PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
menyebutkan bahwa :
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Pengertian kepailitan menurut Henry C. Black diartikan sebagai kondisi
seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang
cenderung untuk mengelabui pihak kreditornya.1 Menurut Ensiklopedia Ekonomi
Keuangan Perdagangan, pailit adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan
dinyatakan bangkrut dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan
untuk membayar hutang-hutangnya.2
Mengenai syarat untuk dapat dinyatakan pailit, Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU
menyebutkan bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri
1 Munir Fuady,Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,
hlm.7.
2 Ibid, hlm. 8.
1
maka
penulis
IMPLEMENTASI
tertarik
SISTEM
untuk
membuat
PEMBUKTIAN
makalah
dengan
SEDERHANA
judul:
DALAM
PERKARA KEPAILITAN
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan
masalah yang akan menjadi dasar dalam penyusunan makalah. Adapun perumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi asas pembuktian sederhana dalam praktik Peradilan
Niaga dihubungkan dengan Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU?
2. Adakah kendala atau hambatan yang dihadapi mengenai penerapan asas
pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan yang dihadapi oleh Pengadilan
Niaga?
BAB II
PEMBUKTIAN SEDERHANA SEBAGAI SYARAT DIKABULKANNYA
PERKARA KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA
A. Pembuktian Sederhana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pada dasarnya pembuktian sederhana terkait dengan permohonan pailit telah
diatur berdasarkan Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU yang menyebutkan bahwa:
Permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.
Jika diperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UndangUndang Kepailitan dan PKPU, jelas bahwa yang dimaksudkan dengan pembuktian
sederhana adalah pembuktian sederhana mengenai :4
1. Eksistensi dari satu utang debitor yang dimohonkan kepailitan, yang telah
jatuh tempo;
2. Eksistensi dari dua atau lebih kreditur dari debitor yang dimohonkan
kepailitan.
Untuk memutus suatu permohonan pernyataan pailit tidak hanya harus
memenuhi prasyarat pernyataan pailit dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU, akan tetapi
harus pula terpenuhi asas pembuktian sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU.
Perlu dijelaskan bahwa keberadaan Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU hanyalah bertujuan
mewajibkan hakim untuk tidak menolak permohonan pernyataan pailit apabila dalam
perkara itu dapat dibuktikan secara sederhana fakta dan keadaannya, yaitu fakta dan
keadaan yang merupakan syarat-syarat kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.5 Akan tetapi tidak berarti bahwa apabila ternyata
dalam perkara yang diajukan permohonan pernyataan pailitnya itu tidak dapat
4 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.134.
dibuktikan secara sederhana fakta dan keadaannya, maka majelis Hakim Pengadilan
Niaga atau Majelis Hakim Kasasi wajib menolak untuk memeriksa perkara itu
sebagai perkara kepailitan karena perkara yang demikian itu merupakan kewenangan
pengadilan negeri dalam hal ini pengadilan perdata biasa. Oleh karena itu baik
Majelis Hakim Pengadilan Niaga maupun Majelis Hakim Kasasi wajib tetap
memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit itu, sedangkan fakta dan
keadaan yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana tetap menjadi tanggung
jawabnya dan bukan karena kenyataan yang demikian itu majelis hakim kepailitan
harus terlebih dahulu mempersilahkan para pihak untuk meminta putusan Pengadilan
Negeri yang dalam hal ini adalah pengadilan perdata biasa terkait dengan fakta dan
keadaan pokok perkaranya.6
Pembuktian sederhana menurut UU KPKPU merupakan kombinasi
pelaksanaan dari prinsip dasar kepailitan, yaitu prinsip: concursus creditorum (para
kreditor harus bertindak secara bersama-sama), prinsip paritas creditorium
(kesetaraan kedudukan para kreditor), pari passu prorata parte ( harta debitor
merupakan jaminan bersama bagi kreditor dan dibagi secara proporsional berdasarkan
besar kecilnya piutang) dan prinsip structured creditors (kreditor didahulukan
berdasarkan urutan kelas kreditor).7
5 Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2008, hlm. 149.
6 Ibid, hlm. 150.
yang
mengubah
dan
menambah
Peraturan
Kepailitan
(Faillissementsverordening) Staatsblad 1905 No. 217 jo. Staatsblad 1906 No. 348,
dibentuk Pengadilan Niaga. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 mengatur mengenai
Pengadilan Niaga dalam Bab III, Pasal 280-289. Terakhir, Undang-Undang No. 37
7Widiarso, Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan,
http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s2-2010-arwakhudin, Diakses
pada Rabu, tanggal 27 Juli 2011 pukul 22:40 WIB
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur
dalam Pasal 300-303.
Berdasarkan Pasal 300 UU No.37 Tahun 2004 jo Pasal 280 ayat (1) UU No.4
tahun 1998 dibentuk suatu pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum
yaitu Pengadilan Niaga, yang menurut ketentuan dalam Pasal 280 ayat (2)
mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan
pailit dan penundaan pembayaran utang serta berwenang pula memeriksa dan
memutus perkara lain dalam bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan
peraturan pemerintah.8
Dasar hukum keberadaan Pengadilan Niaga adalah Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 jo Undang-Undang No. 4 tahun 1998
tentang Kepailitan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini merupakan
perubahan dan penyempurnaan terhadap Undang-Undang tentang Kepailitan
Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348.
Keberadaan Pengadilan Niaga tidak dapat hanya didasarkan kepada UndangUndang No. 4 tahun 1998, atau Undang-Undang yang tepisah-pisah seperti yang
terjadi saat ini. Penempatan Pengadilan Niaga dalam sistem hukum dan proses
beracara harus jelas dan tegas. Kemungkinan perluasan lingkup Pengadilan Niaga
membutuhkan landasan hukum atau dasar penetapan perluasan kewenangannya.
8 Lee A Weng, Tinjauan Pasal demi Pasal (Faillissments-Verordening) S.1905 No.217 jo S.1906
No.348 Jis Perpu No.1 Tahun 1998 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, hlm. 82.
tinggi terlebih dahulu. Hal itu berarti meninggalkan karir sebagai hakim Niaga,
sehingga profesionalisme yang telah dirintis dan ditekuni harus ditinggalkan selama
menjadi hakim tinggi. Bila hal ini terjadi, maka Pengadilan Niaga akan didukung oleh
sumber daya manusia yang kurang berkualitas dan kurang professional. Penyebab
lemahnya kinerja Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan perkara-perkara niaga.
BAB III
IMPLEMENTASI ASAS PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PRAKTEK
PERADILAN NIAGA SERTA KENDALA ATAU HAMBATAN YANG
DIHADAPI
A. Implementasi Asas Pembuktian Sederhana Dalam Praktek Peradilan Niaga
Dihubungkan Dengan Pasal 8 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang KPKPU.
Dalam penyelesaian suatu kasus kepailitan, dianut suatu asas pembuktian
sederhana. Hal tersebut sejalan dengan tujuan dari hukum kepailitan yaitu untuk
kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil,
cepat, terbuka dan efektif. Dengan dianutnya asas pembuktian sederhana seyogyanya
salah satu tujuan dari hukum kepailitan yaitu cepat dapat tercapai. Kecepatan dalam
menyelesaikan suatu kasus kepailitan sangat penting, mengingat adanya pembatasan
waktu pengucapan putusan Pengadilan maksimal 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
Dalam kenyataannya, implementasi asas pembuktian sederhana dalam
praktek peradilan niaga sering terjadi inkonsistensi dalam putusan Majelis Hakim
Pengadilan Niaga dan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa kasus-
10
10 Victorianus M.H.R. Anda Puang, Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan
Putusan Pailit, Tesis, http://library.usu.ac.id/download/fh/06003483.pdf, Abstrak.
11
Terjadi transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan
menggunakan promissory note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada proses
pembayaran. Semua transaksi pengalihan Sub Bond berada di luar kendali TPI
12
setelah Sub Bond berpindah tangan, sehingga apabila CCGL menagih hutang dari
Sub Bond, jelas-jelas illegal.
Melihat laporan CCGL, pihak Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengabulkan permohonan tuntutan dari CCGL untuk memailitkan TPI pada 14
Oktober 2009. Pihak kuasa hukum PT TPI mencoba memberi klarifikasi yang
sejujurnya disertai dengan bukt-bukti otentik melalui segala macam transaksi yang
tercatat di buku ATM Bank BNI 46 yang menjadi ATM basis bagi perusahaan TPI.
Dikatakan Marx Andriyan, bahwa pada tahun 1993 telah ditandatangani Perjanjian
yang piutang antara TPI dengan Brunei Investment Agency (BIA) sebesar USD50
juta. Atas instruki pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI tapi
ke rekening pribadi pemilik lama, utang piutang antara TPI dengan Brunei Investment
Agency (BIA) sebesar USD50 juta. Atas instruki pemilik lama, dana dari BIA tidak
ditransfer ke rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik lama. Dalam laporan
keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam bentuk Sub Bond senilai
USD53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan keuangan TPI yang dilakukan kantor
akuntan publik dipastikan bahwa di dalam neraca TPI 2007 dan 2008 juga tidak
tercatat adanya kreditur maupun tagihan dari CCGL. Seharusnya utang-utang obligasi
jangka panjang tercatat di dalam pembukuan. Bahkan,kata Marx, pada 2007, MNC
sebagai pemilik saham 75 persen di TPI mencatatkan diri sebagai perusahaan terbuka
(PT MNC Tbk).
Merasa tidak bersalah, PT TPI kemudian meminta peninjauan ulang atas
masalah ini. Sesuai prosedur, TPI membawa masalah ini ke tingkat Mahkamah Agung
13
14
15
16
17
Pengadilan Niaga, baik yang setingkat maupun dengan tingkat di atasnya dalam
memeriksa kasus-kasus permohonan kepailitan.