Anda di halaman 1dari 8

Perempuan dalam Cengkeraman HIV/AIDS:

Kajian Sosiologi Feminis


Perempuan Ibu Rumah Tangga
IKHLASIAH DALIMOENTHE
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta
Email: ika.dalimoenthe@yahoo.com

AB STRACT
This paper tries to explain why the number of women living with
HIV/AIDS in Indonesia year by year simultaneously increases.
Moreover, 35.4% of it is housewife. These data indicate how risky
sexual behavior of men who have multiple sexual partners,
especially against housewife (his own wife). This kind of behavior as
if agreed by the people because most of them use double standards
in assessing the sexuality of men and women. People tend to
evaluate male sexuality positively, but negatively to the female
sexuality. In some community, even young men are encouraged
to seek and collect experiences with as many as women so that
they dubbed as manly. For the housewife, this reality becomes
increasingly complicated to disentangle because socio-cultural
construction of society puts women and men in a hierarchical
position where women being marginalized.
Keywords: HIV/AIDS, housewife, gender, sexuality

42

| I K hlasiah Dalimoenthe

PENDA HULUA N

Perempuan pengidap HIV/AIDS mencapai 21% dari 5.701 kasus yang


dilaporkan. Kasus ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Data
dari klinik Kelompok Studi Khusus (Pokdisus) AIDS Fakultas Kedokteran
UI tahun 2004 mencatat dari 635 kasus yang ditangani, sebanyak 82
orang adalah perempuan (12,9%) dengan rentang usia 15-53 tahun (usia
rata-rata 26 tahun). Sekitar 76,8% sudah menikah, sementara 35,4%
berstatus sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah.
Data ini mengindikasikan riskannya perilaku seksual laki-laki yang
berganti-ganti pasangan terutama terhadap perempuan ibu rumah
tangga (istrinya sendiri). Perilaku semacam ini seolah diamini oleh
masyarakat karena pada umumnya masyarakat menggunakan standar
ganda dalam menilai seksualitas laki-laki dan perempuan. Masyarakat
cenderung menilai seksualitas laki-laki lebih positif, sementara
seksualitas perempuan negatif. Pada beberapa kelompok masyarakat
bahkan laki-laki muda didorong untuk mencari dan mengumpulkan
pengalaman seksualnya dengan perempuan untuk memperoleh julukan
sebagai lelaki jantan. Beberapa tradisi masyarakat seperti tradisi
sifon di NTT dan turun ranjang di Sumatera Utara juga mempermudah
terjadinya penularan penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS.
Bagi perempuan ibu rumah tangga, realitas tersebut menjadi
semakin rumit untuk diurai karena konstruksi sosial budaya
masyarakat yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam posisi
yang hirarkis di dalam keluarga dengan relasi kuasa yang seringkali
tidak adil terhadap perempuan. Hal ini semakin memperburuk kondisi
perempuan, apalagi ketika mereka terinfeksi HIV/AIDS meskipun
dari suaminya sendiri. Cukup banyak kasus yang menunjukkan
bahwa ketika perempuan ibu rumah tangga terinfeksi HIV/AIDS dari
suaminya, ia cenderung lebih memikul beban ganda seperti merawat
suami yang sakit, merawat anak yang juga mungkin sudah tertular,
mencari nafkah, sembari juga menghadapi berbagai perlakuan yang
tidak manusiawi seperti di-PHK atau dikucilkan.
Dalam tulisan ini, perempuan ibu rumah tangga pengidap HIV/
AIDS menjadi subjek yang dieksplorasi baik pengalaman, perasaan,
pemikiran, maupun sikapnya, sehingga diperoleh pengetahuan tentang
bagaimana HIV/AIDS dapat dijelaskan dari sudut pandang korban
(perempuan) yang berstatus ibu rumah tangga. Teori yang paling tepat
untuk dijadikan acuan dan alat analisis permasalahan tersebut di atas
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 41 -4 8

Perempuan dalam C engkeraman H I V/A I D S |

43

adalah teori sosiologi feminis. Teori sosiologi feminis berkembang dari


teori feminis pada umumnya sebagai cabang ilmu baru yang mencoba
menyediakan sistem gagasan mengenai kehidupan manusia yang
melukiskan wanita sebagai objek dan subjek, sebagai pelaku dan yang
mengetahui (Ritzer: 2007).
Sehubungan dengan permasalahan di atas, menarik untuk ditelusuri
lebih dalam bagaimana pengalaman perempuan ibu rumah tangga
pengidap HIV/AIDS menghadapi kondisi demikian, bagaimana ia menjadi
rentan, bagaimana ia bertahan (berkorban atau menjadi korban), dan
bagaimana ia bisa keluar dari cengkraman HIV/AIDS dalam arti punya
keberdayaan, siapa saja yang terlibat dalam pergulatan hidupnya, serta
bagaimana peran mereka dalam menghadapi fenomena tersebut.
PEREMPUA N L EBIH REN TA N
T E R I N F E K S I H I V/A I D S

Kajian sosiologi feminis menjelaskan perempuan ibu rumah tangga


rentan terinfeksi virus HIV/AIDS karena rendahnya daya tawar dan
negosiasi dalam hal berhubungan seksual. Kenyataan ini sesuai dengan
laporan Badan AIDS PBB atau UNAIDS, yang menyebutkan lebih dari 1,7
juta perempuan di ASIA hidup dengan HIV positif, dan 90%-nya tertular
dari suami atau pasangan seksual. Ketimpangan gender menjadi salah
satu penyebab kerentanan itu. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya
bargaining power untuk menegosiasikan hubungan intim, cenderung
tidak sanggup mengatakan tidak untuk setiap keinginan pasangan
seksual, serta ketidaktahuan dan keengganan meminta informasi
kepada pasangan tentang status kesehatan pasangan seksualnya
tersebut. Ketimpangan bertambah tajam jika perempuan sangat
tergantung secara ekonomi kepada pasangan. Kondisi timpang seperti
ini membuka kemungkinan terjadinya kekerasan dari pihak yang lebih
tinggi daya tawarnya atau menganggap diri dapat menguasai yang lain.
Faktor berikutnya yang membuat perempuan lebih rentan adalah
stigma dan diskriminasi. Perempuan mengalami stigma ganda, yaitu
sebagai perempuan makhluk kelas dua yang cenderung disalahkan
atas apa yang terjadi terhadap dirinya sendiri. Masyarakat menganggap
semestinya perempuan dapat menjaga diri, suami, dan keluarganya
sehingga tidak terinfeksi HIV/AIDS. Stigma kedua adalah sebagai
ODHA (orang dengan HIV/AIDS), yaitu orang yang dianggap tidak baik
perilakunya dan tidak bermoral, sehingga bisa terinfeksi penyakit
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 41 -4 8

44

| I K hlasiah Dalimoenthe

menular dan harus dijauhi. Faktor ini menyebabkan perempuan


segan memeriksakan diri dan mengetahui status HIV-nya; ia pun
mengabaikan kemungkinan dirinya terinfeksi dari pasangan.
Kerentanan pada perempuan juga ditambah dari bentuk organ
kelamin yang seperti bejana terbuka. Secara fisik, ini memudahkan
virus masuk ke dalam vagina ketika berhubungan intim dengan lelaki
yang positif HIV, melalui luka kecil atau lecet atau masuknya cairan
sperma ke dalam vagina. Perlu diketahui bahwa virus HIV lebih banyak
hidup di dalam cairan sperma.1
I N F E K S I H I V/A I D S DA N FA K T O R
KETIDAKADILAN GENDER

Perempuan adalah kelompok yang rentan terinfeksi HIV/AIDS


karena secara biologis, mereka lebih mudah tertular penyakit-penyakit
melalui hubungan seksual dibanding laki-laki. Perempuan memiliki
permukaan (mukosa) alat kelamin yang lebih luas sehingga cairan
sperma mudah terpapar ketika hubungan seksual. Selain itu, sperma
yang terinfeksi HIV mempunyai konsentrasi virus yang lebih tinggi
dibanding konsentrasi HIV pada cairan vagina. Hal lain yang berkaitan
dengan faktor biologis adalah kecenderungan perempuan untuk tidak
mengalami gejala pada waktu menderita sebuah penyakit menular
seksual. Penyakit menular seksual diketahui selain menjadi indikator
perilaku berisiko, juga bisa menjadi pintu bagi HIV, terutama bagi
penyakit yang menyebabkan luka atau ulcer.
Kedua, akses informasi dan pendidikan perempuan jauh lebih
rendah sehingga mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai kesehatan reproduksi, termasuk persoalan seputar HIV/AIDS
dan pelayanan kesehatan yang menjadi hak mereka. Tak bisa dilupakan,
hal ini juga terjadi karena perempuan disosialisasikan sedemikian rupa
untuk menomorduakan kebutuhan kesehatannya sesudah anggota
keluarganya. Bahkan ada stereotip bahwa penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan reproduksi dianggap suatu hal yang memalukan dan
kotor jika terjadi pada perempuan.
Ketiga, posisi mereka yang rentan terhadap penularan HIV/
AIDS adalah orang-orang yang memiliki daya tawar lemah, tidak
berpendidikan, dan mereka yang secara sosial maupun ekonomi tidak
mandiri. Perempuan sulit melindungi dirinya dari infeksi HIV karena
pasangan seksualnya enggan menggunakan kondom dan ia tidak
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 41 -4 8

Perempuan dalam C engkeraman H I V/A I D S |

45

memiliki keberanian untuk menolak hubungan seks yang berisiko. Data


Departemen Kesehatan RI tahun 2002 menunjukkan hanya 10% yang
bersedia menggunakan kondom dari sekitar 10 juta pelanggan seks.
Selain mereka membawa risiko menularkan HIV pada pekerja seks,
mereka juga bisa membawa virus tersebut ke rumah, dan menularkan
istri-istri mereka.
Ketua Theme Group PBB untuk HIV/AIDS sekaligus Direktur ILO di
Indonesia, Alan Boulton, dalam peluncuran laporan UNAIDS dan WHO
AIDS Epidemic Update 2004 menyatakan, penanggulangan AIDS selama
ini emang belum menyentuh persoalan perempuan. Laporan terkini
UNAIDS mengungkapkan pendekatan ABC (tidak berhubungan seks bila
bukan dengan pasangan, setia pada satu pasangan, atau menggunakan
kondom) dalam penanggulangan HIV/AIDS ternyata belum cukup. Di
banyak tempat di dunia, infeksi HIV pada perempuan tak semata-mata
karena ketidaktahuan atau ketidakpahaman tentang cara pencegahan
HIV/AIDS. Sering infeksi HIV terjadi karena perempuan tak memiliki
kekuatan sosial dan ekonomi untuk melindungi diri mereka, sehingga
terjadi ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender.
Penyebab meningkatnya jumlah perempuan terinfeksi HIV/AIDS
sudah diakui UNAIDS, yaitu karena terjadinya ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender yang menyebabkan perempuan tidak bisa memilih
dengan siapa dia akan menikah; kapan, dengan siapa, dan bagaimana
dia melakukan hubungan seksual. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan
gender menyebabkan adanya relasi yang tidak seimbang antara
suami dan istri, sehingga perempuan tidak bisa menolak atau tidak
bisa meminta suaminya menggunakan kondom ketika memaksakan
hubungan seksual yang tidak aman. Perempuan juga tidak bisa menolak
hubungan seksual meskipun dia mengetahui suaminya memiliki
hubungan dengan sejumlah perempuan lain di luar perkawinannya.
Ku ra ngnya Penget a hua n da n Ke s ada ra n Per empua n Ibu
Ru ma h Ta ng ga tent a ng HIV/AID S
Penyebaran virus HIV/AIDS tidak hanya mengancam kelompok
dengan perilaku seks yang tidak aman, tetapi juga telah mengancam
kalangan ibu rumah tangga yang suaminya telah terjangkit virus
mematikan itu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu rumah tangga
yang tergolong kelompok normal dapat juga terjangkit virus HIV.

KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 41 -4 8

46

| I K hlasiah Dalimoenthe

Akses informasi dan pendidikan perempuan jauh lebih rendah


sehingga mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
kesehatan reproduksi, termasuk persoalan seputar HIV/AIDS dan
pelayanan kesehatan yang menjadi hak mereka. Tak bisa dilupakan hal
ini juga terjadi karena perempuan disosialisasikan sedemikian rupa
untuk menomorduakan kebutuhan kesehatannya sesudah anggota
keluarganya. Bahkan ada stereotip bahwa penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan reproduksi dianggap suatu hal yang memalukan dan
kotor jika terjadi pada perempuan. Umumnya mereka terjangkit virus
HIV/AIDS dari suaminya, tanpa diketahuinya kalau suaminya telah
mengidap HIV/AIDS.
Si kap Pasra h Ibu Ru ma h Ta ng ga Menghadapi HIV/AID S
Pada umumnya perempuan ibu rumah tangga menghadapi
kondisinya yang terinfeksi HIV/AIDS bersikap pasrah dan nrimo. Hal
ini disebabkan adanya pengalaman berliku yang membuat mereka
kehilangan harapan dan semangat hidup. Sementara itu, perempuan
dari berbagai usia ini bekerja keras membantu orang-orang yang
juga terinfeksi dan berjuang untuk memerangi HIV/AIDS termasuk
menghilangkan stigma dan diskriminasi dalam masyarakat. Melalui
pergerakan yang dilakukan, mereka juga berupaya agar bisa dilibatkan
dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang menyentuh ODHA,
termasuk soal stigma dan diskriminasi. Menurut laporan Dewan
Umum PBB untuk HIV/AIDS, United Nations General Assembly Special
Session on HIV/AIDS (UNGASS), ada kesenjangan besar antara poinpoin kebijakan anti-diskriminasi dengan realitas di lapangan. Stigma
dan diskriminasi masih terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya, dan
merupakan penghambat utama usaha pencegahan, layanan untuk
perawatan, pengobatan, dan dukungan.
Banyak kasus menunjukkan perempuan terinfeksi virus HIV
dari suami atau pacar mereka. Semua berawal dari ketidaktahuan
atas status HIV pasangan dan rendahnya daya tawar atau negosiasi
dalam berhubungan seksual. Kenyataan ini sesuai dengan laporan
Badan AIDS PBB atau UNAIDS yang menyebutkan lebih dari 1,7 juta
perempuan di Asia hidup dengan HIV positif, dan 90 persennya
tertular dari suami atau pasangan seksual. Selain itu, perempuan yang
rentan mengalami kekerasan seksual di antaranya adalah ibu rumah
tangga atau istri, perempuan muda dalam hubungan pacaran, anak
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 41 -4 8

Perempuan dalam C engkeraman H I V/A I D S |

47

perempuan, perempuan pekerja, termasuk pekerja migran dan pekerja


rumah tangga, perempuan yang diperdagangkan, perempuan di daerah
konflik, perempuan cacat, dan pekerja seks komersial.
PENUTUP

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan ibu rumah tangga


dapat menjadi kelompok rentan tertular HIV/AIDS. Umumnya mereka
terjangkiti HIV/AIDS dari suaminya yang melakukan penyimpangan
sosial, baik karena seringnya berganti-ganti pasangan atau karena
pecandu narkoba. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran perempuan
ibu rumah tangga terhadap HIV/AIDS semakin mempermudah mereka
tertular virus itu.
Faktor lainnya yang ikut memengaruhi terjangkitnya perempuan
ibu rumah tangga terhadap HIV/AIDS adalah adanya potensi kekerasan
seksual terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga yang
memiliki peluang terkena iInfeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV/
AIDS. Secara khusus terdapat tiga faktor yang menyebabkan perempuan
mengalami kekerasan seksual rentan terinfeksi HIV/AIDS.
Pertama adalah faktor biologis. Struktur di dalam vagina yang
terdapat banyak lipatan membuat permukaannya menjadi luas dan
dinding vagina sendiri memiliki lapisan tipis yang mudah terluka.
Anatomi ini memudahkan air mani bertahan lebih lama dalam rongga
vagina bila terjadi infeksi, sehingga air mani yang terinfeksi dapat
segera menulari perempuan tersebut. Ini akan terjadi pada kasus
perkosaan yang menyebabkan luka sehingga kemungkinan terinfeksi
bisa dua hingga empat kali lebih besar.
Kedua, faktor sosial-kultural. Perempuan sukar menolak hubungan
seksual dengan pasangannya karena perempuan tidak memiliki
kekuasaan untuk menyarankan penggunaan kondom dalam hubungan
seksual. Faktor tabu membicarakan seks, kesehatan reproduksi, dan
informasi lain membuat perempuan sulit membicarakan maslah seks
dengan pasangannya. Akibat lebih lanjut, perempuan sulit melakukan
tindakan cepat untuk mengakses pengobatan bagi penyakit seksual
yang sudah dideritanya.
Ketiga adalah faktor ekonomi. Perempuan umumnya sangat
tergantung secara ekonomi kepada laki-laki. Ini menyebabkan
perempuan tidak memiliki posisi tawar menolak hubungan seksual
dengan pasangannya.
KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 41 -4 8

48

| I K hlasiah Dalimoenthe

C atatan A khir
1 Dalam darah terdapat 10.000 partikel per mili virus, dalam sperma 11.000 partikel per mili,
dan cairan vagina 7.000 partikel per unit. Kadarnya jauh lebih rendah pada kotoran, air liur,
keringat, urin, dan air mata sehingga tidak dapat ditularkan.

D aftar P ustaka

Creswell, John W. 1994. Research Design Qualitative and Quantitative


Approaches. California: Sage Publication.
Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayati, Siti A. 2002. GAD: Suatu Kritik Alternatif terhadap WID.
Jurnal PSPK Pengauatan Kendali Rakyat, Edisi 4, Jakarta.
-----. 2001. Gender Glossary Draft. Ministry for The Empowerment of
Woman and Womans Support Project, Phase II.
-----. 1995. Penelitian yang Berperspektif Perempuan, dalam Kajian
Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru.
Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda. Bandung: Mizan.
Moser, Caroline ON. 1993. Gender Planning and Development: Theory,
Practice and Training. London: Routledge.
Neuman, W. Lawrence. 1997. Social Research Methods; Qualitative and
Quantitative Approaches. USA: Viacom Company.
Petuntuk Pelaksana Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Jakarta.

KOM U N I TA S Volu me 5 , No m o r 1 , Ju l i 2 01 1 : 41 -4 8

Anda mungkin juga menyukai