Anda di halaman 1dari 21

POLITEKNIK NEGERI JAKARTA

MUDHARABAH
Ushul Fiqh
Dinnia Febry Amalia Putri
Ismi Shabrina
Wuri Handayani
Zahrah Aminah J
BS 2 A

2013

MUDHARABAH

A. PENGERTIAN
Secara etimologi kata mudharabah berasal dari kata dharib yang berarti
memukul atau berjalan. Pengertian memukul dan berjalan ini lebih tepatnya
adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. 1 Jadi,
disebut mudharabah karena pelaku usaha (mudharib) memerlukan suatu
perjalanan untuk menjalankan bisnis.
Secara terminologi mudharabah adalah kerja sama antara pemilik modal
(sahibul maal) dan pelaku usaha (mudharib) untuk membuat sebuah usaha yang
produktif secara halal dengan proporsi pembagian keuntungan di bagi bersama
sesuai kesepakatan.2 Sahibul mal memberikan sejumlah dana kepada mudharib
yang dianggap mampu dan memiliki keterampilan untuk melakukan suatu
kegiatan usaha produktif.
Dalam literatur fiqih, Ulama madzhab Syafii mendefinisikan
mudharabah sebagai berikut: Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua
orang atau lebih, diantara yang satu menyerahkan harta atau modal kepada pihak
kedua untuk dijalankan usaha, dan masing-masing mendapatkan keuntungan
dengan syarat-syarat tertentu.3
B. LANDASAN SYARI
1. Firman Allah dalam QS. Al-Muzzamil ayat 20:



dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah SWT

Muhammad SyafiI Antonio. BANK SYARIAH: Dari Teori Ke Praktik. (Jakarta:


Gema Insani) hlm. 95
2

Materi Mudharabah yang disampaikan Agustianto dalam kelas Pasca Sarjana


UI.
3

Zul Fadli, Analisa Perbandingan PBI DSN Tentang Mudharabah,


http://zfadly.blogspot.com/2012/06/analisa-perbandingan-pbi-dsntentang.html, terakhir diakses 8 Mei 2013, pukul 14:14 WIB

2. Hadist

:
( )
Hadits di atas diriwayatkan oleh Sholih bin Shuhaib dari Ayahnya, bahwa
Sabda Rasulullah Saw: Tiga macam mendapat barakah: muqaradhah/
mudharabah, jual beli secara tangguh, mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah bukan untuk dijual. (H.R.Ibnu Majah)
C. RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH
Rukun-rukun dalam mudharabah, menurut ulama Syafiiyah, rukun-rukun
mudharabah ada enam, yaitu:
1. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya;
2. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik
barang;
3. Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dan pengelola barang;
4. Mal, yaitu harta pokok atau modal;
5. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba;
6. Keuntungan.
Menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah ialah ijab dan Kabul yang
keluar dari orang yang memiliki keahlian.4
Syarat-syarat dalam mudharabah adalah sebagai berikut:
a) Pemilik barang atau modal dan pelaku usaha
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal.
Pada rukun ini, keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz al-tasharruf),
dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid (normal)
b) Akad mudharabah
Akad yang dimaksudkan dalam rukun ini adalah adanya pernyataan atau
ijab kabul antara pemodal dan pengusaha mengenai akad yang akan mereka
gunakan dalam kerja sama antara keduanya.
c) Mal dan Amal
Mal atau modal dalam mudharabah haruslah milik sendiri, jumlahnya
jelas, secara tunai, dan langsung diberikan kepada mudharib. Jika modal yang
diberikan berupa barang, nilai dari barang tersebut dihitung berdasarkan nilai
mata uang ketika terjadi akan (transaksi), sehingga nilai barang tersebut
menjadi modal mudharabah.

Daniarti, Rukun dan Syarat Mudharabah, http://wintersun-of-theheart.blogspot.com/2012/04/rukun-dan-syarat-mudharabah.html, terakhir


diakses 8 Mei 2013, pukul 14:14 WIB

Amal atau usaha, dalam mudharabah jenis usaha yang akan dikerjakan
tidak boleh melanggar ketentuan syariat. Dan dalam mudharabah jenis
mutlaqah, pemilik modal tidak menyusahkan pengelola modal dengan
pembatasan jenis usaha yang menyulitkannya.
d) Keuntungan
Keuntungan dalam rukun ini maksudnya adalah pembagian keuntungan
atas dasar kesepakatan. Ibnu Qudamah di dalam Syrahul Kabir menyatakan,
keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan
pernyataan, maksudnya, dalam seluruh jenis sayrikah. Hal itu tidak terdapat
perselisihan dalam mudharabah murni. Ibnu Mundzir menyatakan, para
ulama bersepakat, bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik
modal 1/3 keuntungan atau , atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu
diketahui dengan jelas dalam bentuk prosentase.5
D. JENIS MUDHARABAH
1. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah mutlaqah adalah bentuk
kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas
dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. 6
Maksudnya mudharabah dengan penentuan jenis usaha yang akan di jalankan
oleh mudharib bisa ditentukan oleh mudharib itu sendiri. Dengan kata lain
mudharib bebas menenukan jenis usahanya tanpa ada campur tangan dari
sahibul mal.
2. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted
mudharabah / specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah
mutlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau
tempat usaha.7 Contoh, sahibul mal yang memberikan sejumlah dana kepada
mudharib, menginginkan mudharib membuka usaha dalam industri kuliner.
Maka, mudharib wajib membuka usaha yang termasuk kedalam industri
kuliner. Baik itu seperti makanan ala Jepang atau hanya sekedar jajanan pasar,
asal halal.
E. KLASIFIKASI AKAD MUDHARABAH
5

Zul Fadli, Analisa Perbandingan PBI DSN Tentang Mudharabah,


http://zfadly.blogspot.com/2012/06/analisa-perbandingan-pbi-dsntentang.html, terakhir diakses 8 Mei 2013, pukul 15:23 WIB
6

Muhammad SyafiI Antonio. BANK SYARIAH: Dari Teori Ke Praktik. (Jakarta:


Gema InsanI). Hlm 97
77

Muhammad SyafiI Antonio. BANK SYARIAH: Dari Teori Ke Praktik. (Jakarta:


Gema InsanI). Hlm 97

Dalam pembiayaan mudharabah hubungan antara pihak bank dengan


dengan pihak nasabah pengelola dana di dasarkan pada prinsip kepercayaan
(amanah), maksudnya pengelola dana (mudharib) dipercaya untuk mengelola
modal mudharabah, dia tidak dikenakan ganti rugi (dhamanah) atas kerusakan,
kemusnahan, atau kerugian yang menimpanya selama tidak disebabkan atas
kelalaian, kecerobohan, atau tindakannya yang melanggar syarat dalam
perjanjian.8
Menurut Adi Warman Karim dalam bukunya yang berjudul Bank Islam,
menyebutkan bahwa mudharabah adalah salah satu contoh dari bentuk akad
Natural Uncertainty Contract. Naturall Uncertainty Contract adalah kontrak atau
akad dalam bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan, baik dari segi
jumlah maupun waktu. Dalam uncertainty contract, pihak pihak yang bertransaksi
saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi
satu kesatuan, dan kemudain menanggung resiko bersama-sama untuk
mendapatkan keuntungan. Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrakkontrak investasi.9
Dari keterangan diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa mudharabah
merupakan akad amanah (percampuran), dan merupakan akad bisnis dengan
natural uncertainty contract. Dan seperti akad bisnis lainnya, tujuan utamanya
adalah keuntungan. Karena akad mudharabah termasuk akad uncertainty contact,
maka mudharabah merupakan akad dengan keuntungan yang tidak pasti.
Artinya keuntungan tidak bisa di tentukan dari awal saat kesepakatan atau
akad disetujui. Keuntungan hanya bisa ditentukan prosentase pembagiannya pada
saat awal terjadinya akad. Seperti yang ada pada firman Allah dalam Q.S. Lukman
(34):



Sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nyalah pengetahuan tentang hari kiamat,
Dialah yang menurunkan hujan dan yang mengetahui apa yang ada dirahim, dan
8

Ah. Azhuruddin Latif, M.Ag, MH, Jaminan Dalam Penjaminan Mudharabah,


http://fsh-uinjkt.net/index.php?
option=com_content&view=article&id=177:jaminan-dalam-p.., terakhir
diakses 8 Mei 2013, pukul 12:54 WIB
9

Adiwarman Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada).

tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa (berapa) hasil
usahanya besok dan tidak seorang pun tahu dibumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Seperti yang telah disampaikan diatas bahwa mudharabah adalah akad
amanah yang merupakan akad percampuran yang mengikat kedua belah pihak.
Dan akad bisnis yang menghasilkan keuntungan juga pasti penuh resiko. Maka,
apabila terjadi kerugian haruslah diverifikasi bersama siapa yang bertanggung
jawab atas kerugian tersebut. Haruslah dicari siapa yang bersalah. Jika pelaku
usaha atau mudharib tidak melakukan kesalahan, maka sahibul maal lah yang
menanggung dan begitu pula sebaliknya. Namun, apabila ditemukan kesalahan
dari kedua belah pihak, maka keduanya duanya yang wajib menanggung. Seperti
dalam hadis Nabi:


Keuntungan yang diperoleh sejalan dengan resiko yang ditanggung. (H.R. Abu
Daud)

Dari penjelasan di atas dapat dituangkan ke dalam tabel seperti berikut:


Akad

Bisnis

Sosial

Amanah

Mudharabah
(Bagi Hasil)

Dhamanah Certainty
-

Uncertainty

Percampuran

Pertukaran

F. KLASIFIKASI PERBANKAN
Mudharabah adalah salah satu akad yang terdapat pada perbankan syariah
dimana mudharabah mencakup akad dalam kegiatan perbankan syariah
sebagai penghimpun dan penyalur dana.
Mekanisme penghimpun dana yang menggunakan akad mudharabah,
adalah nasabah datang kepada bank untuk menabungkan hartanya. Disini bisa
berupa giro, tabungan, dan deposito atas dasar akad mudharabah. Pada akad
ini, nasabah bertindak sebagai sahibul maal dan bank sebagai mudharib.
Namun, selain mudharabah, akad yang lain sebagai penghimpun dana adalah

dengan menggunakan akad wadiah yad dhamanah. Dimana yad wadiah


dhamanah adalah titipan atau tabungan sejumlah harta nasabah, yang hartanya
dapat digunakan salah satunya untuk penyaluran pembiayaan akad
mudharabah kepada pelaku usaha.10
Dana yang dihimpun dari nasabah yang menggunakan akad mudharabah
ataupun dengan akad wadiah yad dhamanah selanjutnya akan dikelola dengan
bank dengan cara menyalurkannya kembali kepada nasabah lain yang butuh
dan dianggap mampu untuk melakukan kegiatan usaha. Disini lah peran bank
sebagai penyalur dana menggunakan akad mudharabah berlaku.
Selanjutnya, perbankan juga bertindak sebagai penyalur dana, berikut
merupakan Peraturan Bank Indonesia mengenai peran perbankan sebagai
penyalur dana:
Peraturan Bank Indonesia nomor: 9/19/PBI/2007 BAB I pasal 2 menetapkan:
(1) Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana; penyaluran dana dan
pelayanan jasa, Bank wajib memenuhi prinsip syariah.
(2) Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam antara lain
prinsip keadilan dan keseimbangan (adl wa tawazun), kemaslahatan
(maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar,
maysir, riba, dzalim, riswah, dan objek haram.
Pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
diatas, dilakukan sebagai berikut:
a. Dalam kegiatan penghimpunan dana dengan mempergunakan antara lain
akad wadiah dan mudharabah;
b. Dalam kegiatan penyaluran dana berupa Pembiayaan dengan
mempergunakan antara lain Akad Mudharabah, Musyarakah,
Murabahah, Salam, Istishna, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bitamlik dan
Qardh;
c. Dalam kegiatan pelayanan jasa dengan mempergunakan antara lain Akad
Kafalah, Hawalah, dan Sharf.
Dalam Surat Edaran Bank Syariah Indonesia, pelaksanaan prinsip syariah
dalam kegiatan penyaluran dana atas dasar akad mudharabah, yaitu:
Pembiayaan Atas Dasar Akad Mudharabah
Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan, berlaku
persyaratan sebagai berikut:
a. Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan nasabah
bertindak sebagai pengelola dana (mudharib);
10

Materi Wadiah yang disampaikan Agustianto dalam kelas Pasca Sarjana UI

b. Bank memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah


walaupun tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah;
c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk
Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah;
d. Bank wajib memenuhi persyaratan khusus sebagai pemilik dana (shahibul
maal) yang diberikan kepada nasabah (mudharib);
e. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar
akad mudharabah meliputi aspek personal berupa karakter (character) dan
aspek usaha meliputi kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan
prospek usaha (condition);
f. Pembagian hasil usaha dinyatakan dalam nisbah yang disepakati;
g. Nisbah bagi hasil tidak dapat diubah, kecuali atas dasar kesepakatan para
pihak;
h. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk
perjanjian tertulis;
i. Jangka waktu, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan
berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
j. Pembiayaan diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang, bukan dalam
bentuk piutang atau tagihan;
k. Pembiayaan diberikan dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas
jumlahnya;
l. Jika pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang tersebut
harus dinilai atas dasar harga pasar dan dinyatakan secara jelas jumlahnya;
m. Pengembalian pembiayaan dilakukan dalam dua cara, yaitu secara
angsuran ataupun sekaligus pada akhir period akad, sesuai dengan jangka
waktu pembiayaan;
n. Pembagian hasil usaha dilakukan atas dasar laporan hasil usaha pengelola
dana (mudharib) dengan disertai bukti pendukung yang dapat
dipertanggungjawabkan;
o. Kerugian usaha nasabah pengelola dana (mudharib) yang dapat ditanggung
oleh Bank adalah maksimal sebesar jumlah pembiayaan yang diberikan
(rasul maal).

Dari keterangan diatas dapat diperoleh skema seperti berikut ini


Mudharabah

PengHimpu
nan
dana

Mudharabah

pemodal

Pelaku usaha
Bank
Pelaku usaha dan
pemodal

Pelaku usaha
Pelaku usaha

Penya
luran
dana

pemodal
Wadiah Yad Dhamanah

Mudharabah

G. POLEMIK KOMPARASI ANTARA FATWA DSN-MUI DENGAN PBI DAN


SEBI
1. Definisi dan Landasan Hukum Perspektif Fatwa DSN-MUI
dan PBI serta SEBI11

KATEG
ORI

FATWA DSN-MUI

PBI dan SEBI

DEFINISI

Mudharabah adalah akad


kerjasama suatu usaha
antara dua pihak dimana
pihak pertama (malik,
shahib
al-mal,
LKS)
menyediakan
seluruh
modal, sedangkan pihak
kedua (amil, mudharib,
nasabah)
bertindak
selaku pengelola, dana
keuntungan usaha bagi
diantara mereka sesuai
kesepakatan
yang
dituangkan
dalam
kontrak.
(Fatwa DSN No. 07/DSNMUI/IV/200)

Pembiayaan Mudharabah
adalah penyediaan dana
atau
tagihan
yang
dipersamakan dengan itu
berupa
transaksi
bagi
hasil
dalam
bentuk
Mudharabah.
(PBI 10/16/PBI/2008)

LANDAS
AN
HUKUM

a. No.
07/DSNMUI/IV/2000
Tanggal
4
April
2000,
tentang
Pembiayaan
Mudharabah
(Qiradh);
b. No.
17/DSNMUI/IX/2000
Tanggal
16
September
2000,

a. PBI
9/19/PBI/2007
tentang
Pelaksanaan Prinsip
Syariah
dalam
Kegiatan
Penghimpunan
Dana
dan
Penyaluran
Dana
serta
Pelayanan
Jasa Bank Syariah.
b. PBI 10/16/PBI/2006

11

Adiwarman Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada). Hlm : 490-494

tentang
Sanksi
atas
Nasabah
Mampu
yang
Menunda-nunda
Pembayaran;
c. No.
43/DSNMUI/VIII/2004
Tanggal 11 Agustus
2004,
tentang
Ganti
Rugi
(Tawidh).

tentang Perubahan
atas
PBI
9/19/PBI/2007
c. SEBI
14/10/DPBS
tanggal 17 Maret
2008
tentang
Pelaksanaan Prinsip
Syariah
dalam
Kegiatan
Penghimpunan
Dana
dan
Penyaluran
Dana
serta
Pelayanan
Jasa Bank Syariah.
2. Pokok-pokok Aturan Pembiayaan Mudharabah Perspektif
Fatwa DSN-MUI dan SEBI

KATEGOR
I

FATWA DSN-MUI

SEBI 10/14/2008

PELAKU

LKS sebagai shahibul


maal membiayai 100%
kebutuhan
suatu
proyek,
sedangkan
pengusaha
bertindak
sebagai mudharib atau
pengelola usaha.

MODAL

o Modal
dapat
berbentuk uang
atau
barang
yang dinilai.
o Modal
tidak
dapat berbentuk
piutang
dan
harus dibayarkan
kepada
Mudharib,
baik
secara bertahap
maupun tidak.

Bank bertindak sebagai


pemilik dana (shahibul
maal) yang menyediakan
dana
dengan
fungsi
sebagai modal kerja, dan
nasabah
bertindak
sebagai pengelola dana
(mudharib)
dalam
kegiatan usahanya.
o Pembiayaan
atas
dasar
Akad
Mudharabah
diberikan
dalam
bentuk
uang
dan/atau
barang,
serta bukan dalam
bentuk
piutang
atau tagihan.
o Dalam
hal
Pembiayaan
atas
dasar
Akad
Mudharabah
diberikan
dalam
bentuk uang harus
dinyatakan secara
jelas jumlahnya;
o Dalam
hal
Pembiayaan
atas

10

dasar
Alad
Mudharabah
diberikan
dalam
bentuk
barang,
maka
barang
tersebut
harus
dinilai atas dasar
harga pasar (net
realizable
value)
dan
dinyatakan
secara
jelas
jumlahnya.
NISBAH

Bagian
keuntungan
proporsional
bagi
setiap
pihak
harus
diketahui
dan
dinyatakan pada waktu
kontrak disepakati dan
harus dalam bentuk
prosentasee
(nisbah)
dari keuntungan sesuai
kesepakatan.
Perubahan
nisbah
harus
berdasarkan
kesepakatan.

KEUNTUNG
AN

Harus
diperuntukkan
bagi kedua belah pihak
dan
tidak
boleh
disyaratkan hanya satu
pihak saja (Ps.2:4a)
Penyedia
dana
menanggung
semua
kerugian akibat dari
mudharabah,
kecuali
diakibatkan kesalahan
disengaja,
kelalaian
atau pelanggaran.

KERUGIAN

MANAJEME
N

LKS tidak ikut serta


dalam
manajemen
perusahaan
atau
proyek
tetapi
mempunyai hak untuk
melakukan pembinaan

11

o Pembagian
hasil
usaha
dari
pengelolaan dana
dinyatakan dalam
nisbah
yang
disepakati.
o Nisbah bagi hasil
yang
disepakati
tidak dapat diubah
sepanjang jangka
waktu
investasi,
kecuali atas dasar
kesepakatan para
pihak.
Pembagian hasil usaha
dari
pengelolaan
dan
dinyatakan dalam nisbah
yang disepakati;
Kerugian usaha nasabah
pengelola
dana
(mudharib) yang dapat
ditanggung oleh bank
selaku
pemilik
dana
(shahibul maal) adalah
maksimal sebesar jumlah
pembiayaan
yang
diberikan (rasul maal)
Bank memiliki hak dalam
pengawasan
dan
pembinaan
usaha
nasabah walaupun tidak
ikut
serta
dalam
pengelolaan
usaha

dan pengawasan
1:4)

JANGKA
WAKTU

(Ps nasabah,
antara
lain
bank dapat melakukan
review
dan
meminta
bukti-bukti dari laporan
hasil
usaha
nasabah
berdasarkan
bukti
pendukung yang dapat
dipertanggungjawabkan;

Mudharabah
boleh
dibatasi pada periode
tertentu (Ps 3:1)

o Jangka
waktu
Pembiayaan
atas
dasar
Akad
Mudharabah,
pengembalian
dana,
dan
pembagian
hasil
usaha
ditentukan
berdasarkan
kesepakatan bank
dan nasabah.
o Pengembalian
Pembiayaan
atas
dasar
Akad
Mudharabah
dilakukan
dalam
dua
cara,
yaitu
secara
angsuran
ataupun sekaligus
pada akhir periode
Akad
sesuai
dengan
jangka
waktu Pembiayaan
atas dasar Akad
Mudharabah;

JAMINAN

Pada prinsipnya dalam


pembiayaan
mudharabah tidak ada
jaminan, namun agar
mudharib
tidak
melakukan
penyimpangan
LKS
dapat
meminta
jaminan daru mudharib

12

AKAD

atau
pihak
ke-3.
Jaminan hanya dapat
dicairkan
apabila
mudharib
terbukti
melakukan
pelanggaran terhadap
hal-hal
yang
telah
disepakati bersama.
Akad
dituangkan
secara tertulis melalui
korespondensi
atau
dengan menggunakan
cara-cara komunikasi
modern.

o Bank dan nasabah


wajib menuangkan
kesepakatan dalam
bentuk
perjanjian
tertulis
berupa
Akad Pembiayaan
atas
dasar
Mudharabah;
o

DENDA/SA
NKSI

o Nasabah mampu
yang menundanunda
pembayaran
dan/atau
tidak
mempunyai
kemauan
dan
iktikad
baik
untuk membayar
hutangnya boleh
dikenakan
sanksi.

13

Dalam
hal
Pembiayaan
atas
dasar
Akad
Mudharabah
Muqayyadah yaitu
penyediaan
dana
kepada
nasabah
dimana
pemilik
dana
(shahibul
maal) memberikan
persyaratan khusus
kepada pengelola
dana
(mudharib),
Bank
wajib
memenuhi
persyaratan khusus
dimaksud.

TAWIDH

o Sanksi
didasarkan pada
prinsip
tazir
yaitu bertujuan
agar
nasabah
lebih
disiplin
dalam
melaksanakan
kewajibannya.
o Dana
yang
berasal
dari
denda
diperuntukkan
sebagai
dana
sosial.
(Fatwa No. 17/IX/202
Ps 1:3-6)
o Ganti
rugi
(tawidh) hanya
boleh dikenakan
atas pihak yang
dengan sengaja
atau
karena
kelalaian
melakukan
sesuatu
yang
menyimpang dari
ketentuan akad
dan
menimbulkan
kerugian
pada
pihak lain.
o Besar ganti rugi
(tawidh) adalah
sesuai
dengan
nilai kerugian riil
yang
pasti
dialami
dalam
transaksi
tersebut
dan
bukan potential
loss
karena
adanya
opportunity loss.
o Besarnya
ganti
rugi
ini
tidak

14

o Bank
dapat
mengenakan ganti
rugi
(tawidh)
kepada
nasabah
yang menyimpang
dari
perjanjian
yang
mengakibatkan
kerugian
pada
bank;
o Besarnya ganti rugi
adalah
sebesar
nilai kerugian riil
yang
berkaitan
dengan upaya bank
untuk memperoleh
pembayaran
dari
nasabah dan bukan
potential
loss
karena
adanya
opportunity loss;
o Ganti rugi dalam
pembiayaan
Mudharabah
dan
Musyarakah hanya
boleh
dikenakan
bank
sebagai
pemilik
dana
(shahibul
maal)

boleh
dicantumkan
dalam akad.
o Ganti rugi dalam
pembiayaan
Mudharabah dan
Musyarakah
hanya
boleh
dikenakan bank
sebagai pemilik
dana
(shahibul
maal)
apabila
bagian
keuntungan bank
tidak
dibayar
oleh
nasabah
sebagai
Pengelola Dana
(Mudharib)
o Pihak
yang
cedera
janji
bertanggung
jawab atas biaya
perkara
dan
biaya
lainnya
yang
timbul
akibat
proses
penyelesaian
perkara

apabila
bagian
keuntungan
bank
tidak dibayar oleh
nasabah
sebagai
Pengelola
Dana
(Mudharib)
o Klausul
kemungkinan
pengenaan
ganti
rugi
harus
ditetapkan secara
jelas
dalam
perjanjian
Pembiayaan
dan
dipahami
oleh
nasabah.

Berdasarkan tabel komparasi antara Fatwa DSN-MUI dengan PBI dan


SEBI diatas dapat dilihat adanya perbedaan dan ada pula persamaan yang kita
temui. Perbedaan dan persamaan tersebut akan dijelaskan dibawah ini secara
menyeluruh, sekaligus kesimpulan dan juga pendapat dari analisis mengenai
perbedaan dan kesamaan antara Fatwa DSN-MUI dengan PBI dan SEBI.
PBI dan SEBI mendefinisikan pembiayaan mudharabah sebagai
penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi
bagi hasil dalam bentuk mudharabah, namun SEBI dalam menjelaskan modal
mudharabah itu dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang, serta bukan
dalam bentuk piutang atau tagihan. Penjelasan SEBI mengenai pembiayaan
mudharabah bertolak belakang dengan penjelasannya mengenai modal dalam
mudharabah. Dalam tabel komparasi diatas pada kategori definisi menurut
SEBI pembiayaan tidak boleh dalam bentuk tagihan. Namun, dalam
kategori modal menurut SEBI, modal diperbolehkan dalam bentuk tagihan.

15

Padahal pembiayaan itu sama saja dengan modal, harusnya ketetapan yang sama
yaitu tidak boleh dalam bentuk tagihan. Karena syarat modal salah satunya adalah
dengan pendanaan secara tunai. Maka sebenarnya penyertaan modal dalam
mudharabah tidak boleh menggunakan tagihan atau piutang karena itu menyalahi
syarat dalam salah satu rukun akad mudharabah. Telah kita ketahui apabila rukun
tidak terpenuhi maka akad tersebut menjadi tidak sah.
Akad mudharabah memiliki landasan hukum dalam Fatwa DSN-MUI juga
dalam PBI dan SEBI. Fatwa DSN-MUI dan SEBI memiliki peraturan yang sama
mengenai akad mudharabah yang digunakan oleh kedua belah pihak haruslah
dituangkan dalam perjanjian di awal, nisbah bagi hasil dalam mudharabah juga
ditentukan sejak awal, jika ada perubahan prosentase harus berdasarkan
kesepakatan antara kedua pihak. Kemudian keuntungan yang didapat harus
diperuntukkan kepada kedua pihak sesuai porsi yang telah disepakati. Fatwa
DSN-MUI menyatakan bahwa bank dapat memberikan sanksi atau denda kepada
nasabah yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai mudharib, sanksi ini
bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan nasabah.
Manajemen usaha dalam akad mudharabah hanya dilakukan oleh
mudharib, bank tidak boleh ikut campur dalam manajemen usaha, bank hanya
dapat melakukan pembinaan dan pengawasan, Fatwa DSN-MUI memiliki
argumen yang sama dengan SEBI dalam hal ini. Mudharib sebagai orateng yang
telah dipercaya oleh shahibul mal harus berhati-hati dalam bertindak.
Setiap bisnis pasti mengandung resiko kerugian, begitupun dalam akad
mudharabah. Fatwa DSN-MUI terkait hal ini, menjelaskan bahwa penyedia dana
menanggung semua kerugian kecuali kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian
hal ini berarti diperlukan verifikasi, pihak mana yang menyebabkan kerugian
tersebut. Sedangkan dalam SEBI kerugian akan diganti oleh bank sebagai
pemilik dana dengan syarat maksimal sebesar jumlah pembiayaan yang
diberikan. Tetapi dalam SEBI yang terkait dengan ganti rugi, dijelaskan bahwa
bank dapat meminta ganti rugi kepada nasabah yang melakukan kesalahan
sehingga menimbulkan kerugian, ganti rugi yang dapat diminta oleh bank
adalah sebesar nilai kerugian riil.
Dari penjelasan komparasi diatas, terdapat ketidakadilan dalam peraturan
dalam SEBI, walaupun inti dari komparasi perbandingan mengenai kerugian yaitu
diverifikasi namun apabila bank yang melakukan kesalahan, bank hanya mau
mengganti kerugian maksimal sebesar jumlah pembiayaan diawal. Sedangkan jika
terjadi kesalahan dari pihak nasabah selaku pelaku usaha, pelaku usaha haruslah
mengganti sebesar nilai riil kerugian. Seharusnya, setelah diferivikasi besarnya
jumlah ganti rugi dari kedua belah pihak yang telah terbukti salah adalah sejumlah
nilai riil kerugian.

16

Selain itu, dalam SEBI dan Fatwa DSN-MUI tidak ada peraturan
mengenai kerugian yang disebabkan oleh kelalaian yang tidak disengaja oleh
mudharib. Hal ini memungkinkan bank selaku sahibul maal meminta ganti rugi
tanpa peduli kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian yang disengaja ataupun
tidak disengaja.
H. APLIKASI MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARIAH
Mudharabah di dunia bank syariah merupakan karakteristik umum dan
landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Aplikasi
mudharabah pada bank syariah cukup kompleks, namun secara global dapat
diklasifikasikan menjadi dua:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank
2. Akad mudharabah antara bank dengan nasabah peminjam
Berikut ini uraian terhadap aplikasi tersebut:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank.
Aplikasinya dalam perbankan syariah adalah:
a. Tabungan berjangka
Yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti tabungan
qurban, tabungan pendidikan anak, dan sebagainya.
Sistem atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuanketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan,
penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan fotokopi KTP, spesimen
tanda tangan, dan lain sebagainya.
Lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan anaknya,
lalu disepakati nominal yang disetor setiap bulannya dan tempo pencairan
dana.
Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi hasil dari
usaha mudharabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa langsung
memberikan hasil mudharabah secara kredit tiap akhir bulan.
b. Deposito biasa
Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua
bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal
(pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada
kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal
(dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6
bulan, dan 12 bulan.

17

Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya dana akan
cair saat jatuh tempo.Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka
dan deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap
Customer Service (CS)nya.
c. Deposito Khusus (special investment)
Di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu.
Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk ini.12
2. Akad mudharabah antara bank dengan nasabah peminjam.
a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
b. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber
dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh shahibul maal.13
I. IMPLIKASI, KRITIK DAN SOLUSI
Perbankan syariah dalam penetuan bagi hasil pada akad mudharabah dibagi
menjadi dua, yaitu:14
1. Profit sharing
Adalah pembagian keuntungan yang dilakukan setelah dipotong biaya
operasional. Atau dengan kata lain pembagian keuntungan dihitung dari laba
bersih.
2. Revenue sharing
Adalah pembagian keuntungan yang dilakukan sebelum dipotong biaya
operasional. Atau dengan kata lain pembagian keuntungan dipotong dari laba
bruto.
Revenue sharing digunakan pada saat akad antara nasabah (sahibul maal)
dengan bank sebagai mudharib. Sedangkan provit sharing digunakan pada saat
akad antara bank sebagai sahibul maal dan nasabah sebagai mudharib.
Besarnya nominal keuntungan atau laba yang lebih besar adalah laba yang
belum dikurangi dengan biaya opersional, atau dengan penentuan bagi hasil
revenue sharing. Maka, itu berarti bank selalu menndapatkan laba lebih besar dari
12

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin, Aplikasi Mudharabah Dalam Perbankan Syariah,

http://asysyariah.com/aplikasi-mudharabah-dalam-perbankan-syariah.html,
terakhir diakses 14 Mei 2013, pukul 10.00 WIB
13

Primasatya Ari Nugraha, Produk Mudharabah Dalam Bank Syaariah, http://primaan.blogspot.com/2011/01/produk-mudharabah-dalam-bank-syariah.html,


terakhir diakses 14 Mei 2013 pukul 10.35 WIB
14

Materi Mudharabah yang disampaikan Agustianto dalam kelas Pasca Sarjana

UI

18

pada nasabahnya. Dan itupun menzolimi nasabah yang bertindak sebagai sahibul
maal. Belum lagi, apabila menggunakan revenue sharing, nasabah yang bertindak
sebagai sahibul maal haruslah membayar biaya operasional setelah pembagian
keuntungan.

Dari penjelasan diatas, dapat diperoleh skema seperti berikut :


Revenue Sharing

Provit Sharing
Mudharib || Sahibul maal

Nasabah
(Sahibul
maal)

Bank

Laba Kotor (LK)


(LK*x%)-biaya
LK*x%

Nasabah
(Mudharib)

Laba kotor biaya = Rp.A


x% * Rp. A
x% * Rp. A

Jadi dari penjelasan skema diatas, lebih baik keduanya menggunakan


sistem bagi hasil dengan provit sharing, agar pembagian sama rata. Namun,
walaupun keduanya menggunakan sistem profit sharing, penggunaan skema yang
seperti ini tidak sesuai dengan rukun. Pembahasan lebih lanjut akan dibahas di
paragraf berikutnya.
Telah kita ketahui Fatwa DSN-MUI menyebutkan jumlah pihak yang
berbeda jumlahnya didalam definisi dan dalam penjelasannya mengenai jaminan.
Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam praktik akad mudharabah di
perbankan. Mudharabah yang seharusnya hanya dilakukan oleh dua pihak menjadi
dilakukan oleh tiga pihak. Dalam praktik perbankan, nasabah mendatangi bank
untuk menabungkan sejumlah uangnya dengan menggunakan akad mudharabah,
disini nasabah (pihak 1) bertindak sebagai shahibul mal dan bank (pihak 2)
bertindak sebagai mudharib, kemudian bank menyalurkan dana itu kepada
pengusaha untuk kemudian dananya dapat digunakan dalam bisnis si pengusaha.
Disini bank bertindak sebagai shahibul mal dan pengusaha (pihak 3) bertindak
sebagai mudharib.

Dalam praktik ini menggunakan skema sebagai berikut:

19

Mudharabah

Peng-

pemodal

Pelaku usaha
Bank

Himpu
nan
dana

Mudharabah

pemodal

Pelaku usaha

Pelaku usaha dan


pemodal

Wadiah Yad Dhamanah

Pelaku usaha
Mudharabah

Hal ini telah menyalahi rukun mudharabah, karena dalam rukun


mudharabah modal harus milik pribadi dan haruslah langsung diberikan kepada
pelaku usaha. Sedangkan bank tidak menggunakan modal pribadi melainkan
menggunakan harta milik nasabah, seharusnya bank tidak menyalurkan dana dari
tabungan nasabahnya tetapi langsung melakukan kegiatan usaha atau dengan kata
lain langsung menjadi pelaku usaha (terjun ke sektor riil).
Seperti yang telah dipelajari diawal, akad mudharabah adalah akad
amanah karena mengikat antara pihak satu dengan pihak kedua. Sedangkan pada
skema ini nasabah dan pekerja tidak terjadi interaksi atau dengan kata lain tidak
saling mengikat. Apabila tidak mengikat maka ada pergeseran akad amanah
menjadi dhamanah, dan apabila ada pergeseran akad seperti itu maka hukumnya
riba. Karena keuntungan dalam amanah adalah tidak pasti dan keuntungan pada
dhamanah adalah pasti. Dan apabila memastikan keuntungan yang tidak pasti
menjadi pasti itu disebut riba.
Dalam rukun mudharabah disebutkan bahwa hanya ada dua pihak yang
terlibat dalam akad ini. Namun dalam praktik perbankan, ada tiga pihak yang
terlibat. Tidak sesuainya rukun dengan praktiknya menyebabkan akad
mudharabah ini menjadi tidak sah karena tidak terpenuhinya rukun. Seperti kaidah
di bawah ini:

Semua hukum ilmu dan amal tidak sempurna kecuali dengan dua perkara:
terpenuhi syarat dan rukunnya, serta tidak ada penghalangnya.
Seandainya ingin menggunakan skema seperti diatas, akad awal yang
digunakan pada saat nasabah memberikan modalnya kepada bank adalah akad
ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran
upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (owmership/ milkiyyah)

20

Penya
luran
dana

atas barang itu sendiri.15 Dengan penggunaan akad ijarah, nasabah menyewa jasa
bank untuk mencari dan/atau mengawasi pelaku usaha yang mampu dan mau
melakukan kegiatan usaha yang produktif. Selanjutnya nanti pada saat bank
menyalurkan dana kepada pelaku usaha barulah menggunakan akad mudharabah.
Dengan penggunaan akad ijarah diawal, maka bank akan mendapatkan upah sewa
dari nasabah atas jasanya menjadi pencari dan/atau pengawas pelaku usaha.
Dengan begini bank mendapatkan upah bukan dari bagi hasil atas keuntungan
yang diperoleh pelaku usaha.
Dari penjelasan diatas dapat diperoleh skema yang mana tetap terjadi
hubungan antara nasabah dan pelaku usaha walaupun secara tidak langsung
karena diwakili oleh bank. Jadi dalam skema yang seharusnya nasabah yang
menabung menjadi pemilik modal (sahibul maal), bank menjadi wakil atas
penyewaan jasa sahibul maal dan pengusaha menjadi pelaku usaha (mudharib).
Skema yang seharusnya adalah seperti di bawah ini:

fee

Nasabah
Pemodal (sahibul maal)

Ijaroh

Bank

Mudharabah

Jasa Perwakilan bagi nasabah

Pelaku Usaha
pengusaha (mudharib)

Keuntungan dibagi (bagi hasil)

15

Muhammad SyafiI Antonio. BANK SYARIAH: Dari Teori Ke Praktik. (Jakarta:


Gema InsanI). Hlm 117

21

Anda mungkin juga menyukai