Anda di halaman 1dari 3

Simfoni Cahaya Bulan (remaster)

Chapter 0 : Prolog
Kakiku menginjak debu-debu putih yang bertebaran dilantai, seakan tak ada seoora
ngpun yang pernah menginjak tempat ini. Debu itu kini tiba-tiba saja terhempas k
etika diriku berusaha melangkah dengan hati-hati karena angin yang terciptakan o
leh kibasan sayap malaikat.
"Tempat ini dibuat hanya untuk dirimu seoorang"
Seoorang malaikat berbicara berbisik, melewatiku melayang pergi menuju ujung lor
ong ini.
...
Akhirnya diriku sampai pada ujung lorong, dan Zee yang mengikutiku sampai tempat
ini tidak boleh lagi mengikutiku lebih jauh dari batas ujung lorong ini.
"Racke.. Kau sudah berjanji bukan?"
Zee menarik bajuku. Matanya penuh dengan keraguan, karena akulah yang mengacauka
n masa depan yang ia percaya melalui matanya.
"Percayalah padaku Zee.. Aku takkan pernah membohongimu, dan kita sudah berjanji
akan hal ini bukan?"
Zee menatapku, kini dengan ketakutannya. Tangannya penuh dengan gemetar dan tang
is keluar dari matanya.
"Kenapa kau berbohong padaku Racke.."
Aku tidak menjawabnya, karena aku tidak pernah yakin tentang apa yang akan kujaw
ab. Apakah ucapanku menunjukan bahwa diriku berbohong? Ataukah mukaku yang menun
jukan hal itu?
"Aku tidak mengerti tentang apa yang kau bingung dan takutkan Zee, dan walau dir
iku telah berjanji untuk menemanimu, sampai kapan kau akan mengerti.."
Aku meninggalkannya, dan melewati pintu lorong tersebut. Suatu barrier membuatku
tidak dapat melihat Zee lagi, dan diriku kini berada disuatu ruangan putih yang
kosong, dan seperti tidak ada yang membatasi langit dan batas-batas dari ruanga
n ini, membuat segalanya seperti tidak terbatas kecuali suatu sinar benderang ya
ng dikelilingi oleh para malaikat yang melingkarinya.
"Kemarilah Racke, 'aku' telah menunggumu"
Malaikat-malaikat berucap secara bersamaan. Apakah 'aku' yang dimaksud mereka ad
alah tuhan ?
Aku mendekati mereka, dan tiba-tiba saja langkahku terhenti seakan ada suatu hal
yang menahan kakiku dari langkah ini.
"Cukup sampai disitu. Bagaimana kabarmu didunia sana Racke?"
Suara tersebut terucap dari suara-suara malaikat yang mengucapkannya secara bers
amaan, namun diriku dapat merasakan bagaimana ucapan tersebut menggambarkan suat
u kerinduan yang seperti tercipta dari mulut seseorang.
"Entah, 'hambamu' ini tidak yakin tentang apa yang dirasakannya selama ini.."

Saat aku mengucapkan hal tersebut, tiba-tiba aku melihat sosok eviah yang tidak
berada pada malaikat yang saling melingkar. Dia melihatku dari kejauhan, namun k
etika mata kita bertemu, dia menundukan wajahnya.
"Pandanglah 'aku' Racke.. Sedikit pertanyaan yang ingin ku tanyakan padamu, dan
kau bisa menyimpan perasaanmu sampai urusan kita selesai bukan?"
"Ah! Maafkan hambamu ini"
Aku kembali menatap lingkaran malaikat tersebut.
Saat aku berkata kata 'hamba', perasaan dibenakku terasa aneh. Eviah yang menyur
uhku untuk mengucapkan ini, dan ucapan ini seharusnya diucapkan oleh seseorang y
ang menyembah tuhan yaitu umatnya, dan aku bukanlah orang tersebut.
"Bagaimana dunia menurutmu, apa yang telah ia lakukan padamu selama ini? Apa yan
g kau dapat pelajari olehnya?"
Tentu saat ini aku takkan berbohong, ku gambarkan sesederhana mungkin apa yang k
urasakan.
"Hambamu ini belajar banyak hal, seperti rasa bahagia, kepuasan dan nikmat, namu
n kadang juga rasa marah, sakit, sedih, dan perih. Hamba melihat ketidakadilan d
idunia ini, dan prinsip-prinsip yang salah. Banyak yang mencoba mendirikan keadi
lan, namun pada akhirnya terlindas oleh arus yang mencoba melawannya. Perperanga
n, perbudakan, pengorbanan, dan banyak hal lainnya.. Seakan tak pernah usai, wal
au kita menyelesaikan diantaranya"
"Hamba merasa dunia ini dipenuhi oleh mahluk-mahluk yang susah untuk saling mema
hami, ataupun memahami diri mereka sendiri. Mereka bingung tentang apa hal yang
baik dan salah bagi diri mereka, dan akhirnya memutuskan sendiri hal tersebut, a
taupun saling bersatu menyongsong pikiran yang sama antar mereka yang satu penda
pat. Ketika itu, kadang pikiran mereka saling berkontradiktif, dan menimbulkan p
ertikaian hingga satu diantara mereka menang. Namun tentu saja, paham-paham baru
tersebut akan selalu muncul. Ketika itulah hamba dapat melihat hal-hal yang sek
iranya buruk terjadi bagaikan siklus yang takkan pernah selesai.. "
Aku berucap tanpa memikirkan sama sekali hal tersebut, seakan mulutku yang berbi
cara, bukanlah akal pikiranku.
"Namun hamba belajar untuk tidak menyalahi mahluk ketika hamba melihat mata seoo
rang yang baru lahir. Saat itu hamba tahu bahwa mahluk yang kau ciptakan tak per
nah salah. Mereka berawal dari suatu kemurnian, rasa tidak tahu akan apa-apa. Ke
tidakadilan, perang dan segalanya, bukanlah salah mereka. Siklus itu terus terja
di ketika mereka memiliki akal. Saat itu hamba percaya dengan akal itu juga, dan
tentunya hati nurani mereka yang kini dilupakan oleh mereka akan saling mencoba
untuk mengerti, dan membuat kehidupan yang ideal walau itu tidak akan terjadi d
alam waktu yang dekat.."
Tiba-tiba aku mendengar suatu langkah, namun aku tidak dapat menoleh karena kini
sedang berdiskusi soal masa depan dunia ini.
"Lalu apa dunia ini masih pantas untuk dilanjutkan? 'Aku' sudah pernah memperlih
atkan dunia yang kau rasa ideal bukan?"
Ketika itu aku kembali memikirkan dunia yang ideal tersebut. Dimana perbedaan ti
dak terlihat begitu signifikan seperti dunia ini yang terpisah oleh ras manusia
dan ras binatang. Namun selama ada perbedaan, agama, ideologi, dan semacamnya, t
etap saja mahluk berakal seperti kita takkan pernah mengerti lebih mudah dari du
nia ini dan hasilnya akan sama saja. Akhirnya aku mencapai pada konklusi jawaban

ku.
"Hamba... Aghh.."
Badanku terasa sakit, sesuatu menembus badanku..
"Racke.. Maafkan aku.. Aku tidak dapat mempercayai siapa-siapa.."
Ketika itu tiba-tiba saja tubuhku terjatuh, ruangan ini terguncang, dan malaikat
seperti burung-burung merpati yang kedatangan pengganggu, berterbangan dengan s
uara kibasan mereka yang begitu berisik.
"Racke!!"
Suara Eviah terdengar, namun padanganku buyar. Bahkan aku tidak dapat melihat so
sok yang menusukku, yang kupikir adalah Zee yang tadi menunggu diluar, namun ent
ah mengapa aku tidak familiar dengan suara yang kudengar menusukku.
Tiba-tiba ruangan terguncang, dan aku terjatuh, seperti lantai-lantai dibawahku
runtuh. Kini aku berada diantara langit yang sepertinya tak berdasar, dan aku ta
hu bahwa segalanya memiliki dasar dan saat itu diriku akan hancur lebur. Aku dap
at melihat mata Eviah yang kini meluncur bersamaku, memegangiku walau kutahu say
apnya takkan mungkin mampu menyelamatkan kita berdua.
"Terbanglah Eviah, sayapmu yang hancur takkan menyelamatkan kita"
"Tidak Racke, kita.. Kita jatuh bersama.."
Aku mendorongnya, dan tangannya terlepas dari badanku. Hempasan angin yang mendo
rong sayapnya untuk terbuka membuatnya terhempas jauh dari badanku.
Saat Eviah berkata untuk jatuh bersama, mati bersama, entah mengapa ucapannya te
rasa begitu bodoh. Maksudku untuk apa? Ketika hanya satu nyawa yang akan hilang,
mengapa kini mau mengorbankan diri untuk dua nyawa yang akan hilang? Pengorbana
n seharusnya dilakukan bukan untuk hal yang demikian.
"..."
Kini diriku meluncur dengan sungguh cepat, namun waktu terasa lambat, seakan pad
a diri seseorang, waktu berjalan relatif pada kondisi mana mereka berada.
Aku terjatuh menembus awan, dan melihat bagaimana baru saja hujan usai dan cahay
a-cahaya menembus awan ini dengan indahnya. Aku melihat bagaimana dunia ini dili
hat dari langit, dan hal itu begitu indah. Suatu pemandangan yang hanya dinikmat
i oleh burung-burung yang terbang, dan kini aku merasakannya.
Saat itu tiba-tiba saja aku mendengar naungan suara lagu nostalgia dalam pikiran
ku yang sangat cocok dengan kondisiku saat ini. Naungan yang kudengar dari dunia
manusia maupun dunia beastman.. Ah.. Simfoni cahaya bulan berputar diotakku den
gan indahnya.
"Bukankah ini akhir yang bahagia?"
*Bersambung* To the chapter 1

Anda mungkin juga menyukai