Anda di halaman 1dari 14

PROMOSI KESEHATAN

PENCEGAHAN PENULARAN PENYAKIT TB PARU


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Dasar Media Komunikasi, Informasi dan Edukasi

OLEH :
KELOMPOK V
AJ IKM II B

Maydiya R N
Vidia Sabrina B
Karunia Friska P
Dina Putri Y
Dona Sri P
Anisa Kusuma
Laily Mitha A
Ervin Putri
Marta Hadi P
Iffi Nimah K

101411123006
101411123021
101411123028
101411123036
101411123056
101411123070
101411123082
101411123101
101411123103
101411123114

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015

P1 ANALISIS
A.

Analisis Situasi
Tuberculosis adalah penyakit akibat Mycobacterium tuberculosis sistemis

sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paruparu yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Mansjoer, 2000). Kuman ini
juga tahan berada di udara kering dan keadaan dingin (misalnya di dalam lemari
es) karena sifatnya yang dormant, yaitu dapat bangkit kembali dan menjadi lebih
aktif. Selain itu, kuman ini juga bersifat aerob. Tuberkulosis paru merupakan
infeksi pada saluran pernapasan yang vital. Basil Mycobacterium masuk kedalam
jaringan paru melalui saluran napas (dreplet infection) sampai alveoli dan
terjadilah onfeksi primer (Gbon). Penderita TB harusnya dapat melindungi
lingkungan sekitar dalam hal meminimalisir kuman TB yang berada dalam udara
bebas misalnya dengan tidak meludah di sembarang tempat.
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi tertinggi yang masih
menjadi permasalahan di dunia tidak hanya di Indonesia. Menurut WHO hingga
tahun 2012, tercatat adanya 7.3 juta kasus TB paru di seluruh dunia dan sebanyak
2.1 juta kematian akibat penyakit TB. Kini diperkirakan sekitar sepertiga dari
penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Sejak tahun
2007 hingga tahun 2012 kasus Tb di Indonesia mengalami penurunan lambat
seiring didapati peningkatan per kapita dari 74.000 kasus menjadi 72.000 kasus .
Jumlah kematian akibat TB di Indonesia diperkirakan 61.000 kematian per tahun.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi
penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013
adalah 0,4 %. Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2013,
Surabaya merupakan kota terbanyak penderita TB paru dengan jumlah penderita
4.336 orang. Pada tahun 2013, penderita TB paru yang sembuh dari penyakit
sebesar 42.222 orang atau 89% dari total penderita TB 43.725 orang.

Kota

Surabaya menempati urutan pertama di Jawa Timur saat ini. Daerah dengan
peringkat 3 tertinggi penderita TB Paru di Surabaya adalah Perak Timur (94
kasus), Dupak (75 kasus), dan Pegirian (45 kasus) (Dinas Kesehatan Kota
Surabaya, 2013).

Pada jurnal penelitian tahun 2014, tingkat pendidikan rendah pada


penderita TB lebih besar yaitu 57,3%, bila dibandingkan dengan pendidikan tinggi
7,8%. Temuan penelitian ini sesuai dengan hasil Riskesdas 2013, yang
menemukan prevalensi TB paru lebih tinggi pada pendidikan rendah
dibandingkan pendidikan tinggi (Badan Litbang Depkes RI, 2014).
Berdasarkan Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta (2008), jumlah
penderita TB paru di Puskesmas Kalasan, Sleman, Yogyakarta pada tahun 2007
berjumlah 20 penderita. Penelitian dilakukan pada bulan November-Desember
2007 di Puskesmas Kalasan dengan karakteristik responden paling banyak
memiliki pendidikan terakhir SMU 11 orang (55%), jenis pekerjaan mayoritas
petani 15 orang (75%), dan berjenis kelamin laki-laki 15 orang atau (75%),
kelompok umur yang paling banyak menderita TB 41-50 tahun 9 atau (45%)
(Djitowiyono, Sugeng dkk, 2008).
Pada penelitian yang telah dilakukan pada 15 penderita TB paru di
Puskesmas Perak Timur dilakukan penyebaran kuesioner kepada pasien TB paru
didapatkan hasil sebanyak 20% pasien mempunyai kualitas hidup baik, 47%
mempunyai kualitas hidup sedang dan 33% pasien mempunyai kualitas hidup
buruk. Pada wawancara yang juga dilakukan pada 5 orang pasien TB paru, 3 dari
5 pasien mengatakan bahwa penurunan kepuasan hidup mulai dirasakan bukan
saat awal didiagnosa melainkan setelah pasien melewati fase intensif
pengobatannya. Kelemahan fisik, mual, dan penurunan berat badan menjadi
keluhan tersering yang diucapkan pasien. Pasien juga mengatakan saat diketahui
memiliki penyakit TB paru, pasien tidak dapat bekerja lagi seperti biasanya
karena pasien diharuskan libur dari tempatnya bekerja. Hal ini diperkuat dengan
data Riskesdas 2013 bahwa penderita TB paru paling tinggi (11,7%) tidak bekerja.
Penderita mengatakan terkadang merasa dikucilkan karena TB paru merupakan
salah satu penyakit menular (Juliandari, Ni Made dkk, 2014).
Meskipun angka penderita TB paru berkurang dari tahun 2012 ke tahun
2013 namun pada kenyataannya penderita TB paru tetap ada. Penyakit TB paru
banyak ditemukan pada daerah yang padat penduduk dengan sanitasi yang kurang
bagus misalnya kurangnya ventilasi dan pencahayaan di rumah penduduk ataupun
dari ludah yang terhirup dan mengandung bakteri TB. Hal ini bisa terjadi karena
2

penderita TB paru masih meremehkan hal yang sepele seperti penggunaan masker,
meludah di sembarang tempat, dan pemakaian benda bersama dengan penderita
TB seperti penggunaan sendok saat makan bersama padahal pengetahuan mereka
mengenai pencegahan TB paru sudah baik.
Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA)
positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi
jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab (Darmanto, 2007). Faktor yang memungkinkan seseorang terpapar kuman
tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007).
Faktor resiko keluarga untuk tertular penyakit TB salah satunya
dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal. Semakin padat penghuni rumah akan
semakin cepat pula udara di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran.
Karena jumlah penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar
oksigen dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya.
Dengan meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi
kesempatan

tumbuh

dan

berkembang

biak

lebih

bagi Mycobacterium

tuberculosis. Dengan demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh
penghuni rumah melalui saluran pernafasan (Smith P.G dan Moss A.R,1994).
Selain itu jendela dan lubang ventilasi merupakan faktor penting sebagai tempat
keluar masuknya udara juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran
udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Jika dalam ruangan tersebut terjadi
pencemaran bakteri TB akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran
udara dan sinar matahari yang masuk kedalam rumah, akibatnya kuman
tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap
bersama udara pernafasan (DepKes R.I,1994). Sinar matahari dapat dimanfaatkan
untuk pencegahan penyakit TB paru, dengan mengusahakan masuknya sinar
matahari pagi kedalam rumah. Cahaya matahari masuk ke dalam rumah melalui
jendela atau genteng kaca. Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar
3

ultraviolet yang dapat mematikan kuman (Depkes RI, 1994). Menurut Fatimah
(2008) selain faktor kesehatan lingkungan rumah (pencahayaan, ventilasi, dan
kelembaban), status gizi juga berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru.
Kondisi sosial ekonomi suatu keluarga sangat berkaitan dengan kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan asupan gizi dan sanitasi rumah. Selain itu juga bayi maupun
anak-anak yang belum melakukan imunisasi BCG juga rentan terhadap bakteri
TB.
Sikap merupakan kecenderungan seseorang untuk menginterpretasikan
sesuatu dan bertindak atas dasar hasil interpretasi yang diciptakannya. Sikap
seseorang antara lain dibentuk oleh pengetahuan dan nilai maupun norma yang
dianut (Kurniasari, 2008). Proses pembentukan sikap dapat terjadi karena adanya
rangsangan seperti pengetahuan masyarakat tentang pencegahan penyakit TB
paru. Rangsangan tersebut menstimulus diri masyarakat untuk memberi respon
dapat berupa sikap positif atau negatif yang akhirnya akan diwujudkan dalam
perilaku atau tidak.
Penderita TB paru umumnya telah mengetahui upaya penanggulangan
supaya bakteri TB tidak menular pada lingkungan sekitar terutama keluarga
namun pada kenyataannya tak jarang pula mereka mengabaikan hal tersebut
seperti tidak menutup masker saat berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Intervensi yang dilakukan kepada penderita akan membuat mereka
memiliki sikap positif tentang penularan penyakit TB sehingga lebih peduli
terhadap penyakit TB sehingga akan lebih efektif untuk pencegahan TB paru.
Selain itu, akan lebih mengingatkan penderita agar penyebaran kuman TB tidak
meluas misalnya mengingatkan untuk pemakaian masker, tidak meludah
disembarang tempat, menutup mulut ketika batuk/bersin ataupun tidak
menggunakan barang pribadi secara bersama-sama terutama yang kontak
langsung dengan cairan penderita misal penggunaan sendok bersama-sama saat
makan.
Dari penjelasan diatas, sikap positif yang terbentuk dalam diri penderita
TB dalam hal pencegahan untuk menjaga lingkungan sekitar agar tidak terinfeksi
penyakit TB paru diharapkan dapat tercermin melalui perilaku yang dilakukan.
Penderita TB paru turut pula berperan dalam mengurangi prevalensi TB dengan

cara ikut menjaga lingkungan sekitar supaya tidak terinfeksi TB namun tetap
dapat bersosialisasi dengan baik.
B.

Analisis Sasaran

1.

Pemilihan Sasaran
Sasaran inti dari program ini adalah penderita TB paru di wilayah kerja

Puskesmas Perak Timur Surabaya. Kesadaran yang dimiliki penderita TB paru


akan membentuk sikap positif yang dapat diwujudkan dalam tindakan nyata untuk
meminimalisir penyebaran kuman TB.
Sasaran non-inti dari program ini adalah keluarga penderita TB di wilayah
kerja Puskesmas Perak Timur Surabaya, dan masyarakat secara luas. Keluarga
lebih banyak berinteraksi dengan penderita TB sehingga lebih rentan terpapar
bakteri TB dan terkena penularan TB.
2.

Analisis sosial dan perilaku


Berdasarkan data sekunder yang telah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa

perilaku penderita TB paru, dan kondisi lingkungan disekitar diantaranya:


a. Penderita TB tidak mengetahui bagaimana cara berinteraksi tanpa
menimbulkan resiko. Mereka menganggap bahwa dengan pengobatan
yang telah dijalani maka kuman TB yang ada dalam tubuh penderita
hilang sehingga tidak menggunakan masker/ tidak waspada saat
bersosialisasi.
b. Penderita TB paru masih menggunakan barang secara bersama-sama
dengan keluarga maupun lingkunagn sekitar. Saat makan bersama
masih menggunakan sendok secara bergantian atau menggunakan
handuk yang sama.
c. Faktor kurangnya sanitasi lingkungan seperti perilaku meludah
sembarangan dijalan atau lingkungan memiliki potensi untuk
penularan penyakit.
d. Faktor sanitasi lingkungan rumah karena kurangnya ventilasi maupun
pencahayaan yang kurang memadai dalam tempat tinggal penderita TB
sehingga proses penyembuhan dan pencegahan berjalan lambat, dan

kuman TB berpotensi untuk menularkan kepada lingkungan yang


terdekat yaitu keluarga.
e. Jarak tempat tinggal yang berhimpitan tanpa disertai ventilasi dan
pencahayaan yang memadai pada lingkungan tempat tinggal penderita
TB.
C.

Identifikasi Kebijakan dan Program yang Ada


Saat ini, program yang mendukung dalam mengurangi angka penderita TB

adalah terapi DOTS (Directly Observed Treatment Shor Course) yang merupakan
pengawasan langsung jangka pendek yang diawasi langsung oleh pengawas.
Setiap pengelola program ini harus berusaha menemukan penderita TB dan
diobservasi dalam meminum obatnya. Setiap obat yang ditelan penderita harus
dilakukan didepan petugas. Di Rumah Sakit Pemerintah dan Puskemas
pengobatan TB dilakukan secara gratis. Dalam melakukan pencatatan dan
pelaporan juga telah terdapat software TB03 Elektronik yang digunakan untuk
mendata pasien lama maupun baru dan pengobatannya. Intervensi terhadap
keluarga maupun lingkungan sekitar belum ada program tetap/pasti, hanya sebatas
penyuluhan namun tidak hanya tertuju untuk keluarga/lingkungan sekitar yang
lebih banyak bersosialisasi dengan penderita.
Program DOST yang dijalankan hanya sebatas mengintervensi penderita
TB, namun dalam berlangsungnya program tak jarang pula banyak penderita yang
tidak rutin dalam mengkonsumsi obat sehingga harus mengulang pengobatan dari
awal. Hal tersebut dapat mengakibatkan penderita resisten terhadap penyakit TB
sehingga pengobatan yang dilakukan menjadi lebih lama. Jika terjadi resisten TB,
interaksi yang terjalin antara penderita dengan lingkungan sekitar akan lebih
panjang dan akan menimbulkan resiko penularan yang lebih besar pula. Oleh
karena itu, diperlukan intervensi terhadap keluarga/lingkungan yang selain
digunakan sebagai upaya pencegahan dalam pengurangan TB juga sebagai
motivasi penderita TB supaya melakukan perilaku yang memperbesar resiko
pemaparan kuman TB.

D.

Saluran Komunikasi yang Tersedia


Selama ini, Dinas Kesehatan menyuarakan tentang pemberantasan TB

melalui poster, dan iklan di televisi yang memiliki pesan waspada 3B yaitu Bukan
Batuk Biasa, artis (Tukul Arwana) yang menyampaikan pesan Lawan 3A dengan
3B yang berisi anjurkan penderita diperiksa, awasi pengobatan, dan anjurkan
cara hidup sehat.

P2
DESAIN STRATEGIS
A.

Tujuan
Tujuan program ini menganut pada SMART (Spesific, Measurable,

Appropriate, Realistic, Timebound).


Tujuan program ini adalah meningkatkan kesadaran penderita TB tentang
cara penularan TB dan cara menjaga diri agar tidak menularkan bakteri TB pada
lingkungan sekitar di Wilayah Kerja Puskesmas Perak Timur Surabaya setelah
dilakukan promosi kurang lebih 3 bulan.
B.

Sasaran
Tim penyuluh memilih sasaran yaitu penderita TB paru yang memiliki

BTA (+) atau penderita yang memiliki resiko untuk menularkan bakteri TB.
C.

Pendekatan Program dan Positioning


Model perubahan perilaku yang menjadi dasar adalah Teori Health Belief

Model (HBM) karena intervensi yang dilakukan hanya ingin melihat sikap
penderita TB paru terhadap upaya pencegahan penyakit TB.
Health Belief Model (HBM) menurut Rosenstock pertama kali
dikembangkan pada tahun lima puluhan oleh sekelompok ahli psikologi sosial
dalam usaha untuk menjelaskan sebab kegagalan sekelompok individu dalam
menjalani program pencegahan penyakit atau dalam deteksi dini suatu penyakit.
Hochbaum (1958) dan Rosenstock (1960, 1966, 1974) dalam mengidentifikasi
faktor-faktor yang berperan dalam perilaku kesehatan menggunakan pendekatan
Model

Keyakinan Kesehatan (Health Belief Model). Dalam perkembangan,

model ini digunakan antara lain untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi
predictor dan respons seseorang terhadap gejala penyakit. HBM juga merupakan
model yang sering digunakan untuk menjelaskan perilaku pencegahan penyakit
(preventive health behaviour). Pada tahun 1952, Hochbaum mencari faktor
pendorong dan faktor penghambat dari masyarakat untuk datang memeriksakan
diri pada program skrining TBC yang disediakan secara cuma-cuma di daerah
8

tersebut dengan menggunakan mobile X-ray unit. Dalam studi ini, Hochbaum
mendapatkan korelasi dengan derajat kemaknaan yang tinggi antara tindakan
menjalani skrining dengan hal-hal berikut :
1.

Persepsi mereka tentang kerentanan terhadap penyakit.

2.

Persepsi mereka tentang manfaat yang akan diperoleh bila menjalani


suatu tindakan tertentu.

Dari

dua faktor tersebut

di

atas,

ternyata bahwa persepsi tentang

kerentanan terhadap penyakit merupakan variabel yang lebih kuat dibandingkan


dengan persepsi tentang manfaat yang diperoleh. Hochbaum juga berpendapat
bahwa kesediaan untuk melakukan deteksi dini penyakit juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain, khususnya oleh cues to action seperti kegiatan yang secara
fisik terlihat, atau publikasi melalui media massa.
Skema model perubahan perilaku Health Belief Model (HBM) seperti
pada gambar di bawah ini:

Dalam membuat materi penyuluhan misalnya hal yang dapat dilakukan


untuk mencegah TB paru pada lingkungan sekitar penderita TB menggunakan
panduan dari teori HBM. Berarti individu dibuat agar:
1) Yakin (percaya) mereka dapat menularkan penyakit TB paru pada lingkungan
sekitarnya Perceived susceptibility
2) Yakin bahwa kuman TB yang ada dalam diri mereka sangat berbahaya pada
lingkungan sekitar, dan beresiko yang sama untuk tertular TB paru.
Perceived severity
3) Yakin resiko TB paru dapat diminimalisir dengan perilaku seperti penggunaan
masker, tidak menggunakan barang bersama-sama, dan tidak meludah di
sembarang tempat. Perceived benefit
4) Yakin bahwa keuntungan dari perilaku tersebut lebih besar harga manfaatnya
daripada faktor penghalangnya dan ada harga yang harus dibayar misalnya
ada pengeluaran yang digunakan untuk membeli masker, dan jika telah
terinfeksi TB maka ada pengeluaran yang dikeluarkan untuk pengobatan TB.
Perceived Barrier
5)

Menerima dukungan untuk melakukan tindakan yang benar melalui sebuah


rangsangan atau faktor pendukung (misalnya penyuluhan TB melalui media
massa). Cues to action

6) Keyakinan pada kemampuan diri untuk berhasil melakukan tindakan tersebut


seperti selalu menggunakan masker saat berinteraksi. Self Eficacy
Peningkatan kesadaran akan memberikan dampak positif bagi sasaran inti
maupun sasaran non inti dalam bentuk informasi cara pencegahan TB sehingga
dampak positif bagi sasaran yaitu:

10

a. Informasi yang diberikan dapat meningkatkan kesadaran pencegahan


penyakit TB.
b. Lingkungan sekitar penderita terhindar dari penyakit TB dengan
pencegahan yang benar.
c. Membiasakan penderita untuk melakukan pencegahan TB secara efektif.
D.

Mengapa Dan Bagaimana Mengubah Perilaku Hidup Sehat


Peningkatan kesadaran yang dilakukan pada penderita TB untuk

melindungi keluarga agar tidak tertular penyakit TB. Tentukan posisi


keuntungan bagi sasaran
1.

Meningkatkan kesadaran pencegahan penyakit TB akan mewujudkan


perilaku yang optimal pada penderita TB paru.

2.
E.

Keluarga bisa terhindar dari ancaman penyakit TB paru.

Penentuan Media
Saluran komunikasi dalam kegiatan pencegahan penyakit TB paru ini

menggunakan

pendekatan

multimedia

dimana

pendekatan

tersebut

mengkombinasikan berbagai media. Saluran komunikasi yang digunakan


berdasarkan sasaran inti dan sasaran non inti:
1. Sasaran Inti Poster
Media visual adalah media utama yang paling tepat ditujukan untuk
sasaran inti karena lebih untuk mengingatkan kembali penecegahan
yang harusnya dilakukan untuk penularan kuman TB.
2. Sasaran non inti iklan layanan masyarakat
Media audiovisual merupakan media yang dipilih untuk sasaran non
inti yaitu keluarga, dan masyarakat secara luas. Media yang digunakan
berupa iklan layanan masyarakat yang nantinya akan di saluran televisi
local atau youtube.
F.

Rencana Implementasi
1

Maret Minggu ke2


3
4

Kegiatan
Perencanaan Kegiatan
11

April Minggu ke2


3
4

Penentuan

Sasaran,

Pengambilan dan Analisa


Data Sekunder
Presentasi Proposal
Penyusunan Media
Uji Coba Media
Revisi Media
Penyusunan Laporan
Simul
asi
Penyuluhan/Performance
G.

Susunan Rencana Anggaran


Berdasarkan data yang ada, rencana anggaran yang dapat disusun yaitu:
1) Iklan
Perlengkapan dan dokumentasi
Media (film)

Rp. 150.000,-

Baterai

Rp. 50.000,-

Kaset handycam

Rp. 90.000,-

CD kosong

Rp. 7.000,-

Total

Rp. 297.000,-

2) Poster
Pembuatan poster

Rp. 50.000,-

3) Proposal

H.

Pembuatan proposal

Rp. 10.000,-

Penggandaan proposal +jilid

Rp. 50.000,-

Rencana Evaluasi dan Monitoring


Rencana evaluasi dilakukan untuk membandingkan kesesuaian tujuan

program dengan hasil pelaksanaan program. Dalam membandingkan hasil yang


sudah dicapai, dilakukan suatu penilaian. Penilaian ini berguna untuk menentukan
keberhasilan dalam pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Tujuan dari evaluasi

12

yaitu mengetahui efisiensi sumber daya yang digunakan, mengetahui klebihan dan
kelemahan media, dan membantu menyusun perecanaan di masa mendatang.
Penilaian yang dilakukan adalah penilaian akhir, dimana evaluasi hasil
akan dilakukan setelah 3 bulan media dipublikasikan. Kegiatan promosi dikatakan
berhasil apabila sasaran telah melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan
penyampaian pesan serta masyarakat dapat menjaga diri dari penderita TB.
1. Indikator Keberhasilan
Kegiatan evaluasi dan monitoring sangat diperlukan untuk
pencapaian tujuan kegiatan. Indikator keberhasilan dari program ini
adalah:
a. Sebesar 80% penderita TB paru bersikap positif dalam menaggulangi
cara penularan TB di Wilayah Kerja Puskesmas Perak Timur.
2. Ukuran hasil dan dampak
Hasil dari media dapat diukur dari pencapaian indikator yang telah
ditetapkan. Bila seluruh indikator yang telah ditetapkan berhasil dicapai
seusai kegiatan promosi maka program tersebut dinyatakan berhasil untuk
meningkatkan pengetahuan dan perilaku masyarakat untuk menjaga diri
dari penyakit TB di Wilayah Kerja Puskesmas Perak Timur.

13

Anda mungkin juga menyukai