Anda di halaman 1dari 29

ASMA BRONCHIAL

A. Definisi Asma
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan;
penyempitan ini bersifat sementara/reversible. Asma bronchial adalah suatu
penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap
berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas
yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun
hasil dari pengobatan (Ohrui dkk, 2008)
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for
Asthma (GINA, 2010) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik
saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil,
dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam
atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan
nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik
secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan
dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan (GINA,
2010).
B. Epidemiologi Asma
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada
umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala
pertamanya muncul sebelum umur 4-5 tahun. Sebagian besar anak yang
terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang
relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarutlarut, biasanya lebih banyak yang terus menerus dari pada yang musiman. Hal

tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di


sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari (Sundaru, 2006).
C. Faktor Resiko Asma Bronchial
Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, faktor
risiko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan
faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan
asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus3). Adapun faktor risiko
pencetus asma bronkial yaitu (PDPI, 2003):
1. Asap Rokok
2. Tungau Debu Rumah
3. Jenis Kelamin
4. Binatang Piaraan
5. Jenis Makanan
6. Perabot Rumah Tangga
7. Perubahan Cuaca
8. Riwayat Penyakit Keluarga
9. Lingkungan termasuk lingkungan kerja
10. Psikologis
1. Asap Rokok
Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang
menghasilkan campuran gas yang komplek dan partikel-partikel
berbahaya. Lebih dari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi dalam
tembakau, diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon
dioksida, nitrit oksida, nikotin, dan akrolein (GINA, 2006).
2. Perokok pasif
Anak-anak secara bermakna terpapar asap rokok. Sisi aliran asap yang
terbakar lebih panas dan lebih toksik dari pada asap yang dihirup perokok,
terutama dalam mengiritasi mukosa jalan nafas. Paparan asap tembakau
pasif berakibat lebih berbahaya gejala penyakit saluran nafas bawah
(batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan serangan asma
(Chilmonczyk, 1993).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya asma


meningkat pada anak yang terpapar sebagai perokok pasif dengan OR =
3,3 (95% CI 1,41-5,74) (Danusaputro, 2000).
3. Perokok aktif
Merokok dapat menaikkan risiko berkembangnya asma karena pekerjaan
padapekerja yang terpapar dengan beberapa sensitisasi di tempat bekerja.
Namun hanya sedikit bukti-bukti bahwa merokok aktif merupakan faktor
risik berkembangnya asma secara umum.
4. Tungau Debu Rumah
Asma bronkiale disebabkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau
debu rumah yang masuk ke dalam saluran nafas seseorang sehingga
merangsang terjadinya reaksi hipersentitivitas tipe I. Tungau debu rumah
ukurannya 0,1 - 0,3 mm dan lebar 0,2 mm, terdapat di tempat-tempat atau
benda-benda yang banyak mengandung debu. Misalnya debu yang berasal
dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak
dibersihkan, juga dari tumpukan koran-koran,buku-buku, pakaian lama
(Danusaputro, 2000).
5. Jenis Kelamin
Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. Perbedaan jenis kelamin pada kekerapan asma
bervariasi, tergantung usia dan mungkin disebabkan oleh perbedaan
karakter biologi. Kekerapan asma anak laki-laki usia 2-5 tahun ternyata 2
kali lebih sering dibandingkan perempuan sedangkan pada usia 14 tahun
risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering dan kunjungan ke rumah
sakit 3 kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia tersebut,
tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma pada laki-laki merupakan
kebalikan dari insiden ini (Amu, 2006).

Peningkatan risiko pada anak laki-laki mungkin disebabkan semakin


sempitnya saluran pernapasan, peningkatan pita suara, dan mungkin terjadi
peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respon
bernapas .Didukung oleh adanya

hipotesis dari observasi yang

menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran udara laki-laki


dan perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkan perubahan
ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada
perempuan. Predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi
pada laki-laki mulai ketika masa puber, sehingga prevalensi asma pada
anak yang semula laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan mengalami
perubahan dimana nilai prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari pada
laki-laki. Aspirin lebih sering menyebabkan asma pada perempuan (GINA,
2006).
6. Binatang Peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung
dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah
alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan
ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4
mikron) dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan serangan asma,
terutama dari burung dan hewan menyusui (Anonim, 2005).
Untuk menghindari alergen asma dari binatang peliharaan, tindakan yang
dapat dilakukan adalah:
1. Buatkan rumah untuk binatang peliharaan di halaman rumah, jangan
biarkan binatang tersebut masuk dalam rumah,
2. Jangan biarkan binatang tersebut berada dalam rumah,
3. Mandikan anjing dan kucing setiap minggunya.
7. Jenis Makanan
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut,
kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian
berperanmenjadi penyebab asma38). Makanan produk industri dengan

pewarna buatan misal : (tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin


(monosodum glutamat-MSG) juga bias memicu asma. Penderita asma
berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat alergi makanan fatal yang
dapat mengancam jiwa. Makanan yang terutama sering mengakibatkan
reaksi yang fatal tersebut adalah kacang, ikan laut dan telor 39). Alergi
makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma
meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus
bronkokontriksi pada 2% -5% anak dengan asma (Handayani, 2004).
Meskipun hubungan antara sensitivitas terhadap makanan tertentu dan
perkembangan asma masih diperdebatkan, tetapi bayi yang sensitif
terhadap makanan tertentu akan mudah menderita asma kemudian, anakanak yang menderita enteropathy atau colitis karena alergi makanan
tertentu akan cenderung menderita asma. Alergi makanan lebih kuat
hubungannya dengan penyakit alergi secara umumn dibanding asma
(GINA, 2010).
8. Perabot Rumah Tangga.
Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis
(virus, bakteri, jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds
(VOC),combustion products (CO1, NO2, SO2) yang biasanya berasal dari
asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan VOC berasal dari semprotan
serangga, cat, pembersih, kosmetik, Hairspray, deodorant, pewangi
ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai
propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber formaldehid
dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furnitur, karpet. Paparan
polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya iritasi padamata dan
saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya respilable dust
disamping menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat menyebabkan
reaksi peradangan paru (GINA, 2006).
9. Perubahan Cuaca

Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya


kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat
membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan
meningkatnya konsentrasipartikel alergenik. Dimana partikel tersebut
dapat menyapu pollen sehingga terbawaoleh air dan udara. Perubahan
tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas dan
pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi ketika kelembaban
tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering dan dingin
menyebabkan sesak di saluran pernafasan (Anonim, 2006).
10. Riwayat Penyakit Keluarga
Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga
kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan
salah satu atopi). Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma
yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko
menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua
orang tua asmatik. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot, labilitas
bronkokontriksi pada olahraga ada pada kembar identik,tetapi tidak pada
kembar dizigot. Faktor ibu ternyata lebih kuat menurunkan asma
dibanding dengan bapak. Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali
menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma,
terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah. R.I Ehlich
menginformasikan bahwa riwayat keluarga mempunyai hubungan yang
bermakna (OR 2,77: 95% CI=1,11-2,48) (Sundaru, 2006).

D. Patofisiologi Asma Bronchial


Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran nafas
6

menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obtruksi terjebak tidak bisa diekspirasi, selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien
akan bernafas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT).
Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan
pertukaaran gas berjalan lancar (Sundaru, 2006).
Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat dinilai secara obyektif
dengan Volume Ekspirasi Paksa (VEP) atau Arus Puncak Ekspirasi (APE).
Sedangkan penurunan Kapasitas Vital Paksa (KVP) menggambarkan derajat
hiperinflasi paru. Penyempitan saluran nafas dapat terjadi baik pada di saluran
nafas yang besar, sedang maupun yang kecil. Gejala mengi menandakan ada
penyempitan di saluran nafas besar (Sundaru, 2006).
Manifestasi

penyumbatan

jalan

nafas

pada

asma

disebabkan

oleh

bronkokontriksi, hipersekresi mukus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan


deskuamasi sel epitel serta sel radang. Berbagai rangsangan alergi dan
rangsangan

nonspesifik,

akan

adanya

jalan

nafas

yang

hiperaktif,

mencetuskan respon bronkokontriksi dan radang. Rangsangan ini meliputi


alergen yang dihirup (tungau debu, tepungsari, sari kedelai, dan protein
minyak jarak), protein sayuran lainnya, infeksi virus, asap rokok, polutan
udara, bau busuk, obat-obatan (metabisulfit), udara dingin, dan olah raga
(Sundaru, 2006).
Patologi asma berat adalah bronkokontriksi, hipertrofi otot polos bronkus,
hipertropi kelenjar mukosa, edema mukosa, infiltrasi sel radang (eosinofil,
neutrofil, basofil, makrofag), dan deskuamasi. Tanda-tanda patognomosis
adalah krisis kristal Charcot-leyden (lisofosfolipase membran eosinofil),
spiral Cursch-mann (silinder mukosa bronkiale), dan benda-benda Creola (sel
epitel terkelupas) (Sundaru, 2006).

Gambar 1. Perbedaan saluran napas normal dan asma


Penyumbatan paling berat adalah selama ekspirasi karena jalan nafas
intratoraks biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi. Penyumbatan jalan
nafas difus, penyumbatan ini tidak seragam di seluruh paru. Atelektasis
segmental atau subsegmental dapat terjadi, memperburuk ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi. Hiperventilasi menyebabkan penurunan kelenturan,
dengan akibat kerja pernafasan bertambah. Kenaikan tekanan transpulmuner
yang diperlukan untuk ekspirasi melalui jalan nafas yang tersumbat, dapat
menyebabkan penyempitan lebih lanjut, atau penutupan dini (prematur)
beberapa jalan nafas total selama ekspirasi, dengan demikian menaikkan
risiko pneumotoraks (Sundaru, 2006).

E. Etiologi Asma Bronchial


Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom,
imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada

berbagai individu. Aktivitas bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian


kolinergik sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada epitel jalan nafas,
disebut reseptor batuk atau iritan, tergantung pada lokasinya, mencetuskan
refleks arkus cabang aferens, yang pada ujung eferens merangsang kontraksi
otot polos bronkus. Neurotransmisi peptida intestinal vasoaktif (PIV)
memulai relaksasi otot polos bronkus. Neurotramnisi peptida vasoaktif
merupakan suatu neuropeptida dominan yang dilibatkan pada terbukanya
jalan nafas (Sundaru, 2006).
Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah
pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan
ketombe. Bentuk asma inilah yang paling sering ditemukan pada usia 2 tahun
pertama dan pada orang dewasa (asma yang timbul lambat), disebut intrinsik
(Sundaru, 2006).
Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam hubungannya dengan
kehamilan dan mentruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma
membaik pada beberapa anak saat pubertas. Faktor psikologis emosi dapat
memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa yang berpenyakit
asma, tetapi emosional atau sifat-sifat perilaku yang dijumpai pada anak asma
lebih sering dari pada anak dengan penyakit kronis lainnya (Sundaru, 2006).
F. Klasifikasi Asma Bronchial
(Konsensus PDPI, 2003)
Derajat
Asma
Intermitten

Gejala
Gejala <1x/minggu

Gejala Malam
2x sebulan

Faal Paru
VEP1 80% nilai

Tanpa gejala diluar

prediksi

serangan

APE 80% nilai

Serangan singkat

terbaik
Variability APE
<20%
9

Persisten

Gejala >1x/minggu >2x sebulan

VEP1 80% nilai

Ringan

tapi <ix/hari

prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variability APE
>1x seminggu

20%-30%
VEP1 60-80%

Persisten

Gejala setiap hari

Sedang

Serangan

nilai prediksi

mengganggu

APE

aktivitas dan tidur

nilai terbaik

Membutuhkan

Variability APE

bronkodilator tiap

>30%

60-80%

Persisten

hari
Gejala terus

Berat

menerus

nilai prediksi

Sering kambuh

APE <60% nilai

Aktivitas fisik

terbaik

terbatas

Variability APE

Sering

VEP1 <60%

>30%

G. Diagnosis Asma Bronchial


Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan
beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik
sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh
gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa
berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang
baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan
jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru,
akan lebih meningkatkan nilai diagnostik (PDPI, 2003).
RIWAYAT PENYAKIT / GEJALA :
10

1.
2.
3.
4.
5.

Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan


Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul atau memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator (PDPI, 2003).

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


1.
2.
3.
4.

Riwayat keluarga (atopi)


Riwayat alergi / atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan (PDPI, 2003).

PEMERIKSAAN FISIK
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat
penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran
napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai
kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk
mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan
dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan
yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas
(PDPI, 2003).
FAAL PARU
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru
antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter
11

objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai
(PDPI, 2003) :
1. Obstruksi jalan napas
2. Reversibiliti kelainan faal paru
3. Variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif
jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE) (PDPI, 2003).
a. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui
prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada
kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas
dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil
nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi
jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi (PDPI, 2003).

Gambar 2. Spirometri

12

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :


-

Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%

atau VEP1 < 80% nilai prediksi.


Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat

membantu diagnosis asma


Menilai derajat berat asma

b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari
plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan
termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter
relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita,
sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau
kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas (PDPI, 2003).
Manfaat APE dalam diagnosis asma
-

Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi


bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari,

atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)


Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan
variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat
digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)

Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal


paru lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat
berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya
dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi

13

normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan


(PDPI, 2003).
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari
untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh
melalui 2 cara (PDPI, 2003) :
-

Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan


nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari
sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum
bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator
menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20%
dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian =

x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)

Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah


APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu,
dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE
malam hari) (PDPI, 2003).

H. PERAN PEMERIKSAAN LAIN UNTUK DIAGNOSIS


1. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan
uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu
berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada
penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan

14

penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik


(PDPI, 2003).
2. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai
kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor
risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan (PDPI, 2003)..
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara
yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif
maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen
yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan.
Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat
dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada
lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak
mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi (PDPI, 2003).
I. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding asma antara lain sebagai berikut :
Dewasa (PDPI, 2003).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)


Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun
keatas dan biasanya dengan riwayat paparan zat alergen dalam watu
yang cukup lama.

Bronkitis kronik
Keluhan sesak nafas disertai dengan batuk produktif yang terus
menerus selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut turut.

Gagal Jantung Kongestif

15

Sesak biasanya hilang timbul dan kumat-kumatan. Keluhan sesak


biasanya terjadi setelah melakukan aktivitas. Selain itu sesak nafas
juga terjadi pada saat tidur telentang sehingga pasien akan merasa
lebih nyaman jika tidur mnggunakan 2-3 buah bantal.

Obstruksi mekanis (misal tumor)


Keluhan sesak biasanya bertahan lama. Hal ini disebabkan karena
adanya penyempitan permanen dari saluran pernafasan. Bunyi mengi
juga akan terdengar setiap saat. Anak (PDPI, 2003)

Benda asing di saluran napas


Keluhan sesak disertai dengan riwayat tertelan benda asing. Setelah
benda asing berhasil dikeluarkan maka keluhan sesak akan hilang
secara permanen.

Laringotrakeomalasia
Laringotrakeomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh
melemahnya struktur supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi
kolaps dan obstruksi saluran napas yang menimbulkan gejala utama
berupa stridor. Kelainan ini dapat hadir sebagai laringomalasia atau
trakeomalasia saja.

Tumor
Keluhan sesak biasanya juga bertahan lama sama seperti tumor pada
dewasa. Hal ini disebabkan karena adanya penyempitan permanen
dari saluran pernafasan. Bunyi mengi juga akan terdengar setiap saat.

Bronkiolitis
Merupakan infeksi virus pada bronkiolus dan biasanya menyerang
anak dibawah usia 2 tahun

J.

Penatalaksanaan Asma Bronchial


Tujuan penatalaksanaan asma:
1.
2.
3.
4.

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma


Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise

16

5. Menghindari efek samping obat


6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma (PDPI, 2003).
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan
terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis b2 kerja singkat) minimal (idealnya
4.
5.
6.
7.

tidak diperlukan)
Variasi harian APE kurang dari 20%
Nilai APE normal atau mendekati normal
Efek samping obat minimal (tidak ada)
Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat (PDPI, 2003).

Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma


adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas
yang menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat
episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai
pendekatan yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman
dan dari segi harga terjangkau (PDPI, 2003).
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Edukasi
Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Kontrol secara teratur
Pola hidup sehat (PDPI, 2003).

K. Pengobatan berdasarkan derajat berat asma


Asma Intermiten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan
alergen, asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal.

17

Demikian pula penderita exercise induced asthma atau kambuh hanya bila
cuaca buruk, tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal
paru normal (PDPI, 2003).
Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin
terjadi. Bila terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya
penderita diobati sebagai asma persisten sedang (PDPI, 2003).
Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika
dibutuhkan, atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan
alternatif kromolin atau leukotriene modifiers; atau setelah pajanan alergen
dengan alternatif kromolin. Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis beta-2
kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral, kombinasi
teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau antikolinergik
inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama 3
bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan
(PDPI, 2003).
Asma Persisten Ringan
Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari
untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah
bera; sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi
setiap hari dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang
dianjurkan 200-400 ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya,
diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari (PDPI, 2003)
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila
penderita membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari,
pertimbangkan kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan
berikutnya (PDPI, 2003).

18

Asma Persisten Sedang


Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap
hari

untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya

pengontrol adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/


hari atau 250-500 ug FP/ hari atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan
agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Jika penderita hanya mendapatkan
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah ( 400 ug BD atau ekivalennya) dan
belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi
atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid
inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat bantu/ spacer pada
inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan (fix
combination) agar lebih mudah (PDPI, 2003).
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan , tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Alternatif agonis
beta-2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat
oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja
singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah
menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol (PDPI, 2003).
Asma Persisten Berat
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin,
gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal
paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan
efek samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut
umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu
pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis
tinggi (> 800 ug BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2
kali

sehari.

Kadangkala

kontrol

lebih

tercapai

dengan

pemberian

19

glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari (PDPI,


2003).
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers
dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya
sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat
sebagai

tambahan

terapi

selain

kombinasi

terapi

yang

lazim

(glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika


sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan
dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk
mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada
pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid
inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan
pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek
samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan untuk
memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil
atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang (PDPI, 2003).
L. Indikator asma tidak terkontrol
Seorang pasien dapat dikategorikan sebagai penderita asma tidak terkontrol,
bila :
a. Asma malam, terbangun malam hari karena gejala-gejala asma
b. Kunjungan ke darurat gawat, ke dokter karena serangan akut
c. Kebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernapasan, atau
exercise-induced asthma) (PDPI, 2003).
Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/ frekuensi tanda-tanda
(indikator) tersebut di atas, alasan/ kemungkinan lain, penilaian dokter; maka
tetapkan langkah terapi, apakah perlu ditingkatkan atau tidak. Alasan /
kemungkinan asma tidak terkontrol :
1. Teknik inhalasi : Evaluasi teknik inhalasi penderita
2. Kepatuhan : Tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan
obat-obatan asma

20

3. Lingkungan : Tanyakan penderita, adakah perubahan di

sekitar

lingkungan penderita atau lingkungan tidak terkontrol


4. Konkomitan penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis,
bronkitis dan lain-lain
Bila semua baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain (PDPI, 2003).
M. Pengobatan sesuai berat serangan asma
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma

Medikasi Pengontrol

Alternatif/Pilihan

Harian

Lain

Intermitten
-----Persisten Ringan Glukokortikosteroid

------Teofilin lepas

Alternatif
Lain
-----------

inhalasi (200-400 ug

lambat

BD/hari atau

Kromolin

ekivalennya)

Leukotriene

Persisten

Kombinasi inhalasi

Modifiers
Glukokortikostero Ditambah

Sedang

glukokortikosteroid

id inhalasi (400-

agonis beta-2

(400-800 ug BD/hari

800 ug BD atau

kerja lama

atau ekivalennya)

ekivalennya)

oral, atau

dan agonis beta-2

ditambah Teofilin

kerja lama

lepas lambat ,atau

Ditambah
teofilin lepas

Glukokortikostero lambat
id inhalasi (400800 ug BD atau
ekivalennya)
ditambah agonis
beta-2 kerja lama
oral, atau

21

Glukokortikostero
id inhalasi dosis
tinggi (>800 ug
BD atau
ekivalennya) atau
Glukokortikostero
id inhalasi (400800 ug BD atau
ekivalennya)
ditambah
leukotriene
Persisten Berat

Kombinasi inhalasi

modifiers
Prednisolon/

glukokortikosteroid

metilprednisolon

(> 800 ug BD atau

oral selang sehari

ekivalennya) dan

10 mg

agonis beta-2 kerja

ditambah agonis

lama, ditambah 1 di

beta-2 kerja lama

bawah ini:

oral, ditambah

- teofilin lepas

teofilin lepas

lambat

lambat

- leukotriene
modifiers
- glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling
tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal
mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol (PDPI, 2003).

22

Initial Assesment
Riwayat, pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF,
Saturasi Oksigen

Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi

Initial Treatment
Oksigen smapai saturasi oksigen >90%, inhalasi 2-agonist kerja cepat (1jam), sistemik
glukokortikosteroid, sedatif di kontraindikasikan
Re-Assesment setelah 1 jam
Pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF, Saturasi O2

Kriteria episode moderate (sedang) :


- PEF 60-80% nilai prediksi/terbaik
- Tes Fisik : Gejala moderate,
penggunaan otot bantu nafas
Treatment
- O2
- Inhalasi 2-agonist+antikolinergik tiap
jam
- Oral glukokortikosteroid
- Lanjutkan selama 1-3 jam

Kriteria episode severe (berat)


- PEF <60% nilai prediksi/terbaik
- Gejala berat timbul pada waktu istirahat
- Riwayat faktor resiko yang mendekati
asma lanjut
Treatment
- O2
- Inhalasi 2-agonist+antikolinergik tiap
jam
- Sistemik glukokortikosteroid
- Injeksi IV magnesium

Re-Assesment setelah 1 jam


Respon baik :
- PEF >70%
- SO2 >90%
- Tidak ada distress
pernafasan
Perubahan : kriteria
pulang
- PEF >60%
- Obat oral/inhalasi
- Lanjutkan 2agonist
- Pertimbangkan oral
glukokortikosteroid
- Pertimbangkan
kombinasi inhalasi
- Edukasi

Respon inkomplit (1-2


jam):
- Gejala ringan-sedang
- PEF<60%
- SO2 tidak ada perubahan
Acute care setting:
- O2
- Inhalasi 2agonist+antikolinergik
- IV magnesium
- Monitor PEF, SO2, nadi
Re-Assesment
Perbaikan

Respon buruk (1-2 jam):


- PEF<30%
- PCO2>45mmHg
- PO2<60mmHg
Intensive Care (ICU) :
- O2
- Inhalasi 2agonist+antikolinergik
- Pertimbangkan IV 2agonist
- Pertimbangkan IV
teofilin
- Intubasi dan ventilasi
mekanik
Respon buruk : ICU
Respon inkomplit dalam 612 jam : pertimbangkan ICU

23

(GINA, 2010).
Glukokortikosteroid inhalasi yang dapat digunakan pada penanganan Asma
Dewasa
Obat

Dosis Harian

Dosis Harian

Dosis Harian

Rendah (g)

Sedang (g)

Tinggi (g)

200-500

>500-1000

>1000-2000

100-250

>250-500

>500-1000

200-400
80-160
500-1000

>400-800
>160-320
>1000-2000

>8--0-1680
>320-1280
>2000

100-250

>250-500

>500-1000

200

400

>800

400-1000

>1000-2000

>2000

Dosis Harian

Dosis Harian

Dosis Harian

Rendah (g)

Sedang (g)

Tinggi (g)

100-200

>200-400

>400

100-200
250-500
80-160
500-750

>200-400
>500-1000
>160-320
>750-1250

>400
>1000
>320
>1250

100-200

>200-500

>500

100

>200

>400

400-800

>800-1200

>1200

Beclomethasone
dipropionate
CFC
Beclomethasone
dipropionate
HFA
Budesonide
Ciclesonide
Flunisolide
Fluticazone
propionate
Mumetasone
fuoat
Triamcinolone
acetonide
Anak-anak
Obat
Beclomethasone
dipropionate
Budesonide
Budesenide neb
Ciclesonide
Flunisolide
Fluticazone
propionate
Mumetasone
fuoat
Triamcinolone
acetonide

24

(GINA, 2010).
N. Kriteria rawat inap dan pemulangan pasien asma
Pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada pre-treatment kurang dari 20% atau
pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment kurang dari 40%
merupakan indikasi untuk dilakukan rawat inap pada pasien asma. Pada
pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment antara 40-60% dapat
dipulangkan namun dengan syarat harus diawasi secara adekuat. Sedangkan
pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment lebih dari 60% dapat
langsung dipulangkan (GINA, 2010).
O. Klasifikasi berat serangan asma akut
Gejala dan
Ringan

Berat Serangan Asma


Sedang

Berat

Berjalan
Dapat tidur

Berbicara
Duduk

Istirahat
Duduk

Mengancam jiwa
-

Cara

telentang
1 kalimat

Beberapa

membungkuk
Kata demi

berbicara
Kesadaran

Mungkin

kata
Gelisah

kata
Gelisah

Mengantuk, gelisah,

RR
Nadi

gelisah
<20x/menit
<100x/menit

20-30x/menit
100-120x

>30x/menit
>120x menit

kesadaran menurun
Bradikardia

Pulsus

/menit
+/- 10-20

10 mmHg
-

mmHg
+

>25 mmHg
+

Kelelahan otot
Torakoabdominal

Tanda
Sesak napas
Posisi

paradoksus
Otot bantu

Keadaan

napas dan

paradoksal

retraksi
suprasternal
Mengi

APE
PaO2
PaCO2
SaO2

Akhir

Akhir

Inspirasi dan

ekspirasi

ekspirasi

ekspirasi

paksa
> 80 %
> 80 mmHg
< 45 mmHg
> 95 %

60-80 %
80-60 mmHg
< 45 mmHg
91-95 %

< 60%
< 60 mmHg
> 45 mmHg
< 90 %

Silent chest

25

(PDPI, 2003).

P. Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan


tempat pengobatan
Serangan

Pengobatan

Tempat Pengobatan

RINGAN

Terbaik :

Di rumah

Aktivitas normal

Inhalasi agonis -2

Berbicara satu kalimat

Alternatif :

Di praktek

dalam satu nafas

Kombinasi oral agins -

dokter/klinik/puskesmas

Nadi < 100x/menit

2 dan teofilin

APE > 80%


SEDANG

Terbaik:

UGD/RS

Jalan jarak jauh

Nebulisasi agonis -2

Klinik

timbulkan gejala

tiap 4 jam

Praktek dokter

Bicara beberapa kata

Alternatif :

Puskesmas

dalam satu kali nafas


Nadi 100-120 x/ menit
APE 60-80 %

-Agonis -2 subkutan
-Aminofilin IV
-Adrenalin 1/1000 0,3
ml SK
Oksigen bila mungkin
Kortikosteroid sistemik

BERAT

Terbaik :

UGD/RS

Sesak saat istirahat

Nebulisasi agonis -2

Klinik

Berbicara kata perkata

tiap 4 jam

dalam satu nafas

Alternnatif :

Nadi >120 x/menit


APE <60 % atau 100
l/detik

-Agonis -2 SK/IV
-Adrenalin 1/1000 0,3
ml SK

26

Aminofilin bolus
dilanjutkan drip
Oksigen
Kortikosteroid IV
MENGANCAM

Seperti serangan akut

UGD/RS

JIWA

berat

ICU

Kesadaran

Pertimbangkan intubasi

berubah/menurun

dan ventilasi mekanis

Gelisah
Sianosis
Gagal nafas
(PDPI, 2003).
Q. Prognosis Asma Bronchial
Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang tidak disertai
komplikasi. Hal ini akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama
observasi dan definisi. Prognosis selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari
kepustakaan didapatkan bahwa asma pada anak menetap sampai dewasa
sekitar 26% - 78% (Suyono, 2006).
Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih
baik, kecuali kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat
dermatitis atopik yang kemudian disusul dengan rinitis alergik, akan
memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk menetapnya asma sampai
usia dewasa. Asma yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya berat dan
sukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya mulai
menderita asma sewaktu anak. Karena itu asma pada anak harus diobati dan
jangan ditunggu serta diharapkan akan hilang sendiri. Komplikasi pada asma
terutama infeksi dan dapat pula mengakibatkan kematian (Suyono,2006).

27

DAFTAR PUSTAKA

Amu FA, Yunus F. Asma Pra Mentruasi, Departemen Pulmonologi Respirasi,


FKUI-RS Persahabatan. Jakarta, Respir Indo Vol:26 No1, 1 Januari 2006 ;
28.
Anonim. Asthma . http//www.pdpersi.co.id/html.2005
Anonim, Asma :www kalbe.co.id. November 28, 2006 19 ; 46;08.
Chilmonczyk BA. Assosiation between exposure to Environmental Tobacco
Smoke and Exacerbations of Asthma in Children, N.Eng J.Med 1993;
328;1665-1669.

28

Danusaputro H. Ilmu Penyakit Paru, 2000 ; 197 209.


GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and
Prevention In Children. www. Ginaasthma.org.2006.
GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and
Prevention In Children. www. Ginaasthma.org.2010.
Handayani D, Wiyono WH, Faisal Y. Penatalaksanaan Alergi Makanan. J.Respir
Indo 2004 ;24(3) 133-44.
Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak.Terjemahan Wahab S. Vol I: Jakarta. Penerbit
EGC. 1996:775.
Konsensus PDPI. 2003. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta:PDPI
Price AS, Alih Bahasa anugrah PatofisiologiProses-proses Penyakit, EGC, 1995 ;
689.
Sundaru H, Sukamto, Asma Bronkial, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakulas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, juni 2006 ; 247.
Suyono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI

29

Anda mungkin juga menyukai