SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRACT
MARITJE A HILAKORE. Improving Putak Nutritive Quality Using Mixed
Culture Trichoderma reesei and Aspergillus niger As Ruminant Feed.
Under the supervisions of SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN, and
DJUMALI MANGUNWIDJAJA
Putak is a local feed in East Timor, East Nusa Tenggara Province. It is obtained
from the pit of palm tree which is called gewang tree (Corypha elata robx). Putak
contains high carbohydrate and fiber but low in protein. The evaluation of putak
potency as a feed source and co-cultured of Trichoderma reesei and Aspergillus
niger as an inoculants to improve the nutritive quality of the putak for use in goats
diets were carried out in a series of 3 experiments. The first experiment was
conducted to determine the inoculum optimum level and incubation time of each
microbe on nutrient composition. Aspergillus niger contained 2.4 x 107 g-1 cfu
with inoculum levels were 0.5, 1.0, 1.5 and 2.0% (w/w), whereas Trichoderma
reesei contained 1.98 x 105 g-1 cfu and 5.0, 7.5, 10% (w/w) inoculum levels.
Incubation time were 2, 3 and 4 days. This study showed that the best content of
crude protein and true protein was at three days incubation and the inoculum level
was 1.5% (w/w) for A.niger, while, T.reesei at four days and 7.5% (w/w)
inoculum. Second experiment conducted to determine delay time to combine both
microbes in mixed culture on nutrient composition and rumen fermentability. The
best result of this study was when A.niger was inoculated two days after T.reesei,
where crude protein and true protein was higher and crude fiber was lower than
monoculture. Level of volatile fatty acids (VFA) and ammonia ( N-NH3) were
suitable to support microbial production. The last experiment to test goats
response to diets containing putak fermentation and fed on rice straw based ration
on daily gain, ration and rice straw consumption, N retention and fiber
digestibility. The result showed that using 40% putak fermentation in goat diets
give the best response to all variables measured.
ABSTRAK
Putak merupakan nama pakan lokal di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara
Timur yang diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata
robx), mengandung pati serta serat kasar tinggi dan protein yang rendah.
Penelitian yang bertujuan guna memperbaiki kualitas putak melalui kultur
campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai pakan kambing
dilaksanakan dalam tiga tahap. Percobaan pertama dilakukan untuk mendapatkan
level kultur serta lama inkubasi optimum dari masing-masing kapang terhadap
perubahan komposisi nutrisi putak. Konsentrasi masing-masing kultur, A.niger
adalah 2.4 x 107 cfu per g dengan level yang dicobakan 0.5, 1.0, 1.5 dan 2.0%
(b/b), sedangkan T.reesei 1.98 x 105 cfu per g dan level 5.0, 7.5 dan 10.0% (b/b).
Lama inkubasi yang dicobakan 2, 3 dan 4 hari. Hasil percobaan menunjukkan
level kultur dan lama inkubasi optimum adalah 1.5% dan 3 hari untuk A.niger
serta level 7.5% dan 4 hari untuk T.reesei berdasarkan peningkatan kadar protein
kasar dan protein murni substrat tertinggi. Percobaan kedua dilakukan untuk
menentukan waktu pencampuran terbaik dari kedua kapang dalam kultur
campuran yang diukur dari kadar nutrien serta fermentabilitas in vitro substrat.
Lama penundaan yang dicobakan adalah 0, 1 dan 2 hari. Berdasarkan peubah
yang diukur maka hasil terbaik dari percobaan ini adalah bilamana A.niger
diinokulasikan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari, dan hasil tahap ini lebih
tinggi dari tahap sebelumnya (kultur tunggal). Percobaan tahap 3 dilakukan untuk
mengkaji respon ternak terhadap pemberian putak fermentasi hasil perlakuan
terbaik percobaan tahap 2, yang diukur dari konsumsi dan kecernaan nutrien,
pertambahan bobot badan harian serta efisiensi penggunaan ransum. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa dengan penggunaan 40% putak fermentasi
dalam konsentrat memberi respon yang positip terhadap konsumsi ransum basal
dan semua peubah dibanding penggunaan 10% putak tanpa olah. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa fermentasi campuran T.reesei dan A.niger dapat
meningkatkan kualitas nutritif putak serta penggunaannya dalam ransum tanpa
memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ternak.
RINGKASAN
MARITJE A HILAKORE. Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui
Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai
Pakan Ruminansia. Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G
WIRYAWAN dan DJUMALI MANGUNWIDJAJA.
Putak adalah nama pakan lokal di Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara
Timur yang diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata
robx). Kandungan pati dan serat kasar yang tinggi tetapi rendah protein
merupakan kendala utama penggunaannya sebagai pakan. Proses pengolahan
biologi melalui fermentasi dapat memberi hasil yang positif terhadap kualitas
bahan. Kapang Trichoderma reesei dan Aspergillus niger secara kultur tunggal
sering digunakan dalam pengolahan pakan karena kemampuannya dalam
degradasi selulosa maupun pati menjadi protein.
Penggunaan kultur campuran dalam fermentasi dapat memberi hasil yang
lebih menguntungkan. Penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya
adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Pada habitat
alaminya, beberapa organisme hidup bersama memiliki hubungan yang dapat
saling merugikan dan juga saling menguntungkan atau tidak saling
mempengaruhi. Kondisi tersebut yang diadopsi dalam penelitian penerapan kultur
campuran (Hesseltine 1991). Potensi T. reesei menghasilkan enzim
selobiohidrolase dan A. niger dalam menghasilkan enzim selobiase yang
bermanfaat dalam degradasi substrat menjadi protein sel untuk meningkatkan
kandungan protein putak yang dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I, Optimasi Proses
Fermentasi Putak secara Tunggal oleh T.reesei atau A.niger, bertujuan mengkaji
kemampuan masing-masing kapang secara tunggal pada level kultur dan lama
inkubasi yang berbeda guna meningkatkan kualitas nutrien putak terutama kadar
protein kasar (PK), protein murni (PM), serta serat kasar (SK). Level kultur yang
dicobakan terdiri dari 4 level A1, A2, A3 dan A4 adalah 0.5, 1.0, 1.5 dan 2.0% (b/b)
untuk A.niger dengan kepadatan koloni per gram adalah 2.4 x 107 sedangkan level
T1, T2, dan T3 masing-masing 5.0, 7.5 dan 10% (b/b) untuk T.reesei dengan
kepadatan koloni 1.98 x 105. Lama inkubasi (W) pada masing-masing kapang
adalah 2, 3, dan 4 hari (W2,W3 dan W4 ). Hasil percobaan menunjukkan, kadar
PK, PM serta SK terbaik diperoleh T.reesei masing-masing adalah 20.60, 13.25
dan 9.08%, pada level kultur T2 (1.48 x 106 ) setelah 4 hari inkubasi, sedangkan
A.niger 19.81, 12.53 dan 12.22%, pada level A3 (0.36 x 108 ) dengan 3 hari lama
inkubasi.
Percobaan tahap II, Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger
dengan Putak sebagai Substrat bertujuan untuk mengkaji kemampuan kedua
kapang secara bersama-sama dalam meningkatkan kualitas kimiawi maupun
fermentabilitas in vitro. Pada tahap ini dicobakan 12 kombinasi level masingmasing kapang tahap sebelumnya dengan penundaan pencampuran 0 (D0), 1 (D1)
dan 2 hari (D2). D0 adalah T.reesei dan A.niger diinokulasikan bersamaan, tanpa
penundaan; D1 adalah pencampuran A.niger dilakukan setelah fermentasi T.reesei
berjalan satu (1) hari; dan adalah pencampuran A.niger dilakukan setelah
fermentasi T.reesei berjalan dua (2) hari. Hasil optimal yang diperoleh untuk PK,
78
PM dan SK adalah 23.62, 14.92 dan 10.17% bilamana pencampuran A.niger
dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari (D2) pada kombinasi level
A.niger 1.5% dan T.reesei 7.5% (A3T2). Hasil tersebut lebih baik daripada kultur
tunggal. Hasil uji in vitro menunjukkan kisaran konsentrasi asam lemak terbang
(VFA) dan amonia (NH3) masing-masing adalah 91.14 119.58 mM dan 14.94
19.04 mM, berada pada kisaran optimum untuk mendukung pertumbuhan
mikroorganisme rumen.
Percobaan tahap III, Respon Ternak Kambing Jantan Lokal terhadap
Pemberian Putak Fermentasi, bertujuan untuk menguji tingkat pemberian putak
fermentasi hasil percobaan terbaik Tahap II yakni 0, 10, 20, 30 dan 40% dalam
konsentrat terhadap kinerja ternak kambing lokal jantan yang diberi jerami padi
ad libitum sebagai pakan dasar. Semakin tinggi penggunaan putak fermentasi
(mencapai 40%), kinerja ternak kambing meningkat lebih baik yang terdeteksi
dari retensi nitrogen, konsumsi dan kecernaan nutrien, pertambahan bobot badan
harian (PbbH ) dan efisiensi penggunaan ransum
Fermentasi kultur campuran menggunakan T.reesei dan A.niger pada
putak sebagai substrat memberikan hasil yang lebih baik dibanding fermentasi
kultur tunggal T.reesei atau A.niger. Peningkatan kualitas nutrisi tersebut
terdeteksi dengan terjadinya peningkatan penampilan produksi ternak.
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.AgrSc
Judul Disertasi
Nama
NIM
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah Bapa didalam Jesus
Kristus Tuhan, karena oleh kekuatan serta hikmatNYA karya ilmiah ini dapat
diselesaikan. Karya penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengoptimalkan
potensi pakan lokal seperti putak yang sangat potensil tetapi masih mengalami
kendala dalam penggunaan akibat keterbatasan kandungan nutrien yang
dimilikinya. Oleh karena itu topik penelitian ini diberi judul Peningkatan Kualitas
Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus
niger sebagai Pakan Ruminansi.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulisan sampaikan
kepada Dr. Ir. Suryahadi, DEA, Dr. Ir. Komang G Wiryawan serta Prof. Dr. Ir.
Djumali Mangunwidjaja, DEA, selaku pembimbing, yang telah meluangkan
waktu memberi arahan serta koreksi selama proses penyelesaian penulisan ini.
Ucapan terima kasih yang sama juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB,
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fapet IPB dan seluruh staf Dosen Fapet
atas kesempatan memperoleh ilmu dan wawasan yang telah diberikan. Terima
kasih juga kepada Departemen Pendidikan Nasional melalui DITJEN DIKTI atas
beasiswa yang diberikan dalam mengikuti pendidikan di IPB.
Terima kasih yang sama juga disampaikan kepada Rektor Universitas
Nusa Cendana dan Dekan Fakultas Peternakan atas kesempatan mengikuti
pendidikan yang diberikan. Juga kepada Direktur Politeknik Pertanian Negeri
Kupang atas ijin menggunakan fasilitas Laboratorium selama proses penelitian
ini.
RIWAYAT HIDUP
IPB dengan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.....
iii
DAFTAR GAMBAR ..
iv
DAFTAR LAMPIRAN.. .. ..
v
PENDAHULUAN
Latar Belakang ... ..
Tujuan . .. ..
Hipotesis .. .
Manfaat ..
1
1
4
4
4
TINJAUAN PUSTAKA
Pohon Gewang (Corypha elata robx) dan Produksinya.. .
Fermentasi dan Medium Fermentasi ...................................
Trichoderma reesei ............................................................ .
Aspergillus niger .................................................................
Fermentasi Kultur Campuran ..............................................
Sumber Nutrien pada Ruminansia ........................................
Metabolisme Protein pada Ruminansia ...............................
Metabolisme Karbohidrat pada Ruminansia .......................
Ternak Kambing Kacang .....................................................
5
5
7
11
12
14
16
17
19
22
24
24
26
27
27
34
34
36
41
45
45
50
51
53
55
55
56
60
60
62
64
66
LAMPIRAN ....................................................................................
72
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
28
28
37
43
47
50
52
54
56
10
Kadar VFA total dan partial dan NH3 cairan rumen dari
pakan konsentrat .................................................................
57
63
63
11
12
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
18
21
23
25
26
36
43
46
48
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
71
72
73
75
77
79
81
83
85
89
91
93
96
14
15
97
98
99
17
18
19
20
21
22
23
24
25
100
101
102
103
104
105
106
107
108
26
27
28
29
30
31
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat besar
yang ditunjukkan oleh populasi ternak ruminansia khususnya, sebanyak 700 363
ekor ruminansia besar (sapi dan kerbau), dan 571 014 ekor ruminansia kecil
(kambing dan domba). Pulau Timor merupakan salah satu daerah di NTT yang
memiliki populasi ternak tertinggi yaitu 427 343 ekor ruminansia besar dan
178 427 ekor ruminansia kecil atau sekitar 61% dan 31% dari populasi ternak di
NTT (Ditjennak 2007). Kendala utama pengembangan adalah ketersediaan dan
kualitas pakan.
Kondisi alam yang kering (8 9 bulan kering) mengakibatkan kontinuitas
ketersediaan pakan sangat fluktuatif sehingga pertumbuhan ternak sangat
tergantung pada musim. Padang penggembalaan umum seluas 24 382.04 ha
(Ditjennak 2007) yang merupakan tulang punggung sumber pakan ruminansia
utamanya, hanya bisa diandalkan selama kurang lebih 3 - 4 bulan. Hasil penelitian
Bamualim et al. (1993) menunjukkan bahwa pada musim kemarau, bobot ternak
di P. Timor akan mengalami penyusutan sebanyak 50% dari bobot yang dicapai
selama musim hujan. Dalam keadaan demikian memaksimumkan sumber pakan
lokal merupakan solusi terbaik.
Salah satu pakan lokal yang cukup dikenal masyarakat setempat adalah
Putak. Putak diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata
robx) dan telah lama digunakan sebagai pakan sumber karbohidrat meski dalam
jumlah terbatas. Menurut perkiraan sekitar 5 10% dari luasan padang
penggembalaan yang ada di P.Timor ditumbuhi pohon gewang. Nulik et al.
(1988) melaporkan bahwa dengan tinggi pohon rata-rata 13 meter (12.9 3.3 )
dapat dihasilkan sebanyak 663 124 kg putak basah atau 396 kg berat kering
(kadar air 40%).
Sebagai pakan, putak sangat potensial karena ketersediaannya cukup
disamping tidak bersaing dengan manusia karena tidak digunakan untuk makanan
manusia. Penggunaan putak sebagai pakan belum maksimal akibat keterbatasan
nutrisi yang dikandungnya seperti, protein yang rendah ( 2.23%) serta serat kasar
2
tinggi (12.04%), disamping unsur-unsur nutrien lainnya yang juga minim tetapi
kandungan energinya tinggi (4 210 kkal/g) (Ginting 2000).
Upaya yang telah dilakukan guna memaksimalkan pengguaan putak
sebagai pakan telah dilakukan melalui penelitian misalnya, melalui suplementasi
urea sebagai sumber nitrogen bagi ternak ruminansia selama musim kemarau
(Bamualim et al. 1993, Kana Hau et al. 1993). Pembuatan produk pemasakan
putak-urea (Purea) yang dilakukan Wie Lawa (1996) dapat meningkatkan
kecernaan in vitro. Penelitian pengolahan secara biologis yakni fermentasi putak
oleh Saccharomyces cereviciae sebagaimana dilaporkan hasilnya oleh Ginting
(2000), nyata meningkatkan kadar protein kasar putak dari 2.23 % menjadi 8.94%
meski tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar serat kasar (12.02% vs
11.97%) setelah diinkubasi selama 14 hari dengan respon pertumbuhan terbaik
dari ternak babi adalah pada penggunaan 10% menggantikan jagung.
Pengolahan biologi yang bertujuan meningkatkan kualitas suatu bahan
sebagai pangan maupun pakan telah lama dikenal dan dilakukan, namun sejauh ini
hanya dengan penggunaan kultur tunggal. Padahal menurut Hesseltine (1991),
fermentasi biakan campuran dapat memberikan hasil yang lebih menguntungkan
dibanding biakan tunggal karena komponen metabolit yang dihasilkan masingmasing mikroba dalam substrat yang sama akan saling menunjang dan
melengkapi kebutuhan lingkungan yang baik bagi pertumbuan mikroba-mikroba
tersebut.
Penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya adalah meniru
kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Pada habitat alaminya,
organisme yang hidup bersama memiliki hubungan yang bisa saling merugikan
dan juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi. Kondisi tersebut
yang ingin diadopsi dalam penelitian penerapan kultur campuran.
Trichoderma reesei merupakan salah satu jenis kapang
yang banyak
3
menghasilkan
banyak
macam
enzim
ekstraseluler,
seperti
-amilase,
glukoamilase, - dan - glukosidase serta selulase (Saha 1991), oleh karena itu
sering digunakan dalam pengolahan pangan untuk pengkayaan protein dari bahan
berpati (Moo-Young 1983).
Menurut Hesseltine (1991) bahwa kultur campuran memungkinkan
penggunaan substrat yang bervariasi dalam hal komposisi bahan sehingga akan
memungkinkan mikroba selulolitik tidak hanya menggunakan selulosa saja tetapi
juga pati maupun gula. Kapang selulolitik bersama-sama kapang pengguna pati
dan gula akan memberikan proses yang lebih efisien dalam menghasilkan
biomassa yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat.
Hasil-hasil
penelitian
kultur
campuran
yang
pernah
dilakukan
menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding kultur tunggal, dalam hal biomassa
sel maupun produk fermentasi. Seperti yang dilaporkan oleh Correa et al. (1999),
bahwa jumlah biomassa sel dan aktifitas enzim-enzim selulase lebih tinggi pada
biakan campuran T. reesei dan A. niger dibanding kultur tunggal dengan substrat
bagas tebu. Selanjutnya Saha (1991) menggunakan kultur campuran A.niger dan
S.cereviciae pada substrat kentang menghasilkan etanol yang lebih tinggi. Panda
et al. (1989) melaporkan, laju pertumbuhan kapang T. reesei dan A. wentii lebih
baik pada biakan campuran daripada biakan terpisah. Demikian juga Viesturs
et al. (1980) yang dikutip Moo-Young (1983) memperoleh kadar protein murni
18% pada jerami gandum yang difermentasi oleh T.liqnorum dan Candida
lipolytica selama 5 hari pada suhu inkubasi 30oC, sedangkan T. liqnarum sendiri
hanya menghasilkan 11%.
Teknologi fermentasi merupakan teknologi yang murah dan aman dalam
menjawab masalah keterbatasan nutrisi terutama protein substrat dan telah banyak
dilakukan baik dalam penelitian maupun di masyarakat terutama menggunakan
kultur tunggal. Sedangkan kultur campuran yang juga dapat memberi hasil yang
lebih baik karena dapat memaksimumkan peran masing-masing mikrob dalam
proses fermentasi guna mendapatkan hasil yang lebih baik dan waktu yang
singkat, belum umum dilakukan.
4
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengkaji kemampuan T reesei dan A. niger secara kultur tunggal dalam
memperbaiki kualitas nutrien putak terutama kadar protein dan serat kasar.
b. Mengkaji kemampuan T reesei dan A. niger secara kultur campuran dalam
memperbaiki kualitas nutrien putak terutama kadar protein dan serat kasar
serta pengaruhnya terhadap fermentabilitas in vitro.
c. Mengkaji respon ternak kambing lokal jantan terhadap penggunaan putak
terfermentasi dengan kultur campuran T reesei dan A. niger sebagai pakan
penyusun konsentrat
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Fermentasi putak dengan kapang A.niger maupun T.reesei secara tunggal
dapat meningkatkan kualitas putak
2. Kultur campuran A.niger dan T.reesei akan lebih baik kemampuannya
dalam meningkatkan kualitas putak fermentasi dibanding dengan kultur
tunggal
3. Penggunaan putak hasil fermentasi sebagai pakan akan memberi respon
positif terhadap pertumbuhan ternak.
Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat :
1. Memberi informasi mengenai manfaat putak yang difermentasi sebagai
sumber pakan baru yang prospektif
2. Memberi informasi tentang keuntungan fermentasi menggunakan kultur
campuran, sebagai alternatif teknologi tepat guna tentang pemanfaatan
pakan lokal
5
TINJAUAN PUSTAKA
7
penggunaan Purea (produk pemasakan putak-urea) pada ternak kambing jantan
lokal yang diberi rumput alam sebagai hijauan tunggal dengan maksimal
penggunaan purea 20% memberikan pertambahan bobot badan sebesar 36 g/e/h.
Penelitian pengolahan secara biologis yakni fermentasi putak oleh
Saccharomyces cereviciae sebagaimana dilaporkan hasilnya oleh Ginting (2000).
Level kultur terbaik adalah sel 0.75 x 106 unit sel, dan lama inkubasi 2 minggu
menghasilkan kenaikan kadar protein kasar nyata lebih baik (8.92%) dari pada
kontrol (2.63%), tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar serat kasar (12.01 %
turun menjadi 11.97%). Maksimal penggunaannya untuk ternak babi adalah 10%
menggantikan jagung.
8
fermentasi, karena sel-sel mikroba dan berbagai produk fermentasi sebagian besar
terdiri dari unsur-unsur karbon dan nitrogen.
Makanan produk fermentasi biasanya memiliki nilai nutrisi yang lebih
tinggi dibanding bahan makanan asalnya. Hal ini disebabkan mikroba telah
memecah komponen kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana sehingga
lebih mudah dicerna. Pada proses fermentasi akan terjadi perubahan-perubahan
terhadap komposisi kimia antara lain kandungan lemak, karbohidrat, asam amino,
mineral dan vitamin sebagai akibat dari aktifitas dan perkembang biakan
mikroorganisme selama fermentasi berlangsung (Winarno 1992).
Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua macam
yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium
padat adalah suatu jenis fermentasi yang menyerupai habitat alami dimana terjadi
degradasi komponen kimia padat oleh mikrob dalam media yang cukup
mengandung air tanpa ada air bebas dalam sistem fermentasi tersebut (Murthy
et al. 1993, Correa et al. 1998). Selanjutnya, fermentasi media cair adalah
proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair
(Fardiaz 1988).
Pada dasarnya fermentasi medium padat didasarkan pada pembentukan
ekosistem untuk pertumbuhan mikroba yang diinokulasikan. Sifat porositas
medium merupakan faktor penting dalam menunjang pertumbuhan mikroba yang
ditumbuhkan. Medium dengan porositas yang baik akan memungkinkan penetrasi
udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan dapat terjadi di seluruh
bagian medium (Hardjo et al. 1989 ).
Fermentasi media padat memiliki beberapa keuntungan seperti :
a). menggunakan substrat tunggal seperti biji-bijian utuh atau limbah padat yang
mengandung karbohidrat, protein dan lain-lain dan hanya ditambahkan air;
b). kepekatan produk yang dihasilkan lebih tinggi; c) pertumbuhan kapang
menyerupai habitatnya di alam; d) tidak diperlukan kontrol pH dan suhu yang
teliti. Kelemahan jenis fermentasi ini adalah terbatasnya jenis mikrob yang dapat
digunakan, kebutuhan inokulum cukup besar serta agak sulit dalam pengaturan
kadar air, pH, dan lainnya (Muchtadi et al. 1992).
9
Beberapa keuntungan fermentasi medium padat dibanding medium cair
adalah penggunaan substrat alami yang sifatnya tunggal, persiapan inokulum lebih
sederhana, dapat menghasilkan produk dengan kepekatan yang lebih tinggi,
kontrol terhadap kontaminan lebih mudah, kondisi inkubasi hampir menyerupai
kondisi alami sehingga tidak memerlukan kontrol suhu dan pH yang teliti dan
aerasi dapat berlangsung lebih optimum karena ruang lebih besar, fermentasi
media padat memiliki produktivitas yang tinggi serta hasil yang sama dapat
terulang pada kondisi yang sama (Setiawiharja 1984, Hardjo et al. 1989 ).
Knapp dan Howell (1975) mengemukakan bahwa faktor yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan proses fermentasi medium padat adalah : 1) sifat
medium, terutama yang berhubungan dengan derajat kristalisasi dan polimerisasi
2). sifat organisme, karena masing-masing mikroba memiliki kemampuan yang
berbeda dalam memecahkan komponen medium untuk keperluan metabolisme
3). kinetika metabolisme dan enzim, karena pada umumnya produksi enzim pada
medium padat bersifat non konstitutif sehingga represi katabolik dan
penghambatan oleh produk akhir menjadi aspek yang sangat penting dalam
menguraikan medium.
Proses fermentasi medium padat dapat dikatakan sebagai proses
pengkayaan
protein
(protein
enrichment)
bahan
dengan
menggunakan
pertumbuhan
mikroorganisme.
Selanjutnya
Fardiaz
(1988)
10
mengemukakan
bahwa
nitrogen
mempunyai
fungsi
fisiologis
bagi
mikroorganisme yaitu merupakan bagian dari protein, asam nukleat dan koenzim,
sedangkan karbon merupakan bagian dari senyawa organik sel.
Menurut Fardiaz (1988) bahwa laju pertumbuhan mikroorganisme
dipengaruhi
oleh
konsentrasi
komponen-komponen
penyusun
media
11
konversi, proses yang dapat mengubah suatu senyawa menjadi senyawa lain oleh
enzim yang dihasilkan oleh sel tersebut.
Besarnya pemanfaatan sumber pati bagi sintesa protein menurut Wang
et al. (1979), dipengaruhi oleh beberapa proses yang berlangsung dalam sistem
fermentasi itu sendiri yaitu a), proses penguraian pati menjadi monomer
sederhana; b), proses penguraian urea menjadi NH3 sebagai sumber nitrogen siap
pakai; dan c), proses pembentukan protein melalui ikatan karbon-amonia
(R-NH3). Ketiga proses di atas harus terjadi sinergi dan serentak agar diperoleh
hasil yang maksimal.
Keuntungan penggunaan mikroorganisme dalam mencerna pakan terutama
substrat berserat menurut Suhartati et al. (2003) adalah tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan dibanding penggunaan bahan kimia atau perlakuan
lainnya. Selain itu secara ekonomis lebih murah dan penanganan lebih mudah.
Sedangkan menurut Winarno (1992) bahwa keuntungan pengolahan dengan cara
fermentasi yaitu memperbanyak jumlah mikroorganisme dan menggiatkan
metabolisme di dalam substrat sehingga substrat mempunyai nilai gizi lebih tinggi
daripada asal.
Trichoderma reseei
Trichoderma merupakan salah satu dari banyak kapang lain yang dapat
menghasilkan enzim selulase dan telah digunakan dalam penelitian degradasi
enzimatik bahan-bahan berselulosa menjadi glukosa. Menurut Frazier dan
Westhoff (1978) bahwa Trichoderma aktif dalam proses dekomposisi selulosa.
Bagian-bagian yang menjadi cirinya adalah miselium berseptat, konidiofora
bercabang banyak, membentuk konidia bulat atau oval berwarna hijau terang dan
membentuk bola-bola berlendir.
Trichoderma reesei telah lama dikenal sebagai mikroba selulolitik yang
potensial dalam memecah selulosa bentuk kristalin dan amorf (Simpson dan
Oldman 1984).
12
Selobiohidrolase merupakan selulase utama yang diproduksi oleh T.reesei
dan meliputi lebih dari 80% protein selulase. Enzim ini memecah selulosa
menjadi selobiosa sebagai satu-satunya produk akhir hidrolisis. Selobiohidrolase
dihambat secara kompetitif oleh selobiosa (Juhasz et al. 2003).
Kapang T.reesei menghasilkan enzim selulolitik seperti endo dan eksoglukanase (selobiohidrolase) juga memberikan keuntungan dalam hal produksi
protein. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pakula et al. (2005) bahwa kapang
mampu memproduksi enzim dalam jumlah yang tinggi, dan produksi ini setara
dengan 40 g/l
Aspergillus niger
Aspergillus niger merupakan salah satu kapang genus Aspergillus, famili
Moniliaceae, ordo Moniliales, dan subdivisi Eumycophyta yang bersifat aerobik
sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup
dan untuk pertumbuhan memerlukan suhu optimum sekitar 35 - 37oC (Frazier and
Westhoff 1981) sedangkan untuk menghasilkan enzim selulase diperlukan suhu
25 - 28 oC (Enari 1983).
Ditambahkan oleh Laskin dan Heuber ( 1978) bahwa A.niger disebut juga
sebagai jamur hitam karena warnanya yang coklat kehitaman. Berkembang biak
secara vegetatif dan generatif dengan spora (Dwidjoseputro 1984), serta dapat
tumbuh pada suhu 35 37oC atau lebih dengan suhu maksimum 65oC dan pH
2.8 8.8. Untuk pertumbuhannya A. niger menggunakan nutrisi yang ada di
13
sekitarnya misalnya molekul-molekul sederhana seperti gula yang terlarut dapat
langsung diserap oleh hifa, tetapi polimer-polimer seperti pati dan selulosa akan
dipecah terlebih dahulu oleh enzim-enzim ekstraseluler yang dihasilkannya
menjadi molekul sederhana baru diserap (Moore and Landacker 1983). Miselium
dapat bersifat vegetatif dan reproduktif. Sebagian besar miselium vegetatif
menembus ke dalam medium untuk mendapatkan makanan sedangkan miselium
reproduksi bertanggung jawab dalam pembentukan spora dan biasanya tumbuh
menjulang ke udara (Pelczar 1986).
Aspergillus niger merupakan jenis kapang yang menghasilkan banyak
macam
enzim
ekstraseluler,
seperti
-amilase,
glukoamilase,
dan
- glukosidase serta selulase (Saha 1991). Senada dengan hal di atas Kompiang
et al. (1995) menyatakan bahwa A.niger memproduksi enzim pendegradasi pati
yang akan memecah pati menjadi glukosa yang selanjutnya digunakan sebagai
sumber karbon oleh kapang selama proses fermentasi. A. niger juga merupakan
kapang aerobik yang dapat menghasilkan enzim selulase untuk membantu
pencernaan dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Kompiang et al. 1994).
Dalam kaitannya dengan enzim selulase, genus Trichoderma memproduksi enzim
selobiohidrolase merupakan komponen terbanyak, sedangkan pada enzim selulase
dari genus Aspergillus, komponen terbanyak adalah enzim -glukosidase (Gong
dan Tsao 1979). Enzim ini berperan dalam hirolisis selobiose menjadi glukosa.
Moo-Young et al. (1983) melaporkan bahwa, fermentasi media padat
dengan menggunakan kultur A.niger pada substrat beras menghasilkan 400 g
protein serta aktifitas amylase 1380 U/ml pada lama inkubasi tiga hari.
Konsentrasi ini 80 kali lebih tinggi dari pada yang dihasilkan dengan fermentasi
terrendam.
Menurut Valdivia et al. (1983) bahwa dalam fermentasi yang bertujuan
menghasilkan protein sel tunggal, maka penggunaan bahan yang mengandung pati
adalah yang terbaik. Sedangkan A.niger merupakan kapang yang paling sering
dipilih dalam fermentasi karena kemampuannya yang baik dalam biokonversi pati
menjadi protein.
14
Fermentasi Kultur Campuran
Penggunaan dua atau lebih mikroba sebagai inokulum dalam proses
fermentasi disebut sebagai biakan campuran, yang diklasifikasikan oleh
Hesseltine (1991) ke dalam empat jenis yakni : (1) monokultur; bila hanya satu
strain mikrob yang digunakan; (2) multikultur, bila menggunakan lebih dari satu
mikrob termasuk bila digunakan dua spesies yang berbeda; (3) unimultikultur,
bila menggunakan dua atau lebih strain dari spesies yang sama; (4) polikultur, bila
menggunakan banyak mikrob yang berbeda.
Menurut Hesseltine (1991), penerapan teknologi kultur campuran pada
prinsipnya adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya.
Organisme-organisme tersebut hidup bersama dalam hubungan yang bisa saling
merugikan, juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi.
Selanjutnya Correa et al. (1999) memberi contoh pada fermentasi pangan oriental
sebagai contoh terbaik dalam menggambarkan kelebihan fermentasi kultur
campuran.
Menurut Correa et al. (1999), kesesuaian atau kecocokan strain dan
kebutuhan nutrien yang sama merupakan faktor yang sangat menentukan
keberhasilan biakan campuran karena interaksi sinergis antara pasangan mikrob
yang sesuai dapat mengatasi keterbatasan nutrisi substrat.
Fermentasi biakan campuran dapat memberikan hasil yang lebih
menguntungkan dibanding biakan tunggal karena komponen metabolit yang
dihasilkan masing-masing mikrob dalam substrat yang sama akan saling
menunjang dan melengkapi kebutuhan lingkungan yang baik bagi pertumbuan
mikrob-mikrob tersebut (Hesseltine 1991). Ditambahkan selanjutnya bahwa ada
beberapa keuntungan dari biakan campuran seperti: a) memberikan peningkatan
hasil yang lebih baik; b) lebih stabil dan dengan cepat akan normal kembali bila
kondisi tumbuhnya terganggu; c) resisten terhadap kontaminan; d) lebih mampu
menggunakan substrat berkualitas sangat rendah. Sedangkan kerugiannya adalah :
a) produk dari kultur campuran lebih bervariasi dalam jumlah dan komposisi; b)
sulit mendeteksi terjadinya kontaminasi; c) sulit mengontrol keseimbangan
optimum antara mikrob yang terlibat.
15
Penggunaan polisakarida seperti selulosa, hemiselulosa dan pati dalam
fermentasi campuran untuk menghasilkan enzim, protein sel tunggal, etanol,
biogas dan sebagainya yang pernah dilakukan, disimpulkan bahwa ada berragam
enzim yang dibutuhkan dalam degradasi polisakarida dan bekerja secara sinergis
dalam degradasi bahan-bahan tersebut secara efisien. Disamping itu produk akhir
dari masing-masing mikrob dalam medium dapat membatasi proses fermentasi,
dan dalam kultur campuran pengaruh tersebut dapat diminimalisir karena masingmasing mikroba dapat memanfaatkan produk akhir yang dihasilkan sehingga
proses fermentasi akan berlangsung pada kondisi yang lebih sesuai.
Komponen utama tanaman seperti selulosa dan hemiselulosa dapat
didegradasi secara efisien oleh enzim selulase yakni endo--glukanase, exo-glukanase dan -glukosidase. T.reesei merupakan kapang yang sangat potensil
dalam menghasilkan enzim endo- dan exo-glukanase tetapi jumlah -glukosidase
lebih sedikit dari pada yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa yang efisien
menjadi glukosa (Panda et al. 1989, Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005).
Selanjutnya Saha (1991) dan Juhasz et al. (2003 ) menyatakan bahwa A.niger
memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan -glukosidase. Menurut
Enari (1983) bahwa enzim selobiase atau -glukosidase yang dihasilkan oleh
T.reesei sangat sensitif terhadap inhibisi produk akhir dibandingkan enzim yang
sama dari A.niger. Dengan demikian maka kombinasi kedua kapang ini akan
meningkatkan efisiensi degradasi selulosa yang pada gilirannya meningkatkan
kualitas substrat.
Laporan hasil-hasil penelitian berkaitan dengan penggunaan kedua mikrob
di atas dalam kultur campuran, ternyata memberikan hasil yang lebih baik
daripada kultur tunggal. Jumlah biomassa sel dan aktifitas enzim-enzim selulase
lebih tinggi pada biakan campuran T. reesei dan A. niger dengan substrat bagas
tebu (Correa et al. 1999). Demikian juga halnya dengan laju pertumbuhan kapang
T. reesei dan A. wentii lebih baik pada biakan campuran daripada biakan terpisah
(Panda et al. 1989). Viesturs et al. (1980) dalam Moo-Young (1983), memperoleh
kadar 18% protein murni pada jerami gandum yang difermentasi oleh T.liqnorum
dan Candida lipolytica selama 5 hari pada suhu inkubasi 30oC, sedangkan
T. liqnarum sendiri hanya menghasilkan 11%. Penelitian lain oleh Saha (1991)
16
menggunakan kultur campuran A.niger dan S.cereviciae pada substrat kentang
menghasilkan etanol yang lebih tinggi. Mishra et al. (2004) melaporkan, pada
pengolahan air limbah industri kentang, biomassa sel biakan campuran A.foetidus
dan A. niger lebih tinggi dibanding pada masing-masing kultur tunggal.
17
karbohidrat oleh mikroba rumen yakni VFA merupakan sumber energi utama bagi
ruminansia. Kadar VFA antara 8 16 Mmol/100 ml cairan rumen telah mencukupi
kebutuhan sintesis protein mikrob rumen yang optimal (Sutardi 1995).
Kandungan nitrogen, baik yang bersumber dari nitrogen bukan protein
(NPN) maupun protein murni, juga sangat berguna untuk merangsang
pertumbuhan mikroba. Konsentasi NH3 rumen sebesar 5 mg% atau 3,57 mM
cukup untuk pertumbuhan mikroba (Satter dan Roffler 1976).
18
akan menjadi sumber nitrogen lagi pada sintesis protein mikrob (Preston and Leng
1987, Tillman et al. 1988, Preston and Leng 1987, Nolan 1993 ).
Protein pakan
Protein endogen
RUMEN
Asam amino
NH3
diabsorbsi
Tak
terdegradasi
Protein mikrob
Protein
pakan
Protein
endogen
Protein
mikrob
USUS HALUS
Asam amino
diabsorbsi
Protein tak
tercerna
Protein endogen
NH3
diabsorbsi
Protein mikrob
SEKUM
feses
19
Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi sintesis asam amino pada
mikroorganisme rumen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nutrisi protein
ternak ruminansia sangat tergantung kepada proses sintesis protein mikrob rumen.
Protein mikrob rumen mempunyai kualitas yang sangat baik, dan menurut
Sniffen dan Robinson (1987) bahwa sumbangan protein asal mikrob rumen
terhadap kebutuhan asam amino ternak ruminansia mencapai 4080% dan fraksi
nitrogen total asam-asam amino (TAAN= total amino acids nitrogen) yang masuk
usus sebagian besar berasal dari protein mikrob rumen. Artinya bahwa
keberhasilan memacu pertumbuhan mikrob rumen akan sangat besar pengaruhnya
terhadap terpenuhinya kebutuhan asam amino ternak inang.
Kebutuhan asam amino ternak ruminansia dipenuhi dari protein pakan
yang lolos degradasi dalam rumen kemudian mengalami pencernaan dan diserap
dalam usus. Selain itu juga berasal dari protein mikrob rumen yang tercerna dan
terserap dalam usus, serta berasal dari cadangan protein tubuh (protein
endogenous).
Menurut Buttery (1976) jumlah protein pakan yang mengalami degradasi
dalam rumen cukup banyak dan laju degradasi tergantung kepada kelarutan
protein dan laju aliran digesta. Variasi derajat ketahanan protein terhadap
degradasi mikrob rumen sangat besar yakni antara 12-90%.
20
rumen difermentasi menjadi piruvat melalui lintasan Embden Meyerhoff dan
lintasan pentosa fosfat. Piruvat adalah bentuk produk intermedier yang
akan
21
redoks dalam rumen, sehingga tetap berada dalam kisaran yang layak bagi
pertumbuhan dan perkembangan mikrob rumen sendiri.
Laju pertumbuhan mikrob rumen sangat tergantung kepada ketersediaan
karbohidrat. Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu
produksi protein mikroba rumen. Selain sebagai sumber kerangka karbon,
karbohidrat adalah sumber energi bagi mikrob rumen dalam bentuk ATP
(Adenosine Tryphosphate) (Sutardi 1979).
Selanjutnya menurut
Russel dan
Pati
Hemiselulosa
Pektin
Pentosa
Heksosasa
LINTASAN
EMBDEN MEYERHOFF
LINTASAN PENTOSA
Piruvat
Format
Asetil Ko-A
CO2 + H2O
LINTASAN
AKRILAT
LINTASAN
SUKSINAT
Metan
Asetat
Butirat
Propionat
22
Asam lemak terbang rumen terdiri dari asam asetat (CH3COOH), asam
propionat (CH3CH2COOH), asam butirat (CH3(CH2)2COOH), asam valerat
(CH3(CH2)3COOH) dan asam-asam lemak rantai cabang (asam iso-butirat, asam
2-metilbutiat dan isovalerat). Asam-asam lemak rantai cabang berasal dari
katabolisme protein. Gas produk fermentasi meliputi gas CO2, CH4 dan H2 akan
dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Sutardi 1979). Ternak kambing
memproduksi gas CO2 sekitar 90 liter dan gas CH4 sekitar 30 liter per hari
(Czerkawski 1986).
23
Menurut NRC (1981), konsumsi bahan kering ternak kambing berkisar antara
2 3%, sedangkan menurut Peterson (2005) adalah 3.5 5.0% namun pada
umumnya antara
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian telah dilaksanakan dari Pebruari 2006 sampai dengan Januari
2008, yang terdiri dari serangkaian percobaan: (I) optimasi proses fermentasi
putak oleh T.reesei dan A.niger, (II) fermentasi kultur campuran T.reesei dan
A.niger dalam putak sebagai substrat, (III) respon ternak kambing jantan lokal
terhadap pemberian putak fermentasi.
Pelaksanaan percobaan I dan II adalah uji in vitro dilaksanakan di
Laboratorium Biotek Politeknik Pertanian Negeri Kupang dan Balitnak Ciawi
Bogor sedangkan percobaan III yaitu uji in vivo dilaksanakan di peternakan rakyat
di kelurahan Lasiana, Kecamatan Lasiana, Kota Kupang, dengan menggunakan 20
ekor ternak kambing jantan lokal.
Putak diperoleh dari penjual putak di Desa NoElbaki Kecamatan Kupang
Tengah Kabupaten Kupang. Semua bahan pakan yang digunakan seperti jerami
padi, dedak padi, jagung kuning, bungkil kelapa adalah bahan lokal yang
diperoleh dari pasar tradisional setempat, sedangkan daun gamal diambil dari
sekitar lokasi peternakan tempat percobaan dilaksanakan selama musim hujan dan
dikeringkan.
25
Gambar 5 Proses penyiapan putak dari batang pohon gewang hingga menjadi
putak cacah
c.Pembuatan Bubuk Inokulum.
26
Kultur T. reesei
Kultur A. niger
27
Peubah yang dikaji adalah kadar komposisi nutrien substrat (Proksimat) dan
protein murni
sebagai hijauan tunggal. Ternak yang digunakan adalah 20 ekor kambing kacang
(lokal) jantan periode pertumbuhan berumur antara 7 10 bulan. Semua petak
kandang yang digunakan dilengkapi dengan harness untuk koleksi feses dan urin.
Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan
28
4 ulangan. Perlakuan terdiri dari 5 macam ransum dengan tingkat penggunaan
putak fermentasi (PF) yang berbeda yaitu, R0, R1, R2, R3 dan R4. Sebelum
pelaksanaan penelitian semua ternak diberi obat cacing dan vitamin. Ransum
perlakuan terdiri dari :
R0
R1
R2
R3
R4
29
media 4 cm, kemudian diinkubasi selama dua (2) hari, pada hari ketiga dicampur
lagi dengan 15 g kultur A. niger selanjutnya diinkubasi lagi selama 2 hari.
Setelah masa inkubasi selesai putak fermentasi dikukus 15 menit untuk
menghentikan proses fermentasi selanjutnya dijemur matahari selama 2 hari
kemudian digiling untuk dicampur dalam ransum.
Tabel 1. Komposisi bahan makanan konsentrat percobaan
Bahan (%)
Dedak padi
Jagung kuning
Putak tanpa olah
Putak fermentasi
Daun gamal kering
Bungkil kelapa
Jumlah
Vitamin
R0
15.19
17
10
0
16.16
41.66
100
2
R1
36.44
14
0
10
6.45
33.11
100
2
R2
41.97
11
0
20
4.45
22.57
100
2
R3
47.51
8
0
30
2.45
12.04
100
2
R4
53.04
5
0
40
0.46
1.5
100
2
R0
88.76
81.35
17.38
11.24
8.67
7.41
4228
88.7
17
75
R1
88.84
80.43
17.73
11.16
9.28
8.41
4041
88.4
17
75
R2
89.74
81.05
17.21
10.26
9.08
8.69
4043
89
17
75
R3
88.12
81.47
17.11
9.88
8.81
8.65
3847
89.5
17
75
R4
89.45
82.74
17.05
8.55
9.61
8.71
3601
90
17
75
Pengukuran Peubah
Fermentasi in vitro
Teknik fermentasi in vitro yang digunakan adalah metode batch culture
(GLP 1966). Sebanyak 3 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi
kemudian ditambahkan 24 ml cairan inokulum dari rumen kambing dengan
menggunakan stomach tube dan 36 ml larutan penyangga McDougall lalu dikocok
yang sebelumnya dijenuhkan dengan CO2 agar pH berkisar antara 6.8 - 6.9.
Sebelum difermentasi isi fermentor juga dialiri CO2 agar terjadi suasana anaerob
dan kemudian fermentor ditutup rapat dengan tutup karet berventilasi. Selanjutnya
diinkubasi dalam shaker bath pada temperatur 40oC. Proses fermentasi dihentikan
30
dengan menggunaan 0.2 ml HgCl2 jenuh, kemudian sampel cairan rumen tersebut
diambil untuk dianalisis konsentrasi VFA dan NH3.
Pengukuran Asam Lemak Terbang (VFA) Total
Penentuan kadar VFA dengan cara penyulingan sesuai General Laboratory
Procedure (1966). Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung
khusus dan ditambahkan 1 ml H2SO4 15% lalu ditutup. Tabung dihubungkan
dengan labu pendingin tegak dan labu yang berisi air dan dipanaskan. Hasil
distilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N. Proses
distilasi berakhir bila distilat yang ditampung mencapai volume 300 ml, kemudian
ditambahkan 1 2 tetes indikator penopthalien dan dititer dengan HCl 0.5 N
hingga warnanya berubah dari merah jambu menjadi bening. VFA Total dihitung
dengan rumus :
VFA = { ( a b ) x N HCl x 1000/5 mM }
Dimana :
a = ml HCl yang diperlukan untuk titrasi blanko ( 5 ml NaOH)
b = ml HCl yang diperlukan unutk titrasi hasil distilasi
Pengukuran VFA partial ditentukan dengan metode gas kromatografi.
acid
(C6H3(OH)SO3H2H2O)
lalu
dikocok,
selanjutnya
disentrifus 3000 rpm selama 10 menit pada suhu 4oC lalu disaring dengan milipori
untuk memperoleh cairan jernih. Cairan ini kemudian diinjeksi sebanyak 1 ml ke
gas kromatograph. Sebelum injeksi terlebih dahulu diinjeksikan larutan standar
VFA. Kondisi alat : kolom (packing 10% sp-1200/1% H3PO4, 80/100 mesh
Chromosorb WAW) suhu 105oC, suhu injector 160oC, suhu detector (FID) 200oC,
31
kecepatan grafik 0,5 cm/menit, laju aliran gas N2 30ml/menit, laju aliran gas H2
30 ml/menit dan laju aliran gas O2 300 ml/menit.
Perhitungan konsentrasi VFA sample menggunakan rumus :
C (cM) = Tinggi sampel / tinggi standar x konsentrasi standar
32
Inkubasikan dalam suasana anaerob selama 24 jam. Endapan disaring dengan
kertas saring no. 41. Analisis kadar bahan kering dan organiknya dengan analisis
proksimat (AOAC 1980). Sebagai blanko digunakan cairan rumen tanpa
perlakuan.
Protein Murni
Nilai protein murni dianalisis dengan metode yang dimodifikasi dari
metode Kjeldahl. Untuk mengetahui nilai protein murni dilakukan 2 macam
analisis nitrogen, yaitu: kandungan nitrogen total (Kjeldahl) dan kandungan
nitrogen terlarut, yaitu menentukan kandungan nitrogen yang terlarut dalam air,
untuk mengetahui nitrogen non-protein yang mungkin berasal dari nitrogen
anorganik yang tidak dimanfaatkan selama proses fermentasi. Protein sejati
(murni) diperoleh dengan cara mengurangi protein kasar dengan protein terlarut.
Percobaan in vivo
Konsumsi Nutrien
Konsumsi nutrien diperoleh dengan menimbang pakan yang diberikan
dikalikan dengan kandungan nutrien (BK, BO, PK) kemudian dikurangi sisa
pakan dikalikan dengan kandungan nutrien sisa pakan tersebut.
33
Kecernaan Nutrien
Kecernaan ditentukan dengan mengurangi nutrien yang dikonsumsi
dengan yang terdapat dalam feses dengan analisa proksimat, sedang energi diukur
dengan Bomb kalorimeter. Feses dikoleksi total selama 24 jam selama 10 hari,
diambil 5% sampel, dikeringkan dan dikomposit untuk analisis nutrien.
Kecernaan ransum/nutrisi ( metode koleksi total)
KC = I F / I x 100%
Dimana : Nutrien = BO, BK, Protein kasar, lemak kasar serat kasar
I
= Jumlah nutrien yang dikonsumsi
F
= Jumlah nutrien yang terbuang dalam feses
Analisis Data
Semua data yang diperoleh diolah dan dianalisa keragaman
menggunakan
ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncans Multiple Random Tests =
DMRT) menurut petunjuk Gasperz (1991) serta Mattjik dan Sumertajaya (2006).
Data dalam tabel disajikan dalam nilai rataan dan standar deviasi.
35
36
kapang yang tumbuh sama dengan jumlah yang mati. Menurut Fardiaz (1988)
bahwa fase stasioner terjadi karena nutrien dalam medium sudah sangat berkurang
juga karena terjadi akumulasi metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan.
Alexopolous et al. (1997) menyatakan bahwa awal pembentukan spora
mengisyaratkan proses metabolisme kapang menjadi minimal serta produksi
enzim juga mulai berhenti. Sporulasi merupakan respon kapang terhadap kondisi
lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan yang dapat disebabkan oleh
kekurangan nutrien, perubahan suhu, pH dan faktor lainnya. Dengan demikian,
dapat dikemukakan bahwa pada medium seperti putak, waktu inkubasi tiga hari
merupakan waktu yang optimum bagi proses fermentasi oleh A.niger, dan empat
hari pada T.reesei.
Protein Kasar
Kadar protein kasar (PK) putak pada level kultur A3 (3.6 x 107 per gram)
adalah 19.81% nyata lebih tinggi (P0.05) dibandingkan level A1 (1.2 x 107) dan
A2 (2.4 x 107 ) masing-masing 16.36 dan 17.67% tetapi tidak beda dengan level
A4 (4.8 x 107) yaitu 19.52% pada lama inkubasi yang sama maupun semua
perlakuan lama inkubasi. Pada level kultur rendah lama inkubasi nyata
mempengaruhi kadar protein substrat, karena masih terjadi kenaikan kadar protein
37
hingga inkubasi hari keempat dan nyata lebih tinggi dibanding dua dan tiga hari
inkubasi. Hal ini mungkin disebabkan masa adaptasi yang lebih lama pada level
kultur rendah seperti dikemukakan oleh Fardiaz (1988) bahwa jumlah awal sel
yang semakin tinggi akan mempercepat masa adaptasi, disamping itu pemanfaatan
nutrien yang tersedia dalam substrat juga rendah akibat kepadatan kultur yang
longgar.
Tabel 3 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh A. niger
dengan level kultur dan lama inkubasi yang berbeda
Level A.niger ( %)
2.4x107 cfu/g
Lama
Inkubasi
(hari)
(W)
0
PK
14.17
PM
3.25
SK
9.70
BK
91.05
BO
84.11
0.5 (A1)
2
3
4
15.47a
16.36a
17.15a
7.86a
9.28a
9.92a
7.49a
10.79c
9.46a
93.56 b
93.68 c
92.19 b
87.23 b
87.0 b
85.52 d
1.0 (A2)
2
3
4
16.70 b
17.67b
18.18b
9.59b
10.67b
10.64a
8.91b
9.96a
9.39a
93.15 b
92.72 b
91.58 a
86.69 b
86.07 b
84.96 c
1.5 (A3)
2
3
4
17.47c
19.81c
19.73c
9.01b
12.53c
11.18a
11.85d
12.22d
10.00a
92.25 b
92.24 b
91.59 a
85.84 b
85.51 b
84.84 b
2.0 (A4)
2
3
4
18.78d
19.52c
19.16c
9.47b
10.69b
11.25b
9.55c
10.47c
10.52a
91.34 a
90.70 c
90.4 a
84.20 a
83.38 a
82.84 a
(A)
Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(P<0.05) antara lama inkubasi.
Level kultur A3 dengan lama inkubasi tiga hari (W3) menghasilkan protein
kasar terbaik yakni 19.81% dari sebelumnya 2.53%. Oleh karena itu lama
inkubasi dan level kultur ini (A3W3) merupakan perlakuan terbaik dalam
memperbaiki kualitas (PK, PM dan SK) putak. Kandungan pati substrat yang
cukup tinggi turut menunjang terjadinya konversi putak menjadi protein yang
tercermin dari tingginya peningkatan protein putak. Pati mudah dimanfaatkan oleh
kapang,
karena A. niger
merupakan jenis
kapang
yang
juga mampu
38
39
40
Bahan Organik
Kehilangan bahan organik pada proses fermentasi disebabkan bahan
organik dirombak oleh enzim mikroba guna memenuhi kebutuhan energi bagi
pertumbuhan kapang dan akan dihasilkan panas, air dan karbondioksida,
akibatnya terjadi perubahan komposisi bahan.
Data juga memperlihatkan bahwa level kultur dan lama inkubasi yang
makin tinggi menyebabkan kehilangan BK dan BO juga makin banyak. Pada level
kultur A4 dengan lama inkubasi W2, W3, dan W4, berturut-turut adalah 91.34,
90.70 dan 90.41% sedangkan pada level A1, 93.56, 93.68 dan 92.19%. Waktu
inkubasi yang makin panjang akan memberi kesempatan kepada kapang untuk
merombak BO yang tersedia dalam substrat.
Serat Kasar
Perubahan kadar serat kasar sebelum dan sesudah difermentasi
menunjukkan peningkatan khususnya pada level kultur terpilih (A3) yaitu 12.22%
dari sebelumnya 9.7%, dan nyata (P0.05) lebih tinggi dari level rendah A1
(10.79%) atau A2 (9.96%) tetapi sama dengan A4 (10.47%). Hal ini dapat terjadi
41
karena pertumbuhan kapang ikut menyumbangkan serat kasar yang berasal dari
miselium sehingga makin banyak massa sel makin tinggi kadar serat.
Kadar serat substrat yang meningkatt merupakan indikasi adanya
pertumbuhan kapang. Menurut Fardiaz (1988) bahwa kapang adalah organisme
eukariotik yang tumbuh dengan cara perpanjangan hifa. Dikemukakan lebih lanjut
oleh Gandjar et al. (2006) bahwa salah satu komponen penting dinding sel kapang
adalah kitin dan kitosan. Dalam analisis proksimat komponen tersebut terhitung
sebagai serat kasar. Dengan demikian akibat pertumbuhan akan meningkatkan
serat dalam substrat. Selain itu perombakan media untuk memperoleh nutrien bagi
pertumbuhan kapang menyebabkan terjadi perubahan komposisi media karena
terjadi kehilangan komponen non serat selama proses inkubasi. Kehilangan
tersebut menyebabkan komposisi medium secara kseluruhan ikut berubah.
Meski demikian peningkatan serat kasar yang terjadi hanya kecil,
kemungkinan karena serat kasar dalam substrat juga didegradasi oleh kapang
mengingat A.niger merupakan mikrob selulolitik yang juga mampu mendegradasi
serat meski pertumbuhannya sendiri menyumbangkan serat kasar ke dalam
substrat.
Meningkatnya serat kasar putak akibat fermentasi juga dilaporkan oleh
Ginting (2000) yakni dari 12.01 menjadi 12.12%. Perbedaan ini mungkin sebagai
akibat dari perbedaan jenis mikrob yang digunakan. Selanjutnya penelitian
Biyatmoko (2002) menggunakan A.niger menyebabkan kadar serat ampas sagu
meningkat dari 24.18% menjadi 25.95% setelah inkubasi tiga hari. Demikian juga
penelitian Supriyati et al. (1995) pada ampas sagu terjadi peningkatan dari
18.48% menjadi 22.29%. Berbeda dengan hasil-hasil di atas, penelitian Suryahadi
dan Amrullah (1989) menggunakan kapang A.niger dapat menurunkan kadar serat
kasar onggok dari 14.24% menjadi 13.72%.
Protein Kasar
Secara umum A.niger maupun T.reesei mempunyai kecenderungan yang
sama dalam hal kemampuan memperbaiki kualitas substrat. Kadar protein kasar
42
putak pada level kultur T2 (1.485 x 106) dengan lama inkubasi empat hari (W4)
sebesar 20.60%, nyata lebih tinggi (P0.05) dari level T1 (0.99 x 106) dan T3
(1.98 x106) masing-masing 17.40 dan 20.53%. Nilai tersebut lebih tinggi dari
yang dilaporkan Suhartati et al. (2003) menggunakan T.reesei pada fermentasi
pod coklat mampu meningkatkan kadar protein kasar dari 5.53% menjadi 6.5%,
juga Jaelani (2007) pada fermentasi bungkil inti sawit dapat meningkatkan kadar
protein kasar dari 16.5% menjadi 24.37%. Demikian halnya dengan Noviati
(2002) yang menggunakan T.harzianum juga mampu meningkatkan protein kasar
ampas tahu dari 24.57% menjadi 32.83% setelah diinkubasi enam hari. Perbedaan
tersebut mungkin disebabkan jenis dan komposisi substrat yang digunakan.
Gambar 8 Putak fermentasi T.reesei pada umur 2 hari (kiri) dan 4 hari (kanan)
43
Lama
Inkubasi
(hari)
W
0
PK
14.17
PM
3.25
SK
9.70
BK
91.05
BO
84.11
5.0 (T1)
2
3
4
15.60a
16.45a
17.40a
4.95a
5.82a
7.32a
7.14a
8.32b
6.61a
95.22 b
95.62 b
94.61 c
90.62 c
90.54 a
87.95 c
7.5 (T2)
2
3
4
17.74b
19.52b
20.60b
7.83b
11.32c
13.25b
8.03b
8.60c
9.08b
93.60 a
92.77 a
92.63 b
88.87 b
86.25 a
85.78 b
10.0 (T3)
2
3
4
19.29c
20.44c
20.33b
10.60c
11.04c
12.09b
7.05a
7.93a
10.57c
93.86 a
92.87 a
90.79 a
87.49 a
86.17 a
83.26 a
Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan interaksi
(P<0.05) antar perlakuan
nyata
44
disamping protein massa sel yang disumbangkan pada medium juga dihasilkan
protein ekstraseluler dari enzim.
Protein Murni
Peningkatan kandungan protein kasar sejalan dengan peningkatan protein
murni. Hal tersebut disebabkan kapang dapat memanfaatkan sumber-sumber
nutrien yang tersedia dalam substrat bagi pertumbuhannya. Dikemukakan oleh
Rahman (1992) bahwa akibat pertumbuhan mikrob dalam substrat kadar protein
substrat meningkat.
Kadar PM terbaik 13.25%, diperoleh dari level kultur yang sama dengan
protein kasar yakni T2 dan W4 dan nyata lebih tinggi bila dibanding T1W4 (7.32%)
atau T3W4 (12.09%). Hal ini menunjukkan proses konversi pati menjadi protein
sel kapang juga terjadi dengan baik pada T.reesei. Menurut Valdivia et al. (1983)
bahwa penggunaan bahan berpati dalam menghasilkan protein sel tunggal
merupakan pilihan yang tepat karena pati mudah digunakan oleh banyak mikrob.
Proses sterilisasi medium dengan cara dikukus turut menunjang
ketersediaan substrat sebagai sumber nutrien bagi mikrob yang ditumbuhkan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Isaac dan Jennings (1995) bahwa efisiensi
penggunaan sumber karbon seperti karbohidrat dalam fermentasi dapat bertambah
bila dilakukan pemanasan. Pemanasan dapat mengubah bentuk fisik bahan padat
dan kering menjadi lebih lunak serta meningkatkan kadar air bahan. Disamping
itu pemanasan juga mengakibatkan terjadi gelatinisasi terutama pada karbohidrat
dan menyebabkan pati menjadi lebih mudah dihidrolisis sehingga proses
pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan menjadi lebih baik.
Serat Kasar
Fermentasi putak dengan T.reesei pada level terpilih (T2W4) menyebabkan
penurunan kadar serat kasar substrat yakni 9.70% sebelum difermentasi menjadi
9.08% setelah difermentasi. Hal ini berbeda dengan kapang A.niger yang kadar
serat kasar substrat lebih tinggi setelah difermentasikan. Secara keseluruhan kadar
serat kasar hasil fermentasi dengan T.reesei lebih rendah daripada dengan A.niger.
45
selulosa
menjadi
selobiosa.
Seperti
dikemukakan
bahwa
46
47
Sebaliknya dengan kombinasi kultur tinggi (T2 dan A3 atau A4) peningkatan
kadar kedua unsur di atas lebih baik yakni berkisar antara 22.71 23.62% dan
13.39 14.92% masing-masing untuk PK dan PM.
Menurut Fardiaz (1988) bahwa jumlah awal sel yang semakin tinggi akan
mempercepat fase adaptasi, demikian juga semakin tinggi kecepatan pertumbuhan
akan meningkatkan jumlah massa sel. Fenomena ini menggambarkan bahwa
kombinasi level T.reesei dan A.niger yang sesuai pada fermentasi campuran
menggunakan putak sebagai substrat perlu dipertimbangkan agar efek sinergisme
dalam proses fermentasi menjadi lebih bermanfaat.
Tabel 5 Komposisi nutrien putak fermentasi campuran A.niger dan T.reesei
dengan lama penundaan pencampuran 2 hari (D2)
Kombinasi
0
T1A1
T2A1
T3A1
T1A2
T2A2
T3A2
T1A3
T2A3
T3A3
T1A4
T2A4
T3A4
Lama
delay
(hari)
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Peubah (% BK)
BK
91.05
92.52 0.26
91.56 0.74
92.42 0.06
92.40 0.07
91.47 0.45
91.17 0.03
91.83 0.02
90.78 0.13
90.30 0.07
92.55 0.23
91.29 0.09
90.58 0.11
BO
84.11
84.94 0.25
83.91 0.72
84.06 0.03
84.65 0.02
82.62 0.35
82.11 0.02
84.46 0.03
82.90 0.22
82.04 0.09
84.61 0.22
83.13 0.05
81.72 0.05
PK
14.17
18.610.48
18.012.61
19.200.32
18.810.26
22.410.15
21.720.13
19.090.35
23.620.27
22.210.15
19.310.28
22.710.06
19.540.07
PM
3.25
11.79 0.47
13.01 0.17
11.94 0.51
10.02 0.74
11.88 0.13
14.58 0.12
12.59 0.63
14.92 0.27
12.89 0.16
13.10 0.28
13.39 0.05
13.28 0.12
SK
9.70
9.19 0.03
9.54 0.05
10.26 0.01
9.56 0.02
9.08 0.03
9.70 0.02
9.4 0.00
10.17 0.01
10.06 0.05
9.06 0.00
10.24 0.07
9.07 0.02
48
pada kombinasi ini yang terbaik dari kombinasi-kombinasi lainnya. Diduga bahwa
kombinasi level tersebut adalah optimum dalam memanfaatkan sumber-sumber
nutrien yang ada, disamping itu tidak terjadi akumulasi metabolit yang dapat
mengganggu aktifitas masing-masing mikrob di dalam medium karena metabolit
tersebut digunakan oleh mikroba lainnya yang hidup bersama dalam medium.
23.62
25
14.17
15
12.22
9.24
10
5
20.6
19.81
20
9.7
13.25
9.08
14.92
10.17
12.53
2.5
PK
PM
SK
3.25
0
Awal
Tanpa
Kultur
An
Tr
An+Tr
49
kombinasi level tersebut juga yang terbaik dalam kultur campuran (T2A3).
Moo-Young (1983) mengemukakan bahwa tekanan O2 (pO2) meningkat dapat
menstimulir produksi enzim amilase. Artinya bahwa kebutuhan oksigen kapang
cukup, sehingga proses metabolisme pati dalam substrat menjadi glukosa dapat
berjalan baik guna menunjang pertumbuhan kapang yang lebih baik. Hommel
(1993) mengemukakan bahwa glukosa merupakan sumber karbon dan energi
utama bagi sebagian besar mikrob.
Perlakuan sterilisasi terhadap substrat bukan hanya untuk membunuh
mikrob lain yang tidak diinginkan tetapi juga ikut menyebabkan longgarnya
ikatan partikel pati sehingga lebih mudah diinvasi oleh enzim ekstraseluler kapang
terutama dalam pertumbuhan awal. Menurut Sofyan (1989) bahwa apabila
suspensi pati dipanaskan hingga 65oC atau lebih maka akan terjadi pengembangan
serta penguraian granula pati sehingga akan lebih mudah dicerna.
Akibat perlakuan yang dikenakan serta sinergisme yang terjalin di antara
kapang dalam substrat menyebabkan mikrob cukup mendapatkan nutrien bagi
pertumbuhan dan dapat dilihat dari kualitas putak yang dihasilkan pada fermentasi
campuran lebih baik ditinjau dari peningkatan kadar PK dan PM serta penurunan
kadar SK. Fermentasi medium padat didasarkan pada pembentukan ekosistim
untuk pertumbuhan mikrob yang diinokulasikan. Sifat porositas medium
merupakan faktor yang penting dalam menunjang pertumbuhan mikrob yang
ditambahkan. Medium dengan porositas yang baik dapat memungkinkan penetrasi
udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan dapat terjadi di seluruh
bagian medium. Hal di atas diduga dari jumlah dan komposisi nutrien medium
yang sama dengan kultur tunggal, meskipun kepadatan kultur meningkat ternyata
dapat memberikan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan mikrob tersebut.
Kombinasi kultur yang lebih tinggi seperti T3A4 mempengaruhi
pertumbuhan kapang akibat ketidak seimbangan antara faktor nutrisi dan jumlah
sel dalam medium. Efek sinergisme antar kultur juga mungkin kurang bermanfaat
karena kepadatan kultur yang tinggi dan tidak diimbangi dengan ketersediaan
nutrien sehingga terjadi persaingan dalam memanfaatkan sumber nutrisi yang
tersedia, akibatnya pertumbuhan kapang menjadi terhambat. Dengan demikian
50
dapat dikatakan bahwa, pada fermentasi campuran, kombinasi jumlah kultur yang
sesuai menyebabkan penggunaan substrat menjadi produk lebih efisien.
Faktor nutrisi biasanya merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan
mikrob terutama pada medium padat. Kultur campuran memungkinkan
penggunaan substrat yang bervariasi dalam hal komposisi bahan sehingga kapang
selulolitik tidak hanya menggunakan selulosa saja tapi bisa juga pati. Oleh karena
itu kapang amilolitik seperti A.niger bersama selulolitik seperti T.reesei dapat
menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dalam waktu yang singkat seperti hasil
percobaan ini.
Gambar 10 menggambarkan tahapan perubahan substrat (putak) sebelum
dan sesudah fermentasi secara tunggal oleh T.reesei (Tr) atau A.niger (An) serta
dalam kultur campuran T.reesei dan A.niger (Tr+An). Data memperlihatkan
perubahan kualitas substrat yang cukup signifikan akibat fermentasi baik pada
kultur tunggal maupun campuran. Sebagaimana dikemukakan oleh Winarno
(1992) bahwa substrat hasil fermentasi lebih baik dari substrat sebelumnya.
adanya aktifitas mikrob rumen. Tingginya angka tersebut memberi indikasi bahwa
produk dapat memberikan pengaruh baik terhadap aktifitas mikroba rumen.
Angka kecernaan bahan kering maupun organik putak dalam percobaan ini lebih
tinggi dibandingkan produk gabungan urea-putak dalam penelitian yang dilakukan
Wie Lawa (1996) yakni sebesar 73.09% dan 62.03% masing-masing untuk
kecernaan bahan kering dan organik bila produk dimasak selama 2 jam dan
ditambahkan urea 4% BK. Perbedaan ini membuktikan peran kapang pada proses
fermentasi dalam mengkonversi substrat menjadi komponen nutrisi yang lebih
sederhana dan mudah dicerna.
51
52
dengan produksi VFA dan sintesa protein mikrob, dengan demikian tingginya
kadar VFA pakan menggambarkan potensinya untuk mengubah amonia menjadi
protein mikrob. Fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan VFA sebagai
produk utama guna menyediakan energi dan karbon bagi pertumbuhan dan
mempertahankan komunitas mikrob.
T1A1
T2A1
T3A1
T1A2
T2A2
T3A2
T1A3
T2A3
T3A3
T1A4
T2A4
T3A4
Lama
delay
(hari)
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Peubah
KcBK (%)
82.96 0.11
88.73 1.29
89.25 0.41
89.15 0.24
89.92 0.83
84.44 0.36
84.43 0.12
84.89 0.74
87.47 0.03
86.15 0.56
88.36 0.34
84.66 0.03
KcBO (%)
82.19 0.13
89.20 1.2
89.73 0.82
88.93 0.11
89.74 0.13
84.21 0.57
83.89 0.32
80.12 0.07
87.62 0.17
84.98 0.13
88.72 0.14
80.72 0.04
N-NH3 (mM)
14.94 0.18
16.14 0.4
16.4 0.48
15.53 0.39
16.95 0.89
18.46 0.11
15.87 0.39
19.04 0.09
18.51 0.28
16.69 0.17
18.65 0.45
19.09 0.59
Sebaliknya kadar NH3 14.9 19.0 mM lebih tinggi dari yang disarankan
Sutardi (1979) yakni 4 12 mM. Kadar amonia yang cukup tinggi ini mungkin
disebabkan tingginya kandungan sumber nitrogen bukan protein yang masih
tersisa dalam putak disamping kadar protein putak akibat fermentasi, sehingga
perombakannya dalam rumen menghasilkan amonia yang tinggi. Kemungkinan
lainnya adalah karena pada pengukuran in vitro, sebagaimana hasil ini diperoleh,
proses fermentasi berlangsung dalam tabung sehingga aktifitas penyerapan hanya
terbatas pada penggunaannya oleh mikroorganisme dan tidak ada yang terserap
melalui dinding rumen atau terbuang lewat urine, sehingga amonia yang terbentuk
terakumulasi dan cenderung meningkat. Menurut Sutardi (1979) bahwa dalam
merombak protein, mikrob rumen tidak mengenal batas karena produksi akan
terus terjadi meskipun kadarnya dalam rumen sudah cukup tinggi.
Tingginya konsentrasi amonia di atas mencerminkan kecepatan produksi
pencernaan nitrogen asal putak yang juga menunjukkan tingginya fermentabilitas
53
suatu
pakan
diukur
dari
kemampuannya
dalam
menghasilkan VFA yang ditunjang oleh ketersediaan NH3 yang cukup dalam
rumen. Menurut Suryahadi dan Amrullah (1984) bahwa sebagian besar mikroba
rumen menggunakan ammonia (NH3) untuk prolifikasi terutama untuk sintesa
protein tubuhnya. Sedangkan ketersediaan karbohidrat asal pakan akan dihidrolisa
menjadi VFA sebagai sumber energi. Hal tersebut menunjukkann hubungan
antara kedua unsur ini dalam menunjang pertumbuhan yang optimum bagi mikrob
rumen.
Hasil terbaik pada percobaan II yakni putak hasil fermentasi campuran
T.reesei dan A.niger yakni kombinasi T2A3 selanjutnya digunakan dalam uji
biologis dengan menggunakan ternak kambing jantan lokal sebagai ternak coba.
54
R2 tetapi tidak beda dengan R3. Hasil penelitian Bamualim et al. (1993) pada
sapi Bali Timor yang diberi jerami padi dan suplemen putak ditambah urea
menyebabkan berkurangnya konsumsi jerami dari 2.16 menjadi 1.87kg/e/h,
demikian halnya pada ternak kambing dari 215 menjadi 190 g/e/h (Kana Hau
et al. (1993). Hal ini menggambarkan kemampuan putak terfermentasi (PF) bukan
hanya sebatas menyediakan nitrogen dan sumber karbon yang dibutuhkan
ekosistem rumen tetapi mungkin prekusor nutrien lainnya seperti asam amino dan
vitamin sehingga kondisi rumen menjadi lebih kondusif dalam memacu
pertumbuhan mikrob rumen sebagaimana pernyataan McAllan dan Smith (1983)
serta Wallace et al. (2001) bahwa meskipun mikroba selulolitik dikenal mampu
menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen utama, protein (true protein)
dalam ransum lebih baik dibanding urea dalam memacu perumbuhan mikrob.
Meningkatnya pertumbuhan mikrob rumen akan diikuti oleh meningkatnya
kecernaan pakan serta pergerakan makanan dalam saluran pencernaan menjadi
lebih cepat dan pada akhirnya ternak akan terangsang untuk mengkonsumsi
ransum. Leng (1991) mengemukakan bahwa tingkat konsumsi sangat dipengaruhi
oleh koefisien cerna, kualitas ransum, fermentasi dalam rumen serta status
fisiologis ternak.
Perbedaan konsumsi pakan basal pada percobaan ini menyebabkan
perbedaan konsumsi ransum serta nutrien lainnya karena konsentrat diberikan
dalam jumlah yang sama pada seluruh ternak perlakuan.
Tabel 8 memperlihatkan rataan konsumsi ransum dan nutrien (bahan
kering, bahan organik dan protein), yang ditampilkan berdasarkan konsumsi nyata
(as fed) serta berdasarkan bobot metabolis. Terlihat bahwa perlakuan
mempengaruhi konsumsi bahan kering dan bahan organik serta nutrien lainnya,
karena meningkatnya penggunaan PF mengakibatkan peningkatan konsumsi
nutrien baik secara as fed maupun bobot metabolis.
jumlah konsumsi bahan kering per ekor per hari berkisar antara 408.04 g (R0)
55
463.13 g (R4). Jumlah konsumsi R3 dan R4 nyata (P<0.05) lebih tinggi dari
perlakuan R0, R1 dan R2, demikian halnya dengan konsumsi bahan organik.
Konsumsi bahan kering ransum pada percobaan ini masih lebih tinggi daripada
yang dilaporkan Gushairiyanto (2004) yang berkisar antara 353.52 - 430.84 g
pada kambing kacang yang diberi 30% kulit umbi ketela pohon yang difermentasi
dengan A.niger tetapi lebih rendah dari hasil penelitian Uhi (2005) yakni 533.23 572.98 g pada domba yang diberi 30% suplemen katalitik gelatin sagu sebagai
sumber protein
PERLAKUAN
R1
R0
R2
R3
R4
455.697.99a
461.607.37a
476.153.38b
498.10 3.06c
510.756.83 c
Kons Jerami
163.801.8 a
168.349.35 a
187.028.04b
214.1914.04c
218.5919.18 c
Kons. BK
408.04 7.08a
411.133.69 a
425.923.5b
457.02 .85c
463.13 3.87 d
Kons. BO
326.885.4 a
329.352.8a
342.44 1.46b
368.71 4.87c
374.022.44d
Kons. PK
49.69 0.24 a
50.58 0.49b
50.65 0.43b
51.41 0.22c
51.80 0.13d
Kons. SK
53.761.38a
56.270.85 b
58.770.16 c
64.93 1.47d
67.530.73e
57.62.5a
59.434.5a
58.331.9a
61.97 5.5 ab
63.281.5b
Kons Jerami
20.671.0 a
21.712.5 a
22.941.8ab
26.581.1bc
27.031.6 c
Kons. BK
51.582.33a
52.933.89 b
52.202.40b
56.79 .1.82c
57.40 2.25c
Kons. BO
42.582.02a
43.683.06a
43.19 1.82b
47.07 1.86c
47.61.43d
Kons. PK
6.280.35a
6.51 0.50a
6.21 0.23a
6.39 0.29 ab
6.42 0.20b
Kons. SK
6.790.27a
7.240.56 b
7.200.28 b
8.07 0.24b
8.370.33c
Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam
konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak
terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat
2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)
antara perlakuan
56
untuk
menunjang pertumbuhan
mikrob
rumen
yang optimum.
sebagaimana yang dkemukakan oleh Sutardi (1979) yakni kisaran VFA 80 160
mM dan konsentrasi NH3 berkisar antara 4.00 12.00 mM. Hasil penelitian lain
seperti yang dilaporkan Mehrez et al. (1977) bahwa untuk memaksimumkan laju
fermentasi diperlukan konsentrasi amonia yang lebih tinggi yakni 16.78 mM.
Sedangkan Leng (1991) berpendapat bahwa kebutuhan amonia sangat bergantung
kepada jenis pakan. Konsentrasi amonia yang lebih tinggi diperlukan bila ternak
mendapatkan pakan dengan kecernaan rendah seperti jerami padi.
Kecernaan Nutrien
Unsur-unsur nutrien yang terdapat dalam ransum tidak seluruhnya dapat
dicerna, diserap dan digunakan oleh ternak sehingga ada yang dikeluarkan melalui
feses dan. urine. Rataan kecernaan nutrien ransum perlakuan disajikan pada
Tabel 9.
57
PEUBAH
R3
R4
Bahan Kering
Nilai rataan kecernaan bahan kering adalah 63.89% pada perlakuan tanpa
putak terfermentasi dan tertinggi 72.75% pada perlakuan dengan kadar 40% putak
terfermentasi. Kisaran nilai tersebut berada di atas nilai kecernaan yang dianggap
cukup baik untuk ruminansia menurut Djajanegara (1983) yaitu sekitar 50 55%.
Nilai ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Kana Hau et al. (1993) yang berkisar
antara 45. hingga 67.4% masing-masing pada ternak kambing yang diberi jerami
padi saja serta jerami padi ditambah suplemen putak dan urea. Juga lebih tinggi
dari kambing yang diberi ransum dengan 10% kulit umbi ketela pohon hasil
fermentasi dengan A.niger yakni 62.56 69. 61% (Gushairiyanto 2004).
Tampak dari Tabel 9, pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan
bahan kering dimana ransum dengan kadar 30 dan 40% putak fermentasi berbeda
nyata (P<0.05) dari perlakuan 0, 10 dan 20%. Hal ini mengindikasikan bahwa
penggunaan
putak
terfermentasi
yang
makin
tinggi
dalam
konsentrat
mikrob
meningkat
berarti
populasinya
meningkat
karena
58
pertumbuhannya dipacu oleh NH3 dan VFA yang disediakan oleh putak
terfermentasi, akibatnya enzim pencerna nutrien yang dihasilkan juga menjadi
lebih banyak dalam mencerna komponen nutrisi yang ada.
Bahan Organik
Tabel 9 memperlihatkan rataan kecernaan bahan organik akibat perlakuan
yaitu terrendah pada R0 (70.96%) seterusnya hingga tertinggi pada R4 (77.12%).
Nilai ini lebih tinggi dari kecernaan bahan organik pada kambing yang diberi 10%
kulit umbi ketela pohon dan rumput gajah yakni 67.98% (Gushairiyanto 2004).
Tingginya nilai kecernaan bahan organik menunjukkan bahan organik yang
terdapat dalam putak mengalami degradasi secara sempurna baik dalam rumen
maupun dalam usus, sedang yang tidak tercerna adalah jaringan jerami padi yang
sulit didegradasi akibat kuatnya ikatan ligno-selulosa maupun hemiselulosa. Hasil
ini turut didukung oleh kecernaan bahan kering yang juga makin tinggi sejalan
dengan meningkatnya kadar putak terfermentasi dalam konsentrat.
Protein
Nilai kecernaan protein sejalan dengan kecernaan bahan kering dan bahan
organik yang semakin meningkat dengan bertambahnya kadar putak terfermentasi.
Tabel 9 memperlihatkan bahwa kecernaan protein yang paling rendah adalah
perlakuan tanpa putak terfermentasi (R0) yaitu 67.80% dan yang paling tinggi
adalah R4 yang mengandung 40% putak terfermentasi yakni 76.65%. Artinya
bahwa putak fermentasi mampu merangsang pertumbuhan mikrob proteolitik
rumen yang merombak komponen protein pakan.
Pemanasan merupakan salah satu cara guna melindungi protein berkualitas
tinggi dari degradasi rumen tetapi tetap dapat dicerna dalam usus halus. Guna
menghentikan proses fermentasi pada putak sebelum digunakan sebagai bahan
pakan,
maka
dilakukan
pengukusan.
Perlakuan
tersebut
kemungkinan
59
fermentasi mampu memasok protein pasca rumen yang juga tinggi karena protein
murni putak hasil fermentasi mampu dicerna oleh enzim pepsin dan pancreas
sebagaimana dikemukakan oleh Huang dan Kinsella (2005) bahwa protein asal
kapang memiliki tingkat kecernaan yang tinggi dalam usus halus. Selanjutnya
Spark et al. (2006) menyatakan bahwa protein kapang memiliki kualitas yang
tinggi yang dapat dibuktikan dengan tingkat kecernaan N serta Retensi N yang
juga tinggi. Pernyataan di atas terbukti dari nilai retensi N (Tabel 9) yang juga
terus meningkat sejalan dengan bertambahnya penggunaan putak fermentasi
dalam ransum.
Hasil ini lebih baik dari yang dilaporkan oleh Uhi (2005) yakni 43.13%
pada domba yang diberi 20% suplemen katalitik gelatin sagu dan NPN dengan
ransum dasar rumput kualitas rendah, juga 61.29% pada kambing yang diberi
kulit umbi ketela pohon hasil fermentasi A.niger (Gushairiyanto 2004).
Serat Kasar
Sebagaimana nilai kecernaan nutrien sebelumnya yang semakin baik
bersamaan dengan bertambahnya putak terfermentasi (PF), kecernaan serat juga
menunjukkan hal serupa yaitu nilai terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah
pada perlakuan tanpa putak terfermentasi R0 (PF 0%), R1 (PF 10%), R2 (PF 20%),
R3(PF 30%), dan R4 (PF 40%), yaitu 38.8, 39.75, 45.34, 52.20, dan 60.31% dan
secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05), dimana peningkatan
level PF diikuti meningkatnya kecernaan serat ransum.
Hasil percobaan sebelumnya (Tahap I dan II) menunjukkan kadar protein
kasar dan murni PF cukup tinggi. Protein tersebut diduga merupakan sumber asam
amino di antaranya valin, iso-leusin dan leusin. Ketiga asam amino tersebut dalam
rumen akan mengalami dekarboksilasi dan deaminasi menjadi asam lemak rantai
cabang yaitu isobutirat, 2-metilbutirat dan isovalerat, dimana ketiganya sangat
dibutuhkan untuk merangsang pertumbuhan mikroorganisme rumen. Dalam
hubungannya dengan dugaan tersebut, Wallace et al. (2001) menyatakan bahwa
meskipun bakteri selulolitik rumen dapat menggunakan urea sebagai sumber N
guna sintesa protein, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa asam amino
merupakan nutrien yang signifikan dalam merangsang pertumbuhan bakteri
60
Retensi Nitrogen
Perbedaan antara jumlah N yang dikonsumsi dengan N yang dikeluarkan
tubuh melalui feses dan urine merupakan gambaran ketersediaan N dan efisiensi
pemanfaatannya oleh ternak. Data menunjukkan penggunaan PF yang semakin
meningkat dalam ransum mengakibatkan nilai retensi N juga meningkat. Rataan
retensi nitrogen terendah adalah perlakuan R1 (10.22 g/e/h) dan tertinggi adalah
R4 (12.98 g/e/h). Nilai retensi nitrogen pada R3 dan R4 sama dan nyata lebih tinggi
(P<0.05) dibanding R2 serta R1 dan R0. Artinya bahwa pada level pemberian PF
lebih dari 30% menyebabkan retensi nitrogen meningkat yang juga berarti terjadi
deposit protein dalam bentuk daging yang makin tinggi. Tingginya nilai retensi
nitrogen yang diperoleh sejalan dengan tingkat konsumsi dan kecernaan nutrien
yang lebih tinggi sehingga pasokan protein untuk membentuk jaringan lebih tinggi
dan diwujudkan oleh rataan pertambahan bobot yang juga lebih baik pada
perlakuan tersebut. Nilai di atas lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh
Simanihuruk (2005) pada kambing kacang yang diberi ransum mengandung 15%
kulit buah markisa (PK ransum 14.13%) yakni 8.42%, tetapi lebih rendah dari
hasil penelitian Kaunang (2004) pada domba yang diberi pakan hijauan yang
dipupuk belerang yakni 20.13%.
61
pada perlakuan tanpa putak terfermentasi (R0) hingga 54.54 g pada perlakuan
level 40% putak terfermentasi (R4).
Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P0.05)
terhadap pertambahan bobot badan. Hasil tersebut menunjukkan manfaat putak
fermentasi dalam memperbaiki kecernaan nutrien ransum serta menyediakan
nutrien sehingga kebutuhan pertumbuhan ternak terpenuhi, terlihat dari
penggunaan hingga level 40% putak terfermentasi dalam konsentrat masih belum
sampai pada taraf yang mengganggu pertumbuhan dan data kecernaan juga
mendukung hal tersebut.
Meski demikian, bila dicermati dari hasil pertambahan bobot badan ternak
masih tergolong kecil. Hal ini disebabkan kebutuhan bahan kering ternak tidak
terpenuhi. Penyebabnya adalah tidak terpenuhinya konsumsi bahan kering asal
hijauan yakni jerami padi. Komposisi ransum percobaan adalah 60% konsentrat
dan 40% hijauan dengan perhitungan kebutuhan BK/e/h adalah 3% dari bobot
badan. Sebagai pakan jerami padi memiliki kelemahan baik secara kualitas
maupun palatabilitas. Oleh karena sifat jerami yang bulky maka membatasi
kemampuan konsumsi ternak sebagaimana dikemukakan oleh Sutardi (1979)
bahwa kemampuan maksimal ternak dalam mengkonsumsi jerami padi hanya
2.5% dari bobot badan. Data konsumsi pada Tabel 8 memperlihatkan konsumsi
ransum berdasarkan bobot metabolis berkisar 57.6 63.2 g/kg bobot metabolis
lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Devendra dab Burns (1994) yakni
sebanyak 63.4g/kg bobot badan 0.75.
Hasil pertambahan bobot badan yang diperoleh ini lebih tinggi dari
penelitian Gushairiyanto (2004) yang berkisar antara 37.3g pada kambing kacang
yang mendapat ransum yang mengandung 30% kulit umbi ketela pohon
terfermentasi, demikian juga yang dilaporkan oleh Kana Hau et al. (1993) yakni
42 g/e/h pada ternak kambing yang diberi ransum jerami padi dan putak tambah
urea serta penelitian Hilakore et al. (1999) yakni 36 g/e/h dengan pemberian
ransum yang mengandung 20% produk pemasakan putak-urea. Dikemukakan oleh
Devendra dan Burns (1994) bahwa kambing periode tumbuh dengan bobot awal
10 kg, pertambahan bobot badannya yaitu 55 g/e/h, juga NRC (1981) pada ternak
62
PERLAKUAN
R0
R1
R2
R3
R4
63
PERLAKUAN
R0
R1
R2
R3
R4
64
65
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Alexopolous JC, Mins CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. New
York. J Willey and Sons.
Aunstrup K.1979. Production, Isolation and Economic of Extracellulair Enzymes.
Di dalam: Wingart LE, Katzir EK, Godstein, editor. Applied Biochemistry
Bioengineering Enzyms Technology. New York: Academic Press.
Baldwin RL, Allison MJ. 1983. Rumen Metabolism. J Anim Sci 57 Suppl.
2:461-477.
Bamualim A, Kale Taek J, Nulik J,Wirdahayati RB. 1993. Pengaruh suplemen
daun kedondong hutan (Lannea grandis), turi (Sesbania grandiflora),
putak (Corypha gebanga) dan putak campur urea terhadap pertumbuhan
ternak sapi bali di musim kemarau. Publikasi Wilayah Kering 1:1-5
Biyatmoko D. 2002. Penggunaan ampas sagu fermentasi dalam ransum itik alabio
jantan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Buttery PJ.1976. Protein Synthesis in the Rumen: Its Implication in the Feeding of
Non-Protein Nitrogen to Ruminants. Di dalam: Swan H, Broster WH,
editor. Principles of Cattle Production. London: Butterworth
Cheng
Correa GM, Portal L, Moreno P, Tengerdy RP. 1999. Mixed culture solid
substrate fermentation of Trichoderma reesei and Aspergillus niger on
sugar cane bagasse. Bioresource Technology 68:173-178.
Danial M. 1996. Evaluasi potensi hidrolitik enzim selulase dan glukoamilase dari
campuran filtrat kultur Aspergillus niger dan Trichoderma koningii [thesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Devendra C, Burns M. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan
Harya Putra. Bandung: ITB Press
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan 2007. Statistik Peternakan. Jakarta:
Dirjen Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI
Dwidjoseputro D. 1985. Dasar-dasar Mikrobiologi. Malang: CV Djembatan.
Enari TM. 1983. Microbial Cellulase. Di dalam : Fogarty WM, editor. Microbial
Enzymes and Biotechnology. New York: Applied Sci. Publisher.
67
Erwanto. 1995. Optimalisasi sistim fermentasi rumen melalui suplementasi sulfur,
defaunasi, reduksi emisi metan dan stimulasi pertumbuhan mikroba pada
ternak ruminansia [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Fardiaz S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB.
France J, Siddons RC. 1993. Volatile Fatty Acids Productions. Di dalam: Forbes
JM, France J, editor. Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and
Metabolism. CAB International
Frazier WC, Westhoff DC. 1981. Food Microbiology. New York: Tata McGrowHill Publ. Co. Ltd.
Gandjar I, Sjamsuridzal W, Oetari A. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung: CV Armico
Ginting MU. 2000. The influence of fermented putak in pig diets digestibility and
growth performance of weanling pigs [disertasi]. Gottingen/Germany:
Institute of Animal Physiology and Animal Nutrition Georg-AugustUniversity
.
Gong CS, Tsao GT. 1979. Cellulase and Biosynthesis Regulation. Di dalam:
Pearlman D, editor. Animal Report on Fermentation Process. New York:
Academic Press
Gushairiyanto. 2004. Detoksikasi dan fermentasi kulit umbi ketela pohon dengan
kapang Aspergillus niger serta implikasinya terhadap performan kambing
kacang jantan [disertasi]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas
Padjadjaran.
Hartono L. 2002. Perancangan proses dan penggandaan skala produksi
biosurfaktan oleh isolat lokal Bacillus sp. BMN 14 dengan substrat tetes
tebu [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Henning PH, Steyn DG, Meissner HH. 1991. The effect of energy and nitrogen
supply pattern on rumen bacterial growth in vitro. Anim Prod
51:165-175.
Hesseltine C W. 1991. Mixed-Culture Fermentations: An Introduction to Oriental
Food Fermentations. Di dalam : Zeikus JG, Johnson EA, editor. Mixed
Cultures in Biotechnology. New York: McGraw-Hill Inc.
Howard MD, Muntifering RB, Howard MM, Hayek MG. 1992. Effect of time and
level energy supplementation on intake and digestability of low quality tall
fescue hay by sheep. Can J Anim Sci 72:51-60.
68
Huang YT, Kinsella JE. 2006. Effects of phosphorylation on emulsifying and
foaming properties and digestibility of yeast protein. J Food Sci
52:1684-1688
Huber JT, L Kung Jr. 1981. Protein and non protein utilization in dairy cattle.
J Dairy Sci 75:2165-2168
Hvelpund,T. 1991. Volatile fatty acids and protein production in rumen. Di
dalam: Jouany, editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminal
Digestion. Paris INRA
Islam MR, Ishida M, Ando S, Nishida T. 2002. In sittu dry matter and
Phosphorous disappearance of diffrerent feeds for ruminants. Asian-Aust J
Anim Sci 15:793-799
Jaelani A. 2007. Hidrolisis bungkil inti sawit oleh kapang Trichoderma reesei
sebagai pendegradasi polisakarida mannan dan pengaruhnya terhadap
penampilan ayam pedaging [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Juhasz T, Kozma K, Zsolt Szengyel,
Reczey K. 2003. Production of
-glucosidase in mixed culture of Aspergillus niger BKMF 1305 and
Trichoderma reesei RUT C30. Food Technol Biotechnol 41:49-53.
Kana Hau D, Bamualim A, Kale Taek J, Nulik J. 1993. Pengaruh suplemen putak,
putak campur urea dan biji kapas terhadap pertumbuhan ternak kambing
yang diberi jerami padi di musim kemarau. Publikasi Wilayah Kering
1:49-52.
Kaunang ChL. 2004. Respon ruminansia terhadap pemberian hijauan pakan yang
di pupuk air belerang [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Kempton TJ, Nolan JV, Leng RA.1978. Principles for the use non-protein
nitrogen and by-pass protein in diets of ruminant. World Anim Review
12:84-92.
Kompiang IP, Sinurat A, Supriyati. 1995. Pengaruh protein enriched sagu/limbah
sagu terhadap kinerja ayam pedaging [laporan penelitian].
Laskin AI, Heubert AL.1978. Handbook of Food Technology. Wesport: AVI.
Lawa EDW. 1996. Pengaruh lama pemasakan campuran tepung putak (Corypha
gebanga) dengan berbagai level urea terhadap nilai nutrisi in vitro [thesis].
Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran.
Leng RA. 1991. Applications of Biotechnology to Nutrition of Animals in
Developing Countries. Rome: FAO
69
Litchfield JH. 1979. Production of Single-Cell Protein for Use in Food or Feed.
Di dalam : Peppler HJ, Perlman D, editor. Microbial Technology. New
York. Academic Press.
Luginbuhl JM, Poore MH. 2005. Nutrition of Meat Goats. EAH Webmaster,
Department of Animal Science, NCSU. www.ncsu.edu/forage/nutpubs.htm
[12 Sept 2006]
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press
McAllan AB, Smith RH. 1983. Factors influencing the digestion of dietary
carbohydrates between the mouth and abomasums of steers. Br J Nutr
50:445-450
McDonalld P, Edward RA, Greenhalgh JFD. 1988. Animal Nutrition. New York:
Longman Inc.
Mehrez AZ, Orskov ER.1977. A study of the artificial fiber bag technique for
determining the digestibility of feed in the rumen. J Agric Sci Camb
88: 645-650
Mishra BK, Anju A, Lata. 2004. Optimization of a biological process for treating
potato chips industry wastewater using a mixed culture of Aspergillus
foetidus and A. niger. Bioresource Technology. 94:9-12.
Montenecourt BS. 1983. Strain Improvement for the Production of Microbial
Enzymes for Biomass Conversion. Di dalam: Ferranti MP, Fiechter A,
editor. Production and Feeding of Single Cell Protein. London and New
York: Applied Sci Publishers.
Moore E, Landecker. 1982. Fundamentals of Fungi. New Jersey: Prentice Hall
Inc.
Moo-Young M, Moreira AR, Tengerdy RP. 1983. Priciples of Solid-Substrate
Fermentation. Di dalam: Smith JE, Berry DR, Bjorn K, editor. The
Filamentous Fungi. Vol 4 Fungal Technology. London: Edward Arnold
Publs.
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Enzim dalam Industri Pangan. Bogor:
PAU IPB.
Nolan JV. 1993. Nitrogen Kinetics. Di dalam: Forbes JM dan France J, editor.
Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. CAB
International.
70
Noviati A. 2002. Fermentasi Bahan Pakan Limbah Industri Pertanian dengan
Menggunakan Trichoderma harzianum [skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, IPB.
[NRC] Nutrient Requirements of Domestic Animals. 1981 Nutrient Requirements
of Goats.Washington DC National Academy Press.
Nulik J, Fernandez PTh, Bamualim A. 1988. Pemanfaatan dan produksi putak
sebagai sumber energi makanan ternak sapi dan kambing. Laporan
Penelitian Komponen Teknologi Peternakan, Main Base Kupang 1987
1988. Proyek NTASP. BPPP Deptan.
Nurjanah. 2006. Evaluasi nutrisi hijauan lahan gambut Kalimantan Tengah pada
kambing kacang [thesis]. Bogor: Sekolah Pasacsarjana, IPB
Nur YS. 1993. Penggunaan kultur campuran terhadap peningkatan nilai gizi
onggok sebagai pakan broiler. [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB
Pakula TM, Uusitalo J, Saloheimo M, Salonen K, Robert JA, Penttil M. 2000.
Monitoring the kinetics of glycoprotein synthesis snd secretion in the
filamentous fungus Trichoderma reesei: cellobiohydrolase I (CBHI) as a
model protein. Microbiology 146:223-232.
__________, Laxell M, Huuskonen A, Uusitalo J, Saloheimo M, Penttil M
2003. The effects of drugs inhibiting protein secretion in the filamentous
fungus Trichoderma reesei. The Journal of Biological Chemistry
278: 45011-45020.
__________, Salonen K, Uustalo J, Penttil M. 2005. The effect of specific
growth rate on protein synthesis and secretion in the filamentous fungus
Trichoderma resei. Microbiology 151:135-143.
Panda T, Bisaria VS, Ghose TK. 1989. Method to estimate growth of
Trichoderma reesei and Aspergillus wentii in mixed culture on cellulosic
substrates. Appl Environ Microbiol 55:1044-1046.
Pantoja J, Firkins JL, Estridge ML, Hull BL. 1994. Effects of fat saturation and
source of fiber on site of nutrient digestion and milk production by lactating
dairy cows. J Dairy Sci 77:2341-2356.
Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Ratna Siri Hadioetomo,
editor. Terjemahan dari: Element of Microbiology. Bagian Mikrobiologi
Fakultas Pertanian IPB.
Peterson PR. 2005. Forage for goat production. Blacksburg: Dept. Virginia Tech.
University. www.boergoat.htm [12 Sept 2006]
71
Preston TR, Leng RA. 1987. Matching Ruminant Production System with
Available Resources in the Tropics. Armidale: Penambul Books
Puastuti W. 2005. Tolok ukur mutu protein ransum dan relevansinya dengan
retensi nitrogen serta pertumbuhan domba [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, IPB.
Russel JB, Connor JDO, Fox DG, Van Soest PJ, Sniffen CJ. 1992. A net
carbohydrate and protein system for evaluating cattle diets: I. Ruminal
fermentation. J Anim Sci 70:3551-3561
Rachman Ansori. 1992. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor: PAU IPB
Saha BC. 1991. Mixed Cultures in Enzymatic Degradation of Polysaccharides.
Di dalam : Zeikus JG, Johnson EA, editor. Mixed Cultures in
Biotechnology. New York: McGraw-Hill Inc.
Satter LD, Roffler RE. 1981. Influence of Nitrogen and Carbohydrates Inputs on
Rumen
Fermentation. Di dalam: Haresign W, Cole DJA, editor.
Recent Developments in Ruminants Nutrition. London: Butterworth
Senez JC. 1983. Protein Enrichment of Starchy Materials by Solid State
Fermentation. Di dalam: Ferranti MP, Fiechter A, editor. Production and
Feeding of Single Cell Protein. London and New York: Applied Sci
Publishers.
Setiawiharja B. 1984. Fermentasi Media Padat dan Manfaatnya. Jakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
Shurtleff W, Aoyagi A. 1979. The Book of Tempeh : A Super Soy Food from
Indonesia. New York : Harper and Row.
Simanihuruk K. 2005. Pemanfaatan kulit buah markisa (Passiflora edulis Sims f.
edulis Deg) sebagai campuran pakan pelet komplit untuk kambing kacang
[thesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB
Sinurat AP, Purwadaria T, Rosida J, Surachman H, Hamid H, Kompiang IP. 1998.
Pengaruh suhu ruang fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi
produk fermentasi lumpur sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (JITV)
3:225-229.
Sniffen CJ, Robinson PH. 1987. Microbial growth and flow as influenced by
dietary manipulations. J Dairy Sci 70:425-442.
Spark M, Paschertz H, Kamphues J. 2005. Yeast (different sources and level) as
protein source in diets of reared piglets: effects on protein digestibility and
N-metabolism). J Anim Physiology and Anim Nutrition 89:184-188.
72
Suhartati F.M, Suryapratama W, Ning Iriyanti. 2003. Sintesis asam amino
metionin pada Trichoderma reesei dan pengaruhnya terhadap sintesis
protein mikroba rumen. Jurnal Peternakan dan Lingkungan 9:12-16.
Supriyati, Pasaribu T, Hamid H, Sinurat A. 1999. Fermentasi bungkil inti sawit
secara substrat padat menggunakan Aspergillus niger. JTIV 3:165-170
Suryahadi, I K Amrullah. 1989. Pembuatan Ogrea sebagai pakan dari hasil
ikutan tanaman dan pengolahan ubi kayu yang difermentasi dengan
Aspergillus niger [laporan penelitian]. Bogor: DP4M IPB.
Sutardi T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh
mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak.
Pros. Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan. Bogor: LPP IPB
_________. 1995. Peningkatan produksi ternak ruminansia melalui amoniasi
pakan serat bermutu rendah, defaunasi dan suplementasi sumber protein
tahan degradasi dalam rumen [laporan penelitian]. Bogor: DP4M IPB.
Tamminga S, Doreau M. 1991. Lipids and rumen digestion. Di dalam: JP Jouany,
editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminal Digestion. Paris: INRA.
Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S.
1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Torres EF, Cordova LJ, Garcia RM, Gutierrez RM. 1998. Kinetics of growth of
Aspergillus niger during submerged, agar surface and solid state
fermentations process. Biochemistry 33:103-107.
Tsao GT, Lin-Chang Chiang. 1983. Principles of Solid-Substrate Fermentation.
Di dalam: Smith JE, Berry DR, Bjorn K, editor. The Filamentous Fungi.
Vol 4 Fungal Technology. London: Edward Arnold Publs.
Uhi HT. 2005. Suplemen katalitik berbahan dasar gelatin sagu, NPN dan mineral
mikro untuk ruminansia di daerah marjinal [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Valdivia AR, de la Torre M, Campillo CC. 1983. Solid State Fermentation of
Cassava with Rhizopus Oligosporus NRRL 2710. Di dalam: Ferranti MP,
Fiechter A, editor. Production and Feeding of Single Cell Protein. London
and New York: Applied Sci Publishers.
Wallace RJ, Cotta AM. 1997. Metabolism of nitrogen containing compounds.
Di dalam: Hobson PN, Stewart CS, editor. The Rumen Microbial
Ecosystem. London: Blackie Academic & Professional.
73
_________, Newbold CJ, Bequette BJ, MacRae JC, Lobley GE. 2001. Increasing
the flow of protein from ruminal fermentation. Review. Asian-Aust J Anim
Sci 14:885-893.
Wang DTC, Conney CL, Demain AL, Dunnill P, Humpherey AF, Lilly MD.
1979. Fermentation and Enzymes Technology. New York: John Willey and
Sons.
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia