Alergi | 31

menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil,


eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai
profilaksis.
3.

Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),

konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan


bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4.

Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang

berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Mekanisme immunoterapi dalam
menekan gejala rinitis adalah dengan cara mengurangi jumlah IgE, neutrofil,
eosinofil, sel mast, dan limfosit T dalam peredaran darah. Salah satu contoh
preparat ini adalah omalizumab. Omalizumab merupakan antibodi anti-IgE
monoklonal yang bekerja dengan mengikat IgE dalam darah. Dosis
omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu.

Rhinitis Alergi | 32

Gambar 10. Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi1

3.3.10 Komplikasi
Komplikasi rhinitis alergi yang paling sering adalah2,4,6:
1.

Polip hidung.
Terdapat pertumbuhan benigna yang lembut terjadi pada lapisan hidung yang
disebabkan radang kronik.
Rhinitis Alergi | 33

2.

Sinusitis paranasal.
Merupakan proses inflamasi mukosa satu atau lebih sinus paranasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergi dalam mukosa yang menyebabkan
sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara
rongga sinus. Hal tersebut menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat destruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas oleh
eosinofil dengan akibat sinusitis semakin parah.

3.3.11 Prognosis
Sebagian besar pasien dapat hidup normal. Hanya pasien yang mendapat
imunoterapi untuk alergen spesifik yang dapat sembuh dari penyakitnya dan banyak
juga pasien yang melakukan pengobatan simtomatik saja secara intermiten dengan
baik. Rinitis alergi mungkin dapat timbul kembali dalam 2-3 tahun setelah
pemberhentian imunoterapi. Gejala rinitis alergi akan menurun pada pasien bila
mencapai umur 4 dekade3.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer, Arif dkk.. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI. 106-108. 2001
2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.
2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
3. Sumarman, Iwin. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rinitis
Alergis, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17. 2000.
4. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
Rhinitis Alergi | 34

5. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N.2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal :
128-134.
6. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke delapan.
McGrawl-Hill. 2003.
7. Mullol J, Valero A, Alobid I, Bartra J, Navarro AM, Chivato T, et al. Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma Update (ARIA 2008). The perspective from Spain. J Invest
Allergol Clin Immunol. 2008;18:327-34
.

Rhinitis Alergi | 35

Anda mungkin juga menyukai