Epidemiologi
Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia
berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80%
tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata
terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan
angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi
diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian Shackleton
dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan penyandang
epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998)
adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang.
Penyebab
Penyebab pasti dari epilepsi masih belum diketahui ( idiopatik) dan masih
menjadi banyak spekulasi. predisosisi yang mungkin menyebabkan epilepsi meliputi:
Pascatrauma kelahiran
Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsan yang digunakan
sepanjang kehaliman.
Asfiksia neonatorum
Riwayat ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan
latar belakang sukar melahirkan, penggunaaan obat-obatan, diabetes, atau
hipertensi)
Pascacedera kepala
Patofisiologi
Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal
terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju ke arah epilepsi. gerakangerakan fisik yang tak teratur disebut kejang.
Akibat adanya distriknia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini
memberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sapai gerakan
konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran. Keadaan ini dapat duhubungkan
dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan, hilangnya tonus otot serta gerakan
dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensai, dan persepsi. Sehingga epilepsi bukan
penyakit tetapi suatu gejala.
Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik (disritmia) pada sel saraf
pada salah satu bagian otak yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik
abnormal, berulang, dan tidak terkontrol. karakteristik kejang epileptik adalah suatu
manifestasi muatan neuron berlebihan ini.
Pola awal kejang menunjukkan daerah otak dimana kejang tersebut berasal.
Juga penting untuk menunjukkan jika klien mengalami aura (suatu sensasi tanda
sebelum kejang epileptik yang dapat menunjukkan asal kejang misalnya melihat
kilatan sinar dapat menunjukkan kejang berasal dari lobus oksipiatal).
Pathway
Idiopatik., serta faktor predisposisi
- pasca trauma kelahiran, asfiksia neonatorum, pasca cedar kepala
- Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan antikonvulsan
- Riwayat ibu yang mempunyai resiko tinggi
- Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak
- Adanya riwayat keracunan
- Riwayat gangguan sirkulasi serebral
- Riwayat demam tinggi, gangguan metabolism dan nutrisi/gisi
- Riwayat intoksikasi obat-obatan/alcohol
- Riwayat tumor otak , abses dan kelainan bentuk bawaan
- Riwayat keturunan epilepsi
gangguan pada sistem listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak
Sel-sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol ( disritmia )
Gangguan pernapasan
Kerusakan otak permanen
Kebutuhan
metabolik besar
Hipoksia otak
Edema
Kejang parsial
Peka rangsang
RISIKO TINGGI
INJURI
Kejang berulang
Respon fisik :
- Kontaksi otot
maseter
Lidah tergigit
KETIDAK
SEIMBANGAN NUTRISI :
KURANG DARI
KEBUTUHAN TUBUH
Tidak mampu
menelan makanan
Respon fisik :
- Konfusi dan sulit
bangun
- Keluhan sakit kepala
atau sakit otot
Respon psikologis :
- Ketakutan
- Respon penolakan
- Penurunan nafsu makan
- Depresi
- Menarik diri
NYERI
AKUT
KOPING
KETAKUTAN
INDIVIDU TIDAK
EFEKTIF
Klasifikasi
Ada dua golongan utama epilepsi yaitu serangan parsial atau fokalyang mulai
pada suatu tempat tertentu di otak, biasanya di daerah korteks serebri ; dan serangan
umum yang agaknya mencakup seluruh korteks serebri dan diensefalon (Price, 1995)
a. Kejang umum, kejang grand mal ditandai oleh empat fase:
1. Fase aura- seseorang mengalami berbagai sensai sebelum kejadian kejang kronik.
Sensasi ini merupakan tanda akan datangnya kejang. Sensasi mungkin merupakan
penciuman, pusing, cahaya, rasa tertentu, baal atau getaran pada tangan.
2. Fase tonik-ditandai oleh hilangnya kesadaran, jeritan (suara bernada tinggi
disebabkan lewatnya udara melalui laring yang menutup disertai kontraksi
maksimal otot-otot dada dan perut), tubuh kaku karena kontraksi tiba-tiba dari
seluruh otot volunteer ( tangan fleksi, kaki ekstensi dan gigi rapat).
3. Fase klonik-ditandai oleh gerakan-gerakan kejang agitasi seluruh tubuh karena
pergantian relaksasi dan kontraksi yang cepat dari seluruh otot volunteer.
Pernapasan terhenti dan terjadi sianosis. Mungkin disertai mulut berbusa karena
banyaknya saliva yang mungkin berwarna merah bila terjadi pendarahan karena
tergigitnya lidah.
4. Fase pemulihan atau postiktal-ditandai oleh nerhentinya gerakan-gerakan
kejang. Individu tidak sadar. Kesadaran dan semua gerakan volunteer perlahan
kembali. Kebingungan, agitasi dan peka rangsang mungkin muncul. Individu akan
merasa lelah. Mungkin mengalami inkontinensia urine. Individu jua lupa akan
kejang yang dialaminya.
Kejang petit-mal(juga disebut takada kejang) ditandai hilangnyakesadaran
singkat yang terjadi tiba-tiba tanpa disertai hilangnya tonus otot. Selama serangan,
mungkin muncul lip smaking, pandangan kosong dan lurus ke depan, atau kelopak
mata berkedip secara ritmis.
b. Kejang fokal atau parsial
Kejang fokal sederhana ditandai dengan kejang pada bagian tubuh tertentu
merupakan tempat dimana konduksi neural abnormal terjadi goncangan pada satu
sisi wajah meluas kepada otot-otot tubuh pada sisi yangt sama. Gejala
somatosensori bisa terjadi misalnya kesemutan, rasa logam, halusinasi visual;
gejala otonom juga dapat terjadi seperti mual, berkeringat, individu tidak
mengalami kehilangan kesadaran.
Kejang fokal kompleks ditandai oleh adanya kehilangan kesadaran, disertai
tingkah laku kacau seperti lip smaking, menarik-narik pakaian, atau menunjukkan
jari. Kemudian kacau mental dan peka rangsang terjadi kemudian. Kejang parsial
dapat berkembang menjadi kejang umum. Dengan kejang pertama, seseorang
dirawat dan mengalami pemeriksaan diagnostic lengkap untuk menentukan
penyebab kejang.
RLP untuk diklasifikasi KDB dari epilepsi adalah 5,3 hari (Lorenz,1991).
Tidak ada uji laboratorium untuk menegakkan diagnosa kejang. Diagnosa
didasarkan pada observasi perilaku pasien.
Pemeriksaan Fisik
Pada pengkajian fisik secara umum, sering didapatkan pada awal pasca kejang
klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun. Pada kondisi yang lebih berat
sering dijumpai adanya penurunan kesadaran.
B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu
nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada klien
epilepsi disertai adanya gangguan pada sistem pernafasan.
B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan pada klien epilepsi
tahap lanjut apbila klien sudah mengalami syok.
B3 (Brain)
Pengkajian brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pada sistem lainnya.
B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume output
urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung
ke ginjal.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi aam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsi menurun karena anoreksia dan adanya
kejang.
B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan kekuatan otot
dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktivitas perawatan diri.
Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I, biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak
ada kelainan.
Saraf II, tes pada ketajaman pengelihan pada kondisi normal
Saraf III, IV, VI, dengan alasan yang tidak diketahui, klien epilepsi mengeluh
mengalami fotofobia (sensitif yang berlebihan terhadap cahaya)
Saraf V, pada klien epilepsi pada umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot
wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelinaan.
Sraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII, tidak ditemukan adanya kondisi tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X, kemampuan menelan baik
Saraf XI, tidak ada atropi ototsternokleidomastoideus dan traezius.
Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi,
indra pengecapan normal.
Fungsi serebral
Status mental, observasi penampilan dan tingkah laku klien, nilai gaya bicara
dan observasi, ekspresi wajah, aktivitas motorik pada klien epilepsi tahap lanjut
biasanya mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan prilaku,
alam perasaan dan persepsi.,
Sistem motorik, kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi
pada epilepsi tahap lanjut mengalami perubahan
Sistem sensorik, pemeriksaan sensorik pada epilepsi biasanya didapatkan
perasaan raba normal, suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan
tubuh, perasaan proprioseptif normal dan perasaan diskriminatif normal. Peka
rangsang cahaya merupakan tanda khas dari epilepsi. Pascakejang sering
dikeluhkan adanya nyeri kepala yang bersifat akut.
Gerakan involunter, tidak ditemukan adanya tremor, Tic, distonia. Pada
keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, pada anak dengan
epilepsi disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi,
Tingkat Kesadaran, kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang
paling mendasar dan paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif
untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk peringkat
perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran.
Pemeriksaan Diagnostik
1.
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak
dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini
dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
-
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan
gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam
yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada
penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau
segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya
7
kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh
gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut
tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko
epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,
magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan
sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan
MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi
untuk pertama kalinya.
5. CT Scan
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal,
gangguan degeneratif serebral
6. Magnetik resonance imaging (MRI)
7. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
Therapi/Tindakan Penanganan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan
diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan.
Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam
kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin
timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan
tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah
cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan
selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering
dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika
terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau
bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi
yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
Penatalaksanaan
o Farmakoterapi
- Anti konvulsion untuk mengontrol kejang
o Pembedahan
Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali
vaskuler
Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan
untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang
menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala
9
merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang
memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak
hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat
cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan
latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi)
harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera
akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan
persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini,
dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti
konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari
rencana pencegahan ini.
Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan :
10
11
I.
Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan
tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek
epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan
kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman
kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal
masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk masuk RS. keluhan utama
pada penderita leukemia yaitu perasaan lemah, nafsu makan turun, demam, perasaan tidak
enak badan, nyeri pada ektremitas.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul.
Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi
pendarahan ( ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan
tedapat pembesaran hati, limpa, dan kelenjar limpe, kelemahan. nyeri tulang atau sendi
dengan atau tanpa pembengkakan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit
sekarang perlu ditanyakan.
5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat
prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu
diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi
sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi
timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan
untuk mengetahui keadaan anak setelah
6. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang
dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang
menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
12
2. Sesudah serangan
-
4. Riwayat Penyakit
II.
Diagnosa keperawatan
13
14
IV. Evaluasi
No Dx
Evaluasi
1
Klien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
2
Keluhan nyeri klien berkurang/ rasa sakit teradaptasi (terkontrol)
3
4
Ketakutan klien hilang atau berkurang
5
Harga diri klien meningkat
6
Klien mampu mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan berbagai
rangsangan yang dapat meningkatkan/berpotensi pada aktivitas kejang.
15
DAFTAR PUSTAKA
Wong and Whaley. ( 1995 ). Clinical Manual of Pediatric Nursing. Philadelphia:
Suddart, & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Purnawan J. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Ed2. Media Aesculapius. FKUI.1982.
Price, Sylvia A, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed4. Jakarta.
EGC. 1995.
Syamsuhidayat, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta, EGC,
1997.
16