Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Definisi kejahatan menurut B. Simandjuntak merupakan suatu tindakan anti sosial
yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan
dalam masyarakat. Menurut R. Soesilo, pengertian kejahatan dibedakan secara yuridis dan
secara sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan
tingkah laku yang bertentangan dengan undang- undang. Dari segi sosiologis, kejahatan
merupakan perbuatan yang dianggap antisosial, amoral, merugikan, tidak dikehendaki oleh
masyarakat, serta harus ditentang Secara psikologi, kejahatan dipandang sebagai suatu
perbuatan yang abnormal yang merupakan cerminan perilaku seseorang dalam bermasyarakat
di mana perilaku itu berkaitan dengan kegiatan kejiwaan individu yang tidak selaras dengan
norma-norma dan nilai-nilai sosial.
Di dalam perumusan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tercantum bahwa kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan
ketentuan-ketentuan KUHP. Beberapa tindakan kejahatan yang sering terjadi adalah
pencurian, penipuan. penganiayaan, dan pemerkosaan. Perampokan adalah jenis kejahatan
yang termasuk dalam rumpun pencurian yang paling berat, yang dalam KUHP disebut
sebagai pencurian dengan kekerasan. Karenanya, ancaman hukumannya juga paling tinggi di
antara jenis pencurian lainnya, seperti pencurian biasa, dan pencurian dengan pemberatan.
Perampokan sering kali diikuti pula oleh kejahatan lain, sehingga terjadi apa yang disebut
dalam hukum pidana sebagai somenloop (concursus). Dilihat dari pelakunya, perampokan
juga melibatkan banyak orang atau dilakukan oleh lebih dari satu orang pelaku, yang dalam
hukum pidana disebut dengan istilah delneming.
Perilaku kriminal merupakan salah satu jenis dari perilaku menyimpang. Sejumlah
faktor yang menjadi penyebab munculnya perilaku menyimpang menjadi pula penyebab
munculnya perilaku kriminal. Baik faktor penyebab yang bersifat internal, seperti : Genetis,
Fisik, dan Psikis, maupun faktor penyebab yang bersifat eksternal, seperti : lingkungan
sosial, meliputi nilai, norma dan budayanya.
Menurut kriminolog dari Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, tahun 2014,
angka kriminal diprediksi masih tetap akan tinggi. Hal ini terjadi karena aparat hukum yang

ada di Indonesia dinilai belum berwibawa, dan juga kehidupan sosial masyarakat Indonesia
yang masih rendah sehingga terus merangsang kriminalisasi. Faktor ekonomi merupakan
faktor terbesar penyebab tingginya angka kejahatan di Indonesia. Manusia cenderung bisa
bersikap nekat jika sudah berkenan dengan urusan himpitan ekonomi, apalagi jika
manusianya itu tidak mendasari dirinya dengan mental yang kuat. Segala cara akan
dilakukannya guna pemenuhan kebutuhan ekonomi dan keluarga, termasuk jika harus
bertentangan dengan hukum. Salah satu penyebab tingginya tingkat kejahatan di Indonesia
adalah tingginya angka pengangguran, maka kejahatan akan semakin bertambah jika masalah
pengangguran tidak segera diatasi. Sebenarnya masih banyak penyebab kejahatan yang
terjadi di Indonesia, misalnya: kemiskinan yang meluas, kurangnya fasilitas pendidikan,
bencana alam, urbanisasi dan industrialisasi, serta kondisi lingkungan yang memudahkan
orang melakukan kejahatan.

BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kejahatan
2.1.1 Definisi Kejahatan
Definisi kejahatan menurut :
-

B. Simandjuntak merupakan suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas,

tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.


Menurut R. Soesilo, pengertian kejahatan dibedakan secara yuridis dan secara
sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan
tingkah laku yang bertentangan dengan undang- undang. Dari segi sosiologis,
kejahatan merupakan perbuatan yang dianggap antisosial, amoral, merugikan, tidak
dikehendaki oleh masyarakat, serta harus ditentang Secara psikologi, kejahatan
dipandang sebagai suatu perbuatan yang abnormal yang merupakan cerminan perilaku
seseorang dalam bermasyarakat di mana perilaku itu berkaitan dengan kegiatan

kejiwaan individu yang tidak selaras dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial.
J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial yang
menimbulkan

kerugian,

ketidakpatutan

dalam

masyarakat,

sehingga

dalam

masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara harus


-

menjatuhkan hukuman kepada penjahat.


M.A. Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat
modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi hukurnan

penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.


W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial

yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan.
Menurut Paul Moedikdo Moeliono kejahatan adalah perbuatan pelanggaran norma
hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan yang

merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).


J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro menyatakan bahwa, kejahatan
mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang
relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau
tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau
minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap
skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai
dengan ruang dan waktu.

2.1.2 Latar Belakang dan Tipologi Kejahatan


Empat pendekatan yang pada dewasa ini masih ditempuh dalam menjelaskan latar
belakang terjadinya kejahatan adalah :
a. Pendekatan biogenik, yaitu suatu pendekatan yang mencoba menjelaskan sebab atau
sumer kejahatan berdasarkan faktor-faktor dan proses biologis.
b. Pendekatan psikogenik, yang menekankan bahwa para pelanggar hukum memberi
respons terhadap berbagai macam tekanan psikologis serta masalah-masalah
kepribadian yang mendorong mereka untuk melakukan kejahatan.
c. Pendekatan sosiogenik, yang menjelaskan kejahatan dalam hubungannya dengan
proses-proses dan struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat atau yang
secara khusus dikaitkan dengan unsur-unsur di dalam sistem budaya.
d. Pendekatan tipologis, yang didasarkan pada penyusunan tipologi penjahat dalam
hubungannya dengan peranan sosial pelanggar hukum, tingkat identifikasi dengan
kejahatan, konsepsi diri, pola persekutuan dengan orang lain yang penjahat atau yang
bukan penjahat, kesinambungan dan peningkatan kualitas kejahatan, cara melakukan
dan hubungan perilaku dengan unsur-unsur kepribadian serta sejauh mana kejahatan
merupakan bagian dari kehidupan seseorang.
Pengetahuan tentang tipologi penjahat, kejahatan dan kriminalitas sangat diperlukan
bagi usaha untuk merancang pola pencegahan dan pembinaan pelanggar hukum.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan kriminologi telah banyak dilakukan usaha
untuk menggolongkan kejahatan dan penjahat dalam tipe-tipe tertentu. Macam
penjahat dapat digolongkan ke dalam : penjahat biasa, penjahat berorganisasi dan
penjahat profesional. Penjahat biasa adalah peringkat terendah dalam tingkat kriminil,
mereka melakukan kejahatan konvensional mulai dari pencurian ringan sampai
pencurian dengan kekerasan yang membutuhkan ketrampilan terbatas, juga kurang
mempunyai organisasi. Penjahat terorganisasi umumnya mempunyai organisasi yang
kuat dan dapat menghindari penyelidikan, serta mengkhususkan diri dalam bisnis
ilegal berskala besar. Kekuatan, kekerasan, intimidasi dan pemerasan digunakan untuk
memperoleh dan mempertahankan pengendalian atas kegiatan ekonomi diluar hukum.
Sedangkan penjahat profesional lebih mempunyai kemahiran yang tinggi dan mampu
menghasilkan kejahatan yang besar dan yang sulit diungkap oleh penegak hukum.
Penjahat-penjahat jenis ini mengkhususkan diri dalam kejahatan-kejahatan yang lebih
membutuhkan ketrampilan daripada kekerasan.

2.1.3 Teori Penyebab Kejahatan


Adapun beberapa teori-teori tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan, yaitu :
1. Teori lingkungan
Dipelopori oleh A. Lacassagne. Dalam teori sebab-sebab terjadinya kejahatan yang
mendasarkan diri pada pemikiran bahwa dunia lebih bertanggung jawab atas jadinya
diri sendiri.
Teori ini merupakan reaksi terhadap teori antropologi dan mengatakan bahwa
lingkunganlah yang merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan
kejahatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah :
1. Lingkungan yang memberi kesempatan untuk melakukan kejahatan
2. Lingkungan pergaulan yang memberi contoh dan teladan
3. Lingkungan ekonomi, kemiskinan dan kesengsaraan
Jadi, selian dari faktor internal (yang berasal dari diri pribadi), faktor eksternal yaitu
lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan kejahatan yang bisa
terjadi, seperti apa yang dinyatakan oleh W.A. Bonger yaitu pengaruh lingkungan
sangat berpengaruh dalam menentukan kepribadian seseorang, apakah ia akan
menjadi orang jahat atau baik.
2. Teori Kontrol Sosial
Pendapat mengenai kontrol sosial dikemukakan oleh Reiss yang mengatakan bahwa :
Ada tiga komponen dari kontrol sosial yaitu kurangnya kontrol internal yang wajar
selama masih anak-anak, hilangnya kontrol tersebut dan tidak adanya norma-norma
sosial atau konflik norma-norma yang dimaksud. Ada dua macam kontrol yaitu
personal kontrol dan sosial kontrol. Personal kontrol (internal kontrol) adalah
kemampuan seseorang untuk menahan diri agar seseorang tidak mencapai
kebutuhannya dengan cara melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat.
Sedangkan Kontrol Sosial (eksternal kontrol) adalah kemampuan kelompok sosial
atau lembaga dalam masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan
menjadi efektif.
Kontrol sosial baik personal kontrol maupun sosial kontrol menentukan seseorang
dapat melakukan kejahatan atau tidak, karena pada keluarga atau masyarakat yang
mempunyai sosial kontrol yang disiplin maka kemungkinan terjadinya suatu
kejahatan akan kecil, begitu juga sebaliknya, suatu keluarga atau masyarakat yang
tidak mempunyai kontrol yang kuat maka kejahatan bisa saja mudah terjadi akibat
dari tidak disiplinnya suatu kontrol tersebut.

3. Teori Spiritualisme
Menurut teori ini sebab terjadinya kejahatan dapat dilihat dair sudut kerohanian dan
keagamaan, karena sebab terjadinya kejahatan adalah tidak beragamanya seseorang.
Oleh karena itu, semakin jauh hubungan seseorang dengan agama seseorang maka
semakin besar kemungkinan seseorang untuk melakukan kejahatan dan sebaliknya,
semakin dekat seseorang dengan agamanya maka semakin takut orang tersebut untuk
melakukan hal-hal yang menjurus kepada kejahatan.
4. Teori Multi Faktor
Teori ini sangat berbeda dengan teori-teori sebelumnya dalam memberi tanggapan
terhadap kejahatan dengan berpendapat sebagai berikut: Penyebabnya terjadi
kejahatan tidak ditentukan oleh satu atau dua faktor yang menjadi penyebab
kejahatan. Jadi, menurut teori ini, penyebab terjadinya kejahatan tidak ditentukan
hanya dari dua teori saja, tetapi dapat lebih dari itu.
2.1.4 Tipe-Tipe Kejahatan
1. Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan
kriminil seperti pembunuhan dan perkosaan. Pelaku tidak menganggap dirinya
sebagai penjahat dan seringkali belum pernah melakukan kejahatan tersebut
sebelumnya, melainkan karena keadaan-keadaan tertentu yang memaksa mereka
melakukannya.
2. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk didalamnya
pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu memandang dirinya sebagai
penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya.
3. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada
umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak memandang
dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran bahwa kelakuannya
merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari.
4. Kejahatan politik yang meliputi penghianatan spionase, sabotase, dan sebagainya.
Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegal itu sangat penting
dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam masyarakat.
5. Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya sebagai
penjahat apabila mereka terus-menerus ditetapkan oleh orang lain sebagai penjahat,
misalnya pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum ini bersifat informal
dan terbatas.

6. Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk


pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Perbuatan ini berkaitan dengan
tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari
masyarakat karena nilai pemilikan pribadi telah dilanggar.
7. Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran,
perjudian terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebagainya.
8. Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka
memandang diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan penjahat-penjahat lain
serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan.
2.2 Perilaku Kriminal
Perilaku kriminal merupakan salah satu jenis dari perilaku menyimpang. Sejumlah
faktor yang menjadi penyebab munculnya perilaku menyimpang menjadi pula penyebab
munculnya perilaku kriminal. Baik faktor penyebab yang bersifat internal, seperti : Genetis,
Fisik, dan Psikis, maupun faktor penyebab yang bersifat eksternal, seperti : lingkungan
sosial, meliputi nilai, norma dan budayanya.
2.2.1 Faktor Faktor Penyebab Perilaku Kriminal
A. Perspektif Internal
Perspektif internal merupakan perspektif yang menunjuk pada faktor-faktor penyebab
yang muncul karena faktor-faktor pelaku itu sendiri, bukan karena faktor-faktor sosial atau
lingkungan sosial. Ada beberapa jenis perspektif yang termasuk di dalam perspektif internal
ini, yaitu meliputi :
1. Pendekatan Fisik atau Physical Approach
Suatu pendekatan yang menyatakan bahwa tindak kriminal dapat dikaitkan dengan
tipe fisik seseorang. Lombroso menyebutnya sebagai Physical Type Theory (Teori
tipe fisik), sedangkan Soemodidjojo menyebutnya dengan istilah Pendekatan
Katuranggan. Perspektif ini memandang bahwa faktor utama yang menjadi pamacu
perilaku kriminal itu adalah faktor fisik. Keadaan fisik individu mulai dari ujung
rambut sampai ujung kaki, akan memberikan banyak informasi mengenai
kecenderungan individu yang bersangkutan dalam potensinya terhadap tindak
kriminal. Seseorang yang berbadan kecil dan kurus dinyatakan tidak atau kurang
memiliki potensi untuk melakukan tindak kriminalias yang berkaitan dengan

penggunaan kekuatan fisik, seperti misalnya menjadi preman, demikian juga


seseorang yang berwajah jelek menjadi kurang potensial menjadi wanita penghibur,
atau sebaliknya seorang pria yang berwajah kurang menguntungkan menjadi tidak
potensial bertindak sebagai "gigolo" dan sebagainya.
2. Pendekatan Psikis atau Psycological Approach
Suatu pendekatan yang melihat tindak kriminal sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan kondisi kejiwaan seseorang. Pendekatan ini meliputi :
Dalil Peniruan, yaitu suatu kondisi kejiwaan yang membuat seseorang sangat mudah
meniru dan terpengaruh terhadap perilaku orang lain. Ingat bagaimana anak-anak Play
group atau Taman Kanak-Kanak yang sangat mudah menirukan perilaku gurunya,
atau seseorang yang sangat mudah terpengaruh oleh berbagai macam iklan, dan
sebagainya.
Ketidak-stabilan Daya Berfikir, yaitu suatu kondisi kejiwaan yang demikian sensitif,
sehingga apabila ada hal-hal tertentu yang membuat bingung dirinya, maka seseorang
tersebut menjadi kehilangan daya pikir rasionalnya, yang pada akhirnya justru bisa
terdorong ke arah tindak kriminal, atau menjadi korban tidak kriminal. Seperti
misalnya, ketika seseorang sangat terdesak oleh kondisi anaknya yang sedang sakit,
namun tidak mempunyai biaya sama sekali untuk membeli obat atau berobat.Pada
saat seperti ini, seringkali para orang tua menjadi tidak dapat berfikir rasional,
sehingga ia terpaksa mencuri yang akhirnya ketahuan, tertangkap dan bahkan masuk
ke penjara.
3. Pendekatan Penampilan atau Performance Approach
Suatu pendekatan yang melihat bahwa tindak kriminal terjadi karena faktor
penampilan dari calon korban yang bersifat memancing minat, sering juga disebut
sebagai Exhibition Crime, misalnya : (1) Memakai perhiasan atau uang dalam jumlah
banyak secara menyolok, (2) Pergi sendirian di malam hari atau tempat sepi, tanpa
pengawalan, (3) Menggunakan busana yang dapat memancing minat untuk
mengganggu, melecehkan atau bahkan memperkosa dan sebagainya.
B. Perspektif Eksternal
Perspektif eksternal merupakan perspektif yang memandang bahwa perilaku kriminal
muncul karena faktor-faktor sosial atau faktor luar diri individu yang bersangkutan.
1. Pendekatan Kontrol Sosial
Suatu pendekatan yang menyatakan bahwa tindak kriminal dapat terjadi karena
kontrol sosial yang ada di dalam masyarakat dirasa lemah atau mandul, sehingga sese
orang dengan leluasa dapat melakukan tindak kriminal. Beberapa contoh yang dapat

disimak adalah antara lain : (1) Pelanggaran lalu lintas di saat petugas polisi lalu lintas
nampak tidak ada di jalanan ; (2) Peserta ujian berani menyontek ketika merasa
bahwa para pengawasnya tidak terlalu ketat, atau bahkan sangat nampak lengah ; (3)
Pencopet dan atau pencuri melakukan aksinya disaat merasa bahwa aktivitasnya tidak
akan diketahui orang lain.
2. Teori Anomie dan Rasa Kuat
Suatu teori yang menyatakan bahwa tindak kriminal dapat terjadi karena seseorang
merasa dirinya tidak mudah dikenal atau merasa asing, serta dapat pula terjadi apabila
seseorang merasa dirinya kuat. Adapun contoh yang dapat dikemukakan adalah : (1)
Seseorang atau sekelompok orang menjadi lebih berani melakukan tidak kejahatan,
ketika ia atau mereka sedang berada jauh di luar lingkungan keluarga atau
masyarakatnya. (2) Seseorang atau sekelompok orang menjadi berani melakukan
selingkuh ketika merasa sedang tidak mudah terkontrol oleh istri atau suami atau
anggota keluarga lainnya ; (3) Sekelompok remaja yang berani mengganggu remaja
lain di saat dirinya sedang bersama teman-temannya dan sebagainya.
3. Teori Label
Suatu teori yang menyatakan bahwa tindak kriminal dapat terjadi oleh karena
pengaruh label yang diberikan masyarakat terhadap diri seseorang atau sekelompok
orang. Contoh yang dapat dikemukakan adalah, seseorang yang sebenarnya
mempunyai tabiat dan karakter yang baik, namun para tetangga selalu menuduhnya
sebagai orang yang berwatak jelek, maka stempel atau label yang diberikan kepada
seseorang itu, justru dapat menyebabkan seseorang itu akan merasa percuma berbuat
baik.

Anda mungkin juga menyukai