Anda di halaman 1dari 20

KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN KEPEMIMPINAN

TRANSFORMASIONAL

A. Kepemimpinan
Situasi global

yang

kompetitif

ini,

mengharuskan

perusahaan

mempunyai kemampuan bertahan dan menang. Namun, strategi yang bagus


saja tidaklah memadai. Seorang pemimpin yang handal dibutuhkan oleh
perusahaan. Karena seorang pemimpin yang handal bukan saja harus piawai
dalam menyusun strategi, tetapi juga dapat menjalankan strategi dengan
efektif. Karena pemimpinlah yang akan melahirkan strategi dan sekaligus
berupaya keras agar dapat mewujudkan strategi itu.
Dalam pandangan (Anthony & Govindarajan, 2003) setiap organisasi
terdiri dari elemen-elemen atau bagian yang telah ditentukan fungsi-fungsinya,
untuk saling bekerjasama dan saling mempengaruhi, dan tidak ada yang lebih
dominan atau lebih utama dari sebagian yang lain, kecuali harus terkoordinasi
dalam tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Untuk bekerjanya sebagai sebuah
sistem, organisasi dipimpin oleh hierarki manajer, dengan Chief Executive
Officer (CEO) pada posisi puncak, dan para manajer unit bisnis, departemen,
bagian (section) dan subunit lainnya yang peringkatnya berada dibawahnya
dalam suatu diagram organisasi.
Kepemimpinan oleh Kenneth H. Blanchard (Wahjosumidjo, 1985) adalah
proses dalam mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang atau kelompok
dalam

usahanya

mencapai

tujuan

dalam

situasi

tertentu.

Tanpa

kepemimpinan organisasi hanya merupakan kelompok manusia yang kacau


tidak teratur dan tidak akan melahirkan perilaku bertujuan (Keith Davis dalam
Sudarwan, 2004 : 18)
Menurut Emil H. Tambunan kepemimpinan merupakan kegiatan
mempengaruhi orang lain supaya mereka dapat bekerjasama mencapai

tujuan yang diinginkan. Kepemimpinan adalah kesanggupan yang dipunyai


oleh seseorang untuk mempengaruhi sikap dan perilaku orang lain menurut
kepemimpinannya.

Hal

ini

berarti

bahwa

seseorang

yang

sanggup

mengarahkan atau mempengaruhi orang lain pada satu posisi yang berfungsi
sebagai seorang pemimpin.
Warren Bennis dalam bukunya Leader, The Strategies for Taking
Change, menyatakan kepemimpinan perlu untuk menolong organisasi,
mengembangkan pendangan baru, bagaimana supaya mereka dapat maju,
kemudian memobilisasi perubahan organisasi menuju pandangan baru.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa
implikasi.
Pertama, kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu
para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus
memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun
demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan
ada juga.
Kedua, seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan
kekuasaannya (his or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk
mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968),
kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari:
a) Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa
pemimpin

mempunyai

kemampuan

dan

sumberdaya

untuk

memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahanarahan pemimpinnya.


b) Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa
pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi
bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya

c) Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa


pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan
otoritas yang dimilikinya.
d) Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan)
bawahan

terhadap

menggunakan

sosok

pengaruhnya

pemimpin.
karena

Para

pemimpin

karakteristik

dapat

pribadinya,

reputasinya atau karismanya.


e) Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa
pemimpin

adalah

seeorang

yang

memiliki

kompetensi

dan

mempunyai keahlian dalam bidangnya.


Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau
kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam
berbagai situasi.
Ketiga, kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri
(integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan
(cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment),
kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan
untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi.
B. Kepemimpinan transformasinal dan Transaksional
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills)
yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti.
Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin
(leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karenanya hasil penelitian pada
saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau
watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan
sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para

peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan


tingkah laku para pemimpin.
Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang
diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para
peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model
kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi,
variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an,
sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para
pemimpin

yang

mempengaruhi

keefektifan

mereka

dan

keberhasilan

organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun


1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan
kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari
(crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi
yang sangat komplek. Kepemimpinan transaksional dan transformasional
dikembangkan oleh Bass (1985) bertolak dari pendapat Maslow tentang
tingkatan kebutuhan manusia.
Menurut teori hierarki kebutuhan tersebut, kebutuhan bawahan lebih
rendah seperti kebutuhan fisik, rasa aman dan pengharapan dapat terpenuhi
dengan baik melalui penerapan kepemimpinan transaksional. Namun,
aktualisasi diri, menurut hanya dimungkinkan terpenuhi melalui penerapan
kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan Transformasional ( Transformational Leadership)
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relative
baru dalam studi-studi kepemimpinan. Model ini dianggap sebagai model
yang

terbaik

dalam

menjelaskan

karakteristik

pemimpin.

Konsep

kepemimpinan transformasional mengintegrasikan ide yang dikembangkan


dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi. Burns (1978) merupakan
salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan
transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih
baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu
dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan
transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam
organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa
seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para
bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin
transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas
organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab
mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada system
pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.
Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model

kepemimpinan

transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu


memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih
dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu
mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi,
dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya. Hater
dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational
leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a
shared vision of the future, or going beyond the self-interest exchange of
rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional
merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan
strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin

transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi


masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan
pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.
Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus
mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi
kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.
Yammarino

dan

Bass

(1990)

juga

menyatakan

bahwa

pemimpin

transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik,


menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian
pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya.
Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna
(1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek
transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu.
Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness
through

Transformational

Leadership",

Bass

dan

Avolio

(1994)

mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat


dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's".
Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence
(pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku
pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan
sekaligus mempercayainya.
Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi
inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan
sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas
terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap
seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi
melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme.

Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi


intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide
baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan
yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk
mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas
organisasi.
Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration
(konsiderasi

individu).

Dalam

dimensi

ini,

pemimpin

transformasional

digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan


penuh perhatian masukanmasukan bawahan dan secara khusus mau
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir.
Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk
relative baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi
yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi
manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional
merupakan

konsep

kepemimpinan

yang

terbaik

dalam

menguraikan

karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan


transformasional ini mengintegrasikan ideide yang dikembangkan dalam
pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga
kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan
konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti
misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan
yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan
yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun
terminology

yang

digunakan

berbeda,

namun

fenomena

fenomana

kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih

banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut


kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new
leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai
pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai penerobos
karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa
perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun
organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu
individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses
penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi
agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan
menantang

bagi

semua

pihak

yang

terlibat,

dan

mencoba

untuk

merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak


mungkin

dilaksanakan.

Pemimpin

penerobos

memahami

pentingnya

perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan


pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya.
Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan
dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran
paradigm untuk mengembangkan praktekpraktek organisasi yang sekarang
dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasal dari kata Yunani
meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran. Dengan
perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai
pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper
competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam
permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh
karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus
menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan

agar

selalu

relevan

dengan

kondisi

persaingan

baru.

Pemimpin

transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang


mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi
usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.
Sejauh mana seorang pemimpin disebut transformasional dapat diukur
dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para bawahan.
Bawahan seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan,
kekaguman, kesetiaan dan hormat terhadap pemimpin tersebut dan mereka
termotivasi untuk melakukan hal-hal yang lebih dari pada yang awalnya
diharapkan pemimpin. Pemimpin tersebut memotivasi para bawahan dengan :
1) membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu
pekerjaan,
2) mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi dari pada diri
sendiri, dan
3) mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.
Avolio & Bass (1987) mengatakan bahwa kepemimpinan
transformasional berbeda dengan kepemimpinan transaksional dalam dua hal.
Pertama, meskipun pemimpin transformasional yang efektif juga mengenali
kebutuhan bawahan, mereka berbeda dari pemimpin transaksional aktif.
Pemimpin transformasional yang efektif berusaha menaikkan kebutuhan
bawahan. Motivasi yang meningkat dapat dicapai dengan menaikkan harapan
akan kebutuhan dan kinerjanya. Misalnya, bawahan di dorong mengambil
tanggungjawab lebih besar dan memiliki otonomi dalam bekerja. Kedua,
pemimpin transformasional berusaha mengembangkan bawahan agar mereka
juga menjadi pemimpin. Sebelum Bass mengindikasikan ada tiga cirri
kepemimpinan transformasional yaitu karismatik, stimulasi intelektual dan
perhatian secara individual mengindikasikan inspirasional termasuk ciri-ciri
kepemimpinan transformasional. Dengan demikian ciri-ciri kepemimpinan

transformasional terdiri dari karismatik, inspirasional, stimulasi intelektual dan


perhatian secara individual.
Karismatik.
Karismatik menurut Yukl (1998) merupakan kekuatan pemimpin yang
besar untuk memotivasi bawahan dalam melaksanakan tugas. Bawahan
memperayai pemimpin karena pemimpin dianggap mempunyai pandangan,
nilai dan tujuan yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu pemimpin yang
mempunyai karisma lebih besar dapat lebih mudah mempengaruhi dan
mengarahkan bawahan agar bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan
oleh pemimpin. Selanjutnya dikatakan kepemimpinan karismatik dapat
memotivasi bawahan untuk mengeluarkan upaya kerja ekstra karena mereka
menyukai pemimpinnya.
Inspirasional.
Perilaku pemimpin inspirational menurut Yukl & Fleet (dalam Bass,
1985) dapat merangsang antusiame bawahan terhadap tugas-tugas kelompok
dan dapat mengatakan hal-hal yang dapat menumbuhkan kepercayaan
bawahan terhadap kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan mencapai
tujuan kelompok.
Stimulasi Intelektual.
Menurut Yukl (1998; Deluga; 1998; Bycio, dkk, 1995) stimulasi
intelektual merupakan upaya bawahan terhadap persoalan persoalan dan
mempengaruhi bawahan untuk melihat persoalan-persoalan tersebut melalui
perspektif baru, sedangkan oleh Seltzer dan Bass (1990) dijelaskan bahwa
melalui stimulasi intelektual, pemimpin merangsang kreativitas bawahan dan
mendorong untuk menemukan pendekatan - pendekatan baru terhadap

10

masalah-masalah lama. Jadi, melalui stimulasi intelektual, bawahan didorong


untuk berpikir mengenai relevansi cara, system nilai, kepercayaan, harapan
dan didorong melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan melakukan
inovasi

dalam

menyelesaikan

persoalan

dan

berkreasi

untuk

mengembangkan kemampuan diri serta disorong untuk menetapkan tujuan


atau sasaran yang menantang. Kontribusi intelektual dari seorang pemimpin
pada bawahan harus didasari sebagai suatu upaya untuk memunculkan
kemampuan bawahan. Hal itu dibuktikan dalam penelitian Seltzer dan bass
(1990) bahwa aspek stimulasi intelektual berkorlasi positif dengan extra effort.
Maksudnya,

pemimpin

yang

dapat

memberikan

kontribusi

intelektual

senantiasa mendorong staf supaya mapu mencurahkan upaya untuk


perencanaan dan pemecahan masalah.
Perhatian secara Individual
Perhatian

atau

pertimbangan

terhadap

perbedaan

individual

implikasinya adalah memelihara kontak langsung face to face dan komunikasi


terbuka dengan para pegawai. Zalesnik (1977; dalam Bass, 1985)
mengatakan, bahwa pengaruh personal dan hubungan satu persatu antara
atasan-bawahan merupakan hal terpenting yang utama. Perhatian secara
individual tersebut dapat sebagai indentifikasi awal terhadap para bawahan
terutama bawahan yang mempunyai potensi untuk menjadi seorang
pemimpin. Sedangkan monitoring merupakan bentuk perhatian individual
yang ditunjukkan melalui tindakan konsultasi, nasehat dan tuntutan yang
diberikan oleh senior kepada yunior yang belum berpengalaman bila
dibandingkan dengan seniornya.
Heater dan Bass (1998)

mengatakan

bahwa

kepemimpinan

transformasional lebih menarik bagi karyawan yang berpendidikan tinggi

11

karena karyawan yang berpendidikan tinggi mendambakan tantangan kerja


yang dapat menambah profesionalis dan pengembangan diri. Pendapat
tersebut sejalan dengan pendapat Keller (1992) bahwa mereka yang
mempunyai tingkat pendidikan tinggi mempunyai minat mendalam dalam
menghadapi tantangan kerja dan bawahan yang mempunyai pendidikan tinggi
dapat mendukung member respon terhadap kepemimpinan transformasional.
Respon positif tersebut dapat mempengaruhi tingkat motivasi bawahan
sehingga bawahan juga akan meningkatkan upayanya atau melakukan extra
effort untuk mendapatkan hasil kerja lebih tinggi dari yang diharapkan.
Sedangkan bass (1985) mengatakan, kepemimpinan transformasional lebih
memungkinkan muncul dalam organisasi yang memiliki kehangatandan
kepercayaan yang tinggi juga berpendidikan tinggi, diharapkan dengan
pendidikan tinggi dapat menjadi orang yang kreatif.
Kepemimpinan Transaksional
Menurut Burns (1978) pada kepemimpinan transaksional, hubungan
antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas
tawar menawar antar keduanya. Karakteristik kepemimpinan transaksional
adalah contingent reward dan management by-exception. Pada contingent
reward dapat berupa penghargaan dari pimpinan karena tugas telah
dilaksanakan, berupa bonus atau bertambahnya penghasilan atau fasilitas.
Hal ini dimaksudkan untuk memberi penghargaan maupun pujian untuk
bawahan terhadap upaya-upayanya. Selain itu, pemimpin betransaksi dengan
bawahan, dengan memfokuskan pada aspek kesalahan yang dilakukan
bawahan, menunda keputusan atau menghindari hal-hal yang kemungkinan
mempengaruhi terjadinya kesalahan.

12

Management by-exception menekankan fungsi managemen sebagai


kontrol. Pimpinan hanya melihat dan mengevaluasi apakah terjadi kesalahan
untuk diadakan koreksi, pimpinan memberikan intervensi pada bawahan
apabila standar tidak dipenuhi oleh bawahan. Praktik management by
exception, pimpinan mendelegasikan tanggungjawab kepada bawahan dan
menindaklanjuti dengan memberikan apakah bawahan dapat berupa pujian
untuk membesarkan hati bawahan dan juga dengan hadiah apabila laporan
yang dibuat bawahan memenuhi standar.
Menurut Bycio dkk. (1995) kepemimpinan transaksional adalah gaya
kepemimpinan di mana seorang pemimpin menfokuskan perhatiannya pada
transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan
hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan
mengenai

klasifikasi

sasaran,

standar

kerja,

penugasan

kerja,

dan

penghargaan.
C. Urgensi Kepemimpinan Transformasional
Gary Yulk dalam Leadership in Organization (1989), amat gambling
memperlihatkan karakter dari kepemimpinan transformatif itu.
1) Pertama, fokus kepemimpinan transformatif pertama-tama terarah pada
kepentingan bawahannya. Di sini animo utama dari pemimpin adalah
perbaikan kondisi bawahan. Jadi ia membawa bawahan keluar dari
kondisi keterpurukannya menuju kondisi yang lebih baik. Upaya itu
diwujudkan dengan kebijakan kebijakan yang memungkinkan perbaikan
itu.
2) Kedua, pemimpin transformatif berupaya untuk memberikan perhatian
pada nilai-nilai etis. Artinya, perhatian pemimpin transformatif juga terkait
dengan perbaikan kualitas moralitas dan motivasi dari bawahan yang
dipimpinnya.

Dengan

kata

lain,

pemimpin

transformasional

13

menyuarakan cita-cita dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan,


keadilan, tanggung jawab sosial lewat empati. Landasannya ialah
bahwa setiap orang berharga baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Karena itulah ia harus diangkat dan dihargai secara total. Jadi,
pemimpin membangkitkan kesadaran dari pengikut dengan menyerukan
cita-cita yang lebih tinggi.
3) Ketiga, pemimpin transformatif

tidak

menggurui,

melainkan

mengaktifkan para pengikut untuk melakukan inovasi-inovasi untuk


bangkit dari keterpurukannya.. Di sini Yulk memperlihatkan bahwa
seorang pemimpin bukan sebagai penentu segalanya, melainkan
pendamping dan partner bagi bawahannya
4) Keempat, kepemimpinan transformatif mengandung muatan stimulasi
intelektual.

Dalam

sistem

seperti

ini

intensi

penguasa

adalah

meningkatkan kesadaran pengikutnya akan masalah-masalah konkret


dan memandang masalah itu dari perspektif yang baru. Jadi, ada
semacam konsistensi.
5) Kelima, kepemimpinan transformatif menghidupkan dialog dalam strata
sosial lewat komunikasi politik yang sehat. Dialog ini mengandaikan
adanya keterbukaan dan visi yang jelas dari seorang pemimpin.
D. Kepemimpinan Transformasional dan Kinerja
Sudarwan (2004:137-138) menyebutkan secara luas adanya penelitian
tentang

perilaku

kepemimpinan

dihubungkan

dengan

kepuasan

dan

produktifitas pada usaha industri pada Pusat penelitian Universitas Michigan.


Para peneliti menarik kesimpulan bahwa ada tiga dimensi perilaku
kepemimpinan yang mempunyai kaitan sangat erat dengan keberhasilan
kelompok kerja, yaitu :
1) Asumsi tentang peranan pimpinan, yaitu asumsi bila seorang pemimpin
aktif memberikan contoh, produktifitas kelompok akan meningkat.

14

Pemimpin harus mampu menciptakan kesesuaian antara kata dan


perbuatan, dan memberi contoh yang lebih bermakna daripada hanya
sekedar menyampaikan kata-kata atau verbalisme. Bila seorang
pemimpin hanya memerankan diri sebagai anggota, produktifitas akan
menurun. Oleh sebab itu, sebaiknya pemimpin adalah orang yang
mampu membuat rencana, melaksanakan, dan mengadakan control
secara serial (berkala). Pemimpin yang baik tidak bersifat kekanak
kanakan, melainkan mempunyai kemantapan, berpandangan jauh
kedepan, dewasa, dan sejumlah predikat lainnya.

Dalam konsep

kepemimpinan transformasional, seorang pemimpin dituntut untuk


menunjukkan kredibilitasnya sebagai seorang pemimpin, sehingga
seorang pemimpin dipercaya oleh bawahannya.

Begitu penting

kredibilitas ini bagi seorang pemimpin, kredibilitas adalah modal


terpenting dalam kepemimpinan. Tanpa kredibilitas ini, pimpinan
hanyalah bekerja berdasarkan kekuasaan sehingga tidak akan mampu
menjalankan secara efektif. Jika bawahan tidak percaya pada pembawa
berita apalagi mempercayai isi beritanya. Bagaimana mungkin seorang
pimpinan bisa mengarahkan pegawai ke arah tujuan, jika pimpinan
tersebut tidak dipercaya bawahannya.
2) Ketelitian pengawasan, adalah salah satu penentu produktifitas
kelompok kerja di dalam organisasi, apapun bentuk dan jenis pekerjaan
yang ada di organisasi itu. Dalam hubungannya dengan pengawasan,
hasil penelitian menunjukkan bahwa manusia organisasi akan lebih
produktif bila kepadanya diberikan sejumlah otonomi atau kesempatan
berdiri sendiri dalam melaksanakan tugasnya dan hal ini berhubungan
dengan kepuasan kelompok baik dari diri pengawas maupun anggota

15

yang diawasi. Dalam konsep kepemimpinan transaksional, Pemimpin


transformasional adalah pemimpin yang menstimulasi intelektual
bawahannya.

Pemimpin

transformasional

akan

menginspirasi

bawahannya untuk maju, ia akan menjadikan bawahan untuk menjadi


seorang pemimpin juga tanpa merasa tersaingi. Judge dan Locke (1993)
menegaskan pula bahwa gaya kepemimpinan merupakan salah satu
faktor penentu kepuasan kerja. Jenkins menambahkan bahwa keluarnya
karyawan lebih banyak disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap kondisi
kerja karena karyawan merasa pimpinan tidak memberi kepercayaan
kepada karyawan, tidak ada keterlibatan karyawan dalam pembuatan
keputusan, pemimpin berlaku tidak objektif dan tidak jujur pada
karyawan.

Pendapat

mengemukakan

bahwa

ini

didukung
alasan

oleh

utama

Nanus

karyawan

(1992)

yang

meninggalkan

organisasi disebabkan karena pemimpin gagal memahami karyawan


dan pemimpin tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan karyawan.
Disinilah peranan pemimpin transformasional dalam melibatkan secara
aktif bawahannya dalam proses kinerja manjadi sangat penting. Bill
Marriot, pendiri rangkaian hotel bertaraf internasional, Hotel Marriot,
memahami

pentingnya

mendengarkan

masukan

dari

karyawan,

memperhatikan, menghargai dan membina hubungan baik dengan


karyawan. Bill Marriot percaya bahwa karyawan yang merasa
diperhatikan, didengarkan dan dihargai akan merasa hasil kerja mereka
tidak sia-sia. Mereka dengan sendirinya akan melakukan yang terbaik
dalam melayani pelanggan juga dengan kualitas layanan nomor satu.
Semua ini akhirnya akan member kontribusi positif bagi perusahaan.

16

Dalam konsep Total Quality Manajemen, diantara 3 prinsip mutu yang


merupakan konsep dasar dari total quality adalah keterlibatan total.
Pendekatan ini dimulai dengan kepemimpinan manajemen senior yang
aktif dan mencakup usaha yang memanfaatkan bakat semua karyawan
dalam suatu organisasi untuk mencapai suatu keunggulan kompetitif
(Competitive Advantage) di pasar yang dimasuki. Karyawan pada
semua level diberikan wewenang/kuasa untuk memperbaiki output
melalui

kerjasama

memecahkan

dalam

persoalan,

struktur

kerja

memperbaiki

yang

proses

fleksibel
dan

untuk

memuaskan

pelanggan. Perusahaan juga akan memperoleh keuntungan dengan


melibatkan karyawan dalam memperbaiki proses perusahaan, antara
lain : a. Karyawan akan menikmati lingkungan pekerjaan, sehingga akan
tetap tinggal dalam jangka waktu yang lama , sehingga organisasi akan
menghemat biaya yang berkaitan dengan turnover karyawan b.
Karyawan yang diperhatikan, akan mendapatkan kepuasan dalam
bekerja, sehingga akan memberikan hasil pekerjaan yang terbaik
sehingga hal ini akan berimbas pada performace perusahaan. c. Adanya
perbaikan terus menerus terhadap kualitas perusahaan.
3) Orientasi terhadap bawahan, yaitu perhatian dari atasannya untuk dapat
meningkatkan produktifitas kerja. Hal ini dapat ditempuh dengan jalan
memberikan perhatian khusus pada masalah kesehatan, mengurangi
hukuman atas kesalahan dan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan
kebutuhan anggotanya. Kebalikan dari orientasi kepada bawahan
adalah orientasi terhadap tugas, yaitu pemimpin tidak melihat apapun
dari bawahan kecuali pelaksanaan pekerjaan dan penilaian kinerja
hanya

ditentukanm

atas

keberhasilan

seseorang

melaksanakan

17

pekerjaanya. Dalam kaitan dengan Kepemimpinan transaksional,


pemimpin transaksional menuntut adanya perhatian secara Individual
seorang pimpinan terhadap bawahan. Perhatian atau pertimbangan
terhadap perbedaan individual implikasinya adalah memelihara kontak
langsung face to face dan komunikasi terbuka dengan para pegawai.
Zalesnik (1977; dalam Bass, 1985) mengatakan, bahwa pengaruh
personal

dan

hubungan

satu

persatu

antara

atasan-bawahan

merupakan hal terpenting yang utama. Perhatian secara individual


tersebut dapat sebagai indentifikasi awal terhadap para bawahan
terutama bawahan yang mempunyai potensi untuk menjadi seorang
pemimpin.

Sedangkan

monitoring

merupakan

bentuk

perhatian

individual yang ditunjukkan melalui tindakan konsultasi, nasehat dan


tuntutan yang diberikan oleh senior kepada yunior yang belum
berpengalaman bila dibandingkan dengan seniornya.
Dan diantara elemen pendukung dalam keberhasilan TQM juga
ditekankan adanya komunikasi, dimana komunikasi kepada seluruh karyawan
mengenai

suatu

komitmen

yang

sungguh-sungguh

untuk

melakukan

perubahan dalam usaha peningkatan mutu. Secara ideal manajer harus


bertemu secara pribadi dengan karyawan untuk menyampaikan informasi,
memberi pengarahan dan menjawab pertanyaan dari setiap karyawan. Uraian
diatas menunjukkan kaitan erat antara pemimpin transformasional dengan
kinerja suatu organisasi
E. Kesimpulan
Jika
seorang

pemimpin

menerapkan

gaya

Kepemimpinan

transformasional akan menunjukkan hasil yang lebih baik disbanding

18

kepemimpinan transaksional. Hal tersebut karena praktik gaya kepemimpinan


transformasional

mampu

membawa

perubahan-perubahan

yang

lebih

mendasar seperti perluasan nilainilai, tujuan dan kebutuhan bawahan dan


perubahan-perubahan tersebut berdampak pada upaya bawahan karena
dengan terpenuhinya kebutuhan yang lebih tinggi membuat bawahan
mempertinggi motivasi dalam mencapai hasil kerja yang lebih optimal dan
membuat bawahan berupaya lebih keras dengan bekerja lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarman (2004), Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok,


Asdi Mahasatya, Jakarta
Daryanto, Arif, (2005), Model Kepemimpinan dan Kepemimpinan Agribisnis
Masa Depan.

19

Mujiasih, Endah & Sutrisno


Transformasional

Hadi,

Persepsi

Gaya

Kepemimpinan

Goleman, Daniel dkk (2005), Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi,


Edisi Ketiga, Gramedia, Jakarta
Robert N Anthony & Vijay Govindarajan (2000) Sistem Pengendalian
Manajemen, Salemba Empat, Jakarta
Sudarto, Dawam & Herman Matondang, (2002), Materi Pokok Pengelolaan
Keuangan Negara, BPLK, Jakarta
Sihotang, Kasdin (2003), Urgensi Pemimpin Transformatif, Suara Pembaharuan
Daily
Wahyusumidsjo, (1999) Kepemimpinan dan Motivasi, Graha Indonesia, Jakarta
http://www.pemimpinunggul.com
http://www.depdiknas.go.id
http://www.pshycology.com

20

Anda mungkin juga menyukai