definisi tersebut dapat dilihat sebuah gambaran akan siswa ideal yang mandiri dan
dapat mengatur proses pembelajarannya sendiri.
Dari hasil beberapa penelitian, ditemukan beberapa karakteristik umum
dari individu yang dinyatakan sebagai self-regulated learner yang diantara lainnya
adalah (Corno, 2001; Weinstein, Husman dan Dierking 2000; Winne, 1995;
Zimmerman 1998, 2000, 2001, 2002, dalam Montalvo dan Torres, 2004), individu
dapat mengenali dan mengetahui cara menggunakan serangkaian strategi kognitif
(seperti pengulangan, penjabaran dan pengaturan), yang membantu mereka dalam
memperhatikan, mengubah, mengatur, mengelaborasi dan menarik informasi.
Tidak hanya proses kognitif, tetapi individu juga mengenali dan menggunakan
proses-proses
metakognitifnya
seperti
merencanakan,
mengontrol
dan
tujuan siswa belajar ditentukan juga oleh goal orientation yang ia miliki. Pintrich
(2003) mendefinisikan goal orientation sebagai tujuan atau alasan untuk terlibat
dalam achievement behaviours. Goal orientation siswa memainkan peranan
penting dalam model self-regulation yang dikemukakan oleh Pintrich. (Pintrich,
2000, dalam Schunk 2005).
orientation
didefinisikan
sebagai
sebuah
fokus
terhadap
proses
pembelajaran, menguasai sebuah tugas sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
sendiri, mengembangkan kemampuan baru, mengasah kemampuan, mencoba
menyelesaikan suatu tantangan dan berusaha memperoleh pemahaman dan insight
(Ames, 1992; Dweck & Legget, 1988; Harter, 1981; Maehr & Midgely, 1991;
Midgely et al, 1988; Nicholls, 198; Pintrich, 2000). Individu dengan goal
orientation ini melihat bahwa tujuan pembelajaran ialah pemahaman dan apa yang
ia pelajari berguna dalam mengembangkan dirinya. Sementara itu, individu
dengan performance goal orientation memusatkan perhatiannya pada usaha untuk
mendemonstrasikan kemampuannya ke orang lain dan bagaimana usahanya akan
dinilai orang lain (Ames, 1992; Dweck & Legget, 1988; Midgely et al, 1988
Pintrich, 2000). Individu dengan goal orientation ini berfokus dalam
menampilkan performa yang lebih baik atau menghindari performa yang lebih
buruk dibandingkan dengan orang lain. Terkait dengan goal orientation, Pintrich
(2000, dalam Schunk, 2005) menemukan bahwa siswa dengan mastery goals
menunjukkan kemampuan monitoring cognitive dan penggunaan strategi yang
lebih baik.
Meskipun terdapat perbedaan goal orientation antara siswa, akan tetapi
lingkungan kelas dan konteks juga memainkan peran yang penting (Hagen &
Weinstein, 1995). Menurut Hagen & Weinstein (1995), terdapat beberapa unsur
kelas yang harus diperhatikan untuk dapat membentuk mastery goal orientation
pada siswa-siswa, yaitu tasks, authority dan evaluation. Terkait dengan tasks atau
tugasm Ames (1992, dalam Hagen & Weinstein, 1995 ) mengusulkan bahwa
instruktur atau pengajar menekankan aspek penting dari tugas belajar,
menciptakan tugas belajar yang menarik dan menantang bagi siswa, mendorong
siswa untuk menentukan tujuan jangka pendek, dan mendukung penggunaan
strategi belajar ketika mengerjakan tugas. Dalam kelas, siswa juga harus
dibiasakan untuk menjadi pembelajar yang mandiri dengan memberikannya
authority atau kuasa. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan
bagis siswa untuk menentukan tugas yang diinginkan, serta hal ini membantu
mereka dalam kemampuan penyelesaian masalah (Hagen & Weinstein, 1995).
Ames (1992, dalam Hagen & Weinstein, 1995) menyarankan agar pengajar
memberikan evaluasi terhadap kemajuan dan penguasaan materi siswa, serta
menekankan pentingnya proses dan usaha mereka dibandingkan dengan
kemampuan semata. Dengan membentuk goal orientation dari siswa melalui
ketiga unsur tersebut, maka dapat ditemukan pengingkatan dalam kemampuan
self-regulated learning siswa pula.
Self-regulated learning bukanlah sebuah sifat yang terberi, melainkan
sebuah kemampuan yang dapat dilatih atau diajarkan kepada siswa (Pintrich,
2005) dan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, self-regulated learning telah
menjadi fokus dari penelitian dan praktek di bidang pendidikan (Montalvo &
Torres, 2004). Berbagai macam penelitian telah dilakukan untuk dapat lebih
memahami bagaimana perkembangan, cara pengajaran serta perbedaan selfregulated learning pada siswa-siswa. Penelitian yang dilakukan tidak hanya untuk
memahami proses-proses internal yang berlangsung ketika seseorang meregulasi
proses pembelajarannya, namun peran dari faktor eksternal dalam membentuk
kemampuan self-regulated learning. Seperti yang dikatakan oleh Pintrich (2005),
self-regulated learning merupakan suatu kemampuan yang dapat diajarkan
sehingga faktor kontekstual tetap memegang peranan yang penting dalam
membentuk kemampuan ini. Pintrich (dalam Schunk, 2005), menyatakan bahwa
proses regulasi ini tidak dibatasi oleh kemampuan kognitif dan motivasi pribadi
saja, tetapi keunikannya dan terdorong atau tidaknya seseorang untuk
melakukannya juga ditentukan oleh faktor kontekstual. Beberapa faktor
kontekstual yang berpengaruh terhadap kemampuan meregulasi kemampuan
belajar ialah struktur, lingkungan dan instruksi yang diberikan dalam kelas
(Sungur & Gngren 2009).
Dalam sepuluh tahun terakhir, banyak penelitian telah difokuskan pada
strategi instruksional untuk meningkatkan SRL (Butler & Winne, 1995, dalam
Paris & Winograd, 2003). Seperti yang telah dikemukakan oleh Sungur &
Gngren
(2009),
instruksi
dalam
kelas
memiliki
kemampuan
untuk