Anda di halaman 1dari 3

Laporan Kegiatan Sosialisasi RSKNNI

Club One, FX, Jakarta


28 Januari 2010

Donny Trihanondo S.Ds., M.Ds.


FMDK-IMT

Pada hari Kamis, tanggal 28 Januari telah diadakan kegiatan sosialisasi Rancangan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) bidang desain grafis. Acara
ini diselenggarakan oleh Asosiasi Desain Grafis Indonesia (ADGI). Terdapat
beberapa tokoh kunci ADGI yang berperan dalam sosialisasi ini yakni ketua umum
ADGI, bapak Danton Sihombing, Danu Widhyatmoko, Priska Nutian Sari, Perwakilan
Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), bapak Ir. Soerono, dan desainer
profesional (Whitespace design) Irvan N. Suryanto. Maksud dari sosialisasi ini
sendiri adalah mengajak stakeholder desain grafis, terutama anggota ADGI untuk
bersama-sama membentuk kerangka kompetensi yang dapat diukur. Diharapkan, kerangka
kompetensi ini dapat dijadikan acuan untuk sertifikasi profesi.

Acara sosialisasi SKKNI dibuka dengan penjelasan mengenai ADGI, sejarah dan makna
dibalik logo yang terbaru yang mulai digunakan semenjak 2007. Penjelasan ini
dibawakan oleh Ketua Umum ADGI, Danton Sihombing. Pada penjelasannya Danton juga
menjelaskan bahwa sudah ada empat chapter ADGI, dan kemungkinan akan terus
bertambah di masa yang akan datang. Ke-empat chapter ADGI tersebut adalah ADGI
chapter Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. ADGI khususnya dan dunia Desain
Grafis pada umumnya memang baru saja bangkit semenjak 2007. Oleh karenanya pak
Danton menekankan agar momentum ini tetap dijaga agar tidak kendur kembali. Tim
RSKKNI sendiri memang mulai bekerja semenjak tahun 2007, dan rancangan SKKNI ini
sendiri semoga saja dapat diakui oleh BNSP, sehingga paling tidak profesi desainer
grafis dapat diakui di Indonesia.

Pemaparan mengenai proses kerja Tim RSKKNI bidang keahlian desain grafis,
dibawakan oleh Danu Widhyatmoko (Staf pengajar DKV BINUS University). RSKKNI
dibuat bukan tanpa dasar, namun dengan dasar perundangan dan contoh regional. Pada
intinya rangkaian kerja Tim RSKKNI pada saat ini telah mencapai tahap evaluasi
akhir, sehingga semoga saja dapat disahkan. Sertifikasi berdasarkan kompetensi
keahlian sendiri akan menjadi salah satu sarana untuk menghadapi liberlisasi pasar
global maupun perdagangan bebas. Beliau sempat menyampaikan bahwa beberapa
desainer grafis indonesia tidak diakui atau mengalami kesulitan ketika berhadapan
dengan klien atau bekerja di negara lain semisal Singapura. Hal ini berkaitan
dengan tidak adanya sertifikasi profesi keahlian desain grafis di Indonesia,
khususnya yang diakui oleh pemerintah. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di
Australia, sehingga desainer grafis Australia lebih mudah untuk bekerja misalnya
di Singapura.

Satu hal penting lagi yang disampaikan oleh Danu Widhyatmoko, berkaitan dengan
kompetensi desain grafis itu sendiri. Kompetensi ini disusun berdasarkan keinginan
untuk mengakomodasi pemikiran dari industri desain grafis, pendidik desain grafis,
dan asosiasi sendiri (desainer grafis). Dalam rangkaian kerja Tim RSKKNI, ketiga
stakeholder tersebut dilibatkan dalam proses penyusunan RSKKNI. Terdapat dua kali
pertemuan yang dilakukan bersama ketiga stakeholder tersebut. Persentase ketiga
stakeholder tersebut, yang relatif stabil pada setiap pertemuan melibatkan, Tim
RSKKNI(4orang), tenaga pendidik desain grafis(15 orang), dan profesional industri
desain grafis (wirausahawan, desainer, masyarakat) kurang lebih 40 orang. Hal ini
dilakukan untuk lebih mengakomodasi dunia keprofesian desain grafis, sehingga
kompetensi ini benar-benar link and match dengan industri desain grafis.

Pada pemaparan yang dilakukan oleh Danu W. Juga berkali-kali diingatkan, tentang
banyaknya lembaga pendidikan desain grafis (DKV), lulusan, dan juga
profesionalnya. Namun, saat dihadapkan dengan pembayaran pajak misalnya, profesi
desainer grafis tidak ada/diakui. Hal ini menjelaskan ironi yang ada di dunia
desain grafis Indonesia.

Penyampai materi sosialisasi RSKKNI selanjutnya adalah ibu Priska Nutian Sari,
juga seorang akademisi desain grafis. Beliau menjelaskan mengenai RSKKNI yang
sedang disosialisasikan. Pada dasarnya RSKKNI ini dirancang berdasarkan Psikologi
pendidikan, yang memuat ranah-ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik. Kemudian,
salah satu hal terpenting, adalah merumuskan bidang cakupan desain grafis. Karena
pada kenyataannya terjadi perkembangan bidang cakupan terutama dengan embel-embel
DKV (Desain Komunikasi Visual). RSKKNI ini difokuskan hanya pada bidang profesi
desain grafis.

Didalam RSKKNI (lihat lampiran), kualifikasi desainer grafis dibagi menjadi tiga
jenjang, yakni Desainer Grafis Muda, Desainer Grafis Madya, dan Desainer Grafis
Utama. Setiap kualifikasi memiliki unit-unit kompetensi tertentu yang harus
dipenuhi. Unit-unit kualifikasi ini dibagi kedalam tiga kelompok pokok yakni
Kelompok Kompetensi Umum, Kelompok Kompetensi Inti, dan Kelompok Kompetensi
Khusus. Perbandingan persentasi(%) antara Kelompok pokok ini berbeda-beda pada
setiap kualifikasi. Pada kualifikasi Desainer Grafis Muda, Kompetensi Umum
meliputi 57 % dari keseluruhan kompetensi, sedangkan Kompetensi Inti meliputi 43
%, tidak diperlukan Kompetensi Khusus. Kualifikasi Desainer Grafis Madya
memerlukan 44% Kompetensi Umum, 44% Kompetensi Inti dan 12% Kompetensi Khusus.
Terakhir, Kualifikasi Desainer Grafis Utama, harus memenuhi 37,5% Kompetensi Umum,
50% Kompetensi Inti dan 12,5% Kompetensi Khusus. Kita dapat melihat, bahwa semakin
tinggi kualifikasinya, Kompetensi Umum menurun, sedangkan Kompetensi Inti dan
Khusus meningkat. Unit-unit dari kompetensi-kompetensi tersebut dapat dilihat pada
lampiran.

Penyampai berikutnya adalah bapak Ir. Soerono yang menyampaikan materi Standar
Kompetensi Profesi, sebagai perwakilan dari BNSP Ir. Soerono memang memiliki
kompetensi untuk menyampaikan masalah kompetensi profesi ini. Beliau mengingatkan
tujuan dari penyusunan SKKNI adalah untuk memastikan bahwa profesional yang telah
memenuhi kualifikasi, akan tepat dan akurat mencapai sasaran yang diperlukan di
dunia kerja/profesional, tidak hanya akurat namun hanya mendekati, atau yang lain-
lain. Untuk memenuhi hal tersebut harus dipetakan terlebih dahulu, kompetensi-
kompetensi apa yang diperlukan di dunia profesional. Ada baiknya lembaga
pendidikan vokasional terlibat dalam penerapan kompetensi/sertifikasi sehingga
terjadi link and match.

Mengenai sertifikasi kompetensi, Ir. Soerono menyampaikan bahwa terdapat beberapa


hal yang dapat dilakukan:
1. Pertama adalah first party certification, yakni kalangan desainer grafis
sendiri yang mengadakan sertifikasi kompetensi.
2. Second party certification, sertifikasi yang dilakukan oleh klien atau
pemberi kerja/dunia industri.
3. Third party certification, yaitu sertifikasi yang diberikan pihak yang
netral/pihak ketiga diluar desainer dan klien.
Memang mengenai sertifikasi ini pihak ADGI belum menentukan bentuknya yang tepat,
apakah akan dilakukan oleh ADGI, atau membentuk badan independen namun tetap
diperlukan kehadiran ADGI di dalamnya(ket: dari Danton Sihombing).

Perkara kompetensi dan sertifikasi/kualifikasi memang bukan hal yang mudah karena
harus dilakukan dan ditaati oleh segenap stakeholder, pemerintah sendiri
sebenarnya bisa saja mewajibkan suatu sertifikasi bila berkaitan dengan hal
tertentu. Desainer Grafis di Indonesia sendiri yang angka kasarnya mencapai
belasan-ribu orang, dapat saja dianggap memenuhi kaitan tersebut. Walaupun berat,
sertifikasi akan meningkatkan kualitas dan menjamin suatu profesi tepat sasaran,
sehingga pada akhirnya dunia keprofesian desain grafis di Indonesia bisa maju
karena sertifikasi/kualifikasi kompetensi ini. Salah satu hal yang penting terkait
hal ini, adalah masalah pricing/salary. Karena aturan main belum jelas, profesi
ini menjadi rawan akan masalah jasa yang tidak dihargai maupun permainan harga,
karena belum diatur.

Masih terkait dengan masalah sertifikasi, pemateri terakhir Irvan N. Suryanto


mencoba menampilkan arti penting sertifikasi dengan mencoba melihat sertifikasi
desain grafis di Kanada. RGD Ontario (The Association of Registered Graphic
Designers of Ontario), Kanada, merupakan satu-satunya lembaga sertifikasi desain
grafis di Kanada. Dirintis sejak 1988, RGD Ontario dinilai telah berhasil
meningkatkan kualitas desain grafis di Kanada. Bahkan beliau mengatakan, Amerika
Serikat saja mengapresiasi RGD Ontario, karena sertifikasi di Amerika tidak
sesukses di Kanada. Pada tahun 1988 di Kanada tepatnya di Ontario, terdapat kurang
lebih 12000 desainer grafis. Dengan angka tersebut tentunya akan rawan menimbulkan
masalah. Sampai hari ini sudah terdaftar kurang lebih 2500 desainer grafis RGD
Ontario. RGD Ontario Kanada merupakan asessor desain grafis yang ternama, dan
telah mendapatkan berbagai penghargaan. Menjadi anggota dari RGD Ontario, tentunya
akan memberikan manfaat kepada desainer grafis tersebut, selain itu citra desainer
grafis di Kanada juga turut terangkat.

Kesimpulan:
Kompetensi dan kualifikasi dalam bidang desain grafis di Indonesia mutlak
diperlukan untuk menghadapi era liberalisasi pasar global maupun perdagangan
bebas. Hal tersebut terkait dengan mutu dan manfaat yang akan didapatkan bila
memiliki kualifikasi kompetensi. Melihat contoh berhasil, seperti yang terjadi di
Kanada tentunya kualifikasi kompetensi tidak bersifat sebagai wacana, namun sudah
ada contoh konkrit dan empiriknya.

Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, bidang desain grafis adalah
salah satu titik tonggak untuk mencapai sertifikasi dan kualifikasi profesi desain
grafis di Indonesia. Sehingga titik tonggak ini harus dipertahankan dan diteruskan
hingga mencapai badan khusus kualifikasi/asessor yang menerbitkan sertifikat dan
menjaga mutu desainer grafis yang terdaftar.

Sistem pendidikan di Indonesia khusus, perlu melihat dan mempertimbangkan RSKKNI


ini sebagai acuan dalam kurikulum yang terkait dengan desain grafis. Hal ini
dilakukan mengingat keterlibatan stakeholder-stakeholder yang ada dalam
penyusunannya dan juga untuk menjamin link and match antara perguruan tinggi dan
kebutuhan dunia usaha/profesional.

Anda mungkin juga menyukai