Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TUJUAN
Efek Farmakodinamik
Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, anlagesik dan antiinflamasi. Ada
perbedaaan
aktivitas
di
antara
obat-obat
tersebut
misalnya
parasetamol
(asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti inflamasinya lemah
sekali.
Efek analgesik, sebagai analgesik obat mirip aspirin hanya efektif terhadap
nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia,
artralgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen, juga efektif terhadap nyeri yang
berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek
analgesik opiat. Tetapi berbeda dengan opiat, obat mirip aspirin tidak menimbulkan
ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Obat mirip
aspirin hanya mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak mempengaruhi
sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya saraf aferen, tidak teratasi dengan obat mirip
aspirin. Sebaliknya nyeri kronis pasca bedah dapat diatasi oleh obat mirip aspirin.
Efek antipiretik, sebagai antipiretik obat mirip aspirin akan menurunkan suhu
badan hanya pada keadaan demam. Walaupun demikian kebanyakan obat ini
memperlihatkan efek antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik
ksrena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. Fenilbutazon dan
antireumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik
Efek anti inflamasi kebanyakan obat mirip aspirin terutama yang baru lebih
dimanfaatkan sebagai anti inflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal,
seperti arthritis rheumatoid, osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat
bahwa obat mirip aspirin hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang
berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki
atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan muskulosketal ini.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau
tukak peptic yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran
cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat, dua mekanisme
terjadinya iritasi lambung adalah iritasi yang bersifat local yang menimbulkan difusi
2.
3.
4.
bengkak memar dan seterusnya. Penggunaan istilah ini telah dikenal secara tradisi
sejak jaman Yunani dan Tiongkok kuno, ribuan tahun yang lalu. Dari penemuanpenemuan terakhir, para pakar berpendapat bahwa, sebetulnya inflamasi (atau
radang) bukanlah berupa penyakit itu sendiri. Inflamasi diperlukan oleh tubuh
kita, karena proses reaksi biokimia inflamasi di dalam tubuh ditujukan melawan
invasi bakteri dari luar, zat-zat yang negatif bagi sel-sel, jaringan sel, serta organorgan, ataupun bila terjadi luka. Dalam hubungan ini, jenis sel seperti leukocyte,
neutrophil, berperan memusnahkan invasor. Dapat kita gambarkan fungsinya
seperti pasukan keamanan dari sesuatu bahaya yang menyerang keseimbangan
tubuh. Terutama neutrophil, berperan sebagai patrol keamanan tubuh kita, begitu
menemukan sesuatu yang asing ditubuh, serta merta akan memusnahkannya.
Dalam proses inflamasi, chemical mediator (juga disebut lipd mediator karena
berasal dari asam lemak AA, DHA dan EPA) berupa leukotriene dan
prostaglandins, turunan dari AA, memegang peranan penting. Pada waktu yang
bersamaan, proses pemusnahan awal terhadap invasor, neutrophil mengeluarkan
chemical mediator yang mana memberikan sinyal berikutnya merekrut lebih
banyak lagi sel neutrophil dan leukocyte untuk turut beraksi memusnahkan
invasor. Proses pemusnahan ini disebut phagocytosis (kemampuan memakan,
menelan). Dalam proses ini neutrophil mengeluarkan agent, enzyme (reactive
oxygen species, hydrolytic enzymes, dan lain-lain), yang secara umum juga tidak
baik bagi tubuh dan dapat merusak sel, jaringan sel. Pertahanan tubuh telah
menyiapkan mekanisme sedemikian rupa, pada tahap tertentu, aksi selanjutnya
dari neutrophil harus dicegah. Pencegahan tersebut terjadi di mana biosintesa
chemical mediator yang pro-inflamasi, leukotrine, distop, dan beralih ke
biosintesa chemical mediator anti-inflamasi jenis lipoxins.
bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel
kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih
banyak. Granula. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humora
organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan
melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos
antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung Jumlah leukosit
per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir
15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun
sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel darah putih tergantung pada
usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun persentase khas dewasa tercapai.
Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel darah tidak hanya persentase
tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah harus diambil.
Asetosal
Natrium diklofenak
Kontrol Na CMC
Cara Kerja
1. Timbang tikus
2. Berikan tanda batas pada kaki belakang kiri untuk setiap tikus dengan spidol,
agar pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali selalu sama.
3. Pada tahap pendahuluan volume kaki tikus diukur dan dinyatakan sebagai
volume dasar. Pada setiap kali pengukuran volume, tinggi cairan NaCl pada
alat diperiksa dan dicatat sebelum dan sesudah pengukuran, usahakan jangan
sampai ada air raksa yang tertumpah.
4. Tikus diberi obat secara i.p. 25 menit kemdian 0,5 ml larutan karagenan
diberikan pada telapak kaki kiri tikus secara subkutan.
5. Volume kaki yang diberi karagenan diukur setiap 30 menit sampai menit ke
60. Catat perbedaan volume kaki untuk setiap jam pengukuran.
6. Hasil pengamatan dicantumkan dalam table untuk setiap kelompok.
HASIL
Ke
Obat
Bb
Vol
Volume
(g)
awal
Pengukuran
30
60
udem
30
60
5,05
7,61
7,48
2,56
4,77
7,12
4,38
5,80
3,80
3,76
l
1
Asetosal
100
14
mg/kgbb
Asetosal
150
3
17
mg/kgbb
Kontrol
nacmc
2
15
1% bb
Na.diklorofenak
4
15
100 mg/kgbb
Na. Diklorofenak
5
16
150 mg/kgbb
%inhibisi
30
60
2,43
80,28
-23,35
2,23
2,35
-57,04 -19,28
6,35
1,42
1,97
5,06
5,51
1,26
1,71
11,27
13,2
6,23
3,24
2,47
-128
-25,38
GRAFIK
2.45%
2.40%
2.35%
30'
60'
control Nacmc 1% bb
2.50%
2.00%
1.50%
control Nacmc 1% bb
1.00%
0.50%
0.00%
30'
60'
2.26%
2.24%
2.22%
2.20%
2.18%
2.16%
30'
60'
1.00%
0.80%
0.60%
0.40%
0.20%
0.00%
30'
60'
2.00%
1.50%
1.00%
0.50%
0.00%
30'
60'
PEMBAHASAN
Percobaan ini menggunakan alat yang bernama Plethysmometer air raksa
untuk mengindikasikan terjadinya inflamasi pada kaki bawah sebelah kiri tikus,
dengan pengukuran persentase besarnya radang pembengkakan. Caranya, tikus yang
belum diberi obat diberi tanda yang melingkari pergelangan kakinya sampai batas
bulu, lalu kaki tersebut dicelupkan dalam air raksa sampai batas lingkaran tadi dan
diamati tinggi air raksa sebagai konversi volume kaki tikus yang tercelup dalam air
raksa tersebut. Kaki kiri tikus dipakai karena kaki tikus tidak terdapat bulu, sehingga
efek inflamasinya secara fisik dapat diamati lebih jelas karena bulu pada tikus dapat
menghambat pengamatan volume inflamasi yang terbentuk. Untuk memudahkan
pengamatan, karagenan diinjeksikan secara subkutan pada kaki tikus tersebut agar
efeknya lebih cepat. Selain itu, kaki kiri bawah digunakan agar memudahkan pada
saat pencelupan dalam air raksa dan memperhitungkan bahwa kaki bawah ukurannya
lebih besar daripada kaki atas.
Perlakuan yang diberikan pada tikus, sebagai kontrol, adalah pemberian
larutan Na CMC secara intraperitoneal, lalu 25 menit kemudian disuntikkan
karagenan secara subkutan, lalu diamati pembengkakan yang terjadi setiap 30 menit
selama 60 menit. Na CMC berfungsi sebagai injeksi untuk kontrol, yakni digunakan
untuk memperoleh efek yang sama, atau dengan kata lain, sebagai blangko.
Karagenan berfungsi sebagai inflamator, dan disuntikkan secara subkutan pada
telapak kaki kiri bawah tikus untuk memperoleh efek lokal yang cepat. Pengamatan
setiap 30 menit selama 60 menit dilakukan dengan tujuan mengukur besarnya
inflamasi yang terjadi pada kaki tikus akibat injeksi karagenan. Dari hasil
pengamatan secara umum diperoleh bahwa pada t ke 1 ( setelah 30 menit
penyuntikan) tinggi air raksa menurun agak tajam dibandingkan pada t ke 0.
Selanjutnya, pada tiap jam berikutnya tinggi air raksa mengalami peningkatan secara
bertahap, lalu turun pada t ke 60 menit.
Selain itu, dari data di atas dapat dilihat bahwa pada t ke 0 tinggi air raksa
lebih besar dibandingkan dengan t selanjutnya. Seharusnya tidak demikian, hal ini
disebabkan karena pada saat pencelupan kaki tikus ke dalam air raksa, volume air
raksa ada yang hilang dikarenakan kaki tikus bergerak-gerak. Volume tersebut tidak
dihitung sehingga menyebabkan kekeliruan dalam pembacaan tinggi air raksa.
Peningkatan tinggi air raksa terjadi mulai dari t ke 1 secara bertahap, hal ini
menunjukkan pembentukan inflamasi pada kaki tikus, walaupun sangat kecil hingga
nyaris tidak terlihat. Lalu penurunan tinggi air raksa pada t ke 60 menit menunjukkan
bahwa efek injeksi karagenan sudah mulai berkurang sehingga inflamasi yang
terbentuk mulai mereda (dalam hal ini ukuran telapak kaki mengecil) dan kemudian
lama kelamaan akan menghilang. Tikus kontrol ini berguna untuk membandingkan
antara volume inflamasi pada kaki kiri bawah tikus yang tidak diberi obat
antiinflamasi dengan volume inflamasi pada kaki kiri bawah tikus yang diberi obat
antiinflamasi. Inflamasi yang terbentuk diamati, dan ternyata terbukti bahwa
volumenya lebih besar daripada volume inflamasi pada tikus uji. Dalam hal ini,
karagenan yang dinjeksi secara subkutan berhasil menimbulkan efek inflamasi
sebagaimana fungsinya yakni untuk membentuk udem. Pembentukan udem oleh
karagenan tidak menyebabkan kerusakan jaringan meskipun udem dapat bertahan
selama 6 jam dan berangsur-angsur akan berkurang dan setelah 24 jam menghitung
tanpa meninggalkan bekas.
Kemudian perhitungan persentase peradangan (kenaikan volume kaki)
dilakukan dengan membandingkannya terhadap volume dasar sebelum menyuntikkan
karagenan dengan rumus:
radang obat=
Vt Vo
x 100
Vo
bandingkan persentase yang diperoleh kelompok yang diberi obat terhadap kelompok
kontrol pada jam yang sama dan perhitungan persentase inhibisi peradangan
dilakukan dengan rumus:
h ibisi=
bahwa pada menit ke-60 terjadi penurunan besar peradangan. Penurunan besar
peradangan ini kemungkinan disebabkan oleh cara pemberian intrakutan karagenan
pada telapak kaki tikus yang masih salah sehingga karagenan yang bertindak sebagai
penginduksi inflamasi tidak bekerja dengan baik dan cepat pada telapak kaki tikus.
Kemungkinan lain juga bisa disebabkan oleh pengukuran volume kaki tikus yang
tidak tepat karena memang tikus tidak mau mendiamkan kakinya ketika akan
dicelupkan ke dalam air raksa sehingga mungkin saja pencelupan kaki tikus ke dalam
air raksa tidak sesuai tanda batas. Kemungkinan lainnya juga bisa disebabkan karena
pembacaan tinggi air raksa yang tidak tepat oleh praktikan. Dan juga seharusnya tidak
ada nilai negatif pada hasil perhitungan persentase perradangan karena ini
menandakan bahwa volume awal (Vo) yang dipakai bukanlah volume yang
sebenarnya yang kemungkinan disebabkan oleh tidak tepatnya pengukuran tinggi air
raksa volume kaki tikus.
KESIMPULAN
-
Inflamasi terjadi karena reaksi antara antigen dengan antibodi yang dapat
merangsang pelepasan mediator radang sehingga terjadi vasodilatasi
pembuluh kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang, yang mengakibatkan
hiperemia dan udem pada daerah terjadinya inflamasi.
DAFTAR PUSTAKA
Astawa, P.; Bakta, M.; Budha, K. (2008). Makrofag Pengekspresi IL-1 serta
Respons Inflamasi Sistemik pada Fiksasi Interna Dini Fraktur Femur
Tertutup Lebih Rendah Dibandingkan dengan yang Tertunda.
Effendi, Z., dr. (2007). Peranan Leukosit sebagai Antiinflamasi Alergik dalam Tubuh.
Munaf ST; Syamsul. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Staf Pengajar
Laboratorium Farmakologi-FK UNSRI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal 214.
Mycek,M.J. (1995). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Jakarta: Widya
Medika. Hal 404.
Neal, M.J. (2006). Farmakologi Medis At Glance. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit PT
Erlangga. Hal 70-71.
Wilmana, P.F. (1995). Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid Dan
Obat Pirai, dalam Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistia G. Ganiswara.
Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. Hal 207-209.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
ANTI INFLAMASI
OLEH:
HALINDA ALIZAR (1201037)
KELOMPOK IV GANJIL
TANGGAL PRAKTIKUM : 24 DESEMBER 2013
DOSEN: Dra. Syilfia Hasti M.Farm,Apt
Asisten:
1. Deri islami
2. Kurnia andini
Program studi S1 farmasi
Sekolah tinggi ilmu farmasi riau
2013