Bab Ii Seminar Sejarah Arsitektur Kendal
Bab Ii Seminar Sejarah Arsitektur Kendal
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ruang Terbuka Pulik
2.1.1. Pengertian Ruang Terbuka Publik
Ruang terbuka publik saat ini menjadi sebuah kebutuhan publik
yang cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pengertian ruang
terbuka sendiri bermacam-macam dikemukakan oleh beberapa ahli
perencanaan kota. Beberapa pengertian ruang terbuka publik tersebut
adalah sebagai berikut:
2
penngguna. Ruang terbuka menyediakan kerangka kerja sebaik mungkin untuk
mengantisipasi perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Sebaliknya ruang terbuka
umum merupakan ungkapan drama kehidupan manusia yang juga memberikan pengaruh
ruang terbuka publik adalah sebuah ruang atau lahan tidak terbangun didalam kota yang dapat
digunakan oleh publik (setiap orang), dan memberikan kesempatan bagi timbulnya bermacammacam kegiatan. Contoh ruang terbuka publik, seperti : alun-alun, taman, lapangan olah raga,
plaza, jalur pedestrian, pemakaman, lapangan terbang, dan jalan.
3
2.1.2. Klasifikasi Ruang Terbuka Publik
Sebagaimana keragaman definisinya, jenis ruang terbuka bermacam-macam sesuai
karakteristiknya. Pengkategorian jenis ruang terbuka dapat dilihat sebagai berikut:
1. Ruang Terbuka skala lingkungan dengan luas dan lingkup pelayanan kecil, seperti:
Ruang sekitar tempat tinggal (home-oriented space), disebut sebagai ruang privat (Gold,
1980).
Ruang dalam perumahan, merupakan bagian luas penggunaan lahan dalam suatu unit
lingkungan yang terdiri dari jalan, fasilitas rekreasi serta area lain seperti taman dan
penyangga (Rapuano, 1964).
Ruang terbuka lingkungan (neighbourhood space), biasanya didekat sekolah dasar dan
berorientasi pada kegiatan aktif dan pasif (Gold, 1964).
2. Ruang Terbuka skala bagian kota yang melayani beberapa unit lingkungan, seperti:
Taman, yang mencakup sarana bermain dan olahraga serta tempat interaksi masyarakat.
Taman (park) adalah area yang disediakan untuk penggunaan estetika, pendidikan,
rekreasi, atau budaya. Sistem taman kota pada prinsipnya terkait dengan kebutuhan
rekreasi aktif, termasuk taman kecil yang indah dan taman kota yang lebih besar yang
Ruang Terbuka untuk masyarakat luas (community space), melayani 20.000 penduduk (3
sampai 6 lingkungan) dan berorientasi pada pejalan kaki dan pengguna kendaraan.
Ruang terbuka ini berlokasi didekat sekolah menengah dan pusat keramaian /
perbelanjaan (Gold, 1980).
4
3. Ruang Terbuka skala kota yang lingkup pelayanannya sampai keseluruh bagian kota ruang
terbuka skala kota (citywide space), melayani seluruh masyarakat (1.000 penduduk atau
lebih) (Gold, 1980).
4. Ruang Terbuka skala wilayah dengan lingkup pelayanan untuk beberapa kota dalam
wilayah tertentu. ruang terbuka skala wilayah (regional space), melayani kebutuhan kota
dan umumnya merupakan area yang berorientasi pada sumber daya. Akses untuk
menjangkaunya menggunakan kendaraan pribadi atau umum (Gold, 1980).
Ruang Terbuka di Indonesia sering disebut denagn Alun-alun. Bentuk dari ruang terbuka
ini biasanya berbentuk segi-empat. Arah 4 mata angin ini dipegang orang Jawa dalam
hubungannya dengan 4 unsur pembentuk keberadaan bhuwana yaitu : air, bumi, udara,
dan api. Pada waktu itu alun-alun dihunakan sebagai tempat upacara kerajaan. Bisa
dikatakan ada kesan bahwa alun-alun mempunyai makna spiritual. Tetapi perubahan
konsep Alun-alun sebagai tempat upacara negara menjadi taman umum kota
berlangsung di Bandung sejak tahun 1967 pada masa pemerintahan Hindia-Belanda
(Wiryomartono, 1995).
5. Ruang Terbuka ditinjau dari kegiatannya, dapat dikelompokan menjadi 2, yaitu (Hakim,
1993) :
Ruang Terbuaka Aktif, adalah ruang terbuka yang mengundang unsur-unsur kegiatan
didalamnya, antara lain : bermain, olahraga, upacara, berkomunikasi, berjalan-jalan,
5
1.2.3. Fungsi Ruang Terbuka Publik
Ruang terbuka memiliki fungsi sosial dan ekologi (Hakim, 1993).
Fungsi Sosial ruang terbuka :
1) Tempat bermain, berolahraga
2) Tempat bersantai
3) Tempat komunikasi sosial
4) Tempat peralihan, tempat menunggu
5) Tempat mendapatkan udara segar dari lingkungan
6) Pembatas atau jarak antar massa bangunan
Fungsi Ekologi ruang terbuka :
1)
2)
3)
4)
Penyegaran udara
Menyerap air hujan
Pengendalian banjir
Pemeliharaan ekosistem
Masyarakat dapat memanfaatkan ruang terbuka untuk aneka keperluan, sebagai tempat
1992).
Semua ruang terbuka didalam kota menyampaikan pesan secara fungsional, sebagai
1992).
Ruang terbuka yang lebih mengkomunikasikan nilai budaya memberikan lebih banyak
manfaat kepada masyarakat (Trancik, 1986).
2.2. Alun-Alun
2.2.1. Pengertian Alun-Alun
Kata halun-halun berasal dari bahasa Jawa kuno (Kawi) bukan Sansekerta. Dapat
dikatakan bahwa alun-alun merupakan lapangan terbuka orisinil Jawa (Wiryomartono,
1995). Lapangan terbuka yang berfungsi sebagai tempat pertemuan masyarakat selain
dalam
upacara
besar, ialah
alun-alun
yang
biasanya
terdapat
dalam
keraton
(Tjandrasasmita, 2000).
Van Romondt (Haryoto, 1986:386) menjelaskan pada dasarnya alun-alun itu
merupakan halaman depan rumah, namun dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa
berarti raja,bupati, wedana dan camat bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling
luas di depan Istana atau pendopo tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat
7
kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal pemerintahan militer, perdagangan, kerajinan
dan pendidikan.
Thomas Nix (1949:105-114) menjelaskan bahwa alun-alun merupakan lahan terbuka
dan terbentuk dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal
ini, bangunan gedung merupakan titik awal dan merupakan hal yang utama bagi
terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang dibiarkan tersisa dan
berupa alun-alun, hal demikian bukan merupakan alun-alun yang sebenarnya. Jadi alunalun bisa di desa, kecamatan, kota maupun pusat kabupaten.
Bentuk fisik alun-alun antara lain berupa keberadaan pohon beringin, jaringan jalan,
yaitu keberadaan alun-alun selalu dekat dengan adanya dua beringin kurung pada sumbu
yang ditarik dari kabupaten atau kadipatennya (Wiryomartono, 1995) dan biasanya
merupakan titik pertemuan dari jalan-jalan utama yang menghubungkan keraton dengan
bagian barat, utara dan timur dari kota (Handinoto, 1992).
Handitono (1992) mengatakan adanya alun-alun tidak bisa dilepaskan dari bangunanbangunan yang ada di sekitarnya. Di sebelah selatan alun-alun terletak keraton raja yang
ada atau penguasa setempat. Di sebelah barat terdapat Masjid Agung, sedangkan sejumlah
bangunan resmi lainnya didirikan di sisi barat atau timur. Daerah sebelah selatan Keraton
merupakan daerah tempat tinggal keluarga raja dan pengikut pengikutnya.
Setiap wajah kawasan bersejarah kota tidak bisa lepas dari pemahaman bangunan
spasialnya. Bangunan di kawasan itu mempunyai satu keterkaitan, yakni Alun-alun
Kraton - Masjid Agung - Pasar. Alun-alun terdapat di sebelah utara Kraton, dan Masjid
Agung berada di sebelah barat, sedangkan pasar berada di sebelah utara alun-alun.
Bangunan tersebut menyebabkan danya fungsi kawasan sebagai kegiatan perdagangan,
8
pusat pemerintahan dan peribadatan, sehingga menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat
kota.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa alun-alun merupakan sebuah
ruang terbuka publik yang memiliki keterkaitan dengan lingkungan sekitarnya, serta
memiliki nilai historis yang patut dilestarikan.
1.2.2. Peran dan Fungsi Alun-alun
Jo Santoso dalam Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa (2008),
menjelaskan betapa pentingnya alun-alun karena menyangkut beberapa aspek. Pertama,
alun-alun melambangkan ditegakkannya suatu sistem kekuasaan atas suatu wilayah
tertentu, sekaligus menggambarkan tujuan dari harmonisasi antara dunia nyata
(mikrokosmos) dan universum (makrokosmos). Kedua, berfungsi sebagai tempat perayaan
ritual atau keagamaan. Ketiga, tempat mempertunjukkan kekuasaan militer yang bersifat
profan dan merupakan instrumen kekuasaan dalam mempraktekkan kekuasaan sakral dari
sang penguasa.
Penjelasan di atas tentu saja masih harus ditambahkan bahwa keberadaan alun-alun
berfungsi pula sebagai ruang publik terbuka dimana rakyat saling bertemu dan fungsi
pengaduan rakyat pada raja.
Sebagai ruang publik, alun-alun adalah tempat pertemuan rakyat untuk bercakapcakap, berdiskusi, melakukan pesta rakyat dll. Bahkan istilah Plaza yang saat ini menjadi
ikon modernitas di setiap kota, disinyalir oleh Romo Mudji Sutrisno dalam bukunya,
Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace (2010)
9
sebagai bentuk ruang publik yang telah mengalami pergeseran makna yang dahulunya
adalah alun-alun.
B. Herry Priyono dalam bukunya Republik Tanpa Ruang Publik (2005) memberi
peringatan akan dampak pergeseran makna Plaza yang semula adalah Alun-alun sebagai
aktivitas ruang publik yang dinamis sbb: ketika ruang publik telah menjelma menjadi
komoditas komersial suatu masyarakat, maka pemaknaan kewarganegaraan sebagai
makhluk sosial, telah berganti menjadi pemaknaan bahwa masyarakat itu adalah
konsumen belaka.
10
1.2.3. Perkembangan Alun-Alun
Kehadiran alun-alun sudah ada sejak jaman prakolonial. Meskipun dari dulu
sampai sekarang bentuk phisik alun-alunnya sendiri tidak banyak mengalami perubahan,
tapi konsep yang mendasari bentuk phisiknya sejak jaman prakolonial sampai sekarang
telah mengalami banyak perubahan. Konsep inilah yang sebetulnya menentukan
peran dan fungsi alun-alun dalam suatu kota di Jawa.
Uraian dibawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang mendasari
kehadiran alun-alun di masa lampau, sebagai pertimbangan untuk menghidukan
kembali alun-alun yang sekarang masih banyak terdapat pada kota-kota di Jawa, tapi
keadannya seperti hidup segan matipun enggan.
Alun-Alun Pada Zaman Pra Kolonialis
Handinoto, Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur
Universitas Kristen Petra, menguraikan bahwa keberadaan Alun-alun telah ada pada zaman
Majapahit (Hindu-Budha) dan zaman Mataram (Islam).
Menurut Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca, disebutkan bahwa pada
zaman Majapahit, alun-alun memiliki fungsi sakral dan fungsi profan. Yang dimaksudkan
fungsi sakral adalah upacara-upacara religius dan penetapan jabatan pemerintahan.
Sementara fungsi profan adalah untuk kegiatan pesta rakyat dan perayaan-perayaan
tahunan. Ada dua alun-alun yang menjalankan kedua fungsi di atas yaitu Alun-alun Bubat
(menjalankan fungsi profan) dan Alun-alun Wiguntur (menjalankan fungsi sakral).
11
Gambar 2.1 Sketsa rekonstruksi Kota Majapahit oleh Maclaine Pont (1924) berdasarkan
Nagarakretagama dan hasil penggalian.
Sumber : http://carasejarah.blogspot.com/2011_07_01_archive.html (2011)
Pola ini dilanjutkan baik dalam pemerintahan Mataram baik Yogyakarta maupun
Surakarta yang memiliki dua alun-alun yaitu Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul. Di alunalun Yogyakarta ditempatkan pohon beringin kembar yang dinamai Kyai Dewa Ndharu dan
Kiai Jana Ndharu. Di zaman Mataram Islam ditambahkan keberadaan Masjid sebagai
pengganti candi.
12
Alun-Alun Pada Zaman Kolonialis
Pada zaman kolonial, alun-alun tidak hanya menjadi bagian dari sebuah keraton yang
dikepalai oleh seorang raja melainkan oleh para bupati sebagai bawahan raja.
Pemerintah kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan
pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan
sebagainya, juga menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung dengan
rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur pemerintahan Pribumi ini
biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang berkuasa atas kerajaan - orang Belanda
memakai istilah Inlandsch Bestuur).
13
Dalam sistim pemerintahan Inlandsch Bestuur pejabat Pribumi yang tertinggi adalah
Regent atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Rumah
Bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur Kraton di Surakarta dan
Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang berhadapan langsung
dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh para Bupati untuk bisa menjadi miniatur
dari Kraton Surakarta atau Yogyakarta.
Alun-Alun Pada Zaman Paska Kolonialis
Handinoto melihat adanya pergeseran signifikan mengenai eksistensi alun-alun paska
kolonialisme, Pada awal abad ke 20, terjadi westernisasi kota-kota di Nusantara.
Kebudayaan Indisch, yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara,kelihatan
menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa oleh para pendatang
baru pada awal abad ke 20. Sejak awal abad ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya alunalun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa.
Handinoto juga mengungkapkan keprihatanannya sbb: Sesudah kemerdekaan
Indonesia nasib alun-alun kota bertambah parah lagi. Banyak pengambil keputusan atau
kebijakan pembangunan kota ragu-ragu atau bahkan tidak mengerti mau difungsikan
untuk apa alun-alun ini. Banyak alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat olah
raga sepak bola, tenis, basket, ada pula yang sekarang difungsikan sebagai taman kota.
Bahkan banyak yang sekarang tidak jelas fungsinya, karena pusat kotanya sudah bergeser
ke lain lokasi. Yang paling tragis lagi ada alun-alun kota yang diincar investor untuk dibeli
karena letaknya yang strategis di pusat kota. Semuanya ini sebagai akibat belum adanya
suatu konsensus budaya yang jelas secara nasional, untuk bisa dipakai sebagai pegangan
14
dalam menangani alun-alun yang ada sekarang, sehingga wajar kalau timbul kebingungan
dalam menangani pembangunan nya. Jadi seperti apa yang dilihat sekarang pada alunalun kota, ingin meninggalkan pola tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur
baru yang mantap. Sesudah jaman pasca kolonial ini alun-alun kelihatan seperti hidup
segan matipun enggan.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa Alun-alun memiliki makna sakral dan
profan, maka keberadaannya tidak lepas dengan sejumlah filosofi dan makna yang
terkandung di dalamnya. Suwardjoko P Warpani SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan
Kota menuliskan, Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang
keberadaannya menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciri-ciri sebidang
alun-alun yang sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya
memerlukan waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun
fungsi sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan.
Banyak anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan
paham berhak melakukan apa saja.
33
Nama
Metode yang
Judul Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Hasil Penelitian
Peneliti
Samuel
Alun-alun
Hartono
Revitalisasi Identitas
elemen
dan
Kota Tuban
Handinoto
dan Mengidentifikasi
utama
digunakan
elemen- Analisis
yang diakronik
untuk
jenis
perjalanan sejarah,
pembentuk ruang Kota Tuban elemen apa yang yaitu alun-alun dan bangunan
Mengetahuai usaha yang
muncul
dan pendukung disekitarnya.
Usaha untuk merevitalisasi alundapat
dilakukan
untuk
menjadi bagain
memperkuat
identitas
alun sebagai identitas kota adalah
penting
Kota
kawasan Alun-alun Tuban
sangat tepat.
Tuban pada suatu
34
2.
Wulandari
waktu tertentu.
Metode
Kawasan sudah berdiri sebelum
Kawasan alun-alun
perkembangan kawasan
Diachronic
Semarang
alun-alun
Metode
Syncronic
struktur tata
ruang kawasan.
Perkembangan kawasan
yang
Revitalisasi Mempertahankan
kawasan
alun-alun Malang
4.
wajah Metode
ke
ekonomi
Adanya
arah
kepentingan
konsep
pelestarian
Diachronic
padabangunan
Metode
kawasan
dan
lingkungan
Syncronic
pusat kota Malang
memetakan studi
kualitatif Transformasi alun-alun Malang
Astri
Anindya
Sari
35
Sebuah
kesejarahannya.
Budaya
Akibat sejak
Namun
Perkembangan
masa
dibangunnya
dibagi
atas
perkembangan
aktivitas
yang
merupakan
membentuk
dapat
Santoso
alun-alun
kawasan Memberikan
Banjarnegara
kota erencanaan
usulan studi
urban
desain dengan
memenuhi
persyaratan
citra
kawasan.
dan
kebutuhan
penataan
fungsional,
Edi
sisi
mengenai
Jaman
5.
dari
meaningful,
responsive,
dan
democratic
kualitatif Memberikan usulan perencanaan
analisis urban desain berupa kebutuhan-
baik
fisik
yang
diperlukan
pada
36
diperlukan
pada
kawasan
untuk
mendukung
kawasan
desain
yang
diwujudkan dalam
arsitektur
tepat sasaran.
yang