Anda di halaman 1dari 11

vB.

DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945 PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN

Pada awal masa Indonesia setelah memproklamasikan kemerdekaan, mengalami


berbagai macam gangguan terutama dalam upaya untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Pada masa ini, kolonialisme Belanda berupaya untuk mengembalikan kekuasaannya
di Indonesia dengan membonceng tentara sekutu. Selain itu juga telah terjadi berbagaimacam
pemberontakan yang bersumber pada pertentangan ideologi yang ingin merubah
negara kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi lainnya. Antara lain pemberontakan PKI
di Madiun tahun 1948. PRRI Permesta, DI/TII dan lain sebagainya.
Sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 belum dapat dilaksanakan. Pada tahun ini
di bentuklah DPA sementara, sedangkan DPR dan MPR belum dapat dibentuk karena harus
melalui pemilu. Waktu itu masih di berlakukan pasal aturan peralihan pasal IV yang
menyatakan, Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat,Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar, segala kekuasaannya
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
Pada saat itu terjadilah suatu perkembangan ketatanegaraan Indonesia yaitu: (1)
berubahnya fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan
yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal
ini berdasarkan maklumat wakil presiden No. X (iks) tanggal 16 Oktober 1945. Selain itu
dikeluarkan juga maklumat pemerintah tanggal 14 Nopember 1945. Yang isinya perubahan
sistem pemerintahan negara dari sistem Kabinet Presidensial menjadi sistem Kabinet
Parlementer, berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP).
Akibat perubahan tersebut pemerintah menjadi tidak stabil, Perdana Menteri hanya
bertahan beberapa bulan serta berulang kali terjadi pergantian.
Tanggal 3 November 1945 di keluarkan juga suatu maklumat yang ditandatangani oleh
Wakil Presiden yang isinya tentang pembentukan partai politik. Hal ini bertujuan agar
berbagai aliran yang ada didalam masyarakat dapat di arahkan kepada perjuangan untuk
memperkuat mempertahankan dengan persatuan dan kesatuan.
Sejak tanggal 14 Nopember 1945 kekuasaan pemerintah (eksekutif) dipegang oleh
Perdana Menteri sebagi pimpinan kabinet. Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, perdana
menteri atu para menteri itu bertanggung jawap kepada KNPI, yang berfungsi sebagai DPR,
dan tidak bertanggung jawab kepada presiden sebagaimana yang dikehendaki oleh
UUD 1945. Hal ini berakibat semakin tidak setabilnya Negara Republik Indonesia baik di
bidang politik, ekonomi, pemerintahan maupun keamanan. Semangat ideologi liberal itu
kemudian memuncak dengan dibentuknya Negara Federal yaitu negara kesatuan Republik
Indonesia Serikat dengan berdasar pada konstitusi RIS, pada tanggal 27 Desember 1949.
Konstitusi RIS tersebut sebagai hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den
Haag negeri Belanda.Syukurlah konstitusi itu tidak berlangsung lama dan Indonesia kembali
bersatu pada tahun 1950.Dalam negara RIS tersebut masih terdapat negara bagian Republik
Indonesia yang beribukota di Yogyakarta. Kemudian terjadilah suatu persetujuan antara
Negara RI Yogyakarta dengan negara RIS yang akhirnya membuahkan kesepakatan untuk
kembali, untuk membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada
Undang-Undang Dasar Sementara sejak 17 agustus 1950 isi UUDS ini berbeda dengan UUD
1945 terutama dalam sistem pemerintahan negara yaitu menganut sistem Parlementer,
sedangkan UUD 1945 menganut sistem Presidensial.
Pada bulan September 1955 dan Desember 1955 diadakan pemilihan umum,yang
masing-masing untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota konstituante.
Tugas konstituante adalah untuk membentuk, menyusun Undang-Undang Dasar yang
tetap sebagai pengganti UUDS 1950. Untuk mengambil putusan mengenai Undang-Undang
dasar yang baru ditentukan pada pasal 137 UUDS 1950 sebagai berikut :

1. Untuk mengambil putusan tentang rancangan Undang-Undang Dasar baru sekurangkurangnya 2/3 jumlah anggota konstituante harus hadir.
2. Rancangan tersebut diterima jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir.
3. Rancangan yang telah diterima oleh konstituante dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan
oleh pemerintah.
4. Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera serta mengumumkan UndangUndang Dasar itu dengan keluhuran.
Dalam kenyataannya konstituante selama dua tahun dalam bersidang belum mampu
menghasilkan suatu keputusan tentang Undang-Undang Dasar yang baru.Hal ini dikarenakan
dalam sidang konstituante ,muncullah suatu usul untuk mengembalikan Piagam Jakarta
dalam pembukaan UUD baru. Oleh karena itu Presiden pada tanggal 22 april 1959
memberikan pidatonya didepan siding Konstituante untuk kembali kepada UUD 1945. Hal
ini diperkuat dengan suatu alasan bahwa sidang Konstituante telah mengalami jalan buntu.
Terutama setelah lebih dari separuh anggota Konstituante menyatakan untuk tidak akan
menghadiri sidang lagi.
Atas dasar kenyataan tersebut maka Presiden mengeluarkan suatu dekrit yang didasarkan
pada suatu hukum darurat negara (Staatsnoodrecht). Hal ini menginggat keadaan ketata
negaraan yang membahayakan kesatuan, persatuan, keselamatan serta keutuhan bangsa dan
negara Repubik Indonesia.
Dekrit presiden 5 juli 1959 :
Menetapkan pembubaran konstituante.
Menetapkan Undang-Undang dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia serta
tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak
berlakunya lagi Undang-Undang Dasar 1950.
Pembentukan majelis permusyawaratan rakyat sementara yang terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongangolongan serta Dewan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkatsingkatnya. Dekrit itu diumumkan oleh Presiden dari Istana Merdeka di hadapan rakyat pada
tanggal 5 juli 1959, pada hari minggu pukul 17.00 Dekrit tersebut dimuat dalam keputusan
Presiden No.150 tahun 1959 dan di umumkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia
no.75 tahun 1959.

C. DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945 PADA MASA ORDE


LAMA
Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 juli 1959 itu maka UUD 1945 berlaku kembali
di Negara Republik Indonesia. Sekalipun UUD 1945 secara yuridis formal sebagai hukum
dasar tertulis yang berlaku di Indonesia namun realisasi ketatanegaraan Indonesia tidak
melaksanakan makna dari UUD 1945 itu sendiri.Sejak itu mulai berkuasa kekuasaan Orde
Lama yang secara ideologis banyak dipengaruhi oleh paham komunisme. Hal ini nampak
adanya berbagai macam penyimpangan ideologis yang dituangkan dalam berbagai bidang
kebijaksanaan dalam negara.
Dikukuhkannya ideologi Nasakom, dipaksakannya doktrin Negara dalam keadaan
revolusi. Oleh karena revolusi adalah permanen maka Presiden sebagai Kepala Negara yang
sekaligus juga sebagai Pemimpin Besar Revolusi, diangkat menjadi Pemimpin Besar
Revolusi, sehingga Presiden masa jabatannya seumur hidup.Penyimpangan ideologis maupun
konstitusional ini berakibat pada penyimpangan-penyimpangan konstitusional lainnya
sebagai berikut,

1. Demokrasi di Indonesia diarahkan menjadi demokrasi terpimpin, yang dipimpin oleh


presiden, sehingga praktis bersifat otoriter.pada sebenarnya di negara Indonesia yang
berdasarkan Pancasila berazas-kan kerakyatan,sehingga seharusnya rakyatlah sebagai
pemegang serta asal mula kekuasaan negara, demikian juga sebagaimana yang tercantum
dalam UUD 1945.
2. Oleh karena Presiden sebagai pemimpin besar revolusi maka memiliki wewenang yang
melebihi sebagaimana yang sudah di tentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
mengeluarkan produk hukum yang setingkat denganUndang-Undang tanpa melalui
persetujuan DPR dalam bentuk penetapanpresiden.
3. Dalam tahun 1960, karena DPR tidak dapat menyetujui rancangan pendapatan dan Belanja
Negara yang di ajukan oleh pemerintah. Kemudian presiden waktuitu membubarkan DPR
hasil pemilu 1955 dan kemudian membentuk DPR gotong royong. Hal ini jelas-jelas sebagai
pelanggaran konstitusional yaitukekuasaan eksekutif di atas kekuasaan legislatif.
4. Pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara dijadikan menteri negara, yangberarti sebagai
pembantu presiden.Selain penyimpangan-penyimpangan tersebut masih banyak
penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan ketatanegaraan yang seharusnya
berdasarkanpada UUD 1945. Karena pelaksanaan yang inskonstitusional itulah maka
berakibatpada ketidak stabilan dalam bidang politik, ekonomi terutama dalam
bidangkeamanan. Puncak dari kekuasaan Orde Lama tersebut ditandai denganpemberontakan
G30S.PKI. syukur alhamdulillah pemberontakan tersebut dapatdigagalkan oleh rakyat
Indonesia terutama oleh generasi muda.Dengan dipelopori oleh pemuda, pelajar, dan
mahasiswa rakyat IndIndonesiamenyampaikan Tritula (Tri Tuntutan Rakyat) yang meliputi,
a. Bubarkan PKI.
b. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur KPI.
c. Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
Gelombang gerakan rakyat semakin besar, sehingga presiden tidak mampulagi
mengembalikannya,maka keluarlah surat perintah 11 maret 1966 yangmemberikan kepada
Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkahdalam mengembalikan
keamanan negara. Sejak peristiwa inilah sejarahketatanegaraan Indonesiadikuasai oleh
kekuasaan Orde Baru (Dardji Darmodihardjo 1979).
Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut,
Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.Di
saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan
parlementer.Presiden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi
komando.
Pemerintahan Soekarno pada era 1960-an, masa ekonomi surut di Indonesia.Saat itu
harga-harga melambung tinggi, sehingga pada tahun 1966 mahasiswa turun ke jalan untuk
mencegah rakyat yang turun.Mereka menuntut Tritura. Jika saat itu rakyat yang turun,
mungkin akan terjadi people power seperti yang terjadi di Philipina.
Pemerintahan Rezim Militer (Orba) cukup baik pada era 1970-an dan 1980-an, namun
akhirnya kandas di penghujung 1990-an karena ketimpangan dari pemerintah itu sendiri. Di
pemerintahan Soekarno malah terjadi pergantian sistem pemerintahan berkali-kali.Liberal,
terpimpin, dsb mewarnai politik Orde Lama. Rakyat muak akan keadaan tersebut.
Pemberontakan PKI pun sebagian dikarenakan oleh kebijakan Orde Lama. PKI berhaluan
sosialisme/komunisme (Bisa disebut Marxisme atau Leninisme) yang berdasarkan asas sama
rata, jadi faktor pemberontakan tersebut adalah ketidakadilan dari pemerintah Orde Lama.
Penerapan demokrasi orde lama
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang
pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi.Pada saat itu kondisi politik

dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam
suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka.Masa
orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem
kenegaraan.Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde
lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950,
periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional
dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan
peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional kita adalah;
Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara
1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.

D. DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945 PADA MASA ORDE


BARU
Orde baru di bawah pimpinan Soeharto pada awalnya untuk mengembalikan keadaan
setelah pemberontakan PKI bertekad untuk mempelopori pembangunan nasional Indonesia
sehingga orde baru juga sering di istilahkan sebagai orde pembangunan. Untuk itu MPRS
mengeluarkan berbagai macam keputusan penting antara lain sebagai berikut:
i. Tap MPRS No. XVIII/MPRS/1966 tentang kabinet Ampera yang isinyamenyatakan
agar presiden menugasi pengemban Super Semar, JenderalSoeharto untuk segera membentuk
kabinet Ampera.
ii. Tap MPRS No. XVII/MPRS/1966 yang dengan permintaan maaf, menarik kembali
pengangkatan pemimpin Besar Revolusi menjadi presiden seumur hidup.
iii. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPRGR mengenai sumber tertib
hukum republik Indonesia dan tata urutan perundang -undangan.
iv. Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966 mengenai penyederhanaan kepartaian, keormasan dan
kekaryaan.
v. Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran partai komunis Indonesia dan
pernyataan tentang partai tersebut sebagai partai terlarang diseluruh wilayah Indonesia, dan
larangan pada setiap kegiatan untuk menyebar luaskan atau mengembangkan faham ajaran
komunisme/Marxisme, Leninisme.
Pada saat itu bangsa Indonesia dalam keadaan yang tidak menentu baik yang
menyangkut bidang politik, ekonomi maupun keamanan. Dalam keadaan yangdemikian
inilah pada bulan Pebruari 1967 DPRGR mengeluarkan suatu resolusi yaitu meminta MPR(S)
agar mengadakan sidang istimewa pada bulan maret 1967. Sidang istimewa tersebut
mengambil suatu keputusan sebagai berikut :
1. Presiden Soekarno tidak dapat memenuhi tanggungjawab konstitusional dan tidak
menjalankan GBHN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
2. Sidang menetapkan berlakunya Tap No. XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/ penunjukan
wakil presiden dan tata cara pengangkatan pejabat presiden dan mengangkat Jenderal
Soeharto. Pengembangan Tap. No. 6 IX/MPRS/1966, sebagai pejabat presiden berdasarkan
pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan
umum.
Dalam masa orde baru ini (1967-1997) pelaksanaan UUD 1945 belum juga murni dan
konsekuen, praktis kekuasaan presiden tidak secara langsung kekuasaan lembaga tertinggi
dan tinggi negara dibawah kekuasaan presidan tetapi seluruhnya hampir dituangkan dalam
mekanisme peraturan antara lain :
1. UU no.16/1969 dan UU no.5/1975 tentang kedudukan DPR, MPR, DPRD.

2. UU no.3/1975 dan UU no.3/1985 tentang parpol dan golkar.


3. UU no.15/969 dan UU no.4/1975 tentang pemilu.
Pada masa awal kekuasaan Orde Baru berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa
dalam berbagai bidang antara lain dalam bidang politik, ekonomi, soaial,budaya maupun
keamanan. Di bidang politik dilaksanakanlah pemilu yang dituangkan dalam UndangUndang No.15 tahun 1969 tentang pemilu umum, Undang-Undang No.16 tentang susunan
dan kedudukan majelis permusyawaratan rakyat, dewan perwakilan rakyat dan dewan
perwakilan rakyat daerah. Atas dasar ketentuan undang-undang tersebut kemudian
pemerintah Orde Baru berhasil mengadakan pemilu pertama.
Pada awalnya bangsa Indonesia memang merasakan perubahan peningkatan nasib
bangsa dalam berbagai bidang melalui suatu program negara yang dituangkan dalam GBHN
yang disebut pelita (pembangunan lima tahun). Hal ini wajar dirasakan oleh bangsa Indonesia
karena sejak tahun 1945 setelah kemerdekaan nasib bangsa Indonesia senantiasa dalam
kesulitan dan kemiskinan.Namun demikian lambat laun program-program negara buakannya
diperuntukan kepada rakyat melainkan demi kekuasaan. Mulailah ambisi kekuasaan orde
baru menjalar keseluruh sandi-sandi kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan orde
baru menjadi otoriter namun seakan-akan dilaksanakan secara demokratis.
Penafsiran dan penuangan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tidak dilaksanakan
sesuai dengan amanat sebagaimana tertuang dan terkandung dalam Undang-Undang Dasar
tersebut melainkan dimanipulasikan demi kekuasaan. Bahkan pancasila pun diperalat demi
legitimasi kekuasaan dan tindakan presiden.Hal ini terbukti dengan adanya ketetapan MPR
No.II/MPR/1978. Tentang P-4 yang dalam kenyataannya sebagai media untuk propaganda
kekuasaan orde baru.Realisasi UUD 1945 lebih banyak memberikan porsi atas kekuasaan
presiden.Walupun sebenarnya UUD 1945 tidak mengamanatkan demikian.

E. Dinamika pelaksanaan pada masa reformasi


Kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto sampai tahun 1998 membawa ketatanegaraan
Indonesia tidak mengamanatkan nilai-nilai demokrasi sebagaimana yang tergantung dalam
Pancasila yang mendasarkan pada kerakyatan dimana rakyat memiliki kekuasaan tertinggi
dalam Negara.
1. Krisis Multidimensi dan Munculnya Reformasi
Krisis moneter di Indonesia dimulai dengan menurunnya nilai tukar rupiah. Hal itu
memicu penurunan produktivitas ekonomi serta munculnya fungsi institusi ekonomi dalam
mengatasi krisis tersebut. Hal ini kemudian mengarah pada munculnya krisis legitimasi
kepercayaan atas pemerintahan Orde Baru yaitu krisis kepercayaan pada bidang politik,
bidang hukum, bidang sosial dan bidang ekonomi. Permasalahan krisis kepercayaan terhadap
pemerintahan Orde Baru makin meningkat dengan diangkatnya kembali Soeharto sebagai
presiden Republik Indonesia. Dimulai dari krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada
medio 1997, efek domino pun langsung mendera masyarakat Indonesia diberbagai lini.
Penurunan tingkat daya beli, munculnya krisis sosial, dan meningkatnya pengangguran
karena PHK menjadi permasalahan sosial yang krusial. Krisis politik, krisis social, dan krisis
legitimasi atas pemerintahan Orde Baru kemudian bermunculan sebagai reaksi pertama.
Krisis ekonomi
Krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997, merupakan sebuah efek domino dari
krisis ekonomi Asia yang melanda berbagai Negara, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Perkembangan ekonomi Indonesia telah mengalami stagnansi sejak 1990-an.. barang-barang
produksi Indonesia menjadi tidak berdaya saing apabila dibandingkan dengan barang-barang
luar negeri yang secara bebas memasuki pasaran Indonesia. Oleh bank dunia, pembangunan

ekonomi tergolong berhasil apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bank
Dunia. Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah adanya peningkatan investasi di bidang
pendidikan, yang ditandai dengan peningkatan sumber daya manusia, rendahnya tingkat
korupsi yang ada di tataran pemerintahan, dan adanya stabilitas dan kredibilitas politik..
adanya krisis moneter ditandai dengan rendahnya mutu sumber daya manusia, tingginya
tingkat korupsi di instansi-instansi pemerintah, dan kondisi instabilitas politik. Perekonomian
Indonesia mengalami penurunan hingga mencapai 0% pada 1998.
Pada 15 januari 1998, presiden Soeharto menandatangani 50 butir Letter of Intent
(Lol) dengan disaksikan oleh direktur IMF Asia, Michel Camdessus, sebagai sebuah syarat
untuk mendapatkan kucuran dana bantuan luar negeri tersebut. Penanganan krisis ekonomi
Indonesia pada 1997/1998, berujung pada munculnya krisis multidimensi, baik itu politik dan
social, maupun krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Krisis Sosial
Suhu politik ditataran elite yang makin memanas menimbulkan berbagai potensi
perpecahan social di masyarakat. Kelompok masyarakat yang menuntut presiden Soeharto
mundur dari pemerintahan diwakili oleh mahasiswa. Kelompok ini memiliki cita-cita
reformasi terhadap Indonesia. Organisasi yang berada pada jalur ini, diantaranya Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Forum Kota (Fosrkot). Meskipun kedua
organisasi mahasiswa tersebut memiliki napas perjuangan yang berbeda, tetapi tetap memiliki
tujuan yang sama, yakni menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan, menghapus Dwi
fungsi ABRI, dan mewujudkan reformasi Indonesia secara optimal.
Kerusuhan sistematis yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia pada 13-14 mei
1998, menjadi bukti dari adanya pergesekan social antarmasyarakat. Munculnya berbagai
kerusuhan horizontal ini merupakan implikasi dari kebijakan ekonomi sentralistik yang
menimbulkan jurang pemisah kesejahteraan yang begitu tinggi antara pusat dan daerah.
Krisis Politik
Proses aspirasi politik ke pemerintahan tidak terdistribusi secara sempurna. Dengan
demikian, proses penyaluran aspirasi rakyat pun terhambat. Segala peraturan yang dibentuk
oleh MPR/DPR pada prinsipnya tidak berorientasi jangka panjang, melainkan semata-mata
bertujuan untuk memenuhi keinginan dan kepentingan para oknum-oknum tertentu. Selain
itu, budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah mengakar kuat didalam tubuh
birokrasi pemerintahan. Unsure legislative yang sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR
dalam membuat dasar-dasar hokum dan haluan Negara menjadi sepenuhnya dilakukan oleh
Presiden Soeharto. Kondisi ini memicu munculnya kondisi status quo yang berakibat pada
munculnya krisis politik, baik itu dalam tataran elite politik maupun masyarakat yang mulai
mempertanyakan legitimasi pemerintahan Orde baru.
2. Kronologi Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru
Latar belakang krisis Asia dan tingginya KKN di Tubuh Pemerintahan Negara.
Pemicu dari kejatuhan Pemerintahan Orde Baru ini, antara lain adalah karena tingginya
tingkat KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di dalam pemerintahan. Selain itu
membengkakanya angka utang luar negeri juga menjadi salah satu pemicu dari jatuhnya Orde
Baru. Keadaan tersebut menimbulkan gerakan masyarakat yang dipelopori generasi muda
terutama mahasiswa sebagai sesuatu gerakan moral yang memiliki kekuatan yang luar biasa
yang menuntut adanya reformasi disegala bidang terutama bidang politik, bidang ekonomi
dan hukum
Para mahasiswa yang mempelopori gerakan reformasi kemudian menyusun agenda
reformasi yang ditujukan kepada pemerintah Orde baru. Isi dari agenda reformasi ini, antara
lain terfokus pada hal-hal berikut ini :
1. Mengadili Soeharto dan kroni-kroninya
2. Melakukan amandemen terhadap UUD 1945

3. Menghapus Dwi Fungsi ABRI didalam struktur pemerintahan Negara.


4. Penegakan supremasi hokum di Indonesia
5. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dari unsure-unsur Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN)
Menurunnya pamor pemerintahan Orde Baru telah dimulai semenjak
penandatanganan perjanjian pemberian dana bantuan pada Medio 1997. Akan tetapi,
pemberian dana bantuan ini sebenarnya mengandung 2 kelemahan utama bagi Indonesia dan
hal ini disadari oleh rakyat. Kelemahan pertama terletak pada posisi dana bantuan itu.
Pemberian dana bantuan oeh IMF adalah uang luar negeri yang harus dibayar kembali oleh
Indonesia beserta bunganya. Kelemahan kedua adalah penerapan Structural Adusment
Program ( program penyesuaian strtuktural ) dari IMF yang menyertai penurunan dana
bantuan tersebut.
3. Kronologi Pengunduran Diri Soeharto dari Kursi Kepresidenan
Menanggapi kondisi perekonomian yang semakin parah, para mahasiswa bersama
elemen-elemen masyarakat yang tergabung dalam gerakan reformasi pun mulai bergerak
untuk turun kejalan berdemonstrasi menuntut penurunan harga. Aksi demonstrasi damaipun
berjalan tertib, tetapi situasi kemudian memanas ketika mahasiswa yang ingin
melakukanlong march menuju DPR/MPR tidak diperbolehkan oleh petugas. Bentrokan pun
terjadi, dalam insiden bentrokan ini 4 mahasiswa tewas yaitu, Elang Mulya Lesmana,
Hafidhin Royan, Hendrawan Sie, dan Heri Hartanto. Mereka kemudian diberi gelar Pahlawan
Reformasi. Aksi di gedung MPR/DPR mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998, pada pukul
09.06 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi presiden Republik
Indonesia. Momentum turunnya Soeharto pada 21 Mei 1998 mengakhiri pemerintahan Orde
Baru yang telah berjalan selama 32 tahun di Indonesia. Setelah Soeharto mundur dari
singgasanahnya kedudukan presiden digantikan oleh wakil presiden Prof. Dr. Bj. Habibie.
7. Perkembangan politik Setelah 21 Mei 1998
M.C. Ricklefs (seorang sejarawan Australia) melihat bahwa terdapat lima bidang yang
menjadi konsiderasi utama pemerintahan presiden Habibie, yakni masa depan reformasi,
masa depan ABRI, masa depan daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia,
masa depan Soeharto beserta keluarga dan kroni-kroninya, dan masa depan perekonomian
dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Selanjutnya, 22 Mei 1998, Presiden B.J. Habibie
membentuk susunan cabinet yang dinamakan cabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet yang
beranggotakan 16 menteri ini memfokuskan pembenahan ekonomi dalam lima bidang kerja
utama, diantaranya sebagai berikut:
a. Melakukan proses rekapitulasi perbankan Indonesia.
b. Melaksanakan likuidasi bank-bank yang bermasalah.
c. Memperbaiki nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sehingga mencapai angka
dibawah Rp10.000,00.
d. Membangun konstruksi baru perekonomian Indonesia.
e. Melaksanakan syarat-syarat reformasi ekonomi yang diberikan IMF kepada Indonesia.
Pemberian Amnesti dan Munculnya Kebebasan Berpendapat
Tahanan-tahanan politik Orde Baru yang dimasukkan ke penjara dengan tuduhan
subversive, seperti mochtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas pun diberikan amnesty dan
dibebaskan pada masa pemerintahan Presiden Habibie. Amnesty pembebasan Sri Bintang
Pamungkas dan Mochtar Pakpahan ini dikukuhkan didalam Keppres No.80 Tahun 1998.
Kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat pun kembali terangkat. Hal ini dapat terlihat
dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan da ideology.
Presiden Habibie juga mengeluarkan kebijakan untuk membuat Tim Gabungan
Pencari Fakta (TPGF). Tugas dari tim ini adalah mencari segala sesuatu yang berhubungan

4.

5.

1.
2.
3.
4.

5.

1.

dengan kerusuhan 13-14 mei 1998 di Jakarta. TGPF diketuai oleh Marzuki Darusman, yang
pada waktu itu menjabat sebagai ketua Komnas HAM. TGPF
, antara lain
membawahi institusi-institusi, seperti Departemen Luar negeri (Deplu), Lembaga Bantuan
Hukum (LBH), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kejaksaan, lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), ABRI, dan Kepolisian. Selanjutnya TGPF melaksanakan
tugasnya untuk mengusut mengenai peristiwa seputar kerusuhan 13-14 Mei 1998 secara
kronologis.
Presiden Habibie mengeluarkan suatu kebijakan, yang tertuang dalam UndangUndang No.9 tahun 1998 yang berisi tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum. Tata cara berdemonstrasipun dinyatakan didalam UU tersebut. Bentuk
penyampaian pendapat dimuka umum ini dapat berupa unjuk rasa atau demonstrasi, pawai,
rapat umum, dan mimbar bebas. Ketentuan ini dinyatakan didalam pasal 9 (2) UU No.9
Tahun 1998. Selain itu, Presiden Habibie juga mencabut UU No. 11/PNS/1963 tentang
Pemberantasan Aksi Subversi dengan mengeluarkan UU No.26 Tahun 1999.
Permasalahan Dwi Fungsi ABRI
Tuntutan untuk mengahapus Dwi fungsi ABRIpun menjadi isu utama dalam agenda
reformasi. Presiden Habibie menganggapi hal tersebut dengan menerapkan berbagai
kebijakan. Kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Habibie, antara lain adalah memisahkan
Kepolisian Republik Indonesia dari tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Kebijakan ini mulai diterapkan pada 5 mei 1999. Pembenahan Dwi Fungsi ABRI didalam
tubuh pemerintahan dilaksanakan dengan mereduksi keberadaan ABRI didalam DPR.
Pengurangan ini menetapkan hanya 38 kursi yang berasal dari ABRI, sebelumnya terdapat 75
kursi. Dengan demikian, pelaksanaan doktrin Dwi Fungsi ABRI didalam tubuh pemerintahan
dapat dieliminir secara bertahap.
Reformasi Hukum dan Perundang-undangan
Di dalam Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 November 1998, terdapat perombakan
besar-besaran terhadap sistem hokum dan perundang-undangan tersebut. Adapun focus
pembenahan sector hokum dan perundang-undangan ini mengacu pada 12 ketetapan yang
dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu:

Bagian ketetapan yang terdiri dari enam ketetapan MPR baru, antara lainnya sebagai
berikut.
Tap. MPR No. X/MPR/1998, Tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka
penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara
Tap. MPR No. XI/MPR/1998, tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas
korupsi, kolusi dan nepotisme
Tap. MPR No. XIII/MPR/1998, tentang pembatasan masa jabatan Presiden dan wakil presiden
republik Indonesia
Tap. MPR No. XV/MPR/1998, tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pussat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tap. MPR No. XVI/MPR/1998, tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi.
6. Tap. MPR No. XVII/MPR/1998, tentang hak asasi manusia

Bagian ketetapan yang terdiri dari dua ketetapan yang mengubah dan menambah
ketetapan lama.
Tap. MPR No. VII/MPR/1998, tentang perubahan dan tambahan atas ketetapan majelis
permusyawatan rakyat Republik Indonesia nomor I/MPR/1983, tentang peraturan tata tertib
majelis permusyawaratan rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah

dan ditambah terakhir dengan ketetapan majelis permusyawaratan rakyat Republik Indonesia
nomor I/MPR/19988
2.

Tap. MPR No. XIV/MPR/1998, tentang perubahan dan tambahan atas ketetapan
majelis permusyawaratan rakyat Republik Indonesia nomor III/MPR/1988 tentang
pemilihan umum

Bagian yang berisi empat ketetapan yang bersifat mencabut ketetapan-ketetapan MPR
terdahulu, adalah sebagai berikut:
1. Tap. MPR No. IX/MPR/1998.

2.

Tap. MPR No. XII/MPR/1998, tentang pencabutan ketetapan majelis


permusyawaratan rakyat Republik Indonesia nomor V/MPR/1988 tentang pemberian
tugas dan wewnang khusus kepada presiden /mandataris majelis permusyawaratan rakyat
Republik Indonesia dalam rangka penyusunan dan pengamanan pembangunan nasional
sebagai pengamanan

Tap. MPR No. V/MPR/1998, tentang pemberian tugas dan wewenang khusus
kepada presiden/mandataris majelis permusyawaratan rakyat Republik Indonesia dalam
rangka penyuksesan dan pengamatan pembangunan nasional sebagai pengamalan
pancasila
Era baru dalam reformasi hokum dan perundang-undangan pada masa pemerintahan
Presiden Habibie menjadi semacam pemecah kekakuan sistem hokum di Indonesia selama
Orde Baru.
6. Pemilihan Umum 1999
Ditetapkan 3 undang-undang politik baru yang ditandatangani pada 1 Februari 1999.
Isinya menyangkut undang-undang mengenai partai politik, proses pemilihan umum, serta
susunan dan kedudukan (susduk) MPR, DPR, dan DPRD. Setelah itu presiden membentuk
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil parpol dan
wakil pemerintah. Berdasarkan undang-undang yang telah disahkan pada 1 februari 1999
tersebut, hanya 48 partai politik yang lolos untuk melaju diputaran pemilihan umum dari 112
partai politik yang mendaftar. Panitia yang bertugas untuk menyaring partai-partai politik itu
dinamakan Panitia 11.
Sistem pengaturan pemilu 1999 diatur dalam UU No.3 Tahun 1999. Didalam
peraturan ini, ditetapkan bahwa peraturan pemilihan umu bersifat campuran antara sistem
proporsional dan sistem distrik. Pemilihan umum tingkat nasional akhirnya digelar pada 7
Juni 1999. Dari 48 partai politik yang berpartisipasi didalam pemilu 1999, terdapat 5 partai
besar yang menempati urutan tertinggi, yaitu PDI-P, Golkar, PKB, PPP, dan PAN. Perolehan
jumlah suara partai secara keseluruhan ini juga digunakan untuk menghitung pembagian
antara wakil-wakil yang berasal dari utusan golongan maupun yang berasal dari utusan
daerah.
3.

7. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Pasca-Reformasi


Tingginya tingkat intensitas konflik politik internal dalam negeri membuat
konsentrasi penanganan masalah ekonomi dan social menjadi tidak optimal. Selain itu,
dorongan IMF untuk menerapkan Structural Adjustment Program (Program Penyesuaian
Struktural) di Indonesia tidak menambah ringan beban ekonomi bangsa. Penyebabnya adalah
bahwa paket-paket kebijakan yang disodorkan oleh IMF tersebut sebenarnya tidak sesuai
dengan yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia.

Premis IMF yang melihat bahwa adanya peningkatan ketahan ekonomi suatu Negara akan
secara langsung berimbas pada peningkatan ketahanan social masyarakat, kemudian
terpatahkan dalam kasus Indonesia. Kondisi social dan ekonomi masyarakat Indonesia tidak
menunjukkan hasil yang membaik. Memburuknya kondisi social dan ekonomi Indonesia
pascareformasi salah satunya dapat dilihat dari poin kebijakan penghapusan subsidi bagi
masyarakat yang disodorkan oleh IMF. Pemerintah tidak boleh memberikan subsidi yang
signifikan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, baik itu dalam bentuk subsidi
usaha maupun proteksionisme terhadap sector ekonomi local. Meningkatnya angka
pengangguran, melambatnya laju pertumbuhan ekonomi, dan makin meningginya angka
kriminalitas menjadi warna dari krisis multidimensi yang dihadapi oleh Indonesia
pascareformasi. Menurunnya investasi asing di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab
melambatnya kinerja ekonomi ini. Perwujudan lapangan pekerjaan menjadi hal yang konkret
untuk menanggulangi krisis multidimensi tesebut. Proyek pembenahan kondisi ekonomi dan
social yang dicanangkan pemerintah era reformasi,antara lain berfokus pada hal-hal sebagai
berikut:
1. Meningkatkan lapangan pekerjaan seoptimal mungkin.
2. Menyediakan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.
3. Optimalisasi fasilitas umum bagi masyarakat.
4. Mengoptimalkan sector pendidikan.
5. Memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk akses kesehatan.
8. Perkembangan Bahasa dan Karya Sastra Pasca Reformasi
Seperti yang dikatakan oleh Zaelani Tamaka perkembangan sastra cenderung
mengikuti perkembangan politik. Kekhasan yang ditimbulkan oleh para pengarang dari
perubahan social ini dimasukkan kedalam sbuah istilah yang mewakili keberadaan para
pengarang yaitu angkatan reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya
karya-karya sastra yang berupa puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik,
khususnya seputar reformasi.
Berbagi bentuk seperti novel, puisi, drama, dan prosa menggambarkan keadaan,
akibat dan semua perasaan yang tercampur baur dengan keadaan politik saat itu. Bahkan,
penyair-penyair yang pada awalnya menulis karya sastra jauh dari tema-tema social politik,
seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun yosi herfanda, dan Acep zamzam noer, juga ikut
menulis sajak-sajak dengan tema social-politik. Namun, wacana tentang keberadaan angkatan
reformasi tidak menarik banyak pihak untuk turut serta menilik dan menikmati karya mereka.
Sehingga oleh Koriee Layun Rampan dilemparkan wacana tentang sastrawan angkatan 2000
yang karya-karyanya banyak berisi masalah-masalah sosial politik.
12. Kelebihan-kelebihan pada masa Reformasi
Munculnya kesadaran masyarakat akan pentingnya reformasi bagi bangsa Indonesia.
Kebebasan berpendapat kembali ditegakkan.
Pengurangan masalah Dwi Fungsi ABRI dalam pemerintahan.
Melakukan reformasi hukum dan perundang-undangan di Indonesia.
Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
Sector social politik Indonesia menjadi terbuka.
Pemilu yang tadinya hanya dapat diikuti oleh 3 parpol saja sekarang dapat diikuti oleh 48
parpol melalui seleksi.
Kekakuan hukum masa Orde Baru menjadi terpecah atau mulai lenyap.
Pemerintah memikirkan masalah social yang dialami masyarakat dengan mewujudkan
program membentuk lapangan pekerjaan bagi pengangguaran.

Corak karya sastra menjadi lebih berwarna dan banyak jenisnya sesuai dengan kondisi
social-politik saat itu.
Pemublikasian karya sastra menjadi lebih mudah dan terbantu karena adanya media
komunikasi.
12. Kekurangan-kekurangan pada masa Reformasi
Adanya perpecahan presepsi antara mahasiswa dan kelompok masyarakat mengenai
pengangkatan B.J Habibie sebagai Presiden.
Tidak adanya pemberian subsidi terhadap masyarakat.
Keputusan reformasi ekonomi yang dibutuhkan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan
masyarakat.
Terlalu dibebani oleh program penyesuaian structural dari IMF.
Posisi militer tidak mendapat tempat yang cukup baik dihati masyarakat.
Penanganan masalah ekonomi dan social menjadi tidak optimal karena konflik politik
internal dalam negeri.
Adanya krisis multidimensi yang dihadapi oleh Indonesia.
Pemerintah hanya terfokus pada perbaikan ekonomi.
Kurangnya minat para pembaca pada karya sastra angkatan reformasi.

Anda mungkin juga menyukai