TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian
tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang
yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari (Suparyo, 2010).
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia(Suparyo, 2010).
Dalam sudut pandang Antropologi kebudayaan adalah seluruh system gagasan dan
rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang
dijadikan miliknya dengan belajar (Suparyo, 2010).
Budaya lokal adalah bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis bukan
berdasarkan baik dan buruk), dikemukakan oleh antropolog terkemuka di Indonesia yang
beretnis Sunda, Judistira K. Garna. Budaya lokal juga merupakan budaya milik penduduk
asli yang merupakan warisan budaya. Jadi budaya lokal adalah kebudayaan yang berlaku
dan dimiliki tiap daerah atau suku bangsa (Suparyo, 2010).
Budaya Siri dan Pesse adalah konsep yang mencakup gagasan tentang harga diri
dan rasa malu. Tidak ada kontradiksi dari kedua istilah ini, karena rasa malu secara
inplisit juga mengandung konsepsi yang merupakan asal munculnya harga diri. Namun
terdapat dua cara yang berbeda ketika orang merujuk ke istilahsiri. Satu sisi digunakan
orang untuk menandakan seseorang telah dibuat masiri (di permalukan). Perbuatan yang
membuat orang merasa malu adalah tindakan orang yang mengabaikan konsepsi tentang
martabat dan harga diri yang dipegang seseorang. Keadaan seperti itu, orang yang
telah ri pasiri ki(dibuat malu) diharapkan berbuat sesuatu untuk memulihkan kembali
harga diri yang ternodai dengan menagihnya pada pihak yang mencorengnya. Noda yang
melekat pada seseorang yang kehilangan siri , harga diri atau martabat, sangat besar
sehingga orang itu akan mengorbankan hidup dalam usaha menghilangkan rasa malu dan
memulihkan harga diri. Ada pepatah dalam masyarakat Bugis bahwa lebih baik mati
mempertahankan siri (mate ri sirina) dari pada terus hidup tanpa siri. Sirie mi ri
onroang ri lino. Artinya hanya siri itu sajalah kita hidup di dunia. Dalam ungkapan ini,
termaktub arti siri sebagai hal yang memberi identitas sosial dan martabat kepada
seseorang. Hanya kalau ada martabat atau harga diri hidup itu lebih berarti (Silvia, 2008).
Mate siri. Artinya orang yang sudah hilang harga dirinya dan tidak lebih dari bagkai
hidup. Orang Sulawesi Selatan yang merasa mati siri akan melakukan jallo (amuk), hingga ia
mati sendiri. Jallo yang demikian disebutnapattatongngi sirina artinya ditegakkan kembali
harga dirinya. Banyak terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan baik di daerah-daerah
perkotaan maupun di daerah pedesaan terpencil peristiwa bunuh-membunuh denganjallo dengan
latar belakang siri. Secara lahiriyah sering tampak seolah-olah orang yang masuk dalam
kategori tersebut yang merasakan siri yang sanggup membunuh atau dibunuh, memperbuat
sesuatu yang fatal karena alasan-alasan sepele atau karena masalah perempuan yang
sesungguhnya harus dipandang biasa-biasa saja. Akan tetapi pada hakekatnya apa yang kelihatan
oleh orang luar sebagai hal yang sepele dan biasa bagi kelompk masyarakat tertentu
sesungguhnya hanya merupakan salah satu alasan lahiriyah saja dari suatu kompleksitas sebabsebab lain yang menjadikan ia merasa kehilangan harga diri yang juga menjadi identitas
sosialnya (Rahmat, 2001).
Perkawinan adalah hal yang paling banyak bersinggungan dengan masalah siri. Apabila
pinangan seseorang ditolak, pihak peminang bisa merasa kehilangan kehormatan (degaga
sirina) sehingga terpaksa menempuh jalan kawin lari (silariang) untuk menghidupkan kembali
harga dirinya. Namun, keluarga gadis yang dilarikan tersebut justru merupakan suatu penghinaan
yang amat sangat, sehingga semua kerabat laki-laki gadis itu merasa berkewajiban untuk
membunuh si pelaku demi menegakkan sirikeluarga. Tugas pembelaan kehormatan tersebut
baru bisa berakhir apabila usaha rekonsilasi secara formal dilakukan, setelah melewati proses
negosiasi yang rumit dan lama diantara kedua belah pihak. Situasi semacam ini, tentu saja, dapat
menyebabkan lahirnya dendam warisan sampai beberapa generasi berikutnya. Jika ternyata si
gadis pergi bersama dengan si pemuda bukan atas keinginannya sendiri tapi karena dipaksa
(Ilariang), jalan damai telah tertutup. Bukan hanya si laki-laki tapi juga seluruh kerabat laki-laki
dianggap telah melakukan penghinaan dan semuanya bisa dibunuh tanpa rasa sesal sedikit pun
(Rahmat, 2001).
Sebenarnya, telah menjadi kewajiban seorang laki-laki untuk senantiasa melindungi
kehormatan keluarganya, terutama kehormatan para perempuan. Begitu juga halnya dengan
pengikut yang membela kehormatan pemimpinnya dan sebaliknya, seorang pemimpin yang
membela kehormatan pengikutnya. Apabila seseorang gagal melaksanakan tugas perlindungan
dan pembelaan tersebut, dia akan dicap pengecut dan tidak terhormat serta kehilangan harga
dirinya (de gaga sirina) dimata masyarakat. Satu-satunya pilihan baginya adalah pindah ke
tempat lain dimana dia tidak dikenal. Di sisi lain, pengasingan atau perantauan, jika dilakukan
langsung setelah seseorang dipermalukan, mungkin sebagai jalan keluar yang tepat, karena jika
membalas
dendam
akan
bertentangan
dengan
tuntutan
sosial
lainnya.
Dengan
demikian siri bukan semata-mata persoalan pribadi yang muncul secara spontan. siri lebih
sebagai suatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial. Hal ini dapat
menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi
sosial masyarakat Bugis (Rahmat, 2001).
Pesse konsepsi ini mempunyai banyak persamaan gagasan tentangsiri. Pesse berarti rasa
pedih, tapi juga mempunyai pengertian lain yaitu rasa simpati, empati terhadap kawan atau
keluarga. Sebagaimana dalamsiri, dalam pesse tidak ada pertentangan antara makna-makna tadi
yang berasal dari istilah tunggal ini. Sebaliknya, dalam kenyataan, makna-makna itu mengangkat
sebuah gagasan yang menyatu. Empati yang dirasakan seseorang terhadap sekampung yang
berada dalam kesukaran ditampakkan dalam bentuk emosi rasa sakit karena dia merasakan hal
yang sama secara spiritual. Emosi pesse inilah yang mengikat orang Bugis atau Makassar pada
kampung halamannya bahkan setelah lama dia pergi dan berperan sebagai perangsang bagi dia
untuk kembali ke komunitas aslinya. Seseorang juga dapat menampakkan pesse kepada
komunitasnya yang sedang menderita meski dia tidak terkena dampak langsung. Sebagaimana
halnya siri,perasaan empati dan simpati atau pesse meminta tindakan untuk menghilangkan
penyebab kesukaran. Kedua konsepsi ini sangat berkaitan erat. Tindakan merusak siri terhadap
seseoranglah yang menciptakan situasi pesse. Tekanan pesse komunitas terhadap seseorang
yang telah dibuat siri, atau dipermalukan, dapat memaksa orang itu mengambil langkah yang
bagi masyarakat dianggap prosedur layak dalam situasi seperti itu. Keberadaan tekanan sosial
semacam ini dapat dilihat pada pepatah Mate rigollai, mate risantangi. Artinya mati dilumuri
gula, mati diberi santan (Rahmat, 2001).
Tidak cukup atau tidak memadai dan bahkan terancam martabat atau harga diri seseorang
sebagai manusia jika sirinya tak bisa dipertahankan dan dipelihara serta kualitasnya gagal
ditingkatkan. Siri seseorang hanya bisa terjaga dan terangkat kualitasnya, jika keutamaan yang
dimilikinya diabdikan juga bagi orang lain berdasarkan pesse Sikap kepedulian tinggi pada
nasib orang lain dibuktikan dengan mengabdikan kekayaan, kepandaian, kesalehan, dan
kelebihan lain yang dimilikinya untuk memperbaiki nasib orang lain, terutama nasib mereka
yang lemah, teraniaya, dan ditinggalkan. Sipakatau dan Sipakalebbi adalah contoh sikap dan
perbuatan yang dapat menjaga dan bahkan dapat meningkatkan kualitas siri. Semakin memberi
kelebihannya bagi orang lain, semakin tinggilah kehormatan dan kemuliaan (siri) seseorang
sebagai manusia dan hamba Allah di bumi. Seorang yang punya siri sebagai akibat dari
akumulasi perbuatan baik yang lempu, akan merasa malu jika tidak berbuat baik kepada orang
lain. Dia akan merasa malu memamerkan kemewahan di tengah orang miskin. Dia akan merasa
malu karena pandai sendiri di tengah masyarakat yang bodoh, juga malu jika salah sendiri di
tengah masyarakat yang hidup ternista dan terhina dekadensi moral yang dialaminya. Perasaan
prihatin dan peduli demikian bersendi pada rasa pesse. Pada akhirnya, seorang yang merasa
bersalah dan merasa malu akan juga merasa takut jika berbuat salah dan melanggar rasa malu
(Rahmat, 2001).
B.
Pendidikan Berkarakter
1. Pengertian Berkarakter
1. Mendorong kebiasaan dan perilaku yang terpuji sejalan dengan nilai-nilai universal,
tradisi budaya, kesepaatan sosial dan religiositas agama.
2. Menanamkan jiwa kepemimpinan yang bertanggung jawab sebagai penerus bangsa.
3. Memupuk kepekaan mental peserta didik terhadap situasi sekitarnya, sehingga tidak
terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang, baik secara individu maupun sosial.
4. Meningkatkan kemampuan menghindari sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri,
orang lain dan lingkungan.
5. Agar siswa memahami dan menghayati nilai-nilai yang relevan bagi pertumbuhan dan
pengahargaan
harkat dan
martabat
manusia.
kamu
yakini.
b. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang macam apa
dirimu.
c. Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan dengan caracara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus membayarnya secara mahal, sebab
mengandung resiko.
d. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain sebagai
patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih baik dari mereka.
e. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang individu bisa
mengubah dunia.
f. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah bahwa kamu menjadi pribadi
yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk
dihuni.
5. Strategi dan Metodologi Pendidikan Karakter
Strategi yang diterapkan oleh pendidikan karakter yaitu dengan menggunakan
strategi terintegrasi dalam mata pelajaran lainnya. Nilai-nilai karakter dapat disampaikan
melalui mata pelajaran: agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), pendidikan jasmani
dan olah raga, IPS, bahasa Indonesia dan pengembangan diri. Pendidikan karakter di
sekolah lebih banyak berurusan dengan penanaman nilai. Pendidikan karakter agar dapat
disebut sebagai integral dan utuh harus menentukanmetode yang dipakai, sehingga
tujuan pendidikan karakter itu akansemakin terarah dan efektif. Adapun unsur-unsur yag
harus dipertimbangkan dalam menentukan metode yang dapat diterapkan dalam
pendidikan karakter antara lain (Akmal, 2009) :
Mengajar, yaitu dengan cara mengajarkan nilai-nilai itu sehingga peserta didik memiliki
gagasan konseptual tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bias dikembangkan dalam
mengembangkan karakter pribadinya. Keteladanan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan
oleh guru, kepalasekolah, dan staf administrasi disekolah yang dapat dijadikan sebagai
model teladan bagi siswa.Karena siswa akan lebih banyak belajar dari apa yang mereka
lihat.
Menentukan prioritas, yaitu setiap yang terlibat dalam sebuah lembaga pendidikan
yang ingin menekankan pendidikan karakter juga harus memahami secara jernih prioritas
nilai apakah yang ingin ditekankan dalam pendidikan karakter dalam satuan pendidikan
tertentu.
Refleksi, yaitu mengadakan semacam pendalaman, refleksi untuk melihat sejauh mana
satuan pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikankarakter.
Metode-metode yang bisa diterapkan dalam pendidikan karakter misalnya dengan
menggunakan pendekatan penanaman nilai (InculcationApproach), perkembangan moral
kognitif, analisis nilai (Values Analysis Approach), klarifikasi nilai, pembelajaran berbuat
(ActionLearning Approach), Student Active Learning, Developmentally Appropriate Pro
Contextual Learning yang dapat menciptakan pengalaman belajar yang efektif dan
menyenangkan.
6. Penilaian Pendidikan Karakter
Penilaian adalah suatu usaha untuk memperoleh berbagai informasi secara berkala,
berkesinambungan, dan menyeluruh tentang proses dan hasil pertumbuhan serta
perkembangan karakter yang dicapai siswa. Tujuan penilaian dilakukan untuk mengukur
seberapa jauh nilai-nilai yang dirumuskan sebagai standar minimal telah dikembangkan
dan ditanamkan di sekolah serta dihayati, diamalkan, diterapkan dan dipertahankan oleh
siswa dalam kehidupan sehari-hari (Akmal, 2009).
pendidikan karakter pada peserta didik dilakukan oleh semua guru. Penilaian dilakukan
setiap saat, baik pada jam pelajaran maupun di luar jam pelajaran, dikelas maupun di luar
kelas dengan cara pengamatan dan pencatatan. Instrumen penilaian dapat berupa lemabar
observasi, lembar skala sikap, lembar portofolio, lembar check list, dan lembar pedoman
wawancara. Informasi yang diperoleh dari berbagai teknik penilaian kemudian dianalisis
oleh guru untuk memperoleh gambaran tentang karakter peserta didik. Gambaran
menyeluruh tersebut kemudian dilaporkan sebagai suplemen buku rapor oleh wali kelas.
(Akmal, 2009).
7. Peningkatkan Mutu Pendidikan Karakter di Jenjang Pendidikan
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter
untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan
konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur
dan jenjang pendidikan. Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas
pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan
memperkaya (Phonix, 1999).
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan
informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam
keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7
jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam
keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan
di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan
kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter
peserta didik (Phonix, 1999).
Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang
tua dalam mendidik anak dilingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan
sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap
perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk
ini.
(Phonix,1999).
Namun untuk keberhasilan pendidikan itu sendiri, tidak berpusat dari faktor guru dan
fasilitas belajar mengajar semata. Melainkan disertakan adanya partisipasi masyarakat
dan keluarga khususnya orang tua juga turut berperan penting dalam menunjang
keberhasilan pendidikan berkarakter ini. Sebab waktu seorang anak di sekolah jauh lebih
sedikit
ketimbang
waktu
mereka
di
rumah
bersama
orang
tuanya.
enterpreneur yang
dimiliki
(Phonix,1999).
Kita sadari bersama, bahwa bangsa kita cukup banyak mengalami penurunan kualitas
karakter, mulai dari masalah gontok-gontokan , kurang kerja sama, lebih suka
mementingkan diri sendiri, golongan atau partai, sampai kepada sarat dengan korupsi,
kolusi dan nepotisme. Persoalan ini muncul karena lunturnya nilai-nilai karakter yang
ditanamkan sejak dini, terkait karakter perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan,
bakat,
potensi,
nilai-nilai,
dan
pola
pikir.
(Phonix, 1999).
Dengan kata lain bahwa membangun insan berkarakter merupakan upaya kesadaran
dalam memperbaiki dan meningkatkan seluruh perilaku yang mencakup adat istiadat,
nilai-nilai, potensi, kemampuan, bakat dan pikiran bangsa kita ini. Memang untuk
mewujudkan insan berkarakter ini memerlukan waktu dan upaya. Namun alangkah
baiknya diawali dari lingkup yang terkecil seperti keluarga dan sekolah yang
dilaksanakan dengan menganalogikan proses pembelajaran. Tentu saja dilaksanakan
melalui pembelajaran yang dapat mengadopsi semua nilai-nilai karakter bangsa yang
akan dibangun (Phonix, 1999).