Anda di halaman 1dari 93

PENINGKATAN KUALITAS NUTRITIF PUTAK

MELALUI FERMENTASI CAMPURAN


Trichoderma reesei dan Aspergillus niger
SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA

MARITJE ALEONOR HILAKORE

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI


DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Kualitas Nutritif


Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger
sebagai Pakan Ruminansia adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi
Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2008

Maritje Aleonor Hilakore


NIM D061030171

ABSTRACT
MARITJE A HILAKORE. Improving Putak Nutritive Quality Using Mixed
Culture Trichoderma reesei and Aspergillus niger As Ruminant Feed.
Under the supervisions of SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN, and
DJUMALI MANGUNWIDJAJA

Putak is a local feed in East Timor, East Nusa Tenggara Province. It is obtained
from the pit of palm tree which is called gewang tree (Corypha elata robx). Putak
contains high carbohydrate and fiber but low in protein. The evaluation of putak
potency as a feed source and co-cultured of Trichoderma reesei and Aspergillus
niger as an inoculants to improve the nutritive quality of the putak for use in goats
diets were carried out in a series of 3 experiments. The first experiment was
conducted to determine the inoculum optimum level and incubation time of each
microbe on nutrient composition. Aspergillus niger contained 2.4 x 107 g-1 cfu
with inoculum levels were 0.5, 1.0, 1.5 and 2.0% (w/w), whereas Trichoderma
reesei contained 1.98 x 105 g-1 cfu and 5.0, 7.5, 10% (w/w) inoculum levels.
Incubation time were 2, 3 and 4 days. This study showed that the best content of
crude protein and true protein was at three days incubation and the inoculum level
was 1.5% (w/w) for A.niger, while, T.reesei at four days and 7.5% (w/w)
inoculum. Second experiment conducted to determine delay time to combine both
microbes in mixed culture on nutrient composition and rumen fermentability. The
best result of this study was when A.niger was inoculated two days after T.reesei,
where crude protein and true protein was higher and crude fiber was lower than
monoculture. Level of volatile fatty acids (VFA) and ammonia ( N-NH3) were
suitable to support microbial production. The last experiment to test goats
response to diets containing putak fermentation and fed on rice straw based ration
on daily gain, ration and rice straw consumption, N retention and fiber
digestibility. The result showed that using 40% putak fermentation in goat diets
give the best response to all variables measured.

Key words : Corypha, putak, A.niger, T.reesei, Mixed culture

ABSTRAK

MARITJE ALEONOR HILAKORE. Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui


Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai Pakan
Ruminansia. Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN dan
DJUMALI MANGUNWIDJAJA.

Putak merupakan nama pakan lokal di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara
Timur yang diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata
robx), mengandung pati serta serat kasar tinggi dan protein yang rendah.
Penelitian yang bertujuan guna memperbaiki kualitas putak melalui kultur
campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai pakan kambing
dilaksanakan dalam tiga tahap. Percobaan pertama dilakukan untuk mendapatkan
level kultur serta lama inkubasi optimum dari masing-masing kapang terhadap
perubahan komposisi nutrisi putak. Konsentrasi masing-masing kultur, A.niger
adalah 2.4 x 107 cfu per g dengan level yang dicobakan 0.5, 1.0, 1.5 dan 2.0%
(b/b), sedangkan T.reesei 1.98 x 105 cfu per g dan level 5.0, 7.5 dan 10.0% (b/b).
Lama inkubasi yang dicobakan 2, 3 dan 4 hari. Hasil percobaan menunjukkan
level kultur dan lama inkubasi optimum adalah 1.5% dan 3 hari untuk A.niger
serta level 7.5% dan 4 hari untuk T.reesei berdasarkan peningkatan kadar protein
kasar dan protein murni substrat tertinggi. Percobaan kedua dilakukan untuk
menentukan waktu pencampuran terbaik dari kedua kapang dalam kultur
campuran yang diukur dari kadar nutrien serta fermentabilitas in vitro substrat.
Lama penundaan yang dicobakan adalah 0, 1 dan 2 hari. Berdasarkan peubah
yang diukur maka hasil terbaik dari percobaan ini adalah bilamana A.niger
diinokulasikan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari, dan hasil tahap ini lebih
tinggi dari tahap sebelumnya (kultur tunggal). Percobaan tahap 3 dilakukan untuk
mengkaji respon ternak terhadap pemberian putak fermentasi hasil perlakuan
terbaik percobaan tahap 2, yang diukur dari konsumsi dan kecernaan nutrien,
pertambahan bobot badan harian serta efisiensi penggunaan ransum. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa dengan penggunaan 40% putak fermentasi
dalam konsentrat memberi respon yang positip terhadap konsumsi ransum basal
dan semua peubah dibanding penggunaan 10% putak tanpa olah. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa fermentasi campuran T.reesei dan A.niger dapat
meningkatkan kualitas nutritif putak serta penggunaannya dalam ransum tanpa
memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ternak.

Kata kunci : Corypha, putak, kultur campuran, A.niger, T.reesei

RINGKASAN
MARITJE A HILAKORE. Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui
Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai
Pakan Ruminansia. Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G
WIRYAWAN dan DJUMALI MANGUNWIDJAJA.
Putak adalah nama pakan lokal di Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara
Timur yang diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata
robx). Kandungan pati dan serat kasar yang tinggi tetapi rendah protein
merupakan kendala utama penggunaannya sebagai pakan. Proses pengolahan
biologi melalui fermentasi dapat memberi hasil yang positif terhadap kualitas
bahan. Kapang Trichoderma reesei dan Aspergillus niger secara kultur tunggal
sering digunakan dalam pengolahan pakan karena kemampuannya dalam
degradasi selulosa maupun pati menjadi protein.
Penggunaan kultur campuran dalam fermentasi dapat memberi hasil yang
lebih menguntungkan. Penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya
adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Pada habitat
alaminya, beberapa organisme hidup bersama memiliki hubungan yang dapat
saling merugikan dan juga saling menguntungkan atau tidak saling
mempengaruhi. Kondisi tersebut yang diadopsi dalam penelitian penerapan kultur
campuran (Hesseltine 1991). Potensi T. reesei menghasilkan enzim
selobiohidrolase dan A. niger dalam menghasilkan enzim selobiase yang
bermanfaat dalam degradasi substrat menjadi protein sel untuk meningkatkan
kandungan protein putak yang dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I, Optimasi Proses
Fermentasi Putak secara Tunggal oleh T.reesei atau A.niger, bertujuan mengkaji
kemampuan masing-masing kapang secara tunggal pada level kultur dan lama
inkubasi yang berbeda guna meningkatkan kualitas nutrien putak terutama kadar
protein kasar (PK), protein murni (PM), serta serat kasar (SK). Level kultur yang
dicobakan terdiri dari 4 level A1, A2, A3 dan A4 adalah 0.5, 1.0, 1.5 dan 2.0% (b/b)
untuk A.niger dengan kepadatan koloni per gram adalah 2.4 x 107 sedangkan level
T1, T2, dan T3 masing-masing 5.0, 7.5 dan 10% (b/b) untuk T.reesei dengan
kepadatan koloni 1.98 x 105. Lama inkubasi (W) pada masing-masing kapang
adalah 2, 3, dan 4 hari (W2,W3 dan W4 ). Hasil percobaan menunjukkan, kadar
PK, PM serta SK terbaik diperoleh T.reesei masing-masing adalah 20.60, 13.25
dan 9.08%, pada level kultur T2 (1.48 x 106 ) setelah 4 hari inkubasi, sedangkan
A.niger 19.81, 12.53 dan 12.22%, pada level A3 (0.36 x 108 ) dengan 3 hari lama
inkubasi.
Percobaan tahap II, Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger
dengan Putak sebagai Substrat bertujuan untuk mengkaji kemampuan kedua
kapang secara bersama-sama dalam meningkatkan kualitas kimiawi maupun
fermentabilitas in vitro. Pada tahap ini dicobakan 12 kombinasi level masingmasing kapang tahap sebelumnya dengan penundaan pencampuran 0 (D0), 1 (D1)
dan 2 hari (D2). D0 adalah T.reesei dan A.niger diinokulasikan bersamaan, tanpa
penundaan; D1 adalah pencampuran A.niger dilakukan setelah fermentasi T.reesei
berjalan satu (1) hari; dan adalah pencampuran A.niger dilakukan setelah
fermentasi T.reesei berjalan dua (2) hari. Hasil optimal yang diperoleh untuk PK,

78
PM dan SK adalah 23.62, 14.92 dan 10.17% bilamana pencampuran A.niger
dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari (D2) pada kombinasi level
A.niger 1.5% dan T.reesei 7.5% (A3T2). Hasil tersebut lebih baik daripada kultur
tunggal. Hasil uji in vitro menunjukkan kisaran konsentrasi asam lemak terbang
(VFA) dan amonia (NH3) masing-masing adalah 91.14 119.58 mM dan 14.94
19.04 mM, berada pada kisaran optimum untuk mendukung pertumbuhan
mikroorganisme rumen.
Percobaan tahap III, Respon Ternak Kambing Jantan Lokal terhadap
Pemberian Putak Fermentasi, bertujuan untuk menguji tingkat pemberian putak
fermentasi hasil percobaan terbaik Tahap II yakni 0, 10, 20, 30 dan 40% dalam
konsentrat terhadap kinerja ternak kambing lokal jantan yang diberi jerami padi
ad libitum sebagai pakan dasar. Semakin tinggi penggunaan putak fermentasi
(mencapai 40%), kinerja ternak kambing meningkat lebih baik yang terdeteksi
dari retensi nitrogen, konsumsi dan kecernaan nutrien, pertambahan bobot badan
harian (PbbH ) dan efisiensi penggunaan ransum
Fermentasi kultur campuran menggunakan T.reesei dan A.niger pada
putak sebagai substrat memberikan hasil yang lebih baik dibanding fermentasi
kultur tunggal T.reesei atau A.niger. Peningkatan kualitas nutrisi tersebut
terdeteksi dengan terjadinya peningkatan penampilan produksi ternak.

Kata kunci : Corypha, putak, kultur campuran, A.niger, T.reesei

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi


1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,
atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
Karya tulis dalam bentuk apapun, tanpa izin IPB

PENINGKATAN KUALITAS NUTRITIF PUTAK


MELALUI FERMENTASI CAMPURAN
Trichoderma reesei dan Aspergillus niger
SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA

MARITJE ALEONOR HILAKORE

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.AgrSc

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Abdullah M Bamualim, MSc


2. Dr. Ir. Dwierra Evvyernie, MS. MSc

Judul Disertasi

Nama
NIM

: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi


Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger
sebagai Pakan Ruminansia
: Maritje Aleonor Hilakore
: D061030171

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suryahadi, DEA


Ketua

Dr. Ir. Komang G. Wiryawan


Anggota

Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA


Anggota

Diketahui

Ketua Departemen INTP

Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc

Tanggal Ujian : 7 November 2008

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah Bapa didalam Jesus
Kristus Tuhan, karena oleh kekuatan serta hikmatNYA karya ilmiah ini dapat
diselesaikan. Karya penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengoptimalkan
potensi pakan lokal seperti putak yang sangat potensil tetapi masih mengalami
kendala dalam penggunaan akibat keterbatasan kandungan nutrien yang
dimilikinya. Oleh karena itu topik penelitian ini diberi judul Peningkatan Kualitas
Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus
niger sebagai Pakan Ruminansi.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulisan sampaikan
kepada Dr. Ir. Suryahadi, DEA, Dr. Ir. Komang G Wiryawan serta Prof. Dr. Ir.
Djumali Mangunwidjaja, DEA, selaku pembimbing, yang telah meluangkan
waktu memberi arahan serta koreksi selama proses penyelesaian penulisan ini.
Ucapan terima kasih yang sama juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB,
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fapet IPB dan seluruh staf Dosen Fapet
atas kesempatan memperoleh ilmu dan wawasan yang telah diberikan. Terima
kasih juga kepada Departemen Pendidikan Nasional melalui DITJEN DIKTI atas
beasiswa yang diberikan dalam mengikuti pendidikan di IPB.
Terima kasih yang sama juga disampaikan kepada Rektor Universitas
Nusa Cendana dan Dekan Fakultas Peternakan atas kesempatan mengikuti
pendidikan yang diberikan. Juga kepada Direktur Politeknik Pertanian Negeri
Kupang atas ijin menggunakan fasilitas Laboratorium selama proses penelitian
ini.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada teman-teman se perjuangan, Thom


Mata Hine sekeluarga, Poppy Ralahalu, Insun Sangaji, Yan Masrikat, James yang
dengan tulus membantu berupa saran dan masukan-masukan yang sangat
bermanfaat selama proses penulisan.Untuk papa dan mama serta adik-adik
tersayang Buang, Aty, Jacqualine, Ledy, Seny, Boby dan Evy, yang selalu setia
dan tekun mendukung dengan doa yang tulus, terima kasih. Dan yang paling akhir
dan yang sangat tak terlupakan buat suami tercinta Adrianus Boeky serta buah
hati kami tersayang Daniella Leonor Adelin, Melida Andrea dan Elena Giardini
Adinda, tulisan ini dipersembahkan untukmu berempat atas pengorbanan luar
biasa yang diberikan selama pendidikan. Tuhan memberkati kita sekalian
Kiranya karya sederhana ini bermanfaat.

Bogor, September 2008


Maritje Aleonor Hilakore

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada tanggal


4 Pebruari 1961, sebagai anak kedua dari empat saudara dari ayah Romelus
Hilakore (Alm) dan ibu Mathelda Talo. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas
Peternakan Universitas Nusa Cendana, lulus tahun 1984. Pada tahun 1985 - 1987
mengikuti program Pendidikan Calon Pengajar Politeknik Pertanian (PEDCA) di
Universitas Padjadjaran Bandung. Pada tahun 1994, penulis diterima di Program
Magister Program Studi Ilmu Ternak Program Pasacasarjana

IPB dengan

Beasiswa TMPD Ditjen Dikti, dan menyelesaikannya pada tahun 1997.


Kesempatan melanjutkan program doktor diperoleh pada tahun 2003 dengan
Beasiswa BPPS Ditjen Dikti Depdiknas.
Saat ini penulis terdaftar sebagai dosen tetap Jurusan Nutrisi dan Makanan
Ternak Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana sejak 1 Maret 1985.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.....

iii

DAFTAR GAMBAR ..

iv

DAFTAR LAMPIRAN.. .. ..
v
PENDAHULUAN
Latar Belakang ... ..
Tujuan . .. ..
Hipotesis .. .
Manfaat ..

1
1
4
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Pohon Gewang (Corypha elata robx) dan Produksinya.. .
Fermentasi dan Medium Fermentasi ...................................
Trichoderma reesei ............................................................ .
Aspergillus niger .................................................................
Fermentasi Kultur Campuran ..............................................
Sumber Nutrien pada Ruminansia ........................................
Metabolisme Protein pada Ruminansia ...............................
Metabolisme Karbohidrat pada Ruminansia .......................
Ternak Kambing Kacang .....................................................

5
5
7
11
12
14
16
17
19
22

BAHAN DAN METODA ..............................................................


Penyiapan Proses Fermentasi ............................................................
Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh T.reesei
dan A.niger .................................................................
Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger dalam
Putak sebagai Substrat ...............................................
Percobaan III : Respon Ternak Kambing Lokal Jantan terhadap
Pemberian Putak Fermentasi.....................................

24
24

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................


Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh T.reesei
dan A.niger .......................................................... ....
Kualitas Nutrien Putak hasil Fermentasi oleh A.niger ..... ......
Kualitas Nutrien Putak hasil Fermentasi oleh T.reesei............
Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger
pada Medium Putak ..................................................
Protein......................................................................................
Kecernaan Bahan Kering dan Organik ..................................
Total Asam Lemak Atsiri (VFA) dan Amonia (NH3)............

26
27
27
34
34
36
41
45
45
50
51

Percobaan III : Respon Ternak Kambing Lokal Jantan terhadap


Pemberian Putak Fermentasi ....................................
Konsumsi Nutrien ...................................................................
Konsumsi Bahan Kering dan Organik ...................................
Kecernaan Nutrien (BO,BK,Protein dan SK) .........................
Retensi Nitrogen ...................................................................
Pertambahan Bobot Badan ....................................................
Efisiensi Penggunaan Ransum ...............................................

53
55
55
56
60
60
62

SIMPULAN DAN SARAN ............................................................

64

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................

66

LAMPIRAN ....................................................................................

72

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1 Komposisi bahan pakan konsentrat percobaan... .........

28

Komposisi nutrien konsentrat percobaan...................

28

Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh A.niger


dengan level kultur dan lama inkubasi berbeda ......................

37

Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh T.reesei


dengan level kultur dan lama inkubasi berbeda .....................

43

Komposisi nutrien putak fermentasi kultur campuran


A.niger dan T.reesei dengan lama penundaan pencampuran
2 hari (D2) ..........................................................................

47

6 Komposisi nutrien putak sebelum dan sesudah fermentasi. ......

50

7 Fermentabilitas in vitro putak fermentasi campuran


A.niger dan T.reesei dengan lama penundaan pencampuran
2 hari .. ................................................................................

52

Rataan konsumsi nutrien ransum ...........................................

54

Rataan kecernaan nutrien ransum..........................................

56

10

Kadar VFA total dan partial dan NH3 cairan rumen dari
pakan konsentrat .................................................................

57

Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertumbuhan


dan efisiensi ransum .......................................................

63

Perhitungan ekonomis pakan terhadap pertumbuhan


ternak percobaan .............................................................

63

11

12

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Teks

Halaman

1 Pohon gewang (Corypha elata robx) .......................................

2 Metabolisme protein pada ruminansia ......................................

18

3 Metabolisme karbohidrat pada ruminansia ...............................

21

4 Kambing kacang .........................................................................

23

5 Proses penyiapan putak dari batang pohon gewang ....................

25

6 Kultur hasil biakan pada substrat putak .......................................

26

7 Putak hasil fermentasi A.niger umur 1 dan 3 hari .......................

36

8 Putak hasil fermentasi T.reesei umur 2 dan 4 hari .......................

43

9 Putak fermentasi campuran T.reesei dan A.niger siap panen ........

46

10 Komposisi nutrien putak sebelum dan sesudah fermentasi ..........

48

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

Komposisi nutrien putak fermentasi campuran T.reesei dan


A.niger dengan lama penundaan pencampuran berbeda...........

71

Fermentabilitas in vitro putak fermentasi campuran T.reesei dan


A.niger dengan lama penundaan pencampuran berbeda ........

72

3 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


level kultur A.niger terhadap kadar protein kasar putak ...........
4

73

Daftar analisis sdik ragam dan uji Duncan pengaruh


level kultur A.niger terhadap kadar protein murni putak .........

75

5 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


level kultur A.niger terhadap kadar bahan kering putak ........

77

6 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


level kultur A.niger terhadap kadar bahan organik putak ........

79

7 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


level kultur A.niger terhadap kadar serat kasar putak .............

81

8 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


level kultur T.reesei terhadap kadar protein kasar putak ..........

83

9 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


level kultur T.reesei terhadap kadar protein murni putak .........

85

10 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level


kultur T.reesei terhadap kadar bahan kering putak ........

89

11 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level


kultur T.reesei terhadap kadar bahan organik putak ............

91

12 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


level kultur T.reesei terhadap kadar serat kasar putak .........

93

13 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kadar protein kasar putak .....................................................

96

14

15

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kadar protein murni putak ....................................................

97

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kadar serat kasar putak .......................................................

98

16 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kecernaan bahan kering putak ............................................

99

17

18

19

20

21

22

23

24

25

Daftar analisis aidik ragam dan uji Duncan pengaruh


kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kecernaan bahan organik putak ............................................

100

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kadar total VFA...................................................................

101

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kadar amonia putak .......................................................

102

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap konsumsi jerami padi

103

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan kering ...........

104

Daftar analisis Sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan organik.......

105

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap konsumsi protein..............

106

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap konsumsi serat kasar .........

107

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap konsumsi ransum
per kg bobot badan 0.75 ....................................................

108

26

27

28

29

30

31

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap konsumsi jerami padi
per kg bobot badan 0.75 .................................................

109

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan kering
per kg bobot badan 0.75 .............................................

110

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan organik
per kg bobot badan 0.75 ...................................................

111

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap konsumsi protein kasar
per kg bobot badan 0.75 ..................................................

112

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap konsumsi serat kasar
per kg bobot badan 0.75 ...............................................

113

Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap kecernaan Bahan kering......

114

32 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap kecernaan bahan organik ......

115

33 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap kecernaan protein.................

116

34 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap kecernaan serat kasar...........

117

35 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap retensi nitrogen .....................

118

36 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan........

119

37 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh


ransum perlakuan terhadap efisiensi ransum ......................

120

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Potensi peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat besar
yang ditunjukkan oleh populasi ternak ruminansia khususnya, sebanyak 700 363
ekor ruminansia besar (sapi dan kerbau), dan 571 014 ekor ruminansia kecil
(kambing dan domba). Pulau Timor merupakan salah satu daerah di NTT yang
memiliki populasi ternak tertinggi yaitu 427 343 ekor ruminansia besar dan
178 427 ekor ruminansia kecil atau sekitar 61% dan 31% dari populasi ternak di
NTT (Ditjennak 2007). Kendala utama pengembangan adalah ketersediaan dan
kualitas pakan.
Kondisi alam yang kering (8 9 bulan kering) mengakibatkan kontinuitas
ketersediaan pakan sangat fluktuatif sehingga pertumbuhan ternak sangat
tergantung pada musim. Padang penggembalaan umum seluas 24 382.04 ha
(Ditjennak 2007) yang merupakan tulang punggung sumber pakan ruminansia
utamanya, hanya bisa diandalkan selama kurang lebih 3 - 4 bulan. Hasil penelitian
Bamualim et al. (1993) menunjukkan bahwa pada musim kemarau, bobot ternak
di P. Timor akan mengalami penyusutan sebanyak 50% dari bobot yang dicapai
selama musim hujan. Dalam keadaan demikian memaksimumkan sumber pakan
lokal merupakan solusi terbaik.
Salah satu pakan lokal yang cukup dikenal masyarakat setempat adalah
Putak. Putak diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata
robx) dan telah lama digunakan sebagai pakan sumber karbohidrat meski dalam
jumlah terbatas. Menurut perkiraan sekitar 5 10% dari luasan padang
penggembalaan yang ada di P.Timor ditumbuhi pohon gewang. Nulik et al.
(1988) melaporkan bahwa dengan tinggi pohon rata-rata 13 meter (12.9 3.3 )
dapat dihasilkan sebanyak 663 124 kg putak basah atau 396 kg berat kering
(kadar air 40%).
Sebagai pakan, putak sangat potensial karena ketersediaannya cukup
disamping tidak bersaing dengan manusia karena tidak digunakan untuk makanan
manusia. Penggunaan putak sebagai pakan belum maksimal akibat keterbatasan
nutrisi yang dikandungnya seperti, protein yang rendah ( 2.23%) serta serat kasar

2
tinggi (12.04%), disamping unsur-unsur nutrien lainnya yang juga minim tetapi
kandungan energinya tinggi (4 210 kkal/g) (Ginting 2000).
Upaya yang telah dilakukan guna memaksimalkan pengguaan putak
sebagai pakan telah dilakukan melalui penelitian misalnya, melalui suplementasi
urea sebagai sumber nitrogen bagi ternak ruminansia selama musim kemarau
(Bamualim et al. 1993, Kana Hau et al. 1993). Pembuatan produk pemasakan
putak-urea (Purea) yang dilakukan Wie Lawa (1996) dapat meningkatkan
kecernaan in vitro. Penelitian pengolahan secara biologis yakni fermentasi putak
oleh Saccharomyces cereviciae sebagaimana dilaporkan hasilnya oleh Ginting
(2000), nyata meningkatkan kadar protein kasar putak dari 2.23 % menjadi 8.94%
meski tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar serat kasar (12.02% vs
11.97%) setelah diinkubasi selama 14 hari dengan respon pertumbuhan terbaik
dari ternak babi adalah pada penggunaan 10% menggantikan jagung.
Pengolahan biologi yang bertujuan meningkatkan kualitas suatu bahan
sebagai pangan maupun pakan telah lama dikenal dan dilakukan, namun sejauh ini
hanya dengan penggunaan kultur tunggal. Padahal menurut Hesseltine (1991),
fermentasi biakan campuran dapat memberikan hasil yang lebih menguntungkan
dibanding biakan tunggal karena komponen metabolit yang dihasilkan masingmasing mikroba dalam substrat yang sama akan saling menunjang dan
melengkapi kebutuhan lingkungan yang baik bagi pertumbuan mikroba-mikroba
tersebut.
Penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya adalah meniru
kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Pada habitat alaminya,
organisme yang hidup bersama memiliki hubungan yang bisa saling merugikan
dan juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi. Kondisi tersebut
yang ingin diadopsi dalam penelitian penerapan kultur campuran.
Trichoderma reesei merupakan salah satu jenis kapang

yang banyak

diteliti terutama karena kemampuannya menghasilkan enzim selulase seperti


endoglukanase dan selobiohidrolase tetapi sedikit memproduksi selobiase (Panda
et al. 1989, Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005). Aspergillus niger memiliki
kemampuan lebih dalam menghasilkan enzim selobiase atau -glukosidase
dibanding T.reesei (Panda et al. 1989, Saha 1991) disamping itu kapang juga

3
menghasilkan

banyak

macam

enzim

ekstraseluler,

seperti

-amilase,

glukoamilase, - dan - glukosidase serta selulase (Saha 1991), oleh karena itu
sering digunakan dalam pengolahan pangan untuk pengkayaan protein dari bahan
berpati (Moo-Young 1983).
Menurut Hesseltine (1991) bahwa kultur campuran memungkinkan
penggunaan substrat yang bervariasi dalam hal komposisi bahan sehingga akan
memungkinkan mikroba selulolitik tidak hanya menggunakan selulosa saja tetapi
juga pati maupun gula. Kapang selulolitik bersama-sama kapang pengguna pati
dan gula akan memberikan proses yang lebih efisien dalam menghasilkan
biomassa yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat.
Hasil-hasil

penelitian

kultur

campuran

yang

pernah

dilakukan

menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding kultur tunggal, dalam hal biomassa
sel maupun produk fermentasi. Seperti yang dilaporkan oleh Correa et al. (1999),
bahwa jumlah biomassa sel dan aktifitas enzim-enzim selulase lebih tinggi pada
biakan campuran T. reesei dan A. niger dibanding kultur tunggal dengan substrat
bagas tebu. Selanjutnya Saha (1991) menggunakan kultur campuran A.niger dan
S.cereviciae pada substrat kentang menghasilkan etanol yang lebih tinggi. Panda
et al. (1989) melaporkan, laju pertumbuhan kapang T. reesei dan A. wentii lebih
baik pada biakan campuran daripada biakan terpisah. Demikian juga Viesturs
et al. (1980) yang dikutip Moo-Young (1983) memperoleh kadar protein murni
18% pada jerami gandum yang difermentasi oleh T.liqnorum dan Candida
lipolytica selama 5 hari pada suhu inkubasi 30oC, sedangkan T. liqnarum sendiri
hanya menghasilkan 11%.
Teknologi fermentasi merupakan teknologi yang murah dan aman dalam
menjawab masalah keterbatasan nutrisi terutama protein substrat dan telah banyak
dilakukan baik dalam penelitian maupun di masyarakat terutama menggunakan
kultur tunggal. Sedangkan kultur campuran yang juga dapat memberi hasil yang
lebih baik karena dapat memaksimumkan peran masing-masing mikrob dalam
proses fermentasi guna mendapatkan hasil yang lebih baik dan waktu yang
singkat, belum umum dilakukan.

4
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengkaji kemampuan T reesei dan A. niger secara kultur tunggal dalam
memperbaiki kualitas nutrien putak terutama kadar protein dan serat kasar.
b. Mengkaji kemampuan T reesei dan A. niger secara kultur campuran dalam
memperbaiki kualitas nutrien putak terutama kadar protein dan serat kasar
serta pengaruhnya terhadap fermentabilitas in vitro.
c. Mengkaji respon ternak kambing lokal jantan terhadap penggunaan putak
terfermentasi dengan kultur campuran T reesei dan A. niger sebagai pakan
penyusun konsentrat

berdasarkan parameter pertumbuhan, jumlah

konsumsi ransum dan nutrien serta kecernaan nutrien, efisiensi


penggunaan ransum.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Fermentasi putak dengan kapang A.niger maupun T.reesei secara tunggal
dapat meningkatkan kualitas putak
2. Kultur campuran A.niger dan T.reesei akan lebih baik kemampuannya
dalam meningkatkan kualitas putak fermentasi dibanding dengan kultur
tunggal
3. Penggunaan putak hasil fermentasi sebagai pakan akan memberi respon
positif terhadap pertumbuhan ternak.

Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat :
1. Memberi informasi mengenai manfaat putak yang difermentasi sebagai
sumber pakan baru yang prospektif
2. Memberi informasi tentang keuntungan fermentasi menggunakan kultur
campuran, sebagai alternatif teknologi tepat guna tentang pemanfaatan
pakan lokal

5
TINJAUAN PUSTAKA

Pohon Gewang ( Corypha elata robx) dan Produksinya


Pohon gewang (Corypha elata robx) merupakan genus palam-palaman.
Khusus di Nusa Tenggara Timur, tanaman ini banyak dijumpai terutama di
P. Timor dan Rote. Tumbuh baik pada dataran rendah (kurang dari 400 m dpl),
tinggi batang mencapai 15 meter dan tumbuh secara tunggal, batang besar dan
lurus, tahan kering dan dapat tumbuh dengan baik pada tanah kurang subur
dengan pH 6 8.
Isi (empulur) batang gewang telah lama dikenal masyarakat setempat
dengan nama putak dan digunakan sebagai pakan sumber karbohidrat untuk
ternak ruminansia maupun non ruminansia terutama ternak babi. Putak sangat
potensil sebagai pakan karena tidak digunakan sebagai pangan, demikian juga
jumlah dan ketersediaannya masih cukup terjamin. Berdasarkan data yang
dilaporkan Ditjennak (2007) bahwa luas padang penggembalaan alam di P. Timor
adalah 24 382 04 ha dan diperkirakan sekitar 5 10% dari luasan tersebut
ditumbuhi pohon gewang. Nulik et al. (1988) melaporkan bahwa dengan tinggi
pohon rata-rata 13 meter (12.9 3.3 ), dapat dihasilkan sebanyak 663 124 kg
putak basah atau 396 kg berat kering (kadar air 40%). Waktu terbaik untuk
pemotongan adalah saat tanaman menjelang berbunga yang dapat diketahui dari
posisi pelepah daun paling bawah membentuk garis horisontal.
Tingginya kadar serat kasar serta minimnya kandungan protein serta
nutrisi lainnya menjadi kendala penggunaan pakan lokal ini sebagai sumber pakan
alternatif yang prospektif. Penggunannya sebagai pakan masih sangat terbatas.
Penelitian pemberian putak sebagai pakan juga terbatas baru pada ternak
ruminansia yakni sebagai pakan sumber karbohidrat mudah tersedia yang
dikombinasikan dengan penambahan urea sebagai sumber nitrogen. Pengolahan
lainnya dengan membuat produk gabungan pati dari putak dengan urea (purea)
serta pengolahan secara biologis melalui fermentasi sebagai pakan babi, namun
pemanfaatannya sebagai pakan belum maksimal.

Gambar 1 Pohon gewang (Corypha elata robx)

Penerapan teknologi pengolahan untuk meminimalisir keterbatasan yang


dimiliki putak yang pernah dilakukan misalnya, dengan penambahan urea;
(Bamualim et al. 1993, Nulik et al. 1993, Kana Hau et al. 1993), pembuatan
produk pemasakan putak-urea (Purea) (Wie Lawa 1996), semuanya sebagai
pakan ruminansia, serta pengolahan secara biologis, yaitu fermentasi dengan
Saccharomyces cereviciae (Ginting 2000) untuk pakan ternak babi.
Bamualim et al. (1993) melaporkan penelitian yang dilakukan pada ternak
sapi dengan pemberian putak dicampur urea sebanyak 30 g/e/h diperoleh tingkat
penurunan bobot badan selama musim kemarau adalah sebesar -0.16 kg/e/h
dibanding pemberian jerami yang mencapai -0.39 kg/e/h, sedangkan pada musim
hujan tingkat pertambahan bobot badan mencapai 370 g/e/h vs jerami 170 g/e/h.
Hasil penelitian lainnya dilakukan oleh Kana Hau et al. (1993) pada ternak
kambing yang diberi jerami sebagai pakan dasar, suplemen putak dan urea tidak
menyebabkan perbedaan konsumsi pakan dasar akan tetapi kecernaan bahan
kering meningkat dari 45.1% menjadi 62.6%, dengan pertambahan bobot harian
42 g/e/h. Penelitian lain seperti dilakukan oleh Wie Lawa (1996) yakni membuat
produk pemasakan putak-urea dapat meningkatkan nilai nutrisi in vitro dengan
hasil terbaik adalah pada perlakuan lama pemasakan 2 jam dengan level
penambahan urea 4% BK. Selanjutnya Hilakore et al. (1999) mencoba

7
penggunaan Purea (produk pemasakan putak-urea) pada ternak kambing jantan
lokal yang diberi rumput alam sebagai hijauan tunggal dengan maksimal
penggunaan purea 20% memberikan pertambahan bobot badan sebesar 36 g/e/h.
Penelitian pengolahan secara biologis yakni fermentasi putak oleh
Saccharomyces cereviciae sebagaimana dilaporkan hasilnya oleh Ginting (2000).
Level kultur terbaik adalah sel 0.75 x 106 unit sel, dan lama inkubasi 2 minggu
menghasilkan kenaikan kadar protein kasar nyata lebih baik (8.92%) dari pada
kontrol (2.63%), tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar serat kasar (12.01 %
turun menjadi 11.97%). Maksimal penggunaannya untuk ternak babi adalah 10%
menggantikan jagung.

Fermentasi dan Medium Fermentasi


Fermentasi merupakan aktifitas mikroorganisme untuk memperoleh energi
yang dibutuhkan dalam metabolisme dan pertumbuhannya melalui pemecahan
atau katabolisme terhadap senyawa-senyawa organik secara aerob dan anaerob,
dimana enzim dari mikroorganisme menstimulasi reaksi oksidase, reduksi,
hidrolisis dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu
substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu.
Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikrob penyebab
fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermenasi menurut
Winarno (1981), dapat menyebabkan perubahan sifat bahan sebagai akibat dari
pemecahan kandungan bahan (pangan) tersebut. Hasil fermentasi terutama
tergantung pada jenis substrat, macam mikroba dan kondisi sekelilingnya yang
mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikrob tersebut. Menurut
Rachman (1989), pemilihan jenis mikrob dalam proses fermentasi merupakan
salah satu unsur penentu terhadap berhasil atau tidaknya proses fermentasi
bersangkutan.
Proses fermentasi akan terjadi apabila terdapat aktifitas enzim. Dalam
proses fermentasi, peranan substrat yang digunakan sangat besar. Faktor yang ikut
mempengaruhi pemilihan substrat untuk fermentasi adalah ketersediaan, sifat
fermentasi dan harga substrat (Fardiaz 1988). Selain itu senyawa-senyawa sumber
karbon dan nitrogen merupakan komponen paling penting dalam medium

8
fermentasi, karena sel-sel mikroba dan berbagai produk fermentasi sebagian besar
terdiri dari unsur-unsur karbon dan nitrogen.
Makanan produk fermentasi biasanya memiliki nilai nutrisi yang lebih
tinggi dibanding bahan makanan asalnya. Hal ini disebabkan mikroba telah
memecah komponen kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana sehingga
lebih mudah dicerna. Pada proses fermentasi akan terjadi perubahan-perubahan
terhadap komposisi kimia antara lain kandungan lemak, karbohidrat, asam amino,
mineral dan vitamin sebagai akibat dari aktifitas dan perkembang biakan
mikroorganisme selama fermentasi berlangsung (Winarno 1992).
Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua macam
yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium
padat adalah suatu jenis fermentasi yang menyerupai habitat alami dimana terjadi
degradasi komponen kimia padat oleh mikrob dalam media yang cukup
mengandung air tanpa ada air bebas dalam sistem fermentasi tersebut (Murthy
et al. 1993, Correa et al. 1998). Selanjutnya, fermentasi media cair adalah
proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair
(Fardiaz 1988).
Pada dasarnya fermentasi medium padat didasarkan pada pembentukan
ekosistem untuk pertumbuhan mikroba yang diinokulasikan. Sifat porositas
medium merupakan faktor penting dalam menunjang pertumbuhan mikroba yang
ditumbuhkan. Medium dengan porositas yang baik akan memungkinkan penetrasi
udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan dapat terjadi di seluruh
bagian medium (Hardjo et al. 1989 ).
Fermentasi media padat memiliki beberapa keuntungan seperti :
a). menggunakan substrat tunggal seperti biji-bijian utuh atau limbah padat yang
mengandung karbohidrat, protein dan lain-lain dan hanya ditambahkan air;
b). kepekatan produk yang dihasilkan lebih tinggi; c) pertumbuhan kapang
menyerupai habitatnya di alam; d) tidak diperlukan kontrol pH dan suhu yang
teliti. Kelemahan jenis fermentasi ini adalah terbatasnya jenis mikrob yang dapat
digunakan, kebutuhan inokulum cukup besar serta agak sulit dalam pengaturan
kadar air, pH, dan lainnya (Muchtadi et al. 1992).

9
Beberapa keuntungan fermentasi medium padat dibanding medium cair
adalah penggunaan substrat alami yang sifatnya tunggal, persiapan inokulum lebih
sederhana, dapat menghasilkan produk dengan kepekatan yang lebih tinggi,
kontrol terhadap kontaminan lebih mudah, kondisi inkubasi hampir menyerupai
kondisi alami sehingga tidak memerlukan kontrol suhu dan pH yang teliti dan
aerasi dapat berlangsung lebih optimum karena ruang lebih besar, fermentasi
media padat memiliki produktivitas yang tinggi serta hasil yang sama dapat
terulang pada kondisi yang sama (Setiawiharja 1984, Hardjo et al. 1989 ).
Knapp dan Howell (1975) mengemukakan bahwa faktor yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan proses fermentasi medium padat adalah : 1) sifat
medium, terutama yang berhubungan dengan derajat kristalisasi dan polimerisasi
2). sifat organisme, karena masing-masing mikroba memiliki kemampuan yang
berbeda dalam memecahkan komponen medium untuk keperluan metabolisme
3). kinetika metabolisme dan enzim, karena pada umumnya produksi enzim pada
medium padat bersifat non konstitutif sehingga represi katabolik dan
penghambatan oleh produk akhir menjadi aspek yang sangat penting dalam
menguraikan medium.
Proses fermentasi medium padat dapat dikatakan sebagai proses
pengkayaan

protein

(protein

enrichment)

bahan

dengan

menggunakan

mikroorganisme tertentu. Proses pengkayaan protein identik dengan pembuatan


protein sel tunggal akan tetapi pada pengkayaan tidak dilakukan pemisahan sel
mikrob dari substrat (Gushairiyanto 2004).
Secara umum medium fermentasi menyediakan semua nutrien yang
dibutuhkan mikrob untuk memperoleh energi, pertumbuhan, bahan pembentuk sel
dan biosintesa produk-produk metabolisme, tergantung kepada jenis mikroba dan
produk yang akan dihasilkan maka setiap fermentasi memerlukan medium yang
juga tertentu.
Dalam pertumbuhannya, mikroorganisme membutuhkan zat-zat untuk
sintesa komponen sel dan menghasilkan energi untuk menghasilkan ATP yang
berasal dari karbohidrat dan atau protein. Menurut Peppler (1973), penambahan
bahan-bahan sumber nutrien ke dalam media fermentasi dapat menyokong dan
merangsang

pertumbuhan

mikroorganisme.

Selanjutnya

Fardiaz

(1988)

10
mengemukakan

bahwa

nitrogen

mempunyai

fungsi

fisiologis

bagi

mikroorganisme yaitu merupakan bagian dari protein, asam nukleat dan koenzim,
sedangkan karbon merupakan bagian dari senyawa organik sel.
Menurut Fardiaz (1988) bahwa laju pertumbuhan mikroorganisme
dipengaruhi

oleh

konsentrasi

komponen-komponen

penyusun

media

pertumbuhannya. Karbon adalah elemen terbanyak dalam sel mikroorganisme


meliputi kira-kira 50% dari biomassanya, karena itu sumber karbon merupakan
bahan terbesar yang harus tersedia dalam media karena merupakan sumber nutrien
utama dalam pertumbuhan mikrob.
Dikemukakan oleh Wang et al. (1979) bahwa konsentrasi sumber nutrien
juga mempunyai batas maksimum, garam ammonium dan nitrat mulai
menimbulkan penghambatan pada konsentrasi lima gram per liter dan garam
phospat pada 10 gram per liter. Oleh karena itu Litchfield (1979) menyarankan
penambahan nutrien ke dalam substrat dilakukan pada range yang sesuai antara
unsur karbon dan nitrogen. Dalam hubungan dengan peningkatan kadar protein
substrat (PST), tergantung kepada jenis mikrob, dimana ratio C terhadap N (C : N
ratio) dapat berkisar antara 20 : 1 tetapi ratio C : N yang paling sering digunakan
adalah antara 5 : 1 hingga 15 : 1
Efisiensi penggunaan sumber karbon seperti karbohidrat dalam fermentasi
dapat bertambah bila dilakukan pemanasan. Pemanasan dapat merubah bentuk
fisik bahan padat dan kering menjadi lebih lunak serta meningkatkan kadar air
bahan. Disamping itu pemanasan juga mengakibatkan terjadi gelatinisasi terutama
pada karbohidrat dan menyebabkan pati menjadi lebih mudah dihidrolisis
sehingga proses pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan menjadi lebih
baik (Ginting 2000).
Produk fermentasi menurut Gushairiyanto (2004) dapat dikelompokkan
menjadi empat macam yaitu sel mikrobia/biomassa sel, senyawa molekul
besar/enzim, metabolit primer (asam amino, nukleatida, vitamin dan asam
organik) dan metabolit sekunder (antibiotik, toksin,alkoloid dan hormon
tanaman). Sel mikrob secara komersil dapat berfungsi sebagai : 1). makanan
ternak atau yang dikenal sebagai protein sel tunggal (PST); 2). sebagai alat

11
konversi, proses yang dapat mengubah suatu senyawa menjadi senyawa lain oleh
enzim yang dihasilkan oleh sel tersebut.
Besarnya pemanfaatan sumber pati bagi sintesa protein menurut Wang
et al. (1979), dipengaruhi oleh beberapa proses yang berlangsung dalam sistem
fermentasi itu sendiri yaitu a), proses penguraian pati menjadi monomer
sederhana; b), proses penguraian urea menjadi NH3 sebagai sumber nitrogen siap
pakai; dan c), proses pembentukan protein melalui ikatan karbon-amonia
(R-NH3). Ketiga proses di atas harus terjadi sinergi dan serentak agar diperoleh
hasil yang maksimal.
Keuntungan penggunaan mikroorganisme dalam mencerna pakan terutama
substrat berserat menurut Suhartati et al. (2003) adalah tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan dibanding penggunaan bahan kimia atau perlakuan
lainnya. Selain itu secara ekonomis lebih murah dan penanganan lebih mudah.
Sedangkan menurut Winarno (1992) bahwa keuntungan pengolahan dengan cara
fermentasi yaitu memperbanyak jumlah mikroorganisme dan menggiatkan
metabolisme di dalam substrat sehingga substrat mempunyai nilai gizi lebih tinggi
daripada asal.

Trichoderma reseei
Trichoderma merupakan salah satu dari banyak kapang lain yang dapat
menghasilkan enzim selulase dan telah digunakan dalam penelitian degradasi
enzimatik bahan-bahan berselulosa menjadi glukosa. Menurut Frazier dan
Westhoff (1978) bahwa Trichoderma aktif dalam proses dekomposisi selulosa.
Bagian-bagian yang menjadi cirinya adalah miselium berseptat, konidiofora
bercabang banyak, membentuk konidia bulat atau oval berwarna hijau terang dan
membentuk bola-bola berlendir.
Trichoderma reesei telah lama dikenal sebagai mikroba selulolitik yang
potensial dalam memecah selulosa bentuk kristalin dan amorf (Simpson dan
Oldman 1984).

Pada sistem selulase, enzim selulase yang dihasilkan genus

Trichoderma adalah endoglukanase, eksoglukanase atau selobiohidrolase serta


sedikit selobiase atau -glukosidase.

12
Selobiohidrolase merupakan selulase utama yang diproduksi oleh T.reesei
dan meliputi lebih dari 80% protein selulase. Enzim ini memecah selulosa
menjadi selobiosa sebagai satu-satunya produk akhir hidrolisis. Selobiohidrolase
dihambat secara kompetitif oleh selobiosa (Juhasz et al. 2003).
Kapang T.reesei menghasilkan enzim selulolitik seperti endo dan eksoglukanase (selobiohidrolase) juga memberikan keuntungan dalam hal produksi
protein. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pakula et al. (2005) bahwa kapang
mampu memproduksi enzim dalam jumlah yang tinggi, dan produksi ini setara
dengan 40 g/l

protein ekstraseluler. Selobiohidrolase I (CBH I) merupakan

komponen enzim terbanyak yang diproduksikan dan menyumbang ke dalam


substrat sekitar 60% dari total protein yang disekresikan.
Kondisi optimum yang dibutuhkan T.reesei untuk bertumbuh berbeda
dengan untuk produksi enzim. Selama fase pertumbuhan, terjadi akumulasi massa
sel dan setelah massa sel mencapai konsentrasi optimum, produksi enzim baru
dimulai. Temperatur dan pH yang optimum pada kedua fase ini juga berbeda
yakni untuk pertumbuhan adalah 31-35oC dan pH 4 sedangkan untuk produksi
enzim 26-28oC dengan pH 3. Aerasi merupakan faktor yang sangat penting pada
semua fase oleh karena oksigen diperlukan untuk metabolisme energi agar produk
fermentasi yang dihasilkan maksimal (Tsao et al. 1983).

Aspergillus niger
Aspergillus niger merupakan salah satu kapang genus Aspergillus, famili
Moniliaceae, ordo Moniliales, dan subdivisi Eumycophyta yang bersifat aerobik
sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup
dan untuk pertumbuhan memerlukan suhu optimum sekitar 35 - 37oC (Frazier and
Westhoff 1981) sedangkan untuk menghasilkan enzim selulase diperlukan suhu
25 - 28 oC (Enari 1983).
Ditambahkan oleh Laskin dan Heuber ( 1978) bahwa A.niger disebut juga
sebagai jamur hitam karena warnanya yang coklat kehitaman. Berkembang biak
secara vegetatif dan generatif dengan spora (Dwidjoseputro 1984), serta dapat
tumbuh pada suhu 35 37oC atau lebih dengan suhu maksimum 65oC dan pH
2.8 8.8. Untuk pertumbuhannya A. niger menggunakan nutrisi yang ada di

13
sekitarnya misalnya molekul-molekul sederhana seperti gula yang terlarut dapat
langsung diserap oleh hifa, tetapi polimer-polimer seperti pati dan selulosa akan
dipecah terlebih dahulu oleh enzim-enzim ekstraseluler yang dihasilkannya
menjadi molekul sederhana baru diserap (Moore and Landacker 1983). Miselium
dapat bersifat vegetatif dan reproduktif. Sebagian besar miselium vegetatif
menembus ke dalam medium untuk mendapatkan makanan sedangkan miselium
reproduksi bertanggung jawab dalam pembentukan spora dan biasanya tumbuh
menjulang ke udara (Pelczar 1986).
Aspergillus niger merupakan jenis kapang yang menghasilkan banyak
macam

enzim

ekstraseluler,

seperti

-amilase,

glukoamilase,

dan

- glukosidase serta selulase (Saha 1991). Senada dengan hal di atas Kompiang
et al. (1995) menyatakan bahwa A.niger memproduksi enzim pendegradasi pati
yang akan memecah pati menjadi glukosa yang selanjutnya digunakan sebagai
sumber karbon oleh kapang selama proses fermentasi. A. niger juga merupakan
kapang aerobik yang dapat menghasilkan enzim selulase untuk membantu
pencernaan dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Kompiang et al. 1994).
Dalam kaitannya dengan enzim selulase, genus Trichoderma memproduksi enzim
selobiohidrolase merupakan komponen terbanyak, sedangkan pada enzim selulase
dari genus Aspergillus, komponen terbanyak adalah enzim -glukosidase (Gong
dan Tsao 1979). Enzim ini berperan dalam hirolisis selobiose menjadi glukosa.
Moo-Young et al. (1983) melaporkan bahwa, fermentasi media padat
dengan menggunakan kultur A.niger pada substrat beras menghasilkan 400 g
protein serta aktifitas amylase 1380 U/ml pada lama inkubasi tiga hari.
Konsentrasi ini 80 kali lebih tinggi dari pada yang dihasilkan dengan fermentasi
terrendam.
Menurut Valdivia et al. (1983) bahwa dalam fermentasi yang bertujuan
menghasilkan protein sel tunggal, maka penggunaan bahan yang mengandung pati
adalah yang terbaik. Sedangkan A.niger merupakan kapang yang paling sering
dipilih dalam fermentasi karena kemampuannya yang baik dalam biokonversi pati
menjadi protein.

14
Fermentasi Kultur Campuran
Penggunaan dua atau lebih mikroba sebagai inokulum dalam proses
fermentasi disebut sebagai biakan campuran, yang diklasifikasikan oleh
Hesseltine (1991) ke dalam empat jenis yakni : (1) monokultur; bila hanya satu
strain mikrob yang digunakan; (2) multikultur, bila menggunakan lebih dari satu
mikrob termasuk bila digunakan dua spesies yang berbeda; (3) unimultikultur,
bila menggunakan dua atau lebih strain dari spesies yang sama; (4) polikultur, bila
menggunakan banyak mikrob yang berbeda.
Menurut Hesseltine (1991), penerapan teknologi kultur campuran pada
prinsipnya adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya.
Organisme-organisme tersebut hidup bersama dalam hubungan yang bisa saling
merugikan, juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi.
Selanjutnya Correa et al. (1999) memberi contoh pada fermentasi pangan oriental
sebagai contoh terbaik dalam menggambarkan kelebihan fermentasi kultur
campuran.
Menurut Correa et al. (1999), kesesuaian atau kecocokan strain dan
kebutuhan nutrien yang sama merupakan faktor yang sangat menentukan
keberhasilan biakan campuran karena interaksi sinergis antara pasangan mikrob
yang sesuai dapat mengatasi keterbatasan nutrisi substrat.
Fermentasi biakan campuran dapat memberikan hasil yang lebih
menguntungkan dibanding biakan tunggal karena komponen metabolit yang
dihasilkan masing-masing mikrob dalam substrat yang sama akan saling
menunjang dan melengkapi kebutuhan lingkungan yang baik bagi pertumbuan
mikrob-mikrob tersebut (Hesseltine 1991). Ditambahkan selanjutnya bahwa ada
beberapa keuntungan dari biakan campuran seperti: a) memberikan peningkatan
hasil yang lebih baik; b) lebih stabil dan dengan cepat akan normal kembali bila
kondisi tumbuhnya terganggu; c) resisten terhadap kontaminan; d) lebih mampu
menggunakan substrat berkualitas sangat rendah. Sedangkan kerugiannya adalah :
a) produk dari kultur campuran lebih bervariasi dalam jumlah dan komposisi; b)
sulit mendeteksi terjadinya kontaminasi; c) sulit mengontrol keseimbangan
optimum antara mikrob yang terlibat.

15
Penggunaan polisakarida seperti selulosa, hemiselulosa dan pati dalam
fermentasi campuran untuk menghasilkan enzim, protein sel tunggal, etanol,
biogas dan sebagainya yang pernah dilakukan, disimpulkan bahwa ada berragam
enzim yang dibutuhkan dalam degradasi polisakarida dan bekerja secara sinergis
dalam degradasi bahan-bahan tersebut secara efisien. Disamping itu produk akhir
dari masing-masing mikrob dalam medium dapat membatasi proses fermentasi,
dan dalam kultur campuran pengaruh tersebut dapat diminimalisir karena masingmasing mikroba dapat memanfaatkan produk akhir yang dihasilkan sehingga
proses fermentasi akan berlangsung pada kondisi yang lebih sesuai.
Komponen utama tanaman seperti selulosa dan hemiselulosa dapat
didegradasi secara efisien oleh enzim selulase yakni endo--glukanase, exo-glukanase dan -glukosidase. T.reesei merupakan kapang yang sangat potensil
dalam menghasilkan enzim endo- dan exo-glukanase tetapi jumlah -glukosidase
lebih sedikit dari pada yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa yang efisien
menjadi glukosa (Panda et al. 1989, Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005).
Selanjutnya Saha (1991) dan Juhasz et al. (2003 ) menyatakan bahwa A.niger
memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan -glukosidase. Menurut
Enari (1983) bahwa enzim selobiase atau -glukosidase yang dihasilkan oleh
T.reesei sangat sensitif terhadap inhibisi produk akhir dibandingkan enzim yang
sama dari A.niger. Dengan demikian maka kombinasi kedua kapang ini akan
meningkatkan efisiensi degradasi selulosa yang pada gilirannya meningkatkan
kualitas substrat.
Laporan hasil-hasil penelitian berkaitan dengan penggunaan kedua mikrob
di atas dalam kultur campuran, ternyata memberikan hasil yang lebih baik
daripada kultur tunggal. Jumlah biomassa sel dan aktifitas enzim-enzim selulase
lebih tinggi pada biakan campuran T. reesei dan A. niger dengan substrat bagas
tebu (Correa et al. 1999). Demikian juga halnya dengan laju pertumbuhan kapang
T. reesei dan A. wentii lebih baik pada biakan campuran daripada biakan terpisah
(Panda et al. 1989). Viesturs et al. (1980) dalam Moo-Young (1983), memperoleh
kadar 18% protein murni pada jerami gandum yang difermentasi oleh T.liqnorum
dan Candida lipolytica selama 5 hari pada suhu inkubasi 30oC, sedangkan
T. liqnarum sendiri hanya menghasilkan 11%. Penelitian lain oleh Saha (1991)

16
menggunakan kultur campuran A.niger dan S.cereviciae pada substrat kentang
menghasilkan etanol yang lebih tinggi. Mishra et al. (2004) melaporkan, pada
pengolahan air limbah industri kentang, biomassa sel biakan campuran A.foetidus
dan A. niger lebih tinggi dibanding pada masing-masing kultur tunggal.

Sumber Nutrien pada Ternak Ruminansia


Kelompok ternak ruminansia memiliki keunikan dalam hal pemanfaatan
sumber-sumber pakan yang sangat beragam secara kualitas. Proses pencernaan
fermentatif yang terjadi di dalam lambung depan dan dengan kapasitas yang
sangat besar sangat menguntungkan ternak ini karena : (1) pakan dapat diubah dan
tersedia dalam bentuk produk fermentasi yang mudah diserap, (2) ternak
ruminansia menjadi mampu memanfaatkan pakan serat dalam jumlah lebih
banyak dan lebih efisien.
Kebutuhan nutrien pada ternak ruminansia dipenuhi dari 3 sumber, yakni :
nutrien hasil fermentasi rumen, nutrien pakan yang lolos degradasi rumen, serta
dari mikroba rumen yang masuk usus halus dan mengalami pencernaan. Ternak
yang mendapat ransum dengan bahan utama pakan serat berkualitas rendah,
pemenuhan kebutuhan nutrien diharapkan berasal dari mikroba rumen dan produk
fermentasi seperti asam lemak volatil (VFA) ( Sutardi 1995). Oleh karena itu
ternak yang mendapat ransum pakan serat berkualitas rendah, salah satu aspek
penting yang perlu ditingkatkan adalah pertumbuhan mikroba.
Untuk pertumbuhan mikroba yang optimal, semua nutrien prekursor
seperti energi, nitrogen, asam-asam amino, mineral dan vitamin harus tersedia
dalam konsentrasi yang optimum di dalam rumen. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Huber dan Kung (1981) bahwa efisiensi fermentasi dan sintesis
protein mikroba rumen dapat dimaksimumkan bila semua nutrien prekursor
tersedia dalam jumlah yang cukup. Hal ini bermakna suplementasi suatu nutrien
harus diselaraskan dengan ketersediaan nutrien lainnya.
Laju pertumbuhan mikroba rumen sangat tergantung pada ketersediaan
karbohidrat dan nitrogen. Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu
faktor penentu produksi protein mikroba rumen karena disamping sebagai sumber
kerangka karbon juga merupakan sumber energi. Produk fermentasi pencernaan

17
karbohidrat oleh mikroba rumen yakni VFA merupakan sumber energi utama bagi
ruminansia. Kadar VFA antara 8 16 Mmol/100 ml cairan rumen telah mencukupi
kebutuhan sintesis protein mikrob rumen yang optimal (Sutardi 1995).
Kandungan nitrogen, baik yang bersumber dari nitrogen bukan protein
(NPN) maupun protein murni, juga sangat berguna untuk merangsang
pertumbuhan mikroba. Konsentasi NH3 rumen sebesar 5 mg% atau 3,57 mM
cukup untuk pertumbuhan mikroba (Satter dan Roffler 1976).

Metabolisme Protein pada Ruminansia


Laju pertumbuhan mikroba rumen sangat tergantung kepada ketersediaan
karbohidrat dan sumber nitrogen yang tersedia dalam rumen. Laju pencernaan
unsur-unsur tersebut merupakan faktor penentu produksi protein mikroba.
Menurut Sutardi (1979), protein pakan di dalam rumen akan mengalami hidrolisis
menjadi asam-asam amino dan oligopeptida. Selanjutnya asam amino akan
mengalami katabolisme dan menghasilkan amonia, VFA dan CO2.
Proses proteolisis oleh mikrob rumen menghasilkan peptida dan asam
amino (Nolan 1993) yang bisa digunakan oleh sebagian mikrob rumen untuk
pertumbuhannya (Wallace dan Cotta 1988). Oleh karena tidak semua peptida dan
asam amino yang terbentuk dalam rumen digunakan oleh mikroba, sebagian akan
mengalir ke usus halus. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Russel
et al. (1992) bahwa pemberian ransum yang berkualitas tinggi pada sapi perah,
30% dari NAN (Non Amonia Nitrogen) yang masuk ke dalam usus halus dalam
bentuk peptida dan asam amino.
Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi
dan proses sintesis protein oleh mikrob rumen. Jika pakan defisiensi protein atau
proteinnya tahan degradasi, konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan
pertumbuhan mikrob rumen menjadi lambat sehingga menyebabkan turunnya
kecernaan pakan (McDonalld et al. 1988). Bila kecepatan degradasi melebihi
kecepatan sintesis protein mikrob akan terjadi akumulasi NH3 dalam rumen.
Amonia yang berlebihan akan diserap oleh dinding rumen masuk ke dalam aliran
darah, sebagian akan difiltrasi oleh ginjal dan dikeluarkan melalui urine dan
sebagian lagi masuk ke rumen melalui dinding rumen dan saliva, yang kemudian

18
akan menjadi sumber nitrogen lagi pada sintesis protein mikrob (Preston and Leng
1987, Tillman et al. 1988, Preston and Leng 1987, Nolan 1993 ).

Protein pakan

Protein endogen

RUMEN
Asam amino

NH3
diabsorbsi

Tak
terdegradasi

Protein mikrob

Protein
pakan

Protein
endogen

Protein
mikrob

USUS HALUS
Asam amino

diabsorbsi

Protein tak
tercerna
Protein endogen
NH3
diabsorbsi
Protein mikrob
SEKUM

feses

Gambar 2 Metabolisme protein pada ruminansia (Kempton et al. 1978)

19
Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi sintesis asam amino pada
mikroorganisme rumen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nutrisi protein
ternak ruminansia sangat tergantung kepada proses sintesis protein mikrob rumen.
Protein mikrob rumen mempunyai kualitas yang sangat baik, dan menurut
Sniffen dan Robinson (1987) bahwa sumbangan protein asal mikrob rumen
terhadap kebutuhan asam amino ternak ruminansia mencapai 4080% dan fraksi
nitrogen total asam-asam amino (TAAN= total amino acids nitrogen) yang masuk
usus sebagian besar berasal dari protein mikrob rumen. Artinya bahwa
keberhasilan memacu pertumbuhan mikrob rumen akan sangat besar pengaruhnya
terhadap terpenuhinya kebutuhan asam amino ternak inang.
Kebutuhan asam amino ternak ruminansia dipenuhi dari protein pakan
yang lolos degradasi dalam rumen kemudian mengalami pencernaan dan diserap
dalam usus. Selain itu juga berasal dari protein mikrob rumen yang tercerna dan
terserap dalam usus, serta berasal dari cadangan protein tubuh (protein
endogenous).
Menurut Buttery (1976) jumlah protein pakan yang mengalami degradasi
dalam rumen cukup banyak dan laju degradasi tergantung kepada kelarutan
protein dan laju aliran digesta. Variasi derajat ketahanan protein terhadap
degradasi mikrob rumen sangat besar yakni antara 12-90%.

Metabolisme Karbohidrat pada Ruminansia


Karbohidrat merupakan komponen utama dalam ransum ruminansia yakni
mencapai 60 75% dari total bahan kering ransum dimana dalam makanan kasar
(hijauan) sebagian besar terdapat dalam bentuk selulosa dan hemiselulosa,
sedangkan dalam konsentrat umumnya terdapat dalam bentuk pati (Sutardi 1979).
Senada dengan pernyataan tersebut Russel dan Hespel (1981) menyatakan bahwa
pakan ternak ruminansia sebagian besar berupa polimer kompleks seperti selulosa,
hemiselulosa, pektin, pati dan lain-lain sehingga menyebabkan jenis pakan
ruminansia memiliki nilai kelarutan yang rendah.
Proses metabolisme yang terjadi dalam retikulorumen sangat kompleks.
Partikel pakan yang terutama berupa polimer karbohidrat, mengalami degradasi
(hidrolisis) menjadi bentuk monomer. Bentuk monomer tersebut oleh mikroba

20
rumen difermentasi menjadi piruvat melalui lintasan Embden Meyerhoff dan
lintasan pentosa fosfat. Piruvat adalah bentuk produk intermedier yang

akan

segera dimetabolis untuk membentuk produk utama pencernaan fermentatif dalam


rumen, yaitu asam lemak rantai pendek (short chain fatty acids) atau lebih dikenal
sebagai asam lemak terbang (volatile fatty acids = VFA) (France dan Siddons
1993).
Karbohidrat dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan yaitu
pencernaan oleh enzim ekstraseluler dan intraseluler mikrob. Tahap pencernaan
oleh enzim ekstraseluler, karbohidrat yang masuk rumen difermentasi menjadi
monomer berupa oligosakarida, disakarida dan gula sederhana. Tahap kedua,
monomer difermentasi lebih lanjut oleh enzim intraseluler membentuk piruvat
melalui jalur Embden Meyerhoff dan pentosa fosfat (Baldwin dan Allison 1983,
France dan Siddons 1993). Piruvat merupakan produk intermedier akan
dimetabolisasi menjadi VFA. Perubahan asam piruvat menjadi VFA melalui
beberapa lintasan. Oksidasi asam piruvat menjadi asam asetat dan butirat terjadi
melalui lintasan asetil-KoA, untuk pembentukan asam propionat ada dua lintasan
yaitu lintasan suksinat dan laktat atau akrilat (Baldwin dan Allison 1983, France
dan Siddons 1993).
Proses fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan energi dalam
bentuk VFA mencapai 80% dan 20% merupakan energi yang terbuang dalam
bentuk gas CO2, CH4 dan energi dalam bentuk ATP (France dan Siddons 1993).
Energi dalam bentuk ATP hanya 6.2% dari total energi yang hilang. Hanya energi
dalam bentuk ATP ini yang digunakan oleh mikrob rumen untuk pertumbuhannya
sedangkan VFA merupakan produk sampingan dari aktifitas mikrob rumen
(Hvelpund 1991). Menurut Clark dan Davis (1983) dalam Erwanto (1995), pada
kondisi pola produksi VFA utama dalam cairan rumen 65% asetat, 25% propionat
dan 10% butirat, maka energi yang berasal dari pakan (heksosa) yang muncul
dalam bentuk VFA mencapai 75%, sisanya berupa gas metan 12.4%, sebagai
panas fermentasi 6.4% dan sekitar 6.2% dimanfaatkan oleh mikroba rumen
sebagai sumber energi dalam bentuk ATP. Hal tersebut menurut Sutardi (1995)
mencerminkan bahwa mikroba rumen memproduksi VFA bukan untuk
kepentingannya melainkan sebagai proses electron sink dalam menjaga potensial

21
redoks dalam rumen, sehingga tetap berada dalam kisaran yang layak bagi
pertumbuhan dan perkembangan mikrob rumen sendiri.
Laju pertumbuhan mikrob rumen sangat tergantung kepada ketersediaan
karbohidrat. Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu
produksi protein mikroba rumen. Selain sebagai sumber kerangka karbon,
karbohidrat adalah sumber energi bagi mikrob rumen dalam bentuk ATP
(Adenosine Tryphosphate) (Sutardi 1979).

Selanjutnya menurut

Russel dan

Wallace (1988) bahwa pertumbuhan mikrob rumen proporsional terhadap jumlah


ATP yang dihasilkan dari katabolisme energi. Maksimum sintesis sel mikrob yang
dihasilkan dalam rumen mendekati 25 gram per mol ATP.
Selulosa

Pati

Hemiselulosa

Pektin

Pentosa
Heksosasa
LINTASAN
EMBDEN MEYERHOFF

LINTASAN PENTOSA

Piruvat
Format
Asetil Ko-A
CO2 + H2O

LINTASAN
AKRILAT

LINTASAN
SUKSINAT
Metan

Asetat

Butirat

Propionat

Gambar 3 Metabolisme karbohidrat pada ruminansia (France and Siddons 1993)

22
Asam lemak terbang rumen terdiri dari asam asetat (CH3COOH), asam
propionat (CH3CH2COOH), asam butirat (CH3(CH2)2COOH), asam valerat
(CH3(CH2)3COOH) dan asam-asam lemak rantai cabang (asam iso-butirat, asam
2-metilbutiat dan isovalerat). Asam-asam lemak rantai cabang berasal dari
katabolisme protein. Gas produk fermentasi meliputi gas CO2, CH4 dan H2 akan
dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Sutardi 1979). Ternak kambing
memproduksi gas CO2 sekitar 90 liter dan gas CH4 sekitar 30 liter per hari
(Czerkawski 1986).

Ternak Kambing Kacang


Kambing kacang adalah kambing lokal yang banyak terdapat di Indonesia,
termasuk tipe daging dengan bobot badan dewasa jantan sekitar 25 kg dan betina
20 kg. Kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan dan pakan sangat baik, serta
lebih efisien dalam menggunakan pakan menjadikan ternak ini sangat digemari
untuk diternakkan (Devendra dan Burns 1994).
Selain merumput, kambing juga memakan berbagai jenis hijauan sehingga
membedakannya dengan sapi maupun domba. Kambing juga mampu merumput di
padang dengan rumput yang terlalu pendek bagi ternak sapi dan di tempat-tempat
yang kurang tersedia pakan atau hijauan berkualitas baik bahkan mengkonsumsi
serat kasar yang tidak dapat dicerna oleh domba (Devendra dan Burns 1994).
Konsumsi bahan kering ternak kambing relatif lebih banyak untuk ukuran
tubuhnya yakni 5 7% dari bobot badan, juga lebih efisien dalam mencerna
pakan yang mengandung serat kasar dibanding sapi dan domba (Luginbuhl dan
Poore 2005). Konsumsi bahan kering kambing pedaging daerah tropis beragam
antara 1.8 3.8% bobot badan, atau setara dengan konsumsi bahan kering 40.5
127.3 g/kg bobot badan0.75. Konsumsi bahan kering juga dipengaruhi oleh
pemberian hijauan saja atau bersama dengan konsentrat, oleh karena penambahan
konsentrat protein tinggi pada hijauan rendah protein berpengaruh terhadap
konsumsi. Konsumsi bahan kering kambing kacang yang hanya diberi hijauan
berkisar antara 1.4 1.7% bobot badan atau setara dengan 43.5 46.9g/kg bobot
badan , sedangkan bila ditambah konsentrat maka konsumsi dapat mencapai 2.5%
bobot badan atau 63.4 g/kg bobot badan0.75 (Devendra dan Burns 1994).

23
Menurut NRC (1981), konsumsi bahan kering ternak kambing berkisar antara
2 3%, sedangkan menurut Peterson (2005) adalah 3.5 5.0% namun pada
umumnya antara

3.0 3.8% bobot badan.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian telah dilaksanakan dari Pebruari 2006 sampai dengan Januari
2008, yang terdiri dari serangkaian percobaan: (I) optimasi proses fermentasi
putak oleh T.reesei dan A.niger, (II) fermentasi kultur campuran T.reesei dan
A.niger dalam putak sebagai substrat, (III) respon ternak kambing jantan lokal
terhadap pemberian putak fermentasi.
Pelaksanaan percobaan I dan II adalah uji in vitro dilaksanakan di
Laboratorium Biotek Politeknik Pertanian Negeri Kupang dan Balitnak Ciawi
Bogor sedangkan percobaan III yaitu uji in vivo dilaksanakan di peternakan rakyat
di kelurahan Lasiana, Kecamatan Lasiana, Kota Kupang, dengan menggunakan 20
ekor ternak kambing jantan lokal.
Putak diperoleh dari penjual putak di Desa NoElbaki Kecamatan Kupang
Tengah Kabupaten Kupang. Semua bahan pakan yang digunakan seperti jerami
padi, dedak padi, jagung kuning, bungkil kelapa adalah bahan lokal yang
diperoleh dari pasar tradisional setempat, sedangkan daun gamal diambil dari
sekitar lokasi peternakan tempat percobaan dilaksanakan selama musim hujan dan
dikeringkan.

Penyiapan Proses Fermentasi


a. Penyiapan Putak
Putak yang digunakan adalah dalam bentuk cacahan berukuran 1,0x1,5
cm, setelah dicacah dijemur matahari selama 3 hari agar tidak berjamur. Putak
kering ini selanjutnya digunakan dalam pembuatan putak fermentasi.
b.Penyiapan Larutan Inokulum
Kultur murni T. reesei strain FNCC 6012 dan A. niger strain FNCC 6041
diperoleh dari Laboratorium Pangan dan Gizi PAU UGM Yogyakarta.
Selanjutnya dilakukan penyegaran dengan cara dipelihara pada PDA (potato
dextrose agar) miring selama 7 hari, kemudian spora dipanen dengan cara
menambahkan 9 ml aquades steril dan disentrifus pada kecepatan 1500 rpm
selama 15 menit, supernatan digunakan dalam pembuatan bubuk inokulum.

25

Gambar 5 Proses penyiapan putak dari batang pohon gewang hingga menjadi
putak cacah
c.Pembuatan Bubuk Inokulum.

Sebanyak 100 g putak direndam dalam air selama 30 menit kemudian


ditiriskan, dimasukkan kedalam plastik tahan panas. Sebanyak 2 g mineral
KH2PO4, 4.62 g (NH4)2SO4 dan 3.15 g Urea dicampur air menjadi 100 ml
kemudian dimasukkan kedalam plastik berisi putak, selanjutnya disterilisasi dalam
autoclave pada tekanan 1 Atm selama 30 menit. Setelah dingin diletakkan dalam
baki plastik steril, kemudian dicampurkan 9 ml larutan inokulum dan diinkubasi
pada suhu kamar selama 5 hari, selanjutnya dikeringkan dalam oven dengan suhu
40oC selama 3 hari, kemudian digiling untuk digunakan sebagai kultur. Hasil
propagasi diperoleh jumlah koloni (cfu) per gram kultur masing-masing untuk
T.reesei adalah 1.98x105 dan A.niger 2.4x107 cfu/g.

26

Kultur T. reesei

Kultur A. niger

Gambar 6 Kultur hasil pembiakan pada substrat putak

Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh Trichoderma reesei dan


Aspergillus niger
Untuk mengkaji kemampuan masing-masing kapang secara kultur tunggal
dalam memperbaiki kualitas substrat, maka percobaan dilaksanakan dengan
membandingkan beberapa level inokulan dan lama waktu fermentasi dalam
meningkatkan nilai nutrien putak yang paling optimum. Oleh karena itu pada
T. reesei dicobakan 9 kombinasi yakni 3 level kultur T1 , T2 dan T3 yaitu 5, 7.5
dan 10% (b/b), sedangkan untuk A.niger terdapat 12 kombinasi yaitu empat (4)
kombinasi level kultur A1, A2, A3 dan A4 yakni : 0.5, 1.0, 1.5 dan 2% (b/b)
masing-masing dengan tiga lama inkubasi W2, W3 dan W4 yaitu 2, 3 dan 4 hari.
Penyiapan putak dan larutan mineral sama seperti pada pembuatan bubuk
inokulum. Putak yang telah dicampur larutan mineral dikukus selama 30 menit.
Setelah dingin diletakkan dalam baki steril dan dicampur bubuk kultur sesuai
perlakuan, diaduk hingga rata kemudian ditutup dan diinkubasi sesuai lama waktu
perlakuan. Produk hasil fermentasi, selanjutnya dikukus selama 15 menit untuk
menghentikan proses fermentasi kemudian dikeringkan untuk dianalisa komposisi
nutrien melalui analisa Proksimat.
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola
faktorial 3X3 pada T.reesei dan 4X3 pada A.niger dengan masing-masing 3 kali
ulangan. Faktor A adalah level inokulan dan faktor B adalah lama waktu inkubasi.

27
Peubah yang dikaji adalah kadar komposisi nutrien substrat (Proksimat) dan
protein murni

Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger dalam


Putak sebagai Substrat
Percobaan bertujuan mengkaji kemampuan mikroba secara bersama-sama
untuk meningkatkan kualitas putak. Salah satu faktor yang menentukan dalam
fermentasi campuran adalah waktu pencampuran, karena masing-masing mikrob
mempunyai kemampuan fisiologis yang berbeda. Berdasarkan pengamatan
pertumbuhan T.reesei dan A.niger secara tunggal serta hasil terbaik yang
diperoleh pada percobaan I, maka ditentukan lama waktu penundaan
pencampuran kedua kapang pada kultur campuran adalah 0, 1 dan 2 hari.
Penundaan pencampuran 0 hari (D0), adalah bila kultur T.reesei dan A.niger
dinokulasikan pada waktu yang bersamaan; penundaan pencampuran 1 hari (D1)
bila inokulasi kultur A.niger dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 1 hari;
dan penundaan pencampuran 2 hari (D2) bila inokulasi dengan kultur A.niger
dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari.
Percobaan dirancang dengan RAL dengan 12 kombinasi perlakuan dan 3
ulangan, masing-masing untuk

D0, D1 dan D2. Pengukuran peubah dilakukan

melalui analisis Proksimat untuk komposisi nutrien putak fermentasi, protein


murni, serta fermentabilitas in vitro VFA, NH3, KcBK, KcBO.
Percobaan III Respon Pertumbuhan Kambing Jantan Lokal terhadap
Pemberian Putak Fermentasi
Tujuan percobaan adalah memperoleh tingkat penggunaan putak hasil
fermentasi campuran (hasil terbaik percobaan 2) dalam konsentrat yang dapat
menunjang

pertumbuhan optimum ternak kambing yang diberi jerami padi

sebagai hijauan tunggal. Ternak yang digunakan adalah 20 ekor kambing kacang
(lokal) jantan periode pertumbuhan berumur antara 7 10 bulan. Semua petak
kandang yang digunakan dilengkapi dengan harness untuk koleksi feses dan urin.
Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan

28
4 ulangan. Perlakuan terdiri dari 5 macam ransum dengan tingkat penggunaan
putak fermentasi (PF) yang berbeda yaitu, R0, R1, R2, R3 dan R4. Sebelum
pelaksanaan penelitian semua ternak diberi obat cacing dan vitamin. Ransum
perlakuan terdiri dari :
R0
R1
R2
R3
R4

= jerami padi + konsentrat yang mengandung 10% putak tanpa olah


= jerami padi + konsentrat yang mengandung 10% putak fermentasi
= jerami padi + konsentrat yang mengandung 20% putak fermentasi
= jerami padi + konsentrat yang mengandung 30% putak fermentasi
= jerami padi + konsentrat yang mengandung 40% putak fermentasi

Percobaan berlangsung selama 12 minggu yang terdiri dari dua minggu


pra penelitian (preliminary period) dan 10 minggu pengumpulan data (collecting
period). Pemberian ransum berdasarkan kebutuhan bahan kering ternak yaitu 3%
bobot badan. Konsentrat disusun isoenergiprotein yakni protein 17% dan TDN
75% dengan ratio pemberian hijauan dan konsentrat 40 % : 60 %, hijauan adalah
jerami padi sedangkan konsentrat adalah campuran jagung, dedak halus, bungkil
kelapa, tepung daun gamal serta putak terfermentasi sesuai perlakuan. Komposisi
bahan pakan konsentrat perlakuan hasil perhitungan disajikan pada Tabel 1
sedangkan kandungan nutrien hasil analisis proksimat disajikan pada Tabel 2.
Perubahan konsumsi pakan diamati secara berkala dari perubahan bobot
badan melalui penimbangan pada setiap minggu. Jerami padi dan air minum
diberikan secara ad libitum. Konsentrat diberikan sebanyak 60% dari kebutuhan
BK yakni 3% bobot badan. Peubah yang diamati adalah pertambahan bobot badan
harian, efisiensi penggunaan ransum, konsumsi dan kecernaan nutrien serta retensi
nitrogen.

Pembuatan Putak Fermentasi


Untuk pembuatan putak fermentasi dalam jumlah banyak yang akan
digunakan sebagai bahan campuran konsentrat, dilakukan prosedur yang sama
dengan tahap sebelumnya. Satu kilogram putak ditambah 1000 ml larutan nutrien
(ammoniumsulfat, kaliumphosphat dan urea), dikukus 30 menit, setelah dingin
dimasukkan baki plastik dicampur kultur T. reesei sebanyak 75g dengan ketebalan

29
media 4 cm, kemudian diinkubasi selama dua (2) hari, pada hari ketiga dicampur
lagi dengan 15 g kultur A. niger selanjutnya diinkubasi lagi selama 2 hari.
Setelah masa inkubasi selesai putak fermentasi dikukus 15 menit untuk
menghentikan proses fermentasi selanjutnya dijemur matahari selama 2 hari
kemudian digiling untuk dicampur dalam ransum.
Tabel 1. Komposisi bahan makanan konsentrat percobaan
Bahan (%)
Dedak padi
Jagung kuning
Putak tanpa olah
Putak fermentasi
Daun gamal kering
Bungkil kelapa
Jumlah
Vitamin

R0
15.19
17
10
0
16.16
41.66
100
2

R1
36.44
14
0
10
6.45
33.11
100
2

R2
41.97
11
0
20
4.45
22.57
100
2

R3
47.51
8
0
30
2.45
12.04
100
2

R4
53.04
5
0
40
0.46
1.5
100
2

Tabel 2 Komposisi nutrien konsentrat percobaan


Nutrien (%)
Bahan kering
Bahan organik
Protein
Lemak
Serat kasar
Abu
Energi (kkal)
Bahan Kering
Protein kasar
TDN

R0
88.76
81.35
17.38
11.24
8.67
7.41
4228
88.7
17
75

R1
88.84
80.43
17.73
11.16
9.28
8.41
4041
88.4
17
75

R2
89.74
81.05
17.21
10.26
9.08
8.69
4043
89
17
75

R3
88.12
81.47
17.11
9.88
8.81
8.65
3847
89.5
17
75

R4
89.45
82.74
17.05
8.55
9.61
8.71
3601
90
17
75

Pengukuran Peubah

Fermentasi in vitro
Teknik fermentasi in vitro yang digunakan adalah metode batch culture
(GLP 1966). Sebanyak 3 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi
kemudian ditambahkan 24 ml cairan inokulum dari rumen kambing dengan
menggunakan stomach tube dan 36 ml larutan penyangga McDougall lalu dikocok
yang sebelumnya dijenuhkan dengan CO2 agar pH berkisar antara 6.8 - 6.9.
Sebelum difermentasi isi fermentor juga dialiri CO2 agar terjadi suasana anaerob
dan kemudian fermentor ditutup rapat dengan tutup karet berventilasi. Selanjutnya
diinkubasi dalam shaker bath pada temperatur 40oC. Proses fermentasi dihentikan

30
dengan menggunaan 0.2 ml HgCl2 jenuh, kemudian sampel cairan rumen tersebut
diambil untuk dianalisis konsentrasi VFA dan NH3.
Pengukuran Asam Lemak Terbang (VFA) Total
Penentuan kadar VFA dengan cara penyulingan sesuai General Laboratory
Procedure (1966). Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung
khusus dan ditambahkan 1 ml H2SO4 15% lalu ditutup. Tabung dihubungkan
dengan labu pendingin tegak dan labu yang berisi air dan dipanaskan. Hasil
distilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N. Proses
distilasi berakhir bila distilat yang ditampung mencapai volume 300 ml, kemudian
ditambahkan 1 2 tetes indikator penopthalien dan dititer dengan HCl 0.5 N
hingga warnanya berubah dari merah jambu menjadi bening. VFA Total dihitung
dengan rumus :
VFA = { ( a b ) x N HCl x 1000/5 mM }
Dimana :
a = ml HCl yang diperlukan untuk titrasi blanko ( 5 ml NaOH)
b = ml HCl yang diperlukan unutk titrasi hasil distilasi
Pengukuran VFA partial ditentukan dengan metode gas kromatografi.

Pengukuran VFA Partial


Analisis konsentrasi VFA individual dengan menggunakan teknik
kromatografi gas. Cairan rumen diambil dengan stomach tube segera disentrifuse
pada kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4oC kemudian diambil
supernatannya. Sebanyak 2 ml supernatan dipipet ke dalam tabung plastik kecil
yang tertutup. Selanjtnya ke dalam tabung tersebut ditambahkan sebanyak 30 mg
5-sulphosalicylic

acid

(C6H3(OH)SO3H2H2O)

lalu

dikocok,

selanjutnya

disentrifus 3000 rpm selama 10 menit pada suhu 4oC lalu disaring dengan milipori
untuk memperoleh cairan jernih. Cairan ini kemudian diinjeksi sebanyak 1 ml ke
gas kromatograph. Sebelum injeksi terlebih dahulu diinjeksikan larutan standar
VFA. Kondisi alat : kolom (packing 10% sp-1200/1% H3PO4, 80/100 mesh
Chromosorb WAW) suhu 105oC, suhu injector 160oC, suhu detector (FID) 200oC,

31
kecepatan grafik 0,5 cm/menit, laju aliran gas N2 30ml/menit, laju aliran gas H2
30 ml/menit dan laju aliran gas O2 300 ml/menit.
Perhitungan konsentrasi VFA sample menggunakan rumus :
C (cM) = Tinggi sampel / tinggi standar x konsentrasi standar

Pengukuran Kadar N-NH3


Kadar N-NH3 ditentukan dengan teknik Mikro Difusi Conway (General
Laboratory Procedure 1966). Cairan rumen diambil dengan stomach tube,
masukkan dalam termos. Timbang 1 g sampel, masukan dalam tabung fermentasi
(dibuat duplo), tambahkan larutan McDougall 12 ml (suhu 39oC, pH 6.6 6.8)
selanjutnya tambahkan 8 ml cairan rumen lalu aliri gas CO2 selama 30 detik,
ditutup dengan penutup karet berventilasi, kemudian tabung dimasukkan dalam
waterbath bersuhu 39 40oC, fermentasi selama 1 jam. Setelah itu penutup
tabung dibuka, ditambahkan HgCl2 dan disentrifus pada kecepatan 10 000 rpm.
Sebanyak 1 ml supernatan diletakkan pada salah satu sekat cawan Conway
dan 1 ml Na2CO3 jenuh pada sekat yang lainnya. Pada cawan kecil bagian tengah
diisi asam borat (HBO3) berindikator merah methil, mulut cawan diolesi vaselin
dan ditutup selanjutnya digoyang-goyang agar kedua cairan bercampur, biarkan
pada suhu kamar selama 24 jam. Selanjutnya amonia yang terikat asam borat
dititrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai titik awal perubahan warna biru menjadi
kemerah-merahan. Kadar

N-NH3 dihitung dengan rumus :

N-NH3 = ( ml titrasi x N H2SO4 x 1000) mM


Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Organik (KcBO)
Kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro dilakukan dengan
metode Tilley and Terry (1966). Sebanyak 1 g sample dimasukkan dalam tabung
fermentor, ditambah dengan saliva buatan (larutan McDougall) 12 ml pada suhu
39oC dan pH 6.5 6.9 dan cairan rumen 8 ml, diinkubasikan secara anaerob
selama 24 jam dalam shakerbath. Setelah itu tutup tabung dibuka dan
ditambahkan 0.2 ml HgCL2 jenuh untuk membunuh mikroba. Tabung kemudian
disentrifus pada kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan
endapan ditambahkan 20 ml larutan pepsin 0.2 % dalam suasana asam.

32
Inkubasikan dalam suasana anaerob selama 24 jam. Endapan disaring dengan
kertas saring no. 41. Analisis kadar bahan kering dan organiknya dengan analisis
proksimat (AOAC 1980). Sebagai blanko digunakan cairan rumen tanpa
perlakuan.

Koefisien Cerna dihitung dengan rumus :


BK awal (BK residu BK blanko)
KcBK = ------------------------------------------------- x 100
BK awal
BO awal (BO residu BO blanko)
KcBO = ------------------------------------------------ x 100
BO awal

Protein Murni
Nilai protein murni dianalisis dengan metode yang dimodifikasi dari
metode Kjeldahl. Untuk mengetahui nilai protein murni dilakukan 2 macam
analisis nitrogen, yaitu: kandungan nitrogen total (Kjeldahl) dan kandungan
nitrogen terlarut, yaitu menentukan kandungan nitrogen yang terlarut dalam air,
untuk mengetahui nitrogen non-protein yang mungkin berasal dari nitrogen
anorganik yang tidak dimanfaatkan selama proses fermentasi. Protein sejati
(murni) diperoleh dengan cara mengurangi protein kasar dengan protein terlarut.

Percobaan in vivo

Konsumsi Ransum dan Pertambahan Bobot Badan Harian


Konsumsi ransum diketahui dengan mengurangi jumlah pemberian dan
sisa setiap hari, dan pertambahan bobot badan adalah selisih bobot minggu
penimbangam dengan minggu sebelumnya. Penimbangan dilakukan tiap minggu.

Konsumsi Nutrien
Konsumsi nutrien diperoleh dengan menimbang pakan yang diberikan
dikalikan dengan kandungan nutrien (BK, BO, PK) kemudian dikurangi sisa
pakan dikalikan dengan kandungan nutrien sisa pakan tersebut.

33
Kecernaan Nutrien
Kecernaan ditentukan dengan mengurangi nutrien yang dikonsumsi
dengan yang terdapat dalam feses dengan analisa proksimat, sedang energi diukur
dengan Bomb kalorimeter. Feses dikoleksi total selama 24 jam selama 10 hari,
diambil 5% sampel, dikeringkan dan dikomposit untuk analisis nutrien.
Kecernaan ransum/nutrisi ( metode koleksi total)
KC = I F / I x 100%
Dimana : Nutrien = BO, BK, Protein kasar, lemak kasar serat kasar
I
= Jumlah nutrien yang dikonsumsi
F
= Jumlah nutrien yang terbuang dalam feses
Analisis Data
Semua data yang diperoleh diolah dan dianalisa keragaman

menggunakan

ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncans Multiple Random Tests =
DMRT) menurut petunjuk Gasperz (1991) serta Mattjik dan Sumertajaya (2006).
Data dalam tabel disajikan dalam nilai rataan dan standar deviasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh Kapang Trichoderma


reesei dan Aspergillus niger

Pengamatan Umum Proses Fermentasi


Faktor lingkungan fisik seperti kadar air substrat, suhu ruang inkubasi,
bentuk dan ukuran partikel substrat, keseimbangan dan ketersediaan nutrien serta
konsentrasi inokulum, merupakan faktor yang berpengaruh terhadap fungsi fisik
dan aktifitas fisiologis mikrob selama proses fermentasi media padat.
Kadar air awal substrat adalah 75%, pada kadar air tersebut pertumbuhan
kapang terlihat cukup baik, berarti kadar air tidak menjadi faktor penghambat
aktifitas metabolisme kedua kapang. Hasil penelitian Sinurat et al. (1998) pada
fermentasi lumpur sawit oleh A.niger, diperoleh adanya peningkatan protein sejati
substrat lebih tinggi bila kadar air awal substrat 60% daripada 50%. Sedangkan
menurut Yang et al. (1993), kadar air substrat pada awal fermentasi yang baik
dalam menghasilkan protein tertinggi adalah lebih besar dari 68%.
Suhu merupakan faktor lain yang ikut mempengaruhi efisiensi konversi
substrat menjadi massa sel (protein). Suhu kamar inkubasi pada saat percobaan
berlangsung berkisar 29 32oC dengan kelembaban udara 62 78%. Pengaruh
suhu juga pernah dilaporkan Sinurat et al. (1998) pada penelitian dengan lumpur
sawit dimana kadar protein sejati lebih tinggi pada suhu inkubasi 32oC dibanding
29oC. Suhu optimum pertumbuhan A.niger maupun T.reesei menurut Frazier dan
Westhoff (1981) adalah antara 35 - 37 oC.
Sifat porositas medium merupakan faktor yang penting dalam menunjang
pertumbuhan mikrob yang diinokulasikan. Medium dengan porositas yang baik
memungkinkan penetrasi udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan
kapang dapat terjadi pada seluruh bagian medium. Porositas medium percobaan
cukup baik karena di dukung oleh bentuk serta ukuran partikel medium. Cacahan
putak berukuran 1.0x1.5cm cukup ideal dalam mendukung porositas medium
untuk terjadinya penetrasi oksigen yang dibutuhkan kapang guna merangsang
proses metabolismenya. Moo-Young (1983) serta Tsao dan Chiang (1983)
menyatakan bahwa aerasi sangat penting bagi pertumbuhan dan produksi enzim,

35

sebab oksigen dibutuhkan dalam metabolisme energi untuk menjamin biosintesa


selulase, selanjutnya menurut Moo-Young (1983) bahwa tekanan O2 (pO2) yang
tinggi dapat menstimulir produksi enzim amilase.
Menurut Aunstrup et al. (1979) bahwa pertumbuhan mikrob dipengaruhi
secara langsung oleh nutrien yang ada di dalam medium. Rasio karbon dan
nitrogen yang sesuai sangat diperlukan dalam pertumbuhan kapang. Selanjutnya
dikemukakan oleh Litchfield (1979) bahwa rasio C : N untuk pertumbuhan
kapang adalah 20 : 1 akan tetapi rasio 5 : 1 hingga 15 : 1 paling sering digunakan
Dikemukakan lebih lanjut oleh Moo-Young (1983) bahwa indikator penting
regulasi nutrisional terhadap pertumbuhan kapang pada fermentasi substrat padat
adalah ketersediaan unsur C dan N lebih penting daripada rasio. Artinya bahwa
rasio C : N, 13:1, sebagaimana pada percobaan ini mampu mendukung kebutuhan
pertumbuhan kapang yang diinokulasikan hingga hari ke tiga untuk A.niger dan
hari ke empat untuk T.reesei.
Laju pertumbuhan kapang A.niger dalam substrat cukup cepat terlihat dari
waktu inkubasi satu hari, pada permukaan substrat telah nampak miselium putih,
berarti kapang telah memasuki fase tumbuh eksponensial. Hari kedua inkubasi
seluruh permukaan substrat telah tertutup miselium putih keabu-abuan serta mulai
nampak adanya spora, dan pada hari ketiga spora berwarna hitam telah menutupi
hampir seluruh permukaan substrat. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
maksimal dari A.niger pada substrat ini terjadi pada hari kedua, sama dengan pada
substrat ampas sagu sebagaimana yang dilaporkan oleh Supriyati et al. (1995).
Sebaliknya dengan T.reesei, pertumbuhannya lebih lambat karena pada hari kedua
setelah inokulasi baru terlihat adanya miselium putih tipis, dan hari keempat mulai
tumbuh spora yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau pada permukaan
substrat. Jaelani (2007) melaporkan bahwa maksimal pertumbuhan jumlah koloni
kapang T.reesei terjadi pada 60 jam setelah inokulasi.
Hari ketiga inkubasi kapang pada A.niger dan empat hari pada T.reesei
mungkin telah berada pada fase stasioner pertumbuhan. Kemungkinan tersebut
didasarkan pada kadar protein terutama protein murni putak yang maksimum,
disamping itu pertumbuhan spora juga telah menutupi permukaan substrat. Fase
stasioner merupakan fase dimana jumlah kapang tidak bertambah akibat jumlah

36

kapang yang tumbuh sama dengan jumlah yang mati. Menurut Fardiaz (1988)
bahwa fase stasioner terjadi karena nutrien dalam medium sudah sangat berkurang
juga karena terjadi akumulasi metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan.
Alexopolous et al. (1997) menyatakan bahwa awal pembentukan spora
mengisyaratkan proses metabolisme kapang menjadi minimal serta produksi
enzim juga mulai berhenti. Sporulasi merupakan respon kapang terhadap kondisi
lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan yang dapat disebabkan oleh
kekurangan nutrien, perubahan suhu, pH dan faktor lainnya. Dengan demikian,
dapat dikemukakan bahwa pada medium seperti putak, waktu inkubasi tiga hari
merupakan waktu yang optimum bagi proses fermentasi oleh A.niger, dan empat
hari pada T.reesei.

Kualitas Nutrien Putak Hasil Fermentasi oleh A.niger


Hasil analisis proksimat substrat sebelum dan sesudah difermentasi dengan
kapang A.niger disajikan pada Tabel 3. Secara keseluruhan, hasil tersebut
menunjukkan bahwa jumlah kultur mempangaruhi lama inkubasi.

Gambar 7 Putak fermentasi A.niger umur 1 hari dan 3 hari

Protein Kasar
Kadar protein kasar (PK) putak pada level kultur A3 (3.6 x 107 per gram)
adalah 19.81% nyata lebih tinggi (P0.05) dibandingkan level A1 (1.2 x 107) dan
A2 (2.4 x 107 ) masing-masing 16.36 dan 17.67% tetapi tidak beda dengan level
A4 (4.8 x 107) yaitu 19.52% pada lama inkubasi yang sama maupun semua
perlakuan lama inkubasi. Pada level kultur rendah lama inkubasi nyata
mempengaruhi kadar protein substrat, karena masih terjadi kenaikan kadar protein

37

hingga inkubasi hari keempat dan nyata lebih tinggi dibanding dua dan tiga hari
inkubasi. Hal ini mungkin disebabkan masa adaptasi yang lebih lama pada level
kultur rendah seperti dikemukakan oleh Fardiaz (1988) bahwa jumlah awal sel
yang semakin tinggi akan mempercepat masa adaptasi, disamping itu pemanfaatan
nutrien yang tersedia dalam substrat juga rendah akibat kepadatan kultur yang
longgar.
Tabel 3 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh A. niger
dengan level kultur dan lama inkubasi yang berbeda
Level A.niger ( %)
2.4x107 cfu/g

Lama
Inkubasi
(hari)
(W)
0

PK
14.17

PM
3.25

SK
9.70

BK
91.05

BO
84.11

0.5 (A1)

2
3
4

15.47a
16.36a
17.15a

7.86a
9.28a
9.92a

7.49a
10.79c
9.46a

93.56 b
93.68 c
92.19 b

87.23 b
87.0 b
85.52 d

1.0 (A2)

2
3
4

16.70 b
17.67b
18.18b

9.59b
10.67b
10.64a

8.91b
9.96a
9.39a

93.15 b
92.72 b
91.58 a

86.69 b
86.07 b
84.96 c

1.5 (A3)

2
3
4

17.47c
19.81c
19.73c

9.01b
12.53c
11.18a

11.85d
12.22d
10.00a

92.25 b
92.24 b
91.59 a

85.84 b
85.51 b
84.84 b

2.0 (A4)

2
3
4

18.78d
19.52c
19.16c

9.47b
10.69b
11.25b

9.55c
10.47c
10.52a

91.34 a
90.70 c
90.4 a

84.20 a
83.38 a
82.84 a

(A)

Kadar Nutrien Putak (% BK)

Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(P<0.05) antara lama inkubasi.

Level kultur A3 dengan lama inkubasi tiga hari (W3) menghasilkan protein
kasar terbaik yakni 19.81% dari sebelumnya 2.53%. Oleh karena itu lama
inkubasi dan level kultur ini (A3W3) merupakan perlakuan terbaik dalam
memperbaiki kualitas (PK, PM dan SK) putak. Kandungan pati substrat yang
cukup tinggi turut menunjang terjadinya konversi putak menjadi protein yang
tercermin dari tingginya peningkatan protein putak. Pati mudah dimanfaatkan oleh
kapang,

karena A. niger

merupakan jenis

kapang

yang

juga mampu

menghasilkan banyak macam enzim ekstraseluler, seperti -amilase, selulase,

38

glukoamilase, - dan - glukosidase, sehingga terjadinya peningkatan protein


kasar tersebut boleh jadi karena terkonversinya pati menjadi protein. Proses
biokonversi pati sebagai sumber karbon serta adanya sumber nitrogen bukan
protein (NBP) asal ammonium sulfat dan urea yang ditambahkan ke dalam media
menyebabkan proses metabolisme kapang berjalan selaras dalam mendukung
pertumbuhan kapang sehingga meningkatkan kandungan protein kasar substrat.
Hasil tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kompiang et al.
(1995) bahwa A.niger memproduksi enzim pendegradasi pati yang akan memecah
pati menjadi glukosa yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon oleh
kapang selama proses fermentasi. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini lebih
tinggi dari yang dilaporkan oleh Ginting (2000) dengan menggunakan khamir
Saccharomyces cerevisiae pada substrat yang sama yakni 8.92% (dari 2.53%).
Supriyati et al. (1993) melaporkan hasil penelitiannya menggunakan umbi ketela
pohon kupas sebagai medium fermentasi oleh A.niger dengan kenaikan protein
kasar dari 1.73% menjadi 18.44%. Selanjutnya hasil penelitian Biyatmoko (2002)
pada ampas sagu juga meningkatkan protein kasar dari 5.19 menjadi 13.19%
dengan lama inkubasi tiga hari. Penelitian

Gushairiyanto (2004) pada kulit

singkong yang difermentasi A.niger selama empat hari mengalami peningkatan


kadar protein kasar dari 4.41 menjadi 15.81%.
.
Protein Murni
Kadar protein murni (PM) pada level kultur A3 sebesar 12.53%, nyata
berbeda (P0.05) dari level A1 ( 9.28%) dan A2 (10.67%) tetapi tidak berbeda
(P>0.05) dengan level A4 (10.69). Artinya bahwa pada level tersebut jumlah
kultur dan ketersediaan nutrien substrat berada pada level optimum bagi
berlangsungnya proses metabolisme guna mendukung pertumbuhan kapang
hingga pada hari ketiga inkubasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Fardiaz (1988),
pertumbuhan adalah pertambahan jumlah massa sel atau organisme, selanjutnya
dengan adanya kenaikan jumlah massa sel kapang akibat pertumbuhan akan
meningkatkan kadar protein medium (Wang et al. 1979). Kadar PM yang
dihasilkan menunjukkan peningkatan protein sesungguhnya yang dapat digunakan
oleh ternak yang bukan berasal dari nitrogen bukan protein.

39

Lechninger (1991) menyatakan bahwa sumber N anorganik dimanfaatkan


oleh mikrob dalam sintesis protein setelah terlebih dahulu diubah menjadi
amonium dan karbondioksida oleh enzim ureasenya dan selanjutnya digunakan
untuk membentuk asam amino.
Kandungan pati putak yang tinggi serta adanya sumber nitrogen an
organik asal amonium sulfat dan urea yang ditambahkan ke dalam substrat
menyebabkan proses konversi pati menjadi protein sel berlangsung seimbang
dalam meningkatkan kualitas putak. Sebagaimana dinyatakan oleh Wang et al.
(1979) bahwa besarnya pemanfaatan sumber pati bagi sintesa protein dipengaruhi
oleh beberapa proses yang berlangsung dalam sistem fermentasi itu sendiri, yaitu
a), proses penguraian pati menjadi monomer sederhana; b), proses penguraian
urea menjadi NH3 sebagai sumber nitrogen siap pakai; dan c), proses
pembentukan protein melalui ikatan karbon-amonia (R-NH3). Ketiga proses diatas
harus terjadi secara sinergi dan serentak agar diperoleh hasil yang maksimal.
Peningkatan protein murni di atas lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh
Biyatmoko (2002) menggunakan kapang A.niger pada ampas sagu yang dapat
meningkatkan protein murni dari 2.16% menjadi 9.55%. Demikian juga yang
dilaporkan oleh Sinurat et al. (1998) dengan menggunakan lumpur sawit sebagai
substrat menunjukkan pertumbuhan kapang dalam menghasilkan protein sejati
terbaik (dari 10.44% menjadi 16.70%). Perbedaan tersebut mungkin disebabkan
perbedaan jenis maupun kualitas substrat. Penggunaan bahan yang mengandung
pati untuk menghasilkan protein sel tunggal merupakan pilihan, oleh karena pati
lebih cepat dan mudah didegradasi dan dimanfaatkan oleh banyak kelompok
mikrob (Valdivia et al. 1983) dimana kadar pati bahan berpengaruh terhadap
kadar protein yang dihasilkan.
.
Bahan Kering
Tabel 3 menunjukkan terjadi peningkatan kadar BK dan BO, hal ini
mungkin dapat dijelaskan bahwa secara numerik ada peningkatan tetapi secara
absolut terjadi penurunan kedua komponen tersebut, oleh karena saat percobaan
tidak dilakukan penimbangan akhir terhadap sampel.

40

Bahan kering maupun bahan organik merupakan sumber nutrien bagi


kapang dan penggunaannya sangat dipengaruhi oleh kemampuan metabolisme
serta daya larut unsur nutrien tersebut. Kapang memanfaatkan nutrien yang
tersedia dalam medium untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dimana
molekul-molekul sederhana yang larut sekitar hifa dapat langsung dimanfaatkan,
sedangkan komponen yang lebih kompleks seperti protein, selulosa, pati dan
lain-lain harus didegradasi terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam sel
(Rahman 1992).
Peningkatan suhu medium selama proses fermentasi merupakan tanda
adanya kegiatan metabolisme kapang yang ditumbuhkan dan hal ini terlihat dari
banyaknya titik-titik air yang menempel pada dinding wadah. Meningkatnya suhu
medium menyebabkan terjadinya penguapan air substrat dan selanjutnya
mempengaruhi komposisi substrat secara keseluruhan.

Bahan Organik
Kehilangan bahan organik pada proses fermentasi disebabkan bahan
organik dirombak oleh enzim mikroba guna memenuhi kebutuhan energi bagi
pertumbuhan kapang dan akan dihasilkan panas, air dan karbondioksida,
akibatnya terjadi perubahan komposisi bahan.
Data juga memperlihatkan bahwa level kultur dan lama inkubasi yang
makin tinggi menyebabkan kehilangan BK dan BO juga makin banyak. Pada level
kultur A4 dengan lama inkubasi W2, W3, dan W4, berturut-turut adalah 91.34,
90.70 dan 90.41% sedangkan pada level A1, 93.56, 93.68 dan 92.19%. Waktu
inkubasi yang makin panjang akan memberi kesempatan kepada kapang untuk
merombak BO yang tersedia dalam substrat.

Serat Kasar
Perubahan kadar serat kasar sebelum dan sesudah difermentasi
menunjukkan peningkatan khususnya pada level kultur terpilih (A3) yaitu 12.22%
dari sebelumnya 9.7%, dan nyata (P0.05) lebih tinggi dari level rendah A1
(10.79%) atau A2 (9.96%) tetapi sama dengan A4 (10.47%). Hal ini dapat terjadi

41

karena pertumbuhan kapang ikut menyumbangkan serat kasar yang berasal dari
miselium sehingga makin banyak massa sel makin tinggi kadar serat.
Kadar serat substrat yang meningkatt merupakan indikasi adanya
pertumbuhan kapang. Menurut Fardiaz (1988) bahwa kapang adalah organisme
eukariotik yang tumbuh dengan cara perpanjangan hifa. Dikemukakan lebih lanjut
oleh Gandjar et al. (2006) bahwa salah satu komponen penting dinding sel kapang
adalah kitin dan kitosan. Dalam analisis proksimat komponen tersebut terhitung
sebagai serat kasar. Dengan demikian akibat pertumbuhan akan meningkatkan
serat dalam substrat. Selain itu perombakan media untuk memperoleh nutrien bagi
pertumbuhan kapang menyebabkan terjadi perubahan komposisi media karena
terjadi kehilangan komponen non serat selama proses inkubasi. Kehilangan
tersebut menyebabkan komposisi medium secara kseluruhan ikut berubah.
Meski demikian peningkatan serat kasar yang terjadi hanya kecil,
kemungkinan karena serat kasar dalam substrat juga didegradasi oleh kapang
mengingat A.niger merupakan mikrob selulolitik yang juga mampu mendegradasi
serat meski pertumbuhannya sendiri menyumbangkan serat kasar ke dalam
substrat.
Meningkatnya serat kasar putak akibat fermentasi juga dilaporkan oleh
Ginting (2000) yakni dari 12.01 menjadi 12.12%. Perbedaan ini mungkin sebagai
akibat dari perbedaan jenis mikrob yang digunakan. Selanjutnya penelitian
Biyatmoko (2002) menggunakan A.niger menyebabkan kadar serat ampas sagu
meningkat dari 24.18% menjadi 25.95% setelah inkubasi tiga hari. Demikian juga
penelitian Supriyati et al. (1995) pada ampas sagu terjadi peningkatan dari
18.48% menjadi 22.29%. Berbeda dengan hasil-hasil di atas, penelitian Suryahadi
dan Amrullah (1989) menggunakan kapang A.niger dapat menurunkan kadar serat
kasar onggok dari 14.24% menjadi 13.72%.

Kualitas Nutrien Putak Hasil Fermentasi oleh T.reesei

Protein Kasar
Secara umum A.niger maupun T.reesei mempunyai kecenderungan yang
sama dalam hal kemampuan memperbaiki kualitas substrat. Kadar protein kasar

42

putak pada level kultur T2 (1.485 x 106) dengan lama inkubasi empat hari (W4)
sebesar 20.60%, nyata lebih tinggi (P0.05) dari level T1 (0.99 x 106) dan T3
(1.98 x106) masing-masing 17.40 dan 20.53%. Nilai tersebut lebih tinggi dari
yang dilaporkan Suhartati et al. (2003) menggunakan T.reesei pada fermentasi
pod coklat mampu meningkatkan kadar protein kasar dari 5.53% menjadi 6.5%,
juga Jaelani (2007) pada fermentasi bungkil inti sawit dapat meningkatkan kadar
protein kasar dari 16.5% menjadi 24.37%. Demikian halnya dengan Noviati
(2002) yang menggunakan T.harzianum juga mampu meningkatkan protein kasar
ampas tahu dari 24.57% menjadi 32.83% setelah diinkubasi enam hari. Perbedaan
tersebut mungkin disebabkan jenis dan komposisi substrat yang digunakan.

Gambar 8 Putak fermentasi T.reesei pada umur 2 hari (kiri) dan 4 hari (kanan)

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada level kultur rendah (T1) membutuhkan


waktu inkubasi lebih lama daripada level tinggi, berarti pada kultur rendah
membutuhkan fase adaptasi (lag) yang lebih lama. Dikemukakan oleh Fardiaz
(1988) bahwa jumlah awal sel mempengaruhi kecepatan fase adaptasi. Hal ini
menunjukkan bahwa konsentrasi kultur awal yang tinggi memungkinkan
pertumbuhan juga semakin besar. Pertumbuhan mikrob yang cepat juga turut
meningkatkan kandungan protein substrat karena banyak terbentuk miselium.

43

Tabel 4 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh T.reesei


dengan level kultur dan lama inkubasi yang berbeda
Level T.reesei
(%)
1.98x105 cfu/g
T

Lama
Inkubasi
(hari)
W
0

PK
14.17

PM
3.25

SK
9.70

BK
91.05

BO
84.11

5.0 (T1)

2
3
4

15.60a
16.45a
17.40a

4.95a
5.82a
7.32a

7.14a
8.32b
6.61a

95.22 b
95.62 b
94.61 c

90.62 c
90.54 a
87.95 c

7.5 (T2)

2
3
4

17.74b
19.52b
20.60b

7.83b
11.32c
13.25b

8.03b
8.60c
9.08b

93.60 a
92.77 a
92.63 b

88.87 b
86.25 a
85.78 b

10.0 (T3)

2
3
4

19.29c
20.44c
20.33b

10.60c
11.04c
12.09b

7.05a
7.93a
10.57c

93.86 a
92.87 a
90.79 a

87.49 a
86.17 a
83.26 a

Kadar Nutrien Putak (%BK)

Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan interaksi
(P<0.05) antar perlakuan

nyata

Laju pertumbuhan kapang yang cepat tergambar dari terjadinya


peningkatan kadar protein kasar medium. Pada level kultur rendah (T1), laju
pertumbuhan kapang juga lambat yang ditandai oleh peningkatan kadar protein
yang kecil dan masih terus bertambah hingga inkubasi hari ke-4. Akibat
rendahnya kepadatan kultur dalam medium maka tingkat pemanfaatan nutrien
yang tersedia juga melebihi kebutuhan sehingga pertumbuhan kapang masih terus
terjadi hingga hari keempat inkubasi. Sebaliknya dengan perlakuan level T2 dan
T3 dimana pertumbuhan terjadi lebih cepat, pemanfaatan sumber-sumber nutrien
juga tinggi oleh karena itu lebih cepat mencapai fase stasioner yang mungkin
disebabkan persediaan nutrien mulai berkurang serta terjadi akumulasi zat-zat
metabolik yang dapat menghambat pertumbuhan.
Kemampuan kapang T.reesei menghasilkan enzim selulolitik seperti Endo
dan Ekso-glukanase (selobiohidrolase) memberikan keuntungan dalam hal
produksi protein. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pakula et al. (2005)
bahwa kapang mampu memproduksi enzim dalam jumlah yang tinggi, dan
produksi ini setara dengan 40 g/l protein ekstraseluler. Selobiohidrolase I (CBHI)
merupakan komponen enzim terbanyak yang diproduksikan dan menyumbang
ke dalam substrat sekitar 60% dari total protein yang disekresikan. Artinya bahwa

44

disamping protein massa sel yang disumbangkan pada medium juga dihasilkan
protein ekstraseluler dari enzim.

Protein Murni
Peningkatan kandungan protein kasar sejalan dengan peningkatan protein
murni. Hal tersebut disebabkan kapang dapat memanfaatkan sumber-sumber
nutrien yang tersedia dalam substrat bagi pertumbuhannya. Dikemukakan oleh
Rahman (1992) bahwa akibat pertumbuhan mikrob dalam substrat kadar protein
substrat meningkat.
Kadar PM terbaik 13.25%, diperoleh dari level kultur yang sama dengan
protein kasar yakni T2 dan W4 dan nyata lebih tinggi bila dibanding T1W4 (7.32%)
atau T3W4 (12.09%). Hal ini menunjukkan proses konversi pati menjadi protein
sel kapang juga terjadi dengan baik pada T.reesei. Menurut Valdivia et al. (1983)
bahwa penggunaan bahan berpati dalam menghasilkan protein sel tunggal
merupakan pilihan yang tepat karena pati mudah digunakan oleh banyak mikrob.
Proses sterilisasi medium dengan cara dikukus turut menunjang
ketersediaan substrat sebagai sumber nutrien bagi mikrob yang ditumbuhkan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Isaac dan Jennings (1995) bahwa efisiensi
penggunaan sumber karbon seperti karbohidrat dalam fermentasi dapat bertambah
bila dilakukan pemanasan. Pemanasan dapat mengubah bentuk fisik bahan padat
dan kering menjadi lebih lunak serta meningkatkan kadar air bahan. Disamping
itu pemanasan juga mengakibatkan terjadi gelatinisasi terutama pada karbohidrat
dan menyebabkan pati menjadi lebih mudah dihidrolisis sehingga proses
pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan menjadi lebih baik.

Serat Kasar
Fermentasi putak dengan T.reesei pada level terpilih (T2W4) menyebabkan
penurunan kadar serat kasar substrat yakni 9.70% sebelum difermentasi menjadi
9.08% setelah difermentasi. Hal ini berbeda dengan kapang A.niger yang kadar
serat kasar substrat lebih tinggi setelah difermentasikan. Secara keseluruhan kadar
serat kasar hasil fermentasi dengan T.reesei lebih rendah daripada dengan A.niger.

45

Kenyataan ini menunjukkan kemampuan kapang dalam menghasilkan


enzim selulase untuk mendegradasi komponen selulosa yang ada dalam medium.
Enzim selobiohidrolase (C1 =CBH) yang dihasilkan kapang berfungsi untuk
menghidrolisis selulosa yang ada dalam substrat. Fungsi utama enzim ini adalah
mendegradasi

selulosa

menjadi

selobiosa.

Seperti

dikemukakan

bahwa

Trichoderma reesei merupakan kapang yang sangat potensil dalam menghasilkan


enzim endo- dan ekso-glukanase (Panda et al. 1988, Pakula et al. 2000, Pakula
et al. 2005) dan enzim ini akan mendegradasi selulosa menjadi selobiosa sebagai
satu-satunya produk akhir hidrolisis (Tsao dan Chiang 1983, Juhasz et al. 2003),
tetapi akumulasi selobiosa dalam medium dapat menghambat kerja enzim yang
bersangkutan.

Bahan Kering dan Organik


Kemampuan kapang memanfaatkan BK dan BO sebagai sumber nutrien
sama dengan kapang sebelumnya. Kehilangan BK dan BO sangat tergantung pada
jumlah kultur serta lama inkubasi. Hal ini dapat dipahami karena untuk
pertumbuhannya kapang memerlukan nutrien dan nutrien tersebut ada dalam BO
atau BK yang mana semakin tinggi volume kultur maka perombakan BO terutama
juga makin banyak. Demikian juga dengan bertambahnya waktu inkubasi maka
makin banyak kesempatan bagi kapang untuk mendegradasi unsur-unsur organik
substrat guna memenuhi kebutuhannya untuk bertumbuh sehingga mengakibatkan
berkurangnya kedua unsur tersebut, disamping faktor lain dari proses fermentasi
itu sendiri.

Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran A.niger dan T.reesei dalam


Putak sebagai Substrat
Protein
Rataan komposisi nutrien putak hasil fermentasi kultur campuran seperti
tergambar pada Tabel 5. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa jumlah awal
kultur yang tinggi menyebabkan laju pertumbuhan kapang juga lebih cepat yang
ditandai oleh tingginya kadar protein substrat. Demikian halnya dengan kadar BK
dan BO yang juga semakin berkurang dengan makin besarnya level kultur. Hal

46

tersebut terjadi karena dalam pertumbuhannya, kapang merombak komponen


substrat dalam memenuhi kebutuhan pertumbuhannya.

Gambar 9 Putak fermentasi campuran T.reesei dan A.niger siap panen

Berdasarkan pengamatan tahap sebelumnya terhadap kemampuan tumbuh


masing-masing kultur dalam substrat yang dicobakan (putak), dimana A.niger
lebih cepat tumbuh dibanding T.reesei, maka pada perlakuan penundaan
pencampuran kedua kultur, T.reesei yang terlebih dahulu diinokulasikan. Kultur
campuran T.reesei dan A.niger diperoleh dengan cara penundaan pencampuran
pada nol, satu, dan dua hari. Hasil analisis terhadap komposisi nutrien putak
terfermentasi (PF) serta fermentabilitas rumen in vitro tersaji pada Tabel 5 dan 7.
Pada semua peubah yang diukur, secara keseluruhan menunjukkan hasil yang
lebih baik bila dilakukan penundaan pencampuran dua hari, yakni bila A.niger
diinokulasikan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari (D2).
Kombinasi kultur T2A3 (level 7.5% T.resei dan 1.5% A.niger) dengan D2
(dua hari lama penundaan pencampuran) menghasilkan kadar protein kasar
23.62% dan murni 14.92%, terbaik dan nyata lebih tinggi (P0.05) dari semua
kombinasi level yang dicobakan. Hasil tersebut juga lebih baik daripada kultur
tunggal masing-masing kapang seperti pada Percobaan I.
Peningkatan kadar protein substrat dengan kombinasi level kultur rendah
(T1 dan A1 atau A2) terlihat hanya kecil perubahannya yakni berkisar antara
18.61 18.81% dan 10.02 11.79% masing-masing untuk kadar PK dan PM. Hal
ini menunjukkan kombinasi level kultur rendah membutuhkan waktu inkubasi
yang lebih panjang akibat masa adaptasi (fase lag) yang juga lebih lama.

47

Sebaliknya dengan kombinasi kultur tinggi (T2 dan A3 atau A4) peningkatan
kadar kedua unsur di atas lebih baik yakni berkisar antara 22.71 23.62% dan
13.39 14.92% masing-masing untuk PK dan PM.
Menurut Fardiaz (1988) bahwa jumlah awal sel yang semakin tinggi akan
mempercepat fase adaptasi, demikian juga semakin tinggi kecepatan pertumbuhan
akan meningkatkan jumlah massa sel. Fenomena ini menggambarkan bahwa
kombinasi level T.reesei dan A.niger yang sesuai pada fermentasi campuran
menggunakan putak sebagai substrat perlu dipertimbangkan agar efek sinergisme
dalam proses fermentasi menjadi lebih bermanfaat.
Tabel 5 Komposisi nutrien putak fermentasi campuran A.niger dan T.reesei
dengan lama penundaan pencampuran 2 hari (D2)
Kombinasi

0
T1A1
T2A1
T3A1
T1A2
T2A2
T3A2
T1A3
T2A3
T3A3
T1A4
T2A4
T3A4

Lama
delay
(hari)

2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2

Peubah (% BK)
BK
91.05
92.52 0.26
91.56 0.74
92.42 0.06
92.40 0.07
91.47 0.45
91.17 0.03
91.83 0.02
90.78 0.13
90.30 0.07
92.55 0.23
91.29 0.09
90.58 0.11

BO
84.11
84.94 0.25
83.91 0.72
84.06 0.03
84.65 0.02
82.62 0.35
82.11 0.02
84.46 0.03
82.90 0.22
82.04 0.09
84.61 0.22
83.13 0.05
81.72 0.05

PK
14.17
18.610.48
18.012.61
19.200.32
18.810.26
22.410.15
21.720.13
19.090.35
23.620.27
22.210.15
19.310.28
22.710.06
19.540.07

PM
3.25
11.79 0.47
13.01 0.17
11.94 0.51
10.02 0.74
11.88 0.13
14.58 0.12
12.59 0.63
14.92 0.27
12.89 0.16
13.10 0.28
13.39 0.05
13.28 0.12

SK
9.70
9.19 0.03
9.54 0.05
10.26 0.01
9.56 0.02
9.08 0.03
9.70 0.02
9.4 0.00
10.17 0.01
10.06 0.05
9.06 0.00
10.24 0.07
9.07 0.02

Aspergillus niger tergolong kapang yang cepat tumbuh dan mudah


beradaptasi, sebaliknya T.reesei lebih lambat, dengan demikian inokulasi T.reesei
dua (2) hari mendahului A.niger (perlakuan D2) tidak mempengaruhi laju
pertumbuhan masing-masing kapang tetapi menunjukkan adanya sinergi
metabolik antar spesies dalam memanfaatkan komponen substrat dan hasil
metabolit untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya sesuai kelebihan masing-masing
kapang. Efek sinergisme tersebut mungkin berjalan dengan baik dan optimum
pada kombinasi T2A3 yang dapat diprediksikan dari kadar protein kasar dan murni

48

pada kombinasi ini yang terbaik dari kombinasi-kombinasi lainnya. Diduga bahwa
kombinasi level tersebut adalah optimum dalam memanfaatkan sumber-sumber
nutrien yang ada, disamping itu tidak terjadi akumulasi metabolit yang dapat
mengganggu aktifitas masing-masing mikrob di dalam medium karena metabolit
tersebut digunakan oleh mikroba lainnya yang hidup bersama dalam medium.
23.62

25

14.17

15

12.22
9.24

10
5

20.6

19.81

20
9.7

13.25
9.08

14.92
10.17

12.53
2.5

PK
PM
SK

3.25

0
Awal

Tanpa
Kultur

An

Tr

An+Tr

Gambar 10 Komposisi nutrien putak sebelum dan sesudah fermentasi

Trichoderma reesei potensil dalam menghasilkan enzim endoglukanase


Cx=CMC-ase), eksoglukanase (cellobiohydrolase) yang akan menghidrolisis
selulosa menjadi selobiosa. Akumulasi selobiosa dalam medium akan
menghambat aktifitas kedua enzim tersebut. A.niger potensil dalam menghasilkan
enzim -glukosidase. Enzim ini berperan dalam hidrolisis selobiosa menjadi
glukosa (Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005). Oleh karena itu kombinasi kedua
kapang dapat bersinergi dalam proses degradasi selulosa secara sempurna.
Dikemukakan lebih lanjut oleh Juhasz et al. (2003) bahwa interaksi antara dua
spesies mikrob yang berbeda dapat dieksploitir dalam menghasilkan produk
fermentasi yang lebih baik. Interaksi ini terbukti pada kadar protein kasar maupun
murni yang lebih tinggi pada kultur campuran dibanding kultur tunggal masingmasing kapang.
Faktor-faktor fisik medium seperi aerasi, suhu, serta ketersediaan nutrien
cukup seimbang turut menunjang interaksi metabolisme pada kedua kapang.
Alasan ini didasarkan pada jumlah nutrien dalam substrat kultur campuran sama
dengan kultur tunggal, selanjutnya pada level terbaik kultur tunggal (T2 dan A3 )

49

kombinasi level tersebut juga yang terbaik dalam kultur campuran (T2A3).
Moo-Young (1983) mengemukakan bahwa tekanan O2 (pO2) meningkat dapat
menstimulir produksi enzim amilase. Artinya bahwa kebutuhan oksigen kapang
cukup, sehingga proses metabolisme pati dalam substrat menjadi glukosa dapat
berjalan baik guna menunjang pertumbuhan kapang yang lebih baik. Hommel
(1993) mengemukakan bahwa glukosa merupakan sumber karbon dan energi
utama bagi sebagian besar mikrob.
Perlakuan sterilisasi terhadap substrat bukan hanya untuk membunuh
mikrob lain yang tidak diinginkan tetapi juga ikut menyebabkan longgarnya
ikatan partikel pati sehingga lebih mudah diinvasi oleh enzim ekstraseluler kapang
terutama dalam pertumbuhan awal. Menurut Sofyan (1989) bahwa apabila
suspensi pati dipanaskan hingga 65oC atau lebih maka akan terjadi pengembangan
serta penguraian granula pati sehingga akan lebih mudah dicerna.
Akibat perlakuan yang dikenakan serta sinergisme yang terjalin di antara
kapang dalam substrat menyebabkan mikrob cukup mendapatkan nutrien bagi
pertumbuhan dan dapat dilihat dari kualitas putak yang dihasilkan pada fermentasi
campuran lebih baik ditinjau dari peningkatan kadar PK dan PM serta penurunan
kadar SK. Fermentasi medium padat didasarkan pada pembentukan ekosistim
untuk pertumbuhan mikrob yang diinokulasikan. Sifat porositas medium
merupakan faktor yang penting dalam menunjang pertumbuhan mikrob yang
ditambahkan. Medium dengan porositas yang baik dapat memungkinkan penetrasi
udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan dapat terjadi di seluruh
bagian medium. Hal di atas diduga dari jumlah dan komposisi nutrien medium
yang sama dengan kultur tunggal, meskipun kepadatan kultur meningkat ternyata
dapat memberikan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan mikrob tersebut.
Kombinasi kultur yang lebih tinggi seperti T3A4 mempengaruhi
pertumbuhan kapang akibat ketidak seimbangan antara faktor nutrisi dan jumlah
sel dalam medium. Efek sinergisme antar kultur juga mungkin kurang bermanfaat
karena kepadatan kultur yang tinggi dan tidak diimbangi dengan ketersediaan
nutrien sehingga terjadi persaingan dalam memanfaatkan sumber nutrisi yang
tersedia, akibatnya pertumbuhan kapang menjadi terhambat. Dengan demikian

50

dapat dikatakan bahwa, pada fermentasi campuran, kombinasi jumlah kultur yang
sesuai menyebabkan penggunaan substrat menjadi produk lebih efisien.
Faktor nutrisi biasanya merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan
mikrob terutama pada medium padat. Kultur campuran memungkinkan
penggunaan substrat yang bervariasi dalam hal komposisi bahan sehingga kapang
selulolitik tidak hanya menggunakan selulosa saja tapi bisa juga pati. Oleh karena
itu kapang amilolitik seperti A.niger bersama selulolitik seperti T.reesei dapat
menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dalam waktu yang singkat seperti hasil
percobaan ini.
Gambar 10 menggambarkan tahapan perubahan substrat (putak) sebelum
dan sesudah fermentasi secara tunggal oleh T.reesei (Tr) atau A.niger (An) serta
dalam kultur campuran T.reesei dan A.niger (Tr+An). Data memperlihatkan
perubahan kualitas substrat yang cukup signifikan akibat fermentasi baik pada
kultur tunggal maupun campuran. Sebagaimana dikemukakan oleh Winarno
(1992) bahwa substrat hasil fermentasi lebih baik dari substrat sebelumnya.

Fermentabilitas in vitro Putak Hasil Fermentasi Campuran

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik


Tabel 7 menunjukkan fermentabilitas putak fermentasi secara in vitro.
Kecernaan bahan kering dan bahan organik PF hasil percobaan cukup tinggi, yaitu
82.96 89.15% dan 80.12 89.73%.

Nilai kecernaan merupakan indikator

adanya aktifitas mikrob rumen. Tingginya angka tersebut memberi indikasi bahwa
produk dapat memberikan pengaruh baik terhadap aktifitas mikroba rumen.
Angka kecernaan bahan kering maupun organik putak dalam percobaan ini lebih
tinggi dibandingkan produk gabungan urea-putak dalam penelitian yang dilakukan
Wie Lawa (1996) yakni sebesar 73.09% dan 62.03% masing-masing untuk
kecernaan bahan kering dan organik bila produk dimasak selama 2 jam dan
ditambahkan urea 4% BK. Perbedaan ini membuktikan peran kapang pada proses
fermentasi dalam mengkonversi substrat menjadi komponen nutrisi yang lebih
sederhana dan mudah dicerna.

51

Selama proses fermentasi berlangsung, mikroorganisme menghasilkan


enzim untuk memecah komponen kompleks seperti selulosa atau polisakarida
lainnya menjadi bentuk yang lebih sederhana, oleh sebab itu menurut Winarno
(1992) bahwa makanan produk fermentasi memiliki nilai yang lebih baik dari
asalnya. Hal tersebut dapat terjadi karena mikroorganisme, selain bersifat
katabolik yaitu memecah senyawa kompleks menjadi sederhana, tetapi juga
karena mikroorganisme dapat mensintesa beberapa vitamin yang dapat
menstimulir pertumbuhan mikrob.
Bagi ternak ruminansia, tingginya tingkat kecernaan suatu bahan pakan
merupakan faktor penentu produksi mikrob rumen karena di dalam rumen pakan
akan lebih tersedia dan lebih mudah difermentasi guna menjamin ketersediaan
nutrien yang dibutuhkan mikrob rumen dalam proses prolifikasi sel yang pada
gilirannya merupakan sumber protein berkualitas tinggi bagi ternak inang.
Sebagaimana dikemukakan oleh Savvant et al. (1985) bahwa besarnya bahan
organik yang didegradasi merupakan indikator sintesa protein mikroba apabila
tersedia cukup N dan mineral. Fermentabilitas BO dan BK ransum dicerminkan
oleh produksi ammonia dan asam lemak terbang (VFA). Produksi VFA
menggambarkan fermentabilitas ransum atau pakan karena VFA merupakan hasil
proses fermentasi dan merupakan sumber energi utama bagi ruminansia (Owen
dan Begen1983, Preston dan Leng 1991).

Total Asam Lemak Terbang (VFA) dan Ammonia (N-NH3)


Rataan kadar VFA total, NH3, KcBK dan KcBO putak fermentasi
sebagaimana terlihat pada Tabel 7 untuk semua kombinasi perlakuan dengan lama
penundaan pencampuran dua hari (D2). Data lengkap peubah-peubah tersebut
dengan lama penundaan pencampuran 0, 1 dan 2 hari ada pada Lampiran 1 dan 2.
Konsentrasi asam lemak terbang (VFA) hasil percobaan berkisar antara
91.1 119.6 mM dan berada pada kisaran normal untuk menunjang pertumbuhan
mikrob rumen yang optimum sebagaimana dikemukakan oleh Sutardi (1995)
yakni 80 160 mM VFA. Hasil tersebut menunjukkan kualitas putak hasil
fermentasi sangat baik ditinjau dari fermentabilitas. Hal ini didukung oleh
kecernaan BK maupun BO yang juga tinggi. Pencernaan BO erat kaitannya

52

dengan produksi VFA dan sintesa protein mikrob, dengan demikian tingginya
kadar VFA pakan menggambarkan potensinya untuk mengubah amonia menjadi
protein mikrob. Fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan VFA sebagai
produk utama guna menyediakan energi dan karbon bagi pertumbuhan dan
mempertahankan komunitas mikrob.

Tabel 7 Fermentabilitas in vitro putak fermentasi campuran A.niger


dan T.reesei dengan lama penundaan pencampuran 2 hari
Kombinasi

T1A1
T2A1
T3A1
T1A2
T2A2
T3A2
T1A3
T2A3
T3A3
T1A4
T2A4
T3A4

Lama
delay
(hari)
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2

Peubah
KcBK (%)
82.96 0.11
88.73 1.29
89.25 0.41
89.15 0.24
89.92 0.83
84.44 0.36
84.43 0.12
84.89 0.74
87.47 0.03
86.15 0.56
88.36 0.34
84.66 0.03

KcBO (%)
82.19 0.13
89.20 1.2
89.73 0.82
88.93 0.11
89.74 0.13
84.21 0.57
83.89 0.32
80.12 0.07
87.62 0.17
84.98 0.13
88.72 0.14
80.72 0.04

N-NH3 (mM)
14.94 0.18
16.14 0.4
16.4 0.48
15.53 0.39
16.95 0.89
18.46 0.11
15.87 0.39
19.04 0.09
18.51 0.28
16.69 0.17
18.65 0.45
19.09 0.59

VFA Total mM)


91.14 1.52
114.05 2.17
108.33 0.06
94.94 1.11
100.63 5.61
112.47 1.33
108.07 1.99
107.82 5.23
119.58 3.12
99.01 0.63
108.08 1.95
117.18 0.46

Sebaliknya kadar NH3 14.9 19.0 mM lebih tinggi dari yang disarankan
Sutardi (1979) yakni 4 12 mM. Kadar amonia yang cukup tinggi ini mungkin
disebabkan tingginya kandungan sumber nitrogen bukan protein yang masih
tersisa dalam putak disamping kadar protein putak akibat fermentasi, sehingga
perombakannya dalam rumen menghasilkan amonia yang tinggi. Kemungkinan
lainnya adalah karena pada pengukuran in vitro, sebagaimana hasil ini diperoleh,
proses fermentasi berlangsung dalam tabung sehingga aktifitas penyerapan hanya
terbatas pada penggunaannya oleh mikroorganisme dan tidak ada yang terserap
melalui dinding rumen atau terbuang lewat urine, sehingga amonia yang terbentuk
terakumulasi dan cenderung meningkat. Menurut Sutardi (1979) bahwa dalam
merombak protein, mikrob rumen tidak mengenal batas karena produksi akan
terus terjadi meskipun kadarnya dalam rumen sudah cukup tinggi.
Tingginya konsentrasi amonia di atas mencerminkan kecepatan produksi
pencernaan nitrogen asal putak yang juga menunjukkan tingginya fermentabilitas

53

pakan tersebut. Kecukupan menyediakan amonia untuk pertumbuhan mikrob


rumen merupakan salah satu patokan dalam mengevaluasi protein pakan pada
ruminansia. Peningkatan populasi mikrob sangat menguntungkan bagi hewan
ternak, sebab selain meningkatkan kecernaan pakan dalam rumen, ternak juga
akan mendapat pasokan mikrob yang telah mati dan mengalir ke usus.
Amonia, bersama dengan VFA merupakan bahan utama pembentuk
protein mikrob yang berguna bagi induk semang. Dengan demikian, ditinjau dari
kadar amonia dan VFA substrat maka dapat dikatakan bahwa putak hasil
fermentasi dapat menyediakan prekursor nutrien yang baik untuk menunjang
sintesis protein mikrob rumen. Dengan demikian kemungkinan PF dapat
digunakan sebagai konsentrat tunggal dalam menciptakan ekosistim rumen yang
baik bagi perkembangbiakan mikroorganisme rumen, cukup terbuka.
Fermentabilitas

suatu

pakan

diukur

dari

kemampuannya

dalam

menghasilkan VFA yang ditunjang oleh ketersediaan NH3 yang cukup dalam
rumen. Menurut Suryahadi dan Amrullah (1984) bahwa sebagian besar mikroba
rumen menggunakan ammonia (NH3) untuk prolifikasi terutama untuk sintesa
protein tubuhnya. Sedangkan ketersediaan karbohidrat asal pakan akan dihidrolisa
menjadi VFA sebagai sumber energi. Hal tersebut menunjukkann hubungan
antara kedua unsur ini dalam menunjang pertumbuhan yang optimum bagi mikrob
rumen.
Hasil terbaik pada percobaan II yakni putak hasil fermentasi campuran

T.reesei dan A.niger yakni kombinasi T2A3 selanjutnya digunakan dalam uji
biologis dengan menggunakan ternak kambing jantan lokal sebagai ternak coba.

Percobaan III : Respon Ternak Kambing Jantan Lokal terhadap Pemberian


Putak Fermentasi

Konsumsi Pakan Basal


Jerami padi merupakan pakan basal yang diberikan secara ad libitum
kepada ternak percobaan. Perlakuan menyebabkan peningkatan konsumsi pakan
basal (jerami padi), dimana secara statistik perlakuan R4 yakni konsentrat yang
mengandung 40% putak terfermentasi nyata lebih tinggi (P<0.05) dari R0, R1, dan

54

R2 tetapi tidak beda dengan R3. Hasil penelitian Bamualim et al. (1993) pada
sapi Bali Timor yang diberi jerami padi dan suplemen putak ditambah urea
menyebabkan berkurangnya konsumsi jerami dari 2.16 menjadi 1.87kg/e/h,
demikian halnya pada ternak kambing dari 215 menjadi 190 g/e/h (Kana Hau

et al. (1993). Hal ini menggambarkan kemampuan putak terfermentasi (PF) bukan
hanya sebatas menyediakan nitrogen dan sumber karbon yang dibutuhkan
ekosistem rumen tetapi mungkin prekusor nutrien lainnya seperti asam amino dan
vitamin sehingga kondisi rumen menjadi lebih kondusif dalam memacu
pertumbuhan mikrob rumen sebagaimana pernyataan McAllan dan Smith (1983)
serta Wallace et al. (2001) bahwa meskipun mikroba selulolitik dikenal mampu
menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen utama, protein (true protein)
dalam ransum lebih baik dibanding urea dalam memacu perumbuhan mikrob.
Meningkatnya pertumbuhan mikrob rumen akan diikuti oleh meningkatnya
kecernaan pakan serta pergerakan makanan dalam saluran pencernaan menjadi
lebih cepat dan pada akhirnya ternak akan terangsang untuk mengkonsumsi
ransum. Leng (1991) mengemukakan bahwa tingkat konsumsi sangat dipengaruhi
oleh koefisien cerna, kualitas ransum, fermentasi dalam rumen serta status
fisiologis ternak.
Perbedaan konsumsi pakan basal pada percobaan ini menyebabkan
perbedaan konsumsi ransum serta nutrien lainnya karena konsentrat diberikan
dalam jumlah yang sama pada seluruh ternak perlakuan.
Tabel 8 memperlihatkan rataan konsumsi ransum dan nutrien (bahan
kering, bahan organik dan protein), yang ditampilkan berdasarkan konsumsi nyata
(as fed) serta berdasarkan bobot metabolis. Terlihat bahwa perlakuan
mempengaruhi konsumsi bahan kering dan bahan organik serta nutrien lainnya,
karena meningkatnya penggunaan PF mengakibatkan peningkatan konsumsi
nutrien baik secara as fed maupun bobot metabolis.

Bahan Kering dan Bahan Organik


Konsumsi bahan kering merupakan salah satu ukuran dalam mengetahui
konsumsi zat-zat makanan oleh

ternak yang dideposit dalam tubuh. Rataan

jumlah konsumsi bahan kering per ekor per hari berkisar antara 408.04 g (R0)

55

463.13 g (R4). Jumlah konsumsi R3 dan R4 nyata (P<0.05) lebih tinggi dari
perlakuan R0, R1 dan R2, demikian halnya dengan konsumsi bahan organik.
Konsumsi bahan kering ransum pada percobaan ini masih lebih tinggi daripada
yang dilaporkan Gushairiyanto (2004) yang berkisar antara 353.52 - 430.84 g
pada kambing kacang yang diberi 30% kulit umbi ketela pohon yang difermentasi
dengan A.niger tetapi lebih rendah dari hasil penelitian Uhi (2005) yakni 533.23 572.98 g pada domba yang diberi 30% suplemen katalitik gelatin sagu sebagai
sumber protein

Tabel 8 Rataan konsumsi nutrien ternak kambing


PEUBAH

PERLAKUAN
R1

R0

R2

R3

R4

Berdasarkan konsumsi pakan (g/e/h)


Kons.Ransm

455.697.99a

461.607.37a

476.153.38b

498.10 3.06c

510.756.83 c

Kons Jerami

163.801.8 a

168.349.35 a

187.028.04b

214.1914.04c

218.5919.18 c

Kons. BK

408.04 7.08a

411.133.69 a

425.923.5b

457.02 .85c

463.13 3.87 d

Kons. BO

326.885.4 a

329.352.8a

342.44 1.46b

368.71 4.87c

374.022.44d

Kons. PK

49.69 0.24 a

50.58 0.49b

50.65 0.43b

51.41 0.22c

51.80 0.13d

Kons. SK

53.761.38a

56.270.85 b

58.770.16 c

64.93 1.47d

67.530.73e

Berdasarkan bobot metabolis (g/kg BB0.75/h)


Kons.Ransm

57.62.5a

59.434.5a

58.331.9a

61.97 5.5 ab

63.281.5b

Kons Jerami

20.671.0 a

21.712.5 a

22.941.8ab

26.581.1bc

27.031.6 c

Kons. BK

51.582.33a

52.933.89 b

52.202.40b

56.79 .1.82c

57.40 2.25c

Kons. BO

42.582.02a

43.683.06a

43.19 1.82b

47.07 1.86c

47.61.43d

Kons. PK

6.280.35a

6.51 0.50a

6.21 0.23a

6.39 0.29 ab

6.42 0.20b

Kons. SK

6.790.27a

7.240.56 b

7.200.28 b

8.07 0.24b

8.370.33c

Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam
konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak
terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat
2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)
antara perlakuan

56

Data konsumsi nutrien berdasarkan bobot metabolis (BB0.75) seperti tersaji


dalam Tabel 8 memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan konsumsi ril
pemberian. Hal

tersebut menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruhi positip

terhadap konsumsi nutrien. Putak fermentasi mengandung protein organik berupa


protein sel tunggal (PST) dan kadarnya bertambah seiring peningkatan kadar PF
dalam ransum. Disamping mengandung protein berkualitas tinggi sebagai sumber
nitrogen untuk mikrob, putak fermentasi juga masih mengandung sumber nitrogen
lain yakni nitrogen bukan protein dari urea dan amonium sulfat yang tidak
termanfaatkan oleh kapang saat proses fermentasi putak berlangsung. Disamping
itu karbohidrat mudah tersedia dalam bentuk pati yang dapat dimanfaatkan oleh
mikrob rumen sebagai sumber kerangka karbon dalam proses prolifikasi sel.
Akibatnya, populasi mikrob rumen mungkin bertambah sehingga pencernaan
ransum meningkat, pergerakan ingesta meningkat, ternak mau mengkonsumsi
lebih banyak jerami padi sebagai sumber hijauan tunggal yang tersedia.
Dugaan di atas didukung oleh hasil percobaan tahap sebelumnya (Tahap
II) dimana kadar VFA dan NH3 putak terfermentasi terpilih untuk uji respon
ternak masing-masing adalah 107.82 mM dan 19.04 mM, berada pada kisaran
normal

untuk

menunjang pertumbuhan

mikrob

rumen

yang optimum.

sebagaimana yang dkemukakan oleh Sutardi (1979) yakni kisaran VFA 80 160
mM dan konsentrasi NH3 berkisar antara 4.00 12.00 mM. Hasil penelitian lain
seperti yang dilaporkan Mehrez et al. (1977) bahwa untuk memaksimumkan laju
fermentasi diperlukan konsentrasi amonia yang lebih tinggi yakni 16.78 mM.
Sedangkan Leng (1991) berpendapat bahwa kebutuhan amonia sangat bergantung
kepada jenis pakan. Konsentrasi amonia yang lebih tinggi diperlukan bila ternak
mendapatkan pakan dengan kecernaan rendah seperti jerami padi.

Kecernaan Nutrien
Unsur-unsur nutrien yang terdapat dalam ransum tidak seluruhnya dapat
dicerna, diserap dan digunakan oleh ternak sehingga ada yang dikeluarkan melalui
feses dan. urine. Rataan kecernaan nutrien ransum perlakuan disajikan pada
Tabel 9.

57

Tabel 9 Rataan kecernaan nutrien


PERLAKUAN
R0
R1
R2

PEUBAH

R3

R4

Kecernaan BK (%) 63.89 0.31a 65.4 5.49a


68.331.05b 72.481.77c 72.75 1.55c
a
a
Kecernaan BO,(%) 70.96 4.19
71.671.79
73.301.14b 74.630.92b 77.12 1.40c
a
a
Kecernaan PK, (%) 67.80 0.65
69.191.05
71.230.24a 74.501.09b 76.65 0.88b
a
b
Kecernaan SK (%) 38.80 0.69
39.75 1.67
45.341.09c 52.203.35d 60.318.03e
a
a
Retensi N (g/e/h)
10.800.56
10.22 0.65
12.040.35b 12.89 0.53c 12.98 0.45c
Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam
konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak
terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat
2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)
antara perlakuan

Bahan Kering
Nilai rataan kecernaan bahan kering adalah 63.89% pada perlakuan tanpa
putak terfermentasi dan tertinggi 72.75% pada perlakuan dengan kadar 40% putak
terfermentasi. Kisaran nilai tersebut berada di atas nilai kecernaan yang dianggap
cukup baik untuk ruminansia menurut Djajanegara (1983) yaitu sekitar 50 55%.
Nilai ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Kana Hau et al. (1993) yang berkisar
antara 45. hingga 67.4% masing-masing pada ternak kambing yang diberi jerami
padi saja serta jerami padi ditambah suplemen putak dan urea. Juga lebih tinggi
dari kambing yang diberi ransum dengan 10% kulit umbi ketela pohon hasil
fermentasi dengan A.niger yakni 62.56 69. 61% (Gushairiyanto 2004).
Tampak dari Tabel 9, pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan
bahan kering dimana ransum dengan kadar 30 dan 40% putak fermentasi berbeda
nyata (P<0.05) dari perlakuan 0, 10 dan 20%. Hal ini mengindikasikan bahwa
penggunaan

putak

terfermentasi

yang

makin

tinggi

dalam

konsentrat

menyebabkan perbaikan mutu ransum menjadi lebih baik. Kecernaan bahan


secara in vitro (Percobaan tahap II) juga menunjukkan hasil yang saling
menunjang.
Ransum perlakuan memberikan pengaruh positif terhadap kecernaan
nutrien (bahan kering, bahan organik, protein kasar, serat kasar), yakni dengan
bertambahnya kadar putak fermentasi dalam ransum maka kecernaan secara
keseluruhan ikut meningkat. Tingginya nilai kecernaan menunjukkan tingginya
aktifitas mikrob dalam rumen karena salah satu cara mengukur adanya aktivitas
mikroba rumen adalah dari nilai kecernaan komponen nutrien dalam ransum.
Aktifitas

mikrob

meningkat

berarti

populasinya

meningkat

karena

58

pertumbuhannya dipacu oleh NH3 dan VFA yang disediakan oleh putak
terfermentasi, akibatnya enzim pencerna nutrien yang dihasilkan juga menjadi
lebih banyak dalam mencerna komponen nutrisi yang ada.

Bahan Organik
Tabel 9 memperlihatkan rataan kecernaan bahan organik akibat perlakuan
yaitu terrendah pada R0 (70.96%) seterusnya hingga tertinggi pada R4 (77.12%).
Nilai ini lebih tinggi dari kecernaan bahan organik pada kambing yang diberi 10%
kulit umbi ketela pohon dan rumput gajah yakni 67.98% (Gushairiyanto 2004).
Tingginya nilai kecernaan bahan organik menunjukkan bahan organik yang
terdapat dalam putak mengalami degradasi secara sempurna baik dalam rumen
maupun dalam usus, sedang yang tidak tercerna adalah jaringan jerami padi yang
sulit didegradasi akibat kuatnya ikatan ligno-selulosa maupun hemiselulosa. Hasil
ini turut didukung oleh kecernaan bahan kering yang juga makin tinggi sejalan
dengan meningkatnya kadar putak terfermentasi dalam konsentrat.

Protein
Nilai kecernaan protein sejalan dengan kecernaan bahan kering dan bahan
organik yang semakin meningkat dengan bertambahnya kadar putak terfermentasi.
Tabel 9 memperlihatkan bahwa kecernaan protein yang paling rendah adalah
perlakuan tanpa putak terfermentasi (R0) yaitu 67.80% dan yang paling tinggi
adalah R4 yang mengandung 40% putak terfermentasi yakni 76.65%. Artinya
bahwa putak fermentasi mampu merangsang pertumbuhan mikrob proteolitik
rumen yang merombak komponen protein pakan.
Pemanasan merupakan salah satu cara guna melindungi protein berkualitas
tinggi dari degradasi rumen tetapi tetap dapat dicerna dalam usus halus. Guna
menghentikan proses fermentasi pada putak sebelum digunakan sebagai bahan
pakan,

maka

dilakukan

pengukusan.

Perlakuan

tersebut

kemungkinan

menyebabkan protein bahan tahan degradasi rumen. Islam et al. (2002)


menyatakan bahwa pemanasan terhadap bahan pakan dapat menyebabkan protein
atau pati bahan mengalami denaturasi sehingga akan melalui rumen ke organ
berikutnya tanpa mengalami degradasi oleh mikrob. Dengan demikian putak

59

fermentasi mampu memasok protein pasca rumen yang juga tinggi karena protein
murni putak hasil fermentasi mampu dicerna oleh enzim pepsin dan pancreas
sebagaimana dikemukakan oleh Huang dan Kinsella (2005) bahwa protein asal
kapang memiliki tingkat kecernaan yang tinggi dalam usus halus. Selanjutnya
Spark et al. (2006) menyatakan bahwa protein kapang memiliki kualitas yang
tinggi yang dapat dibuktikan dengan tingkat kecernaan N serta Retensi N yang
juga tinggi. Pernyataan di atas terbukti dari nilai retensi N (Tabel 9) yang juga
terus meningkat sejalan dengan bertambahnya penggunaan putak fermentasi
dalam ransum.
Hasil ini lebih baik dari yang dilaporkan oleh Uhi (2005) yakni 43.13%
pada domba yang diberi 20% suplemen katalitik gelatin sagu dan NPN dengan
ransum dasar rumput kualitas rendah, juga 61.29% pada kambing yang diberi
kulit umbi ketela pohon hasil fermentasi A.niger (Gushairiyanto 2004).

Serat Kasar
Sebagaimana nilai kecernaan nutrien sebelumnya yang semakin baik
bersamaan dengan bertambahnya putak terfermentasi (PF), kecernaan serat juga
menunjukkan hal serupa yaitu nilai terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah
pada perlakuan tanpa putak terfermentasi R0 (PF 0%), R1 (PF 10%), R2 (PF 20%),
R3(PF 30%), dan R4 (PF 40%), yaitu 38.8, 39.75, 45.34, 52.20, dan 60.31% dan
secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05), dimana peningkatan
level PF diikuti meningkatnya kecernaan serat ransum.
Hasil percobaan sebelumnya (Tahap I dan II) menunjukkan kadar protein
kasar dan murni PF cukup tinggi. Protein tersebut diduga merupakan sumber asam
amino di antaranya valin, iso-leusin dan leusin. Ketiga asam amino tersebut dalam
rumen akan mengalami dekarboksilasi dan deaminasi menjadi asam lemak rantai
cabang yaitu isobutirat, 2-metilbutirat dan isovalerat, dimana ketiganya sangat
dibutuhkan untuk merangsang pertumbuhan mikroorganisme rumen. Dalam
hubungannya dengan dugaan tersebut, Wallace et al. (2001) menyatakan bahwa
meskipun bakteri selulolitik rumen dapat menggunakan urea sebagai sumber N
guna sintesa protein, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa asam amino
merupakan nutrien yang signifikan dalam merangsang pertumbuhan bakteri

60

selulolitik. Populasi bakteri yang meningkat akan mengakibatkan banyak


diproduksikan ensim selulase sehingga kecernaan serat pakan turut meningkat
Oleh karenanya pertumbuhan mikrob perlu dirangsang pertumbuhannya, karena
dengan meningkatnya jumlah mikrob selulolitik rumen, proses pencernaan pakan
terutama pakan serat ikut meningkat. Sutardi (1997) mengemukakan bahwa
semakin baik pertumbuhan mikrob rumen semakin tinggi nilai manfaat pakan
serat.

Retensi Nitrogen
Perbedaan antara jumlah N yang dikonsumsi dengan N yang dikeluarkan
tubuh melalui feses dan urine merupakan gambaran ketersediaan N dan efisiensi
pemanfaatannya oleh ternak. Data menunjukkan penggunaan PF yang semakin
meningkat dalam ransum mengakibatkan nilai retensi N juga meningkat. Rataan
retensi nitrogen terendah adalah perlakuan R1 (10.22 g/e/h) dan tertinggi adalah
R4 (12.98 g/e/h). Nilai retensi nitrogen pada R3 dan R4 sama dan nyata lebih tinggi
(P<0.05) dibanding R2 serta R1 dan R0. Artinya bahwa pada level pemberian PF
lebih dari 30% menyebabkan retensi nitrogen meningkat yang juga berarti terjadi
deposit protein dalam bentuk daging yang makin tinggi. Tingginya nilai retensi
nitrogen yang diperoleh sejalan dengan tingkat konsumsi dan kecernaan nutrien
yang lebih tinggi sehingga pasokan protein untuk membentuk jaringan lebih tinggi
dan diwujudkan oleh rataan pertambahan bobot yang juga lebih baik pada
perlakuan tersebut. Nilai di atas lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh
Simanihuruk (2005) pada kambing kacang yang diberi ransum mengandung 15%
kulit buah markisa (PK ransum 14.13%) yakni 8.42%, tetapi lebih rendah dari
hasil penelitian Kaunang (2004) pada domba yang diberi pakan hijauan yang
dipupuk belerang yakni 20.13%.

Pertambahan Bobot Badan


Tabel 11 menunjukkan pertambahan bobot ternak percobaan. Pertambahan
bobot badan merupakan manifestasi dari akumulasi konsumsi ransum, kecernaan
zat-zat makanan, fermentasi, metabolisme dan penyerapan nutrien oleh tubuh
ternak. Pertambahan bobot badan harian hasil percobaan berkisar antara 51.40 g

61

pada perlakuan tanpa putak terfermentasi (R0) hingga 54.54 g pada perlakuan
level 40% putak terfermentasi (R4).
Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P0.05)
terhadap pertambahan bobot badan. Hasil tersebut menunjukkan manfaat putak
fermentasi dalam memperbaiki kecernaan nutrien ransum serta menyediakan
nutrien sehingga kebutuhan pertumbuhan ternak terpenuhi, terlihat dari
penggunaan hingga level 40% putak terfermentasi dalam konsentrat masih belum
sampai pada taraf yang mengganggu pertumbuhan dan data kecernaan juga
mendukung hal tersebut.
Meski demikian, bila dicermati dari hasil pertambahan bobot badan ternak
masih tergolong kecil. Hal ini disebabkan kebutuhan bahan kering ternak tidak
terpenuhi. Penyebabnya adalah tidak terpenuhinya konsumsi bahan kering asal
hijauan yakni jerami padi. Komposisi ransum percobaan adalah 60% konsentrat
dan 40% hijauan dengan perhitungan kebutuhan BK/e/h adalah 3% dari bobot
badan. Sebagai pakan jerami padi memiliki kelemahan baik secara kualitas
maupun palatabilitas. Oleh karena sifat jerami yang bulky maka membatasi
kemampuan konsumsi ternak sebagaimana dikemukakan oleh Sutardi (1979)
bahwa kemampuan maksimal ternak dalam mengkonsumsi jerami padi hanya
2.5% dari bobot badan. Data konsumsi pada Tabel 8 memperlihatkan konsumsi
ransum berdasarkan bobot metabolis berkisar 57.6 63.2 g/kg bobot metabolis
lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Devendra dab Burns (1994) yakni
sebanyak 63.4g/kg bobot badan 0.75.
Hasil pertambahan bobot badan yang diperoleh ini lebih tinggi dari
penelitian Gushairiyanto (2004) yang berkisar antara 37.3g pada kambing kacang
yang mendapat ransum yang mengandung 30% kulit umbi ketela pohon
terfermentasi, demikian juga yang dilaporkan oleh Kana Hau et al. (1993) yakni
42 g/e/h pada ternak kambing yang diberi ransum jerami padi dan putak tambah
urea serta penelitian Hilakore et al. (1999) yakni 36 g/e/h dengan pemberian
ransum yang mengandung 20% produk pemasakan putak-urea. Dikemukakan oleh
Devendra dan Burns (1994) bahwa kambing periode tumbuh dengan bobot awal
10 kg, pertambahan bobot badannya yaitu 55 g/e/h, juga NRC (1981) pada ternak

62

kambing dengan bobot awal 20 kg maka pertambahan bobot badan minimal


adalah 50 g/e/h.
Kecernaan nutrien yang juga makin tinggi mendukung peningkatan bobot
badan. Akibat kecernaan yang meningkat pasokan nutrisi untuk ternak ikut
bertambah sehingga perletakan jaringan juga bertambah yang terwujud dalam
pertambahan bobot badan. Peningkatan ini disebabkan meningkatnya proses
fermentasi rumen, konsumsi dan kecernaan nutrien.

Efisiensi Penggunaan Ransum


Berdasarkan data efisiensi dan konversi ransum yang meskipun sama antar
perlakuan, ada beberapa hal positif yang diperoleh yakni (1) penggunaan putak
fermentasi dalam ransum jauh lebih banyak (40%) dibanding sebelum diolah yang
hanya 10%; (2) penggunaan putak fermentasi dapat meminimalisir penggunaan
bahan pakan lain terutama sumber protein atau bahan pangan seperti jagung. Halhal tersebut akan dapat memberi keuntungan ekonomis pada usaha ternak.

Tabel 11 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertumbuhan dan


efisiensi ransum
PEUBAH

PERLAKUAN

R0

R1

R2

R3

R4

Berat Awal (kg)


11.771.29
11.521.51
12.400.85
12.030.97
11.910.75
Berat akhir (kg)
15.821.27
15.481.50
16.460.83
16.161.06
16.210.69
LajuPertmbhan (kg)
4.040.04 a
3.960.04 a
4.060.04a
4.130.13a
4.30 0.11a
b
a
b
b
PBB, (g/e/h)
51.40.59
50.40.43
51.640.62
52.491.69
54.541.20 c
a
a
a
a
Konversi Ransum
8.870.22
9.200.20
9.220.17
9.360.74
9.370.24 a
a
a
a
a
EPR
0.110.003
0.110.002
0.110.002
0.110.10
0.110.003 a
Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam
konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak
terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat
2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)
antara perlakuan

Efisiensi penggunaan pakan merupakan rasio antara pertambahan bobot


badan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi, dengan demikian kegunaannya
adalah untuk mengukur efisiensi ternak dalam mengubah pakan menjadi produk.
Tabel 11 menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan ransum yang sama (P>0.05)
pada semua perlakuan yang dicobakan yakni 11%. Hasil tersebut mencerminkan

63

bahwa konsumsi ransum akibat penambahan putak terfermentasi hingga mencapai


40% memberikan pengaruh yang sama dengan tanpa putak fermentasi dalam
meningkatkan pertambahan bobot badan. Hal ini disebabkan penyusunan ransum
percobaan yang isoprotein-energi mengakibatkan efisiensi penggunaan protein
dan karbohidrat oleh mikrob rumen sama antar perlakuan. Demikian juga dengan
nilai konversi ransum yang tidak berbeda antar perlakuan.
Keuntungan ekonomis dapat dilihat dari harga ransum paling rendah
adalah pada perlakuan R4 (40% PF) yakni Rp 936/kg dibanding Rp 1 124/kg pada
perlakuan R0 (0% PF) dengan nilai keuntungan juga tertinggi yakni Rp 1 073
sedangkan Rp 948/e/h pada R0. Maknanya adalah penggunaan 40% putak
fermentasi dalam komposisi ransum ternak kambing tidak mempengaruhi
performans pertumbuhan ternak tapi memberikan keuntungan yang lebih besar,
mengingat biaya pakan merupakan biaya terbesar dalam manajemen usaha ternak.
Perbedaan harga ransum diakibatkan perbedaan komposisi ransum perlakuan.

Tabel 11 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertumbuhan dan


efisiensi ransum
PEUBAH

PERLAKUAN

R0

R1

R2

R3

R4

Berat Awal (kg)


11.771.29
11.521.51
12.400.85
12.030.97
11.910.75
Berat akhir (kg)
15.821.27
15.481.50
16.460.83
16.161.06
16.210.69
LajuPertmbhan (kg)
4.040.04 a
3.960.04 a
4.060.04a
4.130.13a
4.30 0.11a
b
a
b
b
PBB, (g/e/h)
51.40.59
50.40.43
51.640.62
52.491.69
54.541.20 c
a
a
a
a
Konversi Ransum
8.870.22
9.200.20
9.220.17
9.360.74
9.370.24 a
a
a
a
a
EPR
0.110.003
0.110.002
0.110.002
0.110.10
0.110.003 a
Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam
konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak
terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat
2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)
antara perlakuan

Income Over Feed Cost (IOFC) seperti tergambar pada Tabel 12


merupakan analisis ekonomi sederhana yang digunakan untuk melihat keuntungan
dari usaha ternak kambing. Pendapatan kotor diperoleh dari pendapatan yang
diperoleh dari nilai jual ternak setelah dikurangi biaya pakan. Nilai tersebut
dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan, harga bahan pakan, besarnya
pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan.

64

Tabel 12 Perhitungan ekonomis pakan terhadap pertumbuhan ternak


percobaan
Parameter
Ransum Perlakuan
R0
R1
R2
R3
R4
Harga ransum/
1 124
1 192
1 106
1 022
936
kg- (Rp)
Total biaya
337
361
334
314
290
ransum (Rp/e/h)
Nilai ternak (Rp)
1 285
1 260
1 291
1 312
1 363
IOFC
Rp/ekor
948
899
957
998
1 073
Ket : Harga bahan per kg (Rp): jagung 3000, dedak 1000, putak tanpa olah 500, PF 600, bungkil
kelapa 1000, daun gamal 250 dan jerami padi 100. Harga jual ternak Rp. 25 000 per kg hidup
(harga yang berlaku pada tahun 2007)

Berdasarkan Tabel 12 terlihat nilai IOFC semakin tinggi seiring dengan


makin bertambahnya penggunaan putak fermentasi (PF) hingga 40% dalam
ransum. Hal ini memperlihatkan bahwa ransum yang mengandung PF
memberikan keuntungan cukup baik yang dilihat dari mutu pakan itu sendiri
maupun penghasilan peternak.

65

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

1. Fermentasi putak dengan kultur tunggal T.reesei atau A.niger dapat


meningkatkan kualitas substrat yang ditandai dengan meningkatnya kadar
protein kasar masing-masing kapang menjadi 20. 60 dan 19.81% , protein
murni 13.25 dan 12.53% serta diikuti peningkatan kadar serat kasar
12.22% pada A.niger tetapi turun menjadi 9.08% pada T.reesei.
2. Fermentasi campuran T.reesei dan A.niger dengan lama penundaan
pencampuran dua hari dapat memperbaiki kualitas substrat lebih tinggi
jika dibanding kultur tunggal ditinjau dari kadar protein kasar 23.62%,
protein murni 14.92% dan serat kasar 10.17%.
3. Penggunaan putak fermentasi dapat mencapai 40% dalam campuran
konsentrat, jauh lebih tinggi dibanding 10% putak tanpa fermentasi
(kontrol) serta memberi respon yang lebih baik terhadap performans
ternak ditinjau dari konsumsi dan kecernaan nutrien, retensi nitrogen,
serta pertambahan bobot badan harian
4. Penggunaan pakan lokal seperti putak dapat ditingkatkan dalam ransum
melalui proses pengolahan biologi secara fermentasi campuran dan dapat
diaplikasikan pada ruminansia.

Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh yang berhubungan dengan kualitas


nutrien maupun fermentabilitas substrat maka perlu dikaji lebih lanjut kemampuan
putak fermentasi sebagai konsentrat tunggal pada ruminansia. Demikian juga
penggunaannya dengan hijauan yang berbeda serta jenis ternak ruminansia yang
juga berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Alexopolous JC, Mins CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. New
York. J Willey and Sons.
Aunstrup K.1979. Production, Isolation and Economic of Extracellulair Enzymes.
Di dalam: Wingart LE, Katzir EK, Godstein, editor. Applied Biochemistry
Bioengineering Enzyms Technology. New York: Academic Press.
Baldwin RL, Allison MJ. 1983. Rumen Metabolism. J Anim Sci 57 Suppl.
2:461-477.
Bamualim A, Kale Taek J, Nulik J,Wirdahayati RB. 1993. Pengaruh suplemen
daun kedondong hutan (Lannea grandis), turi (Sesbania grandiflora),
putak (Corypha gebanga) dan putak campur urea terhadap pertumbuhan
ternak sapi bali di musim kemarau. Publikasi Wilayah Kering 1:1-5
Biyatmoko D. 2002. Penggunaan ampas sagu fermentasi dalam ransum itik alabio
jantan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Buttery PJ.1976. Protein Synthesis in the Rumen: Its Implication in the Feeding of
Non-Protein Nitrogen to Ruminants. Di dalam: Swan H, Broster WH,
editor. Principles of Cattle Production. London: Butterworth
Cheng

KJ, McAllister TA, Kudo H, Forsberg CW, Costerton JW. 1991.


Microbial Strategy in Feed Digestion. Di dalam: Ho YW, Wong HK,
Abdullah N, Tajuddin ZA, editor. Recent Advances on the Nutrition of
Herbivores. Kualalumpur: Malaysian Soc.Anim Prod.

Correa GM, Portal L, Moreno P, Tengerdy RP. 1999. Mixed culture solid
substrate fermentation of Trichoderma reesei and Aspergillus niger on
sugar cane bagasse. Bioresource Technology 68:173-178.
Danial M. 1996. Evaluasi potensi hidrolitik enzim selulase dan glukoamilase dari
campuran filtrat kultur Aspergillus niger dan Trichoderma koningii [thesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Devendra C, Burns M. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan
Harya Putra. Bandung: ITB Press
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan 2007. Statistik Peternakan. Jakarta:
Dirjen Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI
Dwidjoseputro D. 1985. Dasar-dasar Mikrobiologi. Malang: CV Djembatan.
Enari TM. 1983. Microbial Cellulase. Di dalam : Fogarty WM, editor. Microbial
Enzymes and Biotechnology. New York: Applied Sci. Publisher.

67
Erwanto. 1995. Optimalisasi sistim fermentasi rumen melalui suplementasi sulfur,
defaunasi, reduksi emisi metan dan stimulasi pertumbuhan mikroba pada
ternak ruminansia [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Fardiaz S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB.
France J, Siddons RC. 1993. Volatile Fatty Acids Productions. Di dalam: Forbes
JM, France J, editor. Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and
Metabolism. CAB International
Frazier WC, Westhoff DC. 1981. Food Microbiology. New York: Tata McGrowHill Publ. Co. Ltd.
Gandjar I, Sjamsuridzal W, Oetari A. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung: CV Armico
Ginting MU. 2000. The influence of fermented putak in pig diets digestibility and
growth performance of weanling pigs [disertasi]. Gottingen/Germany:
Institute of Animal Physiology and Animal Nutrition Georg-AugustUniversity
.
Gong CS, Tsao GT. 1979. Cellulase and Biosynthesis Regulation. Di dalam:
Pearlman D, editor. Animal Report on Fermentation Process. New York:
Academic Press
Gushairiyanto. 2004. Detoksikasi dan fermentasi kulit umbi ketela pohon dengan
kapang Aspergillus niger serta implikasinya terhadap performan kambing
kacang jantan [disertasi]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas
Padjadjaran.
Hartono L. 2002. Perancangan proses dan penggandaan skala produksi
biosurfaktan oleh isolat lokal Bacillus sp. BMN 14 dengan substrat tetes
tebu [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Henning PH, Steyn DG, Meissner HH. 1991. The effect of energy and nitrogen
supply pattern on rumen bacterial growth in vitro. Anim Prod
51:165-175.
Hesseltine C W. 1991. Mixed-Culture Fermentations: An Introduction to Oriental
Food Fermentations. Di dalam : Zeikus JG, Johnson EA, editor. Mixed
Cultures in Biotechnology. New York: McGraw-Hill Inc.
Howard MD, Muntifering RB, Howard MM, Hayek MG. 1992. Effect of time and
level energy supplementation on intake and digestability of low quality tall
fescue hay by sheep. Can J Anim Sci 72:51-60.

68
Huang YT, Kinsella JE. 2006. Effects of phosphorylation on emulsifying and
foaming properties and digestibility of yeast protein. J Food Sci
52:1684-1688
Huber JT, L Kung Jr. 1981. Protein and non protein utilization in dairy cattle.
J Dairy Sci 75:2165-2168
Hvelpund,T. 1991. Volatile fatty acids and protein production in rumen. Di
dalam: Jouany, editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminal
Digestion. Paris INRA
Islam MR, Ishida M, Ando S, Nishida T. 2002. In sittu dry matter and
Phosphorous disappearance of diffrerent feeds for ruminants. Asian-Aust J
Anim Sci 15:793-799
Jaelani A. 2007. Hidrolisis bungkil inti sawit oleh kapang Trichoderma reesei
sebagai pendegradasi polisakarida mannan dan pengaruhnya terhadap
penampilan ayam pedaging [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Juhasz T, Kozma K, Zsolt Szengyel,
Reczey K. 2003. Production of
-glucosidase in mixed culture of Aspergillus niger BKMF 1305 and
Trichoderma reesei RUT C30. Food Technol Biotechnol 41:49-53.
Kana Hau D, Bamualim A, Kale Taek J, Nulik J. 1993. Pengaruh suplemen putak,
putak campur urea dan biji kapas terhadap pertumbuhan ternak kambing
yang diberi jerami padi di musim kemarau. Publikasi Wilayah Kering
1:49-52.
Kaunang ChL. 2004. Respon ruminansia terhadap pemberian hijauan pakan yang
di pupuk air belerang [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Kempton TJ, Nolan JV, Leng RA.1978. Principles for the use non-protein
nitrogen and by-pass protein in diets of ruminant. World Anim Review
12:84-92.
Kompiang IP, Sinurat A, Supriyati. 1995. Pengaruh protein enriched sagu/limbah
sagu terhadap kinerja ayam pedaging [laporan penelitian].
Laskin AI, Heubert AL.1978. Handbook of Food Technology. Wesport: AVI.
Lawa EDW. 1996. Pengaruh lama pemasakan campuran tepung putak (Corypha
gebanga) dengan berbagai level urea terhadap nilai nutrisi in vitro [thesis].
Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran.
Leng RA. 1991. Applications of Biotechnology to Nutrition of Animals in
Developing Countries. Rome: FAO

69
Litchfield JH. 1979. Production of Single-Cell Protein for Use in Food or Feed.
Di dalam : Peppler HJ, Perlman D, editor. Microbial Technology. New
York. Academic Press.
Luginbuhl JM, Poore MH. 2005. Nutrition of Meat Goats. EAH Webmaster,
Department of Animal Science, NCSU. www.ncsu.edu/forage/nutpubs.htm
[12 Sept 2006]
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press
McAllan AB, Smith RH. 1983. Factors influencing the digestion of dietary
carbohydrates between the mouth and abomasums of steers. Br J Nutr
50:445-450
McDonalld P, Edward RA, Greenhalgh JFD. 1988. Animal Nutrition. New York:
Longman Inc.
Mehrez AZ, Orskov ER.1977. A study of the artificial fiber bag technique for
determining the digestibility of feed in the rumen. J Agric Sci Camb
88: 645-650
Mishra BK, Anju A, Lata. 2004. Optimization of a biological process for treating
potato chips industry wastewater using a mixed culture of Aspergillus
foetidus and A. niger. Bioresource Technology. 94:9-12.
Montenecourt BS. 1983. Strain Improvement for the Production of Microbial
Enzymes for Biomass Conversion. Di dalam: Ferranti MP, Fiechter A,
editor. Production and Feeding of Single Cell Protein. London and New
York: Applied Sci Publishers.
Moore E, Landecker. 1982. Fundamentals of Fungi. New Jersey: Prentice Hall
Inc.
Moo-Young M, Moreira AR, Tengerdy RP. 1983. Priciples of Solid-Substrate
Fermentation. Di dalam: Smith JE, Berry DR, Bjorn K, editor. The
Filamentous Fungi. Vol 4 Fungal Technology. London: Edward Arnold
Publs.
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Enzim dalam Industri Pangan. Bogor:
PAU IPB.
Nolan JV. 1993. Nitrogen Kinetics. Di dalam: Forbes JM dan France J, editor.
Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. CAB
International.

70
Noviati A. 2002. Fermentasi Bahan Pakan Limbah Industri Pertanian dengan
Menggunakan Trichoderma harzianum [skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, IPB.
[NRC] Nutrient Requirements of Domestic Animals. 1981 Nutrient Requirements
of Goats.Washington DC National Academy Press.
Nulik J, Fernandez PTh, Bamualim A. 1988. Pemanfaatan dan produksi putak
sebagai sumber energi makanan ternak sapi dan kambing. Laporan
Penelitian Komponen Teknologi Peternakan, Main Base Kupang 1987
1988. Proyek NTASP. BPPP Deptan.
Nurjanah. 2006. Evaluasi nutrisi hijauan lahan gambut Kalimantan Tengah pada
kambing kacang [thesis]. Bogor: Sekolah Pasacsarjana, IPB
Nur YS. 1993. Penggunaan kultur campuran terhadap peningkatan nilai gizi
onggok sebagai pakan broiler. [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB
Pakula TM, Uusitalo J, Saloheimo M, Salonen K, Robert JA, Penttil M. 2000.
Monitoring the kinetics of glycoprotein synthesis snd secretion in the
filamentous fungus Trichoderma reesei: cellobiohydrolase I (CBHI) as a
model protein. Microbiology 146:223-232.
__________, Laxell M, Huuskonen A, Uusitalo J, Saloheimo M, Penttil M
2003. The effects of drugs inhibiting protein secretion in the filamentous
fungus Trichoderma reesei. The Journal of Biological Chemistry
278: 45011-45020.
__________, Salonen K, Uustalo J, Penttil M. 2005. The effect of specific
growth rate on protein synthesis and secretion in the filamentous fungus
Trichoderma resei. Microbiology 151:135-143.
Panda T, Bisaria VS, Ghose TK. 1989. Method to estimate growth of
Trichoderma reesei and Aspergillus wentii in mixed culture on cellulosic
substrates. Appl Environ Microbiol 55:1044-1046.
Pantoja J, Firkins JL, Estridge ML, Hull BL. 1994. Effects of fat saturation and
source of fiber on site of nutrient digestion and milk production by lactating
dairy cows. J Dairy Sci 77:2341-2356.
Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Ratna Siri Hadioetomo,
editor. Terjemahan dari: Element of Microbiology. Bagian Mikrobiologi
Fakultas Pertanian IPB.
Peterson PR. 2005. Forage for goat production. Blacksburg: Dept. Virginia Tech.
University. www.boergoat.htm [12 Sept 2006]

71
Preston TR, Leng RA. 1987. Matching Ruminant Production System with
Available Resources in the Tropics. Armidale: Penambul Books
Puastuti W. 2005. Tolok ukur mutu protein ransum dan relevansinya dengan
retensi nitrogen serta pertumbuhan domba [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, IPB.
Russel JB, Connor JDO, Fox DG, Van Soest PJ, Sniffen CJ. 1992. A net
carbohydrate and protein system for evaluating cattle diets: I. Ruminal
fermentation. J Anim Sci 70:3551-3561
Rachman Ansori. 1992. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor: PAU IPB
Saha BC. 1991. Mixed Cultures in Enzymatic Degradation of Polysaccharides.
Di dalam : Zeikus JG, Johnson EA, editor. Mixed Cultures in
Biotechnology. New York: McGraw-Hill Inc.
Satter LD, Roffler RE. 1981. Influence of Nitrogen and Carbohydrates Inputs on
Rumen
Fermentation. Di dalam: Haresign W, Cole DJA, editor.
Recent Developments in Ruminants Nutrition. London: Butterworth
Senez JC. 1983. Protein Enrichment of Starchy Materials by Solid State
Fermentation. Di dalam: Ferranti MP, Fiechter A, editor. Production and
Feeding of Single Cell Protein. London and New York: Applied Sci
Publishers.
Setiawiharja B. 1984. Fermentasi Media Padat dan Manfaatnya. Jakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
Shurtleff W, Aoyagi A. 1979. The Book of Tempeh : A Super Soy Food from
Indonesia. New York : Harper and Row.
Simanihuruk K. 2005. Pemanfaatan kulit buah markisa (Passiflora edulis Sims f.
edulis Deg) sebagai campuran pakan pelet komplit untuk kambing kacang
[thesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB
Sinurat AP, Purwadaria T, Rosida J, Surachman H, Hamid H, Kompiang IP. 1998.
Pengaruh suhu ruang fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi
produk fermentasi lumpur sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (JITV)
3:225-229.
Sniffen CJ, Robinson PH. 1987. Microbial growth and flow as influenced by
dietary manipulations. J Dairy Sci 70:425-442.
Spark M, Paschertz H, Kamphues J. 2005. Yeast (different sources and level) as
protein source in diets of reared piglets: effects on protein digestibility and
N-metabolism). J Anim Physiology and Anim Nutrition 89:184-188.

72
Suhartati F.M, Suryapratama W, Ning Iriyanti. 2003. Sintesis asam amino
metionin pada Trichoderma reesei dan pengaruhnya terhadap sintesis
protein mikroba rumen. Jurnal Peternakan dan Lingkungan 9:12-16.
Supriyati, Pasaribu T, Hamid H, Sinurat A. 1999. Fermentasi bungkil inti sawit
secara substrat padat menggunakan Aspergillus niger. JTIV 3:165-170
Suryahadi, I K Amrullah. 1989. Pembuatan Ogrea sebagai pakan dari hasil
ikutan tanaman dan pengolahan ubi kayu yang difermentasi dengan
Aspergillus niger [laporan penelitian]. Bogor: DP4M IPB.
Sutardi T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh
mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak.
Pros. Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan. Bogor: LPP IPB
_________. 1995. Peningkatan produksi ternak ruminansia melalui amoniasi
pakan serat bermutu rendah, defaunasi dan suplementasi sumber protein
tahan degradasi dalam rumen [laporan penelitian]. Bogor: DP4M IPB.
Tamminga S, Doreau M. 1991. Lipids and rumen digestion. Di dalam: JP Jouany,
editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminal Digestion. Paris: INRA.
Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S.
1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Torres EF, Cordova LJ, Garcia RM, Gutierrez RM. 1998. Kinetics of growth of
Aspergillus niger during submerged, agar surface and solid state
fermentations process. Biochemistry 33:103-107.
Tsao GT, Lin-Chang Chiang. 1983. Principles of Solid-Substrate Fermentation.
Di dalam: Smith JE, Berry DR, Bjorn K, editor. The Filamentous Fungi.
Vol 4 Fungal Technology. London: Edward Arnold Publs.
Uhi HT. 2005. Suplemen katalitik berbahan dasar gelatin sagu, NPN dan mineral
mikro untuk ruminansia di daerah marjinal [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Valdivia AR, de la Torre M, Campillo CC. 1983. Solid State Fermentation of
Cassava with Rhizopus Oligosporus NRRL 2710. Di dalam: Ferranti MP,
Fiechter A, editor. Production and Feeding of Single Cell Protein. London
and New York: Applied Sci Publishers.
Wallace RJ, Cotta AM. 1997. Metabolism of nitrogen containing compounds.
Di dalam: Hobson PN, Stewart CS, editor. The Rumen Microbial
Ecosystem. London: Blackie Academic & Professional.

73
_________, Newbold CJ, Bequette BJ, MacRae JC, Lobley GE. 2001. Increasing
the flow of protein from ruminal fermentation. Review. Asian-Aust J Anim
Sci 14:885-893.
Wang DTC, Conney CL, Demain AL, Dunnill P, Humpherey AF, Lilly MD.
1979. Fermentation and Enzymes Technology. New York: John Willey and
Sons.
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia

Anda mungkin juga menyukai