Anda di halaman 1dari 15

EPILEPSI PADA ANAK DENGAN CEREBRAL PALSY

Uni Gamayani
Divisi Neuropediatri, Bag. I. P. Saraf, RS. Hasan Sadikin/ FK. UNPAD

ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Epilepsi adalah penyerta yang sering terjadi pada penderita
cerebral palsy (CP). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kejadian epilepsi,
karakteristik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan epilepsi pada penderita CP yang
berobat jalan di Klinik PUSPPA Suryakanti.
Metoda penelitian : Penelitian dilakukan secara retrospektif dari data medik terhadap
penderita CP yang datang berobat ke Klinik PUSPPA Suryakanti pada periode 1 Januari
2002 sampai dengan 31 Desember 2002, diagnosis ditegakkan berdasarkan telaah rekam
medis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, neurologi, dan pemeriksaan penunjang
(EEG). Analisa data dilakukan secara diskriptif dan chi kuadrat untuk menguji proporsi,
nilai kemaknaan p ditentukan 0,05.
Hasil penelitian : Dari 114 orang penderita CP, 56 penderita (49,1%) disertai dengan
epilepsi, laki-laki 27 orang (48,2%), perempuan 29 orang (51,8%). Tipe CP adalah
tetraparesis 49 orang (43 %), diikuti oleh tipe hemiparesis 6 orang (5,3%) dan tipe
campuran 1 orang (0,9%). Terdapat hubungan yang bermakna antara tipe CP dan adanya
penyerta epilepsi (p=0,015). Sebagian besar bentuk kejang adalah kejang umum (42
orang; 75%), dan 14 orang (25%) kejang parsial dengan onset kejang pertama pada 2
tahun pertama kehidupan. Hasil pemeriksaan EEG abnormal pada 51 orang (91,1%),
secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara epilepsi dengan hasil EEG
abnormal (p=0,000). Gambaran EEG multi fokus pada 27 orang (48,2%).
Kesimpulan : Epilepsi banyak menyertai penderita CP, terutama tipe tetraparesis. Onset
kejang pada dua tahun pertama kehidupan, bentuk kejang terutama kejang umum.
Sebagian besar hasil pemeriksaan EEG abnormal.
Kata kunci : epilepsi, anak, cerebral palsy, PUSPPA Suryakanti

Epilepsi adalah suatu keadaan klinis yang disebabkan oleh aktivitas abnormal
atau berlebihan dari neuron-neuron serebral baik pada kelompok yang kecil maupun
besar. (Aicardi, 1994. Wallace, 1996). Tiap kelainan yang mengganggu fungsi otak, baik
yang fokal maupun umum dapat mengakibatkan bangkitan kejang atau serangan epilepsi.
Pola serangan epilepsi diklasifikasikan sesuai International League Against
Epilepsy, 1981 (ILAE,1981) yaitu :
1. Kejang parsial (fokal, lokal) yang terdiri dari kejang parsial sederhana,

kejang parsial kompleks dan kejang parsial umum sekunder.


2. Kejang umum yang terdiri dari lena, lena yang atipikal, mioklonik, tonik, tonik
klonik dan atonik
3. Kejang yang tidak terklasifikasikan
Bangkitan epilepsi pada anak dapat mengganggu perkembangan secara luas seperti
terganggunya migrasi sel, rangkaian yang terjadi pada reseptor, formasi sinaps dan juga
stabilisasi sinaps (Holmes, GL, 1998). Bangkitan epilepsi dapat mengganggu migrasi
neuron, arborisasi neurit, formasi sinaps atau perubahan proses yang normal. Aktivasi
NMDA yang berulang meningkatkan migrasi neuronal dan menyebabkan koneksivitas
yang kurang baik (Holmes GL, 2001).
Cerebral Palsy (CP) adalah sekelompok sindroma klinik yang ditandai dengan
defisit motorik sentral yang bersifat tidak progresif, disebabkan oleh kerusakan otak yang
belum matur. CP adalah istilah diskriptif non spesifik yang digunakan untuk gangguan
fungsi motorik yang timbul pada masa kanak-kanak dini dan ditandai dengan perubahan
tonus otot (biasanya spastisitas), gerakan involunter, ataksia, atau kombinasi seluruh
kelainan tersebut yang tidak bersifat episodik ataupun progresif. Keluhan paling sering
mengenai ekstremitas, namun dapat juga mengenai batang tubuh (Swaiman, 1999).
Pada penderita CP seringkali didapatkan penyakit penyerta, baik sebagai etiologi
ataupun sebagai komplikasi dari CP (Ratanawongsa, 2001). Hal-hal yang seringkali
ditemukan sebagai komplikasi atau penyakit penyerta pada CP adalah gangguan pada
fungsi otak, diantaranya adalah epilepsi. (Seay R, 1993).
Serangan kejang pada penderita CP bervariasi, dapat dijumpai pada usia dini.
Serangan kejang makin sering pada CP yang berat. Di Negara maju insidensi epilepsi
pada CP bervariasi, kira-kira sepertiga dari penderita CP. Tingginya frekuensi epilepsi
pada CP diperkirakan berhubungan dengan faktor penyebab (Kiban K, 1994). Studi lain
menyebutkan insidensi epilepsi pada CP bervariasi antara 15-60 % (Kwong K, 1998).
Pada CP dengan epilepsi, biasanya onset kejang pada usia dini dan perlu menggunakan
obat anti epilepsi lebih dari satu jenis dan risiko terjadinya relaps setelah penghentian
obat anti epilepsi lebih tinggi (Delgado, 1996).
Pada CP hemiplegi, didapatkan epilepsi pada 34 %, dengan penyebab postnatal
(78%). Pada CP tipe spastik tetraplegi disertai dengan retardasi mental yang berat, 94 %

pasien epilepsi (Lars S, 1996). Kejang banyak terdapat pada CP spastik terutama pada
tipe hemiplegi kongenital (50%). CP dengan tipe atetoid, ataksik dan diplegi jarang
disertai dengan kejang. Pada CP dengan tipe tetraplegi sebagian besar mempunyai multi
fokus dengan bentuk kejang multifokal atau parsial umum sekunder, sedangkan CP tipe
hemiparesis mungkin lebih banyak dengan bentuk epilepsi jacksonian parsial atau umum
tonik-klonik.
Onset kejang lebih sering terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan, tetapi kadang-kadang
juga dapat terjadi pada usia yang lebih besar, dengan karakteristik kejang umum atau
fokal atau multifokal. Jenis epilepsi tonik-klonik, myoklonik,dan atonik relatif sering
terjadi pada retardasi mental yang berat dan mungkin intraktabel. Epilepsi parsial
kompleks berhubungan dengan lesi di parieto-oksipital akibat dari gangguan sirkulasi
saat periode perinatal.
Prognosis epilepsi pada CP tergantung pada tipe, extension dan topografi otak
abnormal penyebab CP dan epilepsi. Selanjutnya investigasi terhadap lesi otak ini perlu
dilakukan pada semua anak (Paolo, 1996).
Tujuan penelitian ini adalah :
1. untuk mengetahui kejadian epilepsi dan jenis epilepsi pada penderita CP, serta
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan epilepsi pada penderita CP
yang berobat jalan di Suryakanti.
2. Menganalisa secara statistik hubungan antara epilepsi pada penderita

CP dan

faktor-faktor yang mungkin berhubungan dengan epilepsi.


METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Klinik Yayasan Pusat Pengembangan Potensi Anak Suryakanti
(PUSPPA Suryakanti), Jalan Terusan Cimuncang no 9 Bandung, selama 1 (satu) tahun
sejak 1 Januari 2002 sampai dengan 31 Desember 2002.
Subyek Penelitian: seluruh penderita Cerebral Palsy yang datang berobat ke Klinik
PUSPPA Suryakanti pada periode waktu di atas, dipilih penderita yang memenuhi syarat
untuk diagnosis sebagai penderita CP dengan atau tanpa epilepsi. Ukuran sampel
ditentukan seadanya selama periode penelitian.

Bentuk penelitian : Penelitian berupa deskriptif analitik, data diperoleh secara


retrospektif terhadap penderita yang memenuhi syarat diagnosis CP dengan atau tanpa
epilepsi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan telaah rekam medis meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik dan neurologis serta

pemeriksaan pembantu ( EEG )

Analisa Statistik : Data disajikan dalam bentuk tabulasi dan diolah secara diskriptif. Jika
ukuran sampel memenuhi syarat ( nilai harapan per sel lebih dari 5 pada masing-masing
tabel yang dibuat) dilakukan pengujian dengan chi kuadrat untuk menguji proporsi. Nilai
kemaknaan p ditentukan 0,05. analisis data menggunakan piranti lunak SPSS for
Windows Release 11.0. Standard Version.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Data umum penderita CP
Karakteristik

Jumlah penderita CP
n (%)

Populasi
Laki-laki
Perempuan
Usia
0 12 bulan

114 (100)
57 (50,0)
57 (50,0)

13 24 bulan

32 (28,1)

25 36 bulan

22 (19,3)

37 72 bulan

23 (20,2)

> 72 bulan

32 (28,1)

5 (4,3)

Tipe CP
Tetraparesis

90 (78,8)

Hemiparesis

10 (8,8)

Diparesis

10 (8,8)

Atetoid

1 (0,9)

Campuran

3 (2,6)

CP dengan epilepsi

56 (49,1)

Laki-laki

27 (48,2)

Perempuan

29 (51,8)

CP tanpa epilepsi

58 (50,9)

Laki-laki

30 (51,7)

Perempuan

28 (48,3)

Pada penelitian ini, penderita CP terbanyak adalah tipe tetraparesis (90 penderita,
78,8 %), diikuti tipe hemiparesis, diparesis, campuran dan atetoid. Hal ini sesuai dengan

penelitian lainnya, terutama di negara berkembang bahwa CP terbanyak adalah tipe


tetraparesis.
Singhi (2002) melaporkan dari 1000 penderita CP yang diteliti di satu pusat
perawatan CP di Chandigarh, India didapatkan 61 % penderita CP tetraparesis, 22 %
diparesis, 17 % hemiparesis dan 8,4 % atetoid. Sianturi melaporkan penelitiannya di
YPAC Medan, didapatkan penderita CP terbanyak adalah tipe tetraparesis (52,2 %),
diikuti dengan campuran, hemiparesis, diparesis, dan atetoid (Sianturi, 2001). Rizal
(2002) dari Bandung melaporkan dari 90 penderita CP yang diteliti, terbanyak adalah tipe
tetraparesis (74 %), diikuti tipe hemiparesis (13 %), diparesis (10%), dan atetoid (3 %)
(Rizal , 2002). Di Bali Suartaman (1998) melaporkan bahwa dari pnelitiannya tipe CP
yang paling banyak ditemukan adalah tetraparesis (42%), demikian juga Supriyanto
(1993) dari Jakarta melaporkan bahwa tipe CP yang paling sering ditemukan adalah tipe
tetraparesis (72 %). (Suartaman, 1998, Supriayanto, 1993). Suzuki J, melaporkan hasil
penelitiannya di Shiga, Jepang didapatkan tipe yang terbanyak adalah diparesis diikuti
dengan tetraparesis, hemiparesis, atetoid dan ataksik (Suzuki J, 1999). Penelitian yang
dilaporkan Reis, tipe CP yang terbanyak adalah tetraparesis (76,2 %) diikuti dengan
hemiparesis, dan diparesis (Reis, 1999). Bruck melaporkan hasil penelitiannya pada 100
orang penderita CP, ditemukan 56 % penderita dengan tipe tetraparesis, diikuti dengan
CP tipe hemiparesis, campuran dan diparesis (Bruck, 2001).
Di negara-negara maju didapatkan perbedaan pola distribusi tipe CP, dengan
meningkatnya CP tipe diparesis yang disebabkan oleh makin tingginya keberhasilan
perawatan bayi berat badan lahir rendah dan atau prematur. Pada bayi prematur sering
didapatkan leukomalasia periventrikuler. Kelainan ini merusak jaras yang turun dari
korteks motorik, terutama yang mengurus ekstremitas bawah sehingga lesi ini lebih
sering berhubungan dengan CP tipe diparesis (Cooke,1990; Miller, 1992; Bhushan et al,
1993; Ratanawongsa, 2001 ). Sedangkan di negara berkembang dengan angka kejadian
asfiksia peripartum yang tinggi lebih sering dijumpai tetraparesis karena hipoperfusi dan
hipoksia yang terjadi

pada asfiksia peripartum menyebabkan kerusakan pada area

watershed di korteks yang menyebabkan timbulnya CP tipe tetraparesis spastik


(Ratanawongsa, 2001).

Tabel 2. Hubungan tipe CP dengan penyerta epilepsi

Penyerta epilepsi
Tipe CP

Ada
n (%)

Tidak ada
n (%)

Jumlah
n (%)

Tetraparesis
Hemiparesis
Diparesis
Atetoid
Campuran

49 (43,0)
6 (5,3)
1(0,9)

41 (36,0)
4 (3,5)
10 (8,8)
1(0,9)
2 (1,8)

90 (79,0)
10 (8,8)
10 (8,8)
1 (0,9)
3 (2,6)

Jumlah

56 (49,1)

58 (50,9)

114 (100)

2 = 12,413, p = 0,015
Terdapat hubungan yang bermakna antara tipe CP dan penyerta epilepsi
Pada penelitian ini didapatkan bahwa epilepsi paling banyak ditemukan pada penderita
CP tipe tetraparesis (43 %), diikuti oleh tipe hemiparesis (5,3%) dan tipe campuran
(0,9%). Hal ini serupa dengan hasil penelitian lainnya seperti yang dilaporkan oleh Rizal
(2002) bahwa ditemukan adanya penyerta kejang pada penderita CP tipe tetraparesis
37,8 %, hemiparesis 7,8 %, diparesis 2,2 %. Singhi di India mendapatkan angka kejadian
yang serupa, yaitu 31,6 % pada tipe tetraparesis, 32,5 % pada CP hemiparesis, 42 % pada
diparesis, dan 27,4 % pada CP diskinetik (Singhi, 2002). Aksu (1990) mendapatkan
insidensi kejang lebih tinggi pada tipe tetraparesis dan hemiparesis, sedangkan pada CP
tipe diparesis dan atetoid lebih jarang. Hadjipanayis melaporkan penelitiannya pada 323
penderita CP, 41,8 % disertai epilepsi dan hampir 50 % dari penderita tersebut dengan CP
tipe tetraparesis dan hemiparesis. (Hadjipanayis, 1997). Kwong, KL (1998) dalam
penelitiannya di rumah sakit Tuen Mun, Hongkong mendapatkan epilepsi terbanyak pada
CP tipe tetraparesis. Suzuki (1999) melaporkan epilepsi ditemukan pada tetraparesis
(86%), hemiparesis (45 %), diskinetik (39%), diparesis (25 %) dan ataksik (13 %) .
Peneliti lain juga mendapatkan hasil yang serupa, bahwa epilepsi paling sering terjadi
pada CP tipe tetraparesis (Paine,1988; Aneja S, 2001; Carlsson, 2003 ) . Pada CP tipe
hemiparesis epilepsi ditemukan pada 30-50%, sedangkan pada tipe diparesis dan ataksik
ditemukan epilepsi pada 16 27 % (Sussova,1990; Hadjipanayis,1997).

Dari perhitungan statistik ternyata didapat bahwa terdapat hubungan yang


bermakna antara tipe CP dan adanya penyerta epilepsi. Menurut Aicardi, epilepsi yang
terjadi pada penderita CP merupakan salah satu hal yang menunjukkan beratnya CP
(Aicardi,1994) dan kerusakan otak biasanya lebih berat (Aicardi, 1990). CP tipe
tatraparesis merupakan tipe yang terberat dan biasanya terjadi multifokal lesi di otak
sehingga kemungkinan terjadi epilepsi lebih besar (Wallace, 1996).
Tabel 3. Gambaran bentuk kejang yang ditemukan pada penderita CP dengan
penyerta epilepsi
Bentuk kejang
UMUM
Tonik
Tonik klonik
Mioklonik
Lena
Campuran tonik + mioklonik
Campuran mioklonik+ lena
Campuran mioklonik+lena +tonik
Campuran mioklonik+lena+tonik klonik

Jumlah penderita CP
n (%)
5 (8,9)
7 (12,5)
18 (32,1)
3 (9,4)
4 (7,1)
3 (5,4)
1 (1,8)
1 (1,8)

PARSIAL
Parsial sederhana
Parsial kompleks
Parsial umum sekunder
Parsial umum sekunder +mioklonik

2 (3,6)
2 (3,6)
8 (14,3)
2 (3,6)

Jumlah

56 (100)

Pada penelitian ini sebagian besar bentuk kejang yang ditemukan adalah kejang umum
(75%) dan sisanya adalah kejang parsial. Hasil penelitian ini serupa dengan yang
didapatkan Singhi di India, yaitu 32 % penderita epilepsi pada penelitiannya mempunyai
bentuk kejang mioklonik (Singhi,2001). Kaushik, melaporkan pada penelitiannya bahwa
epilepsi yang ditemukan pada penderita CP adalah: paling banyak bentuk kejang tonikklonik (43 %), mioklonik (17,9%), tonik (10,7%), parsial sederhana (10,7 %), dan parsial
kompleks (17,9 %) (Kaushik A, 1997).

Penelitian yang dilakukan oleh Reis

mendapatkan hasil bahawa bentuk kejang yang paling banyak ditemukan adalah kejang

umum (83,& %) dan sisanya adalah bentuk parsial (Reis, 1999). Aneja, pada
penelitiannya mendapatkan bentuk kejang umum pada 32,9% penderita CP, diikuti oleh
mioklonik pada 30,6 %, dan bentuk kejang yang berhubungan dengan lokasi lesi 24,7 %
(Aneja A, 2001). Carlsson melaporkan pada penelitiannya ditemukan bentuk kejang yang
terbanyak adalah parsial umum sekunder (15 penderita), diikuti dengan bentuk umum,
parsial dengan beberapa bentuk kejang umum, parsial sederhana, dan spasme infantil
(Carlsson, 2003).
Sesuai dengan hasil penelitian terdahulu, bahwa tipe CP yang sering ditemukan tipe
tetraparesis dan pada tipe tersebut sering disertai epilepsi, karena itu pula bentuk kejang
yang sering ditemukan adalah bentuk umum atau persial umum sekunder, mengingat CP
tipe tetraparesis didapatkan kerusakan otak yang luas (Wallace, 1996).

Tabel 5. Onset kejang pada penderita CP dengan epilepsi


Onset
( bulan )

Jumlah
n (%)

01
2 24
25 72
> 72

9 (16,1)
45 (80,4)
2 (3,5)
-

Jumlah

56 (100)

Pada penelitian ini ditemukan bahwa onset kejang pertama paling banyak terjadi pada
dua tahun pertama kehidupan.
Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian sebelumnya. Aksu, pada penelitiannya
melaporkan bahwa onset kejang pertama pada penderita CP terjadi pada usia yang lebih
muda dibandingkan dengan onset kejang pertama pada penderita epilepsi tanpa CP, dan
onset kejang pertama ini mencapai puncaknya pada periode infancy .(Aksu, 1990).
Hadjipanayis, melaporkan pada penelitiannya bahwa onset kejang pertama yang terjadi
pada penderita CP dengan epilepsi berhubungan dengan tipe CP, yaitu pada tipe CP
tetraparesis onset kejang pertama terjadi pada usia yang sangat muda, terutama pada
tahun pertama kehidupan. Pada tahun pertama kehidupan, onset kejang pertama penderita
CP tipe tetraparesis ditemukan pada 58 %, sedangkan pada CP hemiparesis ditemukan
pada 19,6 %, tipe diparesis pada 29,6 % dan pada epilepsi tanpa CP 6,3% (Hadjipanayis,
1997). Epilepsi pada penderita CP mempunyai onset kejang pertama pada usia yang lebih
muda bila dibandingkan dengan penderita epilepsi tanpa CP, 47 % penderita CP dengan
epilepsi, onset kejang pertama terjadi pada tahun pertama kehidupan. Pada CP tipe
tetraparesis, 60 % penderita mengalami kejang pertama saat periode infancy (Kwong K,
1998). Zafeiriou (1999) mengemukakan bahwa pada penelitiannya, onset kejang pertama
ditemukan pada 69,7 % penderita saat tahun pertama kehidupan.

Bruck (2001)

melaporkan bahwa onset kejang pertama rata-rata pada usia 12,59 bulan, dan 74,2 %
terjadi pada tahun pertama kehidupan. Gururaj mengemukakan bahwa dari penelitiannya
didapatkan bahwa onset kejang pertama pada penderita CP dengan epilepsi 78,6 %
terjadi pada tahun pertama kehidupan dibandingkan pada penderita epilepsi tanpa CP (4,1
%), dan kejang neonatal terjadi pada 42,1 % penderita CP dibandingkan dengan 28,6 %
penderita epilepsi tanpa CP (Gururaj, 2003).
Tabel 6. Hasil pemeriksaan EEG pada anak CP dengan atau tidak ada
penyerta epilepsi
Hasil pemeriksaan EEG
Penyerta epilepsi

Normal
n (%)

Abnormal
n (%)

Jumlah
n (%)

Ada
Tidak ada

5 (8,9)
35 (71,4)

51 (91,1)
14 (28,6)

56 (100)
49 (100)

Jumlah

40 (38,1)

65 (61,9)

105 (100)

2 = 43,278, p = 0,0000
Terdapat hubungan yang bermakna antara hasil pemeriksaan EEG dengan penyerta
epilepsi pada penderita CP.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa penderita CP dengan epilepsi hasil pemeriksaan
EEG sebagian besar abnormal dan hal ini sangat medukung untuk diagnosis epilepsi.
Hasil peneltian ini serupa dengan hasil penelitian sebelumnya.
Sussova (1990) melaporkan penelitiannya pada 51 orang penderita CP tipe
hemiparesis, hasil pemeriksaan EEG 80 % abnormal, tetapi kurang dari limapuluh persen
yang disertai dengan bangkitan klinik (Sussova, 1990). Sulaiman (2001), pada
penelitiannya didapatkan hasil pemeriksaan EEG yang abnormal pada 92 % penderita CP
dengan epilepsi dan hanya 8 % normal. (Sulaiman, 2001). Pada penelitian epilepsi pada
penderita CP di Chandigarh, India, didapatkan hasil pemeriksaan EEG yang abnormal
pada 70,5 % penderita (Singhi, 2003). Kaushik A, mendapatkan hasil penelitian bahwa 60
% penderita CP dengan epilepsi hasil pemeriksaan EEG abnormal (Kaushik, 1997). Aneja
melaporkan penelitiannya pada 80 orang penderita CP dan epilepsi pada pemeriksaan
EEG interiktal ditemukan 89,4 % abnormal. Senbil, melaporkan penelitiannya pada 74
penderita CP, dilakukan pemeriksaan EEG dengan hasil : pada penderita CP dengan
epilepsi gambaran EEG abnormal pada 90,3 % penderita, sedangkan pada penderita CP
tanpa epilepsi gambaran EEG abnormal pada 48,8 % penderita. Walaupun tidak ada
perbedaan yang bermakna antara hasil pemeriksaan EEG pada penderita CP dengan atau
tanpa epilepsi, tetapi pada kelompok CP dengan epilepsi lebih banyak hasil EEG yang
abnormal, hal ini menunjukkan terjadi abnormalitas struktural (Senbil N, 2002).
Panteliadis mengemukakan bahwa penelitiannya terhadap penderita dengan hemiplegi
kongenital, ditemukan 38,9 % disertai dengan epilepsi, dan pada pemeriksaan EEG
didapatkan hasil 76 % abnormal (Panteliadis, 2002). Gururaj, pada penelitiannya
mengenai epilepsi pada penderita CP mendapatkan hasil pemeriksaan EEG interiktal
yang abnormal pada 87,5 % penderita (Gururaj, 2003).

Pemeriksaan EEG adalah pemeriksaan penunjang diagnostik epilepsi, namun pada


pemeriksaan EEG ini terdapat keterbatasan, karena EEG hanya dapat merekam aktivitas
listrik di otak di daerah permukaan, sehingga adanya lesi subkortikal seringkali tidak
terdeteksi. Hal lain adalah saat perekaman EEG yang dilakukan pada interiktal seringkali
tidak dapat menggambarkan aktivitas listrik yang abormal. Karena itu mungkin saja
bangkitan klinis ada, tetapi hasil EEG normal
Tabel 7. Gambaran kelainan EEG pada beberapa tipe CP dengan epilepsi
Gambaran EEG
Tipe CP

N
n (%)

P
n (%)

UF
n (%)

MF
n (%)

AR
n (%)

P+UF
n (%)

P+MF
N (%)

P+AR
n (%)

Jumlah
n (%)

Tetra
Paresis

4
(8,2)

8
(16,3)

4
(8,2)

22
(44,9)

5
(10,2)

2
(4,1)

2
(4,1)

2
(4,1)

49
(100)

Hemi
Paresis

1
(16,7)

4
(66,7)

1
(16,7)

Campuran

6
(100)

1
(100)

Jumlah

5 (8,9)

8(14,3)

4(7,1)

27(48,2)

1
(100)
6(10,7)

2 (3,6)

2 (3,6)

2 (3,6)

56 (100)

Keterangan : N : normal, P : perlambatan, UF : unifokus, MF : multi fokus,


AR : amplitudo rendah.
Pada penelitian ini hasil pemeriksaan EEG pada penderita CP dengan epilepsi sebagian
besar ditemukan multi fokus (51,8 %).
Sussova, dalam penelitiannya pada penderita CP tipe hemiparesis dengan penyerta
epilepsi mendapat gambaran EEG normal, abnormalitas difus dan aktivitas epileptiform
yang fokal (Sussova, 1990). Aicardi (1994) dan Jeafons, (1992), mendapatkan hasil
pemeriksaan EEG penderta CP dengan epilepsi adalah gambaran perlambatan difus dan
multifokus polispike. Sulaiman, pada penelitiannya menemukan hasil pemeriksaan EEG
adalah sebagai berikut: generalize abnormality pada 57,5 %, fokal 16 %, perlambatan
51 %, hipsaritmia 6% (Sulaiman, 2001).

Senbil, melaporkan pada penelitiannya

mengenai penderita CP dengan epilepsi yang dilakukan pemeriksaan EEG, hasil yang
didapatkan adalah aktivitas epileptiform fokal, perlambatan umum, aktivitas epileptiform
dengan multifokus (Senbil, 2002). Panteliadis, melaporkan hasil penelitiannya bahwa

pada penderita CP dengan epilepsi didapatkan bahwa hasil EEG abnormal dan beratnya
ketidaknormalan itu sesuai dengan beratnya epilepsi (Panteliadis, 2002).
Hasil pemeriksaan EEG yang multi fokus sesuai dengan tipe CP yang banyak
ditemukan pada penelitian ini dan sesuai juga dengan bentuk bangkitan kejang yang
terjadi, yaitu sebagian besar adalah umum dan pada beberapa kasus terdapat bentuk
kejang yang lebih dari satu.
KESIMPULAN
1. Penderita CP dengan penyerta epilepsi pada penelitian ini adalah 56 orang
(49,1 %), laki-laki 27 orang (48,2%), perempuan 29 orang (51,8%) dan
sebagian besar ditemukan pada CP tipe tetraparesis (43%)
2. Bentuk kejang yang ditemukan sebagian besar adalah bentuk umum (42
orang; 75%)
3. Onset kejang pertama pada penderita CP dengan epilepsi sebagian besar
pada dua tahun pertama kehidupan.
4. Gambaran EEG penderita CP dengan epilepsi sebagian besar abnormal,
didapatkan pada 51 orang (91,1 %) dengan adanya multifokus (27 orang;
48,2%)

Daftar Pustaka
Aicardi J. Epilepsy as a presenting manifestation of brain tumours and of other selected
brain disorders. Dalam : Epilepsy in children, 2nd Ed. Aicardi J, Ed., Raven
Press, New York 1994: 350-1.
Aneja S, Ahuja B, Taluja B, Bhatia VK. Epilepsy in children with cerebral palsy. Indian
Journal of Pediatrics, 2001, February : 68 (2): 111-5 (Abstract).

Bruck I, Antoniuk AS, Spessatto A, Hausberger R, Pacheco CG. Epilepsy in children


with cerebral palsy. Arq Neuropsiquatr 2001; 59(1): 35-9.
Bushan V, Paneth N, Kieky JL. Impack of improved survival of very low birth weight
infants on recent secular trends in the prevalence of cerebral palsy. Pediatrics
1993; 91: 1094-100.
Cooke RWI. Cerebral palsy in very low birth weight infants. Arch Dis Child, 1990; 65:
210-6.
Hadjipanayis A, Hadjichristodoulou C, Youroukos S. Epilepsy in patiens with cerebral
palsy. Dev Med Child Neurol 1997, 39: 659-63
Holmes GL. Ben-Ari Y . The Neurobiology and Consequences of Epilepsy in the
Developing Brain. Pediatric Research. 2001: 3205.
Kaushik A, Agarwal RP, Sadhna. Association of cerebral palsy with epilepsy. J. Indian
Med. Assoc 1997 Oct; 95 (10): 552-4, 565. (Abstract).
Kuban KCK, Leviton A. Cerebral Palsy. N. Engl J Med 1994; 330: 188-93.
Menkes JH, Sarnat HB. Perinatal Asphyxia and Trauma. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB,
Ed. Textbook of Child Neurology, Edisi 6. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia, 2000: 401-9.
Miller F, Bachrach SJ. Cerebral Palsy, 1th Ed. Baltimore : John Hopkins Press, 1995:
3253.
Ratanawongsa B. Cerebral Palsy. Dalam : e-Medicine Journal, 2001, Volume 2, Number
2. Diambil dari internet di http://www.e-medicine.com
Rizal Ahmad. Gambaran klinis, etiologi dan penyakit penyerta pada penderita cerebral
palsy di Yayasan Suryakanti Bandung Periode 1 Januari 2002 30 Oktober
2002. UNPAD. 2003. Tesis.
Sianturi Pertin. Kejadian epilepsi pada penderita Palsi Serebral di Yayasan Pembinaan
Anak Cacat di Medan. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, 2001. Tesis
Singhi Pratibha, Ray Munni, Suri Gunmala. Clinical spectrum of cerebral palsy in North
India An Analysis of 1000 Cases. Journal of Tropical Pediatrics 2002; 48:
162-6.

Suartaman, Putu. Prevalensi dan faktor-faktor risiko palsi serebral pada anak di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Bali, 1998. Tesis.
Supriyanto, Bambang. Asfiksia neonatal sebagai faktor risiko terjadinya palsi serebral :
penelitian kasus kontrol. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
1993. Tesis.
Sussova J, Seidl Z, Faber J. Hemiparetic forms of cerebral palsy in relation to epilepsy
and mental retardation. Dev Med Child Neurol 1990, 32: 7825.
Suzuki J, Ito M, Tomiwa K, Okuno T. A clinical study of cerebralpalsy in Shiga; 19771986. Severity of the disability and complications in various types of cerebral
palsy. No To Hattatsu. Jul 1999; 31 (4): 336-42 (Abstract).
Swaiman KF, Ashwal S. Pediatric Neurology, Principles, and Practice (3rd Ed ), Mosby,
St. Louis, 1999: 312-22.

Anda mungkin juga menyukai