Anda di halaman 1dari 18

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 PENILAIAN PREOPERATIF


IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. B.I
Usia
: 69 tahun
Alamat
: Perum Gunung Jaya RT. 33/05, Sukabumi
Status
: Sudah menikah
Suku Bangsa
: Sunda
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Wiraswasta
Tanggal masuk
: 29 Desember 2013
Tanggal pemeriksaan : 29 Desember pukul 18.00
Nomor rekam medis
: A122683
Diagnosis
: Benign Prostate Hyperplasia
Rencana operasi : Cytoscopy TURP
ANAMNESIS (Autoanamnesis, 29/12/2013, Pukul: 18.45 wib)
Keluhan Utama :
Tidak bisa buang air kecil
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD dengan keluhan Buang air kecil tidak lancar
sejak kemarin, bila saat BAK terasa masih ingin mengeluarkan kencing namun
sudah tidak bisa keluar. Terkadang pada saat kencing, pasien harus berhenti dulu
baru kemudian memulai lagi kencing yang disertai usaha mengejan untuk
mengeluarkan air kencingnya, nyeri abdomen bagian tengah bawah, kandung kemih
terasa penuh, keluhan mulai dirasakan sejak 10 tahun yang lalu dan terasa berat 1
hari yang lalu.
Saat ini pasien tidak mengeluh batuk, pilek dan demam.

Riwayat Penyakit Dahulu:


-

Pasien tidak menderita sakit ini sebelumnya

Pasien menderita penyakit Hipertensi sejak 1 tahun yang lalu dan terkontrol

Untuk riwayat alergi, operasi, TBC, stroke, diabetes melitus, gigi


goyang, dan pemakaian gigi palsu disangkal oleh pasien.
Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

Riwayat Kebiasaan :
Pasien sudah berhenti merokok sejak 14 tahun yang lalu dan tidak
mengkonsumsi alkohol.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
GCS
: 15
Berat badan
: 69 kg

Tinggi badan

: 170 cm
Tanda-tanda vital
:
TD : 140/80 mmHg
Nadi : 68x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,7OC
STATUS GENERALIS
Kepala
: normocephali, tidak ada deformitas
Mata
: Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil isokhor
Telinga
Hidung
Mulut

3mm/3mm, reflek cahaya +/+


: tidak terdapat gangguan pendengaran
: septum nasi terletak di tengah, sekret -/: malampati 2, mukosa bibir basah, tidak dijumpai

sianosis
Leher
Thorax
:
Paru :
Inspeksi
dalam

: TMD 8 cm, ROM bebas, KGB tidak teraba,


: bentuk dada normal, simetris kanan dan kiri,
keadaan statis dan dinamis, tidak

terdapat retraksi
Palpasi
: Fremitus taktil kanan sama dengan kiri
Perkusi
: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : bunyi nafas vesicular +/+, ronki -/-, wheezing -/Jantung :
Inspeksi
: ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: ictus cordis teraba pada ICS V linea
midclavicularis
Perkusi

sinistra

: Batas atas: ICS II


Batas kiri : linea axilaris anterior sinistra
Batas kanan
: linea sternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur -, gallop
Punggung
:

Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi


RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

Inspeksi

: bentuk punggung normal, simetris kanan dan kiri

dalam

keadaan statis dan dinamis, tidak

terdapat kifosis mau


skoliosis.
Palpasi
: vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi
: Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : bunyi nafas bronchoveskular, ronki -/-, wheezing -/Abdomen :
Inspeksi
: datar
Palpasi
: supel, nyeri tekan negatif
Perkusi
: timpani
Auskultasi : BU positif, 5x per menit.
Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, tidak terdapat oedema.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium (29 Desember 2013):
Jenis pemeriksaan
Hematologi
Hb
Ht
Jumlah
Leukosit
Jumlah
Trombosit
Kimia Darah
SGOT/AST
SGPT/ALT
Elektrolit:
Na
K
Ca
Cl
Fungsi ginjal
Ureum
Kreatinin
Karbohidrat
GDS

Bleeding time
Clotting time

Hasil
14,2 g/dL
43,0 %
5.500/L
343.000/ L

28,1 U/L
26,3 U/L
148,1 mmol/L
4,14 Meq
8,4 mmol/L
114,9 mmol/L
24,6 mg/dL
1,39 mg/dL
102 mg/dl

130
9

b. Radiologi
Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

Rontgen Thorax:
Tidak tampak kardiomegali
Tidak tampak KP aktif
c. EKG
Sinus rythm
PENGOBATAN YANG TELAH DIBERIKAN
Saat pemeriksaan, pasien sudah minum Amlodipin 5 mg 1x1,
terakhir minum sore hari pukul 16.00 wib, pasien juga sudah
terpasang Infus RL.
DIAGNOSA KLINIS
Benign Prostate Hyperplasia dan Hipertensi
KESIMPULAN
Status fisik ASA II
INSTRUKSI PREOPERATIVE
-

Puasa sejak pukul 02.00 wib


IVFD RL 30 tpm
Acc operasi

1.2 LAPORAN INTRAOPERATIF


Penatalaksanaan anestesi (tanggal 30 Desember 2013)
Keadaan umum
: Compos mentis
Tanda-tanda vital
-

Tekanan Darah
Nadi
Pernapasan
Suhu

:
:
:
:

Saturasi O2

: 98%

Diagnosa pra bedah

: BPH

1. Diagnosa pasca bedah

: BPH

2. Jenis pembedahan

: Cystoscopy TURP

180/100 mmHg
91 kali per menit
24 x/menit
36,7o C

3. Mulai anestesi

: 10.30 WIB

4. Mulai operasi

: 10.40 WIB

5. Jenis anesthesi

: Spinal Anestesi

6. Premedikasi dengan

: Ondansetron 4 mg, Ranitidine 50 mg

1. Medikasi

:
Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

1. Bupivacain Spinal 15 mg
2.Ephedrine 5 mg + 5 mg

3. Sulfas Atropin 0,25 mg + 0,25mg


4. Ketorolac 30 mg (pkl. 12.30)
2. Maintenance
-

: O2 3,0 L/mnt
: - Spinal ; L3 / L4, jarum spinal G-26

Teknik anestesi

- LCS ( + ) jernih
- darah ( - )
- Respirasi

: Spontan

- Posisi

: Supine

- Infus durante operasi

: 1. RL 100 cc
2. RL ( Velchrome 50 mg + Asam Traneksamat
500 mg ) 500 cc
3. RL 300 cc

7.

Selesai operasi

: 11.30 WIB

8.

Perdarahan

: 200 cc

9.

Urin tampung

: 300 ml

10.

Kebutuhan cairan
maintenance:

BB = 69 kg

10 kg I

: 10 x 4 cc/kgBB/jam

10 kg II : 10 x 2 cc/kgBB/jam

20 cc/jam

Sisanya: 49 x 1 cc/kgBB/jam

49 cc/jam

Total

40cc/jam

109

cc/jam

Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi


RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

Durante operasi
Puasa

: 8 jam x maintenance
: 8 jam x 109 cc/jam
: 872 cc

Stress operasi

: Operasi sedang
: 6 cc/kg BB/jam
: 6 cc x 69/jam
: 414 cc/jam

Pemberian cairan
Jam I

: puasa + maintenance + stress operasi


: (.872) + 109 cc/jam + 414 cc/jam
: 436 cc + 109 cc/jam + 414 cc/jam
: 959 cc

Perdarahan

: 200 cc

Urin output

: 300 cc

Jadi total kebutuhan cairan

Jam I + perdarahan + urin output


: 959 cc + 200 cc + 300 cc
: 1459 cc

Jumlah cairan yang diberikan

: RL I

= 100 ml

RL 2 = 500 ml
RL 3 = 300 ml
Total
Jadi sisa kebutuhan

900 ml

: 1459 ml 900 ml
: 559 ml

EBV = 70 ml/kgBB x 69 kg = 4830 ml


ABL = 20% dari EBV

x 4830 ml= 966 ml

1.3 LAPORAN POSTOPERATIF


Keadaan umum : Compos mentis
Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

Tekanan darah : 161/84 mmHg

Nadi : 85x/menit Respirasi :

20x/menit
Suhu

: Afebris

SpO2

: 98%

Kesan

: Baik

Instruksi Pasca Bedah :


1.
2.
3.
4.
5.

Kontrol TNR tiap 15 menit selama 4 jam


O2 3 liter per menit , via nasal kanul
Imobilisasi 10 jam post op
Tidak puasa
Analgetik ketorolac 30 mg/iv/8 jam post op , diberikan dikamar

operasi pkl.11.30 WIB


6. Analgetik drip 20 tpm (RL 500 cc + Ketorolac 60 mg )

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarachboid) ialah
pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.
Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang
minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari
analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta
membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.
Indikasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Bedah ekstremitas bawah


Bedah panggul
Tindakan sekitar rektum-perineum
Bedah obstetri-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi


dengan anestesi umum ringan

Kontra indikasi absolut


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
Tekanan intrakranial meninggi
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anestesi

Kontra indikasi relatif


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)


Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan psikis
Bedah lama
Kelainan neurologis
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis

2.2 BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA


I.

DEFINISI
Kelenjar prostate adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami
pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli, sehingga dapat disimpulkan
bahwa BPH (Benign Prostate Hypertrophy) adalah hyperplasia kelenjar
periuretra yang mendesak jaringan prostate yang asli ke perifer dan menjadi
simpai bedah. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa 20 gram.

II.

PENYEBAB
Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, kemungkinan karena faktor

umur dan hormone androgen. Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang
BPH, diantaranya :

Teori Dehidrotestosteron

Teori Hormon, ketidakseimbangan antara estrogen -tetosteron

Faktor interaksi stroma dan epitel

Berkurangnya kematian sel prostat


Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

III. PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostate menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikan. Untuk dapat mengluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu.

Kontraksi yang terus menerus ini

menyebabkan perubahan anatomic buli-buli berupa hipertropi otot detrusor,


trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-buli.

Perubahan

struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kencing sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi keseluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
IV.

GAMBARAN KLINIK
Obstruksi prostate dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih

maupun di luar saluran kemih.


1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah.
Biasanya gejala-gejala dari pembesaran prostate jinak dikenal sebagai
Lower Urinary Tract Symptomps (LUTS) dibedakan menjadi gejala
obstruktif.

Gejala iritatif : Sering miksie (frekuensi), nokturia, urgensi, disuria.

Gejala obstruktif : Pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksie,


hesisteny, straining, intermittency, waktu miksi memanjang akhirnya retensi
urine dan inkontinen karena overflow.
Tabel I.1. Skor Madsen Inversen dalam Bahasa Indonesia

Pertanyaan
Pancaran

0
Normal

Mengedan saat
berkemih
Harus menunggu
saat akan kencing
BAK terputus-putus
BAK tidak lampias

Tidak

Inkontensia
Kencing sulit untuk

1
Berubahubah

Tidak ada

4
Menetes

Ya

Tidak
Tidak
Tidak tahu

3
Lemah

Ya

Berubahubah
Ringan

Ya

Ya
1x

Ya
Sedang

Berat

> 1x

Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi


RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

ditunda
Kencing malam hari
Kencing siang hari

0-1
> 3 jam
sekali

2
Tiap 2-3
jam sekali

3-4
Setiap 1-2
jam sekali

>4
< 1 jam
sekali

Dikutip dari Raharjo, D. Prostat, Kelainan-kelainan Jinak, Diagnosa &


Penanganannya.
Jakarta : Bag. Urologi FKUI, 1999.
Gejala dan tanda pada pasien yang telah lanjut penyakitnya, misalnya
gagal ginjal dapat ditemukan uremia, kenaikan TF, RR, nadi, foetor uremik,
ujung kuku yang pucat, tanda-tanda penurunan mental serta neurografi perifer.
Pemeriksaan penis dan uretra penting untuk mencari etiologi dan
menyingkirkan diagnosis banding seperti strikur, karsinoma, stenosis meatus
atau fimosis. Pemeriksaan lain yang sangat penting adalah colok dubur.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit prostat pada saluran kemih bagian atas berupa
gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang,, benjolan di pinggang (yang
merupakan tanda dari hidronefrosis) atau demam yang merupakan tanda darti
infeksi atau urosepsis.
Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid.

Timbulnya kedua penyakit ini karena sering

mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan


intrabdominal.
V.PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium
Analisa urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk
melihat adanya sel leukosit, bakteri, infeksi. Pemeriksaan laboratorium seperti
elektrolit, ureum, creatinin, merupakan informasi dasar untuk mengetahui fungsi
ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan PSA (Prostate Spesifik Antigen)
sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau deteksi dini keganasan. Nilai PSA
< 4 ng/ml berarti tidak perlu biopsi, nilai PSA 4-10 ng/ml perlu dihitung PSAD
(Prostate Spesific Antigen Density). Bila PSAD > 0.15 atau nilai PSA > 10
ng/ml biopsi prostat.

Pemeriksaan Radiologis
Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

Pemeriksaan yang biasa dilakukan yaitu polos abdomen, pielografi


intravena, USG, sistoskopi.
VI.PENATALAKSANAAN

Observasi
Observasi biasa dilakukan pada pasien dengan kelihan ringan (skor
Madsen Iversen 9). Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan (sistem skor),
sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur.

Terapi Medikamentosa

a.

Penghambat adregenik
Obat-obatan yang sering dipakai diantaranya prazosin, duxazosin,
terazosin, afluzosin atau yang lebih selektif tamsulosin. ( 1a).
Penggunaan -1-adrenergik secara selektif mengurangi obstruksi pada
buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Efek samping yang timbul
adalah pusing-pusing, capek, sumbatan hidung, rasa lemah.

b.

Penghambat enzim 5- reduktase


Yang dipakai adalah finasteride (proscar), obat ini menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.

c.

Fitoterafi
Terapi Bedah
Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang
paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau
terapi non invasif lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk
melihat hasil terapi.
Obstruksi kelenjar prostat akan menyebabkan gejala obstruksi dan miksi
yang tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka,
reseksi prostat transuretra (TURP), atau insisi prostat transuretra (TUIP atau
BNI). Pembedahan direkomendasikan pada pasien-pasien BPH yang: (1) tidak
menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa, (2) mengalami retensi
urine, (3) infeksi saluran kemih berulang, (4) hematuria, (5) gagal ginjal, dan (6)
timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih
bagian bawah.

1. Pembedahan terbuka
Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode


dari Millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan
retropubik infravesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika,
atau transperineal. Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang
masih banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai
terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan
suprapubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin).
Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (>100
gram).
Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah:
inkontinensia urine (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograd (60-80%),
dan kontraktur leher buli-buli (3-5%). Dibandingkan dengan TURP dan BNI,
penyulit yang terjadi berupa striktura uretra dan ejakulasi retrograd lebih
banyak dijumpai pada prostatektomi terbuka. Perbaikan gejala klinis sebanyak
85-100%, dan angka mortalitas sebanyak 2%.

2. Pembedahan Endourologi
Saat ini tindakan TURP merupakan operasi paling banyak dikerjakan
di seluruh dunia. Operasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi
pada kulit perut, masa perawatan lebih cepat, dan memberikan hasil yang tidak
banyak berbeda dengan tindakan operasi terbuka. Pembedahan endourologi
transuretra dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik TURP
Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

(Transurethral Resection of the Prostate) atau dengan memakai energi Laser.


Operasi terhadap prosat berupa reseksi (TURP), insisi (TUIP), atau evaporasi.
a. TURP (Reseksi Prostat Trasuretra)
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan
cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan
tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan
non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat
operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O
steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik
sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh
darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat
menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air
atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien
yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan
terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami
edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka
mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99 %.
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus
membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping
itu beberapa operator memasang sistostomi suprapubik terlebih dahulu
sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi
sistemik. Penggunaan cairan non ionik lain selain H2O yaitu glisin dapat
mengurangi resiko hiponatremia pada TURP, tetapi karena harganya cukup
mahal beberapa klinik urologi di Indonesia lebih memilih pemakaian
aquades sebagai cairan irigasi. Selain sindroma TURP beberapa penyulit
bisa terjadi pada saat operasi, pasca bedah dini, maupun pasca bedah lanjut
seperti tampak pada tabel dibawah. Pada hiperplasia prostat yang tidak
begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius, dan pada pasien yang
umurnya masih muda hanya diperlukan insisi kelenjar prostat atau TUIP
(transurethral incision of the prostate) atau insisi leher buli-buli atau BNI
(bladder neck incision). Sebelum melakukan tindakan ini, harus
Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat dengan melakukan


colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi transrektal, dan
pengukuran kadar PSA.

BAB III
ANALISIS MASALAH
A. Pre-Operatif
Pasien datang dengan keluhan miksi tidak lancar sejak kemarin.
Pasien diputuskan dirawat di bangsal aster. Setelah keadaan umum pasien
membaik, pasien dipersiapkan untuk operasi tanggal 30 Desember 2013.
Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang
meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk
menentukan status fisik ASA & risk. Diputuskan kondisi fisik pasien
termasuk ASA II (pasien geriatri dan penderita hipertensi), serta ditentukan
rencana jenis anestesi yang dilakukan yaitu regional anestesi dengan teknik
SubArachoid Block.
Pasien yang akan menjalani operasi prostattectomy umumnya
adalah pasien geriatri, untuk itu penting dilakukan evaluasi ketat terhadap
fungsi kardiovaskuler, respirasi dan ginjal. Pasien-pasien ini dilaporkan
mempunyai prevalensi yang cukup tinggi untuk mengalami gangguan
kardiovaskular dan respirasi, hal lain yang perlu diperhatikan pada
pembedahan ini adalah darah harus selalu tersedia karena perdarahan prostat

Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi


RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

dapat sangat sulit dikontrol, terutama pada pasien yang kelenjar prostatnya >
40 gram.
Jenis anastesi yang dipilih adalah regional anastesi cara spinal.
Anastesi regional baik spinal maupun epidural dengan blok saraf setinggi
T10 memberikan efek anastesi yang memuaskan dan kondisi operasi yang
optimal bagi prostattectomy. Dibanding dengan general anastesi, regional
anastesi dapat menurunkan insidens terjadinya post-operative venous
trombosis.
Pre-medikal yang diberikan adalah Ondancentron 4 mg dan
Ranitidin 50 mg. Diketahui bahwa Ondancentron adalah suatu antagonis
reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang dapat mengantagonis efek emetik,
sehingga dapat mencegah

dan mengobati mual muntah pasca bedah,

sedangkan Ranitidin adalah reseptor H2 histamin, sehingga dapat memblokir


sekresi hidrogen yang timbulkan histamin-pentagastrin-asetilkolin oleh sel
parietal, sehingga dapat menekan vasodilatasi perifer dan efek inotropik
akibat histamin.
B.Durante operatif
Prosedur pembedahan ini adalah membuka perlekatan prostat
dengan vesika urinaria kemudiam mereseksi kelenjar prostat yang membesar.
Prosedur ini selalu memerlukan cairan irigasi kontinyu dalam jumlah besar.
Penggunaan sejumlah besar cairan irigasi membawa beberapa komplikasi
antaralain TURP syndrom, hipotermi, dan koagulopati.
Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan
alasan operasi yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup
memblok bagian tubuh inferior saja.
Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah bucain spinal 20
mg/ 4 ml ( dosis bupivakain Hcl yang diberikan 15 mg), bucain spinal dipilih
karena durasi kerja yang lama. Bupivakain Hcl merupakan anastesi lokal
golongan amida. Bupivakain Hcl mencegah konduksi rangsang saraf dengan
menghambat

aliran

ion,

meningkatkan

ambang

eksitasi

elektron,

memperlambat perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan


potensial aksi. Dosis pemberian Bupivacain IV regional 125-150 mg. Durasi
analgetik pada T 10- T 12 selama 2-3 jam, dan bupivakain spinal
Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

menghasilkan relaksasi muskular yang cukup pada ekstremitas bawah selama


2- 2,5 jam. Selain itu bucain juga dapat ditoleransi dengan baik pada semua
jaringan yang terkena.
Pada saat operasi berlangsung, tekanan darah dan nadi pasien mulai
mengalami penurunan. Karena pasien merupakan penderita hipertensi, maka
selama anestesi harus dijaga tekanan darah target sesuai aturan JNC7 yaitu
140/90 mmHg, sehingga diberikan Ephedrine 10 mg untuk meningkatkan
curah jantung, tekanan darah, dan nadi melalui stimulasi adrenergik alfa dan
beta. Ephedrine dapat diberikan dengan dosis IV, 5-20 mg.
Tak lama dari pemberian Ephedrine, pasien juga diberikan Atropin
Sulfat sebanyak 0,5 mg IV. Karena atropin secara berkopentesi
mengantagonis aksi asetil kolin pada reseptor muskarinik, dapat memblokade
vagus perifer dari sinus dan nodus AV, sehingga dapat meningkatkan nadi,
dan dapat berinteraksi dengan mempotensi kerja ephedrine sebagai obat
simpatomimetik nonkatekolamin. Atropin sulfat dapat diberikan dengan
dosis 0,5-1,0 mg iv.
Sebagai analgetik digunakan ketorolac (berisi 30 mg/ml) sebanyak 1
ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi
(AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat
menghilangkan rasa nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek
analgetik yang setara dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi
memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman daripada analgetik
opioid karena tidak ada evidence depresi nafas pada clinicaal trial.
Pemberian dosis ketorolac untuk pasien giatri (> 65 tahun) adalah tidak lebih
dari 60 mg/hari. Dipakai 30 mg karena ternyata bahwa 30 mg merupakan
dosis yang tepat dan memberikan terapeutik index yang lebih baik.
Semua pasien yang menghadapi pembedahan harus dimonitor secara
ketat 4 aspek yakni : monitoring tanda vital, monitoring tanda anestesi,
monitoring lapangan operasi, dan monitoring lingkungan operasi.
C. Post Operatif
Perawatan pasien post operasi dilakukan di PACU ( Post Anestetic
Care Unit). Setelah dipastikan pasien pulih dari anestesi, keadaan umum,
kesadaran, serta vital sign stabil, maka pasien dipindahkan ke bangsal,
dengan anjuran untuk bed rest 10 jam post Operasi, tidur terlentang dengan 1
bantal, tidak perlu puasa post operasi, minum banyak air putih serta tetap
diawasi vital sign selama 24 jam post operasi.
Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

BAB IV
PENUTUP
1. Pada pasien ini dipilih regional anestesi dengan teknik spinal karena memberikan
efek anestesi yang lebih baik dan memberikan kondisi yaang lebih optimal bagi
prostattektomy.
2. Obat-obatan yang digunakan dalam operasi ini merupakan obat-obat yang
dianggap rasional dengan efek yang paling optimal yang bisa diberikan pada
pasien geriatri mengingat penurunan fungsi organ yang terjadi kelompok pasien
ini dan penyakit hipertensi yang diderita pasien. Premedikasi ondansentron 4 mg
untuk menimbulkan kenyamanan pasien. Medikasi : Bupivakain spinal 15 mg
(sebagai obat anestesi spinal), ephedrine dan atropin sulfat untuk menjaga
tekanan darah, dan nadi pasien agar tetap stabil, karena pasien merupakan
penderita hipertensi, maka sesuai anjuran JNC7, tekanan darah harus
dipertahankan 140/90mmHg, dan diberikan ketorolac 30 mg sebagai analgetik.
3. Penurunan fungsi organ yang terjadi pada pasien-pasien geriatri antara lain :
a. Kardiovaskular :

Penurunan

elastisitas

pembuluh darah arteri penurunan cardiac reserve.


b. Sistem pernafasan

: Penurunan elastisitas jaringan baru.


Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi
RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

c. Ginjal

Penurunan renal blood flow dan

massa ginjal penurunan kemampuan ginjal untuk


mengekskresi obat-obatan
d. Sistem pencernaan

: Penurunan hepatic blood flow


Penurunan kecepatan produksi albumin & plasma
kolinesterase.

e. System syaraf

: Penurunan sintesis neurotransmitter

f. Muskuloskeletal

: Atrofi kulit
Gangguan sendi lebih mudah terjadi akibat
positioning pada operasi.

DAFTAR PUSTAKA
Latief, A, Said, dkk. 2009. PETUNJUK PRAKTIS Anestesiologi, edisi
kedua (Anestesi Spinal). Jakarta : Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI
Morgan, G, Edward, et al. 2006. Clinical Anesthesiology, 4th edition
(Anesthesia for Patients with Endocrine Disease) by the
McGraw-Hill Companies, Inc.
Purnomo, Basuki. Dasar-dasar urologi. Sagung seto, Jakarta. 2007
Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Anestesiologi. FKUI,
Jakarta. 1989.
Wim de jong. Buku ajar Ilmu Bedah / Editor, R Sjamsuhidajat,. Edisi 2, Jakarta :
EGC. 2004.

Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi


RSUD Sukabumi
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

Anda mungkin juga menyukai