Anda di halaman 1dari 23

DAFTAR ISI

1.
2.
3.
4.

5.
6.

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I . PENDAHULUAN
BAB II . PEMBAHASAN
a. II. A. KELENJAR PROSTAT
i.
II. A. 1. Anatomi dan Histologi Kelenjar Prostat
ii.
II. A. 2. Fisiologi Kelenjar Prostat
b. II. B. BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA
i.
II. B. 1. Definisi
ii.

II. B. 2. Epidemiologi

iii.

II. B. 3. Etiologi

iv.

II. B. 4. Patologi

v.

II. B. 5. Patofisiologi

vi.

II. B. 6. Manifestasi klinis

vii.

II. B. 7. Pemeriksaan fisik

viii.

II. B. 8. Pemeriksaan penunjang

ix.

II. B. 9. Diagnosis Banding

x.

II. B. 10. Komplikasi

xi.

II. B. 11. Penatalaksanaan

xii.

II. B. 12. Prognosis

xiii.

II. B. 13. Pencegahan

BAB III. KESIMPULAN


BAB IV. DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering mengalami
pembesaran, baik jinak maupun ganas. Pada tahap usia tertentu banyak pria mengalami
pembesaran prostat yang disertai gangguan buang air kecil. Gejala ini merupakan tanda
awal Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada
populasi pria lanjut usia. Hiperplasia prostat sering terjadi pada pria diatas usia 50 tahun
(50-79tahun) dan menyebabkan penurunan kualitas hidup seseorang. Sebenarnya
perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini,
dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopik yang kemudian bermanifestasi menjadi
kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian bermanifes dengan gejala
klinik.
Dengan adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran
kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan berbagai cara mulai dari
tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif hingga tindakan operasi.

BAB II
PEMBAHASAN

II. A. KELENJAR PROSTAT


II. A. 1. Anatomi dan Histologi Kelenjar Prostat(1)
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus (kerucut) terbalik yang dilapisi oleh
kapsul fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian
proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram,
dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal
2,5 cm.
Pada bagian anterior digantung oleh ligamentum pubo-prostatika yang
melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior prostat terdapat vesikula
seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum. Fasia denonvilliers berasal dari
fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini cukup keras dan biasanya dapat menahan
invasi karsinoma prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut. Pada bagian posterior
ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan bermuara
pada veromentanum didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal spingter eksterna.
Pada permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna
sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk oleh
lapisan kuat fasia pelvis, dan perineal membungkus otot levator ani yang tebal.
Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah oleh karena ototnya lebih sedikit dan
fasia lebih tipis.

Gambar 1. kelenjar prostat dan uretra


Menurut klasifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior, posterior, medial,
lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal, prostat dibagi atas 4 bagian
utama:
1.

Bagian anterior atau ventral yang fibromuskular dan nonglandular. Ini merupakan
sepertiga dari keseluruhan prostat. Bagian prostat yang glandular dapat dibagi menjadi 3
zona (bagian 2,3 dan 4).

2.

Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian prostat yang glandular, membentuk
bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara skematik zona ini dapat
digambarkan seperti suatu corong yang bagian distalnya terdiri dari apex prostat dan
bagian atasnya terbuka untuk menerima bagian distal zona sentral yang berbentuk baji.
Saluran-saluran dari zona perifer ini bermuara pada uretra pars prostatika bagian distal.

3.

Zona sentral, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang glandular, dikenal sebagai
jaringan kelenjar yang berbentuk baji sekeliling duktus ejakulatorius dengan apexnya
pada verumontanum dan basisnya pada leher buli-buli. Saluran-salurannya juga bermuara
pada uretra prostatika bagian distal. Zona central dan perifer ini membentuk suatu corong
yang berisikan segmen uretra proximal dan bagianventralnya tidak lengkap tertutup
melainkan dihubungkan oieh stroma fibromuskular.

4.

Zona transisional, yang merupakan bagian prostat glandular yang terkecil (5 %), terletak
tepat pada batas distal sfinkter preprostatik yang berbentuk silinder dan dibentuk oleh
bagian proximal uretra. Zona transisional dan kelenjar periuretral bersama-sama kadangkadang disebut sebagai kelenjar preprostatik.
Prostat diperdarahi oleh arteri vesika inferior, arteri pudendalis interna arteri
hemoroidalis medialis. Arteri utama memasuki prostat pada bagian infero-lateral persis
dibawah bladder neck, ini harus diligasi atau didiatermi pada waktu operasi
prostatektomi. Darah vena prostat dialirkan kedalam fleksus vena periprostatika yang
berhubungan dengan vena dorsalis penis, kemudian dialirkan ke vena iliaka interna yang
juga berhubungan dengan pleksus vena presakral. Oleh karena struktur inilah sering
dijumpai metastase karsinoma prostat secara hematogen ke tulang pelvis dan vertebra
lumbalis.
Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan kandung kemih bagian
inferior yaitu fleksus saraf simpatis dan parasimpatis. Aliran lymph dari prostat dialirkan
kedalam lymph node iliaka interna (hipogastrika), sacral, vesikal dan iliaka aksterna
II. A. II. Fisiologi Kelenjar Prostat(1,2)
Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang berkontraksi selama ejakulasi,
mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat tetapi fungsi pasti cairan ini belum
diketahui, paling tidak sebagai medium pembawa sperma.
Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin, dapat dianggap
imbangannya (counterpart) dengan payudara pada wanita. Pengetahuan mengenai sifat
endokrin ini masih belum pasti, tetapi pada pengebirian kelenjar prostat jelas akan
mengecil. Jadi prostat dipengaruhi oleh hormon androgen, ternyata bagian yang sensitive
terhadap androgen adalah bagian perifer, sedangkan yang sensitive terhadap estrogen
adalah bagian tengah. Karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami
hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang berkurang sedangkan estrogen bertambah
secara relatif ataupun absolut.
II. B. BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA
II. B. 1. Definisi(2)

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah
pertumbuhan berlebihan dari sel-sel (hiperplasia) kelanjar periuretral prostat yang tidak
ganas yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai
bedah1.
II. B. 2. Epidemiologi(2)
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan
sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang
lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang
kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami
perubahan hyperplasia. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan
kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun3.
II. B. 3. Etiologi(2)
Belum diketahui secara pasti, saat ini terdapat beberapa hipotesis yang diduga
sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat antara lain :
1. Teori DHT (dihidrotestosteron). Testosteron dengan bantuan enzim 5-a reduktase
dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
2. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang
pertumbuhan epitel.
3. Teori stem cell hypotesis. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Sel
aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak
pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan
menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
4. Teori growth factors. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah
pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor
(EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan
ekspresi transforming growth factor-b (TGF-b), akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.
5. Teori Hormonal. Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi
maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi.
Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH.

Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu


antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa
di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa
testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian
estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah
perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan
produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan
terjadinya pembesaran prostat. Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis
dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin
hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan
mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi
penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan
penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon
gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli.
Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral
sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak
bereaksi terhadap estrogen.
II. B. 4. Patologi(2)
Perubahan paling awal pada BPH adalah di kelenjar periuretra sekitar
verumontanum. Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler, nodul
asinar atau nodul campuran fibroadenomatosa. Hiperplasia glandular terjadi berupa nodul
asinar atau campuran dengan hiperplasia stroma. Kelenjar-kelenjar biasanya besar dan
terdiri atas tall columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak menunjukkan proses keganasan.
Proses patologis lainnya adalah penimbunan jaringan kolagen dan elastin di antara otot
polos yang berakibat melemahnya kontraksi otot. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hipersensitivitas pasca fungsional, ketidakseimbangan neurotransmiter, dan penurunan
input sensorik, sehingga otot detrusor tidak stabil.

II. B. 5. Patofisiologi(2,5)
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu
komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan
dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika
sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen
dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha
adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan
kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung
dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh
komponen mekanik.
Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi uretra.
Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk mengatasi
resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan berkontraksi untuk
mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu
dikenal dengan gejala-gejala prostatismus1. Dengan semakin meningkatnya resistensi
uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin
tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara
ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari
buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus
akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal.
II. B. 6. Manifestasi klinis(2,3)
Gejala hyperplasia prostat menurut Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas gejala
obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan karena penyempitan uretra pars
prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk

berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejalagejalanya antara lain1:
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung
tiga factor, yaitu:
a. Volume kelenjar periuretral
b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna
pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah1 :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis
derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing <>
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III: Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin
> 150 ml.8
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, WHO
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor
Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem
skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi

(LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5,
sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu: - Ringan :
skor 0-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35
Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria untuk
mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami kepayahan
(fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk
retensi urin akut.
International Prostatic Symptom Score
Pertanyaan
Keluhan pada bulan terakhir

Jawaban dan skor


Tidak

50

<50%

sekali

>50%

Hampir

<20%

selalu

a. Adakah anda merasa bulibuli tidak kosong setelah


berkemih
b. Berapa kali anda berkemih
lagi dalam waktu 2 menit
c. Berapa kali terjadi arus urin
berhenti sewaktu berkemih
d. Berapa kali anda tidak
dapat menahan untuk
berkemih
e. Beraapa kali terjadi arus
lemah sewaktu memulai

kencing
f. Berapa keli terjadi bangun
tidur anda kesulitan memulai

untuk berkemih
g. Berapa kali anda bangun
untuk berkemih di malam hari
Jumlah nilai :
0 = baik sekali 3 = kurang
1 = baik 4 = buruk
2 = kurang baik 5 = buruk sekali
II. B. 7. Pemeriksaan fisik(3)
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter
ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada
di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan1:
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Simetris/ asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.
Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan
diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas
kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai
sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah
terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya

hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab
yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau
uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus
II. B. 8. Pemeriksaan Penunjang(1)
Pemeriksaan Laboratorium
Darah
Ureum, kreatinin, elektrolit, Blood urea nitrogen, Prostate Specific
Antigen (PSA), Gula darah
Urine
Kultur urin dan test sensitifitas, urinalisis dan pemeriksaan mikroskopis,
sedimen
Laboratory FindingsUrinalisa dapat memberikan bukti adanya infeksi. Residual
urin biasanya meningkat (> 50 cc), dan waktu laju aliran urin akan menurun ( 10 ng/mL,
kanker harus dicurigai (normal < 4 ng/mL). Serum alkaline phosphatase biasanya
meningkat jika tumor telah menyebar ke tulang.Prostatitis akut dapat menyebabkan gejalgejala obstruksi, tetapi pasien biasanya mengalami infeksi saluran kemih (ISK) atau bisa
dalam sepsis. Prostat terasa nyeri terutama dengan penekanan meskipun secara halus.
Striktur uretra mengurangi kaliber pancaran urin. Biasanya terdapat riwayat gonorrhea
atau trauma lokal. Retrograde urethrogram akan menunjukkan area stenosis. Striktur juga
dapat menghambat pasase kateter.
Pemeriksaan pencitraan(1)
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu
saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk
menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat
b. Pielografi Intravena (IVP)
Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat pada
dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk
seperti mata kail (hooked fish). Dapat pula mengetahui adanya kelainan pada

ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit


(trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli buli). Foto setelah miksi dapat
dilihat adanya residu urin.
c. Sistogram retrograde
Memberikan gambaran indentasi pada pasien yang telah dipasang kateter
karena retensi urin.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
Deteksi pembesaran prostat dengan mengukur residu urin
e. MRI atau CT scan
Jarang dilakukan. Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan
bermacam macam potongan
Pemeriksaan lain(1)

Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran ditentukan oleh daya
kontraksi otot detrusor, tekanan intravesika, resistensi uretra. Angka normal
laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20
ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 8 ml/detik
dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik.

Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)


Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri
tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya
kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut
dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan AbramsGriffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan
laju pancaran urin dapat diukur.

Pemeriksaan Volume Residu Urin


Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin
yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun
kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.

II. B. 9. Diagnosis Banding(1)


Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya3:
1. Struktur uretra
2. Kontraktur leher vesika
3. Batu buli-buli kecil
4. Kanker prostat
5. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan
obat-obat parasimpatolitik.
Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :
1. Instabilitas detrusor
2. Karsinoma in situ vesika
3. Infeksi saluran kemih
4. Prostatitis
5. Batu ureter distal
6. Batu vesika kecil.
II. B. 10. Komplikasi(3)
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut1
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Refluks Vesiko-Ureter
h. Hidroureter
i. Hidronefrosis
j. Gagal Ginjal

KomplikasiObstruksi dan residual urin menyebabkan infeksi pada VU dan prostat


dan kadang-kadang menyebabkan pyelonephritis; ini mungkin sulit untuk dihilangkan.
Obstruksi juga dapat menyebabkan terjadinya divertkel VU. Infeksi residual urin
berperan terhadap pembentukan batu (calculi).Obstruksi fungsional pada intravesical
ureter, disebabkan oleh hipertropi trigonum, dapat menyebabkan hydroureteronephrosis.
II. B. 11. Penatalaksanaan(3)
Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan
teknologi yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi bedah
minimal invasif yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat keterampilan yang
tinggi. Berikut ini akan dibahas penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting,
medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal invasif3.
Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS 3)
1.

Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar
mengurangi nokturia.

2.

Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan).

3.

Mengurangi kopi.

4.

Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil.
Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring,
uroflowmetri, dan TRUS.

5.

Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.

Terapi Medikamentosa
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa). Terdapat
tiga macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu dengan
penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi3.

Penghambat adrenergik a-1

Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan pada otot
polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan demikian, akan

terjadi relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars prostatika menurun
dan mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi
relatif cepat.
Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat menimbulkan
keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah (fatique). Pengobatan
dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa pertanyaan, seperti berapa
lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap baik mengingat sumbatan oleh
prostat makin lama akan makin berat dengan tumbuhnya volume prostat. Contoh obat:
prazosin, terazosin dosis 1 mg/hari, dan dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/hari. Tamsulosin
dengan dosis 0.2-0.4 mg/hari2.

Penghambat enzim 5a reduktase

Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga testosteron
tidak diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi DHT dalam
jaringan prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein. Obat ini baru akan
memberikan perbaikan simptom setelah 6 bulan terapi. Salah satu efek samping obat ini
adalah menurunnya libido dan kadar serum PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5
mg/hari.

Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase

Terapi kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a reduktase


pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat penurunan
skor dan peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan penghambat adrenergik
a-1. Namun, masih terdapat keraguan mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih
kecil dibandingkan kelompok lain. Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.

Fitoterapi

Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan poluler diberikan di Eropa dan baru-baru
ini di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis
rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula,
Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui
efektivitas dan keamanannya3.
Terapi Bedah Konvensional

PenatalaksanaanIndikasi managemen operasi adalah penurunan fungsi ginjal dan


gejala-gejala lain yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Karena derajat obstruksi
berjalan dengan lambat pada kebanyakan pasien, terapi konservatif dapat juga adekuat.
Obat-obatan yang merelaksasi kapsul prostat dan spinter internal (-adrenergic blocking
agent) atau yang menurunkan volume prostat (5 -reductase inhibitor atau antiadrogen)
telah dicoba dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi.
Penatalaksanaan prostatitis kronik adalah untuk mengurangi gejala. Resolusi dari
komplikasi sistitis biasanya akan dapat tercapai. Dalam rangka melindungi tonus vesikal,
pasien sebaiknya diperingatkan agar segera BAK ketika terjadi urgensi. Memaksa cairan
urin keluar dalam waktu yang pendek menyebabkan pengisian VU yang cepat, dan
menurunkan tonus vesikal; ini adalah penyebab umum dari retensi urin akut dan oleh
sebab itu harus dihindari. Pasien-pasien dengan gejala obstruksi urin sebaiknya
menghindari pemakaian obat flu termasuk antihistamin, karena juga dapat menyebabkan
retensi urin. Terapi konservatif ini hanya sementara menolong.Kateterisasi diharuskan
untuk retensi urin akut. BAK spontan dapat kembali normal, tetapi kateter sebaiknya
dibiarkan terpasang selam 3 hari sementara tonus detrusor kembali normal. Jika ini gagal,
terapi konservatif atau operatif diindikasikan.
Terdapat empat pendekatan klasik yang digunakan dalam prostatectomy:
transurethral, retropubic, suprapubic, dan perineal. Transurethral dipilih pada pasien
dengan berat prostat di bawah 50 g karena morbiditas lebih rendah dan perawatan di RS
lebih singkat. Prostat yang lebih besar memerlukan tindakan bedah terbuka, tergantung
dengan pilihan dan pengalaman dari urologist. Angka kematian rendah dalam masingmasing prosedur (12%). Potensi risiko tertinggi jika pendekatan transperineal
digunakan, tetapi impotensi kadang-kadang terjadi setelah reseksi prostat transuretra.
Pendekatan alternative dalam penatalaksanaan BPH adalah transurethral incision of the
prostate (TUIP). Prosedur ini terdiri dari insisi prostat pada leher VU ke atas
verumontanum, sehingga memungkinkan ekspansi seluruh uretra prostat. Terutama
efektif ketika titik primer obstruksi disebabkan di "median bar" atau bibir leher VU letak
tinggi posterior.Terapi alternatif lainnya yang kini sedang berkembang adalah teknik
minimally invasive seperti transurethral vaporization, laser prostatectomy, transurethral

microwave thermotherapy, transurethral needle ablation, dan high intensity focused


ultrasound ablation of the prostate.Prognosiskebanyakan pasien dengan gejala yang khas
BPH dapat mengalami perbaikan dan peningkatan fungsi kemih.
Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan3:
1. Prostatektomi terbuka :
a.

Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)

b.

Prostatektomi retropubik (Terence Millin)

c.

Prostatektomi perinealis (Young)


2. Prostatektomi tertutup :
a.

b.

Reseksi transuretral.

Bedah beku
Open simple prostatectomy
Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu besar, di atas 100
gram, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli. Dapat dilakukan dengan teknik
transvesikal atau retropubik. Operasi terbuka memberikan morbiditas dan mortalitas yang
lebih tinggi daripada TUR-P1-2.
Terapi Invasif Minimal
Transurethral resection of the prostate (TUR-P)
Prinsip TUR-P adalah menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang
menimbulkan obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter. Sampai saat
ini, TUR-P masih merupakan baku emas dalam terapi BPH. Sembilan puluh lima persen
prostatektomi dapat dilakukan dengan endoskopi3. Komplikasi jangka pendek adalah
perdarahan, infeksi, hiponatremia (sindrom TUR), dan retensi karena bekuan darah.
Komplikasi jangka panjang adalah struktur uretra, ejakulasi retrograd (75%),
inkontinensia (<1%),>3.
Transurethral incision of the prostate (TUIP)

Dilakukan terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan dengan ukuran
prostat kecil, yang sering terdapat hiperplasia komisura posterior (leher kandung kemih
yang tinggi)3. Teknik ini meliputi insisi pada arah jam 5 dan 7. Penyulit yang bisa terjadi
adalah ejakulasi retrograd.
Terapi laser
Terdapat dua sumber energi yang digunakan, yaitu Nd YAG dan holmium YAG.
Tekniknya antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP) yang
dilakukan dengan bantuan USG, Visual coagulative necrosis, Visual laser ablation of the
prostate (VILAP), dan interstitial laser therapy3. Keuntungan terapi laser adalah
perdarahan minimal, jarang terjadinya sindrom TUR, mungkin dilakukan pada pasien
yang menjalani terapi antikoagulan, dan dapat dilakukan tanpa perlu dirawat di rumah
sakit3. Kerugiannya di antaranya tidak didapatkan jaringan untuk pemeriksaan
histopatologi, diperlukan waktu pemasangan kateter yang lebih lama, keluhan iritatif
yang lebih banyak, dan harga yang mahal1,2. Efek samping yang pernah dilaporkan di
Indonesia adalah perdarahan (2%), nyeri pasca operasi (3%), retensi (19%), ejakulasi
retrograd (3%), dan disfungsi ereksi (1%).
Microwave hyperthermia
Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau rektum
sampai suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi.
Trans urethral needle ablation (TUNA)
Alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat
mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas, sehingga
terjadi koagulasi sepanjang jarum yang menancap di jaringan prostat.
High intensity focused ultrasound (HIFU)
Melalui probe yang ditempatkan di rektum yang memancarkan energi ultrasound dengan
intensitas tinggi dan terfokus.
Intraurethral stent

Adalah

alat

yang secara

endoskopik ditempatkan di

fosa prostatika

untuk

mempertahankan lumen uretra tetap terbuka. Dilakukan pada pasien dengan harapan
hidup terbatas dan tidak dapat dilakukan anestesi atau pembedahan
Transurethral baloon dilatation
Dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher
kandung kemih. Prosedur ini hanya efektif bila ukuran prostat kurang dari 40 g, sifatnya
sementara, dan jarang dilakukan lagi.
II. B. 12. Prognosis(3)
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu
walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak
memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.
Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria
setelah kanker paru-paru5. BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek
samping yang cukup merugikan bagi penderita.
II. B. 13. Pencegahan(3)
Sekarang sudah beredar suplemen makanan yang dapat membantu mengatasi
pembesaran kelenjar prostat. Salah satunya adalah suplemen yang kandungan utamanya
saw palmetto. Berdasarkan hasil penelitian, saw palmetto menghasilkan sejenis minyak,
yang bersama-sama dengan hormon androgen dapat menghambat kerja enzim 5-alpha
reduktase, yang berperan dalam proses pengubahan hormon testosteron menjadi
dehidrotestosteron (penyebab BPH)5. Hasilnya, kelenjar prostat tidak bertambah besar.
Zat-zat gizi yang juga amat penting untuk menjaga kesehatan prostat di antaranya
adalah :
1. Vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting dalam mencegah pertumbuhan
sel kanker, karena menurut penelitian, 5-10% kasus BPH dapat berkembang menjadi
kanker prostat.
2. Vitamin B1, B2, dan B6, yang dibutuhkan dalam proses metabolisme karbohidrat,

lemak, dan protein, sehingga kerja ginjal dan organ tubuh lain tidak terlalu berat.
3. Copper (gluconate) dan Parsley Leaf, yang dapat membantu melancarkan pengeluaran
air seni dan mendukung fungsi ginjal.
4. L-Glysine, senyawa asam amino yang membantu sistem penghantaran rangsangan ke
susunan syaraf pusat.
5. Zinc, mineral ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi dan kualitas sperma.
Berikut ini beberapa tips untuk mengurangi risiko masalah prostat, antara lain:
1. Mengurangi makanan kaya lemak hewan
2. Meningkatkan makanan kaya lycopene (dalam tomat), selenium (dalam makanan laut),
vitamin E, isoflavonoid (dalam produk kedelai)
3. Makan sedikitnya 5 porsi buah dan sayuran sehari
4. Berolahraga secara rutin
5. Pertahankan berat badan ideal

BAB III

KESIMPULAN
Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada
populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat bertambah
karena terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel kelenjar (jaringan
dalam kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini terdiri dari gejala obstruksi
dan gejala iritatif.
Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah
konvensional, dan terapi minimal invasif. Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak
dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun
BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat
berkembang menjadi kanker prostat.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA
1. Mahummad A., 2008., Benigna Prostate Hiperplasia., http://ababar.blogspot
.com/2008/12/benigna-prostate-hyperplasia.html., 3 Maret 2009
2. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar dasar urologi., Edisi ke
2. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 85
3. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign
prostatic hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ.
Campbells urology.

7th

ed. Philadelphia: WB

Saunders

Company;

1998.p.1429-52.
4. Arthur C. Guyton, dkk. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC
5. Sylvia A. Price, dkk. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai