Anda di halaman 1dari 7

Salah satu tujuan psikologi pendidikan ialah untuk memahami proses

belajar manusia serta faktor-faktor yang berpengaruh dan metode-metode untuk


mengoptimalisasi proses pembelajaran tersebut. Terdapat beberapa macam
pendekatan atau aliran teori yang memberikan definisi dan pengertiannya
tersendiri terhadap proses pembelajaran manusia. Aliran behavioristik memiliki
pandangan yang mekanistik dan melihat bahwa manusia belajar melalui
konsekuensi yang ia terima atau diterima oleh orang lain terhadap responnya
terhadap suatu stimulus. Manusia akan terus melakukan hal yang disokong
dengan reward dan akan mengurangi tingkah laku yang berakhir dengan
hukuman. Sementara itu, pendekatan kognitif lebih berfokus perkembangan
fungsi dan proses kognitif sebagai faktor utama dalam proses belajar seperti yang
dikemukakan dalam teori cognitive-stage oleh Jean Piaget dan para pendukung
Information Processing Theory (IPT). Adapun pendekatan lainnya yang melihat
bahwa persepsi akan diri, motivasi serta orientasi tujuan, afek, atau sikap yang
dimiliki seseorang menjadi faktor yang vital dalam menentukan keberhasilan dari
proses belajar tersebut. Selain itu, terdapat juga penjelasan yang bahwa proses
pembelajaran sangat bergantung pada faktor kontekstual dan tidak dapat
disamakan antarkonteks. Dapat dilihat, bahwa setiap pendekatan memiliki
penjelasan dan kontribusinya masing-masing dalam pemahaman dan pengetahuan
kita akan proses pembelajaran (Greene & Azevedo, 2007).
Selain pendekatan yang telah disebutkan diatas, penulis menemukan
sebuah penjelasan akan proses belajar yang mengintegrasikan keseluruhan
pendekatan yang telah disebut diatas, yaitu self-regulated learning. Teori-teori
dari self-regulated learning berusaha menjelaskan bagaimana setiap faktor
kognitif, motivasi, tingkah laku, dan konteks memengaruhi proses pembelajaran
(Pintrich, 2000; Winne, 2001; Winne & Hadwin, 1998; Zimmerman, 2000 dalam
Greene & Azevedo, 2007). Self-regulated learning didefinisikan sebagai sebuah
proses yang aktif dan konstruktif, dimana pembelajar menetapkan tujuan dari
pembelajarannya dan mengawasi, mengelola dan mengatur kognitif, motivasi dan
perilaku mereka yang diatur oleh tujuan yang telah ditetapkan serta oleh faktor
kontekstual dari lingkungannya (Pintrich, 2004 dalam Schunk, 2005). Dari

definisi tersebut dapat dilihat sebuah gambaran akan siswa ideal yang mandiri dan
dapat mengatur proses pembelajarannya sendiri.
Dari hasil beberapa penelitian, ditemukan beberapa karakteristik umum
dari individu yang dinyatakan sebagai self-regulated learner yang diantara lainnya
adalah (Corno, 2001; Weinstein, Husman dan Dierking 2000; Winne, 1995;
Zimmerman 1998, 2000, 2001, 2002, dalam Montalvo dan Torres, 2004), individu
dapat mengenali dan mengetahui cara menggunakan serangkaian strategi kognitif
(seperti pengulangan, penjabaran dan pengaturan), yang membantu mereka dalam
memperhatikan, mengubah, mengatur, mengelaborasi dan menarik informasi.
Tidak hanya proses kognitif, tetapi individu juga mengenali dan menggunakan
proses-proses

metakognitifnya

seperti

merencanakan,

mengontrol

dan

mengarahkan proses mental mereka untuk menuju tujuan pribadi. Karakteristik


lainnya yang dimiliki seseorang yang mampu meregulasi proses belajarnya adalah
memiliki keyakinan motivasi dan emosi adaptif, seperti self-efficacy akademis
yang tinggi, mampu mengembangkan emosi positif terhadap suatu tugas
(misalnya: senang atau antusias), serta dapat mengaturnya agar sesuai dengan
ketentuan dari sebuah tugas atau situasi. Ditambah lagi, individu juga dapat
mengatur volitional strategies (kemauan mereka), agar dapat fokus kepada
penyelesaian suatu tugas dan dapat menghindari gangguan eksternal maupun
internal.
Selain pada ranah kognitif, seorang self-regulated learner juga dapat
mengatur tingkah lakunya seperti merencanakan waktu dan usaha yang
dibutuhkan untuk penyelesaian sebuah masalah, serta mereka dapat mengatur
lingkungannya, seperti mencari tempat yang nyaman untuk belajar, dan juga dapat
meminta bantuan kepada guru atau teman sekelasnya. Pada batasan tertentu,
mereka juga berusaha untuk mengatur dan meregulasi tugas akademis, suasana
dan struktur kelas. (seperti memilih kelompok kerja, pengaturan tugas sekolah).
Dari penjabaran karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang yang
dapat meregulasi proses belajarnya, melihat dirinya sebagai pengatur dari tingkah
laku mereka sendiri, mempercayai bahwa belajar merupakan sebuah proses yang
proaktif, serta mereka dapat memotivasi diri dan dapat menggunakan strategi yang

memungkinkan mereka mencapai hasil akademis yang diinginkan (Montalvo dan


Torres, 2004).
Berkaitan dengan penjelasan definisi dan karakteristrik individu diatas,
Pintrich (1995) menjelaskan bahwa pada tingkatan individu terdapat tiga dimensi
yang dapat mampu diregulasi oleh siswa, yaitu dimensi kognitif, motivasi dan
afek, serta tingkah laku mereka sendiri. Pintrich (1995) juga mengememukakan
bahwa terdapat tiga komponen atau karakteristik dari proses self-regulated
learning yang fungsinya terkait dengan ketiga dimensi diatas. Pertama adalah,
self-regulated learning mengatur kognisi, afek dan motivasi, serta tingkah laku
individu untuk memenuhi sebuah tujuan atau situasi. Kedua, dalam meregulasi
proses belajar terdapat sebuah tujuan yang ingin dicapai. Tujuan ini menghasilkan
sejumlah standar yang memungkinkan siswa untuk memantau serta menilai
performa yang dijalani, serta mengaturnya untuk mencapai tujuan tersebut.
Ketiga, karakteristik penting dari self-regulated learning ialah proses ini
dikendalikan oleh individu itu sendiri dan bukan oleh orang lain.
Salah satu kontribusi besar dari Pintrich terhadap penjelasan self-regulated
learning adalah penekanan terhadap peran motivasi dalam proses regulasi tersebut
(Schunk, 2005). Penelitian menunjukkan bahwa yang membedakan individu
dengan kemampuan regulasi belajar yang baik dengan yang buruk terletak pada
beberapa proses motivasi, (Pintrich, 2000b; Pintrich & Zusho, 2002). Individu
yang dapat meregulasi proses motivasinya, dapat menentukan tujuan serta mampu
memulai dan mempertahankan sebuah tingkah laku demi mencapai tujuan tersebut.
Pintrich menjadikan motivasi sebagai suatu konsep utama yang berlangsung pada
setiap tahapan self-regulated learning (Schunk, 2005).Sementara itu, motivasi dan

tujuan siswa belajar ditentukan juga oleh goal orientation yang ia miliki. Pintrich
(2003) mendefinisikan goal orientation sebagai tujuan atau alasan untuk terlibat
dalam achievement behaviours. Goal orientation siswa memainkan peranan
penting dalam model self-regulation yang dikemukakan oleh Pintrich. (Pintrich,
2000, dalam Schunk 2005).

Terdapat dua macam goal orientation, yaitu mastery goal dan


performance orientation. Masing-masing orientasi tujuan ini menampakkan
karakterisitik tingkah laku dan cara berpikir yang berbeda pada siswanya. Mastery
goal

orientation

didefinisikan

sebagai

sebuah

fokus

terhadap

proses

pembelajaran, menguasai sebuah tugas sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
sendiri, mengembangkan kemampuan baru, mengasah kemampuan, mencoba
menyelesaikan suatu tantangan dan berusaha memperoleh pemahaman dan insight
(Ames, 1992; Dweck & Legget, 1988; Harter, 1981; Maehr & Midgely, 1991;
Midgely et al, 1988; Nicholls, 198; Pintrich, 2000). Individu dengan goal
orientation ini melihat bahwa tujuan pembelajaran ialah pemahaman dan apa yang
ia pelajari berguna dalam mengembangkan dirinya. Sementara itu, individu
dengan performance goal orientation memusatkan perhatiannya pada usaha untuk
mendemonstrasikan kemampuannya ke orang lain dan bagaimana usahanya akan
dinilai orang lain (Ames, 1992; Dweck & Legget, 1988; Midgely et al, 1988
Pintrich, 2000). Individu dengan goal orientation ini berfokus dalam
menampilkan performa yang lebih baik atau menghindari performa yang lebih
buruk dibandingkan dengan orang lain. Terkait dengan goal orientation, Pintrich
(2000, dalam Schunk, 2005) menemukan bahwa siswa dengan mastery goals
menunjukkan kemampuan monitoring cognitive dan penggunaan strategi yang
lebih baik.
Meskipun terdapat perbedaan goal orientation antara siswa, akan tetapi
lingkungan kelas dan konteks juga memainkan peran yang penting (Hagen &
Weinstein, 1995). Menurut Hagen & Weinstein (1995), terdapat beberapa unsur
kelas yang harus diperhatikan untuk dapat membentuk mastery goal orientation
pada siswa-siswa, yaitu tasks, authority dan evaluation. Terkait dengan tasks atau
tugasm Ames (1992, dalam Hagen & Weinstein, 1995 ) mengusulkan bahwa
instruktur atau pengajar menekankan aspek penting dari tugas belajar,
menciptakan tugas belajar yang menarik dan menantang bagi siswa, mendorong
siswa untuk menentukan tujuan jangka pendek, dan mendukung penggunaan
strategi belajar ketika mengerjakan tugas. Dalam kelas, siswa juga harus
dibiasakan untuk menjadi pembelajar yang mandiri dengan memberikannya

authority atau kuasa. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan
bagis siswa untuk menentukan tugas yang diinginkan, serta hal ini membantu
mereka dalam kemampuan penyelesaian masalah (Hagen & Weinstein, 1995).
Ames (1992, dalam Hagen & Weinstein, 1995) menyarankan agar pengajar
memberikan evaluasi terhadap kemajuan dan penguasaan materi siswa, serta
menekankan pentingnya proses dan usaha mereka dibandingkan dengan
kemampuan semata. Dengan membentuk goal orientation dari siswa melalui
ketiga unsur tersebut, maka dapat ditemukan pengingkatan dalam kemampuan
self-regulated learning siswa pula.
Self-regulated learning bukanlah sebuah sifat yang terberi, melainkan
sebuah kemampuan yang dapat dilatih atau diajarkan kepada siswa (Pintrich,
2005) dan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, self-regulated learning telah
menjadi fokus dari penelitian dan praktek di bidang pendidikan (Montalvo &
Torres, 2004). Berbagai macam penelitian telah dilakukan untuk dapat lebih
memahami bagaimana perkembangan, cara pengajaran serta perbedaan selfregulated learning pada siswa-siswa. Penelitian yang dilakukan tidak hanya untuk
memahami proses-proses internal yang berlangsung ketika seseorang meregulasi
proses pembelajarannya, namun peran dari faktor eksternal dalam membentuk
kemampuan self-regulated learning. Seperti yang dikatakan oleh Pintrich (2005),
self-regulated learning merupakan suatu kemampuan yang dapat diajarkan
sehingga faktor kontekstual tetap memegang peranan yang penting dalam
membentuk kemampuan ini. Pintrich (dalam Schunk, 2005), menyatakan bahwa
proses regulasi ini tidak dibatasi oleh kemampuan kognitif dan motivasi pribadi
saja, tetapi keunikannya dan terdorong atau tidaknya seseorang untuk
melakukannya juga ditentukan oleh faktor kontekstual. Beberapa faktor
kontekstual yang berpengaruh terhadap kemampuan meregulasi kemampuan
belajar ialah struktur, lingkungan dan instruksi yang diberikan dalam kelas
(Sungur & Gngren 2009).
Dalam sepuluh tahun terakhir, banyak penelitian telah difokuskan pada
strategi instruksional untuk meningkatkan SRL (Butler & Winne, 1995, dalam
Paris & Winograd, 2003). Seperti yang telah dikemukakan oleh Sungur &

Gngren

(2009),

instruksi

dalam

kelas

memiliki

kemampuan

untuk

mengembangkan SRL. Instruksi didefinisikan oleh Reigelutuh & Carr-Chellman


(2009), sebagai segala sesuatu yang dilakukan secara sengaja untuk memfasilitasi
pembelajaran. Ada beragam metode instruksional yang digunakan dalam kelas,
baik dari pendekatan konvensional seperti ceramah hingga pendekatan
konstruktivisme dan self-instruction (Reigelutuh & Carr-Chellman 2009).
Penggunaan dari instruksi ini, dapat menentukan perkembangan kemampuan selfregulated learning serta goal orientation dari para siswa.
Untuk penelitian ini, peneliti hendak meneliti kemampuan self-regulated
learning dan goal orientationi siswa kelas 8 pada dua jenis kelas yang
menggunakan instructional method yang berbeda pada pelajaran matematika.
1.2. Masalah Penelitian
Masalah yang akan dicoba dijawab dalam peneltian ini adalah :

Apakah terdapat hubungan antara jenis instructional desig dan


goal orientation dengan kemampuan self-regulated learning?

1.3. Tujuan Penelitian


Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah :

Menemukan hubungan instructional design dan goal orientation


dengan kemampuan self-regulated learning.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat Praktis :
Manfaat Praktis dari penelitian ini adalah sebagai acuan dalam
pengembangan dan pembentukan lingkungan kelas yang dapat meningkatkan
kemampuan self-regulated learning pada siswa.
Manfaat Teoritis :
Hasil dari penelitian ini dapat menambah literatur mengenai konsep
instructional method, goal orientation dan self-regulated learning

1.5. Sistematika Penulisan

Anda mungkin juga menyukai