Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

Pembimbing:
Dr. dr. M. M. Rudi Prihatno, M.Kes, M.Si.Med, Sp.An-KNA
Disusun oleh :
Sudjati Adi Nugroho
Novita Lusiana

G4A014078
G4A014079

SMF ANESTESIOLOGI
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
1

Disusun Oleh :
Sudjati Adi Nugroho
Novita Lusiana

G4A014078
G4A014079

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik


di bagian Anestesiologi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal

Maret 2015

Dokter Pembimbing

Dr. dr. M. M. Rudi Prihatno, M.Kes, M.Si.Med, Sp.An-KNA


NIP. 19770206.200604.1.002

BAB I
PENDAHULUAN
Acute repiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu gangguan
paru yang memerlukan perawatan intensif. ARDS mempunyai mortalitas yang
tinggi yaitu mencapai 60%. Diperkirakan insidensi ARDS mencapai 100.0002

150.000 per tahun di Amerika Serikat. Meskipun insiden pasti sulit ditentukan
karena manifestasi klinis yang luas serta definisi ARDS yang bervariasi (Susanto,
2012).
Acute lung injury (ALI) adalah suatu sindrom akut dan persisten di paru
akibat inflamasi. Bentuk berat dari ALI adalah ARDS. ARDS adalah suatu kondisi
dimana paru mengalami cedera berat sehingga mengganggu pertukaran gas di
paru. Tanda ARDS adalah kadar oksigen darah yang rendah dan ketidakmampuan
untuk memperoleh oksigen pada level normal. ARDS dapat disebabkan oleh
berbagai kondisi, dapat pula disertai kerusakan organ selain paru (Morris, 2013).
Penatalaksanaan ARDS masih menjadi perdebatan karena tidak ada terapi
spefisik. Penggunaan ventilasi mekanis pada ARDS masih kontroversial.
American European Concencus Conference Committee merekomendasikan
pembatasan volume tidal, PEEP dan hiperkapnea (Susanto, 2012).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
ALI didefinisikan sebagai suatu sindrom akut dan persisten di paru akibat
suatu inflamasi dengan peningkatan permeabilitas kapiler. ALI ditandai oleh
adanya infiltrat bilateral pada pemeriksaan radiologi, PaO2/FiO2 < 40 kPa,

tekanan kapiler wedge paru < 18 mmHg. Perbedaan ARDS dan ALI
berdasarkan derajat hipoksia. ARDS adalah spektrum berat dari ALI yang
ditandai PaO2/FiO2 < 27 kPa. ARDS bersifat akut, biasanya berkembang
dalam 4-48 jam namun dapat bertahan berhari-hari hingga berminggu-minggu
(Morris, 2013).
B. ETIOLOGI
Penyebab ARDS adalah berbagai faktor yang memicu reaksi inflamasi
paru. Faktor resiko ARDS dibagi menjadi yang berasal dari paru dan berasal
dari luar paru seperti pada tabel dibawah ini (Susanto, 2012).
Tabel 1. Etiologi ARDS

C. EPIDEMIOLOGI
Kejadian ARDS dipengaruhi oleh berbagi faktor. Penyakit infeksius
dapat meyebabkan ARDS, jenis penyakit yang menyebabkan ARDS bervariasi
dan dipengaruhi pola penyakit di suatu regional. Misalnya malaria di daerah
endmis sering menyebabkan ARDS, namun di Amerika utara hal ini jarang
terjadi (Lee, 2005).
Pasien yang beresiko mengalami ARDS umumnya mempunyai penyakit
yang mendasari yang terkait dengan sindrom ini. Penyebab tersering adalah
sepsis, aspirasi, inhalasi gas berbahaya yang menyebabkan kerusakan paru
secara langsung. Mortalitas akibat ARDS dipengaruhi oleh usia. Berikut ini
adalah grafik hubungan usia dengan mortalitas ARDS (Morris, 2013).

Gambar 1. Mortalitas ARDS Berdasarkan Usia


Penelitian di Washington states King County menunjukkan kejadian ALI
(acute lung injury) mencapai 79 per 100.000 populasi, 59 diantaranya
memenuhi kriteria ARDS dengan mortalitas mencapai 38.5%, hal ini
menyebabkan ARDS menjadi penyakit dengan angka kematian pertahun yang
2 kali lebih besar dibanding Ca mamae dan Ca Prostat (Morris, 2013).
D. PATOFISIOLOGI
Penyebab kerusakan paru dapat terjadi secara langsung akibat agen yang
masuk ke paru melalui saluran nafas atau trauma dada serta secara tidak
langsung akibat penyebaran hematogen. Bagian paru yang mengalami kelainan
pada ARDS adalah alveoli. Aveolus merupakan tempat terjadinya pertukaran
gas oksigen masuk ke sirkulasi darah sementara karbondioksida meninggalkan
aliran darah. Pertukaran gas dapat terjadi karena jarak antara dinding alveolus
dan kapiler sangat tipis. Pada ARDS terjadi kerusakan pada kapiler dan
alveolus sehingga terdapat penumpukan cairan di antara keduanya, akibatnya
pertukaran gas terganggu (Alsagaf, 2004).

Aspirasi dari saluran cerna ke paru atau inhalasi gas beracun adalah
contoh penyebab langsung cedera paru pada ARDS. Penyebab tidak langsung,
yang merupakan penyebab tersering berhubungan dengan infeksi atau trauma
berat. Baik penyebab langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan
reaksi inflamasi sehingga menyebabkan kerusakan alveolus akibat berbagai
sitokin inflamasi. Meskipun inflamasi bertujuan baik untuk mengeliminasi
agen infeksius namun dalam prosesnya justru menyebabkan kerusakan alveolus
(Alsagaf, 2004).
Sepsis dapat menyebabkan gagal organ multipel, termasuk paru sehingga
menyebabkan ARDS. Pada pasien dengan sepsis paru merupakan organ yang
sering mengalami kerusakan pertama kali. Hal ini dikarenakan paru menerima
darah dari seluruh tubuh. Meskipun darah mengalir melalui ruang jantung,
namun hanya sebagian kecil darah yang berfungsi menyplai sel-sel jantung.
Sedangkan paru mendapat aliran darah yang banyak mengandung sitokin
inflamasi sehingga memicu respon inflamasi di kapiler dan alveolus paru.
Peningkatan permeabilitas kapiler menybabkan penumpukan cairan diantaran
membran alveolus-kapiler. Cairan yang menumpuk akan bercampur dengan
surfaktan yang sebenarnya berfungsi mencegah alveoli kolaps, akibatnya paru
menjadi kolaps dan tidak bisa bernafas (Sudoyo, 2009).
Secara histologis epitel alveolar terdiri dari sel pneumosit tipe I dan II.
Sel pneumosit tipe I menyusun 90% permukaan alveolar yang berperan dalam
difusi pasif gas, sel ini lebih mudah mengalami kerusakan. Sedangkan sel
pneumosit tipe II mempunyai aktivitas metabolik intraseluer, transport ion,
meproduksi surfaktan dan lebih tahan terhadap kerusakan. Pada fase akut akan
terjadi kerusakan berupa pengelupasan epitel bronkial dan alveolar diikuti
pembentukan membran hialin yang kaya protein. Neurofil memasuki endotel
kapiler yang rusak menyebabkan jaringan intersisial dipenuhi cairan yang kaya
protein (Price, 2005).

Perubahan strukt utama pada ARDS adalah edema intersisial dan


penurunan kapasitas residu fungsional (KRF). Peningkatan permeabilitas
vaskular menyebabkan penumpunkan cairan di intersisial, bila melebihi
kapasitasnya akan masuk ke rongga alveolus sehingga alveolus kolaps dan
komplians paru berkurang. Campuran cairan alveoli dengan surfaktan
menyebabkan

paru

menjadi

kaku

dan

atelektasis.

Akbatnya

terjad

ketidakseimbangan ventilasi-perfusing dan penurunan KRF sehingga terjadi


hipoksemia berat (Susanto, 2012).
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Tanda dan gejala yang muncul pada ARDS antara lain (Alsagaf, 2004;
Sudoyo, 2009):
1. Sesak nafas
2. Takipneu
3. Saturasi oksigen rendah
4. Tekanan darah menurun
5. Penurunan kesadaran
6. Suara tambahan di paru berupa ronki basah dan ronki kering
7. Takikardia
8. Retraksi interkostal dan suprasternal

Selain gejala tersebut, juga terdapat tanda dan gejala penyakit yang
mendasari. Diagnosis dapat dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Pada
pemeriksaan radiologi dada akan tampak infiltrat bilateral. Pemeriksaan darah
lengkap untuk mendeteksi adanya infeksi, bila terbukti infeksi dapat dilakukan
kultur dan uji sensitivitas. Saturasi oksigen perlu dipantau pada pasien ARDS.
Analisis gas darah dapat menunjukan asidosis respiratorik akibat peningkatan
PaCO2 diatas 45mmHg, asidosis metabolik karena penurunan HCO3.
Kateterisasi arteri pulmonalis untuk mengetahui penyebab edem paru dengan
mengukur pulmonary artery wedge pressure. Pemeriksaan penunjang lain
disesuaikan dengan penyakit yang mendasari (Lee, 2005).
F. PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi spefisik untuk ARDS. Terapi terhadap penyakit yang
mendasari misalnya pada infeksi diberikan antibiotik. Pemberian kortikosteroid
masih menjadi perdebatan sehingga tidak rutin diberikan. Kortikosteroid
diduga bermanfaat mencegah fibrosis paru, diberikan dalam bentuk
metilprednisolon 30mg/kgBB iv setiap 6 jam. Prinsip penangan ARDS adalah
perawatan suportif, bantuan vantilator dan terapi farmakologis yaitu dengan
(Morris, 2013):
1. Mengidentifikasi penyebab ARDS
2. Menghindari cedera paru sekunder akibat aspirasi, infeksi nosokomial,
keracunan oksigen, barotrauma

3. Mempertahankan penghantaran oksigen yang adekuat ke end organ


4. Mengoptimalkan fungsi kardiovaskular
5. Menjaga keseimbangan cairan tubuh
6. Suport nutrisi.

Prinsip penanganan dengan ventilator pada pasien ARDS adalah dengan


volume tidal 4-6ml/kgBB dan PEEP adekuat agar oksigenasi adekuat (PaO2
>60mmHg). Terdapat beberapa metode ventilasi yaitu (Susanto, 2012):
1. Metode HFV (high frekuency ventilation) yaitu dengan mempertahankan
ventilasi melalui frekuensi tinggi yaitu 300x/menit dan volume tidal 3-5
ml/kgBB. Teknis ini efektif pada neonatus dengan hyalin membrane disease
namun pada dewasa manfaatnya belum dipastikan.
2. Metode IRV (inverse ratio ventilation) yaitu dengan memperpanjang siklus
inspirasi sehingga meningkatkan tekanan saluran nafas untuk memperbaiki
oksigenasi. Rasio inspirasi: ekspirasi menjadi 1:1. Metode ini mengharuskan
pasien disedasi dan mendapat relaksan otot yang kuat.
3. Metode APRV (airway pressure release ventilation) memperbaiki oksigenasi
dengan mengantarkan volum tidal saat penurunan sementara tekanan
intratoraks dan meningkatkan PEEP untuk mempertahankan tekanan
inspirasi. Metode ini memungkinkan pernafasan spontan tanpa restriksi
selama siklus ventiltor.
Selama periode periintubasi digunakan oksigen 100% untuk menjada
saturasi oksigen >90%. Namun selain periode periintubasi oksigen 100% harus
dihindari karenan menyebabkan absortif atelektasis. Pada ARDS terjadi edem
pulmonum sehingga trial pemberian diuresis untuk meningkatkan oksigenasi
selama tidak ada hipotensi dan hipoperfusi organ (Susanto, 2012).
Terapi cairan pada ARDS harus berhati-hati karena adanya edem
pulmonum padahal tidak jarang pasien tidak mempunyai volume darah yang
cukup untuk menjaga tekanan darah. Sedasi yang terlalu dalam tidak
dianjurkan karena dapat menghambat pernfasan spontan dan memperlama
penggunaan ventilator
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat muncul pada ARDS (Price, 2005):

1. Hipotensi
2. Asidosis metabolik
3. Asidosis respiratorik
4. Ventrikel fibrilasi
5. Multi organ disfungsi sindrom
H. PROGNOSIS
Mortalitas ARDS sekitar 30-60%. mortalitas akan meningkat bila
penyakit yang mendasari berat seperti severe sepsis, sehingga penanganan
definitif terhadap penyakit yang mendasari sangat penting (Lee, 2005).

BAB III
KESIMPULAN

10

1. ARDS adalah suatu kondisi dimana paru mengalami cedera berat sehingga
mengganggu pertukaran gas di paru.
2. Penyebab ARDS adalag berbagai faktor yang memicu reaksi inflamasi paru
baik yang berasal dari paru atau sistemik.
3. Pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis antara lain radiologi
thoraks, darah lengkap, kultur, dan analisa gas darah.
4. Tidak ada terapi spesifik pada ARDS, prinsip terapinya adalah mengatasi
penyakit yang mendasari, mencegah cedera paru sekunder, mempertahankan
pengantaran oksigen, optimalisasi kardiovaskular, menjaga keseimbangan
cairan, dan suport nutrisi.
5. Komplikasi yang terjadi akibat ARDS hipotensi, asidosis, ventrikel fibrilasi,
MODS.
6. Mortalitas akibat ARDS mencapai 30-60%.

DAFTAR PUSTAKA

11

Alsagaf, Hood., Jusuf Wibisono. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
FK UNAIR.
Lee W., Slutsky A., 2005. Textbooxt of Respiratory Medicine. Philadelphia:
Elsevier Sauders.
Morris, Craig., Nick Reynolds. 2013. Guideline on the Management of the Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) in Adult ICU. NEJM. Vol. 345. No.
8.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC.
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta :
FKUI
Susanto, Yusup., Fitrie Sari. 2012. Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif pada
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). J Respir Indo. Vol. 32. Hal.
44-52.

12

Anda mungkin juga menyukai