Anda di halaman 1dari 21

(Oleh Ustadz Ismeidas Makfiansyah)

Untuk musik dan lukisan memang ada perbedaan pendapat, ada mengharamkan dan ada yang
membolehkan.
Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi berubah menjadi haram dalam
kondisi berikut:
Jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi dan lain-lain.
Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita
atau sebaliknya pada laki-laki.
Jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau
menunda-nundanya dan lain-lain. (juga jika syairnya berisi hal-hal yg melalaikan dan tidak
berguna)
juga ulama mengharamkam mendengar lagu-lagu penyanyi wanita.
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang
selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada
yang haram. (HR Bukhari dan Muslim).
`Sesungguhnya Allah `Aza wa Jalla telah menetapkan kewajiban, janganlah engkau lalaikan,
menetapkan hudud, jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau lakukan.
Dan diam atas sesuatu, sebagai rahmat untukmu dan tidak karena lupa, maka jangan engkau
cari-cari (hukumnya) ` (HR Ad-Daruqutni).
Madzhab Maliki, asy-Syafi`i dan sebagian Hambali berpendapat bahwa mendengar nyanyian
adalah makruh. Jika mendengarnya dari wanita asing maka semakin makruh. Menurut Maliki
bahwa mendengar nyanyian merusak muru`ah. Adapun menurut asy-Syafi`i karena
mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya:` Saya tidak menyukai
nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati`.
Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, di antaranya: Abdullah bin Ja`far, Abdullah bin
Zubair, Al-Mughirah bin Syu`bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi
Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dll.
Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa para ulama menghalalkan bagi umat Islam
mendengarkan nyanyian yang baik-baik jika terbebas dari segala macam yang diharamkan
sebagaimana disebutkan di atas.
Sedangkan hukum yang terkait dengan menggunakan alat musik dan mendengarkannya, para
ulama juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengharamkan alat musik. Sesuai dengan
beberapa hadits di antaranya, sebagai berikut:
`Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alatalat yang melalaikan`. (HR Bukhari)

`Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi
telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia
berkata:`Wahai Nafi` apakah engkau dengar?`. Saya menjawab:`Ya`. Kemudian melanjutkan
berjalanannya sampai saya berkata:`Tidak`. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya,
dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata:
Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini`
(HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
`Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini:` Gerhana, gempa
dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:`Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?`
Rasul menjawab:` Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan` (HR At-Tirmidzi).
sebagian ulama menyatakan hadits-hadits yang terkait dengan hukum musik, jika diteliti
banyak yang tidak shohih
sumber
halal haram dalam islam yusuf qordhowi
eramuslim.com
darussalaf.or.id
Nash Tentang Gambar
Kami akan sebutkan nash-nash yang mereka sepakati keshahihannya, antara lain:
Hadits Pertama
Dari Ibnu, dia berkata, Rasulullah Saw bersabda, Siapa yang menggambar suatu gambar
dari sesuatu yang bernyawa di dunia, maka dia akan diminta untuk meniupkan ruh kepada
gambarnya itu kelak di hari akhir, sedangkan dia tidak kuasa untuk meniupkannya. (HR
Bukhari).
Hadits Kedua
Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas, lalu katanya, Sesungguhnya aku menggambar
gambar-gambar ini dan aku menyukainya. Ibnu Abbas segera berkata kepada orang itu,
Mendekatlah kepadaku. Lalu, orang itu segera mendekat kepadanya. Selanjutnya, Ibnu
Abbas mengulang-ulang perkataannya itu, dan orang itu mendekat kepadanya. Setelah dekat,
Ibnu Abbas meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut dan berkata, Aku
beritahukan kepadamu apa yang pernah aku dengar. Aku pernah mendengar Rasulullah Saw
bersabda, Setiap orang yang menggambar akan dimasukkan ke neraka, dan dijadikan
baginya untuk setiap gambarnya itu nyawa, lalu gambar itu akan menyiksanya di dalam
neraka Jahanam. Ibnu Abbas berkata lagi, Bila engkau tetap hendak menggambar, maka
gambarlah pohon dan apa yang tidak bernyawa. (HR Muslim).

Kedua hadits di atas jelas sekali keshahihannya, karena diriwayatkan oleh Al-Bukhari di
dalam kitab shahihnya, dan juga oleh Al-Imam Muslim di dalam kitab shahihnya juga.
Namun di balik dari keshahihan sanadnya, para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana
memahami hukum yang terkandung di dalamnya.
Kelompok Pertama
Dengan hadits-hadits semisal dua hadits di atas, para ulama yang bergaya tekstual
mengharamkan semua bentuk gambar, apa pun jenisnya, termasuk komik, ilustrasi, kartun,
bahkan wayang kulit, wayang golek dan semua yang sekiranya termasuk gambar.
Bahkan di tengah mereka, berkembang kalangan yang lebih ekstrim lagi, karena mereka
memasukkan gambar yang dibuat dengan kamera foto juga termasuk gambar yang
diharamkan. Sehingga mereka tidak mau berfoto dan mengatakan bahwa kamera adalah
benda najis yang haram, karena menghasilkan citra gambar. Dan otomatis, televisi, video
player, kameravideo, tustel dan apapun yang terkait dengannya, juga haram hukumnya karena
merupakan media untuk melihat gambar.
jika kita termasuk yg meyakini keharaman gambar. maka harus segera membersihkan rumah
kita dari televisi dan buku-buku yang ada gambar dan photonya.
Kelompok Kedua
Sedangkan ulama lain yang lebih moderat memahami hadits ini sebagai larangan untuk
membuat patung, buka sekedar gambar di atas media gambar. Gambar yang dalam bahasa
arabnya disebut dengan istilah shurah, mereka pahami sebagai bentuk patung tiga dimensi.
Sehingga dalam pandangan mereka, hadits ini diterjemahkan menjadi demikian, Siapa yang
membuat patung dari makhluk bernyawa di dunia ini, maka dia akan diminta untuk
meniupkan ruhnya kepada patung itu di hari akhir.
Pendapat kelompok kedua ini didasari dengan konsideran hadits di atas dengan hadits berikut
ini yang berisi perintah Rasulullah SAW untuk menghacurkan patung-patung.
Dari Ali ra, ia berkata, Rasulullah Saw sedang melawat jenazah, lalu beliau berkata,
Siapakah di antara kamu yang mau pergi ke Madinah, maka janganlah ia membiarkan satu
berhala pun kecuali dia menghancurkannya, tidak satupun kuburan kecuali dia ratakan
dengan tanah, dan tidak satupun gambar kecuali dia melumurinya? Seorang laki-laki berkata,
Saya, wahai Rasulullah. Ali berkata, Penduduk Madinah merasa takut dan orang itu
berangkat, kemudian kembali lagi. Lelaki itu berkata, Wahai Rasulullah, tidak aku biarkan
satu berhala pun kecuali aku hancurkan, tidak satupun kuburan kecuali aku ratakan, dan tidak
satu pun gambar kecuali aku lumuri. Rasulullah bersabda, Barangsiapa kembali lagi
membuat sesuatu dari yang demikian ini, maka berarti dia telah kafir terhadap apa yang
diturunkan kepada Muhammad SAW. (HR Ahmad dengan isnad hasan).

Sedangkan lukisan di atas kanvas, kertas, kain dan semua yang dua dimensi, tidak termasuk
yang diharamkan oleh hadits ini, dalam pandangan kelompok ini.
http://alkhawarizmi.or.id/kajian/tanya-jawab/hukum-gambar-dan-musik-dalamislam/
sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan musik-musik ini bagaikan qurannya syaithan atau tabir yg menghalangi seseorang hamba dari Ar Rahman.
Sebagian mereka menyerupakannya dgn mantera yg menggiring orang
melakukan perbuatan liwath dan zina. Sebelum membaca lebih jauh saya juga
punya artikel bagus tentang mendapatkan uang dari internet, silahkan baca
Peluang bisnis online tanpa ribet.

- Pengertian Al Ghina dan Al Maazif


Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina halaman 47 : Al
ghina secara bahasa adl meninggikan suara ketika bersyair atau yg semisal
dengannya {seperti rajaz secara khusus}.
Di dalam Al Qamus al ghina dikatakan sebagai suara yg diperindah.Imam
Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yg
menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yg teratur tinggi
rendah atau panjang pendeknya seperti al hida yaitu nyanyian pengiring unta
dan dinamakan juga dgn an nashab . {Lihat Kasyful Qina oleh Imam Ahmad Al
Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127}
Al maazif adl jamak dari mizaf.Dalam Al Muhieth halaman 753 kata ini diartikan
sebagai al malahi {alat-alat musik dan permainan-permainan} contohnya al ud
ath thanbur.
Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dgn duf-duf.Dikatakan pula al azif
artinya al mughanni dan al laibu biha .\
Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al
maazif adl seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi
oleh ahli-ahli bahasa.

Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas
definisi ini dengan mengatakan bahwa al maazif mencakup seluruh alat musik
maupun permainan yg digunakan utk mengiringi sebuah lagu atau syair.
Contohnya : Seruling rebab simpal terompet dan lain-lain.
- Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina
Dengan definisi yg telah disebutkan ini para ulama membagi al ghina menjadi
dua kelompok :

1. Nyanyian yg pertama
Seperti yg sering kita temukan dalam berbagai aktivitas manusia sehari-hari
dalam perjalanan pekerjaan mengangkut beban dan sebagainya. Sebagian di
antara mereka ada yg menghibur dirinya dgn bernyanyi utk menambah gairah
dan semangat menghilangkan kejenuhan dan rasa sepi.
Contoh yg pertama ini di antaranya al hida lagu yg dinyanyikan oleh sebagian
kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati mereka atau
nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan mereka wallahu
alam. {Kaffur Ria halaman 59-60 Kasyful Qina halaman 47-49}
Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yg pertama ini adl
selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yg keji hal-hal yg diharamkan
seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita menyebut
sifat atau nama benda-benda yg memabukkan.
Bahkan sebagian ulama ada pula yg menganggapnya sebagai sesuatu yg
dianjurkan apabila nyanyian itu mendorong semangat utk giat beramal
menumbuhkan hasrat utk memperoleh kebaikan seperti syair-syair ahli zuhud
atau yg dilakukan sebagian shahabat seperti yg terjadi dalam peristiwa Khandaq
:Ya Allah jika bukan krn Engkau tidaklah kami terbimbing.Dan tidak pula
bersedekah dan menegakkan shalat.Maka turunkanlah ketenangan kepada
kami.Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.Dan yg lain misalnya
:Jika Rabbku berkata padaku.Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat
kepada-Ku.Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku.Tapi dgn kemaksiatan kau
menemui Aku.
Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina halaman 48 yg menyebutkan
bahwa yg seperti ini termasuk nasihat yg berguna dan besar ganjarannya.
Demikian pula yg dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yg diungkapkan
oleh orang- orang Arab lbh disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa
waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia cinta kepada akhirat dan
mendorong kepada akhlak yg mulia.

Kesimpulannya syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan
kebohongan.
Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida an nashbur dan
sebagainya yg biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yg mendorong
keluar dari batas-batas yg telah ditentukan.
2. Nyanyian yg kedua
Seperti yg dilakukan para biduwan atau biduwanita {para penyanyi artis
pesinden dan sebagainya} yg mengenal seluk beluk gubahan suatu lagu dari
rangkaian syair kemudian mereka dendangkan dgn nada atau irama yg teratur
halus lembut dan menyentuh hati membangkitkan gejolak nafsu serta
menggairahkannya.
Nyanyian seperti inilah yg sesungguhnya diperselisihkan para ulama sehingga
mereka terbagi dalam tiga kelompok yaitu : Yang mengharamkan memakruhkan
dan yg membolehkan.
a. Ibnu Masud menerangkan bahwa lahwul hadits itu adl al ghina.
Demi Allah yg tiada sesembahan yg haq selain Dia diulang-ulangnya tiga
kali.Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani
dalam Tahrim alath Tharb halaman 143.
Demikian pula keterangan Ikrimah dan Mujahid.Al Wahidi dalam tafsirnya
menambahkan : Ahli Ilmu Maani menyatakan ini termasuk semua orang yg
cenderung memilih permainan dan al ghina seruling- seruling atau alat-alat
musik daripada Al Quran meskipun lafadhnya dgn kata al isytira sebab lafadh
ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.
{Lihat Tahrim alath Tharb halaman 144-145}
b. Firman Allah taala :Dan hasunglah siapa saja yg kau sanggupi dari mereka
dgn suaramu. Ibnu Abbas mengatakan bahwa suaramu dalam ayat ini artinya
adl segala perkara yg mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim
menambahkan bahwa al ghina adl dai yg paling besar pengaruhnya dalam
mengajak manusia kepada kemaksiatan. {Mawaridul Aman halaman
325}Mujahid -dalam kitab yg sama- menyatakan suaramu di sini artinya al
ghina dan al bathil . Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al Hasan
Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff wallahu alam.
c. Firman Allah taala :Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran.
Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi? Kata
Ikrimah -dari Ibnu Abbas- as sumud artinya al ghina menurut dialek Himyar.
Dia menambahkan : Jika mendengar Al Quran dibacakan mereka bernyanyinyanyi maka turunlah ayat ini.Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini
tidak bertentangan dgn pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan
tidak pula menyimpang dari pendapat yg mengatakan bahwa arti kamu

bernyanyi-nyanyi di sini adl kamu menyombongkan diri bermain-main lalai dan


berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al ghina bahkan
ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut.
Imam Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan
menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina adl krn posisinya
disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yg tercela dan hina.
Dalil-Dalil Dari As Sunnah
1. Dari Abi Amir -Abu Malik- Al Asyari dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa
Sallam beliau bersabda :Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yg
menganggap halalnya zina sutera khamr dan alat-alat musik .
2. Dari Abi Malik Al Asyari dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam beliau
bersabda :Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum
khamr yg mereka namakan dgn nama-nama lain kepala mereka bergoyanggoyang krn alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita maka Allah benamkan
mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.
{HR. Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305 Al Baihaqi Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain.
Lihat Tahrim alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46}
3. Dari Anas bin Malik berkata :Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda
:Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : Seruling-seruling ketika
mendapat kesenangan dan rintihan ketika mendapat musibah. {Dikeluarkan
oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya juga Abu Bakar Asy Syafii Dliya Al Maqdisy
lihat Tahrim alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52}
4. Dari Abdurrahman bin Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa
Sallam bersabda :Sesungguhnya saya tidak melarang menangis tapi saya
melarangmu dari dua suara kedunguan dan kejahatan yaitu suara ketika
gembira yaitu bernyanyi- nyanyi bermain-main dan seruling-seruling syaithan
dan suara ketika mendapat musibah memukul-mukul wajah merobek-robek baju
dan ratapan-ratapan syaithan. {Dikeluarkan oleh Al Hakim Al Baihaqi Ibnu
Abiddunya Al Ajurri dan lain-lain lihat Tahrim alath Tharb halaman 52- 53}
5. Dari Ibnu Abbas ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam
bersabda
:Sesungguhnya
Allah
telah
mengharamkan
bagiku
-atau
mengharamkan- khamr judi al kubah dan seluruh yg memabukkan haram. {HR.
Abu Dawud Al Baihaqi Ahmad Abu Yala Abu Hasan Ath Thusy Ath Thabrani
dalam Tahrim alath Tharb halaman 55-56}
6. Dari Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam
bersabda :Akan terjadi pada umatku lemparan batu perubahan bentuk dan
tenggelam ke dalam bumi. Dikatakan : Ya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa
Sallam kapan itu terjadi? Beliau menjawab : Jika telah tampak alat-alat musik
banyaknya penyanyi wanita dan diminumnya khamr-khamr. {Dikeluarkan oleh
Tirmidzi Ibnu Abiddunya dan lain-lain lihat Tahrim alath Tharb halaman 63- 64}

7. Dari Nafi maula Ibnu Umar ia bercerita bahwa Ibnu Umar pernah
mendengar suara seruling gembala lalu meletakkan jarinya di kedua telinganya
dan pindah ke jalan lain dan berkata : Wahai Nafi apakah engkau mendengar?
Aku jawab : Ya. Dan ia terus berjalan sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia
letakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau
berkata :Kulihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam mendengar suling
gembala lalu berbuat seperti ini.

Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis mengomentari hadits ini sebagai berikut :
Jika seperti ini yg dilakukan mereka terhadap suara-suara yg tidak menyimpang
dari sikap-sikap yg lurus maka bagaimanakah dgn nyanyian dan musik- musik
orang jaman sekarang ?
Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina halaman 69 menyatakan :
Bahwa pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya
nyanyian dan alat-alat musik hampir sama dengan segi pendalilan dgn ayat-ayat
Al Quran. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dgn adanya
laknat bagi penyanyi maupun yg mendengarkanya.Di dalam hadits pertama
Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits ini digabungkannya
penyebutan al maazif dgn khamr zina dan sutera menunjukkan kerasnya
pengharaman terhadap alat-alat musik dan sesungguhnya semua itu termasuk
dosa-dosa besar. {Kasyful Qina halaman 67-69}
Atsar Ulama SalafIbnu Masud menyebutkan : Nyanyian
kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.
oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh
Tahrim alath Tharb ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh
sanad yg hasan.

menumbuhkan
Ini dikeluarkan
Al Albani dalam
Asy Syabi dgn

Dalam Al Muntaqa halaman 306 Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu
Masud berkata : Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama
Allah syaithan akan ikut menyertainya dan berkata bernyanyilah kamu! Dan
apabila ia tidak mampu memperindahnya syaithan berkata lagi : Berangananganlah kamu . {Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397
sanadnya shahih}
Pada halaman yg sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu Umar ketika
melewati sekelompok orang yg berihram dan ada seseorang yg bernyanyi ia
berkata : Beliau berkata : Ketahuilah Allah tidak mendengarkanmu! Dan ketika
melewati seorang budak perempuan bernyanyi ia berkata : Jika syaithan
membiarkan seseorang tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini.
http://islam.wahyu-winoto.com/2011/09/hukum-menyanyi-dan-bermusik-dalamislam.html

oleh : Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc.

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Nyanyian dan musik sepanjang zaman selalu menjadi wilayah khilaf di antara para ulama.
Dan lebih detail, ada bagiannya yang disepakati keharamannya, namun ada juga yang
diperselishkan.
Bagian yang disepakati keharamannya adalah nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok
dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan
dalam Islam. Terutama ketika musik itu diiringi dengan kemungkaran, seperti sambil minum
khamar dan judi. Atau jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul
cinta birahi pada wanita. Atau jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti
meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dan lain-lain.
Namun apabila sebuah nyanyian dan musik tidak seperti itu, barulah kemudian para ulama
berbeda pendapat. Ada yang masih tetap mengharamkannya namun ada juga yang
menghalalkannya.
Penyebab perbedaan pendapat itu cukup beragam, namun berkisar para dua hal.
Pertama, dalilnya kuat namun istidlalnya lemah. Kedua, dalilnya lemah meski istidlalnya
kuat.
Contoh 1
Kita ambil contoh penyebab perbedaan dari sisi dalil yang kuat sanadnya namun lemah
istidlalnya. Yaitu ayat Al-Quran al-Kariem. Kitatahu bahwa Al-Quran itu kuat sanadnya
karena semua ayatnya mutawatir. Namun belum tentu yang kuat sanadnya, kuat juga
istidlalnya. Kita ambil ayat berikut ini:
Dan di antara manusia orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk
menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olokolokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.(QS. Luqman: 5)
Oleh kalangan yang mengharamkan musik, ayat ini sering dijadikan bahan dasar untuk
istidlal mereka. Mereka menafsirkan bahwa lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna)
adalah nyanyian, lagu dan musik.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan ayat ini, karena secara eksplisit tidak mengandung
pengharaman tentang lagu, musik atau nyanyian. Yang dilarang adalah perkataan yang tidak
berguna. Bahwa ada ulama yang menafsirkannya sebagai nyanyian musik, tentu tidak boleh
memaksakan pandangannya.
Kita bisa membaca pandangan Ibnu Hazm tentang ayat di atas. Beliau mengatakan bahwa
yang diancam di ayat ini adalah orang kafir. Dan hal itu dikarenakan orang-orang kafir itu
menjadi agama Allah sebagai ejekan. Meski seseorangmembeli mushaf lalu menjadikannya

ejekan, maka dia pun kafir. Itulah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam ayat ini. Jadi Allah
SWT tidak mencela orang yang membeli alat musik apabila bukan untuk menjadikannya
sebagai penyesat manusia.
Contoh 2: Hadits Nabawi
Dalam salah satu hadits yang shahih ada disebutkan tentang hal-hal yang dianggap sebagai
dalil pengharaman nyanyian dan musik.
Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alatalat yang melalaikan`. (HR Bukhari)
Karena hadits ini terdapat di dalam shahih Bukhari, maka dari sisi keshahihan sudah tidak
ada masalah. Sanadnya shahih meski ada juga sebagian ulama hadits yang masih
meragukanya.
Namun dari segi istidlal, teks hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat
tertentu dengan namanya secara spesifik dan eksplisit. Di titik inilah sesungguhnya terjadi
selisih pendapat para ulama. Dalil yang bersifat umum masih mungkin dipersoalkan apabila
langsung dijadikan landasan untuk mengharamkan sesuatu.
Batasan yang ada dan disepakati adalah bila alat itu bersifat melalaikan. Namun apakah
bentuknya alat musik atau bukan, maka para ulama berbeda pendapat.
Contoh 3: Hadits Nabawi
Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi
telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia
berkata:`Wahai Nafi` apakah engkau dengar?`. Saya menjawab:`Ya`. Kemudian melanjutkan
berjalanannya sampai saya berkata:`Tidak`. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya,
dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw.
mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini. (HR Ahmad, Abu Dawud dan
Ibnu Majah).
Hadits ini sudah agak jelas dari segi istidlalnya, yaitu Rasulullah menutup telinganya saat
mendengar suara seruling gembala. Namun dari segi kekuatan sanadnya, para ulama hadits
mengatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mungkar. Dan hadits mungkar kedudukannya
lebih parah dari sekedar hadits dhaif.
Dan memang banyak sekali dalil pengharaman musik yang derajat haditsnya bermasalah.
Dan wajar bila Abu Bakar Ibnul Al-Arabi mengatakan, Tidak ada satu pun dalil yang shahih
untuk mengharamkan nyanyian.
Dan Ibnu Hazm juga senada. Beliau mengatakan, Semua riwayat hadits tentang haramnya
nyanyian adalah batil.

Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini:` Gerhana, gempa
dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:`Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?`
Rasul menjawab:` Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan` (HR At-Tirmidzi).
Sebagian Shahabat Menghalalkan Musik
Dari banyak riwayat kita mendapatkan keterangan bahwa di antara para shahabat nabi SAW,
tidak sedikit yang menghalakan lagu dan nyanyian.
Misalnya Abdullah bin Ja`far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu`bah, Usamah bin
Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar AlKhallal.
Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar menuliskan bahwa para ulama
Madinahmemberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola`.
Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi`i dalam kitabnya bahwa Abdullah
bin Ja`far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak
wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi
di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal
serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al-Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan AsySya`bi.
Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari
Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan
gitar.
Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata di sampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata:`
Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu
Umar merenungi kemudian berkata, Ini mizan Syami(alat musik) dari Syam?&quot.Ibnu
Zubair menjawab, Dengan ini akal seseorang bisa seimbang.
Dan diriwayatkan dari Ar-Rawayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas
membolehkan nyanyian dengan alat musik.
Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat musik
karena mereka mengambil sikap wara`(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul di
masanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik
karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur`an maupun hadits yang jelas
mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.
Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus
memperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Lirik Lagu yang Dilantunkan

Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada
setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara`,
maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara`, maka
dilarang.
2. Alat Musik yang Digunakan.
Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam
Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan
yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk
mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik
yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang
dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama
berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu
diharamkan jika melalaikan.
3. Cara Penampilan.
Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara`
seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.
4. Akibat yang Ditimbulkan.
Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang
diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami
sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula.
Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi` (menutup pintu kemaksiatan).
5. Aspek Tasyabuh atau Keserupaan Dengan Orang Kafir.
Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok
pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar
tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan.
Rasulullah saw. bersabda:
Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka. (HR Abu Dawud)
6. Orang yang menyanyikan.
Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan
muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS Al-Ahzaab 32)

Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat
bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka.
Wallahu alam bishshawab, wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Sumber : http://www.eramuslim.com/ustadz/dll/45dd0ceb.htm
3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama al-Ghina)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab
memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina) dengan
mendengar lagu (sama al-ghina). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-l
(perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara (at-taqayyud bi al-hukm
asy-syari). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-l jibiliyah, yang
hukum asalnya mubah. Af-l jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang
muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki,
menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya.
Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-l jibiliyyah ini hukum asalnya adalah
mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-afl al-jibiliyah al-ibahah Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah,
adalah mubah. (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal.
96).
Maka dari itu, melihat sebagai perbuatan jibiliyyah hukum asalnya adalah boleh
(ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil,
mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk
membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara. Hanya saja jika ada
dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada
saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga
hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air,
suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya
saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka
meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar maruf nahi munkar, dan tidak boleh
mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, Saya akan membunuh si
Fulan! Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi,
sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar
maruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.

Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah,
bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum
asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak
dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar maruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan
tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika
tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemahlemah iman. [HR. Imam Muslim, an-Nasai, Abu Dawud dan Ibnu Majah].
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima al-Ghina)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama al-ghina). Ada hukum
lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima li al-ghina). Dalam bahasa
Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama) dengan mendengar-interaktif (istima).
Mendengar nyanyian (sama al-ghina) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi
misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima li al-ghina,
adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan
penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana,
dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki,
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama al-ghina)
adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima al-ghina)
bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang
melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka
orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima al-ghina) dan
nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada
ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah
haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah
SWT berfirman:
Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan
yang lainnya. (Qs. an-Nis [4]: 140).
Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi
peringatan. (Qs. al-Anm [6]: 68).
3.3. Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya?
Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas

diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda
Nabi Saw:
Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal). [HR. Ibnu Majah]
( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-Ilam bi Anna al-Azif wa
al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni
Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang
mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada
pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani haditshadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya,
seluruhnya dhaif. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu
Shalah dalam Muqaddimah Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam
Ibnu Katsir dalam Ikhtishar Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Taliq,
as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shanani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul
Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak
lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dhaif al-Adab al-Mufrad
setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan
alat-alat musik adalah Munqathi (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dhaif al-Adab alMufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita
perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik],
maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak. (Dr. Abdurrahman alBaghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya.
Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik
tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum
asalnya, yaitu mubah.
3.4. Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara
langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya,
hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah
tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau
terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.

Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya
Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan
Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum
mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum
mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum
asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada
dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-y) dalam hal ini
TV, kaset, VCD, dan semisalnya yaitu mubah. Kaidah syariyah mengenai hukum asal
pemanfaatan benda menyebutkan:
Al-ashlu fi al-asy-y al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim Hukum asal benda-benda,
adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. (Dr. Abdurrahman alBaghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila
diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya
kewajiban. Kaidah syariyah menetapkan:
Al-wasilah ila al-haram haram Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram,
hukumnya haram juga. (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal.
86).
4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum
tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional.
Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih
dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4
(empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau
alunan musik yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Syair dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.

Berikut sekilas uraiannya:


1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / maruf) dan menghapus
kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah,
mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas,
menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang
bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam
berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan
sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan syara, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian
ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai
pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau
asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di
antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti
genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa
dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya.
Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
3). Syair
Berisi:
a) Amar maruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi
munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ibrah dan menggugah kesadaran manusia.

d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.


e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi maruf (mencela jilbab,dsb).
b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Quran.
c) Berisi bius yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut syara (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu Dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya,
kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).
5. Penutup
Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan
bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan
sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna
penyempurnaan dan koreksi.
Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah.
Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum
menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi walau pun cuma secuil dalam
upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan
untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu
masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin.
[M. Shiddiq al-Jawi
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-menyanyi-dan-musik-dalamfiqih-islam/

Nyanyi Haram, tidak boleh. Padahal yg haram itu nyayian yang menyesatkan. Jika nyanyian
justru membangkitkan semangat jihad dan mendekatkan diri kepada Allah, ternyata Nabi
membolehkannya.
Seorang
ibu
pun
boleh
menyanyikan
lagu
untuk
menenangkan/menidurkan anaknya selama isinya baik. Ini haditsnya:
Hadis riwayat Barra` ra., ia berkata: Pada perang Ahzab, Rasulullah saw. bersama
kami ikut mengangkut pasir hingga debu pun menutupi warna putih perut beliau yang
sedang bersenandung: Demi Allah! Seandainya tidak karena Engkau niscaya kami
tidak akan mendapat petunjuk, tidak pula bersedekah serta mendirikan salat.
Turunkanlah ketenangan atas diri kami, sesungguhnya para sanak-famili banyak yang
telah enggan dengan dakwah kami. Atau terkadang beliau dengan mengangkat suara
melantunkan: Sesungguhnya orang-orang terpandang dari kaum itu menolak dakwah
kami. Jika mereka menghendaki fitnah, maka kami pun enggan. (Shahih Muslim
No.3365)
Hadis riwayat Salamah bin Akwa` ra., ia berkata: Sebelum azan Subuh dikumandangkan, aku
keluar rumah sementara unta Rasulullah saw. masih bergembala di Dzu Qarad. Lalu seorang
budak lelaki Abdurrahman bin Auf yang masih muda belia bertemu denganku dan berkata:
Unta Rasulullah saw. telah dicuri! Aku bertanya: Siapakah yang telah mencurinya? Ia
menjawab: Bani Ghathafan. Aku pun segera berteriak tiga kali: Tolong, tolong, tolong! Aku
berharap suaraku itu dapat didengar oleh seluruh penduduk Madinah. Dengan cepat aku
meluncur hingga berhasil mengejar mereka di Dzu Qarad. Mereka rupanya sedang
mengambil air di sana. Mulailah aku melempari mereka dengan anak panah sambil bersyair:
Aku adalah putra Akwa`, hari ini adalah hari kebinasaan bagi orang yang hina. Aku
terus bersenandung hingga aku berhasil merebut kembali unta Rasulullah serta merampas
dari mereka sebanyak tiga puluh pakaian. Lalu datanglah Nabi saw. bersama beberapa orang.
Aku berkata kepada beliau: Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku telah berhasil melindungi
air itu dari mereka di saat mereka kehausan. Sekarang utuslah kepada mereka! Nabi saw. lalu
bersabda: Wahai putra Akwa`, kamu telah berhasil mengalahkan mereka, maka tetaplah
berlaku lembut! Kemudian kami semua kembali sedangkan dibonceng oleh Rasulullah saw.
menunggangi unta beliau sampai kami memasuki Madinah. (Shahih Muslim No.3371)
Hadis riwayat Salamah bin Akwa` ra., ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah saw.
menuju Khaibar, lalu kami berjalan secara berkelompok di malam hari. Salah seorang dari
mereka (kaum) bertanya kepada Amir bin Akwa`, seorang penyair: Tidak inginkah kamu
memperdengarkan syair-syairmu kepada kami? Amir bin Akwa` lalu memenuhi permintaan
itu sambil memberikan semangat kepada unta-unta mereka supaya cepat berjalan, ia bersyair:
Ya Allah, sekiranya tidak ada Engkau, maka kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak pula
kami bersedekah serta mendirikan salat. Sebagai tebusan untuk Engkau, ampunilah apa yang
telah kami kerjakan, teguhkanlah pendirian kami saat kami berhadapan dengan musuh. Dan
berilah kami ketenangan, sesungguhnya kami bila telah diserukan (berperang) pasti kami
segera datang. Dan dengan seruan saja, mereka akan meminta bantuan untuk menghadapi
kami. Rasulullah saw. lalu bertanya: Siapa yang bersenandung itu? Mereka menjawab: Amir.
Rasulullah saw. bersabda: Semoga Allah merahmatinya. Seorang lelaki dari mereka tiba-tiba

mengatakan: Sudah pastilah (dia akan meninggal), wahai Rasulullah! Seandainya engkau
menunda doamu sehingga kami dapat menikmati bersahabat dengannya. Kami lalu
mendatangi Khaibar dan segera mengepung mereka hingga kami menderita kelaparan yang
sangat. Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah akan memberikan kemenangan
kepada kamu sekalian untuk menaklukkannya (Khaibar). Pada sore harinya ketika Khaibar
sudah berhasil ditaklukkan, para sahabat menyalakan banyak api hingga bertanyalah
Rasulullah saw.: Untuk apakah api-api ini? Apakah yang sedang kamu bakar? Mereka
menjawab: Kami sedang membakar daging. Rasulullah saw. bertanya: Daging apa? Mereka
menjawab: Daging keledai-keledai piaraan. Rasulullah saw. kemudian bersabda:
Tumpahkanlah serta pecahkankanlah periuk-periuknya! Seorang sahabat bertanya:
Bagaimana kalau mereka tumpahkan kemudian dicuci? Rasulullah bersabda: Atau begitu juga
bisa. Ketika pasukan telah berbaris, Amir menghunus pedangnya yang berukuran pendek
untuk menikam betis seorang Yahudi namun sayang mata pedangnya itu ternyata berbalik
mengenai lutut Amir hingga ia pun mati syahid karenanya. Ketika mereka kembali pulang,
Salamah berkata sambil memegang tanganku. Tetapi ketika Rasulullah saw. melihatku hanya
terdiam, beliau bertanya: Apakah yang kamu sedihkan? Aku menjawab: Demi engkau bapak
dan ibuku menjadi tebusan! Mereka berpendapat bahwa perbuatan Amir telah sia-sia.
Rasulullah saw. bertanya: Siapakah yang berkata demikian? Aku menjawab: Fulan dan fulan
serta Usaid bin Hudhair Al-Anshari. Rasulullah saw. bersabda: Tidak benar orang yang
berkata demikian, bahkan ia akan memperoleh dua pahala. Sambil menyatukan dua jarinya
beliau berkata: Sesungguhnya Amir adalah seorang yang telah berusaha keras serta seorang
pejuang. Amat sedikit orang Arab yang berjalan sepertinya. (Shahih Muslim No.3363)
Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf mendengar Hassan bin Tsabit al Anshari meminta
kesaksian kepada Abu Hurairah r.a. (dan dari jalan Said ibnul Musayyab, berkata, Umar
lewat di masjid dan Hasan sedang bersenandung. Hassan berkata (kepada Umar yang
memelototinya), Aku pernah bersenandung (bersyair) di dalamnya, sedangkan di sana ada
orang yang lebih baik daripada engkau. Hassan lalu menoleh kepada Abu Hurairah seraya
berkata, 4/79), ['Hai Abu Hurairah, 7/109], aku meminta kepadamu dengan nama Allah,
apakah kamu mendengar Rasulullah saw. bersabda, Wahai Hassan, jawablah dari Rasulullah
saw (dalam satu riwayat: jawablah dariku). Wahai Allah, kuatkanlah ia dengan ruh suci
(Jibril). Abu Hurairah menjawab, Ya. [HR Bukhari]
Aisyah berkata, Rasulullah masuk padaku, dan di sisiku ada dua anak wanita (dari gadisgadis Anshar 2/3, dan dalam satu riwayat: dua orang biduanita 4/266) pada hari Mina. Lalu,
keduanya memukul rebana (4/161). Mereka menyanyi dengan nyanyian (dalam satu riwayat:
dengan apa yang diucapkan oleh wanita-wanita Anshar pada hari) Perang Buats[1] sedang
keduanya bukan penyanyi. Beliau berbaring di atas hamparan dan memalingkan wajah
beliau. Abu Bakar masuk, sedang Nabi menutup wajah dengan pakaian beliau (2/11), lalu
Abu Bakar menghardik saya (dan dalam satu riwayat: menghardik mereka) dan mengatakan,
Seruling setan di (dalam satu riwayat: Pantaskah ada seruling setan di rumah) Rasulullah?
Dia mengucapkannya dua kali. Lalu, Nabi menghadap Abu Bakar (dalam satu riwayat: lalu
Nabi membuka wajahnya) lantas bersabda, Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar! Karena
tiap-tiap kaum mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita. Maka, ketika beliau

lupa, saya mengisyaratkan kepada kedua anak wanita itu, lalu keduanya keluar. [HR
Bukhari]
http://syiarislam.wordpress.com/2012/02/29/hadits-hadits-hukum-bernyanyiatau-bersenandung/
suara wanita
Menurut pemahaman kami, suara wanita bukanlah aurat, selama tidak
disuarakan dengan cara yang melanggar syara, misalnya dengan suara manja,
merayu, mendesah, dan semisalnya. Maka dari itu, boleh akhwat bernyanyi
dalam sebuah masirah, dengan syarat tidak disertai perbuatan haram dan
maksiat, seperti ikhtilath (campur baur pria wanita), membuka aurat, dan
sebagainya.
Suara wanita yang seperti itulah yang diharamkan, bukan suara wanitanya itu
sendiri. Jadi, suara wanita itu bukanlah aurat yang tidak boleh diperdengarkan.
Maka dari itu, boleh hukumnya wanita bernyanyi dalam acara masirah tersebut,
sebab suara wanita bukanlah aurat. Namun dengan 2 (dua) syarat. Pertama,
suara itu dalam batas kewajaran, bukan sengaja dibikin mendesah-desah,
mendayu-dayu, merayu, dan semisalnya. Kedua, perbuatan itu tidak disertai
perbuatan-perbuatan haram dan maksiat, seperti ikhtilath, membuka aurat, dan
sebagainya. Wallahu alam [ ]

Anda mungkin juga menyukai