Dinamika Pelaksanaan Uud 1945
Dinamika Pelaksanaan Uud 1945
1. Untuk mengambil putusan tentang rancangan Undang-Undang Dasar baru sekurangkurangnya 2/3 jumlah anggota konstituante harus hadir.
2. Rancangan tersebut diterima jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir.
3. Rancangan yang telah diterima oleh konstituante dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan
oleh pemerintah.
4. Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera serta mengumumkan UndangUndang Dasar itu dengan keluhuran.
Dalam kenyataannya konstituante selama dua tahun dalam bersidang belum mampu
menghasilkan suatu keputusan tentang Undang-Undang Dasar yang baru.Hal ini dikarenakan
dalam sidang konstituante ,muncullah suatu usul untuk mengembalikan Piagam Jakarta
dalam pembukaan UUD baru. Oleh karena itu Presiden pada tanggal 22 april 1959
memberikan pidatonya didepan siding Konstituante untuk kembali kepada UUD 1945. Hal
ini diperkuat dengan suatu alasan bahwa sidang Konstituante telah mengalami jalan buntu.
Terutama setelah lebih dari separuh anggota Konstituante menyatakan untuk tidak akan
menghadiri sidang lagi.
Atas dasar kenyataan tersebut maka Presiden mengeluarkan suatu dekrit yang didasarkan
pada suatu hukum darurat negara (Staatsnoodrecht). Hal ini menginggat keadaan ketata
negaraan yang membahayakan kesatuan, persatuan, keselamatan serta keutuhan bangsa dan
negara Repubik Indonesia.
Dekrit presiden 5 juli 1959 :
Menetapkan pembubaran konstituante.
Menetapkan Undang-Undang dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia serta
tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak
berlakunya lagi Undang-Undang Dasar 1950.
Pembentukan majelis permusyawaratan rakyat sementara yang terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongangolongan serta Dewan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkatsingkatnya. Dekrit itu diumumkan oleh Presiden dari Istana Merdeka di hadapan rakyat pada
tanggal 5 juli 1959, pada hari minggu pukul 17.00 Dekrit tersebut dimuat dalam keputusan
Presiden No.150 tahun 1959 dan di umumkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia
no.75 tahun 1959.
dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam
suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka.Masa
orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem
kenegaraan.Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde
lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950,
periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional
dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan
peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional kita adalah;
Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara
1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.
ekonomi tergolong berhasil apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bank
Dunia. Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah adanya peningkatan investasi di bidang
pendidikan, yang ditandai dengan peningkatan sumber daya manusia, rendahnya tingkat
korupsi yang ada di tataran pemerintahan, dan adanya stabilitas dan kredibilitas politik..
adanya krisis moneter ditandai dengan rendahnya mutu sumber daya manusia, tingginya
tingkat korupsi di instansi-instansi pemerintah, dan kondisi instabilitas politik. Perekonomian
Indonesia mengalami penurunan hingga mencapai 0% pada 1998.
Pada 15 januari 1998, presiden Soeharto menandatangani 50 butir Letter of Intent
(Lol) dengan disaksikan oleh direktur IMF Asia, Michel Camdessus, sebagai sebuah syarat
untuk mendapatkan kucuran dana bantuan luar negeri tersebut. Penanganan krisis ekonomi
Indonesia pada 1997/1998, berujung pada munculnya krisis multidimensi, baik itu politik dan
social, maupun krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Krisis Sosial
Suhu politik ditataran elite yang makin memanas menimbulkan berbagai potensi
perpecahan social di masyarakat. Kelompok masyarakat yang menuntut presiden Soeharto
mundur dari pemerintahan diwakili oleh mahasiswa. Kelompok ini memiliki cita-cita
reformasi terhadap Indonesia. Organisasi yang berada pada jalur ini, diantaranya Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Forum Kota (Fosrkot). Meskipun kedua
organisasi mahasiswa tersebut memiliki napas perjuangan yang berbeda, tetapi tetap memiliki
tujuan yang sama, yakni menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan, menghapus Dwi
fungsi ABRI, dan mewujudkan reformasi Indonesia secara optimal.
Kerusuhan sistematis yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia pada 13-14 mei
1998, menjadi bukti dari adanya pergesekan social antarmasyarakat. Munculnya berbagai
kerusuhan horizontal ini merupakan implikasi dari kebijakan ekonomi sentralistik yang
menimbulkan jurang pemisah kesejahteraan yang begitu tinggi antara pusat dan daerah.
Krisis Politik
Proses aspirasi politik ke pemerintahan tidak terdistribusi secara sempurna. Dengan
demikian, proses penyaluran aspirasi rakyat pun terhambat. Segala peraturan yang dibentuk
oleh MPR/DPR pada prinsipnya tidak berorientasi jangka panjang, melainkan semata-mata
bertujuan untuk memenuhi keinginan dan kepentingan para oknum-oknum tertentu. Selain
itu, budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah mengakar kuat didalam tubuh
birokrasi pemerintahan. Unsure legislative yang sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR
dalam membuat dasar-dasar hokum dan haluan Negara menjadi sepenuhnya dilakukan oleh
Presiden Soeharto. Kondisi ini memicu munculnya kondisi status quo yang berakibat pada
munculnya krisis politik, baik itu dalam tataran elite politik maupun masyarakat yang mulai
mempertanyakan legitimasi pemerintahan Orde baru.
2. Kronologi Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru
Latar belakang krisis Asia dan tingginya KKN di Tubuh Pemerintahan Negara.
Pemicu dari kejatuhan Pemerintahan Orde Baru ini, antara lain adalah karena tingginya
tingkat KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di dalam pemerintahan. Selain itu
membengkakanya angka utang luar negeri juga menjadi salah satu pemicu dari jatuhnya Orde
Baru. Keadaan tersebut menimbulkan gerakan masyarakat yang dipelopori generasi muda
terutama mahasiswa sebagai sesuatu gerakan moral yang memiliki kekuatan yang luar biasa
yang menuntut adanya reformasi disegala bidang terutama bidang politik, bidang ekonomi
dan hukum
Para mahasiswa yang mempelopori gerakan reformasi kemudian menyusun agenda
reformasi yang ditujukan kepada pemerintah Orde baru. Isi dari agenda reformasi ini, antara
lain terfokus pada hal-hal berikut ini :
1. Mengadili Soeharto dan kroni-kroninya
2. Melakukan amandemen terhadap UUD 1945
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
dengan kerusuhan 13-14 mei 1998 di Jakarta. TGPF diketuai oleh Marzuki Darusman, yang
pada waktu itu menjabat sebagai ketua Komnas HAM. TGPF
, antara lain
membawahi institusi-institusi, seperti Departemen Luar negeri (Deplu), Lembaga Bantuan
Hukum (LBH), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kejaksaan, lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), ABRI, dan Kepolisian. Selanjutnya TGPF melaksanakan
tugasnya untuk mengusut mengenai peristiwa seputar kerusuhan 13-14 Mei 1998 secara
kronologis.
Presiden Habibie mengeluarkan suatu kebijakan, yang tertuang dalam UndangUndang No.9 tahun 1998 yang berisi tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum. Tata cara berdemonstrasipun dinyatakan didalam UU tersebut. Bentuk
penyampaian pendapat dimuka umum ini dapat berupa unjuk rasa atau demonstrasi, pawai,
rapat umum, dan mimbar bebas. Ketentuan ini dinyatakan didalam pasal 9 (2) UU No.9
Tahun 1998. Selain itu, Presiden Habibie juga mencabut UU No. 11/PNS/1963 tentang
Pemberantasan Aksi Subversi dengan mengeluarkan UU No.26 Tahun 1999.
Permasalahan Dwi Fungsi ABRI
Tuntutan untuk mengahapus Dwi fungsi ABRIpun menjadi isu utama dalam agenda
reformasi. Presiden Habibie menganggapi hal tersebut dengan menerapkan berbagai
kebijakan. Kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Habibie, antara lain adalah memisahkan
Kepolisian Republik Indonesia dari tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Kebijakan ini mulai diterapkan pada 5 mei 1999. Pembenahan Dwi Fungsi ABRI didalam
tubuh pemerintahan dilaksanakan dengan mereduksi keberadaan ABRI didalam DPR.
Pengurangan ini menetapkan hanya 38 kursi yang berasal dari ABRI, sebelumnya terdapat 75
kursi. Dengan demikian, pelaksanaan doktrin Dwi Fungsi ABRI didalam tubuh pemerintahan
dapat dieliminir secara bertahap.
Reformasi Hukum dan Perundang-undangan
Di dalam Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 November 1998, terdapat perombakan
besar-besaran terhadap sistem hokum dan perundang-undangan tersebut. Adapun focus
pembenahan sector hokum dan perundang-undangan ini mengacu pada 12 ketetapan yang
dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu:
Bagian ketetapan yang terdiri dari enam ketetapan MPR baru, antara lainnya sebagai
berikut.
Tap. MPR No. X/MPR/1998, Tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka
penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara
Tap. MPR No. XI/MPR/1998, tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas
korupsi, kolusi dan nepotisme
Tap. MPR No. XIII/MPR/1998, tentang pembatasan masa jabatan Presiden dan wakil presiden
republik Indonesia
Tap. MPR No. XV/MPR/1998, tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pussat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tap. MPR No. XVI/MPR/1998, tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi.
6. Tap. MPR No. XVII/MPR/1998, tentang hak asasi manusia
Bagian ketetapan yang terdiri dari dua ketetapan yang mengubah dan menambah
ketetapan lama.
Tap. MPR No. VII/MPR/1998, tentang perubahan dan tambahan atas ketetapan majelis
permusyawatan rakyat Republik Indonesia nomor I/MPR/1983, tentang peraturan tata tertib
majelis permusyawaratan rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah
dan ditambah terakhir dengan ketetapan majelis permusyawaratan rakyat Republik Indonesia
nomor I/MPR/19988
2.
Tap. MPR No. XIV/MPR/1998, tentang perubahan dan tambahan atas ketetapan
majelis permusyawaratan rakyat Republik Indonesia nomor III/MPR/1988 tentang
pemilihan umum
Bagian yang berisi empat ketetapan yang bersifat mencabut ketetapan-ketetapan MPR
terdahulu, adalah sebagai berikut:
1. Tap. MPR No. IX/MPR/1998.
2.
Tap. MPR No. V/MPR/1998, tentang pemberian tugas dan wewenang khusus
kepada presiden/mandataris majelis permusyawaratan rakyat Republik Indonesia dalam
rangka penyuksesan dan pengamatan pembangunan nasional sebagai pengamalan
pancasila
Era baru dalam reformasi hokum dan perundang-undangan pada masa pemerintahan
Presiden Habibie menjadi semacam pemecah kekakuan sistem hokum di Indonesia selama
Orde Baru.
6. Pemilihan Umum 1999
Ditetapkan 3 undang-undang politik baru yang ditandatangani pada 1 Februari 1999.
Isinya menyangkut undang-undang mengenai partai politik, proses pemilihan umum, serta
susunan dan kedudukan (susduk) MPR, DPR, dan DPRD. Setelah itu presiden membentuk
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil parpol dan
wakil pemerintah. Berdasarkan undang-undang yang telah disahkan pada 1 februari 1999
tersebut, hanya 48 partai politik yang lolos untuk melaju diputaran pemilihan umum dari 112
partai politik yang mendaftar. Panitia yang bertugas untuk menyaring partai-partai politik itu
dinamakan Panitia 11.
Sistem pengaturan pemilu 1999 diatur dalam UU No.3 Tahun 1999. Didalam
peraturan ini, ditetapkan bahwa peraturan pemilihan umu bersifat campuran antara sistem
proporsional dan sistem distrik. Pemilihan umum tingkat nasional akhirnya digelar pada 7
Juni 1999. Dari 48 partai politik yang berpartisipasi didalam pemilu 1999, terdapat 5 partai
besar yang menempati urutan tertinggi, yaitu PDI-P, Golkar, PKB, PPP, dan PAN. Perolehan
jumlah suara partai secara keseluruhan ini juga digunakan untuk menghitung pembagian
antara wakil-wakil yang berasal dari utusan golongan maupun yang berasal dari utusan
daerah.
3.
Premis IMF yang melihat bahwa adanya peningkatan ketahan ekonomi suatu Negara akan
secara langsung berimbas pada peningkatan ketahanan social masyarakat, kemudian
terpatahkan dalam kasus Indonesia. Kondisi social dan ekonomi masyarakat Indonesia tidak
menunjukkan hasil yang membaik. Memburuknya kondisi social dan ekonomi Indonesia
pascareformasi salah satunya dapat dilihat dari poin kebijakan penghapusan subsidi bagi
masyarakat yang disodorkan oleh IMF. Pemerintah tidak boleh memberikan subsidi yang
signifikan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, baik itu dalam bentuk subsidi
usaha maupun proteksionisme terhadap sector ekonomi local. Meningkatnya angka
pengangguran, melambatnya laju pertumbuhan ekonomi, dan makin meningginya angka
kriminalitas menjadi warna dari krisis multidimensi yang dihadapi oleh Indonesia
pascareformasi. Menurunnya investasi asing di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab
melambatnya kinerja ekonomi ini. Perwujudan lapangan pekerjaan menjadi hal yang konkret
untuk menanggulangi krisis multidimensi tesebut. Proyek pembenahan kondisi ekonomi dan
social yang dicanangkan pemerintah era reformasi,antara lain berfokus pada hal-hal sebagai
berikut:
1. Meningkatkan lapangan pekerjaan seoptimal mungkin.
2. Menyediakan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.
3. Optimalisasi fasilitas umum bagi masyarakat.
4. Mengoptimalkan sector pendidikan.
5. Memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk akses kesehatan.
8. Perkembangan Bahasa dan Karya Sastra Pasca Reformasi
Seperti yang dikatakan oleh Zaelani Tamaka perkembangan sastra cenderung
mengikuti perkembangan politik. Kekhasan yang ditimbulkan oleh para pengarang dari
perubahan social ini dimasukkan kedalam sbuah istilah yang mewakili keberadaan para
pengarang yaitu angkatan reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya
karya-karya sastra yang berupa puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik,
khususnya seputar reformasi.
Berbagi bentuk seperti novel, puisi, drama, dan prosa menggambarkan keadaan,
akibat dan semua perasaan yang tercampur baur dengan keadaan politik saat itu. Bahkan,
penyair-penyair yang pada awalnya menulis karya sastra jauh dari tema-tema social politik,
seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun yosi herfanda, dan Acep zamzam noer, juga ikut
menulis sajak-sajak dengan tema social-politik. Namun, wacana tentang keberadaan angkatan
reformasi tidak menarik banyak pihak untuk turut serta menilik dan menikmati karya mereka.
Sehingga oleh Koriee Layun Rampan dilemparkan wacana tentang sastrawan angkatan 2000
yang karya-karyanya banyak berisi masalah-masalah sosial politik.
12. Kelebihan-kelebihan pada masa Reformasi
Munculnya kesadaran masyarakat akan pentingnya reformasi bagi bangsa Indonesia.
Kebebasan berpendapat kembali ditegakkan.
Pengurangan masalah Dwi Fungsi ABRI dalam pemerintahan.
Melakukan reformasi hukum dan perundang-undangan di Indonesia.
Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
Sector social politik Indonesia menjadi terbuka.
Pemilu yang tadinya hanya dapat diikuti oleh 3 parpol saja sekarang dapat diikuti oleh 48
parpol melalui seleksi.
Kekakuan hukum masa Orde Baru menjadi terpecah atau mulai lenyap.
Pemerintah memikirkan masalah social yang dialami masyarakat dengan mewujudkan
program membentuk lapangan pekerjaan bagi pengangguaran.
Corak karya sastra menjadi lebih berwarna dan banyak jenisnya sesuai dengan kondisi
social-politik saat itu.
Pemublikasian karya sastra menjadi lebih mudah dan terbantu karena adanya media
komunikasi.
12. Kekurangan-kekurangan pada masa Reformasi
Adanya perpecahan presepsi antara mahasiswa dan kelompok masyarakat mengenai
pengangkatan B.J Habibie sebagai Presiden.
Tidak adanya pemberian subsidi terhadap masyarakat.
Keputusan reformasi ekonomi yang dibutuhkan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan
masyarakat.
Terlalu dibebani oleh program penyesuaian structural dari IMF.
Posisi militer tidak mendapat tempat yang cukup baik dihati masyarakat.
Penanganan masalah ekonomi dan social menjadi tidak optimal karena konflik politik
internal dalam negeri.
Adanya krisis multidimensi yang dihadapi oleh Indonesia.
Pemerintah hanya terfokus pada perbaikan ekonomi.
Kurangnya minat para pembaca pada karya sastra angkatan reformasi.