Sumber: Idries, AM., Tjiptomartono, AL., 2008, Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan, CV. Sagung Seto, Jakarta. Bab-16, halaman 216-218.
2
Departemen Kedokteran Forensik dan Medikolegal, FK UI/RS Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta.
Kekerasan Fisik
Adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Setiap
orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga diancam dengan
pidan 5-15 tahun penjara atau denda 15-45 juta rupiah. Kekerasan fisik yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan/poencahariann
meruapakan delik aduan.
Kekerasan psikis
Adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
Kekerasan seksual
Meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut serta pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil
dan/atau tujuan tertentu. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasanaseksual
diancam dengan hukum pidanma 12-20 tahun atau denda 36-500 juta rupiah. Namun
demikian, tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau
sebaliknya merupakan delik aduan.
Penelantaran
Adalah tidak menjalankan kewajiban untuk memberikan penghidupan, perawatan atau
pemeliharaan, termasuk membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
maupun di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut
(tergantung secara ekonomi).
Karakteristik KDRT
Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus
memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya, membuat laporan
tertulis dan VetR atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang
mempunyai kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti. Pelayanan kesehatan
tersebut harus bisa didapatkan pada sarana kesehatan milik pemerintah maupun swasta.
Tenaga kesehatan memang seringkali menjadi orang pertama yang ditemui oleh korban
KDRT, karena itu kita selaku dokter harus mampu menangani kasus semacam ini,
megingat sebagian akan menceritakan peristiwa yang sebenarnya yang mereka alami,
sebagian tidak,
Korban KDRT umumnya datang dengan keluhan yang bisa dikategorikan ringan,
misalnya memar atau luka lecet. Ada pula yang datang dengan keluhan sakit kepala,
mual, sakit perut atau diare serta keluhan nonspesifik lainnya. Pada kasus-kasus
tersebut, umumnya ketahanan mental mereka yang runtuh, namun tidak tahu harus ke
mana sehingga saran kesehatan lah yang mereka tuju.
Ciri lain adalah mereka datang terlambat, dalam arti kejadian sudah satu atau dua hari
sebelum mereka datang ke sarana kesehatan. Korban dengan cedera kepala ringan atau
sedang, baru datang berobat satu atau dua hari kemudian dengan alasan baru mampu
(secara fisik) untuk keluar rumah saat itu.
Korban dengan luka yang cukup berat dan membutuhkan tindakan medis, jarang datang
sendiri. Biasanya mereka datang didampingi oleh pelaku. Setiap pernyataan yang kita
(dokter) ajukan dijawab oleh si pengantar dan umumnya jika dianalisis terdapat
ketidaksesuaian antara cerita dengan luka yang ditemukan. Satu contoh misalnya, pasien
seorang anak umur 6 tahun datang dengan memar dan bengkak yang cukup besar pada
pada lengan atas sisi dalam, dekat ketiak yang kita curigai adanya fraktur. Pada saat
dianamnesis, orang tua yang menjawab bahwa pasien jatuh. Pada saat dieksplorasi lebih
lanjut mengenai proses jatuhnya, orang tua (pelaku) yang sibuk menjelaskan. Saat dokter
meminta sang anak untuk bercerita, orangtua tidak memberi kesempatan sama sekali,
padahal kita tahu bahwa anak umur 6 tahun sudah dapat bercerita mengenai peristiwa
yang dialaminya. Umumnya dapat kita simpulkan bahwa cerita tersebut tidak sesuai
dengan perlukaan yang ada. Pelaku juga umumnya tidak memberi kesempatan pada
pemeriksa untuk berdua saja dengan korban. Ciri lain dari kasus KDRT adalah luka yang
berbeda umurnya. Karena perilaku abusive adalah perilaku yang berulang, maka pada
korban dapat ditemukan luka baru dan luka lama secara bersama-sama pada saat
pemeriksaan.
Pemeriksaan Kedokteran Forensik
Dokter dapat dimintakan bantuan untuk melakukan pemeriksaan forensik terhadap korban
kekerasan fisik dan seksual. Sebagai seorang dokter, tentu kita selalu berorientasi pada
kesehatan dan keselamatan pasien. Pada kasus yang berhubungan dengan tindak
kriminal, kita juga dituntut untuk mampu menjadi penilai/assesor. Dalam menghadapi
kasus dengan kecurigaan KDRT, yang pertama dapat dilakukan adalah mengupayakan
anamnesis lebih mendalam terhadap korban tanpa didampingi oleh pihak penganta.
Apabila dokter dan korban berbeda jenis kelamin, sebaiknya didampingi oleh perawat.
Yakinkan pasien bahwa ia dapat bercerita dengan aman tanpa didengar oleh pelaku
(pengantar). Setelah itu, lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan seksama
untuk menilai luka-luka yang baru serta mencari kemungkinan luka-luka lama yang dapat
Wajib Lapor
Mereka yang datang dengan laporan bahwa mereka mengalami KDRT belum tentu
bersedia untuk melaporkan tindak pidana tresebut kepada yang berwajib. Alasan yang
sering dikemukakan adalah wilayah domestik, cinta, takut kehilangan sosok kepala
keluarga, anak dsb.
UU PKDRT tidak menyebutkan secara jelas bahwa tenaga kesehatan yang menemukan
kasus harus melaporkannya. Ia hanya menyatakan bahwa setiap orang yang mendengar,
melihat atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan
batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan
perlindungan pada korban, memberikan pertolongan darurat serta membantu proses
pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
UU no. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, memang sudah ditetapkan.
Ia memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan
pidana dalam lingkungan peradilan. Di dalamnya terdapat pasal-pasal yang mengatur
bahwa saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun
perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang dan telah diberikannya. Proses
perlindungan dilakukan melalau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang
saat ini sedang dalam proses pembentukan.
-------*****------
kekerasan
ternyata
belum
disepakati
oleh
semua
pihak.
Pengertian kekerasan berbeda dari satu individu ke individu lain, dari suatu
negara ke negara lain dan dari budaya yang satu ke budaya yang lain. Kekerasan
dalam bentuk verbal dan emosional tidak dianggap sebagai kekerasan pada
beberapa budaya atau negara. Demikian pula kekerasan fisik pada tingkat
Deklarasi
Penghapusan
Kekerasan
terhadap
Perempuan
yaitu kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam masyarakat luas, dan
kekerasan yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara.d
tidak
membedakan
antara
korban
laki-laki
dengan
korban
Hukum dan budaya Inggris dan Amerika Utara kuno memberi kewenangan kepada suami / pasangan untuk mengajar atau
mendidik isterinya dengan kekerasan fisik asalkan tidak meninggalkan cedera yang menetap. Beberapa budaya
mengenal istilah rule of thumb, yaitu tongkat pemukul isteri tersebut tidak lebih besar dari ibu jari .
d Pasal 2 Deklarasi Penghapusan kekerasan terhadap perempuan :
a. tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan,
penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan
dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek
kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami / pasangan-isteri dan
kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi;
b. kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan,
penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan
dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa;
c. kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara, dimanapun terjadinya.
e Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c
abuse, domestic abuse, wife abuse, wife beating dan battering. Hampir seluruh
korban atau survivor KDRT adalah perempuan dan pelakunya adalah laki-laki
(Snyder, 1998)1. Selain itu, KDRT mengenai perempuan dari segala suku bangsa,
agama, kelompok umur dan sosial-ekonomi.
Statistik
Amerika
Serikat
secara keseluruhan
melaporkan
bahwa
antara tahun 1992 1993; dan sebagaimana statistik di negara lain, 75% dari
pelakunya telah dikenal oleh korbannya. 2
Sementara itu, hingga saat ini belum tersedia angka kekerapan KDRT di
Indonesia.
Namun
banyak
organisasi
kemasyarakatan
yang
melaporkan
sosial terhadap 112 orang korban KDRT dalam kurun waktu 12 bulan. Angka
ini masih belum termasuk 185 anak perempuan korban kekerasan seksual yang
penanganan
KDRT.
Sebagian
diantaranya
mengharuskan
dilakukannya
merupakan
keharusan
hukum
(mandatory
reporting)
seringkali
adalah bahwa di masa dewasanya kelak, para anak dalam lingkungan keluarga
KDRT ini seringkali berkembang menjadi pelaku KDRT. Korban KDRT seringkali
juga akan banyak mangkir dari pekerjaan sebagai akibat dari luka-lukanya,
proses penyidikan dan peradilan, serta kinerjanya dapat terganggu sebagai
akibat dari depresi, ketakutan dan efek psikologis lainnya.
ataupun
masa
yang
lebih
lama
(1-3
tahun)
setelah
melalui
seksual,
pemerkosaan
dalam
rumah
tangga,
penyerangan,
penculikan, perusakan dll. Perintah perlindungan sipil dapat berupa stay away,
no contact, orders to vacate atau property rights.
Perlindungan sipil
negara
meng-kriminalisasi
pelanggaran
CPO
sehingga
pelaku
ini terdapat 3 fase hubungan yang abusive, yaitu the tension-building phase
yang ditandai dengan adanya sedikit tindakan kekerasan fisik ataupun
permintaan maaf pelaku disertai dengan kasih sayang dan janji untuk tidak
melakukan hal serupa di kemudian hari.5 Ketiga fase ini akan berulang dengan
jarak waktu yang semakin pendek atau intensitas yang semakin tinggi. Banyak
KEKERASAN SEKSUAL
terhadap perempuan, baik telah terjadi persetubuhan ataupun tidak, dan tanpa
memperdulikan hubungan antara pelaku dengan korban.
Pada dasarnya kejahatan seksual (susila) dalam KUHP adalah setiap aktifitas
seksual yang dilakukan oleh orang lain terhadap seseorang perempuan tanpa
consentnya. (Kejahatan seksual sesama jenis tidak akan dibicarakan dalam
makalah ini). Kejahatan seksual ini dapat dilakukan dengan pemaksaan atau
tanpa pemaksaan, baik berupa kekerasan fisik maupun ancaman kekerasan.
belum
dapat
memberikan
persetujuannya
secara
disadari oleh para ahli hukum sehingga delik-deliknya telah diatur dalam
kitab undang-undang hukum pidana. Seorang anak yang berusia 12 - 15
khusus yaitu perkosaan. Delik ini telah diatur dalam pasal 285 KUHP yang
dilakukan teman laki-lakinya. Angka ini akan semakin diperkecil lagi sebagai
akibat dari tidak dapat dibuktikannya perkosaan secara yuridis dan medis.
Dalam tahun 1994-1998 di RSCM telah diperiksa 919 korban wanita yang
diduga
mengalami
kekerasan
seksual.
Perlu
dicatat
bahwa
45
korban
diantaranya masih balita (meskipun tidak terjadi persetubuhan), dan 226 korban
(24,6%) masih berusia antara 5-14 tahun. 92 % korban belum pernah menikah
atau berstatus gadis.
pada 246 kasus (26,8%), dengan menggunakan obat-obatan atau alkohol pada
104 kasus (11,3%), dengan ancaman pada 111 kasus (12,1%), sedangkan 200
kasus diantaranya diakui korban dilakukan dengan sukarela.
Dari 251 kasus kekerasan seksual yang ditangani PKT RSCM selama
satu tahun, penetrasi terbukti pada 150 kasus dengan adanya robekan
selaput dara dan persetubuhan yang dilaporkan positif terbukti pada 18
kasus dengan ditemukannya sperma dan atau uji fosfatasenya positif
kuat.
Sampurna B. Pengaruh visum et repertum kejahatan seksual terhadap putusan pengadilan, Muktamar PDFI, 1997.
10
adalah cedera fisik yang diderita oleh korban (luka-luka, patah tulang,
kehilangan fungsi alat tubuh atau indera, keguguran kandungan, dll), gejala sisa
syndrome, rape trauma syndrome, alcohol and drug abuse, dan resiko
melakukan bunuh diri), serta dampak terhadap pendidikan dan pertumbuhan
anak terutama bila dalam kasus kekerasan rumah tangga.
panjang, terutama pada kekerasan yang berulang dan berlangsung lama seperti
pada kekerasan
dalam
rumah
tangga. Dampak
g,
gangguan
tumbuh dari keluarga yang biasa dengan kekerasan terhadap perempuan atau
juga terhadap anak, akan melakukan perbuatan yang sama pada saat mereka
menjadi dewasa dan berumahtangga sendiri. Anak laki-laki belajar dari ayahnya
belajar dari ibunya untuk menjadi korban kekerasan. Masyarakat luas telah
menerima teori bahwa kekerasan adalah perilaku yang diperoleh dari belajar
dan bersifat siklik.
Jaffe dkk mengatakan bahwa bahwa anak laki-laki yang tumbuh dari keluarga
dengan kekerasan akan lebih mungkin mengalami kesulitan penyesuaian dan
manifest menjadi masalah perilaku. Bahkan Fischer yang melakukan studi
kelak,
seperti
penyerangan,
percobaan
perkosaan,
perkosaan,
h 6
Tenaga kesehatan dan atau tenaga medis adalah profesi yang kadang-
kadang menjadi orang pertama yang mengetahui adanya KDRT secara tidak
Child abuse seringkali dapat diterangkan sebagai perilaku yang dipelajari dan sering terjadi di dalam keluarga yang sering terjadi
kekerasan dalam rumah tangga. Demikian pula kanak-kanak seperti ini memiliki angka prediktif yang bermakna untuk
menjadi pelaku kejahatan sewaktu dewasa kelak (UN Publ, 1989).
h Violence against women, UN Publ, 1989, hal 23-24.
g
11
Sementara itu, dapat dikatakan bahwa pada umumnya para korban KDRT tidak
atau
memperlihatkan
bahwa
ia
juga
memperhatikan
Contoh pertanyaan tersebut adalah : (a) Apa yang terjadi apabila terdapat ketidaksepakatan antara Anda dengan suami /
pacar di rumah? (b) Pernahkah Anda menerima kekerasan atau tindakan serupa dari suami atau pacar? (c) Pernahkah
Anda mengalami ancaman, intimidasi atau dibuat takut oleh pasangan? (d) Apakah Anda merasa aman dan selamat bila
berada di rumah? (e) Apakah Anda merasa takut atas keselamatan Anda atau anak Anda yang diakibatkan oleh ulah
orang yang hidup di rumah Anda? dan (f) Pernahkah Anda pergi ke dokter karena mengalami kekerasan atau ketakutan
di rumah?
Beberapa ciri dapat disebutkan : (a) cedera bilateral atau multipel, (b) beberapa cedera dengan beberapa tahap penyembuhan, (c)
tanda kekerasan seksual, (d) keterangan pasien yang tidak sesuai dengan cederanya, (e) keterlambatan berobat, atau
(f) berulangnya kehadiran di rumah sakit akibat trauma.
12
antara tenaga kesehatan dengan LSM yang bergerak di bidang ini diperlukan
3. Membatasi terapi obat penenang atau obat tidur kecuali atas indikasi yang
tepat.
pendidikan atau pelatihan khusus tentang kekerasan dalam rumah tangga dan
tata-laksana penanganannya. Bagaimana tenaga kesehatan bersikap terhadap
para
korban
kekerasan
terhadap
perempuan
lebih
ditentukan
oleh
yang diyakininya. Banyak ahli yang telah mengupas bagaimana dampak dari
sosialisasi gender, pengukungan sosial dan cara-cara bersikap seseorang.
Penyangkalan
dan
ketidakmampuan
mentoleransi
sesuatu
nilai
dapat
protektif dalam melihat sikap kita sendiri, orang lain, dan dunia. Para klinisi
mengakibatkan mereka terlatih untuk bisa membuat jarak dan melindungi diri
cenderung untuk memilih cara-cara yang efektif untuk memperoleh hasil yang
dapat diprediksi dan terukur, bukan menggunakan cara yang melingkar dan
tidak efisien. Keadaan-keadaan itu pada akhirnya akan mengakibatkan
menurunnya kepekaan tenaga kesehatan dalam menyikapi suatu gejala sosial
berhubungan
dengan
pasien
yang
mengalami
abuse.
10
11
13
kehidupannya
sendiri,
baik
personal
atau
profesional
dan
bagaimana
bersifat struktural. Dalam iklim pelayanan kesehatan seperti saat ini, maka
tujuan
pelayanan
komprehensif
terhadap
korban
kekerasan
anak, penyedia rumah aman (shelter), aparat penegak hukum dan institusi
bantuan hukum.
PUSAT KRISIS TERPADU
Pusat Krisis adalah suatu pusat pelayanan kepada para korban kekerasan
terhadap perempuan, dalam hal ini yang berbasis rumah sakit. Krisis diartikan
sebagai krisis sosio-psikologis yang dialami korban, bukan sebagai krisis medis
14
dalam sebuah Pusat Krisis Terpadu tidak hanya tersedia tenaga dokter atau
perawat saja, melainkan juga tenaga pekerja sosial, psikolog dan ahli hukum.
maka tenaga kesehatan yang akan ditempatkan di dalam Pusat Krisis Terpadu
haruslah tenaga kesehatan yang telah memiliki sensitivitas terhadap masalah
gender; memahami aspek sosial, psikologis dan yuridis dari tindak kekerasan
terhadap
perempuan;
serta
memiliki
ketrampilan
di
dalam
melakukan
atau pekerja sosial berjenis kelamin perempuan yang dididik khusus untuk itu
telah memadai, dan bahkan lebih efektif daripada seorang dokter spesialis
bahwa para perempuan korban kekerasan lebih mudah bicara dan mudah
terbuka kepada tenaga kesehatan yang berjenis kelamin sama.
Pusat Krisis Terpadu RSCM didirikan pada bulan Juni 2000 dengan
pendampingan, shelter dan advokasi hukum yang disediakan oleh para LSM dan
LBH. Psikolog dihadirkan dua kali dalam seminggu guna melanjutkan konsultasi
di bidang psikologis. Psikiatri dihadirkan dalam hal telah terlihat adanya gejala
psikiatris pada korban kekerasan terhadap perempuan tersebut. Kunjungan ke
rumah diperlukan apabila masalah sosial dirasakan perlu ditangani.
bekerjasama dengan berbagai LSM dan LBH yang tergabung dalam sebuah
terkait, seperti FISIP-UI jurusan Kesejahteraan Sosial, Fakultas Psikologi UI, dan
Fakultas Ilmu Keperawatan UI. Hubungan dengan penyidik ditingkatkan melalui
kerjasama informal dengan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Polri yang diawaki
oleh para Polwan dan Kompartemen Kedokteran Kepolisian RS Polri.
membuat jaringan kerja dengan para LSM dan LBH yang dapat menyediakan
upaya pendampingan, konseling psiko-sosial, advokasi hukum, dan bila ada
penyediaan rumah aman (shelter). Kerjasama yang baik dengan para LSM dan
LBH tersebut dapat mengakibatkan efisiensi, oleh karena rumah sakit tidak
15
Dalam kaitannya dengan biaya operasional PKT RSCM atau PKT-PKT lain
suatu
layanan
publik. Layanan-layanan
publik
seperti keamanan,
PKT RSCM, atau PKT lain, adalah suatu institusi yang memberikan layanan
negara lah yang bertanggung-jawab, atau dalam hal ini adalah Pemerintah
Daerah. Pada kesempatan ini pula saya menghimbau kepada Pemerintah DKI
Jakarta untuk mengulurkan tangan dalam membantu menyediakan biaya
operasional PKT RSCM di masa sesudah 2001.
KESIMPULAN
penanganan
korban
kekerasan
terhadap
perempuan.
Untuk
itu
suatu
sistem
terpadu
penanganan
kasus
kekerasan
terhadap
perempuan.
16
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1
Snyder JW. Domestic Violence. In Sanbar et al (eds) : Legal Medicine. 4Th ED. St louis:
Mosby, 1998
Crowell & Burgess. Understanding Violence against Women. Washington : NRC, 1996.
5
6
7
Walker LE. The battered women syndrome. New York : Springer Publ, 1984.
Violence against women, UN Publ, 1989, hal 23-24
8
9
Tracy. Domestic violence: the physicians role, 275 JAMA 1708 (1996)
10
11
17
ABSTRAK
Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
sebagai akibat dari adanya diskriminasi gender dari segi sosial, ekonomi, politik dan hukum, serta sebagai
akibat dari perbedaan keadaan fisik perempuan dibandingkan laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan
mengakibatkan dampak yang besar bagi korbannya, baik dari segi fisik, psikis, sosial, hukum dan ekonomi.
Sementara itu, tenaga kesehatan sangat mungkin menjadi orang pertama yang menemukan
korban dan sekaligus menjadi tempat mencari perlindungan bagi korban. Dengan mengingat dampak
kekerasan terhadap perempuan yang kompleks, maka penatalaksanaan korban juga harus bersifat
menyeluruh dan multi-disiplin. Pusat Krisis Terpadu yang berbasis rumah sakit adalah salah satu cara
mengantisipasinya.
Kata kunci : Pusat Krisis Terpadu Kekerasan terhadap perempuan
Curriculum vitae penulis
Nama
Tempat / tahun lahir
Pendidikan formal
Pekerjaan
Organisasi
: Budi Sampurna
: Bandung, 1954
: Dokter umum, FKUI
Spesialis forensik, FKUI
Sarjana Hukum, FHUI
: Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI
Ketua Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI, 1994-2000
Ketua Pusat Krisis Terpadu RCM, sejak 2000
: Sekretaris Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia
Ketua Badan Pembinaan dan Pembelaan Anggota PB IDI.
18