Anda di halaman 1dari 6

Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi

Wajib Pajak Pribadi adalah orang yang memperoleh penghasilan baik sebagai
seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang
pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau
pekerja mandiri seperti dokter, notaries , pengacara . Wajib Pajak Orang Pribadi
memiliki resiko mengalami pemeriksaan pajak .
Penghasilan Yang Dilaporkan Dalam SPT
Wajib Pajak Orang Pribadi melaporkan penghasilannya dengan mengisi dan
memasukkan SPT Wajib Pajak Orang Pribadi. Penghasilan yang dilaporkan biasanya
terdiri dari penghasilan dari usaha adalah penghasilan yang diperoleh dari kegiatan
usaha seperti berdagang atau memproduksi barang atau produk tertentu. Penghasilan
dari pekerjaan bebas adalah penghasilan yang diperoleh dari kegiatan dalam profesi
tertentu seperti dokter, pengacara, notaris/PPAT, konsultan, dan sebagainya.
Wajib Pajak Orang Pribadi biasanya juga merangkap sebagai pegawai pada
pemberi kerja tertentu. Berkaitan dengan hal ini maka pemeriksa akan melakukan
juga pengecekan dan pengujian terhadap berbagai dokumen yang berkiatan dengan
penghasilan yang diperoleh dan formulir 1721-A serta bukti pemotongan PPh Pasal
21 dari masing-masing pemberi penghasilan.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu, penghasilan diinvestasikan dalam
bentuk saham, tabungan, deposito, sewa, intellectual property, atau real property.
Penghasilan yang diperoleh dari berbagai jenis investasi itu adalah dividen, bunga,
royalti, atau capital gain. Kewajiban Pajak yang melekat pada berbagai penghasilan
ini adalah PPh Pasal 23 atau PPh Final yang biasanya dipotong oleh pihak yang
memberi penghasilan.
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI YANG DITUNJUK
SEBAGAI PEMOTONG PPh PASAL 23.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan telah ditetapkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor :
KEP-50/PJ/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang Penunjukan Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri Tertentu sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ/1995 tanggal 31 Januari 1995
tentang Perkiraan Penghasilan Neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak
Penghasilan dan jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan
berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1994, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
1.Dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP50/PJ/1994 ditetapkan bahwa Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, Pengacara, dan Konsultan,
yang melakukan pekerjaan bebas, serta orang pribadi yang menjalankan usaha yang
menyelenggarakan pembukuan, yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak ditunjuk
sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa.
2.Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c, besarnya pemotongan PPh Pasal
23 atas pembayaran berupa sewa adalah sebesar 15% (lima belas persen) dari
perkiraan penghasilan neto. Dalam Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor : KEP-10/PJ/1995, tanggal 31 Januari 1995, ditetapkan bahwa besarnya
perkiraan penghasilan netto untuk:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang
diterima atau diperoleh WP orang pribadi dalam negeri adalah sebesar 80%
dari jumlah bruto. Dengan demikian maka besarnya pemotongan PPh Pasal 23
adalah 15% x 80% x jumlah bruto = 12% x jumlah Dalam pengertian jumlah
bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
b. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang
diterima atau diperoleh oleh WP badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
(BUT) adalah sebesar 40% dari jumlah bruto. Dengan demikian maka
besarnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah 15% x 40% x jumlah bruto = 6% x
jumlah bruto.
Dalam pengertian jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3.Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan Wajib
Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud pada butir 1 sebagai pemotong PPh Pasal
23 dengan menggunakan bentuk formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Surat Edaran Ini. Bagi akuntan, arsitek, dokter, notaris, pengacara, dan orang pribadi
yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan, yang telah ditunjuk
sebagai pemotong PPh Pasal 23 berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor:KEP-421/PJ.43/1991 tanggal 27 Desember 1991, tidak perlu ditunjuk
kembali.
4.Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas
pembayaran sewa yang dilakukan-nya, wajib memotong, menyetor dan melaporkan
PPh Pasal 23 tersebut serta memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 sesuai
dengan ketentuan yang berlaku apabila dalam suatu bulan takwim terdapat objek PPh
Pasal 23.
5.Kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan agar diberikan penyuluhan
mengenai hak dan kewajibannya sebagai pemotong PPh Pasal 23 berdasarkan
ketentuan yang baru.
6.Terhitung mulai tanggal Surat Edaran ini, maka penegasan dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-31/PJ.43/1991 tanggal 27 Desember 1991
dinyatakan tidak berlaku.

PENGKREDITAN PAJAK LUAR NEGERI (PPH PASAL 24)


Pajak penghasilan pasal 24 merupakan pajak yang terutang atau dibayarkan di
luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang boleh
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib
Pajak Dalam Negeri. Pengkreditan pajak luar negeri tersebut dilakukan dalam dalam
Tahun Pajak digabungkan penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di
Indonesia. Pengkreditan pajak yang dimaksudkan dalam pasal 24 ini untuk
menghindarkan pajak berganda, tetapi jumlah yang dikreditkan tidak melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan undang-undang pajak penghasilan.
Pada prinsipnya bagi wajib pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban
pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh di luar negeri. Ketentuan pasal 24 ini mengatur tentang
perhitungan Besarnya pajak atas Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib
Pajak Dalam Negeri.
Penggabungan Penghasilan yang berasal dari Luar Negeri
1. Penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan.
2. Penghasilan berupa dividen, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan
dividen tersebut.
3. Penghasilan lainnya, dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan
tersebut.
4. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak di Indonesia.
Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri
1. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan
dengan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
2. Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam
tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan
di Indonesia.
3. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih
rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang
dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh
Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh
Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan
dari LN lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak).

PAJAK PENGHASILAN PASAL 26


PPh 26 dipotong atas;
1. Penghasilan yang diterima atau yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri dari
Indonesia.
2. Penghasilan usaha yang diperoleh melalui BUT di Indonesia.
Undang-undang pajak penghasilan Indonesia menganut dua sistem;
1. Pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang
menjankan usaha atau melalui kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia
2. Pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak Luar Negeri
lainnya.
Dasar hukum pemotongannya bersumber pada pasal 26:
1. Undand-Undang Pajak Penghasilan PP Nomor 51 Tahun 1994
2. Tanggal 29 Desember 1994; KMK Nomor 602/KMK.04/1994
3. Tanggal 21 Desember 1994; KMK Nomor 624/KMK.04/1994
4. Tanggal 27 Desember 1994; KMK Nomor 649/KMK.04/1994
5. Tanggal 29 Desember 1994; KMK Nomor 634/KMK.04/1994
6. Tanggal 29 Desember 1994; Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
173/Pj./2002 Tanggal 3 April 2002.
Subjek Pajak PPh Pasal 26
1. Orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak Luar Negeri yang menerima
atau memperoleh penghasilan dengan nama dalam bentuk apa pun.
2. Sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
3. Dari Pemotong PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
4. Jasa atau kegitan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai
maupun bukan pegawai
5. Penerima pensiun.
Tarif, Objek Pajak, dan Sifat Pengenaanya
Dikelompokkan menjadi 3, yaitu;
1. Sebesar 20% dari jumlah bruto penghasilan yang diterima/ diperoleh Wajib Pajak
Luar Negeri dan bersifat final atas penghasilan berupa;
a. Deviden
b. Bunga (premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan aminan
pengembalian utang)
c. Royalt, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan atau kegiatan.
e. Hadiah dan penghargaan
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
g. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
h. Keuntungan dengan pembebasan utang.

2. Sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto, dan bersifat final atas penghasilan
atas;
a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia kecuali yang diatur dalam pasal 4
ayat 2 yaitu penghasilan yang pengenaan pajaknya di atur dalam peraturan pemerintah
seperti : bunga deposito dan tabungan lainnya, pengalihan harta berupa tanah dn atau
bangunan, transaksi, saham dan sekuritas lainnya di bursa efek dan penghasilan
tertentu lainnya.
b. Premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan
asuaransi luar negeri.
3. Sebesar 20% bersifat final dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak
dari suatu BUT, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia maka
tidak dipotong PPh Pasal 26.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
1. Penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk deviden, bunga termasuk
premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan
sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan pengunaan harta.
2. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan
3. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
4. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
5. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
6. keuntungan karena pembebasan utang
PPh PASAL 26 YANG TIDAK BERSIFAT FINAL
Pemotongan pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri adalah bersifat final, namun atas
penghasilan sebagaimana di maksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan
atas penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan Luar Negeri yang berubah
status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau badan luar negeri, pemotongan
pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat di kreditkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan pajak penghasilan.
Penghasilan penghasilan tertentu dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 yang tidak
bersifat final, yaitu :
1. Pemotongan atas penghasilan sebagai berikut :
a. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di indonesia yang sejenis dengan yang di jalankan atau di lakukan
oleh bentuk usaha tetap di Indonesia.
b. Penghasilan berupa dividen; bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengambilan utang; royalti, sewa, dan penghasilan lain
sehubungan dengan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan;
hadiah dan penghargaan; pensiun dan pembayaran berkala lainnya, yang diterima atau
di peroleh kantor pusat, dengan syarat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
2. pemotongan atas penghasilan yang di terima atau di peroleh orang pribadi atau

badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak Penghasilan Pasal 26 atas
penghasilan yang di terima atau di peroleh orang pribadi atau badan luar negeri yang
berubah status menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap , tidak
bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat di kreditkan dalam SPTPP.

Anda mungkin juga menyukai