vii
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
viii
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
ix
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Berpikir kritis merupakan salah satu tujuan dalam pembelajaran matematika. Untuk itu, di setiap
pembelajaran matematika harus didesain dalam rangka mengembangkan kemampuan berpikir
kritis, tak terkecuali pada pembelajaran luas daerah bidang dan volum benda putar. Salah satu
cara untuk melatih kemampuan berpikir kritis adalah dengan memberikan soal-soal analisis
pada pembelajaran matematika. Makalah ini akan mendiskripsikan kemampuan berpikir kritis
mahasiswa dalam menyelesaikan soal analisis berkaitan dengan luas daerah bidang dan volume
benda putar. Subjek penelitian ini adalah 31 mahasiswa 2010 C prodi pendidikan matematika
yang memprogram kalkulus II. Setiap subjek dikenai 2 tes, yaitu tes berpikir kritis I (TBK I)
berkaitan dengan luas daerah bidang dan tes berpikir kritis II (TBK II) berkaitan dengan volum
benda putar. Hasil tes dianalisis menggunakan rubrik kemampuan berpikir kritis. Hasil analisis
menunjukkan pada TBK I, 5 mahasiswa kemampuan berpikir kritisnya tinggi, 13 mahasiswa
kemampuannya sedang dan 13 mahasiswa kemampuannya rendah. Pada TBK II, 6 mahasiswa
kemampuan berpikir kritisnya tinggi, 14 mahasiswa kemampuannya sedang dan 11 mahasiswa
kemampuannya rendah.
Kata kunci: kemampuan berpikir kritis, soal analisis
1. Pendahuluan
Pembelajaran matematika di perguruan tinggi seharusnya menjadi rujukan bagi pelaku-pelaku
pembelajaran matematika di jenjang pendidikan sebelumnya. Ironisnya, harapan itu belum
sepenuhnya terwujud. Salah satu penyebabnya adalah pembelajaran matematika di perguruan
tinggi belum sepenuhnya didesain untuk melatih kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis,
kritis, dan kreatif yang seharusnya menjadi fokus di setiap pembelajaran matematika. Hal itu
pula yang sering terlihat pada pembelajaran kalkulus II.
Kalkulus II merupakan salah satu mata kuliah yang harus ditempuh mahasiswa jurusan
matematika pada tahun pertama semester genap. Diskripsi mata kuliah ini adalah Pengkajian
tentang konsep integral tak tentu (anti turunan) fungsi real dengan satu peubah (definisi anti
turunan, teknik-teknik pengintegralan), integral tertentu fungsi real dengan satu peubah
(pegertian integral tertentu, sifat-sifat integral tertentu, teorema dasar kalkulus, mengubah
peubah, integral tak wajar), penggunaan integral tertentu fungsi real dengan satu peubah (luas
bidang datar, panjang busur, volume benda putar, volume benda yang diketahui penampangnya,
luas permukaan putar, dan pusat massa) melalui belajar aktif dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komputer yang mengoptimalkan kemampuan berpikir dan komunikasi,
keterampilan sosial maupun kepribadian.
Dari deskripsi mata kuliah tersebut tersirat bahwa pada perkuliahan kalkulus II harus
mengoptimalkan kemampuan berpikir mahasiswa yang di dalamnya terdapat kemampuan
berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan proses intelektual yang meliputi mengaplikasikan,
menganalis, mensintesis, mengevaluasi informasi, mengobservasi, merefleksi, sebagai dasar
untuk mempercayai dan melakukan sesuatu. (NCTM dalam Paul, 1993). Sedang, Halpern
1
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
(1984) menggambarkan berpikir kritis sebagai proses berpikir yang terarah dan bertujuan.
Dengan demikian berpikir kritis adalah kegiatan berpikir yang beralasan berdasarkan faktafakta dan argumen yang valid sebagai acuan untuk melakukan sesuatu maupun mengambil
keputusan.
Pada pembelajaran kalkulus II selama ini, ada kecenderungan lebih menekankan pada aspek
menghitung atau menerapkan rumus dan teorema. Misalnya, setelah dosen menjelaskan definisi
integral tak tentu (antiderivatif), mahasiswa langsung disuruh menentukan antiderivatif dari
fungsi tertentu. Dosen jarang bahkan hampir tidak pernah mengajukan pertanyaan analisis untuk
melatih kemampuan berpikir kritis mahasiswa dalam membaca definisi. Misalnya, dari definisi
integral tak tentu (antidrivatif), dosen seharusnya dapat mengajukan pertanyaan, apakah
antiderivatif dari suatu fungsi itu tunggal, beri penjelasan.
Hasil tes kemampuan berpikir kritis awal mahasiswa yang mengikuti mata kuliah kalkulus II
menunjukkan, dari 31 mahasiswa, hanya 8 orang yang dapat menjawab dengan benar dengan
argumen maupun penjelasan yang belum meyakinkan. Tes ini meminta mahasiswa untuk
menentukan kebenaran pernyataan, Jumlah riemann dari fungsi f mungkin sama dengan nol
atau negatif dan memberikan alasannya.
Fakta ini menunjukkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa masih belum baik. Fakta lain
menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa semester 5 merasa kesulitan saat mengikuti
mata kuliah analisis real yang di dalamnya menuntut ketrampilan berpikir tingkat tinggi yang
salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis. Untuk itu, dibutuhkan upaya sejak dini (tahuntahun awal mahasiswa) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa.
Pembelajaran kalkulus II mempunyai peluang untuk memfasilitasi mahasiswa dalam
mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya.
Karakteristik materi kalkulus II memungkinkan dosen untuk melatih kemampuan berpikir kritis
mahasiswa, salah satunya dengan memberikan pertanyaan analisis. Pertanyaan analisis
merupakan pertanyaan yang menuntut mahasiswa memecah permasalahan kompleks menjadi
bagian-bagian yang lebih sederhana dan menentukan hubungan masing-masing bagian
(Airisian, et al, 2001). Pertanyaan analisis adalah pertanyaan yang menuntut mahasiswa
memecah permasalahan kompleks menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana dan menentukan
hubungan masing-masing bagian. Beberapa pertanyaan yang termasuk pada kategori analisis:
1) menentukan hubungan satu ide dengan ide yang lain,
2) menentukan ide-ide pokok,
3) menentukan informasi yang relevan dan memberikan argumen yang sah dari setiap
yang dikatakan maupun yang ditulis.
Pertanyaan analisis ini dapat diberikan dosen pada saat-saat berikut.
1) ketika atau setelah menjelaskan suatu definisi atau teorema;
2) setelah memberikan contoh definisi atau aplikasi suatu teorema;
3) di akhir pembelajaran.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian
ini adalah 31 mahasiswa angkatan 2010 C program studi pendidikan matematika FMIPA
Universitas Negeri Surabaya. Instrumen penelitian ini adalah Tes Berpikir Kritis (TBK) I dan
Tes Berpikir Kritis II. TBK I berkaitan dengan luas daerah bidang dan TBK II berkaitan dengan
volum benda putar. Berikut TBK I dan II tersebut:
Tes Berpikir Kritis I
1) Diketahui x = f(y) dan x = g(y) adalah fungsi kontinyu pada [a,b]. Jika f(y)0 dan g(y)<0
untuk setiap y [a,b]. Jika R menyatakan daerah yang dibatasi oleh kurva x = f(y), x =
g(y), y = a dan y = b, maka susunlah integral (tanpa menghitungnya) untuk
menentukan luas daerah R dengan terlebih dahulu mensketsa gambarnya?
2) Benar atau salah pernyataan, luas daerah yang dibatasi oleh kurva y = f(x), y = g(x), x
= a dan x = b adalah [ ( ) ( )]
atau negatifnya. Berikan argumen.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Skor
Keterangan
Ketepatan sketsa
0-3
Keruntutan
pengerjaan
langkah 0-2
Kebenaran
Jawaban 0-2
tiap langkah
Kebenaran
menyimpulkan
pernyataan
0-1
Argumen
0-2
Keterangan:
Skor Maksimal
: 10
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Berikut hasil tes berpikir kritis mahasiswa pada TBK I dan II.
Tabel 3.1: Hasil Tes Berpikir Kritis I dan II
TBK II
TBK I
TBK I
No.
Mhs
1
Skor
Ket.
Skor
Ket.
No.
Mhs
17
TBK II
Skor
Ket.
Skor
Ket.
18
19
20
21
22
23
24
10
25
10
10
26
11
27
12
28
13
29
14
10
10
30
15
31
16
Keterangan:
R
: Rendah
: Sedang
: Tinggi
Dari tabel 3.1 di atas banyak mahasiswa tiap kategori kemampuan berpikir kritis pada TBK I
dan II dapat dilihat pada tabel berikut:
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Tabel 3.2 : Jumlah Mahasiswa tiap Kategori Kemampuan Berpikir Kritis pada TBK I dan II
TBK II
Kemampuan
Berpikir Kritis
TBK I
JM
JM
Tinggi
16,32
19,36
Sedang
13
41,94
14
45,16
Rendah
13
41,94
11
35,48
No.
Keterangan :
JM : Jumlah Mahasiswa
Dari hasil TBK I dan II masih banyak mahasiswa yang berada pada kemampuan berpikir kritis
kategori rendah, yaitu 13 mahasiswa dan 11 mahasiswa. Beberapa kemampuan yang masih
kurang antara lain:
1) mahasiswa kurang tepat dalam mensketsa gambar, artinya kemampuan representasi
mahasiswa belum baik. Maksudnya mahasiswa kurang mampu menerjemahkan kalimat
matematika ke dalam representasi gambar. Sebagai contoh: Soal no. 1 pada TBK I,
mahasiswa menggambar kurva x = g(y) < 0 di atas sumbu-y, sedang pada TBK II soal no. 1,
mahasiswa menggambar kurva f(x) < g(x) < c dengan f fungsi non negatif terbalik, yaitu f(x)
di atas g (x) dan g (x) di atas y = c. Selain itu ada mahasiswa juga yang salah dalam
menentukan daerah yang diputar terhadap garis y = c.
2) Kemampuan untuk melihat kemungkinan dari sebuah situasi belum baik. Sehingga hanya
satu mahasiswa yang menjawab benar untuk soal no 2 pada TBK I. Mahasiswa tersebut
menjawab salah, dengan argumen bahwa kalau pada interval [a,b] ada c sedemikan hingga
kurva f dan g berganti posisi (artinya ketika pada interval [a,c) f di atas g namun pada
interval (c,b] f di di bawah g) maka pernyataan tersebut salah. Mahasiswa lainnya tidak ada
yang berpikir ada c dengan sifat seperti itu.
3) Kemampuan berargumen masih belum baik. Contoh, sebagian mahasiswa (15 mahasiswa)
dapat menjawab dengan benar bahwa daerah yang dibatasi oleh kurva y = x x2 dan sumbu
x jika diputar terhadap x = 0 dan x = 1 mempunyai volum yang sama (soal no. 2, TBK II).
Namun hanya 1 mahasiswa yang argumennya tepat.
4) Kemampuan dalam menentukan integral untuk menentukan luas daerah belum baik. Contoh
Mahasiswa menulis luas daerah untuk soal no. 1 TBK I sebagai berikut.
( )
( )
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa
setelah pembelajaran dengan tugas yang memuat pertanyaan analisis adalah sebagai
berikut:
1)
2)
4.2
Saran
Perlu upaya terus-menerus untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Salah
satunya pembelajaran yang melatih mahasiswa untuk membuat berbagai representasi, melatih
untuk menemukan setiap kemungkinan jawaban dari suatu masalah dan melatih untuk
berargumen dari setiap jawaban yang dikemukakan.
5. Pustaka
Abrory, Cholis. (2004). Berpikir Kritis (Critical Thinking) dalam Profesi
Dokter.(http://www.elearning.
Unej.ac.id/Courses/DOLLIS/document/Berpikir
Kritis.pdf? Diakses pada tanggal 5 Januari 2011
Airasian W., et.al (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing (A Revision of
Blooms Taxonomy of Educational Objectives.: Addison Wesley, Longman, Inc. New
York.
Erman, Suherman, dkk (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, IMSTEP, Jica
: Bandung
Halpern F. Diane (1984). Thought and Knowledge An Introduction to Critical Thinking,
Lawrence Erlbaum Associates, Inc., New Jersey.
Purcell J. Edwin, Varberg Dale. Calculus with Analytic Geometry. (fifth edition). Prentice-Hall
International Edition
Rosyada. (2004). Paradigma Pendidikan Demokratis. Kencana: Jakarta
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Teori kecerdasan majemuk yang diungkapkan Gardner menjelaskan bahwa seorang siswa akan
dapat mempelajari suatu materi dengan baik apabila materi tersebut disampaikan sesuai dengan
kecerdasan yang menonjol pada siswa tersebut. Oleh karena kecerdasan siswa beragam, dalam
proses pembelajaran guru dituntut untuk dapat memfasilitasi setiap kecerdasan yang ada. Asas
pembelajaran di RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) mengamanatkan untuk
melibatkan kecerdasan majemuk dalam proses pembelajaran matematika. Makalah ini mencoba
mendeskripsikan aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan pada materi balok dan kubus di
kelas VIII RSBI-SMP yang melibatkan delapan jenis kecerdasan majemuk, yaitu kecerdasan
verbal/linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan visual/spasial, kecerdasan kinestetik,
kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan
naturalis. Beberapa aktivitas yang dimaksud adalah berkunjung ke pos-pos informasi untuk
mengidentifikasi unsur dan sifat balok dan kubus, menggulung model kubus/balok untuk
menemukan jaring-jaring kubus/balok, menyelesaikan soal di Seeker Card, mengerjakan dan
mempresentasikan hasil kerja LKS secara berkelompok, menuliskan refleksi selama mengikuti
pembelajaran di Reflection Card, dan menyanyikan lagu Cuboid and Cube.Makalah ini
merupakan bagian dari hasil penelitian pengembangan perangkat pembelajaran matematika
yang melibatkan kecerdasan majemuk pada materi balok dan kubus untuk kelas VIII SMP.
Kata kunci: kecerdasan majemuk (multiple intelligences), balok dan kubus, kelas VIII RSBISMP.
1. Pendahuluan
Gardner telah merumuskan teori kecerdasan yang disebut kecerdasan majemuk (multiple
intelligence). Dalam buku Frames of Mind (1983), ia menyebutkan tujuh jenis kecerdasan yaitu
kecerdasan verbal/linguistik, kecerdasan visual/spasial, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan
musik,kecerdasan tubuh/kinestetik, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan intrapersonal.
Bahkan dalam buku terakhirnya, Intelligence Reframed (1999), Gardner menambahkan dua
jenis kecerdasan lain yaitu kecerdasan naturalis dan kecerdasan eksistensial (Efendi, 2005:140).
Kesembilan kecerdasan itu terdapat dalam setiap orang dengan variasi kecerdasan dominan
yang berbeda-beda. Seseorang mungkin menonjol pada beberapa jenis kecerdasan, tetapi ia
lemah pada beberapa kecerdasan yang lain. Sebagai contoh, seseorang yang menonjol pada
kecerdasan kinestetik dan kecerdasan musik mungkin saja lemah pada kecerdasan logismatematis. Meski demikian, kecerdasan yang lemah ini masih bisa dikembangkan, salah
satunya melalui pendidikan. Pendidikan seharusnya membantu agar setiap kecerdasan pada diri
seseorang berkembang optimal. Oleh karena itu, pembelajaran yang dilakukan di sekolah
seharusnya juga didesain untuk mengembangkannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
Gardner (dalam Suparno, 2004:15) bahwa meskipun siswa hanya menonjol pada beberapa jenis
8
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
kecerdasan,
mereka
dapat
dibantu lewat
mengembangkan kecerdasan yang lain sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan hidup
yang lebih menyeluruh.
Berdasarkan teori kecerdasan majemuk, seorang siswa akan dapat mempelajari suatu materi
dengan baik apabila materi itu disampaikan sesuai dengan kecerdasan yang cocok dengan
kecerdasan yang menonjol pada siswa tersebut. Misalnya, seorang siswa yang dominan pada
kecerdasan kinestetik akan mudah mempelajari matematika jika diajarkan dan disajikan dalam
bentuk ekspresi gerakan; sedangkan jika diajarkan secara logis-matematis, ia akan mengalami
kesulitan. Oleh karena kecerdasan siswa di dalam kelas beraneka ragam, guru dituntut untuk
menggunakan metode, bahan ajar, dan media pembelajaran yang beraneka ragam pula agar
setiap siswa dapat dibantu sesuai dengan kecerdasan yang mereka miliki.
Pada kenyataannya, praktik pembelajaran yang dilakukan guru kurang memperhatikan
keragaman kecerdasan pada diri siswa. Guru cenderung mengajar sesuai dengan kecerdasan
yang menonjol pada dirinya atau sesuai dengan kecerdasan yang banyak dikembangkan pada
materi yang diajarkan. Sebagai contoh, dalam pembelajaran matematika, beberapa guru lebih
banyak melibatkan kecerdasan logis-matematis daripada kecerdasan lain dalam mengajarkan
suatu konsep dan keterampilan matematika. Padahal Adams (2001) mengemukakan, Each
child may use a variety of these intelligences to learn mathematics concept and skills, not just
the logical-mathematical. Kutipan ini menunjukkan bahwa setiap siswa dapat mempelajari
matematika menggunakan variasi kecerdasan yang berbeda-beda walaupun matematika
dibangun atas dasar pemikiran logis, kritis dan deduktif yang lebih banyak melibatkan
kecerdasan logis-matematis.
Gardner (2003: 29) mengungkapkan bahwa hal yang paling penting dalam praktik
pembelajaran adalah guru mampu mengenali dan memelihara keragaman kecerdasan siswa
karena mereka memiliki kombinasi kecerdasan yang berbeda-beda. Untuk dapat melibatkan
kecerdasan majemuk dalam pembelajaran matematika, diperlukan pembelajaran yang sesuai
dengan teori kecerdasan majemuk. Armstrong (2009:64) berpendapat, the best way to
approach curriculum using the theory of multiple intelligences is by thinking about how one can
translate the material to be taught from one intelligence to another. Hal ini berarti untuk
melaksanakan pembelajaran matematika yang melibatkan kecerdasan majemuk dapat dilakukan
dengan cara memikirkan bagaimana sebuah konsep atau keterampilan matematika yang
diajarkan, diterjemahkan dari simbol matematis yang merupakan simbol kecerdasan logismatematis ke dalam simbol kecerdasan lain seperti bahasa, gambar, ekspresi musik dan fisik,
interaksi sosial,
refleksi diri, dan alam. Oleh karena itu, Armstrong (2009: 65-67)
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
3.
optimal, guru harus memperhatikan potensi yang dimiliki siswa, termasuk kecerdasan. Guru
perlu menyadari bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing siswa adalah beragam.
Oleh karena itu, guru perlu mengelola pembelajaran dengan memperhatikan keberagaman
kecerdasan tersebut pada materi yang diajarkan. Dengan cara ini, guru dapat memunculkan dan
mengakui bakat khusus masing-masing siswa sehingga siswa merasa difasilitasi untuk
mengembangkan kecerdasannya masing-masing.
Berikut ini adalah contoh-contoh aktivitas pembelajaran yang melibatkan kecerdasan
majemuk pada materi balok dan kubus di kelas VIII RSBI-SMP. Aktivitas-aktivitas ini telah
dilaksanakan dalam uji coba terbatas perangkat pembelajaran berbahasa Inggris yang
melibatkan kecerdasan majemuk di kelas VIII-E SMP Negeri 1 Bojonegoro tahun ajaran
2010/2011. Aktivitas pembelajaran dilaksanakan dalam empat kali pertemuan untuk submateri
unsur dan sifat balok dan kubus, jaring-jaring balok dan kubus, luas permukaan balok dan
kubus, dan volume balok dan kubus.
3.1 Berkunjung ke pos-pos informasi
Tujuan dari aktivitas ini adalah agar siswa mampu mengidentifikasi unsur dan sifat balok
dan kubus. Setelah dibagi ke dalam kelompok-kelompok, siswa diberi tugas untuk mengerjakan
LKS. Untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam LKS tersebut, siswa diharuskan berkeliling
menuju pos-pos informasi yang dapat membantu dalam mengerjakan soal-soal di LKS. Setiap
pos mewakili unsur-unsur dan sifat-sifat balok dan kubus yang dapat ditelusuri dengan cara
melakukan aktivitas yang mendorong siswa untuk melibatkan kecerdasan majemuknya. Tabel
berikut ini menunjukkan distribusi pos-pos yang harus dilalui siswa selama pembelajaran
berlangsung.
Tabel 1. Pos-Pos yang dilalui Kelompok
11
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Pos
Aktivitas Siswa
Kecerdasan
yang terlibat
Memahami teks surat dan balasan dari seorang siswa kepada gurunya
tentang sisi balok dan kubus (faces of cuboid and cube)
verbal/linguistik
logis-matematis
Memahami teks dialog bergambar antara dua siswa yang sedang verbal/linguistik
berdiskusi tentang rusuk balok dan kubus (edges of cubod and cube)
logis-matematis
visual/spasial
Memahami teks bacaan tentang titik sudut (vertices of cuboid and cube)
verbal/linguistik
Kinestetik
logis-matematis
Kinestetik
logis-matematis
Kinestetik
logis-matematis
Berikut ini cuplikan dialog untuk Pos 2 yang membantu siswa dalam memahami rusuk balok
dan kubus.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Jaring-jaring kubus
P : Putih
B : Biru
H : Hitam
Jaring-jaring balok
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
14
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
melibatkan kecerdasan majemuk pada materi balok dan kubus untuk kelas VIII SMP. Perangkat
pembelajaran yang diperoleh disebut baik jika perangkat ini valid, praktis, dan efektif.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar validasi perangkat pembelajaran, lembar
pengamatan keterlaksanaan pembelajaran dan aktivitas pelibatan kecerdasan majemuk siswa,
angket respons siswa, dan lembar Tes Hasil Belajar. Perangkat ini diujicobakan secara terbatas
kepada 25 siswa kelas VIII-E SMP Negeri 1 Bojonegoro tahun ajaran 2010/2011.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang dihasilkan termasuk
dalam kategori baik. Perangkat pembelajaran valid, yang ditunjukkan oleh nilai rata-rata total
validasi RPP sebesar 3,96 (valid), buku siswa sebesar 3,72 (valid), LKS sebesar 4,02 (sangat
valid), dan lembar penilaian sebesar 3,86 (valid). Perangkat pembelajaran praktis, yang
ditunjukkan oleh rata-rata dari para validator yang menyatakan bahwa perangkat pembelajaran
dapat digunakan dengan sedikit revisi, dan keterlaksanaan pembelajaran dalam kategori baik
dengan rata-rata sebesar 3,95. Perangkat pembelajaran efektif, yang ditunjukkan oleh aktivitas
pelibatan kecerdasan majemuk siswa efektif dengan persentase 89,46%, ketuntasan klasikal
tercapai, dan respons siswa positif.
6. Pustaka
Adams, Thomasenia Lott. 2001. Helping Children Learn Mathematics Through Multiple
Intelligence and Standards for School Mathematics. ProQuest Education
Journals,Volume 2, No. 77.
Armstrong, Thomas. 2009. Multiple Intelligences in The Classroom. Third Edition. Virginia
USA: ASCD.
16
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Bellanca, James. 2011. 200+ Strategi dan Proyek Pembelajaran Aktif untuk Melibatkan
Kecerdasan Siswa. Edisi Kedua. Terjemahan oleh Siti Mahyuni. Jakarta: Indeks.
BSNP. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar 2006 Mata Pelajaran Matematika
Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Depdiknas. 2008. Mathematics Students Book for Junior High School Year VIII. Jakarta:
Directorate General of Management of Primary and Secondary Education.
Depdiknas. 2008. Pengertian RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional),
(http://file.upi.edu/Direktori/A%20%20FIP/JUR.%20ADMINISTRASI%20PENDIDIKAN/197907122005011%20%20NURDIN/PENGERTIAN%20RSBI.pdf, diakses 10 Februari 2011).
Efendi, Agus. 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21. Bandung: Alfabeta.
Gardner, Howard. 2003. Multiple Intelligence : Kecerdasan Majemuk, Teori dan Praktek.
Batam: Interaksara.
Suparno, Paul. 2004. Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah. Yogyakarta:
Kanisius.
17
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
*1,2
Fakultas Sain dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, yogyakarta
aisah.badawi@yahoo.com
Abstrak
Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam yang disingkat Yaketunis menampung siswa tunanetra
dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi di Yogyakarta. Sebagian besar
siswa yang tinggal di yayasan mengalami banyak kesulitan belajar karena keterbatasan mereka.
Salah satunya dalam belajar matematika karena matematika merupakan ilmu pengetahuan yang
bersifat abstak, seperti membaca grafik, integral, limit dan sebagainya. Program yang dapat
dilakukan dalam membantu kesulitan belajar matematika siswa tunanetra salah satunya adalah
Program Pembelajaran Individual(PPI). Program Pembelajaran Individual (PPI) merupakan
program pembelajaran yang disusun untuk membantu peserta didik yang berkebutuhan khusus
sesuai dengan kebutuhannya. Dalam program pembelajaran individual komponennya mencakup
kurikulum dan penempatan untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus, serta berbagai aspek
yaitu orang tua dan lembaga yang terkait. Dalam pelaksanaan program ini dapat memanfaatkan
alat peraga matematika yang menunjang pembelajaran. Selain itu, dapat mengkonfersikan
catatan pelajaran matematika ke dalam bentuk braile sehingga membantu dalam pemahaman
mereka. Melalui program ini berpeluang besar membantu siswa tunanetra dalam belajar
matematika.
Kata kunci: Tunanetra, Program Pembelajaran Individual (PPI)
1. Pendahuluan
Tuhan menciptakan makhluk di dunia ini dengan beragam wujud. Ada yang berwujud
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan makhluk-makhluk lainnya. Dari beberapa wujud
makhluk tersebut juga terbagi dengan bermacam-macam keanekaragaman. Pada tumbuhan ada
yang tumbuh dengan tinggi dan besar, tetapi ada juga yang tumbuh besar dan berukuran pendek.
Pada hewan juga banyak keragaman. Ada hewan yang merayap, melata, pemakan hewan,
pemakan tumbuhan, bergigi taring dan masih banyak keragaman yang lainnya.
Keanekaragaman pada manusia juga beranekaragam. Manusia dianugrahi oleh Tuhan
dengan banyak kekurangan dan kelebihan. Setiap manusia memilikinya tersebut. Ada yang
tampan, cantik, kaya, miskin, pintar, berambut panjang, berkepala botak, berkaki cacat, bermata
buta, cacat mental, bertubuh kecil dan masih banyak lagi keragaman tersebut.
Selain adanya beberapa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki mahluk hidup
khususnya pada manusia, manusia hidup di dunia ini juga membutuhkan adanya interaksi.
Interaksi ini dibutuhkan supaya antar sesama manusia bisa saling menjalin hubungan yang
harmonis, serasi dan baik dengan cara saling membantu, menyayangi, menghormati,
menghargai dan peduli terhadap lainnya. Salah satu wadah yang sangat membantu manusia
18
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
untuk bisa belajar dan mengembangkan interaksi dengan baik adalah di sekolah yaitu melalui
pendidikan.
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang wajib ditempuh oleh seluruh warga
Indonesia. Perhatian pemerintah terhadap pemerintah juga cukup tinggi. Misalnya, dengan
mengadakan wajib belajar 9 tahun bagi seluruh warganya, mengadakan bantuan operasional
sekolah kepada sekolah-sekolah untuk membantu dalam operasional kegiatan pembelajaran.
Selain itu, ada juga beberapa beasiswa yang pemerintah keluarkan. Semua itu dilakukan
pemerintah untuk bisa memajukan pendidikan di Indonesia.
Adanya pendidikan di Indonesia tidak hanya ditujukan untuk orang-orang yang normal
saja. Akan tetapi, pendidikan juga diwajibkan bagi para orang-orang yang berkebutuhan khusus,
misalnya para tunanetra. Bentuk perhatian pemerintah terhadap pendidikan para tunanetra di
Indonesia sudah cukup bagus meskipun di beberapa daerah atau lembaga-lembaga pendidikan
tertentu belum bisa melaksanakan pelayanan dengan maksimal.
Anak-anak tunanetra merupakan salah satu anak yang berkebutuhan khusus yang perlu
diperhatikan oleh kita semua. Banyak dari mereka yang bisa menempuh pendidikan sampai ke
perguruan tinggi. Akan tetapi, banyak dari mereka yang menjalani pendidikannya sedikit
terlambat dibandingkan dengan anak seusia mereka. Meskipun demikian, semangat dan
keinginan mereka dalam menempuh pendidikan memang sangatlah tinggi meskipun dengan
keterbatasan yang mereka miliki dan juga dengan beberapa hambatan yang mereka hadapi.
Di Yogyakarta terdapat wadah yang menampung anak-anak tunanetra yang ingin
menempuh pendidikan selayaknya anak-anak normal pada umumnya yaitu Yaketunis. Yayasan
Kesejahteraan Tuna Netra Islam yang disingkat Yaketunis berada di Jalan Parangtritis No. 46
Yogyakarta.
Abasa Ayat 3 dan4 yang menjelaskan bahwa tunanetra memiliki potensi untuk diberikan
pendidikan dan pembelajaran di bidang mental, spiritual, agama dan keterampilan, kecerdasan
serta ilmu pengetahuan sehingga perlu didirikan lembaga atau yayasan sebagai sarana atau
wadah untuk melaksanakan dan mengamalkan ayat tersebut.
Berdirinya Yaketunis merupakan ide dari seorang tunanetra bernama Supardi
Abdusomat. Pada saat itu beliau berkunjung ke Perpustakaan Islam di Jalan Mangkubumi No.
38 menemui Bapak H. Moch. Solichin Wakil kepala Perpustakaan Islam. Kedatanagn beliau
bermaksud sharing kepada Bapak H. Moch. Solichin mengenai bagaimana caranya mengangkat
harkat martabat warga tunanetra. Akhirnya disepakati untuk mendirikan yayasan yang diberi
nama Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) yogyakarta pada tanggal 12 Mei
1964 dengan alamat Jalan Mangkubumi No. 38 Yogyakarta.
19
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Yaketunis sendiri mempunyai Sekolah Dasar Luar Biasa atau SDLB dan Madrasah
Tsanawiyah Luar Biasa atau MTSLB setingkat Sekolah Menengah Pertama atau SMP. Selain
menampung siswa yang belajar di sekolah-sekolah tersebut, Yaketunis juga menampung siswa
tunanetra yang belajar di sekolah reguler di Yogyakrta dari SMA sampai jenjang perguruan
tinggi. Kegiatan mereka selama di Yayasan adalah belajar bersama baik belajar ilmu agama
islam maupun belajar ilmu umum dari sekolah formalnya.
Fasilitas yang disediakan untuk belajar agama Islam sudah cukup memadahi. Al-quran
dan buku-buku islam dalam huruf braile sudah tersedia di perpustakaan. Sedangkan untuk
belajar pelajaran dari sekolah formalnya khususnya pelajaran matematika memiliki beberapa
kendala yaitu mengenai ketersediaan fasilitas belajar yang mendukung bagi anak-anak
tunanetra. Seperti buku-buku pelajaran dalam huruf braile serta media pembelajaran yang
membantu anak dalam belajar matematika. Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang
bersifat abstak, seperti membaca grafik, integral, limit dan sebagainya. Program yang dapat
dilakukan dalam membantu kesulitan belajar matematika siswa tunanetra salah satunya adalah
Program Pembelajaran Individual(PPI).
Seiring dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah Indonesia mengenai penerapan
pendidikan inklusif di beberapa sekolah percontohan, kebutuhan akan pengetahuan mengenai
penyusunan dan pelaksanaan PPI semakin meningkat. Hal ini tidak hanya terjadi diantara para
guru, namun juga pihak orangtua dari siswa berkebutuhan khusus. PPI menjamin akuntabilitas
dimana guru yang bertanggung jawab untuk memberikan instruksi memiliki harapan dan target
kurikulum yang jelas yang harus dipenuhi dan dimonitor. PPI juga dapat mengkompensasi
kekurangan pada kurikulum reguler yang tidak secara komprehensif memuat area yang relevan
dengan kehidupan siswa berkebutuhan khusus. Keterlibatan orangtua tampak saat memberikan
masukan dan informasi mengenai keadaan anak dan aspirasi mereka. Selain itu, PPI
memberikan struktur pembelajaran yang sistematis yang membantu para pendidik memusatkan
diri pada area pembelajaran yang penting.
2. Pembahasan
2.1 Pengertian Program Pembelajaran Individual (PPI)
Program Pembelajaran Individual (PPI) merupakan program pembelajaran yang disusun
dan dikembangkan menjadi suatu program yang didasarkan atas hasil asesmen terhadap
kemampuan individu anak. Oleh karena itu, sebelum seorang guru merumuskan program
pembelajaran individual terlebih dahulu harus melakukan asesmen. Hal ini mutlak dilakukan,
karena dengan melakukan asesmen guru dapat mengungkap kelebihan dan kekurangan anak.
20
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Istilah PPI atau program pembelajaran individu berasal dari bahasa Inggris yaitu
individualized educational program (IEP). PPI pertama kali dikenalkan di Indonesia melalui
lokakarya nasioanl yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah bekerjasama dengan Unesco pada tanggal 21-30 Oktober 1992 di Jakarta. Sampai
saat ini sosialisasi program ini masih terus berjalan, meskipun penyelenggaraan awalnya sejak
hampir 20 tahun yang lalu.
Dalam format pembuatan PPI sampai saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli,
sehingga belum didapatkan format PPI yang formal. Oleh karena itu, antara pihak lembaga
pendidikan yang satu dengan yang lain memiliki format PPI yang berbeda. Pada artikel kali ini
mengupas program PPI yang dilakukan di sebuah yayasan tunanetra di Yogyakarta yaitu di
Yaketunis dengan mengadopsi PPI yang biasanya dilakukan di sekolah inklusi. Program ini
memfasilitasi siswa tunanetra yang tinggal di yayasan sehingga diharapkan dapat meningkatkan
potensi akademik yang ada.
2.2 Format PPI
Adapun format pembuatan PPI adalah sebagai berikut :
2.2.1 Asesmen
Assesment yaitu suatu kegiatan mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan ABK yang
akan kita jadikan objek PPI. Misalnya, dengan menganalisis sampai sejauh mana anak tersebut
mengalami kesulitan dalam belajar khususnya belajar matematikanya. Selain itu, kondisi
ketunanetraan siswa tersebut juga dianalisis. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara observasi
ataupun dengan wawancara. Para pembuat PPI juga perlu dicantumkan dalam kegiatan asesmen
ini.
2.2.2 Perencanaan Program
Setelah kita mengetahui kelebihan dan kelemahan ABK, kemudian dilanjutkan dengan
melakukan perencanaan program yang akan dilakukan untuk melayani kebutuhan ABK sesuai
dengan kebutuhannya. Diantaranya dengan membuat tujuan kegiatan, membuat target kegiatan
dan juga strategi atau metode yang akan dilakukan dalam pelaksanaan PPI. Selain itu, alokasi
waktu dalam pelaksanaan juga perlu dijadwalkan.
2.2.3 Pelaksanaan PPI
Setelah melakukan perencanaan PPI dilanjutkan dengan pelaksanaan PPI. Pelaksanaan
ini dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan pembuatan PPI, seperti
pendamping belajar anak, guru bidang studinya dan juga pihak-pihak ahli yang terkait lainnya.
Kegiatan ini dikontrol dan diawasi secara bersama-sama.
21
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
1. Asesmen
Nama
: Muhammad Furqon.
Tempat tanggal lahir
: Demak, 22 November 1990.
Diagnosa
: Tunanetra.
Unsur Pelaksana
Nama
Jabatan
Tanda
o
Pelaksana
Tangan
Mukti Wigati
Pengawas
.
Aisah Badawi
Guru pelaksana
.
Furqan adalah seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu bernama Maemunah 20
tahun yang lalu di Demak. Dia lahir sebagai seorang tunanetra permanen. Anak ke-6 dari
delapan bersaudara merupakan salah satu anak dari pasangan Mohamad Iqbal dan Maemunah
yang mengalami kebutaan. Kedua kakaknya juga mengalami kebutaan sejak lahir.
Walaupun dia berasal dari keluarga menengah ke bawah tetapi ia dan keluarganya tetap
mengedepankan pendidikan. Kakaknya yang sama-sama tunanetra sekarang kuliah semester tiga
Fakultas Tarbiyah Universsitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sedangkan dia sendiri
sekarang sekolah di MAN Maguoharjo duduk di kelass XII IPS 1.
Keterbatasan yang dimiliki Furqan tidak menghambat ia untuk berprestasi. Ia sangat
tertarik pada bidang olahraga. Pada tahun 2006 ia meraih juara 2 lari Difabel tingkat Provinsi
D.I.Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 2009 ia juga kembali memboyong piala juara 2 lari
Diffabel Provinsi D.I. Yogyakarta. Selain juara di bidang atletik dia juga menjuarai tenis meja
Diffabel di Yayasan tunanetra.
Kemampuan akademik yang dimiliki oleh Furqon cukup bagus yaitu di atas rata-rata
kelas. Nilai yang paling menonjol adalah di mata pelajaran yang bersifat sosial, sedangkan
22
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
untuk mata pelajaran yang sifatnya eksak, dia masih cukup kesulitan untuk mengejar temantemanya.
2. Perencanaan Program
a. Tujuan Program
Membantu ABK tunanetra menemukan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dengan
cara melayani kebutuhan ABK sesuai dengan kebutuhan khususnya yaitu kebutuhan dalam
belajar mata pelajaran eksak khususnya matematika.
b. Target
Pada program ini, prioritas utama adalah meningkatkan kemampuan akademik dan
pemahaman siswa yaitu di mata pelajaran eksak khususnya mata pelajaran matematika. Hal ini
dikarenkan masih kurang maksimalnya kemampuan akademik pada mata pelajaran matematika.
Program ini dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan menggunakan beberapa alat
peraga yang bisa dipergunakan oleh mereka dalam pembelajaran matematika. Merekam materi
yang sekiranya dapat dihafalkan oleh ABK dan masih banyak lagi.
c. Strategi atau metode
Dalam program ini metode yang dilakukan adalah
individual yang dilakukan oleh beberapa relawan yang membantu siswa tunanetra tersebut
belajar. Waktu pelaksanaannya yaitu di luar jam sekolah. Para relawan tersebut dari para
mahasiswa. Materi yang diberikan disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan sekarang ini.
d. Alokasi waktu
Pelaksanaan program PPI dialokasikan selama satu tahuan dengan beberapa kali
pelaksanaan dan beberapa kali evaluasi. Pelaksanaan dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan
siswa ABKnya. Evaluasi dilakukan setiap dua bulan sekali.
3. Pelaksanaan Kegiatan
Pelaksanaan PPI ini dilakukan dengan cara program pendampingan secara individual.
Program ini dilaksanakan di luar jam sekolah. Kegiatan program pendampingan secara
individual ini seperti pendampingan belajar dan pemberian motivasi. Para pendamping tersebut
adalah dari para relawan mahasiswa.
4. Evaluasi
Proses evaluasi dilakuakan dengan beberapa kali tahapan. Dialokasikan dalam satu
tahun dilakukan evaluasi selama 2 bulan sekali. Hal ini ditujukan supaya bisa dilakukan
penanganan secara cepat dalam proses pembelajaran ketika mengalami masalah. Selain itu,
supaya kegiatan PPI ini bisa berjalan dengan efektif dan sesuai dengan target yang diinginkan.
23
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Proses pelaksanaan evaluasi dilakukan dengan cara lisan dan tertulis. Selain itu, proses
evaluasi juga dilakukan dengan melihat hasil belajar siswa ABK, apakah ada kemajuan belajar
atau malah mengalami kemunduran.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
recorder, dan alat peraga. Jumlah media yang tersedia pun sangat terbatas sehingga cukup
menghambat dalam menjalankan program yang ada.
4. Pustaka
Materi
Ajar
Program
Pembelajaran
Individual,
[online],
Avaliable:
http://nardi_ip.lppm.uns.ac.id/2011/02/16/materi-ajar-program-pembelajaran-individualppi/, [8 Oktober 2011]
Program
Pembelajaran
Individual,
[online],
Avaliable:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195505161981011MUSYAFAK_ASSYARI/Pendidikan_ABK/PROGRAM_PEMBELAJARAN_INDIVIDU
AL.pdf, [8 Oktober 2011]
Program
Pendidikan
Individual,
[online],
Avaliable:
http://gulit1.wordpress.com/2009/03/05/program-pendidikan-individual-ppi/, [8 Oktober
2011]
25
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Penilaian berarti menilai sesuatu, sedangkan menilai mengandung arti mengambil keputusan
terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri atau berpegang pada ukuran baik atau buruk, sehat
atau sakit, pandai atau bodoh dan sebagainya. Penilaian sifatnya adalah kualitatif. Evaluasi yaitu
mencakup pengukuran, dan penilaian. Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk menilai
sesuatu. Untuk dapat menentukan nilai dari sesuatu yang sedang dinilai itu dilakukan
pengukuran, dan wujud dari pengukuran adalah pengujian, dan pengujian inilah yang dalam
dunia kependidikan dikenal dengan istilah tes. Hasil belajar adalah kemampuan siswa dalam
memenuhi suatu tahapan pencapaian pengalaman belajar dalam satu kompetensi dasar.
Hasil belajar siswa sejalan dengan tujuan yang tercantum pada indikator Menetapkan indikator,
guru beracuan pada taksonomi Bloom, yaitu pengetahuan (ranah kognitif), sikap (ranah afektif),
dan ketrampilan (ranah psikomotor) yang ketiganya dapat dirinci lagi menjadi bermacammacam kemampuan yang dikembangkan dalam setiap proses pembelajaran.
Kata kunci: Penilaian, hasil belajar.
1. Pendahuluan
1.1 Beberapa Pengertian
1. Penilaian
Pendidikan secara lebih luas dan mendalam, terlebih dahulu dipahami bahwa dalam praktek
acapkali terjadi keracuan atau tumpang tindih (overlap) dalam penggunaan istilah evaluasi,
penilaian, dan pengukuran . Kenyataan seperti itu memang dapat dipahami, mengingat bahwa
diantara ketiga istilah tersebut saling kait-mengkait sehingga sulit untuk dibedakan. Namun
dengan uraian berikut ini kiranya akan dapat membantu memperjelas perbedaan dan sekaligus
hubungan antara pengukuran, penilaian, dan evaluasi.
Pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mengukur sesuatu.
Mengukur pada hakekatnya adalah membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar ukuran
tertentu, misalnya mengukur suhu badan dengan ukuran berupa thermometer dengan hasil
misalnya 360 Celcius, 380 Celcius, dan 400 Celcius. Pengukuran yang bersifat kuantitatif seperti
itu, dalam dunia pendidikan adalah pengukuran untuk menilai yang dilakukan dengan jalan
menguji sesuatu, misalnya mengukur kemajuan belajar peserta didik dalam rangka mengisi nilai
rapor yang dilakukan dengan menguji mereka dalam bentuk tes hasil belajar.
Penilaian berarti menilai sesuatu, sedangkan menilai itu mengandung arti mengambil keputusan
terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri atau berpegang pada ukuran baik atau buruk, sehat
atau sakit, pandai atau bodoh dan sebagainya. Jadi penilaian itu sifatnya adalah kualitatif.
Sedangkan evaluasi mencakup dua kegiatan yang telah dikemukakan terdahulu, yaitu mencakup
26
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
pengukuran, dan penilaian. Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu. Untuk
dapat menentukan nilaidari sesuatu yang sedang dinilai itu dilakukan pengukuran, dan wujud
dari pengukuran adalah pengujian, dan pengujian inilah yang dalam dunia kependidikan dikenal
dengan istilah tes.
2. Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan siswa dalam memenuhi suatu tahapan pencapaian pengalaman
belajar dalam satu kompetensi dasar (Kunandar 2007). Hasil belajar dalam silabus berfungsi
sebagai petunjuk tentang perubahan perilaku yang akan dicapai oleh siswa sehubungan dengan
kegiatan belajar yang dilakukan, sesuai dengan kompetensi dasar dan materi standar yang dikaji.
Hasil belajar bisa berbentuk pengetahuan, ketrampilan, maupun sikap
Hasil belajar siswa yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran di sekolah selalu sejalan dengan
tujuan yang tercantum pada indikator yang sudah direncanakan oleh guru, dimana dalam
menyusun atau menetapkan indikator, guru beracuan pada taksonomi tujuan pendidikan yang
disusun oleh Bloom, yaitu berupa pengetahuan (ranah kognitif), sikap (ranah afektif), dan
ketrampilan (ranah psikomotor) yang ketiganya dapat dirinci lagi menjadi bermacam-macam
kemampuan yang perlu dikembangkan dalam setiap proses pembelajaran (Arikunto, 2005)
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom dalam
Anas (2005), segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah
kognitif. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang
terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang yang dimaksud adalah: (1)
Pengetahuan/hafalan/ingatan; (2) Pemahaman (comprehension); (3) Penerapan (alpication); (4)
Analisis (analysis), (5) Sintesis (synthesis), dan (6) Penilaian (evaluation). Ranah afektif adalah
ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai yang dirinci dalam lima jenjang, yaitu : (1)
menerima atau memperhatikan (receiving atau attending), (2) menanggapi (responding), (3)
menilai = menghargai (valuing), (4) mengatur atau mengorganisasikan (organization), (5)
karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai (characterization by a value or value
complex). Ranah Psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan ketrampilan (skil) atau
kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu (Anas, 2005)
2. Pembahasan
A. Pengertian Skor
Skor adalah hasil pekerjaan menskor (memberikan angka) yang diperoleh dengan jalan
menjumlahkan angka-angka bagi setiap butir soal yang oleh testee telah dijawab dengan betul.
27
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Contoh 1, tes hasil belajar suatu mata pelajaran bentuk tes objektif pilihan ganda dengan jumlah
butir tes 20 (dua puluh), apabila skor total dari 20 butir tes tersebut 100, maka setiap butir tes
jika peserta testee menjawab benar 1 (satu) butir tes maka skor dalah 100 : 20 = 5, jika benar 10,
maka skor adalah 10 x 5 = 50. Angka 50 ini disebut skor (bukan nilai, dan atau bobot).
Contoh 2, hasil pelaksanaan tes hasil belajar bidang studi matematika bentuk tes subjektif esei
menyajikan 5 (lima) butir soal, dengan skor total 80 dengan rincian sebagai berikut :
Soal nomor 1 (kategori mudah) dengan skor = 12
Soal nomor 2 (kategori sedang) dengan skor = 16
Soal nomor 3 (kategori mudah) dengan skor = 12
Soal nomor 4 (kategori sukar) dengan skor = 24
Soal nomor 5 (kategori sedang) dengan skor = 16
Dari contoh 2 (dua) di atas bahwa dasar penentuan skor adalah berdasarkan jumlah butir tes dan
tingkat kesukaran tes.
Kemudian hasil korektor yang diperoleh seorang peserta testee sebagai berikut Soal nomor 1
skor perolehan 8
Soal nomor 2 skor perolehan 10
Soal nomor 3 skor perolehan 6
Soal nomor 4 skor perolehan 16
Soal nomor 5 skor perolehan 14
Dengan demikian untuk kelima butir soal bentuk tes subjektif esei tersebut mendapatkan skor
sebesar 54. Angka 54 ini belum disebut nilai, sebab angka 54 itu masih merupakan skor mentah
(raw score), untuk dapat disebut nilai masih memerlukan pengolahan.
B. Pengertian Bobot
Bobot butir tes adalah besarnya angka yang ditetapkan untuk suatu butir tes dalam perbandingan
(ratio)dengan butir tes lainnya dalam suatu perangkat tes. Penentuan besar kecilnya bobot butir
tes didasarkan atas tingkat kedalaman dan keluasan materi yang ditanyakan atau tingkat
kerumitan atau kompleksitas jawaban yang dituntut oleh suatu butir tes (Depdiknas,2002),
28
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
sedangkan dasar penentuan skor butir tes adalah berdasarkan tingkat kesukaran butir tes
(mudah, sedang, dan sukar).
Pada umumnya hanyalah bentuk soal subjektif esei tes yang perlu ditentukan bobot atas dasar
pertimbangan tingat kedalaman tes, keluasan materi tes, dan tingkat kerumitan tes, sedangkan
bentuk soal objektif tes, bobot dan skor dianggap sama. Untuk lebih jelas menentukan bobot
butir tes dibuat dalam bentuk matriks seperti contoh berikut :
Tabel 1. Penentuan Bobot Suatu Butir Tes
NO.
SOAL
TK.
KDT
KMT
TKT
JMH
BOBOT
10
18
11
20
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
55
100
KES.TES
SKOR
JUMLAH
Untuk menentukan besarnya angka terhadap KDT, KMT, dan TKT ditentukan sendiri oleh
pembuat tes (Guru), misalnya, angka 1,2,3,4,5, dan/atau 6 dan sebagainya adalah interval yang
ditentukan pembuat tes (guru).
Kedalaman Tes = KDT
Keluasan Materi Tes = KMT
Tingkat Kerumitan Tes = TKT
Proses penghitungan bobot butir tes (misalkan bobot total tes 100), nomor :
29
1.
10
x 100 = 18,18 dibulatkan 18
55
2.
11
x 100 = 20
55
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
3.
dst.
Bentuk tes objektif penghitungan skor dan bobot dianggap sama. Contoh, hasil pelaksanaan
tes hasil belajar bidang studi matematika bentuk tes objektif pilihan ganda menyajikan 30
(tiga puluh) butir soal, dengan ketentuan setiap butir soal dijawab betul diberi skor/bobot 2.
Dengan demikian secara ideal atau secara teoritik apabila seorang testee dapat menjawab
dengan betul untuk 30 butir soal tersebut, maka testee tersebut akan memperoleh skor
sebesar 30 x 2 = 60. Angka 60 ini desebut skor maksimum ideal (SMI), yaitu skor tertinggi
yang mungkin dapat dicapai oleh testee kalau saja semua butir soal dapat dijawab dengan
betul. Artinya , dalam tes hasil belajar tersebut tidak mungkin ada testee yang skornya
melebihi 60. Seandainya seorang siswa dapat menjawab betul sebanyak 20 butir soal maka
skor siswa tersebut 20 x 2 = 40. Jelas bahwa angka 40 itu bukan nilai atau belum dapat
disebut nilai, sebab angka 40 itu barulah menunjukkan banyaknya butir soal yang dapat
dijawab dengan betul setelah diperhitungkan skor/bobot. Karena itu untuk dapat disebut
nilai, skor mentah hasil tes itu masih memerlukan pengolahan dan pengubahan.
C. Pengertian Nilai
Nilai pada dasarnya angka atau huruf yang melambangkan seberapa jauh atau seberapa
besar kemampuan yang telah ditunjukkan oleh testee terhadap materi atau ubahan yang
diteskan sesuai dengan tujuan indikator yang telah ditentukan(Anas,2005). Nilai pada
dasarnya juga melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas
jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya makin banyak
jumlah butir soal dapat dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh tester
kepada testee akan semakin tinggi, dan sebaliknya, jika jumlah butir item yang dapat
dijawab dengan betul itu hanya sedikit, maka penghargaan yang diberikan kepada testee
juga kecil atau rendah.
D. Pengolahan dan Pengubahan Skor Mentah Tes Hasil Belajar Menjadi Nilai
Standar (Standar Score)
Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai, ada dua cara yang dapat ditempuh,
yaitu
1. Penilaian Beracuan Patokan (PAP).
Contoh, hasil pelaksanaan ujian akhir semester 10
pelajaran Matematika yang bentuk tes terdiri dari pilihan ganda 30 butir soal dimana
30
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
skor maksimum ideal (SMI) adalah 60, dan bentuk tes esei 5 butir soal dengan skor 30
dan bobot 40, dengan hasil seperti pada tabel berikut.
Tabel 2. Pengolahan Nilai Akhir Ujian Semester 10 Orang Siswa SMA
pada Mata Pelajaran Matematika
Bentuk Tes
N
Tes
o.
Ganda
Ur
t
Pilihan
Tes Esei
Nilai
No./Skor/Bobot Soal
Skor
Nilai
Pero
(60%)
Nilai
Akhir
2/8/6
3/6/9
4/8/9
5/12/14
25
49,99
10
20
39,99
18
36,00
16
31,99
21
42,00
29
57,99
30
60,00
24
48,00
15
30,00
10
10
19,00
30,38
80,37
Proses Penghitungan pemberian Nilai Akhir (NA) untuk nomor urut 1 (satu).
25x 2
x 100 x 60% = 49,99
60
31
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
1.
4
x 5 = 3,33
6
2.
6
x 6 = 4,5 dengan penghitungan yang sama diperoleh nilai
8
3. ................ = 7,5
4. ................ = 3,38
5. ................ = 11,67
Dengan demikian nilai peserta urut 1 bentuk tes esei : 3,33 + 4,5 + 7,5 + 3,38 + 11,67 =
30,38. Jadi nilai perolehan tes esei dengan skala 100 adalah :
30,38
x 100 x 40% =
40
30,38
Dengan demikian Nilai Akhir (NA) yang diperoleh peserta Urut 1 adalah :
Nilai tes perolehan pilihan ganda + Nilai tes perolehan esei = 49,99 + 30,38 =
80,37 (delapan puluh, tiga puluh tujuh).
2.
sebagai berikut : 70, 70, 70, 68, 68, 65, 65, 65, 65, 60, 60, 60, 60, 55, 55, 54, 50, 50, 45,
45, 45, 43, 43, 43, 43, 34, 30, 30, 30, 26, 26, 26, 24, 24, 24, 23, 20, 20, 19, dan 18.
Dari data skor perolehan siswa tersebut, untuk pengolahan menjadi nilai akhir dapat
digunakan
a. Standar skala 1 10, dengan rumus
32
M 0,25 SD = Nilai 5.
M + 1,75 SD = Nilai 9.
M 0,75 SD = Nilai 4.
M + 1,25 SD = Nilai 8.
M 1,25 SD = Nilai 3.
M + 0,75 SD = Nilai 7.
M 1,75 SD = Nilai 2.
M + 0,25 SD = Nilai 6.
M 2,25 SD = Nilai 1.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
M 1,8 SD = Nilai 5.
M 3 SD = Nilai 4.
M - 0,6 SD = Nilai 6.
c. Standar lima, atau nilai huruf dengan rumus
M + 1,5 SD = Nilai A.
M 0,5 SD = Nilai D.
M + 0,5 SD = Nilai B.
M 1,5 SD = Nilai E.
M - 0,5 SD = Nilai C.
Dari data Skor perolehan 40 orang siswa SMA pada mata pelajaran Matematika di
atas : 70, 68, 64, 62, 60, 58, 58, 54, 54, 53, 53, 52, 52, 51, 47, 46, 45, 45, 44, 44, 43,
43, 42, 42, 40, 40, 38, 38, 32, 32, 30, 30, 28, 25, 24, 24, 22, 22, 20, dan 18, dapat
diolah dengan menggunakan
1). Standar skala 1 10, dengan langkah-langkah sebagai berikut
a). Tentukan Range (R) = Skor tertinggi Skor terendah
b). Tentukan banyak kelas, dengan rumus : K = 1 + 3,3 Log N
c). Tentukan interval kelas (disimbolkan = i), biasanya anggka ganjil misalnya 3, 5,
7, dan seterusnya
c). Buat tabel distribusi frekuensi
d).Tentukan mean duga (MD), biasanya MD terletak pada kelas
interval yang
M = MD + i
fd , dimana
N
SD = i
33
fd
N
fd
N
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
g).Setelah dihitung Mean dan Standar deviasi disubtitusikan pada rumus Standar skala
penilaian 1 10.
Dengan mengikuti langkah-langkah tersebut di atas maka didapat
1. R = 70 18 = 52.
2. Banyak kelas interval (K) = 1 + 3,3 Log N = 1 + 3,3 Log 40.
= 1 + 3,3 (1,6021) = 1 + 5,28 = 6,28 = 6 (dibulatkan).
3. Interval kelas, i = 52 : 6 = 8,67 = 9 (dibulatkan).
4. Tabel Distribusi frekuensi sebagai berikut
Kelas
Kelas Interval
Tally
fd
fd2
62 70
IIII
66
+2
14
53 61
IIII II
57
+1
44 52
IIII IIII
48
35 43
IIII III
39
-1
-8
26 34
IIII
30
-2
- 10
20
17 25
IIII II
21
-3
- 21
63
- 24
112
40
M = MD + i
fd , dimana
N
i = 9, N = 40, MD = 48,
34
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
SD = i
fd 2
fd
N
=9
112 24 2
40 40
SD = 14,06
7. Penjabaran Nilai sebagai berikut
M + 2,25 SD = 42,6 + 2,25 (14,06) = 42,6 + 31,64 = 74
M + 1,75 SD = 42,6 + 1,75 (14,06) = 42,6 + 24,61 = 67
M + 1,25 SD = Nilai 8 = 42,6 + 1,25 (14,06) = 60
M + 0,75 SD = Nilai 7 = 42,6 + 0,75 (14,06) = 53
M + 0,25 SD = Nilai 6 = 42,6 + 0,25 (14,06) = 46
M 0,25 SD = Nilai 5 = 42,6 0,25 (14,06) = 39
M 0,75 SD = Nilai 4 = 42,6 0,75 (14,06) = 32
M 1,25 SD = Nilai 3 = 42,6 1,25 (14,06) = 25
M 1,75 SD = Nilai 2 = 42,6 1,75 (14,06) = 18
M 2,25 SD = Nilai 1 = 42,6 2,25 (14,06) = 11
Kesimpulan :
35
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Selanjutnya standar skala 4 8 dan standar lima (nilai huruf) diserahkan kepada
pembaca sebagai latihan.
E. Analisis Butir Tes Hasil Belajar
Nilai akhir yang diperoleh masing-masing peserta didik, maka untuk mengetahui kualitas
butir tes yang telah disusun guru/tutor berdasarkan kisi-kisi tes, maka perlu dianalis untuk
mengetahui tingkat validitas tes, reliabilitas tes, tingkat kesukaran tes, daya pembeda tes,
dan analisis fungsi distaktor (bentuk objektif tes pilihan ganda),
sehingga dapat
memberikan manfaat kepada guru, sekolah dan pengawas. Manfaat tersebut sebagai berikut
1. Untuk Guru
a. Dapat melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa dengan benar.
b. Mengoreksi kelemahan dan kekurangan yang dilakukan selama ini.
c. Meningkatkan efektivitas proses pembelajaran.
d. Menunjang kelancaran dan keberhasilan proses pembelajaran.
e. Dapat terbinanya kelompok guru yang siap dijadikan tim ahli dalam menyusun soal.
2. Untuk Sekolah atau Pengelola Sekolah
a.Membantu tanggung jawab sekolah dalam memperlancar pelaksanaan kurikulum.
b. Membantu sekolah dalam meningkatkan mutu lulusan.
c. Meningkatkan kredibilitas sekolah dengan adanya guru yang memiliki ketrampilan
dalam menyusun soal
d. Memiliki guru yang terampil dalam menyusun soal yang dapat digunakan sebagai
tutor dalam membina guru-guru lainnya.
3. Untuk Pengwas
Bagi pengawas adalah memiliki sekelompok tenaga terampil yang dapat digunakan
sebgai tutor dalam penularan kemampuan dan ketrampilan kepada guru lain yang belum
memilikinya.
F. Pengembangan Tes
1. Uji kelayakan Tes
36
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Seperangkat tes yang telah disusun oleh guru dan hendak dijadikan sebagai tes hasil
belajar, sebaiknya terlebih dahulu dilakukan uji statistik (uji validitas tes, dan uji
reliabilitas tes) ,hal ini dilakukan kalau tes tersebut mempunyai tujuan khusus misalnya
dijadikan sebagai bank soal, dijadikan sebagai naskah tes ujian akhir nasional, dan/atau
dijadikan sebagai instrumen penelitian (tes hasil belajar) bagi mahasiswa yang
menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu). Uji kelayakan instrumen tersebut sebagai
berikut:
Untuk mene dianalisis berdasarkan hasil tes yang diperoleh peserta testee setiap
butir tes sebagai bahan acuan untuk pengembangan tes berikutnya antara lain
a. Validitas Tes, dengan rumus Product Moment
rxy =
dimana
N XY X Y
{N X 2 X }{N Y 2 Y }
2
rxy
M p Mt
SDt
p
q
dimana
r pbi = Koefisien korelasi point biserial yang melambangkan kekuatan korelasi antara
variabel I dengan variabel II, yang dalam hal ini dianggap sebagai koefisien validitas
butir tes.
M p = Skor rata-rata hitung yang dimiliki oleh testee, yang untuk butir tes yang
bersangkutan telah dijawab dengan betul.
M t = Skor rata-rata dari skor total.
SD = Deviasi standar dari skor total.
37
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
p = Proporsi testee yang menjawab betul terhadap butir tes yang sedang diuji validitas
itemnya.
q = Proporsi testee yang menjawab salah terhadap butir tes yang sedang diuji validitas
butir tes.
b. Reliabilitas Tes
1). Untuk soal pilihan ganda digunakan rumus : KR-20 atau KR-21 (lihat contoh
penggunaan rumus pada halaman 25)
2). Untuk soal bentuk uraian (esei tes) digunakan rumus Alpha yaitu
11
tes dan
2
i
k
k 1
i2
1
dimana : r 11 = koefisien reliabilitas, k= banyak butir
2
2
i
x
x N
2
i
, dan t2 =
x
x N
2
t
B
, dimana
N
menjawab benar butir soal, dan N = Jumlah warga belajar/siswa yang mengikuti
tes
2). Bentuk esei tes digunakan rumus
38
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Mean =
TK
Mean
Skor maksimum yang telah ditetapkan pada
pedoman penskoran
tidak/kurang
mampu/pandai
(belum
menguasai
materi
yang
a.
39
2( BA BB)
, dimana
N
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
DP =
soal diterima/baik
0,30 - 0,39
0,20 - 0,29
soal diperbaiki
0,19 - 0,00
3. Kesimpulan
1. Setiap penyusunan seperangkat tes bentuk objektif skor, dan bobot dianggap sama.
2. Setiap penyusunan seperangkat tes bentuk subjektif skor, dan bobot tidak dapat
dipisahkan dalam penentuan nilai hasil belajar siswa.
3. Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai, dapat ditempuh dengan dua
cara, yaitu
a.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
4. Pustaka
Anas Sudijono. 2005. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Arikunto Suharsimi. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Aksaraa.
Depdiknas. 2002. Penyusunan Butir Soal dan Instrumen Penelitian. Jakarta : Depdiknas
Dirjendikdasmen.
Muri Yusuf. 2005. Dasar-dasar dan Teknik Evaluasi Pendidikan. Padang : UNP.
Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
41
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Pembelajaran Kalkulus I di kelas yang peneliti lakukan masih banyak menekankan pemahaman
mahasiswa tanpa melibatkan kreativitas mahasiswa sehingga masih perlu dilakukan perbaikan
pembelajaran dengan learning cycle dengan mind mapping. Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh bahwa dari pre test dan post test 1 persentase tingkatan kreativitas kurang kreatif
menurun 20,59%, persentase tingkatan cukup kreatif meningkat 14,7% dan persentase
tingkatan kreativitas kreatif meningkat 5,89%, sedangkan untuk persentase tingkatan
kreativitas tidak kreatif dan sangat kreatif tetap, dari post test 1 dan post test 2 persentase
tingkatan kreativitas tidak kreatif menurun 2,94%, persentase tingkatan kreativitas kurang
kreatif menurun 2,94%, persentase tingkatancukup kreatif menurun 5,88% dan persentase
tingkatan kreativitas kreatif meningkat 11,76%, sedangkan untuk persentase tingkatan
kreativitas sangat kreatif tetap, dari pre test dan post test 2 persentase tingkatan kreativitas
tidak kreatif menurun 2,94%, persentase tingkatan kreativitas kurang kreatif menurun
23,53%, persentase tingkatan cukup kreatif meningkat 8,82% dan persentase tingkatan
kreativitas kreatif meningkat 17,65%, sedangkan untuk persentase tingkatan kreativitas tidak
kreatif dan sangat kreatif tetap. Jumlah persentase tingkatan kreativitas cukup kreatif dan
kreatif mencapai 75%. Persentase hasil observasi terhadap aktivitas dosen dan mahasiswa
dalam kegiatan pembelajaran dengan learning cycle dan mind mapping meningkat. Untuk
aktivitas dosen dalam kegiatan pembelajaran dengan learning cycle meningkat dari siklus 1 ke
siklus 2 sebesar 6,31%. Aktivitas mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran dengan learning
cycle meningkat dari siklus 1 ke siklus 2 sebesar 11,76%. Aktivitas dosen dalam kegiatan
pembelajaran dengan mind mapping meningkat dari siklus 1 ke siklus 2 sebesar 5,54%.
Aktivitas mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran dengan mind mapping meningkat dari siklus
1 ke siklus 2 sebesar 10%.
Kata kunci : learning cycle, mind mapping, kreativitas.
1. Pendahuluan
Salah satu tantangan besar yang dihadapi guru saat ini yakni bagaimana membantu anak
mengembangkan kemampuan berpikir (thinking skills), melangkah dari pengalaman konkret
ke berpikir abstrak melalui suatu desain pembelajaran aktif. Menyiapkan lingkungan di mana
anak dapat melangkah dari pengalaman konkret menuju ke menemukan konsep dan
mengaplikasikan konsep (Mahmuddin, 2007).
Otak tidak dapat langsung mengolah informasi menjadi bentuk rapi dan teratur
melainkan harus mencari, memilih, merumuskan, dan merangkainya dalam gambar-gambar,
simbol-simbol, suara dan perasaan sehingga informasi yang keluar satu persatu dihubungkan
oleh logika, diatur oleh bahasa dan menghasilkan arti yang dipahami. Otak kita tidak
menyimpan informasi dalam kotak-kotak sel saraf yang terjajar rapi melainkan dikumpulkan
pada sel-sel saraf yang bercabang-cabang (Buzan, 2009:5).
42
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Kreativitas siswa merupakan potensi yang harus dikembangkan baik melalui pendidikan
formal maupun pendidikan informal (Munandar, 1990:45). Upaya mendorong kreativitas siswa
sebagai bekal hidup menghadapi tuntutan, perubahan, dan perkembangan zaman lazimnya
melalui pendidikan yang berkualitas. Semua bidang pendidikan tanpa terkecuali pendidikan
matematika harus memulai dan mengarahkan pada tujuan itu. Namun kenyataannya
pengembangan kreativitas khususnya di sekolah masih memprihatinkan (Munandar, 1990:45).
Tampak di sini adanya kesenjangan antara tuntutan pengembangan kreativitas dengan kenyataan
yang ada di masyarakat.
Kreativitas jarang ditekankan dalam pembelajaran matematika karena model
pembelajaran yang diterapkan cenderung berorientasi pada pengembangan pemikiran analitis
dengan masalah-masalah yang rutin. Guru di sekolah lebih mengajarkan matematika secara
hafalan dengan menggunakan masalah rutin (Davis dalam Siswono, 2008:2). Davis (dalam
Siswono, 2008:2) menjelaskan alasan mengapa matematika perlu menekankan pada kreativitas,
yaitu: (1) matematika begitu kompleks dan luas untuk diajarkan dengan hafalan, (2) siswa dapat
menemukan solusi-solusi yang asli (original) saat memecahkan masalah, (3) guru perlu
merespon kontribusi siswa yang asli dan mengejutkan (surprised), (4) pembelajaran matematika
dengan hafalan dan masalah rutin membuat siswa tidak termotivasi dan mengurangi
kemampuannya, (5) keaslian merupakan sesuatu yang harus diajarkan, seperti membuat
pembuktian asli dari teorema-teorema, (6) kehidupan nyata sehari-hari memerlukan matematika,
masalah sehari-hari bukan hal rutin yang memerlukan kreativitas dalam menyelesaikannya.
Learning cycle yang merupakan salah satu model pembelajaran konstruktivisme,
memiliki fase pendahuluan (engagement), fase eksplorasi (exploration), fase penjelasan
(explanation), fase penerapan konsep (elaboration/extention), dan fase evaluasi
(evaluation) . Learning cycle adalah proses pembelajaran yang berkarakter, membiasakan
anak belajar dan bekerja terpola dan sistematis, baik secara individual maupun kelompok
dengan lingkungan yang menyediakan ruang bagi anak untuk berkreasi dan mencipta
(Mahmuddin, 2007).
Mind mapping (peta pikiran) merupakan teknik mencatat yang dapat membantu proses
berpikir otak secara teratur karena menggunakan teknik grafis yang berasal dari pemikiran
manusia yang bermanfat untuk menyediakan kunci-kunci universal sehingga membuka potensi
otak (Buzan, 2009).
Bertolak dari masing-masing fungsi dan peran pembelajaran learning cycle dan mind
mapping, maka akan lebih baik bila learning cycle dan mind mapping tersebut dipadukan. Jadi
perpaduan pembelajaran learning cycle dan mind mapping merupakan kegiatan yang
menggunakan dua model pembelajaran dengan peran dan fungsinya yang saling mendukung
43
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
untuk menunjang kegiatan pembelajaran yang lebih variatif dan bermakna yang dilaksanakan
melalui penelitian tindakan kelas (PTK).
Learning cycle sebagai model pembelajaran dan mind mapping sebagai teknik mencatat
dapat digunakan dalam pembelajaran Kalkulus I pada materi persamaan kuadrat karena pada
persamaan kuadrat memiliki struktur yang saling berhubungan sesuai dengan karakteristik
learning cycle yang terpola dan sistematis dan mind mapping yang memetakan materi dengan
struktur yang saling berhubungan.
Pembelajaran Kalkulus I di kelas yang peneliti lakukan masih banyak menekankan
pemahaman mahasiswa tanpa melibatkan kreativitas mahasiswa. Mahasiswa tidak diberi
kesempatan menemukan jawaban atau cara berbeda dari yang sudah di ajarkan dosen sehingga
mahasiswa kurang dapat mengkonstruk pendapat atau pemahamannya sendiri terhadap konsep
matematika dan tidak dapat mengembangkan kreativitasnya. Pembelajaran Kalkulus I pada
materi persamaan kuadrat
masih perlu
melihat
hasil
2. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, sedangkan jenis penelitian
ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research).
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa: hasil pre test, aktivitas dosen dan
mahasiswa selama pelaksanaan pembelajaran dengan learning cycle dan mind mapping untuk
44
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
melihat keterlaksanaan pembelajaran, kreativitas mahasiswa diperoleh dari hasil observasi, hasil
tes akhir siklus atau post test, catatan lapangan, wawancara
Instrumen yang digunakan untuk mendukung terlaksanaannya penelitian ini adalah:
Lembar soal pre test untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum pelaksanaan tindakan
dan sebagai dasar dalam pembentukan kelompok, Rencana pelaksanaan pembelajaran untuk
pedoman pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas, Lembar observasi aktivitas dosen dan
mahasiswa selama pelaksanaan pembelajaran, digunakan sebagai alat untuk mengetahui
pelaksanaan pembelajaran, Lembar observasi kreativitas mahasiswa selama pelaksanaan
pembelajaran, digunakan sebagai alat untuk mengetahui kreativitas mahasiswa selama
pelaksanaan pembelajaran, Lembar soal tes akhir siklus/post test untuk mengetahui
perkembangan kreativitas mahasiswa setelah pelaksanaan tindakan, Pedoman wawancara
Teknik Analisis Data yaitu: Mereduksi Data, Menyajikan Data, Menarik Kesimpulan
dan Verifikasi Data. Teknik analisis masing-masing data adalah: a.) Pre Test, dari data yang
diperoleh dari pre test, siswa dibagi menjadi 3 kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah.
Mahaiswa dibagi menjadi 8 kelompok, dengan anggota empat sampai lima orang, dengan
masing-masing kelompok terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
Penilaian pre test berdasarkan pedoman penilaian yang ditetapkan dengan mengacu pada tiga
komponen kreativitas, yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Penskoran dengan
menjumlahkan skor tiap soal. Skor tiap soal berbeda tergantung pada tingkatan kreativitas yang
dicapai siswa pada soal tersebut. Masing-masing tingkatan kreativitas diberikan penskoran
sebagai berikut. Sangat kreatif (4), Kreatif
seorang siswa Berikut sajian kriteria dan penskoran masing-masing tingkatan kreativitas
menurut Siswono (2008:31).
Tabel 1 Kriteria dan Penskoran Tingkatan Kreativitas
Skor Tingkat Kreativitas
Tidak Kreatif (0)
Mahasiswa tidak
mampu
menunjukkan
ketiga
aspek
indikator
45
Kefasihan
Kebaruan
atau
Fleksibelitas
Kreatif (3)
Kefasihan dan
kebaruan
atau
Kefasihan dan
fleksibelitas
Kefasihan,
fleksibelitas,
kebaruan
atau
Fleksibelitas
dan
dan
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
kreativitas
kebaruan
Dari tabel di atas, penghitungan skor dapat dinyatakan dalam interval sebagai berikut.
Skor Kreativitas < 0.5 (Tidak Kreatif), 0.5 Skor Kreativitas < 1.50 (Kurang Kreatif), 1.50
Skor Kreativitas < 2.50 (Cukup Kreatif), 2.50 Skor Kreativitas < 3.50 (Kreatif), Skor
Kreativitas 3.50 (Sangat Kreatif), b.) Observasi Aktivitas dosen dan mahaiswa dalam
Kegiatan Pembelajaran dengan Learning Cylce dan Mind Mapping, Data hasil pengamatan
terhadap aktivitas guru dan siswa dianalisis persentasenya melalui rumus dari Sudjana
(1990:131) yang dimodifikasi, yaitu:
Persentase Nilai Rata-rata (PNR) =
Pengamat I + Skor Pengamat II, Rata-rata Skor= Skor Pengamat I Skor Pengamat II
2
Skor Maksimal = 5. Untuk menentukan kriteria PNR, digunakan skala likert (Arikunto,
2008:180) : 84% PNR 100% (Sangat Baik), 68% PNR < 84% (Baik), 52% PNR <
68% (Cukup Baik), 36% PNR < 52% (Kurang Baik), 20% PNR < 36% (Sangat Kurang
Baik), c.)
Cylce dan Mind Mapping, Hasil observasi kreativitas siswa dalam kegiatan pembelajaran tidak
dilakukan penskoran. Hasil observasi ini hanya digunakan untuk melihat indikator-indikator
tentang kreativitas yang muncul dan belum muncul, d.) Tes Akhir Siklus atau Post Test, Data
yang diperoleh dari hasil post test dianalisis dengan cara yang sama yang dilakukan pada saat
menganalisis hasil pre test.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
jumlah dan hasil kali akar-akar berlaku, dengan nilai diskriminan D 0 . Hal ini yang
menyebabkan jawaban mahasiswa tidak sesuai. Mahasiswa hanya memenuhi komponen
kefasihan dan fleksibilitas belum terpenuhi. Selain itu, ada mahasiswa yang menggunakan
rumus kuadrat, namun ketika dihadapkan pada
20 untuk membantu kearah rumus jumlah dan hasil kali. Ada mahasiswa yang salah
7 ( x1 x 2 ) .
Mahasiswa belum fasih, karena belum dapat memberikan interpretasi yang benar
terhadap 7 x1 x 2 . Sedangkan untuk no. 1 dan 3, sebagian besar mahasiswa sudah dapat
menyelesaikannya. Fase extention pada siklus 2, mahasiswa mengerjakan 3 soal dengan alokasi
waktu 25 menit. Dari ketiga soal tersebut, mahaiswa banyak yang mengalami kesulitan pada
soal no.3. Umumnya mahasiswa sudat dapat memberikan interpretasi yang tepat dengan
memisalkan bahwa y1 1 dan y 2 1 . Hanya saja ketika menentukan hasil dari y 1 + y 2
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
dapat
menentukan
cabang-cabang
dan
subcabang
dengan
benar
dan
membedakannya dengan warna yang berbeda. Mahasiswa sudah dapat menghubungkan materi
yang dipelajari dengan materi prasyarat. Namun ada kelompok yang hanya sekedar membuat
mind mapping tanpa menggambarkan hubungan yang terjadi pada tiap materi. Kelompok ini
belum paham maksud pembuatan mind mapping untuk memetakan materi dan mencari
hubungan antara materi yang bersesuaian sehingga mudah untuk dipahami. Selain itu, terdapat
kesalahan materi yang dipetakan siswa, seperti yang sudah dibahas pada diskusi kelas
pertemuan ke-2 siklus 1 dan siklus 2. Kesalahan ini mungkin karena kurangnya ketelitian dari
mahasiswa.
3.2 Kreativitas Mahasiswa dalam Pembelajaran
Penerapan learning cycle dan mind mapping dapat meningkatkan kreativitas mahasiswa
dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan jumlah dan hasil kali akar-akar
persamaan kuadrat, hubungan koefisien persamaan kuadrat dengan sifat akar, dan menyusun
persamaan kuadrat. Learning cycle membiasakan anak belajar dan bekerja terpola dan
sistematis, baik secara individual maupun kelompok dengan lingkungan yang menyediakan
ruang bagi anak untuk berkreasi dan mencipta sehingga dapat mendorong kreativitas anak. Hal
ini sesuai dengan (Mahmuddin:2007). Sedangkan Mind mapping dapat memunculkan ide,
menemukan solusi yang inspiratif untuk menyelesaikan masalah dengan membebaskan
imajinasi dan melihat hubungan dengan materi yang lain. Hal ini sesuai dengan (Buzan,
2009:110) yang menyatakan bahwa mind mapping dapat mendorong kreativitas.
Setelah pembelajaran dengan learning cycle dan mind mapping dilaksanakan, peneliti
memberikan tes akhir siklus. Tes akhir siklus 1 disebut sebagai post test 1 dan tes akhir siklus 2
disebut sebagai post test 2. Soal post test 1 terdiri dari 5 soal dan pada soal no.3, sebagian besar
siswa hanya memenuhi komponen kreativitas kefasihan saja, yaitu mahasiswa mampu
menentukan 2 2 ( )( ) dengan b dan | | D . Mahaiswa mengalami
a
|a|
kesalahan pada
kefasihan dan fleksibilitas. Post test 2 terdiri dari 4 soal. Untuk no.2, mahasiswa masih agak
sulit untuk menentukan kalimat matematikanya. Untuk soal no.3, selain mahasiswa masih agak
48
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
masih kurang. Sedangkan soal no.4, ada mahasiswa yang salah dalam menentukan
y1 y 2 .
Tingkat kreativitas mahasiswa dalam menyelesaikan pre test, post test 1, dan post test 2, dapat
disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 2 Persentase Hasil Tes Mahasiswa
Tingkatan Kreativitas
Sangat Kreatif
Kreatif
Cukup Kreatif
Kurang Kreatif
Tidak Kreatif
Pre Test
0%
8,82%
41,18%
47,06%
2,94%
Tes
Post Test 1
0%
14,71%
55,88%
26,47%
2,94%
Post test 2
0%
26,47%
50%
23,53%
0%
Tes
Pre Test
0%
8,82%
41,18%
47,06%
2,94%
Post Test 1
0%
14,71%
55,88%
26,47%
2,94%
Selisih
0%
5,89%
14,7%
20,59%
0%
Tes
Post Test 1
0%
14,71%
55,88%
26,47%
2,94%
Post Test 2
0%
26,47%
50%
23,53%
0%
Selisih
0%
11,76%
5,88%
2,94%
2,94%
Tes
Pre Test
0%
8,82%
41,18%
47,06%
2,94%
Post Test 2
0%
26,47%
50%
23,53%
0%
Selisih
0%
17,65%
8,82%
23,53%
2,94%
Peneliti mengasumsikan bahwa penelitian berhasil, jika ada perbedaan persentase antara
tingkatan kreativitas, peningkatan persentase aktivitas dosen dan mahasiswa dalam kegiatan
pembelajaran, dan jumlah persentase tingkatan kreativitas cukup kreatif dan kreatif mencapai
75%, dan mahasiswa senang terhadap pelaksanaan pembelajaran.
Berikut
pembahasan
ketiga kriteria keberhasilan penelitian: 1.) Persentase tingkatan kreativitas tidak kreatif dan
kurang kreatif diharapkan menurun dan seiring menurunnya kedua tingkatan kreativitas
49
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
tersebut, persentase tingkatan kreativitas cukup kreatif dan kreatif diharapkan meningkat ,
atau persentase tingkatan kreativitas tidak kreatif, kurang kreatif dan cukup kreatif
menurun seiring meningkatnya tingkatan kreativitas kreatif, a. Dari tabel 3 dapat diketahui
bahwa dari pre test dan post test 1, persentase tingkatan kreativitas kurang kreatif menurun
20,59%, persentase tingkatan cukup kreatif meningkat 14,7% dan persentase tingkatan
kreativitas kreatif meningkat 5,89% . Sedangkan untuk persentase tingkatan kreativitas tidak
kreatif dan sangat kreatif tetap, b.
post test 2, persentase tingkatan kreativitas tidak kreatif menurun 2,94%, persentase tingkatan
kreativitas kurang kreatif menurun 2,94%, persentase tingkatancukup kreatif menurun
5,88% dan persentase tingkatan kreativitas kreatif meningkat 11,76% . Sedangkan untuk
persentase tingkatan kreativitas sangat kreatif tetap, c. Dari tabel 5 dapat diketahui bahwa
dari pre test dan post test 2, persentase tingkatan kreativitas tidak kreatif menurun 2,94%,
persentase tingkatan kreativitas kurang kreatif menurun 23,53%, persentase tingkatan cukup
kreatif meningkat 8,82% dan persentase tingkatan kreativitas kreatif meningkat 17,65% .
Sedangkan untuk persentase tingkatan kreativitas tidak kreatif dan sangat kreatif tetap, 2.)
Data hasil observasi aktivitas dosen dan mahasiswa dapat disajikan dalam tabel sebagai
berikut.
Tabel 6 Persentase Aktivitas Dosen dan Mahasiswa dalam Kegiatan Pembelajaran
No.
1.
2.
3.
4.
Jenis Kegiatan
Aktivitas dosen dalam learning cycle
Aktivitas mahaiswa dalam learning cycle
Aktivitas dosen dalam mind mapping
Aktivitas mahasiswa dalam mind mapping
Siklus 1
77,37%
70%
73,33%
71,11%
Persentase
Siklus 2
83,68%
81,76%
78,87%
81,11%
Selisih
6,31%
11,76%
5,54%
10%
Persentase hasil observasi terhadap aktivitas dosen dan mahasiswa dalam kegiatan
pembelajaran dengan learning cycle dan mind mapping meningkat. Untuk aktivitas dosen dalam
kegiatan pembelajaran dengan learning cycle meningkat dari siklus 1 ke siklus 2 sebesar 6,31%,
yaitu dari 77,37% menjadi 83,68%. Aktivitas mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran dengan
learning cycle meningkat dari siklus 1 ke siklus 2 sebesar 11,76%, yaitu dari 70% menjadi
81,76%. Aktivitas dosen dalam kegiatan pembelajaran dengan mind mapping meningkat dari
siklus 1 ke siklus 2 sebesar 5,54%, yaitu dari 73,33% menjadi 78,87%. Aktivitas mahasiswa
dalam kegiatan pembelajaran dengan mind mapping meningkat dari siklus 1 ke siklus 2 sebesar
10%, yaitu dari 71,11% menjadi 81,11%, 3.) Jumlah persentase tingkatan kreativitas cukup
kreatif dan kreatif mencapai 75%. Hal ini ditetapkan sebagai salah satu kriteria keberhasilan
yang menyatakan bahwa suatu kelas dikatakan tuntas, jika 75% siswanya mencapai nilai 70.
Berdasarkan pedoman ini, peneliti mengadopsinya menjadi 75% siswa mencapai tingkatan
cukup kreatif dan kreatif, 4.) Mahasiswa senang terhadap pelaksanaan kegiatan pembelajaran
dengan learning cycle dan mind mapping. Hal ini dapat disimpulkan setelah peneliti
50
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
5. Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2008. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Buzan, Tony. 2009. Buku Pintar Mind Map. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Khoo, Adam. 2008. Buku Pintar Anak Jenius. PT Mitra Media.
Mahmuddin. 2007. Membentuk Karakter Kreatif dan Produktif melalui Siklus Belajar, (online),
http://mahmuddin.wordpress.com/2007/11/09/membentuk-karakter-kreatif-dan-produktifmelalui-siklus-belajar, diakses 6 Maret 2009).
Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Munandar, S. C. Utami. 1990. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta:
PT Gramedia.
Siswono, Tatag Y.E. 2008. Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan
Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya.
Sudjana. 1990. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
51
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
ariestakartika@ymail.com
Abstrak
Kurangnya pemahaman dalam matematika mengindikasikan bahwa siswa mengalami kesulitan
dalam mempelajari konsep matematika. Kesulitan siswa dapat mengakibatkan siswa melakukan
kesalahan-kesalahan dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Dengan demikian, salah
satu langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kurangnya pemahaman dalam
matematika berkaitan dengan adanya kesulitan-kesulitan tersebut adalah dengan melakukan
analisis kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal matematika. Dengan mengetahui di mana
letak kesalahan siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika, hal ini diharapkan dapat
digunakan oleh guru/ pengajar sebagai salah satu pertimbangan dalam memperbaiki proses
belajar mengajar. Penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis penelitian deskriptif eksploratif,
yaitu mengungkapkan / menggali, menganalisis, dan memberi gambaran tentang fenomena dari
subjek penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
karena data yang dikumpulkan dan dipaparkan dalam bentuk kata-kata yang dirangkai dalam
sebuah kalimat, tidak berupa angka atau nilai.
Subjek dalam penelitian ini tidak mewakili kelas, tetapi hanya mewakili subjek itu sendiri.
Subjek penelitian adalah siswa yang paling banyak melakukan kesalahan dalam menyelesaikan
tes. Dalam penelitian ini menganalisa data dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu : (a) reduksi
data (Data Reduction), (b) penyajian data, dan (c) penarikan kesimpulan. Setelah melalui
tahapan analisis data, maka akan diperoleh informasi tentang letak kesalahan serta penyebab
terjadinya kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal integral tentu untuk menghitung luas
daerah. Beberapa letak kesalahan subjek penelitian dalam menyelesaikan soal integral tentu
untuk menghitung luas daerah, antara lain : (1) Salah dalam pembuatan sketsa grafik fungsi; (2)
Salah dalam penentuan daerah yang dicari luasnya, (3) Salah dalam membuat model bentuk
integral, (4) Kesalahan dalam menyelesaikan model integral.
Kata kunci : letak kesalahan, integral tentu
1. Pendahuluan
Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah merupakan mata pelajaran wajib bagi
semua siswa. Tentu saja para siswa diharapkan dapat menguasai konsep-konsep yang
dipelajarinya dengan baik. Kurangnya pemahaman dalam matematika mengindikasikan bahwa
siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep matematika. Kesulitan siswa dapat
mengakibatkan siswa melakukan kesalahan-kesalahan dalam menyelesaikan permasalahan
matematika. Dengan demikian, salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
kurangnya pemahaman dalam matematika berkaitan dengan adanya kesulitan-kesulitan tersebut
adalah dengan melakukan analisis kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal matematika.
Dengan mengetahui di mana letak kesalahan siswa dalam menyelesaikan permasalahan
matematika, hal ini diharapkan dapat digunakan oleh guru/ pengajar sebagai salah satu
52
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dirumuskan permasalahan adalah sebagai
berikut:
1. Di mana letak kesalahan subjek penelitian dalam menyelesaikan soal integral tentu
untuk menghitung luas daerah di bidang datar?
2. Faktor-faktor apa yang
dalam
menyelesaikan soal integral tentu untuk menghitung luas daerah di bidang datar?
3. Metode Penelitian
3.1.
Jenis Penelitian
penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis penelitian deskriptif eksploratif, yaitu
mengungkapkan / menggali, menganalisis, dan memberi gambaran tentang fenomena dari
subjek penelitian. Penelitian ini akan menggali / mengungkapkan informasi tentang letak dan
jenis kesalahan serta faktor penyebab kesalahan jawaban siswa melalui langkah-langkah dalam
menyelesaikan soal-soal integral menghitung luas daerah bidang datar, yang selanjutnya akan
dianalisis ddan hasilnya dideskripsikan secara utuh, akurat, dan sistematis. Data hasil penelitian
berupa kata-kata yang dipaparkan sesuai dengan kenyataan yang terjadi dalam penelitian (latar
alamai). Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif karena data yang dikumpulkan dan dipaparkan dalam bentuk kata-kata yang dirangkai
dalam sebuah kalimat, tidak berupa angka atau nilai.
3.2.
Subjek Penelitian
Penelitian ini melibatkan siswa kelas Sampel yang nantinya akan dipilih beberapa siswa sebagai
subjek penelitian ini melalui pemberian tes. Subjek dalam penelitian ini tidak mewakili kelas,
tetapi hanya mewakili subjek itu sendiri. Subjek penelitian ini disebut informan dan bukan
responden. Kriteria dalam pemilihan subjek penelitian adalah sebagai berikut: (a) Siswa yang
paling banyak melakukan kesalahan dalam menyelesaikan tes; (b) Pertimbangan dari guru
53
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
matematika kelas sampel, yaitu siswa yang diharapkan dapat memberikan informasi yang
diperlukan. Pada penelitian ini diambil 3 subjek penelitian dari 34 peserta tes.
3.3.
Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, artinya kedudukan peneliti
merupakan penentu dalam menyaring dan menganalisa data. Instrumen lainnya dalam penelitian
ini adalah: (1) Tes Diagnostik, yaitu berupa tes uraian, dan tes yang diberikan bertujuan
mengetahui letak kesalahan, bukan untuk mengetahui prestasi belajar siswa tersebut ; (2)
Pedoman wawancara, untuk memperoleh/ mengungkap keterangan/ data-data mengenai
penyebab siswa membuat kesalahan dalam menjawab soal tes yang telah diberikan.
3.4.
Dalam penelitian ini menganalisa data dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu:
1.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
soal integral untuk menghitung luas daerah bidang datar, (b) Faktor penyebab kesalahan siswa
dalam menyelesaikan soal integral untuk menghitung luas daerah bidang datar.
E3
E4
Tabel (1a) :
55
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Letak Kesalahan
E1
Jenis Kesalahan
E2
E3
Faktor Penyebab
S1 masih kurang jelas
tentang cara
menggambar grafik
fungsi
-Subjek terburu-buru
dalam menuliskan
model integral
Karena S1 kurang
memahami
penyelesaian integral
tentu, masing
bingung antara
integral tentu dan
integral tak tentu
hanya menuliskan
1 13 x 3 x
( 13 27 3) ( 13 1
Karena Subjek S1
lupa
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data, berikut ini beberapa kesimpulan yang terkait dengan letak
kesalahan, jenis, dan beberapa faktor penyebab kesalahan subjek penelitian dalam
menyelesaikan soal integral tentu untuk menghitung luas daerah. Letak Kesalahan dan Faktor
Penyebabnya disajikan berikut ini :
No
1
Letak Kesalahan
Salah dalam pembuatan sketsa grafik
fungsi
56
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
fungsi
Subjek masih bingung dan belum
bisa membedakan cara menggambar
grafik fungsi linier dan fungsi kuadrat
6. Pustaka
Moleong, Lexy J., (1988). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan ke-16. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Purcell, Edwin J. dan Dale Varberg, ( 1999). Kalkulus dan Geometri Analitis Jilid 1. Edisi ke-5.
Alih Bahasa : I Nyoman S., Bana K., Rawuh. Jakarta: Erlangga
Sunarto, (2001). Metodologi Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Pendidikan (Pendekatan
Kuantitatif dan Kualitatif). Surabaya: UNESA University Press
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Limit fungsi adalah konsep fundamental dalam Kalkulus. Limit yang dinotasikan
lim ( ) = dalam pembelajaran kalkulus diperkenalkan dengan memahamkan tentang
makna notasi limit yang kemudian dapat direpresentasikan dalam grafik fungsinya. Untuk
menghitung limit pada umumnya diajarkan dengan menggunakan cara atau prosedur substitusi
nilai x = c ke dalam f(x). Apabila substitusi langsung tersebut menghasilkan bentuk 0/0 maka
umumnya digunakan cara penfaktoran dan penyederhanaan untuk mensubstitusi nilai x = c.
Limit fungsi juga diperkenalkan melalui definisi formal limit yang dikenal dengan nama definisi
-. Memahamkan limit melalui definisi formal ini dapat direpresentasikan pula dalam grafik
fungsinya. Pemahaman-pemahaman tentang limit fungsi yang demikian yang diperoleh
mahasiswa dalam perkuliahan berpotensi menimbulkan konflik kognitif, yaitu pertentangan
yang diakibatkan oleh tidak berintegrasinya pemahaman-pemahaman tersebut dalam pikiran
mahasiswa. Pemahaman-pemahaman mahasiswa tentang limit fungsi yang berpotensi
menimbulkan konflik kognitif adalah: (1) pemahaman tentang makna notasi limit dan cara
menghitung limit, (2) pemahaman tentang makna notasi limit dan definisi formal limit, dan (3)
pemahaman limit dalam representasi limit melalui grafik fungsinya berdasarkan makna notasi
limit dan definisi formal limit.
Kata kunci: Konflik Kognitif, Pemahaman, Limit Fungsi.
1. Pendahuluan
Identifikasi terhadap masalah pemahaman matematika mahasiswa di perguruan tinggi
diperlukan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran agar mahasiswa dapat memahami dan
menerapkan matematika yang telah dipelajari ke dalam berbagai bidang. Salah satu hal yang
dapat dilakukan adalah mengkaji pemahaman matematika mahasiswa sebagai suatu pemrosesan
informasi dalam otak atau proses kognitif. Salah satu permasalahan yang terkait dengan
pemahaman matematika sebagai proses kognitif adalah konflik kognitif.
Konflik kognitif telah menjadi bagian pembahasan di dalam teori psikologi khususnya di
dalam teori perkembangan kognitif (Cantor, 1983). Piaget (Ernest, 1991) telah memperkenalkan
konsep konflik kognitif. Ernest (1991:104) menjelaskan tentang konflik kognitif, yakni:
...cognitive conflict, which occurs when there is conflict between two schemas, due to
inconsistency or conflicting outcomes. Menurut Ernest konflik kognitif terjadi ketika terdapat
pertentangan antara dua skema pengetahuan dalam struktur kognitif yang berupa
ketidakkonsistenan atau bertentangan satu sama lain. Konflik antara dua skema pengetahuan
menurut Ernest tersebut dapat dikatakan sebagai dua skema pengetahuan yang tidak saling
berintegrasi. Piaget (1985) dalam teori perkembangan kognitifnya menjelaskan bahwa konflik
dalam pikiran atau konflik kognitif merupakan keadaan ketidakseimbangan mental
(disekuilibrium) dalam berpikir. Ketidakseimbangan mental tersebut terjadi karena skema
58
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
pengetahuan awal bertentangan dengan skema pengetahuan yang baru diterima atau dengan kata
lain skema pengetahuan lama tidak bersesuaian dengan pengetahuan yang baru diterima.
Lee, et.al (2003) menguraikan ada dua jenis konflik kognitif. Konflik kognitif tersebut
adalah konflik antara konsepsi dalam struktur kognitif dengan informasi atau pengetahuan yang
bersumber dari lingkungan luar dan konflik antar konsepsi di dalam struktur kognitif.
Berdasarkan pendapat Lee, et.al tersebut, konflik kognitif dalam penelitian ini difokuskan pada
konflik antar pemahaman-pemahaman dalam struktur kognitif. Konflik tersebut disebabkan
karena pemahaman-pemahaman yang terkait dengan suatu konsep tidak saling berintegrasi.
Pada dasarnya pemahaman-pemahaman mahasiswa tentang limit fungsi dapat diperoleh
melalui pembelajaran limit fungsi di tingkat SMA, pada mata kuliah Kalkulus ataupun mata
kuliah Analisis Real. Pengalaman-pengalaman belajar limit fungsi baik di SMA maupun di
perguruan tinggi pada perkuliahan Kalkulus menekankan pada pembentukan kemampuan atau
pemahaman mahasiswa menghitung limit fungsi dengan cara-cara tertentu. Pada tingkat SMA,
pemahaman makna limit fungsi diperkenalkan secara intuitif, yaitu notasi lim
( )=
yang dimaknai jika x mendekati c maka f(x) mendekati L. Disamping itu memberikan
penekanan bagaimana siswa dapat menghitung limit fungsi dengan benar. Pembentukan
pemahaman siswa tentang menghitung limit fungsi dilakukan dengan mengajarkan cara-cara
menghitung limit fungsi dengan cara substitusi, menfaktorkan dan menyederhanakan, dan
perkalian sekawan. Hal ini dijelaskan dalam silabus pelajaran matematika SMA kurikulum
tahun 2006 yang menguraikan bahwa materi limit fungsi diajarkan pada siswa kelas XI IPA
dengan kompetensi dasar yang diharapkan adalah siswa dapat menjelaskan secara intuitif arti
limit fungsi di suatu titik dan di takhingga dan menggunakan sifat limit fungsi untuk
menghitung limit bentuk tak tentu fungsi aljabar dan trigonometri.
Pengalaman belajar limit fungsi pada matakuliah Kalkulus di perguruan tinggi selain
menekankan pembentukan kemampuan mahasiswa menghitung limit fungsi, pemahaman makna
limit fungsi secara intuitif, yaitu dengan merepresentasikan limit melalui grafik fungsi, juga
menekankan pemahaman limit fungsi berdasarkan definisi formal atau atau dikenal dengan
definisi -. Berbagai pemahaman mahasiswa yang berkaitan dengan limit fungsi, misalnya
makna notasi limit dan representasinya pada grafik fungsi, cara-cara menghitung limit, definisi
formal limit dan representasinya pada grafik fungsi berpotensi menimbulkan konflik kognitif
apabila dipahami secara sendiri-sendiri atau tidak terintegrasi satu sama lain.
Memahami konsep limit fungsi dengan baik dalam keadaan tanpa konflik kognitif atau
mengalami keseimbangan mental dapat menjadi landasan pemahaman ketika mempelajari
konsep-konsep lain dalam Kalkulus, misalnya kontinuitas, konvergensi, diferensial, dan
integral. Di samping itu juga menjadi landasan pemahaman untuk mempelajari konsep-konsep
dalam mata kuliah Analisis Real. Pada aspek evaluasi pembelajaran tidak jarang dijumpai
59
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
pengajar yang pada dasarnya mengukur keberhasilan mahasiswa dalam pembelajaran limit
fungsi lebih dominan berdasarkan kemampuan mahasiswa menghitung limit dan dapat
membuktikan limit fungsi dengan benar, tanpa pernah memperhatikan bahwa konflik kognitif
masih bisa terjadi dalam pemahaman-pemahaman mahasiswa tersebut.
2. Permasalahan
Permasalahan yang urgen dibahas dalam tulisan ini, dirumuskan: bagaimanakah
gambaran pemahaman-pemahaman limit fungsi mahasiswa yang berpotensi menimbulkan
konflik kognitif?
3. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemahaman mahasiswa tentang
limit fungsi yang berpotensi menimbulkan konflik kognitif.
4. Kajian Teori
4.1 Pemahaman konsep dalam Matematika
Pembahasan tentang pemahaman konsep matematika diawali dengan pembahasan tentang
pengertian memahami. Pengertian memahami obyek matematika menurut Hiebert & Carpenter
(1992) bahwa ide atau konsep, prosedur, atau fakta dalam matematika dipahami apabila
merupakan bagian dari kerangka internal. Tingkat memahami ditentukan banyaknya keterkaitan
atau kekuatan keterkaitan dalam kerangka internal tersebut. Oleh karena itu, suatu konsep dalam
matematika akan dipahami apabila representasi mental terhadap konsep merupakan bagian dari
kerangka internal. Kerangka internal yang dimaksud Hiebert dan Carpenter tersebut adalah
sebagaimana yang disebut oleh Piaget sebagai skema dalam struktur kognitif. Representasi
mental terhadap suatu konsep merupakan pengetahuan seseorang tentang suatu konsep yang
tersimpan dalam skema sebagai struktur internal.
Skemp (1987) menyebutkan bahwa To understand something means to assimilate it into
an appropriate schema. Menurut Skemp memahami sesuatu berarti mengassimilasikan sesuatu
itu kedalam skema yang cocok. Pendapat Skemp tersebut menunjukkan bahwa memahami
konsep matematika berarti mengasssimilasikan konsep matematika ke dalam skema
pengetahuan yang cocok. Skema diartikan oleh Skemp sebagai kelompok-kelompok konsep
yang saling terhubung. Selanjutnya dikatakan oleh Skemp bahwa skema ini digunakan tidak
hanya ketika memiliki pengalaman sebelumnya yang terkait dengan situasi sekarang, tetapi juga
digunakan ketika memecahkan masalah tanpa memiliki pengalaman tentang situasi sekarang
dalam memecahkan masalah.
Seseorang yang berupaya untuk memahami suatu konsep dengan baik khususnya konsep
matematika dapat dikatakan memiliki pemahaman-pemahaman tentang informasi yang terkait
dengan konsep tersebut. Memahami suatu konsep dapat dikatakan memiliki pemahaman
60
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
terhadap konsep tersebut. Namun demikian pemahaman yang dimiliki seseorang tentang
informasi yang terkait dengan suatu konsep belum dapat dikatakan memahami konsep yang
sebenarnya dengan sempurna. Sebagai contoh, seorang mahasiswa memiliki pemahaman bahwa
konsep limit dapat dijelaskan dengan definisi formalnya, yaitu lim
( )=
berarti untuk
setiap >0 yang diberikan terdapat >0 yang berpadanan sedemikian sehingga jika 0<|x-c|<
maka |f(x)-L|<. Namun pemahaman awalnya tentang limit fungsi adalah limit yang dapat
dijelaskan berdasarkan makna notasi limit, yaitu lim
( )=
maka f(x) mendekati L. Dengan kedua pemahaman yang diterima mahasiswa tersebut, apakah
dapat dikatakan telah memahami konsep limit dengan baik? Jika dia dapat menjelaskan dengan
baik keterkaitan antara pemahamannya tentang definisi formal limit dengan makna notasi limit
tersebut maka dapat dikatakan orang tersebut memahami konsep limit dengan baik pula.
Sebaliknya, jika tidak dapat menjelaskan dengan baik maka orang tersebut dapat dikatakan
belum memahami konsep limit yang sebenarnya berdasarkan pemahaman-pemahaman yang dia
miliki.
Anderson & Krathwohl (2001) menjelaskan bahwa seorang siswa dikatakan memahami jika
dapat mengkonstruksi pengertiannya dari pesan-pesan pembelajaran yang disampaikan, baik
secara lisan, tertulis, ataupun komunikasi grafik. Menginterpretasi, memberi contoh,
mengklasifikasikan, merangkum, menalar, membandingkan, dan menjelaskan adalah bentukbentuk aktivitas yang diasosiasikan dengan memahami.
Berdasarkan uraian di atas, pemahaman konsep yang dimaksudkan pada tulisan ini adalah
suatu kondisi mental individu yang menggambarkan skema kognitif menyerap informasi yang
diterima oleh otak yang ditandai dengan terjadinya proses kognitif menginterpretasikan,
menghitung, menalar, membandingkan, membuktikan, dan menjelaskan baik secara lisan
maupun tertulis ketika menyelesaikan suatu masalah.
4.2 Konflik Kognitif Dalam Pemahaman Konsep Matematika
4.2.1 Pengertian-pengertian Konflik Kognitif
Apa sebenarnya konflik kognitif tersebut? Bodlakova (1988) menjelaskan tentang
penyebab terjadinya konflik kognitif, yakni cognitive disequilibrium or conflict induced by
awarenesss of contradictory discrepant information. Menurut Bodlakova, ketidakseimbangan
kognitif atau konflik disebabkan oleh kesadaran tentang informasi yang tak logis yang
kontradiksi atau saling bertentangan. Sedangkan Wadsworth (1996) menyebutkan konflik
kognitif sebagai disekuilibrium yang terjadi apabila harapan dan prediksi seseorang yang
berdasarkan pada penalaran saat ini saling tidak bersesuaian. Batasan-batasan konflik kognitif
yang dijelaskan oleh para ahli di atas merujuk pada keadaan disekuilibrium pada saat terjadinya
konflik kognitif.
61
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Sela & Zaslavsky (2007) menguraikan pendapatnya tentang konflik kognitif yang
mengatakan:
Cognitive conflict results in a state of disequilibrium - a Piagetian term meaning lack
of mental balance. It is essential to the occurrence of what Piaget termed 'true
learning', that is the acquisition and modification of cognitive structures.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa konflik kognitif menghasilkan keadaan disekuilibrium yang
oleh Piaget (1985) berarti ketiadaan keseimbangan mental. Skemata kognitif yang dimiliki siswa
terhadap suatu informasi, ide, atau konsep diganggu oleh suatu informasi yang bersifat seolaholah kontradiktif. Keadaan disekuilibrium menjadi hal yang esensial dalam pembelajaran karena
konflik kognitif dapat menjadi strategi untuk membetuk atau memodifikasi struktur kognitif.
Zaskis & Chernof (2006) menjelaskan terjadinya konflik kognitif: A cognitive conflict is
invoked when a learner is faced with contradiction or inconsistency in his or her ideas.
Menurut Zaskis & Chernof, konflik kognitif terjadi karena siswa dihadapkan pada ide yang
kontradiksi atau tidak konsiten dengan ide dari orang lain. Sedangkan Springer & Borthick
(2007) menyebutkan bahwa konflik kognitif dapat terjadi dari interpretasi yang berbeda pada
informasi yang sama, berbeda dari aspek pertimbangan dimensi atau cara memandang konsep,
maksud yang berbeda, atau kemungkinan diasumsikan berbeda untuk suatu kejadian.
Ernest (1991) menyebutkan bahwa konflik kognitif terjadi ketika terdapat konflik antara
dua skema dalam kaitan terjadinya inkonsistensi atau pertentangan. Inkonsistensi atau
pertentangan yang dimaksud adalah adanya informasi baru yang diterima yang bertentangan
dengan pengetahuan dalam skema yang bersesuaian dengan informasi tersebut. Konflik kognitif
dapat pula terjadi karena pertentangan antara pengetahuan-pengetahuan dalam skema yang
bersesuaian dengan suatu obyek atau informasi.
Lee, et.al (2003) mendefinisikan konflik kognitif, yaitu
Cognitive conflict is defined as a conflict between cognitive structure (i.e., an organized
knowledge structure in the brain) and environment (i.e. a experiment, demonstration,
peers opinion, book, or something like that), or a conflict between conception in
cognitive structure.
Berdasarkan batasan-batasan konflik kognitif yang dikemukakan di atas, konflik
kognitif dalam tulisan ini dibatasi pada konflik antar konsepsi atau pengetahuan dalam struktur
kognitif. Dengan demikian batasan konflik kognitif yang digunakan adalah pertentangan dalam
pikiran seseorang yang memiliki pemahaman-pemahaman suatu konsep atau penerapannya
yang tidak saling berintegrasi yang dapat diamati pada aktivitas berpikirnya.
62
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
(uncertainty),
keraguan
(doubt),
perfleksitas/kebingungan
(perplexity),
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
tersebut, atau ketika melihat hasilnya, saya terkejut, atau perbedaan antara hasil dan
ekspektasi saya membuat saya merasa aneh.
(2) Ada minat (interest), yaitu seseorang yang menjadi berminat dalam situasi anomali.
Seseorang yang mengalami konflik kognitif pada tahap ini menunjukkan perilaku ada
minat (interest), keinginantahuan (curiosity), atau memberikan perhatian (attention).
Respon-respon siswa pada tahapan konflik kognitif seperti ini, misalnya hasil eskperimen
atau wacana ini sangat menarik, atau sejak melihat hasilnya saya merasa ingin
mengetahuinya, atau hasil eksperimen atau wacana ini menarik perhatian saya.
(3) Kebingungan (Anxiety), yaitu seseorang yang menjadi bingung tentang situasi anomali.
Seseorang yang mengalami konflik kognitif pada tahap ini menunjukkan perilaku bingung
(confusion), adanya keinginan untuk berupaya (agony), atau mengalami depresi atau
tekanan (depression). Respon-respon siswa pada tahapan konflik kognitif seperti ini,
misalnya hasil eksperimen atau wacana ini membingungkan saya, sejak saya tidak dapat
menyelesaikan masalah ini, saya berupaya keras untuk mengetahuinya, atau saya tidak
mengerti alasan pada hasil ini, saya merasa tertekan.
(4) Menginginkan kembali situasi anomali,
konflik kognitif,
dan permasalahannya
(reappraising the anomalous situation; the cognitive conflict, and the problem). Seseorang
yang mengalami konflik kognitif pada tahap ini menunjukkan perilaku untuk memberikan
perhatian (suspend attention), berpikir sedikit lebih panjang (think a little longer), atau
mencari alasan yang lebih rasional (seek more reasonable base). Respon-respon siswa pada
tahapan konflik kognitif seperti ini, misalnya saya akan lebih memastikan apakah ide saya
benar atau tidak, saya ingin memikirkan lebih jauh tentang alasan yang sedikit lebih
rasional pada hasil-hasil ini, atau saya ingin menemukan penjelasan yang pasti tentang
keadaan ini.
5. Pembahasan
1.
Pemahaman Mahasiswa Tentang Menghitung Limit dan Makna Notasi Limit dalam
kasus :
,
= ,
dan
( )=
( )=
+1= 2
adalah
64
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Cara substitusi langsung dilakukan apabila tidak menghasilkan bentuk 0/0 sebagaimana subjek
menyelesaikan lim
lim
= 2:
Secara umum pemaknaan makna notasi limit sebagaiman yang telah dijelaskan oleh subjek
bahwa lim
( )=
diartikan setiap nilai x yang diambil mendekati c (dari kiri atau kanan)
( ) =
( ) =
4
diselesaikan dengan cara substitusi yaitu pada h(x) = 4, yang mana h(x) = 4 merupakan fungsi
konstan yang limitnya pada saat x mendekati 1 adalah 4 itu sendiri. Namun makna notasi limit
ini dijelaskan oleh Subjek bahwa jika x mendekati 1 maka h(x) mendekati L3. Makna x
mendekati 1 dipahami Subjek bahwa x 1. Jika demikian, menurut subjek limit ini berarti jika
x mendekati 1 maka h(x) mendekati 2. Subjek mengalami kebingungan apakah lim
65
( ) =
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2 atau lim
( ) = 4, Subjek
mengalami keraguan-raguan terhadap nilai limit ini sebab Subjek menjelaskan bahwa jika x
mendekati 1 , maka h(x)= 4 mendekati 4...Masa, 4 mendekati 4? Bukan, ... tapi
jika x
mendekati 1 maka h(x) = 4 tetap sama dengan 4 karena berapapun nilai x, h(x) akan selalu
bernilai 4.
Subjek merepresentasikan
lim
( ) =
( ) =
4
=1
Subjek membuat tanda bundaran pada grafik h(x), yaitu pada saat x = 1. Dengan
mengungkapkan bahwa tanda bundaran tersebut berarti h(x) mendekati 2 pada saat x
mendekati 1, sekaligus lim
( ) = 4
Pemahaman Subjek sebagaiman diuraikan diatas ini merupakan satu bentuk konflik
kognitif dalam pemahaman mahasiswa tentang makna notasi limit dan cara-cara menghitung
limit (substitusi) yang tidak berintagrasi dengan baik dalam pikiran mahasiswa sehingga
menimbulkan konflik kognitif.
2.
Pemahaman Definisi Formal Limit dan Representasinya Dalam Grafik Fungsi pada
kasus
+ 1 = 2 berarti bahwa
Pemahaman limit berdasarkan definisi formalnya, Subjek lebih awal menetapkan untuk setiap
> 0 dan memilih =, sebagaimana Subjek menuliskan >0, pilih =, 0<|x-1|< |x+1
2|< .
Dalam grafik fungsinya, limit ini direpresentasikan:
+ 2 = 4 dengan tahapan:
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
(i)
(ii)
Representasi limit pada grafik fungsi yang ditunjukkan Subjek di atas, Subjek lebih awal
menetapkan delta sebagai jarak terdekat x dengan 1 kemudian menetapkan epsilon sebagai jarak
terdekat f(x) dengan 2, kemudian menetapkan hubungan delta dan epsilon adalah sama. Walau,
Subjek menunjukkan bahwa delta dan epsilon keduanya dipilih sebarang. Subjek menjelaskan
..., syarat |x 1| < harus dipenuhi agar |x + 1 1| < . Atas alasan ini, subjek menetapkan
delta lebih awal dari epsilon. Penjelasan ini bertentangan dengan bukti limit yang ditunjukkan
subjek di atas, dalam hal ini Subjek menetapkan sebarang epsilon lebih awal untuk memilih
delta yang sama dengan epsilon.
Berdasarkan uraian di atas, konflik kognitif dialami oleh Subjek dalam pemahamannya
tentang definisi formal limit dan makna notasi limit karena kedua pemahaman ini bertentangan
dan tidak berintegrasi dengan baik.
6. Penutup
1. Kesimpulan
Pemahaman-pemahaman mahasiswa tentang limit fungsi yang berpotensi menimbulkan konflik
kognitif:
(1) Makna notasi limit dan cara menghitung limit
(2) Pembuktian limit dan merepresentasikan limit dalam grafik berdasarkan definisi formal
limit
(3) Merepresentasikan limit dalam grafik berdasarkan makna notasi limit dan berdasarkan
definisi formal limit.
2. Rekomendasi
(1) Diharapkan adanya penelitian lanjutan yang mengungkap profil konflik kognitif dalam
pemahaman mahasiswa tentang limit fungsi agar dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan khususnya dalam psikologi pembelajaran.
(2) Konflik kognitif dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai strategi pembelajaran yang
dikelola secara terencana dan sistematis sehingga pemahaman siswa/mahasiswa
67
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
7. Pustaka
Anderson, Orin, W & Krathwohl, David. R, 2001. A Taxonomy for Learning Teaching and
Assesing. A Revision of Blooms Taxonomy of Educational Objectives. United States:
Addison Wesley Longman, Inc.
Bodrakova, W.V. 1988. The Role of Eksternal and Cognitive Conflict in Childrens
Conservation Learning. City University of New York.
Dreyfus, A., Jungwirth, E. & Eliovitch, R. 1990. Applying the Cognitif Conflict Strategy for
Conceptual Change-Some Implications, Difficulties, and Problems. Science Education,
74, 5, 555-569.
Ernest, Paul. 1991. The Philoshophy of Mathematics Education. UK, USA: The Falmer Press.
Kwon, Jaessol & Lee, Gyoungho. 2001. What Do We Know about Students Cognitive Conflict
in Science Clasroom: A Theoretical Model of Cognitive Conflict Process. Korea: EDRS.
Lee, Gyoungho.,et.al. 2003. Developmen of an Instrument for Measuring Cognitive Conflict in
Secondary-Level Sciences Classes. Research in Science Teaching.40 No.6. 585-603.
Wiley Interscience.
Mischel, T. 1971. Piaget: Cognitive Conflict and The Motivation of Thought, Cognitive
Development and Epistemology, 21. 265-287.
Piaget, J. 1985. The Equilibration of Cognitive Structure: The Central Problem of Intellectual
Development. The University of Chicago Press, Chicago.
Sela, Hagit & Zaslavsky, Orit. 2007. Resolving Cognititive Conflict With Peers Is There A
Difference Between Two and Four? Proceeding of the 31st Conference Of International
Group for the Psychology of Mathematics Education. Seoul-PME.
Soedjadi. 2008. Materi Perkuliahan Problematika Pendidikan Matematika. PPs Universitas
Negeri Surabaya.
Wadsworth, B.J. 1996. Piagets Theory of Cognitive and Affective Development. N.Y:
Longman.
Watson, Jane, M. 2002. Creating Cognitive Conflict in A Controlled Research Setting:
Sampling. ICOTS6. University of Tasmania, Australia.
68
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Makalah ini membahas proses dan hasil penelitian tentang kemampuan partisipasi dan
kerjasama siswa dalam pembelajaran matematika beracuan konstruktivis dengan setting
kooperatif. Indikator kemampuan partisipasi dan kerjasama dalam penelitian ini adalah saling
membantu, saling mendengarkan, saling memperhatikan, saling bertanya sewaktu kerja
kooperatif, menjawab pertanyaan teman yang bertanya, dan membuat rangkuman atau
kesimpulan secara bersama. Penelitian ini menggunakan instrumen pedoman keterlaksanaan
pembelajaran matematika beracuan konstruktivis dengan setting kooperatif, pedoman penilaian
diri siswa (refleksi diri siswa) serta pedoman penilaian teman sejawat (peer assessment). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan partisipasi dan kerjasama siswa adalah cukup
baik dalam pembelajaran matematika beracuan konstruktivis dengan setting koperatif.
Kata-kata kunci: kemampuan partisipasi dan kerjasama, pembelajaran matematika beracuan
konstruktivis, kooperatif.
1. Pendahuluan
Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi siswa dalam belajar adalah apa yang
diketahuinya. Sebagai guru, kita berusaha untuk mengetahui dan memanfaatkan pengetahuan
awal yang telah dimiliki siswa sebelum mereka mempelajari suatu konsep atau pengalaman
baru. Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivisme bahwa guru perlu memberi kesempatan
kepada siswa untuk membangun pengetahuannya secara aktif dengan memperhatikan
pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa. (Hudojo, 2001; Mikusa, 1999; NCTM, 1990;
Sadijah, 2006)
Peneliti telah melakukan penelitian tentang pembelajaran matematika yang beracuan
konstruktivisme (Sadijah; 2001a) dan menyimpulkan bahwa pembelajaran matematika yang
beracuan konstruktivisme dapat meningkatkan kebermaknaan pemahaman siswa tentang
matematika. Selanjutnya, penelitian yang mencermati perbedaan jender dalam pembelajaran
yang beracuan konstruktivis juga telah dilakukan oleh peneliti (Sadijah, 2007). Hasil penelitian
tersebut adalah bahwa kemampuan pemecahan masalah masing-masing siswa perempuan dan
siswa laki-laki yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran matematika beracuan
konstruktivis secara kualitatif sama, yaitu termasuk kriteria cukup baik. Dalam penelitian
tersebut belum dikaji kemampuan partisipasi dan kerjasama siswa
dalam pembelajaran
matematika beracuan konstruktivis. Oleh karena itu dalam penelitian ini dikaji kemampuan
partisipasi dan kerjasama siswa dalam pembelajaran matematika beracuan konstruktivis dengan
69
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
setting kooperatif. Penelitian ini dilaksanakan bagi 34 siswa di salah satu SMP di Malang kelas
VII tahun 2009.
Berikut ini dikemukakan karakteristik dan kegiatan pembelajaran yang dapat dilakukan dalam
pembelajaran matematika beracuan konstruktivis (Sadijah, 2006, 2007).
Tabel 1. Karakteristik dan kegiatan pembelajaran yang dapat dilakukan dalam pembelajaran
matematika beracuan konstruktivis
Karakteristik
dimiliki siswa..
Mengintegrasikan
pembelajaran
relevan,
Menyediakan berbagai alternatif
pengalaman belajar.
cara
atau
yang
tidak
hanya
diskusi
terhadap
Memberi
representasi/media
Mendorong
peningkatan
Memberi
kesempatan
siswa
kesempatan
menjelaskan
pembentukan
atau
untuk
mengapa
siswa
untuk
bagaimana
70
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Aktivitas Guru
Kegiatan Pendahuluan
a. Guru menyediakan LKMS dan sarana a. Dalam setting kooperatif. Wakil siswa
pendukung yang diperlukan.
dalam setiap kelompok mengambil dan
membagi
LKMS
pada
anggota
kelompok.
b. Siswa siap belajar dan mencoba
memahami informasi guru tentang apa
b. Guru melakukan apersepsi dan motivasi
yang akan dipelajari melalui LKMS
tentang apa yang akan dipelajari siswa
dan
menginformasikan
tentang
indikator pembelajaran melalui Lembar
Kegiatan Matematika untuk Siswa
(LKMS)
c. Guru memberi kesempatan bertanya
c. Siswa menanyakan hal yang kurang
kepada siswa
jelas kepada guru, jika perlu
Kegiatan Inti, Fase: Kesadaran dan Operasional
Siswa Belajar Matematika Secara Individu
Fase: Kesadaran
a. Guru mengajak siswa mengaitkan
materi yang akan dipelajari siswa
dengan pengetahuan awal siswa, bisa
dengan lisan, Kegiatan ini juga dapat
langsung melalui LKMS.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam penelitian ini indikator kemampuan partisipasi dan
kerjasama adalah saling membantu, saling mendengarkan, saling memperhatikan, saling
bertanya sewaktu kerja kooperatif, menjawab pertanyaan teman yang bertanya, dan membuat
rangkuman atau kesimpulan secara bersama (Sadijah, 2001b).
73
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Metode
Penelitian ini dilaksanakan bagi 34 siswa di satu SMP di kota Malang kelas VII tahun 2009.
Penelitian ini menggunakan pembelajaran matematika beracuan konstruktivis dengan setting
kooperatif
yang dimodifikasi dari Sadijah (2006a, 2007). Instumen penelitian ini adalah
setiap
pertemuan
dilakukan
pengamatan
keterlaksanaan
pembelajaran.
Pembelajaran dilakukan oleh guru. Pengamatan dilakukan oleh peneliti dan dua mahasiswa
pendidikan matematika UM. Sedangkan penilaian tentang kemampuan partisipasi dan
kerjasama dilakukan oleh siswa sendiri (penilaian diri) dan teman diskusi dalam kelompoknya
(peer assesment) dengan menggunakan instrumen kemampuan partisipasi dan kerjasama. Hasil
pengukuran kemampuan partisipasi dan kerjasama siswa pada setiap pembelajaran dicocokkan
antara hasil dari penilaian diri sendiri dan penilaian teman kelompok, kemudian dilakukan ratarata.
3. Hasil dan Pembahasan
Berikut dibahas tentang analisis keterlaksanaan pembelajaran matematika beracuan
konstruktivis dengan setting kooperatif dan analisis tentang kemampuan partisipasi dan
kerjasama siswa
A. Analisis Keterlaksanaan Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivis dengan
setting kooperatif.
Pada pedoman pengamatan keterlaksanaan pembelajaran matematika beracuan konstruktivis
dengan setting kooperatif, dilakukan pengamatan pada aktivitas guru dan siswa pada empat fase
pada kegiatan inti, yaitu fase kesadaran, fase operasional, fase reflektif, dan fase penyusunan
persetujuan, kemudian diberi skor seperti berikut. 1 tidak terlaksana, 2 kurang terlaksana, 3
cukup terlaksana, 4 terlaksana dengan baik. Selanjutnya skor rata-rata dikonversikan dengan
kriteria sebagai berikut
1,49
tidak terlaksana
1,50 2,49
kurang terlaksana
2,50 3,49
cukup terlaksana
3,50 4,00
terlaksana
74
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Dari hasil pengamatan pada setiap pertemuan diperoleh data bahwa rata-rata keterlaksanaan
pembelajaran matematika beracuan konstruktivis dengan setting kooperatif pada pertemuan 1
cukup terlaksana, dan mulai pertemuan ke 2 sampai ketujuh terlaksana dengan baik.
2,62
II
2,71
III
2,69
IV
2,73
2,81
VI
2,79
VII
2,82
1,50 2,49
2,50 3,49
3,50 4,00
Dari data di atas dapat dikemukakan bahwa kemampuan partisipasi dan kerjasama
siswa dalam belajar matematika yang pembelajaran matematika menggunakan pembelajaran
matematika beracuan konstruktivis dengan setting kooperatif adalah cukup baik. Baik dikaji dari
hasil setiap pertemuan maupun bila dikaji secara rata-rata. Hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini mendukung penelitian Sadijah (2001a, 2006, 2007) dan juga penelitian Utami dan
Sadijah (2007).
4. Penutup
Kesimpulan penelitian ini sebagai berikut. kemampuan partisipasi dan kerjasama siswa dalam
belajar matematika yang pembelajaran matematika menggunakan pembelajaran matematika
beracuan konstruktivis dengan setting kooperatif adalah cukup baik. Dari hasil penelitian ini
75
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
dapat disarankan pembelajaran konstruktivis dengan setting kooperatif yang diterapkan dalam
penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika.
5. Daftar Pustaka
Hudojo, H. 2001. Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah disajikan pada
Seminar Lokakarya Konstruktivisme sebagai Rangkaian Kegiatan Piloting FMIPA UM.
Malang: 9 Juli.
Mikusa, M.G. & Lewellen, H. 1999. Now Here Is That, Authority on Mathematics Reform, Dr.
Constructivist. The Mathematics Teacher, 92, 158-163.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). 1990. Constructivist Views on The
Teaching and Learning of Mathematics. Journal for Research in Mathematics Education.
Reston, Virginia: NCTM.
Sadijah, C. 2001a. Pengembangan Pembelajaran Matematika secara Konstruktivis sebagai
Upaya Meningkatkan Kebermaknaan Pemahaman Aljabar Siswa Kelas I SLTP. Forum
Penelitian, ISSN 0215-8019, 13(1), Juni 2001
Sadijah, C. 2001b. A Case Study of The Implementation of Alternative Assessment in
Mathematics, Jurnal MIPA, ISSN 0854-8269, Tahun 30, Nomor 2, Juli 2001
Sadijah, C. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme
untuk Siswa SMP. Mathedu Jurnal Pendidikan Matematika. 1 (2): 111-122.
Sadijah, C. 2007. Sikap Kritis dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Perempuan yang
Pembelajaran Matematikanya Menggunakan Pembelajaran Matematika Beracuan
Konstruktivis. Jurnal MIPA dan Pembelajarannya. 36 (2): 133-146.
Tadao, N. 2000. The Constructive Approach in Mathematics Education. Dalam Japan Society of
Mathematical Education (JSME). Mathematics Education in Japan (hlm. 88 90).
Tokyo: JSME
Utami, T.H.dan Sadijah, C. 2007. Kemampuan Kooperatif Siswa Perempuan dalam Belajar
Matematika di SMP Kota Malang. Malang: Lemlit UM.
76
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Berpikir analitis, kreatif, kritis, dan inovatif merupakan proses berpikir tingkat tinggi yang
menarik didiskusikan. Penerapan dalam pembelajaran matematika perlu selalu dikembangkan.
Pada makalah ini, diulas perbedaan dan penerapannya pada pembelajaran analisis real ditinjau
dari taksonomi Blomm.
Kata kunci: analitis, kreatif, kritis, inovatif, dan taksonomi Blomm
1. Pendahuluan
Salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa program studi pendidikan
matematika FPMIPA IKIP PGRI Madiun adalah analisis real. Sesuai alokasi waktu sebaran
mata kuliah, analisis real diberikan pada mahasiswa semester VI untuk analisis real I dan
semester VII untuk analisis real II masing-masing dengan bobot 2 sks. Pada analisis real I
dibahas sistem, topologi, dan barisan bilangan real sedangkan pada analisis real II dibahas
fungsi, turunan, integral, dan sifat-sifatnya. Analisis real merupakan bagian dari matematika.
Menurut Soedjadi dan Moesono (dalam Sutiarso, 2000), belajar matematika secara umum
bertujuan menata nalar, membentuk sikap, dan menumbuhkan kemampuan matematika. Belajar
matematika adalah belajar memaknai dan mengkomunikasikan ide matematika dengan bahasa
yang sederhana, selain belajar simbol-simbol, prosedur, atau formulasi matematis. Sesuai
pendapat Alfeld (2000), kemampuan matematika meliputi: explain mathematical concepts and
facts in terms of simpler concepts and facts, easily make logical connections between different
facts and concepts, recognize the connection when you encounter something new (inside or
outside of mathematics) thats close to the mathematics you understand, and identify the
principles in the given piece of mathematics that make everything work.
Berdasarkan proses berpikir belajar matematika, Gray & Tall (2004) mempunyai
pemikiran bahwa sesuai perkembangan kognitif matematika dapat dibagi menjadi tiga dunia
yaitu conseptual-embodied world atau embodied world, proceptual-symbolic world atau
proceptual world, dan formal-axiomatic world atau formal world. Analisis real termasuk
dalam dunia yang terakhir. Pembentukan struktur kognitif yang diperoleh dapat dilihat pada
gambar berikut.
77
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Dunia ketiga dibangun dan dunia kesatu dan dunia kedua, tetapi terdapat juga materi yang
merupakan gabungan dari dunia kesatu dan dunia kedua. Dengan pemikiran abstrak diharapkan
dapat memunculkan ide-ide yang lebih kreatif.
Lebih luas dari pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi, berdasarkan tujuan-tujuan
umum belajar matematika, kembali kita pertanyakan tujuan belajar matematika. Apakah supaya
mampu berpikir analitis? Apakah supaya mampu berpikir secara kreatif? Apakah supaya
mampu berpikir secara kritis? Sesuai tuntutan sekarang, apakah juga supaya mampu berpikir
inovatif? Apakah berpikir analitis itu? Apakah berpikir kreatif, kritis, dan inovatif itu?
Bagaimana perbedaan antara keempatnya? Bagaimana penerapannya pada matakuliah analisis
real? dan bagaimana jika ditinjau dari taksonomi bloom? Permasalahan-permasalahan tersebut
akan dicoba dibahas dalam makalah ini.
2. Pembahasan
2.1 Berpikir Analitis
Menurut Poerwadarminta (2007), analisis adalah penyelidikan kimia dengan
menguraikan sesuatu untuk mengetahui bagian-bagian zat atau penyelidikan suatu peristiwa
(karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui apa sebab-sebabnya dan bagaimana duduk
perkaranya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), analisis diartikan sebagai: 1)
Penyelidikan terhadap sesuatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan
yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb); 2) Penguraian suatu pokok atas
berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk
memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan; 3) Penyelidikan kimia
dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat-zat bagiannya dsb; 4) Proses pemecahan
persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya; dan 5) Penjabaran sesudah dikaji
sebaik-baiknya. Analisis bahasa artinya penelaahan yang dilakukan oleh peneliti atau pakar
bahasa dalam menggarap data kebahasaan yang diperoleh dari penelitian lapangan atau dari
pengumpulan teks (kepustakaan). Analisis data artinya penelaahan dan penguraian atas data
hingga menghasilkan simpulan-simpulan. Analisis kimia diartikan penentuan komponenkomponen kimia suatu senyawa yang dilakukan dengan pemisahan dan pengukuran atas contoh
78
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
yang mewakili. Analisis jabatan artinya penyelidikan tentang kemampuan dan kepribadian
seseorang dalam hubungan dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Analisis pasar
artinya telaah tentang potensi, lokasi, sifat, dan ciri pasar. Analisis deduktif artinya penetapan
kebenaran suatu pernyataan dengan menunjukkan bahwa pernyataan itu telah tercakup dalam
pernyataan lain yang telah ditetapkan kebenarannya. Analisis induktif diartikan penetapan
kebenaran suatu hal atau perumusan umum mengenai suatu gejala dengan cara mempelajari
kasus-kasus atas kejadian-kejadian khusus yang berhubungan dengan hal itu.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan analisis meliputi: 1)
Menguraikan untuk mengetahui bagian-bagiannya; 2)
hingga menghasilkan
simpulan dan mengetahui nilai kebenarannya; dan 3) Penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya.
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua penguraian dan penelaahan bisa disebut analisis.
Content analysis is a careful, detailed, systematic examination and interpretation of a
particular body of material in an effort to identify patterns, themes, biases, and meanings (Berg
& Latin, 2008; Leedy & Ormrod, 2005; Neuedorf, 2002; dalam Bruce L. Berg.,
2009).
Typically, content analysis is performed on various forms of human communications; this may
include various permutations of written documents, photographs, motion pictures or videotape,
and audiotapes. Oleh karena itu suatu kegiatan disebut analisis jika Careful, Detailed,
Systematic examination, Interpretation of a particular body of material in an effort, dan
Performed on various forms of human communications.
Analisis adalah penguraian menjadi bagian-bagiannya yang selanjutnya ditelaah bagian
maupun hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman secara
79
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
keseluruhan. Hal ini tampak dalam pembelajaran analisis real dimulai dari penguraian sistem
bilangan yang ada, setelah mempelajari konsep barisan bilangan real dibahas konsep sub barisan
bilangan real.
Analisis adalah penelaahan sebab-sebab munculnya sifat-sifat secara induktif maupun
deduktif hingga menghasilkan simpulan dan mengetahui nilai kebenarannya. Hal ini tampak
dalam pembelajaran analisis real tentang sifat bahwa antara dua bilangan real pasti ada bilangan
real, bahwa semua fungsi polinomial pasti kontinu, bahwa semua fungsi terdiferensial pasti
kontinu. Analisis adalah penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya. Dalam menganalsis bilangan
real dituntut untuk disajikan dalam bentuk formal termasuk dalam proses pembuktiannya.
Menganalisis bilangan real berarti menguraikan bilangan real untuk mengetahui bagianbagian, himpunan, barisan, fungsi, dan hubungan antarbagian bilangan real sehingga diperoleh
pengertian dan sifat-sifat secara tepat dan menyeluruh. Untuk mengetahui kemampuan analisis
mahasiswa diberikan suatu masalah. Dalam pemecahan masalah analisis real diperlukan
prosedur-prosedur penyelesaian yang dituliskan dalam bentuk bahasa formal. Oleh karena itu
dibutuhkan pemahaman konsep, definisi formal, kemampuan pemodelan matematika, teoremateorema yang berkaitan, pembuktian, dan penulisan secara formal.
2.2 Berpikir Kreatif
Menurut David Campbell, kreativitas adalah suatu ide atau pemikiran manusia yang
bersifat inovatif, berdaya guna, dan dapat dimengerti. Menurut Drevdahl, kreativitas adalah
kemampuan seseorang menghasilkan gagasan baru, berupa kegiatan atau sintesis pemikiran
yang mempunyai maksud dan tujuan yang ditentukan, bukan fantasi semata. Kreativitas berarti
kemampuan menemukan hubungan-hubungan baru, kemampuan melihat sesuatu dari sudut
pandang baru, dan kemampuan membentuk kombinasi baru.
Suatu ide atau gagasan dapat muncul dari proses berpikir. Arti kata kreatif di sini
diarahkan pada proses dan hasil yang positif yaitu untuk kebaikan bukan untuk keburukan.
Kreatif juga perlu dibenturkan dengan kesesuaian, konteks dengan tema persoalan, nilai
pemecahan masalah, serta bobot dan tanggung jawab yang menyertainya. Dengan demikian,
tidak setiap kebaruan hasil karya dapat dengan serta-merta disebut kreatif. Sementara yang
dimaksud tanggung jawab adalah landasan konseptual yang menyertai karya tersebut.
Di dalam makna kreatif yang diutamakan adalah aspek kebaruan dan kesegaran ide.
Nilai kreativitas bisa ditinjau dari nilai orisinalitas dan keunikan, bisa juga merupakan sebuah
alternatif cara lain, walau inti pesan sebenarnya tidak berbeda dengan apa yang pernah ada
sebelumnya. Kedalaman kreativitas dapat juga diukur dari nilai efektivitas atau kualitas
pencapaiannya.
80
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
dalam
berpikir
analitis
adalah
proses
berpikir
untuk
mengklasifikasi,
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Ada 5 tipe inovasi menurut para ahli yaitu inovasi produk, inovasi proses, inovasi
pemasaran, inovasi organisasi, dan inovasi model bisnis. Inovasi produk melibatkan pengenalan
barang baru, pelayanan baru yang secara substansial meningkat. Melibatkan peningkatan
karakteristik fungsi juga, kemampuan teknisi, mudah menggunakannya. Contohnya mediamedia pembelajaran, alat-alat peraga, software komputer, dll. Inovasi proses melibatkan
implementasi peningkatan kualitas produk yang baru atau pengiriman informasi. Contohnya
inovasi
model-model
pembelajaran,
metode-metode
pembelajaran,
strategi-strategi
pembelajaran, dll. Inovasi pemasaran mengembangkan metoda mencari pangsa pasar baru
dengan meningkatkan kualitas desain, pengemasan, promosi. Inovasi organisasi meliputi kreasi
organisasi baru, praktek bisnis, cara menjalankan organisasi atau perilaku berorganisasi. Inovasi
model bisnis yaitu mengubah cara berbisnis berdasarkan nilai yang dianut.
Karakteristik inovasi ditentukan oleh situasi dan kondisi pasar. Inovasi yang mengikuti
kondisi memungkinkan kesesuaian dengan kebutuhan pasar dapat dijalankan seperti biasanya.
Inovasi yang terpisah dapat mengubah pasar atau produk contohnya penemuan barang murah,
tiket pesawat murah. Inovasi penambah muncul karena berlangsungnya evolusi dalam berpikir
inovasi, penggunaan teknologi yang memperbesar peluang keberhasilan dan mengurangi produk
yang tidak sempurna. Inovasi radikal mengubah proses manual menjadi proses berbasis
teknologi keseluruhannya.
Terdapat dua sumber utama inovasi, yaitu fabrikan dan pengguna. Secara tradisional,
sumber inovasi adalah fabrikasi. Hal tersebut karena agen (orang atau bisnis) berinovasi untuk
menjual hasil inovasinya. Inovasi pengguna; hal tersebut dimana agen (orang atau bisnis)
mengembangkan inovasi sendiri (pribadi atau di rumahnya sendiri), hal itu dilakukan karena
produk yang dipakainya tidak memenuhi apa yang dibutuhkannya.
Tujuan utama inovasi pembelajaran matematika adalah meningkatkan kualitas proses
belajar mengajar matematika, menciptakan pasar baru, memperluas jangkauan produk,
mengurangi biaya tenaga kerja, meningkatkan proses produksi, mengurangi bahan baku,
mengurangi kerusakan lingkungan, mengganti produk atau pelayanan, mengurangi konsumsi
energi, dan menyesuaikan diri dengan tata tertib institusi.
2.5 Taksonomi Bloom
Konsep Taksonomi Bloom dikembangkan pada tahun 1956 oleh Benjamin Bloom.
Konsep ini mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan
psikomotorik. Ranah kognitif meliputi fungsi memprosesan informasi, pengetahuan dan
keahlian mental. Ranah afektif meliputi fungsi yang berkaitan dengan sikap dan perasaan.
Sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dengan fungsi manipulatif dan kemampuan fisik.
Ranah
kognitif
menggolongkan
dan
mengurutkan
keahlian
berpikir
yang
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
kemampuan yang harus mahasiswa kuasai sehingga dapat menunjukan kemampuan pikiran
sehingga mampu mengaplikasikan teori. Mengubah teori ke dalam keterampilan terbaiknya
sehinggi dapat menghasilkan sesuatu yang baru sebagai produk inovasi pikirannya. Taksonomi
Bloom terdiri dari subkategori yang memiliki kata kunci yaitu pengetahuan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Pentahapan berpikir seperti itu mendapat sanggahan. Alasannya, dalam beberapa jenis
kegiatan, tidak semua tahap seperti itu diperlukan. Contohnya dalam menciptakan sesuatu tidak
harus melalui penatahapan itu. Hal itu kembali pada kreativitas individu. Proses pembelajaran
dapat dimulai dari tahap mana saja. Namun, model pentahapan itu sebenarnya melekat pada
setiap proses pembelajaran secara terintegrasi dan holistik. Ketika kemampuan itu dipisah-pisah
maka siswa dapat kehilangan kemampuannya untuk menyatukan kembali komponen-komponen
yang sudah terpisah. Model penciptaaan suatu produk baru atau menyelesaian suatu proyek
tertentu lebih baik dalam memberikan tantangan terpadu yang mendorong siswa untuk berpikir
secara kritis.
Lorin Anderson merevisi taksonomi Bloom pada tahun 1990. Hasil perbaikannya
dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom. Dalam revisi ini ada
perubahan kata kunci, pada kategori dari kata benda menjadi kata kerja. Masing-masing
kategori masih diurutkan secara hirarkis, dari urutan terendah ke yang lebih tinggi. Pada ranah
kognitif kemampuan berpikir analisis dan sintesis diintegrasikan menjadi analisis saja. Dari
jumlah enam kategori pada konsep terdahulu tidak berubah jumlahnya karena Lorin memasukan
kategori baru yaitu creating yang sebelumnya tidak ada.
Setiap kategori dalam Revisi Taksonomi Bloom terdiri dari subkategori yang memiliki
kata kunci berupa kata yang berasosiasi yaitu mengingat, memahami, menerapkan,
menganalisis, mengevaluasi, dan berkreasi. Mengingat meliputi mengurutkan, menjelaskan,
mengidentifikasi, menamai, menempatkan, mengulangi, menemukan kembali dsb. Memahami
meliputi
menafsirkan,
meringkas,
mengklasifikasikan,
membandingkan,
menjelaskan,
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
menyelesaikan masalah, sesuai prinsip dalam taksonomi bloom, sebelum memahami sebuah
konsep-konsep maka kita harus mengingat definisi konsep tersebut terlebih dahulu. Sebelum
kita menerapkan konsep, kita harus memahami konsep tersebut terlebih dahulu. Sebelum kita
mengevaluasi benar atau salah pekerjaan kita maka kita harus mengukur atau menilainya.
Sebelum kita berkreasi dengan konsep pada analisis real maka kita harus mengingat,
memahami, mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi, serta memperbaharui jika
diperlukan. Jika kita mampu mencapai tingkat memperbaharui (berkreasi) analisis real maka
mungkin kita bisa lebih sukses karena tingkatan ini biasanya 'miliknya' ilmuwan.
2.6 Berpikir Analitis, Kreatif, Kritis, Dan Inovatif Ditinjau Dari Taksonomi Bloom
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik pengertian pokok dari berpikir analitis, berpikir
kreatif, berpikir kritis, dan berpikir inovatif pada matakuliah analisis real. Menganalisis bilangan
real berarti menguraikan bilangan real untuk mengetahui bagian-bagian, himpunan, barisan,
fungsi, dan hubungan antarbagian bilangan real sehingga diperoleh pengertian dan sifat-sifat
secara tepat dan menyeluruh. Kreativitas dalam analisis real berarti kemampuan menemukan
hubungan-hubungan baru; kemampuan melihat sesuatu dari sudut pandang baru; dan
kemampuan membentuk kombinasi baru.
hubungan lainnya antar informasi, menemukan relevansi dan validasi informasi yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah, dan mengevaluasi solusi atau cara-cara alternatif
penyelesaian untuk membuat keputusan rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah
menyakini atau melakukan sesuatu. Inovasi berarti membuat perubahan atau memperkenalkan
sesuatu yang baru, mengimplementasikan produk dan proses yang dapat meningkatkan pangsa
pasar. meskipun hanya sesaat, baik harganya, maupun pelakunya. Taksonomi Bloom meliputi
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Sedangkan Revisi
Taksonomi Bloom yaitu mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan
berkreasi.
Jika kita amati berpikir analitis sudah ada pada taksonomi blom baik yang sebelum
maupun sesudah direvisi. Berpikir kreatif, belum ada pada taksonomi bloom sebelum direvisi
tetapi sudah ada pada taksonomi bloom sesudah direvisi. Bagaimana kedudukan berpikir kritis
dan kedudukan berpikir inovatif sekarang? Untuk itu berikutnya akan dibahas. Ditinjau dari
komponen-komponen berpikir kritis, proses berpikir kritis mendekati evaluasi. Berpikir kritis
mestinya di atas berpikir kreatif karena suatu kreativitas itu ada yang baik dan ada yang tidak
baik sehingga baru diperlukan suatu kekritisan. Sedangkan berpikir inovatif belum ada. Inovatif
mestinya di atas kreatif karena tidak semua yang kreatif itu inovatif. Tetapi untuk mencapai
inovatif (bermanfaat bagi pasar) dibutuhkan kreativitas. Berdasarkan pemikiran di atas mungkin
revisi taksonomi bloom mestinya perlu direvisi kembali seperti Revisi Taksonomi Bloom yaitu
85
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
3. Kesimpulan
Ditinjau dari komponen-komponen berpikir kritis, proses berpikir kritis mendekati
evaluasi. Sedangkan berpikir inovatif belum ada. Inovatif mestinya di atas kreatif karena tidak
semua yang kreatif itu inovatif. Tetapi untuk mencapai inovatif (bermanfaat bagi pasar)
dibutuhkan kreativitas. Berdasarkan pemikiran di atas mungkin revisi taksonomi bloom perlu
direvisi kembali.
Daftar Pustaka
Alfeld, Peter. 2000. Understanding Mathematics a Study Guide. Department of Mathematics.
College of Science. University of Utah. Download 5 Januari 2007
David Tall. 2005. A Theory of Mathematical Growth through Embodiment, Symbolism and
Proof. International Colloquium on Mathematical Learning from Early Childhood to
Adulthood, organised by the Centre de Recherche sur lEnseignement des
Mathmatiques, Nivelles, Belgium, 5-7 July 2005.
Eggen, P.D., Kauchak, D.P. 1996. Strategy for Teacher: Teaching Content and Thinking Skill.
3th Edition. USA. Allyn & Bacon.
Kamus Besar Bahasa Indonesia / Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
1999. Ed. 2. cet. 10. Jakarta: Balai Pustaka,
Poerwadarminta, W.J.S., 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia / Susunan W.J.S.
Poerwadarminta diolah kembali oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Edisi III, cetakan ke-4. jakarta: Balai Pustaka
Sukmadinata, N.S. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Kesuma Karya.
Sutiarso, Sugeng. 2000. Problem Posing: Strategi Efektif Meningkatkan Aktifitas Siswa Dalam
Pembelajaran Matematika. Prosiding Konperensi Nasional Matematika X. ITB, 17-20
Juli 2000
86
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
d11januari@gmail.com
Abstrak
Makalah ini merupakan hasil penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran mahasiswa pada mata kuliah matematika di jurusan PTB FT Unesa,
melalui penciptaan pembelajaran yang komunikatif dan interaktif melalui media. Kegiatan
pembelajaran dilaksanakan menggunakan media, dimana materi disusun dan dikembangkan dari
pokok bahasan pergeseran grafik suatu fungsi. Strategi tindakan dalam mengerjakan latihan soal
dilaksanakan dalam tiga siklus yaitu siklus pertama dengan perlakuan mandiri, siklus kedua
kelompok atau diskusi dan siklus ketiga terbimbing. Hasil yang didapat dalam penelitian ini
adalah pada tes awal kemampuan belajar mahasiswa 8,35%, peningkatan kemampuan belajar di
siklus pertama 49,32%, pencapaian di siklus kedua 59,41%, di siklus ketiga peningkatan
kemampuan belajar mahasiswa mencapai 82,87%, untuk tes akhir peningkatan kemampuan
belajar mahasiswa adalah 83,61%. Diharapkan pembelajaran matematika dengan media dan
strategi penyelesian soal dapat efektif meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai
materi penerapan integral pada matakuliah matematika.
Kata kunci: media, stategi pembelajaran, hasil belajar
1. Pendahuluan
Strategi pembelajaran dan skenario dalam proses belajar mengajar perlu disiapkan secara
matang di kurikulum pembelajaran. Selain materi ajar dan media pembelajaran, pendekatan
strategi pembelajaran latihan soal perlu disiapkan secara baik untuk melibatkan peserta didik
secara aktif dan konstruktif dalam proses pembelajaran, terutama matematika yang memerlukan
ketelitian dan ketrampilan penyelesaian soal.
Penelitian ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari proses pembelajaran penggunaan media
sebagai sarana penunjang proses belajar mengajar. Pendekatan strategi pembelajaran dirancang
dengan menciptakan skenario pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif dalam
proses belajar dengan cara pemberian latihan soal matematika secara terstruktur dengan
perlakukan tindakan penyelesaian soal secara berbeda di tiap siklusnya. Tujuan yang diharapkan
dalam pendekatan strategi pembelajaran dengan latihan terstruktur adalah terjadi peningkatan
hasil belajar mahasiswa dalam matakuliah matematika. Terselenggaranya perkuliahan yang aktif
dan komunikatif selama proses belajar mengajar diharapkan mampu meningkatkan suasana
diskusi antar mahasiswa lain dalam penyelesaian soal-soal matematika.
87
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Metode
2.1 Pendekatan Strategi Pembelajaran dengan Latihan Soal Terstruktur
Pendekatan strategi pembelajaran dengan latihan soal terstruktur diharapkan dapat
meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada matakuliah Matematika. Tiap pengajaran wajib
membentuk proses belajar yang merangsang peserta didik untuk giat melakukan sesuatu; peserta
didik harus memperoleh kesempatan memanfaatkan kemampuan (Rooijakkers, 1991). Hal
demikian diharapkan akan dapat mengatasi faktor-faktor penghambat dalam proses belajar
mahasiswa.
Strategi mengajar menurut Muhibbin Syah(2002), didefinisikan sebagai sejumlah langkah
yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pengajaran. Strategi mengajar meliputi
beberapa tahap yaitu: 1) Strategi perumusan sasaran proses belajar mengajar yang terkait
strategi yang akan digunakan dalam menentukan pola ajar untuk mencapai sasaran
pembelajaran. 2) Strategi perencanaan proses belajar mengajar, terkait langkah pelaksanaan
mencapai sasaran pembelajaran menggunakan media pembelajaran. 3) strategi pelaksanaan
proses belajara mengajar, berhubungan pendekatan sistem pengajaran yang benar-benar sesuai
dengan pokok bahasan materi ajar.
Dalam pendekatan strategi pembelajaran dengan latihan soal secara terstruktur, dosen
memberikan bentuk latihan yang hendaknya mendorong mahasiswa untuk terlibat aktif,
interaktif dan komunikatif, sehingga proses pembinaan pembelajaran lebih bermakna.
Disamping itu dosen juga memberikan kesempatan terlebih dahulu pada mahasiswa untuk
mencoba menyelesaikan soal yang diberikan dan memberi kesempatan menggali potensi dan
kemampuan mahasiswa dalam penyelesaian latihan soal matematika, sehingga dapat memupuk
rasa percaya diri pada mahasiswa untuk dapat menyelesaikan latihan soal yang diberikan.
Dengan demikian pendekatan strategi pembelajaran melalui pemberian latihan soal secara
terstruktur diharapkan dapat lebih memudahkan mahasiswa dalam memahami materi
matematika sehingga dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa.
Pendekatan strategi pembelajaran dengan pemberian latihan soal secara terstuktur
diharapkan dapat memicu munculnya karekateristik belajar sebagai berikut: 1)Terjadinya
belajar konstruktivis dimana mahasiswa bisa menemukan dan membangun pengetahuan
sendiri. 2) Munculnya kondisi Questioning (pertanyaan spontan tingkat tinggi dan produktif)
dalam rangka penggalian informasi, pengecakan pemahaman mahasiswa, pembangkitan respon
mahasiswa, pemfokusan perhatian dan keseriusan serta penyegaran pengetahuan mahasiswa
(Gagne,1984; Shinner, 195 ; Brunner, 1960). 3)Terpupuknya budaya belajar inquiry merupakan
akumulasi serangkaian kegiatan observasi, questioning, hipotesis, pengumpulan data dan
88
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
tindakan,
dan rencana
tindakan siklus
berikutnya,
5)Pembaharuan berupa
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
91
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
seberapa penyebaran nilai mahasiswa dan tindakan yang harus diambil. Hasil tes formatif
berupa distribusi frekuensi skor tiap siklus dapat dilihat pada tabel 1:
Tabel 1: Distribusi Frekuensi Skor Tes Formatif dari tiap siklus
SIKLUS I
SIKLUS II
SIKLUS III
Kelas
Interval
0 39
40 59
16.13
6.45
60 74
11
35.48
25.81
16.13
75 84
29.03
12
38.71
22.58
85 90
12.90
19.35
25.81
91 100
6.45
9.68
11
35.48
Jumlah
31
100.00
31
100.00
31
100.00
Dari data terlihat siklus I menunjukkan bahwa mahasiswa yang memperoleh skor di atas 75
hanya 15 orang mahasiswa atau 48.39 % dari jumlah total 31 mahasiswa. Mahasiswa yang
memperoleh skor di bawah 75 sebanyak 16 orang mahasiswa atau 51,61 %. Hal ini berarti
mahasiswa yang belum memahami materi sebanyak 51,61% dan mahasiswa yang memahami materi
hanya 48,39%. Peningkatan hasil belajar mahasiswa dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran
berupa latihan terstruktur secara diskusi yang rencana pelaksanaan dilakukan dalam beberapa siklus
sampai tercapai tujuan minimal 75% mahasiswa mendapat nilai 75.
Hasil analisis tes formatif siklus II menunjukkan bahwa mahasiswa yang memperoleh skor di
atas 75 hanya 21 mahasiswa atau 67.74 % . Mahasiswa yang memperoleh skor di bawah 75
sebanyak 10 mahasiswa atau 32,26 %. Hal ini berarti bahwa mahasiswa yang belum memahami
materi sebanyak 32,26% dan mahasiswa yang memahami memperoleh skor di atas 75 hanya
67,74%. Karena tujuan pembelajaran belum tercapai maka diperlukan tindakan berikutnya.
Peningkatan hasil belajar mahasiswa dapat dilakukan dengan pendekatan stategi pembelajaran
melalui latihan soal terstruktur secara terbimbing yang rencana pelaksanaan dilakukan beberapa
siklus lagi sampai tercapai tujuan.
Hasil tes formatif siklus III materi penerapan turunan terlihat bahwa mahasiswa yang
memperoleh skor di atas 75 ada 26 orang mahasiswa atau 83.87 % dari jumlah total 31 mahasiswa.
Mahasiswa yang memperoleh skor di bawah 75 sebanyak 5 orang mahasiswa atau 16.13 %., berarti
92
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
bahwa mahasiswa yang belum memahami materi 16.13% dan pencapaian skor mahasiswa yang
telah memahami materi matematika sebesar 83.87%. Peningkatan hasil belajar mahasiswa dalam
perkuliahan matematika telah dilakukan dengan pendekatan strategi pembelajaran dengan latihan
soal secara terstruktur yang pelaksanaannya dilakukan tiga siklus telah mencapai tujuan yaitu
minimal 75% mahasiswa mendapai nilai 75.
60
40
20
0
SIKLUS I Persentase
SIKLUS II Persentase
0 39 40
59
60
74
75
84
85
90
91
100
93
Frekuensi
0 39
9.68
40 59
19.35
60 74
10
32.26
16.13
75 84
29.03
13
41.94
85 90
9.68
29.03
91 100
0.00
15.00
Jumlah
31
100
31
100
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Peningkatan hasil tes awal dan tes akhir sangat siknifikan dan data tersebut terlihat bahwa
mahasiswa yang memperoleh skor di atas 75 terjadi peningkatan dari 12 orang pada tes awal
meningkat menjadi 26 orang mahasiswa atau 83.87 % dari jumlah total 31 mahasiswa. Sedangkan
mahasiswa yang memperoleh skor di bawah 75 sebanyak 5 orang mahasiswa atau 16.13 %, hasil ini
jauh berkurang dari tes awal yang memperoleh skor di bawah 75 ada 19 mahasiswa. Hal ini berarti
bahwa mahasiswa yang belum memahami materi sebanyak 16.13% dan mahasiswa yang telah
memahami materi matematika mencapai 85.97%. Peningkatan pemahaman mahasiswa dalam
perkuliahan matematika dengan pendekatan strategi pembelajaran melalui latihan soal secara
terstruktur yang dilakukan dalam beberapa siklus telah mencapai tujuan yaitu minimal 75%
mahasiswa mendapai nilai 75.
60,00
40,00
20,00
0,00
60
74
75
84
85
90
91
100
Gambar 1. Grafik persentase nilai hasil tes awal dan tes akhir
Kegiatan yang telah dialami di siklus I, II dan III serta hal-hal yang merupakan kekurangan
pada siklus I menjadi pertimbangan perbaikan siklus II, kemudian hal-hal yang merupakan
kekurangan pada siklus II menjadi pertimbangan perbaikan di siklus III. Untuk itu pendekatan
strategi pembelajaran yang dipilih dapat membantu mahasiswa mengatasi kesulitan belajar
matematika dengan (1) memberikan latihan soal secara terstruktur dan soal-soal sebagai tugas,
diharapkan dengan seringnya mahasiswa mengerjakan soal, maka mereka akan terlatih dalam
pola berpikir secara matematik, sehingga hasil belajar mahasiswa menjadi meningkat. (2)
bimbingan bagi mahasiswa mengalami kesulitan perkuliahan matematika dilaksanakan secara
individu dengan memberikan latihan soal dari mudah sampai yang bertahap tingkat
kesulitannya.
Peningkatan PBM matematika tercermin dari:(1) Pendekatan strategi pembelajaran
pemberian latihan soal secara terstruktur materi fungsi, turunan dan penerapan turunan dapat
menciptakan aktivitas belajar mengajar bagi mahasiswa dan dosen lebih baik dibandingkan
sebelum dilakukan tindakan. Indikasi perbaikan meliputi: perhatian siswa, partisipasi,
kreativitas, dan ketrampilan mahasiswa dalam menyelesaikan latihan soal. (2) Secara umum
pembelajaran matematika dengan pendekatan strategi pembelajaran latihan soal terstruktur,
untuk tiap siklus menunjukkan hasil baik dengan perolehan nilai tes formatif meningkat tiap
siklus. (3) Aktivitas dosen, penyajian materi, pembimbingan tiap siklus dan perlakuan tindakan
94
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
dapat berjalan dengan baik, efektif dan komunikatif sehingga meningkatkan hasil belajar
mahasiswa dalam memahami materi matematika.
4. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil: (l) dalam pembelajaran matematika mahasiswa S1 Teknik
Sipil Jurusan Teknik Sipil FT Unesa sangat dibutuhkan pendekatan strategi pembelajaran
dengan latihan soal materi matematika secara terstruktur; (2) Pendekatan strategi pembelajaran
dengan latihan soal secara terstruktur berupa pemberian tindakan penyelesaian soal secara
mandiri, diskusi dan terbimbing dapat efektif meningkatkan hasil belajar mahasiswa sehingga
dalam memahami pembelajaran matematika, mahasiswa lebih mendapatkan pembinaan yang
efektif; (3) perbaikan pembelajaran matematika dapat dilakukan melalui Penelitian Tindakan
Kelas dengan pendekatan strategi pembelajaran berupa penyelesaian latihan soal secara
terstruktur; (4) pembelajaran matematika dengan pendekatan strategi pembelajaran berupa
latihan soal secara terstruktur dapat efektif meningkatkan hasil belajar mahasiswa dan
membantu mahasiswa dalam memahami materi fungsi, turunan dan penerapan turunan.
Kriteria peningkatan hasil belajar mahasiswa tercapai bila lebih dari 75%
mahasiswa telah mencapai skor minimal 75, artinya mahasiswa menguasai 75% materi
yang diberikan. Hasil tes awal kemampuan belajar mahasiswa 38,71%, peningkatan
kemampuan belajar di siklus I 48,39%, pencapaian di siklus II 67,74%, dan di siklus III
peningkatan kemampuan belajar mahasiswa mencapai 83,87%, serta tes akhir peningkatan
kemampuan belajar mahasiswa 85,97%. Kesimpulan yang diperoleh adalah pembelajaran
matematika dengan pendekatan strategi pembelajaran berupa latihan terstruktur melalui
penyelesaian soal secara mandiri, diskusi dan terbimbing dapat efektif meningkatkan hasil
belajar mahasiswa dalam memahami materi matematika yaitu fungsi, turunan dan
penerapan turunan.
5. Daftar Pustaka
Bloom, Benyamin S, (1984). Taxonomy of Education Objectives, Book I, Cognitive Domain.
New York: Logman.
Bruner, J.S., (1960). The Process of Education. Cambridge: Havard University.
Gagne, RM. and Leslie J. Briggs., (1979). Principles of Instuctional Design. New York:
Prentice Hall Inc.
Helda Taba and Elizabeth Noel,(1990). Steeps in the Action Research dalam The Action
Research Reeder, Victoria Australia: Deakin University, h. 67.
Higgens, John L.,(1973). Mathematics Teaching and Learning. Wasthington: Jones Co.
Hudoyo, Herman, (1970). Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang
Mohamad Nur.,(2004). Strategi-Strategi Belajar. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika.
Syah, Muhibbin.(2002). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan baru, Bandung, Rosda Karya.
95
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menuntut siswa memiliki kemampuan untuk memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan konsep dan mengaplikasikan konsep secara tepat
dalam pemecahan masalah. Dalam memecahkan masalah matematika siswa harus paham yang
diketahui, yang ditanyakan sehingga dapat menjawab dengan benar. Pemahaman sangat penting
dalam memecahkan masalah matematika. Dalam memecahkan masalah matematika siswa
memiliki cara tersendiri yang khas dalam memproses, menyimpan maupun menggunakan
informasi untuk menanggapi suatu tugas yang dinamakan gaya kognitif, karena pemahaman
siswa juga berbeda-beda. Dalam penelitian ini, jenis pemahaman mengadopsi dari Skemp yaitu
pemahaman formal, pemahaman relasional, dan pemahaman instrumental. Tujuan dari
penelitian ini adalah mendeskripsikan pemahaman siswa dalam memecahkan masalah
matematika ditinjau dari perbedaan gaya kognitif.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini
dilaksanakan di Kelas X SMA Muhammadiyah 4 Surabaya. Penentuan subjek dilakukan dengan
memberikan tes gaya kognitif (GEFT) yang diadopsi dari Witkin (dalam Rahman, 2010)
sebanyak 18 soal berbentuk gambar geometri. Subjek dikelompokkan menjadi 2 yaitu siswa
dengan gaya kognitif Field Independent (FI) dan gaya kognitif Field Dependent (FD).
Instrumen yang digunakan yaitu: Group Embebbed Figure test (GEFT), tes pemecahan masalah
dan pedoman wawancara. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: (1)
reduksi (2) pemaparan dan (3) menarik kesimpulan pemahaman siswa dalam memecahkan
masalah matematika dan temuan lain.
Indikator pemahaman adalah siswa dapat menjawab benar, menggunakan rumus matematika,
menggunakan lambang atau notasi dalam matematika dan dapat menjelaskan alasan
jawabannya. Berdasarkan indikator pemahaman, dapat disimpulkan bahwa jenis pemahaman
siswa dengan gaya kognitif FI dalam memecahkan masalah yang dominan muncul adalah jenis
pemahaman formal. Sedangkan jenis pemahaman siswa dengan gaya kognitif Field dependent
(FD) dalam memecahkan masalah yang dominan muncul adalah jenis pemahaman relasional.
Kata kunci: Pemahaman, masalah matematika, gaya kognitif
1. Pendahuluan
Tujuan matematika dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu agar
siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model
matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (Depdiknas,
2006:1)
Tujuan di atas merupakan tuntutan yang cukup tinggi yang tidak mungkin bisa
dicapai hanya melalui hafalan, latihan soal yang bersifat rutin. Setelah pembelajaran
matematika berlangsung, diharapkan siswa menguasai dan memahami konsep-konsep
96
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
matematika untuk memecahkan masalah. Kata menguasai mengisyaratkan bahwa siswa tidak
sekedar tahu (knowing) dan hafal (memorizing) tentang konsep-konsep matematika,
melainkan siswa harus mengerti dan memahami (to understand) serta menghubungkan
keterkaitan dengan konsep lain.
Namun tidak semua siswa dapat memahami materi yang telah dipelajari dengan baik.
Hal ini terlihat ketika siswa diminta untuk memecahkan masalah matematika sesuai dengan
materi yang telah dipelajari. Dalam memecahkan masalah matematika siswa memiliki caracara tersendiri yang mungkin berbeda antara siswa satu dengan siswa yang lain karena
pemahaman siswa juga berbeda-beda.
Pemecahan masalah merupakan strategi yang ditempuh oleh siswa untuk mencari
penyelesaian dari suatu kesulitan yang dialami dengan menginterprestasikan konsep-konsep
yang telah dipelajari. Polya (dalam Hudojo, 1988) menyatakan pemecahan masalah sebagai
usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai tujuan yang tidak dengan segera
dicapai. Jadi pemecahan masalah adalah suatu cara yang dilakukan siswa untuk
menyelesaikan suatu masalah matematika dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan
serta pemahaman yang dimiliki.
Hibert dan Carpenter (dalam Jung, 2002) menyatakan bahwa salah satu ide yang
diterima secara luas dalam pendidikan matematika adalah siswa harus memahami
matematika. Menurut Marpaung (1999), matematika tidak ada artinya kalau hanya
dihafalkan. Pada tahun 1987, Richard Skemp (dalam Jung, 2002) menyarankan tiga macam
pemahaman yaitu: (1) pemahaman Instrumental adalah kemampuan siswa untuk menerapkan
rumus yang dihafal atau diingat dalam memecahkan masalah tanpa mengetahui mengapa
rumus tersebut digunakan. (2) pemahaman relasional adalah kemampuan untuk menarik
kesimpulan dari rumus tertentu atau prosedur dari hubungan matematika yang lebih umum.
Pada pemahaman ini, siswa tidak hanya sekedar tahu atau hafal tentang rumus, tetapi juga
mengetahui bagaimana dan mengapa rumus itu digunakan (3) pemahaman formal adalah
kemampuan untuk menghubungkan simbol-simbol
dengan ide-ide matematika yang relevan dan untuk menggabungkan ide-ide ke dalam
rangkaian yang logis. Pada pemahaman ini siswa sudah menguasai simbol-simbol dan notasi
dalam matematika.
Untuk mengetahui keberhasilan siswa, guru melakukan penilaian, terhadap
pemahaman materi yang telah dipelajari. Untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa
dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika. Memecahkan
masalah matematika bukan merupakan hal yang mudah bagi siswa. Ardana (2007)
menyatakan bahwa setiap orang memiliki cara-cara khusus dalam bertindak, yang dinyatakan
melalui aktivitas-aktivitas perseptual dan intelektual yang dikenal dengan gaya kognitif.
97
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksploratif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Penelitian ini dilaksanakan di kelas X SMA Muhammadiyah 4 Surabaya.
Instrumen
penelitian ini adalah Group Embebbed Figure test (GEFT), soal pemecahan masalah dan
pedoman wawancara. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode, yaitu metode tes, dan metode wawancara. Setelah masing-masing subjek
FI dan FD diberikan TPM dan wawancara dianalisis sesuai indikator pemahaman,
selanjutnya untuk mengecek keabsahan data digunakan triangulasi waktu yaitu dengan
memberikan TPM setelah seminggu TPM pertama dilakukan dengan soal yang setara. Data
yang valid adalah data hasil triangulasi TPM1 dan TPM2. Data hasil triangulasi waktu
adalah data yang valid yang merupakan hasil penelitian. Setelah diperoleh data yang valid,
maka dilakukan analisis. Data yang dianalisis adalah hasil tes pemecahan masalah dan hasil
wawancara untuk menentukan jenis pemahaman siswa.
98
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
%
Ya
Tidak
FI
FD
Tidak
Selesai
Keterangan:
: Kegiatan
: Proses kegiatan
: urutan kegiatan
99
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Adapun indikator pemahaman siswa yang digunakan dalam menganalisis data yang
diperoleh sebagai berikut,
Tabel 2.1 Indikator Pemahaman Siswa Dalam Memecahkan Masalah Matematika
Jenis
Pemahaman
Formal
Indikator
a.
b.
c.
d.
3. Pembahasan Hasil
Berikut adalah hasil pengelompokkan subjek berdasarkan tes GEFT sebagai berikut:
Tabel 3.1 Hasil Tes GEFT Subjek Penelitian
Nama
FI
Nilai rapor
Skor
Nama
FD
Nilai Rapor
Skor
IP
82
11
DY
80
AR (FI)
85
16
AH
75
MI
79
15
DD
75
HI
79
12
AA
75
DN
77
10
BR
75
RY
80
15
RF
77
NU
78
12
AR
81
CA
75
10
SP
80
RP
77
11
RL
76
RR
79
13
AD
75
MN
78
11
AS
75
100
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
DP
75
11
LA
77
DJ (FD2)
80
B
erda
sarkan tabel 3.1, penggelompokkan di atas dan informasi yang diberikan oleh guru bidang
studi matematika mengenai kemampuan matematika berdasarkan nilai rapor dan
komunikasi yang dimiliki oleh masing-masing siswa baik secara lisan ataupun tulisan.
Dalam penelitian ini memilih 2 subjek penelitian dengan 1dari kelompok FI dan 1 dari
kelompok FD.
Data penelitian ini berupa hasil tes tertulis dari subjek penelitian atas soal matematika
yang diberikan dan juga data transkrip wawancara yang dilakukan untuk mengkonfirmasi
jawaban tes tertulis tersebut. Berikut adalah deskripsi data hasil pemahaman masing-masing
subjek,
1) Deskripsi Pemahaman FI Dalam memecahkan masalah matematika
Tabel 3.2 Rangkuman Deskripsi Pemahaman FI
Dalam Memecahkan Masalah Matematika
Deskripsi
Indikator
pemahaman
Jenis
pemahaman
FI menggunakan rumus
jarak dengan cara
mengalikan kecepatan dan waktu
Instrumental
Formal
Formal
Formal
Formal
Relasional
Keterangan :
101
Formal
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
1.
2.
3.
4.
Menjawab benar
Menggunakan rumus dengan tepat
Menjelaskan alasan rumus dengan tepat
Menggunakan simbol atau notasi matematika
Dari tabel 3, menunjukkan adanya ketiga jenis pemahaman dalam memecahkan masalah
pertama yaitu pemahaman formal, relasional, dan instrumental. Namun kecenderungannya yang
dominan adalah pemahaman formal. Karakteristik lain yang ditemukan adalah banyak
konsep yang digunakan dalam menyesaikan masalah. Meskipun Masalah pertama dan masalah
kedua adalah setara dan dapat menggunakan konsep yang sama, tetapi
FI tidak tergantung
Deskripsi
FD menggunakan rumus
jarak
mengalikan kecepatan dan waktu
dengan
cara
Pemahaman
lain (P1)
Instrumental
Formal
Relasional
Pemahaman
lain (P1)
Relasional
Relasional
Keterangan :
1. Menjawab benar
2. Menggunakan rumus dengan tepat
102
Jenis
pemahaman
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
diawal.
4. Penutup
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data penelitian yang telah diuraikan, maka peneliti
dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pemahaman siswa gaya kognitif Field Independent (FI) dalam memecahkan masalah
matematika adalah kemampuan siswa dalam mengidentifikasi yang diketahui, yang
ditanyakan dan mengunakan strategi dengan menggambar segitiga menggunakan konsep
jurusan tiga angka serta dapat menjelaskan langkah-langkah yang digunakan dengan
konsep jumlah sudut dalam segitiga, jumlah sudut berpelurus, rumus Pythagoras, aturan
cosinus dan aturan sinus. Indikator pemahaman siswa gaya kognitif Field Independent
(FI) adalah siswa dapat menjawab benar, menggunakan rumus matematika, menggunakan
lambang atau notasi dalam matematika dan dapat menjelaskan alasan jawabannya. Jadi
berdasarkan indikator pemahaman siswa dengan gaya kognitif Field Independent (FI)
dominan yang muncul adalah pemahaman formal. Selain itu, siswa FI menggunakan
konsep atau rumus matematika yang berbeda dan tidak bergantung pada rumus atau
konsep matematika awal yang digunakan.
2. Pemahaman siswa gaya kognitif Field dependent (FD) dalam memecahkan masalah
matematika adalah kemampuan siswa dalam mengidentifikasi yang diketahui, yang
ditanyakan dan mengunakan strategi dengan menggambar segitiga menggunakan konsep
jurusan tiga angka serta dapat menjelaskan langkah-langkah yang digunakan dengan
konsep jumlah sudut dalam segitiga, jumlah sudut berpelurus, dan aturan sinus. Indikator
pemahaman siswa gaya kognitif Field dependent (FD) adalah siswa dapat menjawab
benar, menggunakan rumus matematika, menggunakan lambang atau notasi dalam
matematika dan dapat menjelaskan alasan jawabannya. Jadi berdasarkan indikator
pemahaman siswa dengan gaya kognitif Field dependent (FD) dominan yang muncul
103
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
adalah pemahaman relasional. Selain itu, siswa FD menggunakan konsep atau rumus
matematika yang sama untuk menjawab setiap masalah dan bergantung pada rumus atau
konsep matematika awal yang digunakan.
5. Pustaka
Ardana, I Made. 2007. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berwawasan
Konstruktivis Yang Berorientasi Pada Gaya Kognitif Dan Budaya Siswa. Surabaya.
Disertasi PPS Unesa.
Depdiknas (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah
Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas.
Hudojo, Herman. 1998. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen pendidikan dan
direktorat jendral pendidikan tinggi proyek pengembangan lembaga pendidikan tenaga
kerja.
Jung, Inchul. 2002. Student Representation and Understanding of Geometric Transformation
With Technology Experience. Dissertation. The university of Georgia. [Online].
http://jwilson.coe.uga.edu/pers/jung_inchul_200205_phd.pdf. [13 Desember 2010].
Marpaung, Y. 1999. Mengejar Ketertinggalan Kita Dalam Pendidikan Matematika
Disampaikan Dalam Upacara Pembukaan Program S3 Pendidikan Matematika
Universitas Negeri Surabaya.
Meizun, Dewi. 2009. Proses Berpikir Siswa SMP Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika
Ditinjau Dari Gaya Kognitif Field Dependent Dan Field Independent . Surabaya. Tesis
PPS Unesa.
Miles dan Huberman. 1992. Analisis data Kualitatif. Jakarta : UI press.
Skemp, R. 1976. Relational Understanding and Instructional Understanding Mathematic
Teaching. 77, 20-26. [Online] http://www.grahamtall.co.uk/skemp/pdfs/instrumentalrelational.pdf. [18 Mei 2010].
Witkin, H., & Goodenough, D. (1981). Cognitive styles: Essence and origins. New York:
International Universities Press.
104
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Tujuan diberikan pelajaran matematika di jenjang sekolah, diantaranya adalah memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau
logaritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. Jika melihat
tujuan tersebut, tampak bahwa pemahaman konsep merupakan tujuan dasar sebelum siswa dapat
mengaitkan antar konsep dalam matematika. Seorang siswa dikatakan memahami suatu konsep
apabila siswa dapat menentukan karakteristik konsep tersebut.
Konsep merupakan objek kajian langsung dalam belajar matematika. Konsep dalam matematika
yang sering dinyatakan dalam bentuk definisi adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk
mengklasifikasi apakah suatu objek atau peristiwa termasuk dalam contoh atau non contoh.
Pembentukan konsep adalah suatu proses pengelompokan atau mengklasifikasikan sejumlah
objek, peristiwa atau ide yang serupa menurut sifat-sifat yang dimilikinya dalam satu katagori.
Seorang siswa dikatakan telah memahami suatu konsep, apabila dia dapat menunjukkan contoh
dan non contoh dari konsep tersebut. Pada saat siswa menunjukkan contoh maupun non contoh
suatu konsep, mereka telah melakukan suatu proses abstraksi.
Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri proses pembentukan konsep persegipanjang yang
dilakukan siswa SMP. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa SMP yang telah menerima
materi Bangun Datar.
Penelusuran proses pembentukan konsep dilakukan melalui think aloud dan wawancara
berdasarkan tugas yang diberikan pada siswa. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:
a) 1 siswa pria mendefinisikan persegipanjang berdasarkan ciri-ciri yang nampak pada bangun
tersebut dan dalam menentukan ciri-ciri tersebut banyak menggunakan logika, b) 1 siswa
pria mendefinisikan persegipanjang berdasarkan ciri-ciri menggunakan model bangun dan
dalam menentukan ciri-ciri masih menggunakan pengukuran empiris, c) 1 siswa wanita
mendefinisikan persegipanjang berdasarkan ciri-ciri yang nampak pada bangun tersebut dan
dalam menentukan ciri-ciri banyak menggunakan pengukuran empiris, d) 1 siswa wanita
mendefinisikan persegipanjang berdasarkan ciri-ciri pada model persegipanjang dan dalam
menentukan ciri-ciri banyak menggunakan pengukuran empiris,
Kata kunci: pembentukan konsep, bangun persegipanjang, model persegipanjang
1. Pendahuluan
Tujuan diberikan pelajaran matematika di jenjang sekolah, diantaranya adalah memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau
logaritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. Jika melihat
tujuan tersebut, tampak bahwa pemahaman konsep merupakan tujuan dasar sebelum siswa dapat
mengaitkan antar konsep dalam matematika. Seorang siswa dikatakan memahami suatu konsep
apabila siswa dapat menentukan karakteristik konsep tersebut.
Konsep merupakan objek kajian langsung dalam belajar matematika (Soedjadi, 2000). Konsep
dalam matematika yang sering dinyatakan dalam bentuk definisi adalah ide abstrak yang dapat
digunakan untuk mengklasifikasi apakah suatu objek atau peristiwa termasuk dalam contoh atau
non contoh.
105
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Pembentukan Konsep
Menurut Martin dan Caramazza (1995) pembentukan konsep adalah suatu pengelompokan
sejumlah objek, peristiwa atau ide yang serupa menurut sifat-sifat atau atribut-atribut tertentu
yang dimilikinya ke dalam satu katagori. Sejalan dengan pendapat di atas, Solso (1995)
mendefinisikan bahwa konsep menunjuk pada sifat-sifat umum yang menonjol dari satu kelas
objek atau ide. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, jika seorang siswa telah memahami
suatu konsep persegipanjang, maka ia harus mengetahui ciri-ciri umum dari konsep
persegipanjang. Dalam skemata pikiran siswa telah ada ciri-ciri persegipanjang.
Dalam pembentukan konsep perlu juga harus memperhatikan bagaimana sifat-sifat objek itu
dihubungkan melalui aturan-aturan tertentu, sehingga pemahaman seseorang tentang konsep
yang dipelajarinya semakin lengkap dan mendalam. Misal, konsep persegipanjang dipelajari di
jenjang SD dan SMP. Pada jenjang SD, siswa hanya mengenal ciri-ciri persegipanjang. Pada
jenjang SMP, siswa dapat mendefinisikan persegipanjang berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki
bangun tersebut. Dalam menentukan definisi persegipanjang siswa dapat menentukan ciri mana
yang diperlukan dan ciri mana yang tidak diperlukan melalui proses abstraksi yang dimilikinya.
Pembentukan konsep mencakup dua tahapan proses: a. Mula-mula seseorang membentuk
representasi informasi (dalam ingatan) mengenai konsep yang diberikan, kemudian (b)
mengembangkan ketrampilan kognitif yang dibutuhkan bagi penggunaan informasi yang telah
direpresentasikan untuk mengevaluasi dimensi-dimensi khusus baik kesamaan maupun
perbedaan diantara contoh-contoh baru (Tennyson dalam Suharnan, 2005). Artinya, dengan
menghadirkan contoh-contoh yang sesuai dengan konsep, dapat lebih mempermudah seseorang
membentuk prototipe (abstraksi). Seseorang dikatakan memahami suatu konsep, jika orang
tersebut dapat memberikan contoh dan non contoh dari konsep tersebut. Konsep merupakan
106
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
gambaran mental tentang suatu objek yang ada pada pikiran seseorang dan gambaran mental ini
bersifat abstrak.
3. Abstraksi
Abstraksi terjadi bila kita memandang beberapa objek kemudian kita gugurkan ciri-ciri atau
sifat-sifat objek itu yang dianggap tidak penting atau tidak diperlukan dan akhirnya hanya
diperhatikan atau diambil sifat penting yang dimiliki bersama. Lebih lanjut Soedjadi (2000)
mengemukakan bahwa dalam soal cerita seringkali kita melakukan abstraksi dengan
menggunakan simbol x dan y atau yang lain untuk mewakili banyak objek tertentu.
Menurut Gray dan Tall (2007) abstraksi mempunyai dua arti yaitu sebagai proses melukiskan
suatu situasi dan konsep sebagai hasil dari proses tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa abstraksi adalah proses menghasilkan konsep. Pengertian abstraksi inilah yang
dipergunakan dalam tulisan ini.
Selanjutnya menurut Piaget terdapat tiga jenis abstraksi, yaitu empirical abstraction (focusing
on objects and their properties), pseudo-empirical abstraction (focusing on action on object and
the properties) and reflective abstraction (focusing on mental objects) (Tall, 1999, Gray & Tall,
2007)
Abstraksi empirik, fokus pada objek dan sifat-sifatnya. Anak melakukan abstraksi empiris
langsung pada objeknya. Dalam abstraksi ini anak menemukan pengertian tentang sifat-sifat
objek itu sendiri secara langsung. Misalnya seorang anak bermain air, ia dapat menuang air dari
satu tempat ke tempat lainnya, memegang air itu dan merasakan basah. Anak tersebut
memperoleh pengetahuan tentang air langsung dengan objek air itu. Seorang siswa memperoleh
pengertian bahwa kubus memiliki enam sisi yang sama melalui penyelidikan dan pengamatan
langsung terhadap satu kotak kapur. Kegiatan ini, suatu contoh memperoleh abstraksi empirik.
Abstraksi empirik semu, berfokus pada aksi terhadap objek dan sifat-sifatnya. Abstraksi ini
berfokus pada aksi terhadap objek dan aksi terhadap sifat-sifat objek tersebut. Misalnya seorang
anak memegang 5 kelereng, anak membilang kelereng sebanyak 5 buah. Ia menjajarkan dan
membilangnya tetap 5. Anak tersebut menemukan prinsip komulatif bahwa banyaknya kelereng
tetap sama walaupun susunannya diubah-ubah. Ia juga menemukan pengertian tentang bilangan
5. Abstraksi empirik semu juga terjadi ketika seseorang membilang gambar bulatan. Setiap
gambar bulatan merupakan representasi dari sebuah kelereng.
Abstraksi reflektif, fokus pada objek mental. Menurut Wadsworth, abstraksi ini adalah abstraksi
yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan matematis-logis yaitu abstraksi tidak langsung
terhadap objek itu sendiri. Abstraksi reflektif mengkoordinasi aksi-aksi terhadap suatu objek
untuk membentuk aksi baru dan menghasilkan objek-objek baru (yang tidak lagi berbentuk fisik
tetapi lebih mengarah pada konsep matematikanya).
107
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstraksi reflektif dikenalkan Piaget (dalam Tall, 1991) untuk menjelaskan konstruksi struktur
logika matematika seseorang dalam pengembangan kognitif pada saat mempelajari suatu
konsep. Abstraksi reflektif tidak memiliki waktu mulai yang mutlak tetapi terjadi saat seseorang
mulai dalam mengkoordinasi struktur sensori-motornya. Selain itu abstraksi reflektif akan terus
berlangsung sampai mencapai konsep matematika yang lebih tinggi.
4. Temuan
Berdasarkan hasil wawancara berbasis tugas pada empat siswa SMP, diperoleh ringkasan hasil
sebgai berikut:
Responden 1 (L)
Ciri-ciri Persegipanjang:
1.
2.
3.
4.
5.
2.
Alasan pengguguran ciri tersebut adalah dua ciri di atas tidak nampak dalam gambar
Pada saat diberikan empat persegipanjang dengan posisi berbeda, siswa mengukur besar dua
sudut persegipanjang (posisi miring) untuk meyakinkan dirinya.
Pada saat diberikan empat persegipanjang dengan ukuran berbeda, siswa tidak lagi melakukan
pengukuran. Dia yakin bahwa keempat bangun tersebut adalah persegipanjang
Siswa tidak lagi dipengaruhi ukuran maupun posisi, maka dia bisa menentukan bangun
persegipanjang dinatara beberapa bangun yang bukan persegipanjang dan siswa dapat
memberikan noncontoh persegipanjang.
Responden 2 (L)
Ciri-ciri Persegipanjang:
1.
2.
3.
4.
5.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
1.
2.
siswa dapat
Responden 3 (P)
Ciri-ciri Persegipanjang:
1.
2.
3.
4.
5.
2.
Responden 4 (P)
Ciri-ciri Persegipanjang:
1.
2.
3.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
4.
5.
2.
5. Penutup
Pembentukan konsep persegipanjang yang dilakukan siswa SMP lebih dominan menggunakan
abstraksi semi empirik. Untuk siswa laki-laki (L) sudah menggunakan abstraksi reflektif,
sedangkan siswa perempuan (P) masih ada yang menggunakan abstraksi empirik.
Penelusuran pembentukan konsep segiempat akan membantu guru dalam menanamkan konsep
segiempat dengan perbedaan fisologis dan psikologis yang dimiliki siswa sehingga mereka
dapat memahami konsep segiempat dengan mudah.
6. Pustaka
Dubinsky, E. 1991. Reflective Abstraction in Advanced Mathematical Thinking. Dordrecht,
The Netherland: Kluwer
Matlin, Margaret W. 1995. Cognition (Fourth Edition). Orlando: Harcourt Brace.Inc
Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, Konstatasi Keadaan Masa
Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional
Solso, Robert.L. 1995. Cognitive Psychology (Fourth Edition) Boston: Allyn and Bacon.Inc
Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi
Tall, D. 1991. Advanced mathematical Thinking. Dordrecht, The Netherland: Kluwer
110
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Bukti mengandung proses untuk dikerjakan dan konsep matematika untuk dipikirkan. Bukti
yang dipandang terbatas sebagai pemecahan masalah pembuktian menghasilkan pemahaman
yang kurang optimal. Untuk itu bukti dianggap sebagai prosep (proses dan konsep). Proses dan
konsep memungkinkan dua hal penting yaitu mengerjakan matematika dan memikirkan
hubungan konsep-konsep matematika. Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan tahap berpikir
seseorang hingga dapat memahami bukti sebagai prosep. Berdasarkan Teori Gray-Tall dan
Polya, tahap pengonstruksian bukti sebagai prosep menggunakan gambar mental (image)
dimulai dari (1)identifikasi: menentukan bagian prinsipil masalah meliputi hipotesis, konklusi
dan hubungan keduanya (2)mobilisasi dan reorganisasi: (a) mengingat pengetahuan atau
pengalaman sebelumnya, (b) memilih atau mengumpulkan pengetahuan yang relevan dengan
masalah (c) mengadaptasikan pengetahuan pada data masalah (d) merumuskan atau merobah
konsepsi tentang masalah, (3) pembuatan rencana pembuktian (a) menentukan pola penalaran,
(b) menentukan prosedur pembuktian, (4) aplikasi: (a) melengkapi gambar menurut rencana, (b)
menuliskan langkah-langkah bukti, (c) memeriksa kebenaran setiap langkah atau bagian bukti
secara prosedural, (5) pembentukan makna: (a) memahami setiap langkah atau bagian bukti (b)
mengoordinasikan atau menentukan hubungan makna antar satuan bukti (c) ekstrak makna bukti
sebagai satu entitas (6) evaluasi: (a) memeriksa kembali ketepatan hasil dan argumen seluruh
bukti, (b) menyelesaikan kembali dengan cara berbeda, (c) Memilih cara yang lebih efisien, (7)
bright idea: (a) menghaluskan konsep (b)memikirkan secara fleksibel proses dan konsep (c)
memikirkan teorema atau pernyataan yang dibuktikan sebagai prosep secara otomatis (intuitif).
Katakunci: prosep, bukti geometri, proses berpikir
1. Pendahuluan
Bukti mengandung proses untuk dikerjakan dan konsep matematika untuk dipikirkan
(Velleman, 2009). Bukti mengandung prosedur penyusunan argumen dan makna pernyataan
yang hendak dibuktikan (Solow, 2010). Karena itu
menunjukkan suatu pernyataan benar atau salah, juga memahami bukti dan konsep yang
dibuktikan. Dengan demikian bukti yang dipandang terbatas sebagai pemecahan masalah
pembuktian menghasilkan pemahaman yang kurang optimal. Bukti untuk membuktikan terbatas
ditekankan pada argumen untuk menunjukkan bahwa pernyataan yang dibuktikan benar, kalau
tidak, pasti salah. Penguasaan konsep maupun bukti lebih tepat dipandang sebagai prosep
(proses dan konsep).
Alock dan Weber (2005) menyimpulkan bahwa seseorang dapat mengonstruksi bukti
dengan pendekatan referensial dan sintaktik, tetapi mereka tidak memandang bukti sebagai
prosep. Beberapa peneliti lain seperti Michal Ayalon dan Ruhama Even, Samuele Antonini dan
Maria. A. Marioti, O. Buchbinder dan O. Zaslavsky dalam Pinta-Pantazi dan Philippou (2007)
menjelaskan pengonstruksian bukti oleh siswa dan mahasiswa tetapi tidak menjelaskan cara
111
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
memahami makna teorema yang dibuktikan. Pinto dan Tall (1999) menemukan cara memberi
makna dengan definisi, tapi bukan teorema. Gray dan Tall (1994) merumuskan teori prosep
(procept) tetapi pada matematika kalkulasi dan komputasi. Pengembangan definisi prosep dalam
pembuktian dilakukan oleh rekan kerja mereka Chin Erh-Tsung. Chin (2003) menjelaskan
bahwa sebagai prosep, bukti memiliki proses, konsep dan simbol yang menyatakan proses
maupun konsep tersebut. Simbol prosep bukti adalah redaksi teorema yang dibuktikan. Proses
bukti adalah pengembangan rangkaian bukti, sedangkan konsep bukti adalah makna yang
terkandung dalam redaksi atau pernyataan yang dibuktikan.Tetapi teori prosep yang ada tidak
dikembangkan dalam mengonstruksi bukti geometri. Teori pemecahan masalah untuk
membuktikan yang banyak digunakan saat ini justru disusun oleh Polya. Tetapi Polya tidak
menekankan bukti sebagai prosep. Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan tahap dan
karakteristik setiap tahap berpikir seseorang hingga dapat memahami bukti sebagai prosep
dengan memadukan secara kritis pendapat Gray-Tall dan Polya.
112
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
membedakan warna dan jumlah benda. Pengetahuan met-before adalah pengetahuan yang
dimiliki seseorang dalam pengalamannya.
George Polya menjelaskan bahwa pemecahan masalah untuk membuktikan dilakukan
dengan 5 tahap (Polya, 1973). Teori Gray-Tall dan Polya dimuat secara ringkas pada table 1
berikut.
Tabel 1. Tahap Berpikir Mengonstruksi Prosep Menurut Gray dan Tall dan
Pemecahan Masalah untuk Membuktikan Menurut Polya
Gray-Tall (Gray, 1999; Gray dan Tall, Polya (1973)
1994, 2007; Tall, 1997, 2008)
1. Prosedur
Mengingat set before,met before
Mengerjakan secara prosedural
2. Proses
Memahami prosedur
Mengerjakan dengan beberapa cara
Menentukan cara efektif dan efisien
Memaknai dan menghubungkan
makna setiap langkah kerja
3. Prosep
Memahami proses dan konsep
sebagai satu item
Menghaluskan konsep
Memikirkan secara fleksibel proses
dan konsep
Memikirkan
teorema
secara
proseptual dan otomatis (intuitif)
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
identifikasi data prinsipil dalam pernyataan yang dibuktikan sangat penting, karena bukti
dirangkai dari data-data tersebut. Ketidakmampuan mengidentifikasi data prinsipil ini dapat
menyulitkan bahkan menggagalkan seseorang menyusun bukti. Karena itu, identifikasi
dianggap satu tahap dalam konstruksi bukti sebagai prosep dengan karakteristik: menentukan
bagian prinsipil masalah meliputi hipotesis, konklusi dan hubungan keduanya.
Mobilisasi pengetahuan set-before dan met- before menurut Gray-Tall, memfasilitasi
pikiran selama tahap prosedur.
merupakan satu tahapan tersendiri dalam penyusunan bukti. Menurut peneliti, mobilisasi dan
reorganisasi lebih tepat dipandang sebagai satu tahap tersendiri dalam penyusunan bukti, karena
tidak seperti pada teori Gray-Tall, hasil mobilisasi perlu direorganisasi sesuai masalah yang
dihadapi. Kegiatan ini kompleks dan menjadi satu kesatuan dan dilakukan sebelum memulai
menulis atau membangun rangkaian bukti menurut prosedur tertentu. Tahap mobilisasi dan
reorganisasi ini memiliki karakteristik: (1) mengingat pengetahuan atau pengalaman
sebelumnya, (2) memilih atau mengumpulkan pengetahuan yang relevan dengan masalah (3)
mengadaptasikan pengetahuan pada data masalah (4) merumuskan atau merobah konsepsi
tentang masalah,
Gray dan Tall (1994) tidak memandang pembuatan rencana sebagai satu tahap. Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa pada penjumlahan, rencana cara menjumlah tidak perlu diberi
perhatian. Prosedur penjumlahan itu sudah kian ada, yang penting bagaimana prosedur itu
dilakukan, dan dengan melakukannya berulang-ulang akan dipahami proses menghitung dan
konsep penjumlahan. Tetapi pada penyusunan bukti, pembuatan rencana sangat penting, karena
penggunaan pola penalaran tertentu membutuhkan prosedur tertentu (Polya, 1973; Solow,
2010). Untuk itu sebaiknya perlu memilih dan merencanakan pola penalaran yang digunakan.
Karena itu, pembuatan rencana pembuktian dipandang sebagai satu tahap dalam penyusunan
bukti dengan karakteristik: (1) menentukan pola penalaran, (2) menentukan prosedur
pembuktian.
Aplikasi menjadi satu tahap juga karena merupakan satu kegiatan yang harus dilakukan
meskipun identifikasi, mobilisasi dan reorganisasi serta pembuatan rencana telah dilakukan.
Aplikasi merupakan satu tahap tersendiri dan berbeda dengan tahap sebelumnya, dengan
karakteristik: (1) melengkapi gambar menurut rencana, (2) menuliskan langkah-langkah bukti,
(3) memeriksa kebenaran setiap langkah atau bagian bukti secara prosedural.
Tahap proses menurut Gray dan Tall (2007) dan Tall (2008) merupakan tahap
memahami prosedur dan memahami makna tiap langkah atau bagian-bagian dalam prosedur.
Makna tiap langkah atau bagian-bagian dalam prosedur ini dihubung-hubungkan untuk
114
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
selanjutnya dapat memperoleh suatu makna menyeluruh kelak. Kegiatan berpikir ini kurang
ditekankan oleh Polya. Tahap melihat kembali menurut Polya (1973) diarahkan untuk
memeriksa ketepatan argumen, efektifitas dan efisiensi bukti. Sedangkan memahami makna
menyatu dengan pemeriksaan tiap langkah selama menyusun bukti dan melihat kembali.
Walaupun tidak memandang bukti sebagai prosep, Polya (1973) menjelaskan pentingnya
memahami konsep maupun rangkaian bukti. Menurut peneliti, proses berpikir untuk memahami
prosedur dan makna tiap bagian bukti sangat penting. Tanpa pemahaman makna, bukti hanya
disimpan dalam memori dan dikenali sebagai suatu prosedur. Pemahaman makna harus
mendapat perhatian dan perlu diberi tahapan waktu yang cukup dan tegas. Untuk itu, teori GrayTall lebih memadai karena lebih memberi penekanan pada tahap pemahaman makna dengan
penjelasan yang lebih detail. Selain itu, teori Gray-Tall menjelaskan cara mengonstruksi makna
dalam pikiran menjadi prosep.
Menurut peneliti, pembentukan makna hingga menjadi prosep kurang tepat
disederhanakan menjadi dua tahap yaitu tahap proses dan prosep seperti pada teori Gray-Tall.
Obyek mental dalam bentuk bukti sebagai prosep dapat dikenali dalam bentuk intuitif maupun
tidak intuitif. Tidak semua bukti yang dikenali oleh pikiran sebagai prosep dapat digunakan
hingga level intuitif dalam memecahkan masalah. Kemampuan mengenali prosep secara intuitif
seperti ini dapat dikatakan bright idea. Agar suatu prosep dapat dikenali sebagai bright idea,
perlu proses berpikir tahap melihat kembali teori Polya. Menurut Polya, kegiatan-kegiatan
berpikir ini sebenarnya diarahkan pada pemeriksaan kebenaran, efektifitas dan efisiensi bukti
yang telah disusun. Karena itu, peneliti berpendapat bahwa tahap ini lebih tepat disebut tahap
evaluasi. Istilah ini dibedakan dengan istilah yang digunakan Polya untuk menunjukkan bahwa
tahap ini diarahkan untuk memperbaiki atau menghaluskan pemahaman prosedur dan makna
yang telah diperoleh hingga menjadi prosep yang dapat dikenali secara intuitif. Berdasarkan
penjelasan di atas, ada tiga tahap pembentukan prosep setelah aplikasi, yaitu pembentukan
makna, evaluasi dan bright idea. Tahap pembentukan makna adalah tahap memahami makna
bukti sebagai prosep dengan karakteristik: : (1) memahami setiap langkah atau bagian bukti (2)
mengoordinasikan atau menentukan hubungan makna antar satuan bukti (3) ekstrak makna
bukti sebagai satu entitas. Tahap evaluasi adalah memeriksa kembali ketepatan argumen,
efektifitas dan efisiensi bukti dengan karakteristik: (1) memeriksa kembali ketepatan hasil dan
argumen seluruh bukti, (2) menyelesaikan kembali dengan cara berbeda, (3) Memilih cara yang
lebih efisien. Tahap bright idea adalah tahap mengenali prosep secara intuitif dan dipikirkan
secara proseptual dengan karakteristik: (1) menghaluskan konsep (2)memikirkan secara
fleksibel proses dan konsep (3) memikirkan teorema atau pernyataan yang dibuktikan sebagai
prosep secara otomatis (intuitif).
115
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Penulis mempresentasikan berikut ini kerja EZ, siswa VII, mengonstruksi bukti
geometri. EZ diberi tugas buktikanlah bahwa jumlah besar sudut suatu segitiga adalah 1800.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
membentuk sudut lurus. Sebelum mengonstruksi bukti, EZ memaknai teorema ini secara
aritmatika: A+B+C=1800. Setelah memperoleh bukti kedua, dia memilih bukti kedua
sebagai bukti yang lebih efisien. Pada saat ini EZ telah melakukan evaluasi. Ketika dia
menyusun bukti bahwa jumlah besar sudut suatu jajargenjang adalah 3600, EZ menggunakan
secara fleksibel proses maupun konsep teorema tentang jumlah besar sudut suatu segitiga ini.
Pada saat ini EZ mampu melihat bukti sebagai prosep dan memikirkannya secara proseptual.
Berdasarkan hasil kerja EZ penulis merumuskan beberapa hal. Pertama: proses berpikir
mengonstruksi bukti sebagai prosep tidak berlangsung linier. Misalnya EZ memulai dengan
tahap identifikasi, mobilisasi dan reorganisasi, membuat rencana dan aplikasi. Karena dia sadar
bahwa ia membuat kesalahan dia kembali pada tahap mobilisasi. Kedua EZ tidak membuat
rencana atau menentukan pola penalaran yang dia gunakan. Tetapi EZ selalu memeriksa
rasional argumennya. Hal ini terjadi karena EZ yang masih kelas VII belum memahami pola
penalaran atau logika. Ketiga: setiap tahap proses berpikir mengonstruksi bukti geometri
sebagai prosep menggunakan image obyek geometri yang sedang dipikirkan.
4. Kesimpulan
Bukti geometri mengandung proses untuk dilakukan dan konsep untuk dipikirkan.
Proses dan konsep ini harus dipahami secara optimal agar teorema yang dibuktikan dapat
digunakan secara optimal. Untuk itu bukti dipandang sebagai prosep (proses dan konsep).
Proses mengonstruksi bukti geometri sebagai prosep adalah tujuh tahap dan berlangsung tidak
linier. Teori hipotetik yang telah dirumuskan ini dapat digunakan menjelaskan proses berpikir
siswa SMP untuk mengonstruk bukti geometri sebagai prosep.
5. Pustaka
Alcock, Lara dan Weber, Keith. 2005. Referential and Sintactic Approches to Proof: Case
Studies from a Transition Course. In Chick, H. L. dan Vincent, J. L. (eds). Proceeding of
the 29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics
Education, vol. 2, pp. 33-40. Melbourne: Australia
Chin, Erh-Tsung.2003: Mathematical Proof as Formal Procept in Advanced Mathematical
thinking. http://online.terc.edu/PME2003/PDF/RR_chin.pdf. [4 April 2009]
Gray, Eddi. 1999. Tackling the Problems: an Explanation for Success and Failure. Proceeding
of SEMT Prague Charles University. http://www.tallfamily.co.uk/eddiegray/95bprague.pdf [25 Mei 2011].
Gray, Eddie M dan Tall, David O. 1994. Duality, ambiguity and Flexibility : A Proceptual View
of Simple Arithmetic. Journal for Research in Mathematics Education, 26(2), 115-141.
Gray, Eddie dan Tall, David. 2007. Abstraction as a Natural process of mental compression.
Mathematics Education research Journal Vol. 19 no.2 pp.23-40.
Pinto, M. Dan Tall, D. 1999. Students Construction of Formal Theori: Giving and Extracting
Meaning. In O. Zaslavsky (ed). Proceedings of the 23th Conference of the International
Group for the Psychology of Mathematics Education, vol. 3, pp.281-288. Haifa: Israel.
117
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Pitta-Pantazi, Demetra & Philippou, George (eds). 2007. European Research in Mathematics
Education. Proceedings of the Fifth Congress of the European Society for Research in
Mathematics Education: Larnaca: Cyprus.
Polya, George. 1973. How to Solve It A New Aspect of Mathematical Method. 2th ed. New
Jersey: Princeton University Press.
Solow, Daniel. 2010. How to Read and Do Proof. 5th ed. Cleveland: John Wiley & Sons, Inc.
Tall, David, 1997. From School to University: The Effects of Learning Styles in the Transition
from Elementary to Advanced Mathematical Thinking. In Thomas, M. O. J. (Ed.)
Proceedings of The Seventh Annual Australasian Bridging Network Mathematics
Conference, University of Auckland, 9-26.
Tall, D.O. 2008. The Transition to Formal Thinking in Mathematics. Mathematics Education
Research Journal, Vol. 20 No. 2 Hal: 5-24.
Velleman, Daniel J. 2009. How to Proof It AStructured Approach. 2th ed. New York:
Cambridge University Press.
118
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Penelitian ini diadakan dengan tujuan : (1) untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar
matematika berdasarkan tingkat Kecerdasan Emosi Siswa, (2) untuk mengetahui perbedaan
prestasi belajar matematika berdasarkan tipe Gaya Belajar Siswa, (3) untuk mengetahui
perbedaan prestasi belajar matematika antara tiap tingkatan Kecerdasan Emosi Siswa berlaku
sama pada setiap tipe Gaya Belajar Siswa, dan perbedaan prestasi belajar matematika antara tiap
tipe Gaya Belajar Siswa berlaku sama pada setiap tingkatan Kecerdasan Emosi Siswa.
Penelitian ini penelitian kausal komparatif dengan desain faktorial 3x3 yang dianalisis
menggunakan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama. Subjek penelitian siswa SMAK
Bonaventura Madiun. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi untuk
mengetahui prestasi belajar matematika siswa berdasarkan ulangan harian, dan metode angket
untuk mengetahui Kecerdasan Emosi Siswa dan tipe Gaya Belajar Siswa.
Hasil penelitian ini dengan taraf signifikansi 5% adalah : (1) ketiga tingkat Kecerdasan Emosi
Siswa memberikan efek yang berbeda terhadap prestasi belajar matematika, (2) ketiga tipe Gaya
Belajar Siswa berdasarkan prestasi belajar matematika siswanya tidak ada perbedaan, dan (3)
berdasarkan tiap tingkat Kecerdasan Emosi Siswa menunjukkan bahwa antara ketiga tipe Gaya
Belajar Siswa berdasarkan prestasi belajar matematika siswanya tidak ada perbedaan,
sedangkan berdasarkan tiap tipe Gaya Belajar Siswa menunjukkan bahwa ketiga tingkat
Kecerdasan Emosi Siswa memberikan efek yang berbeda terhadap prestasi belajar matematika.
Katakunci :
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Masalah klasik yang selalu dihadapi dan terus diupayakan pemecahannya dalam pendidikan
matematika adalah masih banyaknya siswa mengalami kesulitan belajar pada mata pelajaran
Matematika yang berakibat kurang maksimalnya prestasi belajar matematika pada diri siswa.
Hanya sebagian kecil saja siswa yang mencapai prestasi belajar matematika yang memuaskan,
dan selebihnya masih jauh dari harapan. Salah satu faktor internal yang mempengaruhi
pencapaian prestasi belajar siswa adalah faktor emosi. Dalam kecerdasan akademik praktis tidak
menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak akan kesempatan yang ditimbulkan oleh
emosi. Untuk mengatasinya diperlukan kecerdasan emosi yang mengelolah dalam hal
pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan
bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi.
Selain faktor emosi, terdapat faktor internal yang lain yang mempengaruhi keberhasilan dalam
pembelajaran yaitu gaya belajar yang dimiliki siswa itu sendiri. Gaya belajar berkenaan dengan
119
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
cara siswa bisa belajar dengan baik dan optimal, serta sarana digunakan dalam belajar. Ada
siswa yang lebih mudah belajar dengan melihat catatan, diagram ataupun gambar, ada siswa
yang lebih mudah belajar dengan mendengarkan, serta ada siswa yang lebih mudah belajar
dengan menggunakan indra peraba, menggerakkan anggota tubuh.
Mengingat sampai sekarang masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar
matematika, sekiranya perlu diketahui selengkap mungkin aspek-aspek yang diduga mempunyai
hubungan dengan pembelajaran matematika agar proses pembelajaran siswa menjadi optimal,
proses belajar dapat berlangsung dengan lebih lancar dan siswa dapat memperoleh manfaat yang
besar dari kegiatan belajar tersebut. Aspek-aspek yang diperhatikan dalam penelitian ini adalah
kecerdasan emosi dan gaya belajar siswa.
1.2. Pengertian kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
inteligensi; menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran
diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial (Goleman, 2002). Oleh
Gardner menempatkan kecerdasan pribadi dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional
yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama,
yaitu : (1) Mengenali Emosi Diri atau kesadaran diri meliputi : kesadaran emosi dan percaya
diri; (2) Mengelola Emosi atau peraturan diri meliputi : kendali diri, sifat dapat dipercaya,
kewaspadaan, adaptabilitas dan inovasi; (3) Memotivasi Diri Sendiri meliputi : dorongan
pribadi, komitmen, inisiatif dan optimisme; (4) Mengenali Emosi Orang Lain atau empati
meliputi : memahami orang lain, mengatasi keragaman dan kesadaran politis; dan (5) Membina
Hubungan meliputi : komunikasi, kepemimpinan, manajemen konflik dan kolaborasi.
1.3. Gaya Belajar Siswa
Dalam proses belajar, sangatlah menguntungkan jika pengajaran yang dilakukan sesuai dengan
kemampuan menyerap informasi yang dimiliki siswa. Menurut Bobbi De Porter dan Mike
Hernacki (2000), Kombinasi dari bagaimana seseorang menyerap dan kemudian mengatur serta
mengolah informasi disebut dengan gaya belajar. Setiap siswa memiliki kemampuan yang
berbeda-beda, baik kemampuan dalam menyerap, mengatur maupun mengolah informasi. Gaya
belajar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: gaya belajar visual, gaya belajar auditorial, dan
gaya belajar kinestetik. Gaya Belajar Siswa Visual menyerap informasi atau ilmu melalui visual
atau melihat, baik yang diciptakan maupun yang pernah dilihat. Gaya Belajar Siswa Auditorial
menyerap informasi atau ilmu melalui segala jenis bunyi dan kata, baik yang diciptakan maupun
yang pernah didengar. Sedangkan Gaya Belajar Siswa Kinestetik menyerap informasi atau ilmu
melalui segala jenis gerak dan emosi, baik yang diciptakan maupun yang diingat (pernah
120
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
dilakukan). Setiap siswa mempunyai akses kepada tiga gaya belajar yang ada, tetapi hanya satu
macam gaya belajar saja yang sering digunakan dalam proses belajar, namun tidak
menghilangkan gaya belajar yang lainnya.
1.4. Hipotesis Tindakan
1. terdapat perbedaan prestasi belajar matematika berdasarkan tingkat Kecerdasan Emosi
Siswa.
2. terdapat perbedaan prestasi belajar matematika berdasarkan tipe Gaya Belajar Siswa.
3. terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara tiap-tiap tingkat Kecerdasan Emosi
Siswa berlaku sama pada setiap tipe Gaya Belajar Siswa dan perbedaan prestasi belajar
matematika antara tiap-tiap tipe Gaya Belajar Siswa berlaku sama pada setiap tingkat
Kecerdasan Emosi Siswa.
2. Metode Penelitian
2.1. Rancangan Penelitian dan Subjek Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kausal komparatif, karena penelitian ini untuk menyelidiki
kemungkinan pertautan sebab-akibat dengan cara melakukan pengamatan terhadap akibat yang
ada dan kemudian mencari kembali faktor yang mungkin menjadi penyebab melalui data
tertentu (Budiyono, 2003). Penelitian ini akan dilaksanakan di SMAK St. Bonaventura Madiun,
dan subyek penelitiannya adalah siswa kelas X.
2.2. Prosedur dan Instrumen Penelitian
Prosedur penelitaian yang digunakan untuk pengumpulan data adalah (1) metode Angket yang
digunakan untuk mengetahui kecerdasan emosi siswa dan gaya belajar siswa, serta (2) metode
dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data tes prestasi belajar matematika siswa kelas
X SMAK Bonaventura Madiun semester 2 Tahun Pelajaran 2010/2011. Sedangkan instrumen
penelitian yang digunakan adalah angket Kecerdasan Emosi dan angket Gaya Belajar Siswa.
Untuk instrumen angket Kecerdasan Emosi dibuat berdasarkan lima aspek yakni : aspek
kesadaran diri, aspek pengaturan diri, aspek motivasi, aspek empati dan aspek ketrampilan
sosial, sedangkan instrumen angket Gaya Belajar Siswa dibuat berdasarkan angket yang dibuat
oleh Bobbi De Porter, Mark Reardon dan Sarah Singer-Nourie (2000), dengan penyesuaian
seperlunya. Sebelum digunakan, kedua angket terlebih dahulu diujicobakan untuk mengetahui
validitas dan realibilitasnya. Setelah kedua angket diujicobakan, instrumen angket dilakukan
analisis butir angket dengan uji realibilitas dan konsistensi internal tiap butirnya.
121
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
3. Hasil Penelitian
Dalam menentukan sampel penelitian, peneliti menggunakan sampling random kluster, dan
terpilih kelas X sebagai kelas penelitian. Selanjutnya peneliti melakukan konsultasi ke pihak
sekolah dan guru mata pelajaran Matematika untuk menentukan kelas yang dapat digunakan
sebagai penelitian, karena kelas X terdiri enam kelas. Berdasarkan hasil konsultasi, keenam
kelas X ini diambil satu kelas untuk uji coba instrumen angket, dan empat kelas untuk sampel
penelitian yang berjumlah 125 siswa yang selanjutnya diberi angket kecerdasan emosi dan
angket gaya belajar siswa dan dikelompokkan untuk kecerdasan emosi ke dalam tiga tingkatan,
yaitu Kecerdasan Emosi Siswa Tinggi (KEST), Kecerdasan Emosi Siswa Sedang (KESS) dan
Kecerdasan Emosi Siswa Rendah (KESR), sedangkan untuk gaya belajar siswa ke dalam tiga
tipe, yaitu Gaya Belajar Siswa Visual (GBSV), Gaya Belajar Siswa Auditorial (GBSA) dan
Gaya Belajar Siswa Kinestetik (GBSK). Selanjutnya peneliti mengambil data prestasi belajar
Matematika siswa dan data diolah berdasarkan kelompok tingkat Kecerdasan Emosi dan tipe
Gaya Belajar Siswa. Sebaran data tersaji tabel berikut :
Tabel 1 Distribusi Siswa dan Rata-rata Prestasi Belajar Matematika Siswa Berdasarkan Tingkat
Kecerdasan Emosi dan Tipe Gaya Belajar Siswa
Tipe Gaya Belajar Siswa (B)
Tingkat
Kecerdasan Emosi GBSV (b1)
GBSA (b2)
GBSK (b3)
(A)
N rataan n
rataan n
rataan
Marginal
baris
n
Rataan
KEST (a1)
29
74.00
13
74.67
74.55
48
74.50
KESS (a2)
21
70.00
10
78.73
80.78
33
78.79
KESR (a3)
23
64.89
11
67.47
10
75.50
44
70.23
Marginal Kolom
73
68.84
34
72.57
18
76.42
125
122
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Pada penelitian ini analisis variansi yang digunakan analisis variansi dua arah dengan sel tak
sama dengan taraf signifikansi 5%, dan hasilnya sebagai berikut:
Tabel 2 Rangkuman Analisis Variansi Dua Arah dengan Sel Tak Sama
Sumber
JK
dk
RK
F tabel
Keputusan
Uji
867.736
H0A ditolak
100.833
50.417
H0B diterima
Interaksi (AB)
425.430
Galat
Total
9057.755 124
Fobs
0.763 3.074
H0AB diterima
Kesimpulan analisis variansi dua arah dengan sel tak sama berdasarkan Tabel 2 adalah :
1. Pada efek utama (A), ketiga tingkat Kecerdasan Emosi Siswa memberikan efek yang
berbeda terhadap prestasi belajar matematika.
2. Pada efek utama (B), ketiga tipe Gaya Belajar Siswa memberikan efek yang sama terhadap
prestasi belajar matematika.
3. Pada efek interaksi (AB), tidak ada interaksi antara tingkat Kecerdasan Emosi Siswa dan
tipe Gaya Belajar Siswa terhadap prestasi belajar matematika.
Dari analisis varians dua arah, diputuskan untuk antar tingkat Kecerdasan Emosi bahwa H0A
ditolak, maka perlu dilakukan uji lanjut pasca analisis varians dengan metode Scheffe, yakni uji
komparansi untuk rataan antar baris dengan menggunakan rataan marginal pada tabel 1, dan
dengan taraf signifikansi 5% diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 3 Rangkuman uji lanjut pasca analisis varians antar Kecerdasan Emosi Siswa
Antara Kecerdasan Emosi
Fi.-j.
2*Ftabel
Keputusan Uji
5.597092
6.148894
Sama
6.616366
6.148894
Berbeda
21.664071
6.148894
Berbeda
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
1. prestasi belajar matematika siswa dengan KEST dan prestasi belajar matematika siswa
dengan KESS tidak ada perbedaan.
2. prestasi belajar matematika siswa dengan KEST dan prestasi belajar matematika siswa
dengan KESR terdapat perbedaan. Dengan melihat rataan marginalnya, maka prestasi
belajar matematika siswa dengan KEST lebih baik dari prestasi belajar matematika siswa
dengan KESR.
3. prestasi belajar matematika siswa dengan KESS dan prestasi belajar matematika siswa
dengan KESR terdapat perbedaan. Dengan melihat rataan marginalnya, maka prestasi
belajar matematika siswa dengan KESS lebih baik daripada prestasi belajar matematika
siswa dengan KESR.
4. Pembahasan
Berdasarkan analisis variansi dua arah dengan sel tak sama disimpulkan bahwa ketiga tingkat
Kecerdasan Emosi siswa memberikan efek yang berbeda terhadap prestasi belajar matematika.
Dari uji lanjut pasca analisis variansi diperoleh bahwa
1. prestasi belajar matematika siswa dengan KEST dan prestasi belajar matematika siswa
dengan KESS tidak ada perbedaan. Hal ini dikarenakan di dalam kelima aspek kecerdasan
emosi : kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan ketrampilan sosial,
diwujudkan oleh siswa di masing-masing KEST dan KESS ini tidak berbeda. Akibatnya,
siswa di KEST dan KESS ini mempunyai perspektif yang sama terhadap matematika,
sehingga siswa di KEST dengan siswa di KESR mempunyai kemampuan yang sama
terhadap matematika.
2. prestasi belajar matematika siswa dengan KEST dan prestasi belajar matematika siswa
dengan KESS lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa dengan tingkat KESR.
Hal ini dikarenakan di dalam kelima aspek kecerdasan emosi diwujudkan oleh siswa di
masing-masing tingkatan kecerdasan emosi ini berbeda. Aspek kesadaran diri, siswa dengan
KEST dan KESS mempunyai kesadaran atau perasaan diri sendiri yang lebih baik dari
siswa dengan KESR. Pada aspek pengaturan diri, siswa dengan KEST dan KESS
mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam memulihkan kembali dari tekanan emosi
daripada siswa dengan KESR. Aspek motivasi, siswa dengan KEST dan KESS mempunyai
penggunaan hasrat yang lebih baik dalam menggerakkan dan menuntun sasaran, berinisiatif
yang lebih baik dan bertindak lebih efektif serta mempunyai ketahanan yang lebih baik
dalam menghadapi kegagalan dan frustasi dari siswa dengan KESR. Aspek empati, siswa
dengan KEST dan KESS mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam merasakan yang
dirasakan oleh orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri
124
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
dengan bermacam-macam orang dari siswa dengan KESR. Dan aspek ketrampilan sosial,
siswa dengan KEST dan KESS mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menangani
emosi yang baik ketika berhubungan dengan orang lain, kecermatan yang lebih baik dalam
membaca situasi dan jaringan sosial, kemampuan berinteraksi yang lebih lancar,
bermusyawarah, dan kemampuan lebih baik dalam menyelesaikan perselisihan dan untuk
bekerja sama dalam tim siswa dengan KESR. Berdasarkan perbandingan di kelima aspek
kecerdasan emosi tersebut, maka siswa dengan KEST dan KESS mempunyai kemampuan
yang lebih baik dari siswa dengan KESR, sehingga siswa dengan KEST dan KESS
mempunyai kemampuan terhadap matematika lebih baik dari kemampuan terhadap
matematika siswa dengan KESR.
Berdasarkan analisis variansi dua arah dengan sel tak sama disimpulkan bahwa ketiga tipe Gaya
Belajar Siswa memberikan efek yang sama terhadap prestasi belajar matematika, sehingga dapat
disimpulkan bahwa antara tipe GBSV, tipe GBSA dan GBSK memberikan prestasi belajar
matematika siswa yang sama. Setiap siswa mempunyai akses kepada tiga gaya belajar yang ada,
tetapi hanya satu macam gaya belajar saja yang sering digunakan dalam proses belajar. Selama
proses belajar, siswa akan sering menggunakan satu macam gaya belajar saja, namun tidak
menghilangkan gaya belajar yang lainnya. Meski siswa dalam proses belajar menggunakan satu
macam gaya belajar, namun gaya belajar yang lainnya tetap ada pada diri siswa tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa gaya belajar yang lain dapat muncul pada diri siswa yang mempunyai gaya
belajar yang dominan. Ketika proses belajar berlangsung pada diri siswa yang mempunyai gaya
belajar yang dominan, dapat dimungkinkan gaya belajar yang lain, selain yang dominan,
muncul pula pada diri siswa dalam proses belajarnya. Akibatnya ketiga Gaya Belajar Siswa
mempunyai prestasi belajar matematika yang sama.
Berdasarkan analisis variansi dua arah dengan sel tak sama disimpulkan bahwa tidak ada
interaksi antara tingkat Kecerdasan Emosi dan tipe Gaya Belajar Siswa terhadap prestasi belajar
matematika. Dengan demikian, untuk masing-masing tingkat Kecerdasan Emosi menunjukkan
bahwa antara tipe Gaya Belajar Siswa memberikan prestasi belajar matematika siswa yang
sama. Sedangkan untuk masing-masing tipe Gaya Belajar Siswa menunjukkan prestasi belajar
matematika siswa dengan KEST dan prestasi belajar matematika siswa dengan KESS tidak ada
perbedaan, dan prestasi belajar siswa dengan KEST dan KESS lebih baik daripada prestasi
belajar siswa dengan KESR.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
1. Ketiga tingkat Kecerdasan Emosi Siswa memberikan efek yang berbeda terhadap prestasi
belajar matematika pada tingkat signifikansi 5%.
2. Ketiga tipe Gaya Belajar Siswa memberikan efek yang sama terhadap prestasi belajar
matematika. pada tingkat signifikansi 5%.
3. Tidak ada perbedaan prestasi belajar matematika antara tiap-tiap tingkat Kecerdasan Emosi
Siswa berlaku sama pada setiap tipe Gaya Belajar Siswa dan perbedaan prestasi belajar
matematika antara tiap-tiap tipe Gaya Belajar Siswa berlaku sama pada setiap tingkat
Kecerdasan Emosi Siswa pada tingkat signifikansi 5%.
5.2. Saran
Sebelum pembelajaran dilakukan, siswa sebaiknya lebih dahulu mempersiapkan diri dengan
materi yang akan dipelajari sesuai gaya belajarnya dan mengendalikan kecerdasan emosi,
sehingga siswa telah memiliki bekal untuk berdiskusi di kelas saat pembelajaran berlangsung.
Dalam penggunaan pembelajaran matematika, sebaik guru memperhatikan tingkat Kecerdasan
Siswa dan Gaya Belajar Siswa dan dipersiapkan sebaik mungkin agar pembelajaran lancar dan
sesuai dengan tujuan pembelajaran.
6. Daftar Pustaka
Baharuddin dan Wahyuni. 2008. Teori Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Budiyono. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta : UNS Press
------------. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta : UNS Press
De Porter, Bobbi., dan Hernacki, Mike. 2003. Quantum Learning: Membiasakan Belajar
Nyaman Dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
De Porter, Bobbi., Reardon, Mark., dan Singer, Sarah Nourie. 2000. Quantum Teaching:
Mempraktikan Quantum Learning diRuang Kelas-Kelas. Bandung: Kaifa.
Goleman, Daniel. 2000. Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta:Gramedia.
----------------------. 2002. Emotional Intelligence (terjemahan). Jakata:Gramedia.
----------------------. 2002. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi.
Jakata:Gramedia.
Sia, Tjundjing. 2001. Hubungan Antara IQ, EQ, dan QA dengan Prestasi Studi Pada Siswa
SMU. Jurnal Anima Vol.17 no.1
Saphiro, Lawrence E. 1998. Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta:Gramedia.
Sutrisno Hadi. 2007. Statistik 2. Yogyakarta:Andi Offset.
Winkel, W. S. 1997. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.
126
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan profil berpikir matematis rigor siswa SMP
berkemampuan rendah dalam memecahkan masalah matematika. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dan teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan pemberian tes
pemecahan masalah dan wawancara. Dalam penelitian ini digunakan satu orang siswa kelas VII
SMPN I Lamongan sebagai subjek penelitian. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan
dengan langkah-langkah yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan. Sedangkan
untuk mendapatkan data penelitian yang valid, dalam penelitian ini digunakan triangulasi
waktu. Berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah dipaparkan, hasil penelitian menunjukkan
bahwa subjek berada pada level 1 (berpikir kualitatif) fungsi kognitif berpikir matematis rigor
karena menggunakan semua fungsi kognitif yang termasuk pada level 1 fungsi kognitif berpikir
matematis rigor sedangkan ada beberapa fungsi kognitif pada level 2 dan level 3 berpikir
matematis rigor yang masih belum tampak digunakannya. Fungsi kognitif pada level 2 berpikir
matematis rigor yang belum tampak digunakan oleh subjek adalah pengukuran ruang dan
hubungan spasial serta penggeneralisasian, sedangkan fungsi kognitif pada level 3 berpikir
matematis rigor yang belum tampak digunakan oleh subjek penelitian adalah pemroyeksian dan
perestrukturisasian hubungan, dan berpikir induktif matematis.
Kata Kunci: Berpikir matematis rigor, fungsi kognitif, pemecahan masalah, masalah
matematika.
1. Pendahuluan
Dalam belajar dan menyelesaikan soal matematika, siswa melakukan aktivitas berpikir di
otaknya. Ketika seorang individu berpikir untuk menyelesaikan soal matematika, maka tidak
menutup kemungkinan bahwa ia sedang melakukan berpikir matematis. Berpikir matematis
(mathematical thinking) diartikan sebagai cara berpikir berkenaan dengan proses matematika
(doing math) atau cara berpikir dalam menyelesaikan tugas matematika (mathematical task)
baik yang sederhana maupun yang kompleks (Sumarmo, U. 2010). Di dalam berpikir
matematis, seseorang menerjemahkan informasi yang masuk dari luar menjadi simbol-simbol
untuk selanjutnya simbol tersebut diproses sesuai aturan dalam matematika yang sudah disusun
sebelumnya. Di dalam belajar dan menyelesaikan soal matematika, perlu adanya ketepatan,
sedangkan prasyarat untuk menjadi tepat dan logis adalah rigor. Kinard (2007) mengungkapkan
bahwa berpikir matematis mensitesis dan memanfaatkan proses kognitif yang meningkatkan
level abstraksi lebih tinggi, oleh karenanya ia haruslah ketat (rigor) sifatnya.
Berkaitan dengan keharusan adanya rigor dalam mensintesis dan memanfaatkan proses kognitif
untuk meningkatkan level fungsi abstraksi maka diperlukan adanya berpikir matematis rigor
127
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
(rigorous mathematical thinking). Berpikir matematis rigor dicirikan dengan adanya tiga level
fungsi kognitif diantaranya fungsi kognitif untuk berpikir kualitatif, fungsi kognitif untuk
berpikir kuantitatif, dan fungsi kognitif untuk berpikir relasional abstrak (Kinard dan Kozulin,
2008). Ketiga level fungsi kognitif itu secara bersama-sama mendefinisikan proses mental dari
keterampilan kognitif umum ke fungsi kognitif matematis khusus tingkat lebih tinggi. Ketiga
level fungsi kognitif tersebut dipaparkan pada Tabel 1.
Tabel 1 : Tiga level fungsi kognitif berpikir matematis rigor
Level
fungsi
kognitif
Fungsi Kognitif
Level
1: Pelabelan (Labeling)
Berpikir
kualitatif
Keterangan
Pencarian
secara
sistematis
untuk
mengumpulkan
dan
melengkapi informasi
(Searching
systematically to gather
clear and complete
information)
Penyandian (Encoding)
Pemecahan
(Decoding)
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
kuantitatif
dengan
ketelitian
penganalisisan
(Analyzing)
memecahkan
keseluruhan
atau
menguraikan kuantitas ke dalam atribut
kritis atau susunannya.
Pengintegrasian
(Integrating)
membangun
keseluruhan
dengan
menggabungkan bagian-bagian atau
atribut kritisnya
penggeneralisasian
(Generalizing)
ketelitian
precise)
menyimpulkan/
fokus dan tepat
(Being
Level 3 : Pengaktifan
Berpikir
pengetahuan
relasional
matematika
abstrak
sebelumnya (Activating
prior mathematically
related knowledge)
Penyediaan
matematika
(Providing
mathematical
evidence)
129
memutuskan
dengan
bukti
logis
memberikan
rincian
pendukung,
petunjuk, dan bukti yang masuk akal
untuk membuktikan kebenaran suatu
logical pernyataan.
Pengartikulasian
(pelafalan)
kejadian
matematika
logis
(Articulating
mathematical logical
evidence)
membangun
dugaan,
pertanyaan,
pencarian
jawaban,
dan
mengkomunikasikan penjelasan yang
sesuai dengan aturan matematika.
Pendefinisian masalah
(defining the problem)
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Berpikir
hipotesis
(Hypothetical thinking)
Berpikir
inferensial
(Inferential thinking)
Pemroyeksian
dan
perestrukturisasian
hubungan (Projecting
and
restructuring
relationships)
Pembentukan hubungan
kuantitatif proporsional
(forming proportional
quantitative
relationships)
Berpikir induktif
matematis
(mathematical inductif
thinking)
Berpikir deduktif
matematis
(mathematical
deductive thinking)
Berpikir relasional
matematis
(mathematical
relational thinking)
Penjabaran aktivitas
matematika melalui
kategori kognitif
(elaborating
130
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
mathematical activity
through cognitive
categories)
Berdasar pada paparan fungsi kognitif untuk berpikir matematis rigor di atas, maka dapat ditarik
pengertian bahwa berpikir matematis rigor dalam penelitian ini yaitu suatu aktivitas berpikir
matematis yang melibatkan penggunaan beberapa fungsi kognitif dimana dalam penggunaannya
berpikir matematis rigor dikategorikan dalam tiga level yaitu level satu (level berpikir
kualitatif), level dua (level berpikir kuantitatif) dan level tiga (level berpikir relasional abstrak).
Seorang individu, sebagai makhluk sosial, mempunyai keunikan dan karakteristik tersendiri,
berbeda satu sama lain. Begitu pun dengan siswa di kelas. Pada umumnya kemampuan siswa di
kelas dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu kelompok kemampuan tinggi, sedang dan
rendah. Oleh karenanya, penting bagi siswa, khususnya siswa berkemampuan rendah, untuk
memiliki keterampilan berpikir matematis rigor terutama dalam upaya memecahkan soal
matematika tidak rutin yang mempunyai tingkat kerumitan cukup tinggi dengan cermat dan
tepat sehingga diperoleh hasil penyelesaian yang memuaskan.
Masalah matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah soal matematika tidak rutin
yang tidak bisa dikerjakan dengan prosedur rutin yang sudah dikuasai siswa. Sedangkan
pemecahan masalah diartikan sebagai proses yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu
masalah matematika yang langkah-langkahnya terdiri dari memahami masalah, merencanakan
penyelesaian, melaksanakan rencana tersebut dan memeriksa kembali jawaban. Berdasarkan
pemikiran yang diuraikan diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
mendeskripsikan profil berpikir matematis rigor siswa SMP berkemampuan rendah dalam
memecahkan masalah matematika.
2. Metode
Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini, subjek penelitiannya adalah satu orang siswa kelas
VIII SMPN 1 Lamongan yang termasuk dalam kategori kelompok kemampuan matematika
rendah dengan kriteria pengelompokkannya adalah jika skor tes kemampuan matematika yang
diperolehnya < 66.
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dan instrumen bantunya berupa
soal tes kemampuan matematika, tes pemecahan masalah (dalam penelitian ini diistilahkan
dengan tes matematika) dan pedoman wawancara. Analisis data yang digunakan dalam
131
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
penelitian ini dengan langkah-langkah reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan.
Sedangkan untuk mendapatkan data penelitian yang valid, dalam penelitian ini digunakan
triangulasi waktu.
3. Hasil Penelitian
Soal yang diberikan adalah sebagai berikut:
Soal 1 : Perhatikan kedua gambar bangun berikut ini!
///
//
=
=
///
Gambar 1
//
Gambar 2
Berdasarkan hasil tes tertulis dan wawancara berbasis tugas untuk soal di atas diperoleh
bahwa :
Selama memecahkan masalah matematika yang diberikan, subjek berkemampuan rendah telah
menggunakan semua fungsi kognitif yang termasuk dalam fungsi kognitif level 1 berpikir
matematis rigor, diantaranya: pelabelan yakni subjek memberi nama bangun yang tersaji pada
soal berdasar ciri yang teramati dari masing-masing bangun; visualisasi yakni subjek
mengkonstruk gambar kedua bangun yang disebutkan pada soal dalam pikirannya;
pembandingan yakni subjek mencari ciri-ciri yang sama dan berbeda antara kedua bangun pada
soal (dalam hal ini bangun persegi dan persegipanjang); pencarian secara sistematis untuk
132
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
mengumpulkan dan melengkapi informasi yakni subjek mencermati gambar dan soal yang
tersaji dengan seksama untuk mengumpulkan dan melengkapi informasi yang diperlukan dalam
menyelesaikan soal; penggunaan lebih dari satu sumber informasi yakni subjek mampu bekerja
secara mental dengan lebih dari satu konsep selama mengerjakan soal (dalam hal ini sisi, sudut,
diagonal dan luas persegi dan persegipanjang); penyandian yakni subjek menyandikan bangun
yang tersaji dengan menambahkan simbol huruf pada kedua bangun yang tersaji pada soal;
pemecahan kode yakni subjek memaknai simbol /, //, ///, dan yang ada pada soal.
Fungsi kognitif pada level 2 berpikir matematis rigor yang telah digunakan oleh subjek
berkemampuan rendah diantaranya: pengawetan ketetapan yakni subjek menentukan ciri yang
tetap sama antara gambar persegi secara umum (posisi tegak) dengan gambar yang tersaji pada
soal yang diberikan; analisis yakni subjek menguraikan keseluruhan bangun pada soal (dalam
hal ini bangun persegi dan persegipanjang) ke dalam susunannya; integrasi yakni subjek
mambangun keseluruhan bangun (persegi dan persegipanjang) dengan menyatukan bagianbagiannya; ketelitian yakni subjek memutuskan dengan fokus dan tepat dalam menyelesaikan
soal. Sedangkan fungsi kognitif level 2 berpikir matematis rigor yang belum tampak digunakan
oleh subjek berkemampuan rendah antara lain pengukuran ruang dan hubungan spasial; dan
penggeneralisasian.
Pada level 3 berpikir matematis rigor, fungsi kognitif yang telah digunakan oleh subjek
berkemampuan rendah antara lain: pengaktifan pengetahuan matematika sebelumnya yakni
subjek mampu mengingat kembali, menghimpun dan menggunakan pengetahuan matematika
sebelumnya yang berkaitan dengan persegi dan persegipanjang untuk menyelesaikan soal;
penyediaan bukti matematis logis yakni subjek mampu memberikan rincian pendukung, alasan
matematis,
bukti
pengartikulasian kejadian matematis logis yakni subjek membangun dugaan terkait dengan
adanya ciri yang sama antara kedua bangun pada soal serta mencari jawabannya,
mengkomunikasikan penjelasan yang sesuai dengan aturan matematika; pendefinisian masalah
yakni subjek mencermati soal dengan menganalisis dan membaca soal berulang-ulang untuk
memahami maksud soal dengan tujuan untuk mengetahui stategi tepat apa yang harus
digunakannya; berpikir hipotesis yakni subjek membentuk dugaan (bahwa persegi tidak boleh
disebut persegipanjang) dan mencari bukti matematika untuk mendukung kebenaran dugaannya
tersebut; berfikir inferensial yakni subjek mengembangkan generalisasi berdasarkan sejumlah
kejadian matematika yang ditemuinya; pembentukan hubungan kuantitatif proporsional yakni
subjek mampu menetapkan hubungan kuantitatif yang menghubungkan besar sudut yang
dimiliki oleh kedua bangun pada soal; berpikir deduktif matematis yakni subjek menggunakan
rumus luas persegi dan persegipanjang untuk membuktikan pernyataannya bahwa persegi tidak
133
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
boleh disebut persegipanjang meskipun penjelasannya hanya menyatakan bahwa rumus untuk
menghitung luas kedua bangun itu berbeda; berpikir relasional matematis yang secara implisit
sudah ada dengan ditandai oleh kemampuannya mempertimbangkan hubungan antara persegi
dan ciri-cirinya dengan persegipanjang dan ciri-cirinya untuk menyimpulkan hubungan antara
persegi dengan persegipanjang, namun secara eksplisit fungsi kognitif ini masih belum nampak;
penjabaran aktivitas matematika melalui kategori kognitif yakni subjek menjabarkan atau
menguraikan, merefleksi dan menganalisis aktivitas matematika selama memecahkan masalah
matematika yang diberikan. Sedangkan fungsi kognitif pada level 3 berpikir matematis rigor
yang belum tampak digunakan oleh subjek berkemampuan rendah antara lain pemroyeksian dan
perestrukturisasian hubungan; serta berpikir induktif matematis.
4. Simpulan
Berdasarkan proses yang dilakukan dalam memecahkan masalah penelitian, dapat disimpulkan
profil berpikir matematis rigor subjek berkemampuan rendah yaitu bahwa subjek
berkemampuan rendah menggunakan semua fungsi kognitif yang termasuk pada level 1
(berpikir kualitatif) berpikir matematis rigor sedangkan ada beberapa fungsi kognitif pada level
2 dan level 3 berpikir matematis rigor yang masih belum tampak digunakannya. Pada level 2,
fungsi kognitif yang belum digunakan adalah pengukuran ruang dan hubungan spasial serta
fungsi kognitif penggeneralisasian. Pada level 3, fungsi kognitif yang belum digunakan adalah
fungsi kognitif pemroyeksian dan perestrukturisasian hubungan, dan berpikir induktif
matematis. Dengan demikian subjek berkemampuan rendah berada pada level 1 berpikir
matematis rigor.
5. Pustaka
Depdiknas, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Evans, J.S.B.T. 2007. Hypothetical Thinking: dual processes in reasoning and judgement. New
York: Psychology Press. Buku online diakses pada 20 April 2011 dari
http://books.google.co.id/.
Kinard, J.T. 2001.Creating Rigorous Mathemaical Thinking: A Dynamic that Drives
Mathematical and Science Conceptual Development. Retrieved on October 21, 2009 from
www.umanitoba.ca/unevoc/conference/ papers/ kinard .pdf.
___________. 2007. Method and Apparatus for Creating Rigorous Mathemaical Thinking.
Retrieved on 24 March 2010 from http://www.freepatentsonline.com
Kinard, J. T., & Kozulin, A. 2008. Rigorous Mathematical Thinking : Conceptual Formation in
the Mathematics Classroom. New York : Cambridge University Press.
_______________________. 2005. Rigorous Mathematical Thinking: Mediated Learning and
Psychological Tools. Focus on learning Problem in Mathematics 27.3 (Summer, 2005)
:1(29). Academic OneFile. Gale. Universitas Negeri Surabaya. Retrieved on 20 Oct. 2009
from http://find.galegroup.com
Polya, G. 1973. How To Solve It; A new Aspect of Mathematical Method. New Jersey:
Princenton University Press.
Ratumanan, T.G dan Laurens, T. (2003). Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan
Kurikulum Berbeasis Kompetensi. Surabaya : Unesa University Press.
134
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
135
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis merupakan kemampuan yang sangat penting
dimiliki oleh setiap siswa dalam pembelajaran matematika. Untuk meningkatkan kemampuan
ini, perlu adanya upaya pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa melakukan
observasi dan eksplorasi agar dapat membangun pengetahuannya sendiri. Materi geometri
dimensi tiga merupakan salah satu materi yang sulit diterangkan oleh guru di kelas dan sulit
dipahami siswa. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengkaji peningkatan kemampuan
berpikir kritis dan kreatif matematis antara siswa yang mendapatkan pendekatan Problem-Based
Learning berbantuan komputer dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional,
keterkaitan antara kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa, dan sikap siswa
terhadap pembelajaran ini. Subjek penelitian adalah siswa salah satu SMA Negeri di Kabupaten
Bandung Barat dengan sampel siswa kelas X. Metode yang digunakan adalah kuasi-eksperimen
dan penentuan sampel dengan Purposive Sampling. Berdasarkan hasil analisis data yang
dilakukan, menunjukkan peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa
yang mendapatkan pendekatan Problem-Based Learning berbantuan komputer lebih baik
daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional, terdapat hubungan yang cukup
signifikan antara kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa, dan secara umum
siswa yang mendapatkan pendekatan Problem-Based Learning berbantuan komputer
menunjukkan sikap yang positif.
Katakunci: Kritis, Kreatif , Problem-Based Learning , Komputer
1. Pendahuluan
Salah satu materi pelajaran matematika yang dianggap sulit dan sangat lemah diserap oleh
siswa di sekolah adalah geometri dimensi tiga. Kesulitan materi geometri dimensi tiga ini tidak
hanya dialami para siswa saja tetapi juga guru dalam mengajarkannya. Tanpa alat peraga cukup
sulit merangsang daya visualisasi siswa, sementara dari siswa sendiri untuk memahami dan
memvisualisasikan apa yang diterangkan guru merupakan hal yang tidak mudah. Menurut
Sabandar (2002), idealnya pada pengajaran geometri di sekolah perlu disediakan media yang
memadai agar siswa dapat mengobservasi, mengeksplorasi, mencoba serta menemukan prinsip
prinsip geometri lewat aktivitas informal untuk kemudian meneruskannya dengan kegiatan
formal dan menerapkannya apa yang dipelajari.
Pola berpikir pada aktivitas matematika adalah berpikir tingkat rendah (low-order
mathematical thinking) dan berpikir tingkat tinggi (high-order mathematical thinking). Berpikir
kritis dan kreatif matematis merupakan bagian dari high-order mathematical thinking. Anderson
(2004) menyatakan bila berpikir kritis dikembangkan, seseorang akan cenderung untuk mencari
136
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
kebenaran, berpikir terbuka dan toleran terhadap ide-ide baru, dapat menganalisis masalah
dengan baik, berpikir secara sistematis, penuh rasa ingin tahu, dewasa dalam berpikir, dan dapat
berpikir kritis secara mandiri. Sementara menurut Learning and Teaching Scotland (LTS,
2004) bila kemampuan berpikir kreatif berkembang pada seseorang, maka akan mengasilkan
banyak ide, membuat banyak kaitan, mempunyai banyak perspektif terhadap suatu hal,
membuat dan melakukan imajinasi, dan peduli akan hasil.
Menurut Kusumah (2007) karena konsep-konsep dan keterampilan tingkat tinggi yang
memiliki keterkaitan antara satu unsur dan unsur lainnya sulit diajarkan melalui buku semata,
maka pembelajaran matematika akan lebih cepat jika dalam kegiatan pembelajaran di dalam
kelas dikenalkan pada komputer yang didayagunakan secara efektif. Program Cabri 3D
merupakan software komputer yang dapat menampilkan variasi bentuk geometri dimensi tiga,
memberi fasilitas untuk melakukan eksplorasi, investigasi, interpretasi dan memecahkan
masalah matematika dengan cukup interaktif (Oldknow and Tetlow, 2008). Petrovici, et al.
(2010) menyatakan penggunaan komputer dengan program Cabri 3D pada pembelajaran
geometri dimensi tiga di sekolah menengah dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan
kreativitas, meningkatkan kemampuan siswa dalam berdiskusi dengan teman sebaya dan guru,
dapat mengembangkan kemampuan imaginasi dan dan visualisasi ruang, dapat mengkaitkan
antara teori dan terapannya, efisien dalam waktu belajar, meningkatkan kepercayaan diri dalam
berkontribusi kepada kelompok.
Model Problem-Based Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat
dilakukan dengan melibatkan siswa dalam kelompok, sehingga aktivitas siswa lebih dominan,
sedangkan peranan guru sebagai fasilitator. Seng (2000) menyatakan bahwa Problem-Based
Learning yang diterapkan pada siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah ada dalam benaknya
dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan kuasi-eksperimen. Populasinya adalah seluruh siswa kelas
X SMA Negeri di Kabupaten Bandung Barat yang memiliki fasilitas laboratorium komputer.
Sampel yang dipilih adalah salah satu SMA Negeri kelas X yang termasuk tingkat sedang.
Sampel pada penelitian ini terdiri dari 2 kelas, yaitu kelas eksperimen dengan pendekatan
Problem-Based Learning berbantuan komputer dan sebagai kelas kontrol dengan pembelajaran
konvensional.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa tes dan non-tes.
Instrumen tes berupa soal kemampuan berpikir kritis dan kemampuan berpikir kreatif matematis
137
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
yang berbentuk uraian sedangkan untuk instrumen non-tes berupa skala sikap tentang pendapat
siswa terhadap pendekatan Problem-Based Learning berbantuan program komputer pada
pembelajaran geometri dimensi tiga. Instrumen yang akan dipakai pada penelitian ini diuji
cobakan terlebih dahulu terhadap siswa SMA yang telah memperoleh materi geometri dimensi
tiga. Kemudian dilakukan perhitungan validitas dan reliabilitas instrumen butir soal, uji daya
pembeda dan tingkat kesukaran soal.
Analisis data menggunakan SPSS 17.0 dan Microsoft Excel. Interpretasi indeks gain
ternormalisasi dilakukan berdasarkan kriteria indeks gain dalam Hake (1999). Untuk
menentukan uji statistik yang digunakan, terlebih dahulu diuji normalitas data dan homogenitas
varians. Hipotesis ke-1 dan ke-2 diuji dengan menggunakan Independent Samples t-Test
terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hipotesis ke-3 diuji dengan mengunakan uji
korelasi.
3. Pembahasan Hasil
Tabel 1. Deskripsi Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis
Kemampuan
Skor
Ideal
Aspek
Kelas Eksperimen
Min Max
Kelas Kontrol
S
Min Max
Awal
Kritis
12
2,47
1,55 0
2,47 1,50
(Pretes)
Kreatif
16
4,8
1,65 1
4,17 1,66
Akhir
Kritis
12
12
8,10
2,14 3
10
5,97 1,81
(Postes)
Kreatif
16
15
11,33 2,64 4
12
8,13 2,16
Pretes
138
Aspek
Normalitas
Varians
Kritis
Normal
Homogen .000
Sig.
Keterangan
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Kreatif Normal
Kritis
Normal
Kreatif Normal
Postes
Hasil uji perbedaan gain ternormalisasi kemampuan berpikir kritis dan kreatif
matematis siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan H0 ditolak, artinya
peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa yang mendapat pendekatan
Problem-Based Learning berbantuan komputer lebih baik daripada siswa yang mendapat
pembelajaran konvensional.
Tabel 3. Hasil Independent Samples t-Test Skor Gain
Gain
Normalitas Varians
Kritis
Normal
Kreatif
Normal
Sig.
Keterangan
Homogen 6,236
0,000
H0 ditolak
Homogen 4,532
0,000
H0 ditolak
Dari soal tes kemampuan berpikir kritis matematis yang diberikan kepada kelas
eksperimen berdasarkan indikator yang ditetapkan, memperlihatkan peningkatan dari rata-rata
skor gain yang dicapai untuk ketiga indikator termasuk kategori sedang. Sedangkan untuk kelas
kontrol, dari ketiga indikator soal tes kemampuan berpikir kritis matematis yang diberikan,
peningkatan dari rata-rata skor gain pada kategori sedang dan rendah.
Pada kelas eksperimen, perkembangan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa
pada indikator keluwesan dan keaslian lebih baik daripada indikator kelancaran dan elaborasi.
Pada kelas kontrol menunjukkan peningkatan kemampuan berpikir kreatif berkategori tinggi
pada indikator keaslian, berkategori sedang pada kelancaran dan berkategori rendah pada
indikator kelancaran dan elaborasi. Secara umum peningkatan kemampuan berpikir kritis dan
kreatif matematis siswa melalui pendekatan Problem-Based Learning berbantuan komputer
lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Tabel 4. Deskripsi Gain Ternormalisasi (N-Gain)
No
Soal
139
Rata-rata Skor
Indikator
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Pretes
Postes
NGain
Pretes
Postes
NGain
Berpikir Kritis
1
Pembuktian
2,03
0,508
0,6
0,150
Generalisasi
1,97
3,37
0,690
1,77
3,13
0,340
Pemecahan Masalah
0,47
2,70
0,510
0,7
2,23
0,380
Berpikir Kreatif
7
Kelancaran
0,100
2,467
0,607
0,200
1,367
0,307
Keluwesan
1,567
3,433
0,767
1,367
2,033
0,253
Keaslian
2,933
3,933
0,938
2,433
3,600
0,745
Elaborasi
0,200
1,500
0,342
0,167
1,133
0,252
Kelompok
Eksperimen
Berpikir Kritis dan Kreatif
Matematis
Kontrol
Koefisien Korelasi
Kategori
0,549
Sedang
0,310
Rendah
Pemberian skala sikap kepada siswa dalam penelitian ini berdasarkan sikap afektif yang
bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika secara umum, sikap
siswa terhadap pendekatan Problem-Based Learning, sikap siswa terhadap pembelajaran
berbantuan komputer, dan sikap siswa terhadap berpikir kritis dan kreatif matematis. Skala
sikap ini terdiri dari 25 pernyataan yang terbagi atas 14 pernyataan positif dan 11 pernyataan
negatif.
Berdasarkan skor hasil postes untuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis
siswa kelas eksperimen yang diberikan pembelajaran geometri dimensi tiga dengan
menggunakan pendekatan Problem-Based Learning berbantuan komputer lebih baik daripada
140
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
kategori gain
ternormalisasi, peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa pada kelas eksperimen
dan kontrol berada pada kategori sedang, tetapi bila dilihat dari rata-rata gain kemampuan
berpikir kritis matematis setiap indikator, peningkatan pada indikator pembuktian di kelas
eksperimen lebih baik dari kelas kontrol yang berkategori rendah. Selain itu, meskipun samasama berkategori sedang, tetapi gain ternormalisasinya kelas eksperimen lebih baik dari kelas
kontrol.
Kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik sangat ditunjang dari mudahnya siswa
bereksplorasi dengan bentuk-bentuk geometri dimensi tiga tanpa merasa khawatir melakukan
kesalahan. Eksplorasi seperti ini akan menambah pengetahuan dan pengalaman bagi siswa
dalam menyelesaikan soal-soal. Seperti pendapat Shannon (2008), bahwa menyelesaikan sebuah
masalah dalam matematika sebenarnya menciptakan beberapa masalah lagi, sehingga
diperlukan kemampuan untuk mengetahui dengan pasti apa yang harus dilakukan.
Pada kemampuan berpikir kreatif matematis peningkatan kemampuan berpikir siswa
dalam kelancaran dan keluwesan, sangat dipengaruhi dari komputer yang bisa memudahkan
siswa untuk melakukan observasi dan eksplorasi dengan memutar, menggeser, membesarkan,
mengecilkan dan membuat variasi objek dimensi tiga dengan besar panjang dan ukuran sudut
yang secara otomatis berubah sesuai keinginan. Sehingga siswa dapat leluasa menghasilkan
banyak pendapat, metode, dan solusi dengan beragam cara.
Adapun peningkatan kemampuan berpikir siswa dalam elaborasi dan keaslian,
dimungkinkan karena siswa dilatih dengan soal-soal yang memancing kreativitas siswa untuk
menambahkan bagian-bagian objek yang dapat memudahkan penyelesaian masalah. Proses ini
dilakukan siswa berulang-ulang dengan usaha bersama secara berkelompok dalam menjawab
masalah yang disajikan, sehingga terbangun daya imajinasi siswa yang memungkinkan
memperoleh penyelesaian yang belum ada sebelumnya. Dahan (2008), menyatakan penggunaan
komputer memberi sarana kepada pengguna untuk mengembangkan berbagai ide dan daya
imajinasi dalam mengkonstruksi bentuk geometri.
Masalah-masalah dihadapkan kepada siswa serta aktivitas diskusi di kelas yang dapat
mempengaruhi tumbuhnya rasa percaya diri siswa untuk melakukan penemuan sendiri dalam
penyelesaian permasalahan, cukup berpengaruh pada peningkatan kemampuan berpikir kritis
dan kreatif matematis siswa. Dengan adanya kegiatan diskusi pada pembelajaran ini
memungkinkan siswa untuk saling berinteraksi antar teman satu kelas maupun dengan kelas lain
dalam menyampaikan pendapat, bertanya, menanggapi pendapat orang lain, menjelaskan
141
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
menyenangi cara belajar seperti yang diberikan dan pembelajaran seperti ini membantu mereka
untuk membiasakan diri mengemukakan pemikirannya lewat diskusi yang dilakukannya,
berpendapat, bertanya, dan menemukan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak pernah
terpikirkan. Siswa berpendapat pembelajaran ini membuat siswa senang bekerjasama dalam
menyelesaikan soal-soal yang diberikan.
4. Kesimpulan
Hasil penelitin pada pembelajaran geometri dimensi tiga dengan pendekatan ProblemBased Learning berbantuan komputer menunjukkan peningkatan kemampuna berpikir kritis dan
kreatif matematis pada siswa. siswa yang mempunyai peringkat atas pada tes kemampuan
berpikir kritis matematis kemungkinan juga akan menempati peringkat atas pada tes
kemampuan berpikir kreatif matematis dan begitu juga sebaliknya. Sementara itu sikap siswa
terhadap pembelajaran yang diberikan dan terhadap soal-soal berpikir kritis dan kreatif
matematis sangat positif. Pada umumnya siswa menyatakan bahwa melalui pembelajaran yang
dilakukan dengan bantuan komputer, pelajaran matematika dirasa menyenangkan, merasa ada
tantangan sehingga ide-ide jadi berkembang, kreativitas muncul dalam upaya mencari
penyelesaian dan berani mengungkapkan pendapatnya dalam diskusi.
5. Penghargaan
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama Kepala Sekolah SMA Negeri
Bandung Barat di mana penulis melakukan penelitian beserta guru matematika kelasnya atas
segala bantuan dan dukungan sampai terselesaikannya makalah ini.
142
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
6. Daftar Pustaka
Anderson, T., Garrison, D.R., dan Archer, W.(2004). Critical Thinking, Cognitive
Presence, Computer Conferencing in Distance Learning. [Online]. Available:
http://communityofinquiry.com/ [15 Desember 2010].
Dahan, J. (2008). Modelling with Cabri 3D to Enhance A More Constructivist Approach to
3D Geometry. [Online]. Available : http://atcm.mathandtech. org/
[10 Desember 2010].
Hake. R. (1999). Analyzing Change/Gain Score. [Online].Available: http://www.
physics.indiana.edu/~sdi/ [15 Desember 2010].
Kusumah, Y.S.(2007).Peningkatan
Kualitas
Pembelajaran
dengan
Courseware
Interaktif. Makalah pada seminar DUE-like, Semarang.
LTS, (2004). Learning Thinking. Scotland: Learning and Teaching Scotland.
Oldknow,A.and Tetlow,L.(2008). Using Dynamic Geometry Software to Encourage 3D
Visualisation and Modelling. [Online]. Available : http://php.radford.edu/
[10 Desember 2010]
Petrovici, A. et all. (2010). Cabri 3D-The Instrument to Make The Didactic
Approach
more Efficient. [Online]. Available: http://anale-informatica.tibiscus.ro/
[10 Desember 2010]
Sabandar, J. (2002). Pembelajaran Geometry dengan Menggunakan Cabry Geometri II. Jurnal
Matematika atau Pembelajarannya. ISSN : 0852-7792 Tahun VIII, Edisi Khusus, Juli
2002.
Seng, T.O. (2000). Thinking Skills, Creativity and Problem-Based Learning.
[Online].
Available : http://pbl.tp.edu.sg/ [22 Januari 2011].
Shannon, A.G. (2008). Creative Thinking in Problem Solving. [Online]. Available :
http:/unsw.edu.au/ [26 Desember 2010].
143
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Pada tahun 2009, penulis mendapat kesempatan untuk mengunjungi SMA Regina Pacis Bajawa,
Nusa Tenggara Timur. Penulis melakukan observasi pada beberapa kelas di SMA tersebut, dan
salah satu kelas yang diobservasi penulis adalah kelas XA. Pada saat pengamatan, pembelajaran
yang berlangsung di kelas XA adalah pembelajaran matematika dengan topik merasionalkan
bentuk akar. Penulis mengamati bagaimana proses pembelajaran matematika berlangsung.
Setelah mengamati proses pembelajaran yang terjadi, muncul keingintahuan dari penulis,
apakah siswa di kelas XA memahami apa yang dimaksud dengan bentuk akar, dan
merasionalkan bentuk akar, apakah siswa di kelas tersebut masih melakukan kesalahankesalahan dalam manipulasi aljabar untuk menyelesaikan soal merasionalkan bentuk akar.
Untuk maksud tersebut, penulis memberikan satu soal untuk dikerjakan para siswa di kelas
tersebut di akhir pembelajaran.
Dari 27 hasil pekerjaan siswa, hanya ada satu orang siswa yang memahami bahwa 121 bukan
bentuk akar, dan sudah memahami arti merasionalkan bentuk akar, lima orang siswa memahami
121 bukan bentuk akar, tetapi belum memahami arti merasionalkan bentuk akar, dan
21 siswa belum memahami bahwa 121 bukan bentuk akar, belum mengerti arti merasionalkan
bahwa
bentuk akar, dan hanya mengetahui langkah-langkah merasionalkan bentuk akar secara
mekanistik.
Ada beberapa kesalahan yang dibuat siswa SMA Regina Pacis Bajawa dalam melakukan
manipulasi aljabar dalam menyelesaikan soal merasionalkan bentuk akar. Kesalahan-kesalahan
tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu: kesalahan melakukan operasi
penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pemangkatan, dan penarikan akar bilangan
bulat, melakukan operasi pada pecahan, melakukan perkalian dengan menggunakan sifat
distributif, dan melakukan pemfaktoran.
Kata kunci: bentuk akar, merasionalkan bentuk akar, dan manipulasi aljabar.
1. Pendahuluan
Pada tanggal 19 20 Oktober 2009, penulis mendapat kesempatan untuk melakukan observasi
pembelajaran matematika di SMA Regina Pacis Bajawa, Nusa Tenggara Timur. Salah satu kelas
yang diobservasi oleh penulis adalah kelas XA. Kelas XA merupakan kelas unggulan di SMA
Regina Pacis Bajawa. Pada saat penulis melakukan observasi di kelas tersebut, guru sedang
membahas tentang pengertian merasionalkan bentuk akar dan bagaimana proses merasionalkan
suatu bentuk akar. Dalam proses pembelajaran, penulis melihat bahwa siswa lancar sekali pada
saat menyelesaikan soal-soal latihan yang terkait dengan merasionalkan bentuk akar, tetapi hal
ini tidak meyakinkan penulis bahwa siswa memahami apa yang dimaksud dengan bentuk akar,
dan merasionalkan bentuk akar. Oleh karena itu, pada akhir pelajaran, penulis memberikan satu
144
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
soal untuk mengetahui apakah siswa memahami tentang arti bentuk akar, merasionalkan bentuk
akar, dan melakukan kesalahan dalam manipulasi aljabar untuk merasionalkan bentuk akar.
tersebut lebih sederhana, maka penyebutnya perlu dirasionalkan terlebih dahulu. Artinya tidak
ada bentuk akar pada penyebut suatu pecahan. Jadi, merasionalkan penyebut adalah mengubah
pecahan dengan penyebut bilangan irasional menjadi pecahan dengan penyebut bilangan
rasional.
Langkah-langkah merasionalkan pecahan yang memuat bentuk akar dengan bentuk a
1. Kalikan dengan a b . Mengapa perlu dikalikan dengan a
a
b:
2
b digunakan sifat a
b , agar
1.
2. Lakukan manipulasi aljabar untuk menyederhanakan hasil perkalian dua pecahan tersebut.
Langkah-langkah tersebut tidak perlu dilakukan jika
4 , 9 , 16 , dan sebagainya.
Contoh : Rasionalkan pecahan berikut:
Penyelesaian untuk pecahan
8 dan 8 2 7 .
3 9
3 5
8 :
3 5
8
8
3 5
8 x 3 5
8 x 3 8 x 5 24 8 5 24 8 5 6 2 5
2
3 5 3 5 3 5
3 5 3 5
95
4
32 5
145
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
9 3 bukan bentuk akar, maka untuk pecahan 8 2 7 tidak perlu dilakukan langkah-
Karena
3 9
langkah merasionalkan seperti yang sudah disebut di atas, tetapi cukup menyederhanakannya,
yaitu: 8 2 7 8 2 7 8 2 7 4 7 .
33
6
3
3 9
Pacis Bajawa
Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan guru untuk membelajarkan topik merasionalkan
bentuk akar:
1. Guru menjelaskan langkah-langkah merasionalkan bentuk akar, tanpa menjelaskan apa yang
dimaksud dengan bentuk akar dan merasionalkan bentuk akar.
2. Guru memberikan contoh bagaimana caranya menyelesaikan soal merasionalkan bentuk
akar.
a. Guru menuliskan dan menjelaskan soal yang akan diselesaikan bersama-sama.
Guru
pecahan dari tiga kurang akar lima per tiga tambah akar lima ya.
b. Guru menjelaskan langkah pertama yang harus dilakukan untuk merasionalkan bentuk
akar.
Guru
: Kita lihat sekarang ini, tiga tambah akar lima ini. Sekawannya adalah?
: tiga kurang akar lima ya. Baik, jadi kita kalikan dengan tiga kurang
akar lima baik pada pembilang maupun pada penyebut, sehingga
menjadi ....
Siswa : tiga kurang akar lima per tiga tambah akar lima dikali tiga kurang akar
lima per tiga kurang akar lima (siswa menjawab bersama-sama dan
guru menuliskan jawaban siswa di papan tulis).
Guru
: ya baik.
:Tiga kurang akar lima dikali tiga kurang akar lima ini menjadi
apa?
Siswa : tiga kurang akar lima dikuadratkan (siswa menjawab bersama-sama dan
guru menuliskan jawaban siswa di papan tulis).
146
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Guru
: jadi tiga tambah akar lima dikalikan dengan tiga kurang akar lima,
berarti a nya berapa?
Siswa : tiga. Tiga kuadrat dikurangi akar lima kuadrat. (siswa menjawab
bersama-sama dan guru menuliskan jawaban siswa di papan tulis).
Guru
: jadi bentuk a tambah b kali a kurang b, atau pun bentuk a kurang b kali
a tambah b itu hasilnya selalu .....
: tidak pernah tambah ya. Jadi, tiga kuadrat dikurang akar lima kuadrat.
3 5 2 .
2
32 5
Siswa : a kuadrat dikurang 2ab ditambah b kuadrat (siswa menjawab bersamasama dan guru menuliskan jawaban siswa di papan tulis).
Guru
menunjuk pada 3 5 ).
Siswa : tiga kuadrat dikurang dua dikali tiga dikali akar lima ditambah akar
lima kuadrat.
Guru
: lima ya.
2
2
e. Guru meminta seorang siswa menyelesaikan 3 2.3. 5 5
95
Guru
147
: coba Sae bisa lanjut (guru menunjuk seorang siswa yang bernama Sae
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Siswa : ha.....ha (siswa yang lain mentertawakan Sae karena jawabannya salah).
Sae
: tambah lima.
Guru
Sae
: dua empat. E.
Siswa : ha.....ha (siswa yang lain mentertawakan Sae karena jawabannya salah).
Sae
f.
: dibagi empat.
Siswa : tambah lima dikurang enam akar lima dibagi empat (siswa menjawab
bersama-sama dan guru menuliskan jawaban siswa di papan tulis).
Guru
: Ya. Jadi, memindahkan plus lima, tandanya jangan diubah ya. Jadi,
sembilan ditambah lima. Jadi, tandanya tetap ya, tidak berubah. Jadi,
sembilan tambah lima dikurang enam akar lima, sehingga menjadi?
Siswa : Empat belas dikurang enam akar lima dibagi empat (siswa menjawab
bersama-sama dan guru menuliskan jawaban siswa di papan tulis).
Guru
Siswa : dua.
Guru
Siswa : tujuh.
Guru
Siswa : dua.
Guru
: enam akar lima, enam dengan empat sama-sama habis dibagi dengan?
Siswa : dua.
Guru
Siswa : tiga.
Guru
Siswa : dua.
148
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Guru
: bisa ditulis seperti ini bentuk akhirnya. Bisa juga ditulis tujuh dikurang
tiga akar lima per dua. Jadi, jawabannya yang bentuk ini atau yang di
atasnya ya. Jadi, tolong bawa sampai bentuk yang paling sederhana.
3. Guru memberikan soal-soal latihan yang sama tipenya dengan contoh soal yang dibahas
untuk dikerjakan para siswa.
4. Guru meminta beberapa siswa untuk menyalinkan pekerjaan mereka di papan tulis.
5. Guru mengkoreksi pekerjaan siswa yang ada di papan tulis. Jika ada pekerjaan yang belum
tepat, guru yang memperbaiki pekerjaan siswa.
Proses pembelajaran yang berlangsung di kelas XA masih sangat berpusat pada guru
dan membentuk pola berpikir siswa yang bersifat mekanistik. Ada beberapa alasan, mengapa
penulis mengatakan bahwa proses pembelajaran yang terjadi di kelas XA membentuk pola
berpikir siswa yang bersifat mekanisitik:
1. Guru tidak memberikan kesempatan kepada para siswa untuk melakukan eksplorasi tentang
bagaimana caranya merasionalkan suatu pecahan yang memuat bentuk akar.
2. Siswa hanya diberitahu bagaimana langkah-langkah untuk merasionalkan suatu bentuk akar
dan siswa tidak diminta untuk mendalami mengapa langkah-langkah tersebut perlu
dilakukan untuk merasionalkan suatu bentuk akar.
3. Guru hanya memberikan soal-soal latihan yang sama tipenya dengan contoh yang dibahas.
Akibatnya, ketika siswa mengerjakan soal latihan, siswa hanya mencontek dan menghafal
bagaimana langkah-langkah penyelesaian pada contoh yang diberikan guru untuk kemudian
diterapkan pada soal-soal latihan.
Pada proses pembelajaran seperti yang diuraikan di atas, soal-soal latihan hanya berfungsi untuk
memperlancar siswa menyelesaikan soal, tidak untuk mengembangkan proses berpikir siswa.
Akibatnya, siswa terjebak pada pola berpikir yang mekanisitik, yaitu jika soalnya seperti A,
maka cara penyelesainannya seperti A atau menggunakan rumus A. Siswa tidak dapat
memikirkan alternatif penyelesaian yang lain.
12 5
. Dari soal ini, penulis ingin mengetahui
7 121
bentuk akar. Mengapa dari soal tersebut, penulis mengetahui bahwa siswa mengerti atau tidak
121 adalah bentuk akar atau bukan, dan apa artinya merasionalkan bentuk akar? Jika siswa
149
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
mengerti bahwa
121 adalah bukan bentuk akar dan makna merasionalkan bentuk akar, siswa
tidak akan menyelesaikan soal dengan menggunakan prosedur merasionalkan bentuk akar yang
sudah diperoleh dari gurunya, tetapi siswa hanya akan menyederhanakan bentuk pecahan
12 5 dengan menarik akar kuadrat dari 121. Jika siswa merasionalkan bentuk 12 5
7 121
7 121
dengan langkah-langkah yang sudah diberikan oleh guru, maka siswa belum memahami bahwa
121 bukan bentuk akar dan apa makna dari merasionalkan bentuk akar. Untuk mengetahui
proses berpikir dan pemahaman siswa, penulis melakukan wawancara singkat dengan beberapa
siswa yang penulis anggap jawabannya mewakii siswa yang lain. Wawancara dilakukan oleh
penulis pada saat penulis berkeliling untuk mengamati bagaimana para siswa menyelesaikan
soal yang diberikan oleh penulis.
Dari 27 siswa yang hadir, dan mengerjakan soal tersebut, hanya ada satu orang yang
memahami bahwa
121 bukan bentuk akar, dan sudah memahami arti merasionalkan bentuk
bentuk akar.
Lima siswa memahami bahwa
merasionalkan bentuk akar. Karena pada saat proses penyederhanaan, siswa melakukannya
seperti dalam proses merasionalkan bentuk akar. Berikut adalah potongan pekerjaan dari kelima
siswa tersebut dari kelima siswa tersebut:
(a)
150
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
(b)
(c)
(d)
(e)
Gb. 2 Pekerjaan siswa (a) pertama, (b) kedua, (c) ketiga, (d) keempat, dan (e) kelima yang
121 bukan bentuk akar, tetapi belum memahami arti merasionalkan bentuk
memahami bahwa
akar
Berikut adalah petikan wawancara singkat yang dilakukan penulis dengan salah seorang dari
kelima siswa tersebut:
Penulis : mengapa kamu tidak mengalikan
menuliskan
12 5
7 121
dengan
, tetapi malah
7 121
7 121
12 5 12 5 7 11
x
?
7 11 7 11
7 121
121 = 11.
Siswa : karena
Siswa : bukan.
Penulis : Kenapa?
Siswa : karena
12 5
7 11
dengan
?
7 11
7 11
Siswa : karena dalam soal, perintahnya merasionalkan bentuk itu (siswa menunjuk
bentuk
12 5
).
7 121
151
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
12 5
7 11
tanpa mengalikan dengan
?
7 11
7 11
Siswa : em.......em (siswa kemudian menggelengkan kepala dan tersenyum).
belum memahami apa arti dari merasionalkan bentuk akar. Dari wawancara singkat yang
dilakukan penulis dengan beberapa siswa dari ke-21 orang tersebut, mereka mengatakan bahwa
Berikut adalah petikan wawancara singkat antara penulis dengan salah seorang siswa yang
menganggap
121 adalah bentuk akar dan belum memahami arti dari merasionalkan bentuk
akar:
Penulis : mengapa kamu mengalikan
12 5
7 121
dengan
?
7 121
7 121
Siswa : ya.
Penulis : kenapa?
Siswa : karena ada tanda itu (siswa sambil menunjuk tanda akar).
Penulis : o, tanda akar. Apakah kalau ada tanda akarnya, pasti bentuk akar.
Siswa : (tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala).
152
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Lima siswa yang lain menyelesaikan dengan satu cara dan tidak melakukan kesalahan
dalam proses manipulasi aljabar ketika menyelesaikan soal tersebut. Dari jawaban kelima siswa
tersebut, strategi awal yang digunakan oleh kelima siswa tersebut adalah sama, yaitu dengan
mengalikan soal dengan bilangan sekawannya. Dari langkah penyelesaian berikutnya, penulis
dapat menggolongkannya menjadi dua strategi penyelesaian yang berbeda. Strategi pertama
153
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
yang digunakan adalah dengan menarik akar kuadrat dari 121, kemudian menggunakan sifat
distibutif perkalian terhadap pengurangan. Strategi kedua yang digunakan siswa adalah
menggunakan sifat distributif perkalian terhadap pengurangan, kemudian menarik akar kuadrat
dari 121. Berikut adalah contoh perkerjaan siswa yang menggunakan strategi pertama dan
kedua:
Gb. 6 Pekerjaan siswa yang tidak melakukan kesalahan manipulasi aljabar dan menggunakan
strategi pertama
Gb. 7 Pekerjaan siswa yang tidak melakukan kesalahan manipulasi aljabar dan menggunakan
strategi kedua
Dari jawaban 21 siswa yang lain yang malakukan kesalahan dalam proses manipulasi
aljabar untuk menyelesaikan proses merasionalkan bentuk akar, penulis dapat mengklasifikasi
kesalahan-kesalahan tersebut dalam empat kelas sebagai berikut:
1. Kesalahan melakukan operasi pada bilangan bulat:
a. Contoh kesalahan melakukan penjumlahan dan pengurangan pada pekerjaan siswa:
154
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
1) 7 5 11 5 4 5
2) 7 11 5 6 5
3) 7 11 5 4 5
4) 7 11 5 18 5
5) 7 11 = 4
6) 49 121 = - 71
b. Contoh kesalahan melakukan perkalian dan pembagian pada pekerjaan siswa:
1) 5 7 11 7 5 11 5
2) 5 7 121 7 5 605
3) 12 7 12 11 = 84 122
4)
6 5
1
5
72
18
5)
18 5 8 5
2 5
72
6
6)
48
2
72
3
c. Contoh kesalahan melakukan pemangkatan dan penarikan akar suatu bilangan pada
perkerjaan siswa:
1)
1212 11
2) 12 121 12 x 11 11 132 11
3) 7 121 7 11
2. Kesalahan melakukan operasi pada pecahan:
a. Contoh kesalahan melakukan penyederhanaan pecahan yang ada pada pekerjaan siswa:
48 4 5 12 5 3 5
72
32
8
b. Contoh kesalahan melakukan pengurangan dua pecahan yang ada pada pekerjaan siswa:
2
1
2 1 5
5
3 18
3 18
3. Contoh kesalahan melakukan perkalian dengan mneggunakan sifat distributif yang ada pada
pekerjaan siswa:
a.
12 5 7
b.
c.
5 7 11 7 5 11 5
d.
5 7 11 5 .7 5 .11 7 5 11 5
e.
12 5 7 11 12 x 7
121
112
121 7 11 7 2
5 11 84 5 11
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
a.
7 5 11 5 7 11 5
b.
7 5 11 5 7 11 5
c.
7 5 11 5 7 5 11 5
6. Penutup
Dari 27 hasil pekerjaan siswa, hanya ada satu orang siswa yang memahami bahwa
121 bukan
bentuk akar, dan sudah memahami arti merasionalkan bentuk akar, lima orang siswa memahami
bahwa
121 bukan bentuk akar, tetapi belum memahami arti merasionalkan bentuk akar, dan
bentuk akar, dan hanya mengetahui langkah-langkah merasionalkan bentuk akar secara
mekanistik.
Ada beberapa kesalahan yang dibuat siswa SMA Regina Pacis Bajawa dalam
melakukan manipulasi aljabar dalam menyelesaikan soal merasionalkan bentuk akar.
Kesalahan-kesalahan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu: kesalahan
melakukan operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pemangkatan, dan
penarikan akar bilangan bulat, melakukan operasi pada pecahan, melakukan sifat distributif, dan
melakukan pemfaktoran.
Pola berpikir dari sebagian besar siswa di kelas XA masih bersifat mekanistik untuk
menyelesaikan soal merasionalkan bentuk akar. Sebagian besar siswa tidak mencoba untuk
menganalisa terlebih dahulu apakah soal yang diberikan penulis dapat diselesaikan tanpa
menggunakan prosedur merasionalkan bentuk akar atau tidak, tetapi mereka langsung
menggunakan prosedur merasionalkan bentuk akar untuk menyelesaikan soal tersebut. Menurut
penulis, pola pikir siswa yang bersifat mekanistik merupakan akibat dari proses pembelajaran
yang dialami oleh para siswa.
7. Pustaka
Noormandiri, B. K. dan Sucipto, E. 2004. Buku Pelajaran Matematika SMA untuk Kelas X.
Jakarta: Erlangga.
www. crayonpedia.com (didownload pada tanggal 27 Maret 2010).
156
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Pemahaman serta kemampuan berkomunikasi sebagai seorang mahasiwa pendidikan yang nota
bene adalah seorang calon guru sangatlah penting. Hal ini dikarenakan seorang mahasiswa
(calon guru) harus mampu memahami materi yang akan diajarkan dan menyampaikan materi
kepada peserta didiknya sehingga peserta didiknya memiliki pengertian yang sama dengan isi
materi dalam buku ajar. Salah satu rumusan masalahnya yaitu bagaimana peningkatan
pemahaman konsep mahasiswa terhadap mata kuliah teori belajar yang menggunakan strategi
think-write-talk (TWT). Sedangkan secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
sejauh mana penggunaan strategi think-write-talk (TWT) dalam meningkatkan pemahaman dan
kemampuan komunikasi mahasiswa Pendidikan Matematika Angkatan 2010 C terhadap materi
teori belajar.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari tiga
siklus. Tiap siklus dilakukan dua kali pertemuan. Jadi selama tindakan pembelajaran dilakukan
selama enam kali pertemuan. Partisipan penelitian ini adalah satu kelas mahasiswa S1 Program
Studi Pendidikan Matematika, Jurusan Matematika Angkatan 2010, FMIPA, Unesa yang sedang
memprogram mata kuliah Teori Belajar. Hasil penelitian sesuai dengan indikator keberhasilan
dalam penelitian.
Kata Kunci: Strategi Think-Write-Talk (TWT), Pemahaman Konsep, Teori Belajar dan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
1. Pendahuluan
Pemahaman seorang calon guru diidentikkan dengan kemampuan kognitif yang dimiliki,
sehingga seorang calon guru mau tidak mau dituntut harus menguasai materi yang akan
diajarkan. Berkaitan dengan pemahaman materi, calon guru juga harus mampu mengaplikasikan
materi-materi yang didapatkan pada saat di bangku kuliah, baik tentang kajian pedagogik
maupun kajian profesional dalam hal ini untuk jurusan mahasiswa matematika khususnya
program studi pendidikan matematika.
Berkaitan dengan kajian pedagogik, mahasiswa (calon guru) program studi pendidikan
matematika mendapatkan materi tentang teori-teori belajar pada semester genap. Materi pada
mata kuliah teori-teori belajar berisi tentang konsep-konsep dalam pembelajaran yang
didapatkan dari hasil percobaan ilmuwan yang telah dikemas dalam buku ajar, sehingga
diharapkan konsep dari teori-teori belajar tersebut dapat digunakan mahasiswa (calon guru)
pada saat menjadi guru.
Pengalaman mengajar yang didapatkan selama mengajar mata kuliah teori belajar,
mahasiswa tidak terlalu paham tentang konsep-konsep yang didapatkan dari eksperimeneksperimen yang dilakukan oleh seorang ilmuwan, terkadang juga menyimpang jauh
157
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
dikarenakan eksperimen-eksperimen yang dilakukan berobyek pada hewan. Sehingga pada saat
diminta untuk menerapkan kepada peserta didik dikonotasikan seperti hewan.
Sedangkan
pembelajaran yang dilakukan selama ini hanya menggunakan metode ceramah dan berdiskusi.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui pemahaman konsep mahasiswa tentang
materi pada teori belajar. Ketua peneliti dan anggota peneliti adalah dosen pengampu mata
kuliah teori belajar.
Tidak terlepas dari memiliki pemahaman konsep, seorang calon guru harus mampu
mengkomunikasikan idenya tersebut sehingga pendengar (peserta didik/audience) memahami
apa yang dimaksud. Kemampuan berkomunikasi ini sangat bervariasi untuk masing-masing
mahasiswa. Tetapi kemampuan berkomunikasi dapat dilatihkan sehingga penyampaian
ide/konsep dapat diterima dengan baik. Supaya tidak ada yang mengatakan bahwa: Guru itu
sebenarnya pintar dalam materi-materi matematika tetapi penyampaiannya terlalu sulit untuk
dimengerti atau Guru itu pintar dalam berkomunikasi tetapi terkadang kurang menguasai
konsep-konsepnya. Gambaran-gambaran/Image-image guru/calon guru yang seperti itu yang
harus bisa dikurangi sehingga didapatkan lulusan calon guru Unesa yang professional.
Sedangkan pembelajaran yang selama ini telah dilakukan, mahasiswa hanya diminta berdiskusi
menyajikan isi/materi dari buku ajar yang diberikan tanpa adanya penilaian serta latihan
berkomunikasi yang baik di depan masyarakat umum yaitu mahasiswa dan dosen pada saat
pembelajaran. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dalam pembelajaran pada mata kuliah teori
belajar diberikan dengan strategi think-write-talk (TWT), dimana strategi ini memiliki tahapan
berpikir (think), menulis (write)dan berbicara (talk). Pada saat pembelajaran, pemahaman
konsep dicerminkan pada tahapan berpikir (think). Hal ini diterapkan pada saat mahasiswa
mengerjakan LKM, lalu menuliskan idenya (write) terlebih dahulu dan menyampaikannya di
depan kelas.
2.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas ini
terdiri dari tiga siklus. Tiap siklus dilakukan dua kali pertemuan. Jadi selama tindakan
pembelajaran dilakukan selama enam kali pertemuan. Partisipan penelitian ini adalah
satu kelas mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Matematika, Jurusan Matematika
Angkatan 2010, FMIPA, Unesa yang sedang memprogram mata kuliah Teori Belajar.
Prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
a. Tahap Perencanaan
Kegiatan dalam tahap persiapan, meliputi:
158
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
1) Membuat rencana pembelajaran berupa SAP, GBPP dan LKM (lembar kerja
mahasiswa) serta memvalidasinya, digunakan selama proses pembelajaran
berlangsung untuk masing-masing pertemuan.
2) Membuat lembar observasi kemampuan berkomunikasi, untuk mengetahui aspekaspek unsur dasar dalam berkomunikasi.
3) Membuat angket, untuk mengetahui respon siswa setelah pembelajaran dan respon
dosen terhadap perangkat dan proses selama pembelajaran.
4) Membuat lembar penilaian termasuk rubriknya yang sesuai dengan kompetensi atau
tujuan pembelajaran.
b. Tahap Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan dalam tahap pelaksanaan ini meliputi perkuliahan dengan strategi
pembelajaran TWT yang dilakukan selama 6 kali pertemuan dan setiap pertemuan
selama 3 jam pelajaran. Secara umum, kegiatan perkuliahan dirancang untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan sedangkan penggunaan strategi
pembelajaran TWT diharapkan membangun pemahaman yang lebih mendalam
tentang materi yang sedang dipelajari.
Proses pembelajaran difasilitasi secara tim, satu bertindak sebagai fasilitator
utama, lainnya bertindak sebagai pengamat atau pun sebagai recorder.
c. Tahap Observasi
Dalam penelitian ini, peneliti (ketua dan anggota) bersama-sama mengamati
dan membuat catatan-catatan untuk setiap pertemuan. anggota peneliti (selaku dosen
mitra) juga mencatat setiap kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam catatan
lapangan yang selanjutnya data ini dideskripsikan dalam fieldnotes pada masingmasing pertemuan. Adapun dalam tahap observasi pun difasilitasi observasi terbuka
dan tertutup.
d. Tahap Evaluasi-refleksi
Pada tahap ini, tim peneliti melakukan refleksi terhadap pelaksanaan
penelitian yang diambil dari fieldnotes, video rekaman pelaksanaan pembelajaran,
diary peneliti, lembar observasi. Evaluasi-refleksi dilakukan pada setiap siklus yang
direncanakan.
159
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2.1
a. Data skor pemahaman mahasiswa diambil dari penilaian hasil belajar dengan
menggunakan tes tulis dan wawancara serta penilaian kinerja yang berupa proyek
mahasiswa membuat powerpoint maupun makalah.
b. Data tentang kemampuan mahasiswa terhadap aspek-aspek unsur dalam
berkomunikasi, baik dalam kelompok maupun individu.
c. Data tentang aktivitas mahasiswa serta kesesuaian skenario dalam proses
pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi, hasil shooting handycam,
catatan harian dosen, catatan lapangan (fieldnotes).
d. Data tentang respons mahasiswa terhadap perangkat dan proses pembelajaran
dengan menggunakan angket.
e. Data tentang evaluasi-refleksi diri serta perubahan-perubahan yang terjadi di kelas
diambil dari hasil catatan harian dosen, catatan lapangan (fieldnotes).
2.2
2.3
Indikator Keberhasilan
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
digunakan serta mimik wajah pada saat penampilan di depan kelas. Serta
kemampuan komunikasi siswa yang berupa kemampuan tulis serta kemampuan
lisan.
3. Strategi pembelajaran TWT berhasil jika dapat meningkatkan pemahaman konsep
dan kemampuan berkomunikasi mahasiswa.
4.
Pembahasan Hasil
Hasil penelitian ini yaitu dari tahap perencanan sampai refleksi untuk masing-masing
siklus
Siklus 1:
Pada perencanaan siklus 1 membuat GBRP, SAP, lembar pengamatan komunikasi,
cerita dalam bentuk narasi yang diambil dalam buku yang berbahasa Inggris kemudian
peneliti menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia dan dikemas dalam LKM 1.
Pelaksanaan sesuai dengan jadwal perkuliahan yang membahas tentang teori motivasi
secara umum. Pengamatan untuk pemahaman konsep dilihat pada lembar LKM 1 dan
untuk kemampuan berkomunikasi terlihat pada lembar pengamatan tertutup. Refleksi
yang didapat mahasiswa masih sulit memahami cerita hasil terjemahan karena hasil
terjemahan bukan bahasa komunikatif dan dalam proses pembelajaran mahasiswa lebih
antusias karena menggunakan strategi baru.
Siklus 2:
Pada perencanaan siklus 2 membuat LKM 2 yang berisi cerita 2 yang diterjemahkan.
Pelaksanaan membahas tentang peningkatan motivasi. Pengamatan untuk pemahaman
konsep dilihat pada lembar LKM 2 dan untuk kemampuan berkomunikasi terlihat pada
lembar pengamatan tertutup. Refleksi yang didapat LKM 2 sudah lebih komunikatif, hal
ini dilihat tidak ada kebingungan pada saat membaca cerita pada LKM 2 dan respon
mahasiswa.
Siklus 3:
Pada perencanaan siklus 3 membuat LKM 3 yang berisi cerita 3 yang diterjemahkan
dan tes untuk materi teori motivasi. Pelaksanaan membahas tentang cara guru
meningkatkan motivasi belajar. Pengamatan untuk pemahaman konsep dilihat pada
lembar LKM 3 dan poster serta untuk kemampuan berkomunikasi terlihat pada lembar
pengamatan tertutup. Refleksi yang didapat pada LKM 3 sudah sangat komunikatif dan
mahasiswa dapat menyajikannya dalam bentuk poster dan pembelajaran menjadi sangat
menyenangkan.
161
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
5.
Simpulan
Pustaka
162
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Teaching Resource Center Universitas Tennessee di Chattanooga (Walker,1997)
menawarkan beberapa strategi yang berpotensi meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Berikut beberapa strategi tersebut: (1) CATS (Classroom Assessment Techniques Strategis),
Strategi ini menekankan perlunya sistem penilaian untuk memonitor dan memfasilitasi berpikir
kritis siswa. Caranya adalah dengan memberikan tugas singkat kepada siswa yang isinya
merespons pertanyaan sebagai berikut : Adakah sesuatu yang penting yang Anda pelajari hari
ini? Pertanyaan apa pada sesi ini yang menggugah pikiran Anda? (2) CLS (Cooperative
Learning Strategies), Strategi ini menekankan pada pengaturan siswa agar berlajar bekerja sama
dalam kelompok. Dalam kelompok-kelompok itu siswa mendapat kesempatan untuk aktif dan
mendapat respons langsung dengan frekuensi tinggi dari siswa lain. (3) Penggunaan pertanyaan.
Strategi ini ditandai dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang disusun baik oleh siswa
perkelompok maupun pribadi. Pertanyaan yang telah mereka buat saling mereka tanyakan
kepada siswa atau kelompok lain.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas terdapat banyak strategi yang dapat digunakan guru
dalam pembelajarannya agar dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Hal yang
penting adalah adanya niat atau keinginan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis
siswa dalam pembelajarannya.
Dari uraian-uraian di atas, dapat dikatakan bahwa berpikir kritis dapat dikembangkan
dengan berbagai macam strategi. Salah satu cara yang dapat mengembangkan kemampuan
berpikir kritis siswa adalah dengan pembiasaan pengajuan tugas-tugas/soal-soal berpikir kritis
pada siswa. Artinya dalam pembelajarannya guru selalu membiasakan mengajukan tugastugas/soal-soal yang di dalamnya memuat pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong siswa
untuk berpikir kritis. Dikatakan demikian karena untuk dapat menyelesaikan tugas atau soal
tersebut seorang siswa membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Tugas tugas atau
pertanyaan-pertanyaan yang bagaimana yang dapat mengembangkan berpikir kritis siswa?
itulah yang akan dibahas dalam makalah ini.
Kata Kunci: Berpikir kritis
1. Latar Belakang
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan
sangat pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak
dapat memperoleh informasi yang melimpah. Berkaitan dengan hal tersebut siswa perlu
memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan mengelola informasi untuk bersaing dan dapat
bertahan pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitip.
Untuk menyikapi keadaan yang demikian seseorang perlu pemikiran kritis, sistematis, logis,
kreatif dan kemampuan bekerjasama yang efektif.
dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Masalahnya, apakah selama ini guru di kelas
sudah mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif melalui pembelajarannya?
163
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
diserahkan kepada siswa tetapi siswa harus aktif dalam mengkonstruk pengetahuannya
sendiri. Dalam kegiatan belajar yang menuntut peran aktif siswa, guru berperan sebagai
motivator. Hal ini sesuai dengan pendapat Susanto (2007;25) bahwa Peserta didik memiliki
posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya . Memiliki posisi sentral berarti
kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. Peran aktif siswa harus diikuti dengan
berpikir kritis dan kreatif. Dengan berpikir kritis siswa diharapkan mampu menganalisis dan
menyimpulkan informasi yang diterima sehingga kreativitas siswa dapat berkembang. Salah
satu mata pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, logis,
sistematis dan kreatif adalah matematika (Depdiknas, 2006:416). Dalam mempelajari
matematika diperlukan pemikiran yang dapat mengembangkan kreativitas peserta didik.
Salah satu bentuk pemikiran yang dapat mengembangkan nalar dan kreativitas peserta didik
adalah berpikir kritis.
Berdasarkan uraian di atas mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa itu wajib
dilakukan guru, tanpa terkecuali pada siswa. Yang menjadi hal yang menarik untuk dikaji
adalah strategi apa yang dapat dilakukan guru untuk dapat mengembangkan kemampuan
164
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
berpikir kritis siswa. Berpikir kritis siswa akan berkembang mana kala dalam pembelajarannya
seorang guru membiasakan siswanya untuk berpikir kritis. Pembiasaan berpikir kritis siswa
dapat dikembangkan dengan pembiasaan pengajuan soal-soal berpikir kritis oleh guru pada
pembelajaran matematikanya. Pengalaman di kelas-kelas menunjukkan bahwa masih banyak
guru yang hanya mengajukan soal-soal rutin saja. Berpikir kritis dapat dikembangkan melalui
pembelajaran matematika. Salah satu cara yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir
kritis siswa adalah dengan pembiasaan pengajuan soal-soal berpikir kritis. Soal-soal berpikir
kritis mungkin merupakan soal-soal terapan atau soal-soal pemecahan masalah. Soal berpikir
kritis dapat diselesaikan secara perorangan atau berkelompok.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
Tugas-tugas atau soal-soal yang bagaimana yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir
kritis siswa dalam pembelajaran matematika?
3. Pembahasan
3.1.Berpikir Kritis: pengertian dan aspek-aspek esensial berpikir kritis
Terdapat beberapa pendapat tentang pengertian berpikir kritis:
a. Richard Paul (dalam John J. Patrick, 1986), mendefiniskan berpikir kritis sebagai
kemampuan membuat kesimpulan berdasarkan pada observasi dan informasi.
b. Chanche (dalam Huitt, 1998) mendefinisikan berpikir kritis sebagai kemampuan untuk
menganalisis fakta, membangkitkan dan mengatur ide, mempertahankan pendapat,
membuat pebandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan
masalah.
c. Ennis (1996) mengatakan bahwa berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang
bertujuan untuk mengambil keputusan yang rasional yang diarahkan untuk memutuskan
apakah meyakini atau memutuskan sesuatu. Berpikir kritis bertujuan untuk
mempertimbangkan dan mengevaluasi informasi yang pada akhirnya untuk membuat
suatu keputusan.
d. Krulik dan Rudnik (1999) mendefinisikan berpikir kritis adalah berpikir yang menguji,
mengkaitkan/menghubungkan, dan mengevaluasi
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
mengevaluasi
mengidentifikasi masalah,
kesimpulan dan mengevaluasi. Berpikir kritis adalah berpikir analitis dan refleksif. Berpikir
analitis adalah proses berpikir untuk mengklarifikasi, membandingkan, menarik kesimpulan
dan mengevaluasi. Sedangkan berpikir refleksif mempunyai karakteristik menangguhkan
keyakinan dan melihat kembali ketercukupan dari premis-premis yang logis. Seseorang yang
berpikir refleksif mempertimbangkan segala alternatif sebelum mengambil keputusan.
Robert H. Ennis (dalam John J. Patrick, 1986), berasumsi bahwa berpikir kritis
mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi logis, dimensi kriterial, dan dimensi pragmatis.
Dimensi logis meliputi kemampuan menilai hubungan-hubungan Dimensi kriterial meliputi
kemampuan untuk menggunakan kriteria-kriteria dalam menilai konsep-konsep. Dimensi
pragmatis meliputi kemampuan menilai kesimpulan-kesimpulan yang dikaitkan dengan
kriteria pencapaian tujuan pragmatis.
Beyer (dalam Walker,1997) mengelaborasi aspek-aspek esensial dalam berpikir kritis
sebagai berikut:
a. Dari sisi watak, pemikir kritis mesti skeptis, berpikiran terbuka, adil/jujur,
menghormati penalaran yang berdasarkan bukti, respek terhadap kejelasan dan
kepersisan, mau melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda, dan konsekuen
dengan hasil berpikirnya.
b. Dari sisi kriteria, mesti ada kejelasan kriteria yang dipakai, relevan; akurat faktanya,
didasarkan pada sumber yang kredibel, tepat, tanpa bias; logika yang digunakan
konsisten, bebas dari kesalahan nalar, dan didasari oleh peneralan yang kuat.
c. Dari sisi argumen, argumen yang digunakan mesti memuat pernyataan atau
peroposisi yang didukung oleh bukti, yang didalamnya ada proses identifikasi,
evaluasi, dan perancangan argumen.
d. Dari sisi penalaran, dibutuhkan kemampuan menyimpulkan sesuatu dari banyak
premis, termasuk menilai hubungan logis antara pernyataan dan data.
e. Dari sisi sudut pandang, dalam memperoleh pemahaman, pemikir kritis mesti
melihat
fenomena
dari
beberapa
sudut
pandang
yang
berbeda.
Dari sisi prosedur penerapan kriteria, berpikir kritis bisa menggunakan banyak
prosedur seperti mengajukan pertanyaan, membuat keputusan, dan indentifikasi
asumsi.
Ennis (dalam John J. Patrick, 1986) merinci 12 aspek yang menjadi ciri berpikir kritis
analitis sebagai berikut:
a. mampu menangkap arti suatu pertanyaan;
166
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
penggunaan
proses-proses
nalar.
mental,
Belajar
seperti
untuk
berpikir
memperhatikan,
kritis
berarti
mengkategorikan,
menggunakan
seleksi,
dan
menilai/memutuskan.
Kemampuan
berpikir
dalam
dan
berpikir
bekerja,
sangat
dan
kritis
memberikan
membantu
dalam
arahan
yang
menentukan
tepat
dalam
keterkaitan
sesuatu
dibutuhkan
dalam
pemecahan
masalah/pencarian
solusi,
dan
pengelolaan proyek.
Menurut Wade (dalam Filsaime, 2008)
kritis
merupakan
pengembangan
kemampuan,
seperti
penalaran,
167
penilaian,
pengambilan
integrasi
pengamatan
keputusan,
dan
beberapa
(observasi),
persuasi.
Semakin
analisis,
baik
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
pengembangan
kemampuan-kemampuan
ini,
maka
kita
akan
semakin
dapat
kecenderungan
dan
pola,
seperti
memetakan
informasi,
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
tahap dimana anda mengerti apa yang sedang anda pikirkan. Jika anda tidak dapat memahami
apa yang anda pikirkan, maka anda tidak dapat memikirkannya secara efektif. Langkah penting
selanjutnya adalah aplikasi. Jika anda tidak dapat mengaplikasikan pemikiran dan pengetahuan
pada kehidupan nyata, menerapkannya untuk hal yang bermanfaat bagi kehidupan, maka anda
sesungguhnya tidak mengehui pentingnya memikirkan suatu topik. Oleh karena itu, carilah
sesuatu yang bermanfaat untuk anda pikirkan. Setelah semua langkah di atas dilaksanakan maka
analisislah topik yang sedang anda pikirkan. Bagi informasi ke dalam kategori dan sub kategori.
Pilih hal-hal yang masuk ke dalam bagian yang lebih penting, dan selesaikanlah terlebih dahulu.
Langkah kedua terakhir dari berpikir kritis adalah sintesis. Ini adalah langkah dalam
mengorganisir, menyusun konsep, menggubah (menyusun), dan menciptakan hal baru yang
anda kembangkan dari yang sudah ada. Langkah paling akhir adalah evaluasi. Lihat kembali
produk akhir anda. Jika anda menyukainya, maka tuntaskan. Jika tidak, kembali ke langkah
awal dengan sasaran dan tujuan yang berbeda. Ingat, jangan menyelesaikan sesuatu yang anda
tidak sukai. Jika akhirnya menghasilkan pemikiran atau penerapan yang anda sukai, maka
gunakanlah !
Sedangkan menurut Garrison (dalam Filsaime, 2008:58) Para pemikir kritis
melewati lima tahap; dimulai dari mengidentifikasi masalah, mendefinisikan masalah dengan
jelas, mengeksplorasi masalah dan solusi yang mungkin, mengevaluasi penerapannya dan
kemudian mengintegrasikan pemahaman dengan pengetahuan yang ada.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa para pemikir kritis akan
berpikir selangkah demi selangkah. Tedapat lima langkah proses berpikir kritis dimulai dari
mengidentifikasi masalah, mendefinisikan masalah, mengeksplorasi masalah dan solusi yang
mungkin, mengevaluasi penerapannya dan kemudian mengintegrasikan pemahaman dengan
pengetahuan yang ada.
3.5. Tugas-tugas/Soal-soal Inovatif yang Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis
Siswa
Seseorang yang berpikir kritis memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hal ini didukung oleh
Browne (2004:2) yang mengatakan but a system of question is more consistent with spirit of
curiosity, wonder, and intellectual adventure essential to critical thinking. Dari pendapat ini
dapat diketahui bahwa bertanya adalah intisari dari berpikir kritis. Para pemikir kritis tidak
begitu saja mengkonsumsi informasi-informasi baru, oleh karena itu mereka akan menyusun
pertanyaan-pertanyaan untuk mencari pernyataan yang jelas.
169
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif siswa, guru
perlu mencari strategi yang tepat dalam pembelajaran yang dilakukannya. Pertanyaanpertanyaan yang bersifat kritis dapat diajukan guru pada siswanya. Terdapat bermacam-macam
contoh pertanyan kritis misalnya apakah jika .........? Apa yang salah? Apakah ada cara lain?
Contoh Soal Berpikir Kritis
a. Apa yang salah?
Contoh
Fadil ingin meletakan 3 buah rak di atas mejanya, setiap rak panjangnya 30 cm. Kemudian ia
pergi ke toko untuk membeli papan untuk dijadikan rak. Di toko tersebut yang dijual papan
dengan ukuran 90 cm untuk setiap lonjornya, oleh karena itu perlu untuk memotong papan
tersebut. Menjadi tiga bagian yang sama. Toko memberikan harga Rp. 18.000, per lonjor
papan dan ongkos potong Rp. 2.000, per pemotongan papan. Pada struk pembayaran tertera
sbb:
Bon Pembayaran
1
Pajak (6%).......................................................................Rp. 1.440,Total ..................................................................................Rp. 25.440,Fadil marah dan berkata bahwa jumlah yang harus dibayar terlalu mahal, apa yang salah?
Pada permasalah tersebut terdapat masalah dan penyelesaianya tetapi terdapat kesalahan.
Kesalahan dapat terjadi pada konsepnya atau pada perhitungannya. Siswa diminta untuk
menemukan letak kesalahannya dan sekaligus penyelesaian yang benarnya. Dan mereka
diminta menjelaskan Apa yang salah, mengapa itu salah, dan bagaimana pembetulannya.
Dalam pertanyaan
berpikir kritis.
b. Pertanyaan Apakah Jika ...........?
Contoh
Akmal melemparkan gaco pada papan
170
17
25
31
10
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
dengan 4 gaco.
Keempat gaco tersebut mengenai empat
tempat berbeda yaitu pada nomor 31, 5, 9,
dan
10.
Berapa
skor
total
yang
diperolehnya? .
Sekarang Jika Akmal melempar keempat gaconya dan memperoleh skor 55, pada nomornomor berapa saja gaco tersebut mengenai?
Contoh jawaban yang mungkin (31,10,9, dan 5:; atau 25,15,10,dan 5; atau 25,10,10, dan 10)
Pada Pertanyaan Apakah jika ......? diberikan informasi yang jika informasi itu dirubah,
siswa diminta untuk menentukan bagaimana penyelesaiannya. Dalam hal ini siswa
diharapkan dapat menyelesaikan masalah bila informasinya dirubah. Bagaimana dampak
perubahan informasi tersebut terhadap proses penyelesaian masalah siswa dengan benar.
Dengan cara seperti ini siswa diajak untuk berpikir kritis, karena siswa diminta untuk
menganalisa informasi yang telah dirubah tersebut.
c. Apakah ada cara lain?
Setelah seorang siswa dapat menjawab suatu permasalahan matematika, seorang guru dapat
mengajukan pertanyaan sebagai berikut : Apakah terdapat cara/jawaban lainnya untuk
menyelesaikan masalah yang diajukan? Dapatkah kalian menemukan penyelesaian lain dari
permasalahan tersebut? Dengan pertanyaan seperti itu memaksa siswa untuk berpikir ulang
tentang penyelesaian yang sudah dilakukan dan mencari cara lain yang berbeda dengan cara
yang sudah dilakukan. Aktivitas ini adalah suatu cara yang sangat baik untuk
mengembangkan berpikir kreatif. Berikut ini contoh masalah dan dua penyelesaian berbeda
berkaitan masalah tersebut.
Masalah 1
Sebuah perusahaan mebel memproduksi dua buah jenis meja, meja jenis I dengan tiga kaki
dan meja jenis II dengan empat kaki. Jenis kaki meja untuk kedua jenis meja tersebut sama.
Pada bulan berikutnya perusahaan mebel memproduksi 340 kaki meja untuk memenuhi
pesanan 100 buah meja. Berapa banyaknya meja jenis I dan II yang dibuat perusahaan
mebel tersebut?
Penyelesaian masalah siswa 1
Hampir semuanya siswa menggunakan pengetahuan aljabar dalam menjawab masalah 1
tersebut sbb:
171
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Meja jenis II
Jumlah Kaki
Banyaknya
Kaki
Banyaknya
Kaki
Tebakan pertama
80
320
20
60
380
Tebakan kedua
70
280
30
90
370
Tebakan ketiga
60
240
40
120
360
Tebakan
50
200
50
150
350
40
160
60
180
340
keempat
Tebakan kelima
4. Pustaka
Agus Mulyanto, 2008. Tuntutan di Era Krisis : Pembiasaan Berpikir Kritis dengan
Pembiasaan Membaca Kritis. FKIP Uninus: Bandung.
Browne, M.Neil dan Keely, Stuart M. 2004. Asking The Right Question: A Guide to Critical
Thinking. New Jersey: Pearson Education.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas.
Ennis, R. H. 1996. Critical Thinking. USA: Pentisce Hall, Inc.
Filsaime, Dennis K. 2008. Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya.
Huitt, W .1998. Critical Thinking: An Overview. Educational Psychology Interactive.
Valdosta, GA: Valdosa State University.
Krulik dan Rudnick, 1999, Innovative Tasks to Improve Critical and Creative Thingking
Skills. National Council of Teachers of Mathematics Reston, Virginia.
Miles, M. B. & Huberman, A.M. 1992. Analaisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang
Metode-metode Baru. Terjemahan oleh: Tjetjep Rohendi Rohedi. Jakarta: UI Press.
172
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Nosich, Gerald M. 2005. Learning to Think Thing Through: A Guide to Critical Thinking
Across the Curriculum. New Jersey: Pearson Education.
Patrick, John J. 1986. Critical Thinking in the Social Studies. http://ericae.net/
edo/ed272432.htm).
Walker, Grayson H. 1997. Characteristics of Critical Thinking. http://www.utc.edu/ TeachingResource-Center/Critical.html#characteritics
173
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Menumbuhkan minat dan memotivasi siswa dalam belajar matematika sangat penting agar
matematika tidak lagi dianggap ilmu yang kurang menarik dan membosankan. Untuk itu perlu
dikembangkan pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat dan motivasi siswa dalam belajar
matematika. Salah satunya adalah mengembangkan pembelajaran matematika berbasis ICT
seperti media pembelajaran berbantuan komputer.
Media pembelajaran berbantuan komputer yang dikembangkan dalam penelitian ini berupa
program komputer yang menggunakan bahasa pemrograman komputer yaitu Macromedia
Flash 8.0. Beberapa materi pokok yang dikembangkan di tingkat SMP adalah Bilangan Bulat di
kelas VII mewakili materi Aljabar, Bangun Ruang Sisi Datar di kelas VIII mewakili materi
Geometri dan Statistika di kelas IX. Materi yang dikembangkan di pilih karena termasuk materi
yang sulit untuk siswa SMP. Penelitian ini bertujuan mengetahui proses dan hasil dari
pengembangan media pembelajaran untuk menghasilkan media pembelajaran berbantuan
komputer yang valid, praktis dan efektif. Media pembelajaran berbantuan komputer ini
diharapkan dapat memotivasi siswa, mendorong guru untuk menerapkan pembelajaran
matematika berbasis ICT dan dapat menambah keterampilan peneliti untuk membuat media
pembelajaran berbantuan komputer.
Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Model pengembangan yang digunakan
mengacu pada model pengembangan Thiagarajan dkk, yang terdiri dari 4 tahap, yaitu tahap
pendefinisian (Define), perancangan (Design), pengembangan (Develope), dan penyebaran
(Disseminate). Tetapi pada penelitian ini hanya sampai tahap pengembangan (Develope).
Subyek penelitian ini siswa SMP Laboratoriun Unesa, SMPN Driyoreyo, dan SMP Negeri 1 dan
2 Taman. Untuk setiap kelas media pembelajaran berbantuan komputer ini diujicobakan kepada
15 siswa dimana 5 orang memiliki tingkat kemampuan matematika tinggi, 5 orang sedang, dan
5 orang rendah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lembar validasi
media pembelajaran berbantuan komputer, lembar pengamatan aktivitas siswa, soal tes hasil
belajar dan lembar angket respon siswa terhadap media pembelajaran berbantuan komputer.
Pada penelitian ini disamping tim peneliti sendiri yang berjumlah 4 orang, melibatkan 2
mahasiswa jurusan matematika dan 1 guru SMP Laboratorium Unesa. Tujuan melibatkan
mahasiswa pada penelitian ini untuk memberi kesempatan dan pengalaman penelitian pada
mereka sesuai dengan Tridarma perguruan tinggi.
Proses pengembangan media pembelajaran pada penelitian ini terdiri dari 3 tahap yaitu tahap
pendefinisian yang menghasilkan tujuan pembelajaran, tahap perancangan yang menghasilkan
Draf I, dan tahap pengembangan yang menghasilkan media pembelajaran berbantuan komputer
dan laporan penelitian. Berdasarkan hasil analisis lembar validasi, penilaian validator, rekaman
siswa, lembar pengamatan aktivitas siswa, hasil tes belajar, dan respon siswa, media
pembelajaran berbantuan komputer yang dibuat memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif.
Kata kunci :
komputer.
174
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
1. Latar Belakang
Menumbuhkan minat dan memotivasi siswa dalam belajar matematika sangat penting agar
matematika tidak lagi dianggap ilmu yang kurang menarik dan membosankan. Untuk itu perlu
dikembangkan pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat dan motivasi siswa dalam belajar
matematika. Salah satunya adalah mengembangkan pembelajaran matematika berbasis ICT
seperti media pembelajaran berbantuan komputer.
Media pembelajaran berbantuan komputer yang dikembangkan dalam penelitian ini berupa
program komputer yang menggunakan bahasa pemrograman komputer yaitu
Macromedia
Flash 8.0. Beberapa materi pokok yang dikembangkan di tingkat SMP adalah Bilangan Bulat di
kelas VII mewakili materi Aljabar, Bangun Ruang Sisi Datar di kelas VIII mewakili materi
Geometri dan Statistika di kelas IX. Materi yang dikembangkan di pilih karena termasuk materi
yang sulit
untuk siswa SMP. Penelitian ini bertujuan mengetahui proses dan hasil dari
Kegiatan
Bilangan
BRSD
Statistika
15 Mei 2009
27 April 2009
7 Agustus 2009
Pengembangan Media
16 Mei s/d
26 April s/d
8 Agustus s/d
175
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
15 Juni 2009
17 Juni 2009
10 Sept. 2009
19 Juni 2009
11 Sept. 2009
Persiapan Validasi
16 Juni 2009
Validasi
Revisi
2009
2009
2009
25 Juni s/d
26 Juni s/d
25 Sept s/d 15
12 Juli 2009
17 Juli
13 - 15 Juli 2009
3 - 5 Agustus 26 28
Oktober 2009
2009
Oktober 2009
Untuk setiap kelas media pembelajaran berbantuan komputer ini diujicobakan kepada 15 siswa
dimana 5 orang memiliki tingkat kemampuan matematika tinggi, 5 orang sedang, dan 5 orang
rendah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lembar validasi media
pembelajaran berbantuan komputer, lembar pengamatan aktivitas siswa, soal tes hasil belajar
dan lembar angket respon siswa terhadap media pembelajaran berbantuan komputer. Pada
penelitian ini disamping tim peneliti sendiri yang berjumlah 4 orang, melibatkan 2 mahasiswa
jurusan matematika dan 1 guru SMP Laboratorium Unesa. Tujuan melibatkan mahasiswa pada
penelitian ini untuk memberi kesempatan dan pengalaman penelitian pada mereka sesuai
dengan Tridarma perguruan tinggi.
Proses pengembangan media pembelajaran pada penelitian ini terdiri dari 3 tahap yaitu tahap
pendefinisian yang menghasilkan tujuan pembelajaran, tahap perancangan yang menghasilkan
Draf I, dan tahap pengembangan yang menghasilkan media pembelajaran berbantuan komputer
dan laporan penelitian.
3. Hasil dan Pembahasan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka dapat diperoleh hasil penelitian sebagai berikut:
1.
176
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
c.
d.
2.
1). Hasil Validasi Media Pembelajaran Berbantuan Komputer pada Materi Bilangan
Bulat
Media pembelajaran berbantuan komputer pada materi Bilangan Bulat dapat
dikatakan valid dari segi materi dan segi media. Hal itu ditunjukkan dengan nilai
rata-rata total validasi yang diberikan mengenai media sebesar 3,08. Sedangkan
nilai rata-rata total validasi yang diberikan mengenai materi materi sebesar 3,18.
177
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Jadi,
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
berdasarkan penilaian umum yang dilakukan oleh Ahli Materi dan Ahli Media
yang terdiri dari enam orang mengatakan bahwa media pembelajaran berbantuan
komputer yang dikembangkan dapat digunakan dengan sedikit revisi. Media
pembelajaran yang dikembangkan juga dikatakan praktis secara praktek karena
siswa menjawab benar lebih dari 82%.
komputer pada materi Bangun Ruang Sisi Datar dapat dikatakan praktis secara
teoritik dan praktis secara praktek.
3). Hasil Keefektifan Media Pembelajaran Berbantuan Komputer pada Materi
Bangun Ruang Sisi Datar
Media pembelajaran berbantuan komputer pada materi Bangun Ruang Sisi Datar
yang dikembangkan dapat dikatakan efektif karena skor ketuntasan siswa lebih
dari 71% dari skor maksimal 100 dan berdasarkan data respon siswa diperoleh
persentase rata-rata total sebesar 78,6%. Dari hasil analisis skor tes hasil belajar
siswa dan data respon siswa dapat dikatakan bahwa media pembelajaran
berbantuan komputer yang dikembangkan termasuk dalam kategori efektif karena
100% siswa sebagai sumber data dalam Uji Coba Terbatas ini telah tuntas dan
respon siswa terhadap media pembelajaran berbantuan komputer positif.
Dari pernyataan di atas yang menyatakan bahwa media pembelajaran berbantuan
komputer pada materi Bangun Ruang Sisi Datar telah memenuhi kriteria valid, praktis,
dan efektif maka media pembelajaran yang dikembangkan dapat dikatakan baik.
c.
Materi Statistika
1). Hasil Validasi Media Pembelajaran Berbantuan Komputer pada Materi Statistika
Media pembelajaran berbantuan komputer pada materi Statistika dapat dikatakan
valid dari segi materi dan segi media. Hal itu ditunjukkan dengan nilai rata-rata
total validasi yang diberikan mengenai media sebesar 3,39. Sedangkan nilai ratarata total validasi yang diberikan mengenai Materi sebesar 3,34.
2). Hasil Kepraktisan Media Pembelajaran Berbantuan Komputer pada Materi
Bilangan Bulat
Media pembelajaran berbantuan komputer pada materi Bilangan Bulat yang
dikembangkan sudah dapat dikatakan praktis secara teoritik karena berdasarkan
penilaian umum yang dilakukan oleh tiga validator yang mengatakan bahwa
media pembelajaran berbantuan komputer yang dikembangkan dapat digunakan
179
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Jadi,
5. Pustaka
Arsyad, Azhar. 2006. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Cholik, M dan Sugijono. 2004. Matematika untuk SMP kelas IX semester 2. Jakarta: Erlangga
Erman Suherman (2003), Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer Bandung:
Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Ibrahim, Muslimin. Pengembangan Perangkat Pembelajaran. DEPDIKNAS
Khabibah, Siti. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Soal Terbuka
Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa ekolah Dasar. Disertasi. Tidak dipublikasikan.
Surabaya: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya.
Nasution. 2005. Teknologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
180
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
181
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui terdapat atau tidak perbedaan hasil belajar
matematika siswa dengan metode problem posing dan metode ekspositori. Penelitian ini
dilaksanakan di SMPN 188 Jakarta pada semester 1 tahun pelajaran 2010/2011. Sampel diambil
secara acak sederhana (simple random sampling) dengan mengambil sebanyak 60 siswa dari
populasi sebanyak 78 siswa yang terdiri dari 2 kelas. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode kuasi eksperimen. Metode kuasi eksperimen ini untuk membedakan 2 kelas
yang diteliti yaitu kelas eksperimen diberikan metode problem posing dan kelas kontrol
diberikan metode ekspositori. Instrumen penelitian telah diuji cobakan kepada 38 siswa kelas
VIII di SMPN174setelah melalui proses uji validitas dengan rumus Point biserial didapat 25
butir soal yang valid dan reliabel.Sebelum data dianalisis, sebelumnyadilakukan uji prasyaratan
yaitu uji normalitas menggunakan uji lilliefors dan uji homogenitas menggunakan uji fisher.
Setelah dilakukan perhitungan didapat bahwa data kedua kelompok berdistribusi normal dan
homogen. Uji hipotesis dengantaraf signifikansi = 0,05 dan derajat kebebasan (dk)
58adalah2,910 karena thitung =2,910>2,002 = ttabel makaH0 ditolak. Kesimpulannya bahwa
H1diterima yang menyatakan bahwa adanya perbedaan hasil belajar matematika siswa dengan
metode problem posing dan metode ekspositori.
Kata kunci : problem posing, hasil belajar matematika siswa.
1. Pendahuluan
Keberhasilan proses belajar mengajar pelajaran matematika di kelas dapat dilihat dari perolehan
nilai siswa pada pelajaran matematika yang sesuai dengan kriteria ketuntasan minimal sekolah.
Apabila nilai pelajaran matematika yang diperoleh siswa sesuai atau lebih dari kriteria
ketuntasan minimalsekolah maka dikatakan proses belajar mengajar berhasil.Komponenkomponenyang mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar pelajaran matematika
diantaranya siswa, kurikulum, guru, metode pembelajaran, sarana prasarana, dan lingkungan.
Pelajaran matematika memiliki metode pembelajaran yang sangat bervariatif diantaranya
metode ceramah, metode problem posing, metode problem solving,dan metode ekspositori.
Akan tetapi,mayoritas guru matematika hanya menggunakan satu metode saja untuk semua
materi pelajaran yaitu metode pembelajaran ekspositori. Akibatnya, masih banyak siswa yang
beranggapan bahwa matematika masih dijadikansebagai pelajaran yang sangat sulit,
menakutkan dan membosankan. Dengan siswa yang beranggapan negatif itu maka akan
menyebabkan kurangnya keinginan siswa untuk menyukai pelajaran matematika.
182
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Oleh karena itu, kegiatan belajar mengajar harus dirancang dengan baik dan cermat
sehingga siswa dapat dilibatkan secara aktif mental dan fisiknya dalam belajar matematika.
Sebagai alternatif yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan kegiatan belajar mengajar
adalah dengan menggunakan metode pengajuan masalah (problem posing). Penulis akan
menggunakan metode pembelajaran problemposingyang diharapkan dapat meningkatkan hasil
belajar matematika siswa.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penelitian ini memusatkan perhatian untuk
menjawab 3(tiga) pertanyaan penelitian. (1)Mengapa faktor metode pembelajaran sangat
mempengaruhi hasil belajar matematika siswa? (2)Bagaimana membuat suasana belajar agar
siswa lebih aktif dalam pembelajaran pelajaran matematika? (3)Apakah terdapat perbedaan hasil
belajar matematika yang diajarkan dengan metode problem posing dengan metode ekspositori?
2. Metode
Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen. Populasi penelitian adalah siswa kelas
VIII SMP Negeri 188 Jakarta Timur tahun pelajaran 2010/2011. Pengambilan sampel dilakukan
dengan teknik cluster random sampling (Ardhana, 1987; Long et al., 1985). Dari 79 populasi
siwa diambil 60 siswa sebagai sampel. 30 siswa dari kelas kontrol dan 30 siswa dari kelas
eksperimen. Berdasarkan teknik penetapan sampel tersebut, terpilih kelas VIII D sebagai kelas
kontrol dan Kelas VIII E sebagai kelas eksperimen.
Variabel bebas yang diteliti adalah metode problem posing dan metode ekspositori.
Variabel terikat yang diteliti adalah hasil belajar matematika siswa.Instrumen penelitian telah
diuji cobakan kepada 38 siswa kelas VIII-C dan kelas VIII-E di SMP Negeri 174 tahun
pelajaran 2010/2011setelah melalui proses uji validitas dengan rumus Point biserial didapat 25
butir soal yang valid dan reliabel.Sebelum data dianalisis, sebelumnyadilakukan uji prasyaratan
yaitu uji normalitas menggunakan uji lilliefors dan uji homogenitas menggunakan uji
fisher.Setelah dilakukan perhitungan didapat bahwa data kedua kelompok berdistribusi normal
dan homogen. Uji hipotesis dengantaraf signifikansi = 0,05 dan derajat kebebasan (dk) 58
adalah 2,910
3. Pembahasan Hasil
3.1 Metode Problem Posing
Menurut
sebagai padanan istilah dalam bahasa Indonesia pengajuan soal. Suryanto dalam seminar
pendidikan nasional di IKIP Semarang (1998:5) menyatakan bahwa problem posingdalam
183
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
matematika memiliki tiga pengertian yaitu pertama, problem posing adalah perumusan ulang
soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai dalam
pemecahan soal-soal yang rumit. Kedua,problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan
dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka pencarian alternative
pemecahan atau alternative soal yang relevan. Ketiga,problem posing adalah perumusan atau
pengajuan soal dari situasi yang tersedia baik dilakukan sebelum, ketika atau setelah pemecahan
suatu soal.
Pengertian yang ketiga problem posingmemiliki hubungan yang erat dengan pendapat
Silver dan Cai, J(1996:523) yang memberikan istilah problem posing yang dapat diaplikasikan
dalam tiga bentuk aktivitas kognitif matematika yang berbeda, yaitu (1) pengajuan pre-solusi
(presolution)yaitu seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan. (2) Pengajuan di
dalam solusi (within-solution) yaitu seorang siswa merumuskan ulang soal yang telah
diselesaikan. (3) Pengajuan setelah solusi (post solution/after problem solution) yaitu seorang
siswa memodifikasi tujuan atau kondisi yang sudah diselesaikan untuk membuat soal baru.
Pengajuan soal yang dilakukan siswa dalam pembelajaran matematika adalah sesuatu
yang terlihat sederhana, namun jarang dilakukan oleh siswa karena siswa tidak terbiasa untuk
mengajukan soal. Guru yang menggunakan metode problem posing dalam proses pembelajaran
menugaskan siswa untuk mengajukan soal.Dalam proses pengajuan soal, siswa bebas
mengajukan soal dengan mengacu pada informasi-informasi yang telah didapatkan dari guru.
Jika siswa merasa kesulitan dalam pengajuan soal, guru dapat membimbing siswa sesuai dengan
prosedur metode problem posing.
Berdasarkan penjelasan Menon (Surtini,1996:161) menjelaskan tentang prosedur
metode problem posing; Pertama, guru memberikan soal cerita kepada siswa tanpa pertanyaan,
tetapi semua informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal telah tersedia. Kedua, guru
menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok. Tiap kelompok ditugasi
membuat soal sekaligus menyelesaikan soal tersebut. Soal-soal yang telah dibuat dipecahkan
oleh kelompok-kelompok lainnya dan digunakan sebagai latihan dan didiskusikan. Ketiga,
siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang berhubungan
dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari daftar yang telah dibuat oleh
siswa untuk diselesaikan.
Pertanyaan dapat bergantung dengan pertanyaan yang lain, bahkan dapat sama, tetapi
kata-katanya berbeda. Melalui daftar pertanyaan yang dibuat oleh siswa yang berhubungan
dengan masalah akan membantu siswa memahami masalah sebagai salah satu aspek pemecahan
masalah. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat NCTM(Silver,1996:294)advocates that students
184
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
be given increased opportunities for investigating and formulating questions from problem
situations and refers explicity to problem posing by arguing that students should have some
experience recognizing and formulating their own problems, an activity which is at the heart of
doing mathematics. Aktifitas yang diaplikasikan dalam metode problem posing sangat memiliki
peran penting dalam peningkatan hasil belajar matemtika siswa di SMP N 188 Jakarta Timur.
3.2.Metode Ekspositori
Metode ekspositori merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam
proses belajar mengajaroleh guru.Dalam proses belajar mengajar metode ekspositori lebih
banyakdidominasi oleh guru (teacher-oriented).Metode ekspositorisecara prinsip hampir sama
sifatnya dengan metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan kepada guru sebagai sumber
utama dan pemberi infomasi.
Menurut Syaiful Sagala (2009: 21) berpendapat bahwa Metode ekspositori
menunjukkan bahwa guru berperan aktif, lebih banyak melakukan aktivitas dibandingkan
siswanya karena guru telah mengelola dan mempersiapkan bahan ajaran dengan tuntas
sedangkan siswanya berperan lebih pasif tanpa banyak melakukan pengolahan bahan.
Frederick (1978:203)berpendapat bahwa expository teaching methods (sometimes called
lectures), which can be used to teach facts, skill, concepts, and principles, are teacher-centered
or teacher-dominated approaches to instruction. Dari uraian di atas dijelaskan bahwa ketepatan
penggunaan metode ekspositoribila digunakan untuk mengajarkan fakta-fakata dan prinsipprinsip. Akan tetapi, dalam proses belajar metode ekspositori lebih banyak didomonasi oleh
guru sebagai pusat informasi.
Menurut
Syaiful
Sagala
(2009:78)
berpendapat
bahwa
Metode
ekspositori
menempatkan guru sebagai pusat pengajaran, karena guru lebih aktif memberikan informasi,
menerangkan suatu konsep, mendemonstrasikan keterampilan dalam memperoleh pola, aturan,
dalil, memberi contoh soal beserta penyelesaiannya, memberi kesempatan siswa untuk bertanya,
dan kegiatan guru lainya dalam pembelajaran ini.
David P. Ausubel (Soejana, 1986:60) berpendapat bahwa metode ekpositori yang baik
adalah cara mengajar yang paling efektif dan efisien dalam menanamkan belajar bermakna
(meaningful learning).Belajar bermakna (meaningful learning), yaitu kegiatan belajar dengan
pemahaman, dimana siswa memahami makna atau isi dari materi yang diajarkan oleh guru.
Maka dengan pembelajaran bermakna, siswa akan mengerti dan memahami tentang materi yang
diajarkan guru. Pemahaman siswa terhadap materi ajar akan mempengaruhi hasil belajar siswa.
185
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Menurut Saiful Sagala (2009:79) secara garis besar prosedur dalam penerapan metode
ekspositori adalah (1)Persiapan (preparation) yaitu guru menyiapkan bahan selengkapnya
secara sistematik dan rapi;(2)Pertautan (apperception) bahan terdahulu yaitu guru bertanya atau
memberikan uraian singkat untuk mengarahkan perhatian siswa kepada materi yang telah
diajarkan;(3)Penyajian (presentation) terhadap bahan yang baru, yaitu guru menyajikan
dengancara memberi ceramah atau menyuruh siswa membaca bahan yang telah dipersiapkan
diambil dari buku, teks tertentu atau ditulis oleh guru;(4)Evaluasi (recitation)yaitu guru
bertanya dan siswa menjawab sesuai dengan bahan yang dipelajari, atau siswa yang disuruh
menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri pokok yang telah dipelajari lisan atau tulisan.
Setiap metode pasti mempunyai kelemahan-kelemahan, adapun kelemahan-kelemahan
dari metode ekspositori, diantaranya:(1) hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang
memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik. (2) tidak mungkin dapat melayani
perbedaan setiap individu baik perbedaan kemampuan, pengetahuan, minat dan bakat, serta
perbedaan gaya belajar. (3) siswa akan sulit mengembangkan kemampuannya dalam hal
kemampuan sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis. (4)
keberhasilan metode ini sangat tergantung pada apa yang dimiliki guru, (5) gaya komunikasi
yang disampaikan pada metode ini lebih banyak terjadi satu arah, maka kesempatan untuk
mengontrol pemahaman siswa akan materi pembelajaran akan sangat terbatas pula.
3.3.Hasil Penelitian
Berdasarkan tabel klasifikasi butir soal hasil belajar matematika dapat diambil simpulan
bahwa dari 40 soal hasil belajar matematika diperoleh soal yang valid berjumlah 25 soal.Hasil
perhitungan Reliabilitas soal hasil belajar matematika di peroleh r hitung
= 0,855. Nilai
perhitungan reliabilitas lebih besar dari rtabel yaitu 0,320 maka dapat disimpulkan bahwa soal
hasil belajar matematika pada standar kompetensiteorema pythagoras adalah reliabel dan layak
digunakan sebagai instrumen penelitian.
Data Kelas Eksperimen
Dari hasil akhir penelitian pada kelas eksperimen didapat rentang skor antara Ymaksimal =
23 sampai dengan Yminimal = 13 dengan jumlah sampel 30 siswa. Rata-rata skor sebesar 18,900;
median sebesar 20,250 dan modus sebesar 21,250serta simpangan baku 2,978. Interval kelas
distribusi frekuensi skor hasil belajar siswa pada kelas eksperimen ;
186
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Frekuensi
Kelas
Nilai
Batas
Interval(Nilai)
Tengah
Nyata
Komulati
Absolut
Relatif
f
13 - 14
13,5
12,5 14,5
10%
15 16
15,5
14,5 16,5
13,33%
17 18
17,5
16,5 18,5
12
16,67%
19 20
19,5
18,5 20,5
20
26,67%
21 22
21,5
20,5 22,5
27
23,33%
23 24
23,5
22,5 24,5
30
10%
30
Jumlah
100%
Berdasarkan tabel distribusi hasil belajar matematika siswa kelas eksperimen tersebut
dapat dibuat histogram dan poligon terlihat pada gambar1.
F
Histogram
Frekues
8
7
6
5
Poligon
4
3
2
1
12,5
14,5
16,5
18,5
20,5
22,5
24,5
Nilai
25,5FrekuensiKelompok
Gambar 1. Histogram dan11,5
Poligon
13,5 HasilBelajar
19,5
23,5
15,5
21,5 Distribusi
17,5 Matemtika
Batas Nyata
Eksperimen
Dari grafik dan tabel terlihat sebagian besar siswa memperoleh nilai matematika antara
19,5 21,5 sebanyak siswa 8 atau sebesar 26,67%, nilai tertinggi antara 23,5 25,5, sebanyak 3
siswa atau sebesar 10%, sedangkan nilai terendah antara 13,5 15,5 sebanyak 3 siswa atau
sebesar 10%.
Data Kelas Kontrol
Dari hasil akhir penelitian pada kelas kontrol didapat rentang skor antara Ymaksimal = 23
sampai dengan Yminimal = 12 dengan jumlah sampel 30. Rata-rata skor 17,700; median sebesar
187
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
18,250 dan modus sebesar 18,840 serta simpangan baku sebesar 2,858. Interval kelas distribusi
frekuensi di kelas kontrol adalah:
Tabel 4.Distribusi Frekuensi Hasil Belajar Matematika Kelompok Kontrol
Frekuensi
Kelas Interval(Nilai) Nilai Tengah
BatasNyata
Absolut
Komulatif
Relatif
11 12
11,5
10,5 12,5
10%
13 14
13,5
12,5 14,5
13,33%
15 16
15,5
14,5 16,5
13
20%
17 18
17,5
16,5 18,5
21
26,67%
19 20
19,5
18,5 20,5
28
23,33%
21 22
21,5
20,5 22,5
30
6,67%
30
Jumlah
100%
Berdasarkan tabel distribusi hasil belajar matematika siswa kelas kontrol dapat dibuat
histogram dan Fpoligon terlihat pada gambar 2
Histogram
Frekuesni
Gambar 2..
7
6
5
Poligon
4
3
2
Histogram dan Poligon Hasil Belajar
1
16,5
22,5
10,5
18,5 20,5
12,5 14,5 Kontrol
11,5
13,5 15,5
17,5
19,5 21,5
23,5
9,5
y
Nilai
Batas Nyata
Dari grafik dan tabel terlihat sebagian
besar siswa memperoleh nilai matematika antara
17,5 19,5 sebanyak 8 siswa atau sebesar 26,67%, nilai tertinggi antara 21,5 23,5, sebanyak
2 siswa atau sebesar 6,66%, sedangkan nilai terendah antara 11,5 13,5 sebanyak 3 siswa atau
sebesar 10%.
188
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan,maka dapat disimpulkan terdapat
perbedaan hasil belajar matematika siswa yang diajarkan dengan metode problem posing
dibandingkan yang diajarkan dengan metode ekspositori pada materi teorema pythagoras.
Peneliti menyadari penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan ilmu yang
dimiliki peneliti serta masih banyak faktor lain yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya
penelitian ini.
5. Penghargaan
Penghargaan diberikan kepada Juanedi, S.Pd dan N. Saeni Slamet Soro, M.Pd dan Hartana,
S.Pd, Sulistewyati, S.Pd yang telah membantu dalam penelitian ini.
6. Pustaka
Anitah. S. dkk. (2007). Strageti Pembelajaran Matematika. Jakarta : Universitas Terbuka
Arikunto, S. (2001). Dasar-dasar evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
____________. (2002). Prosedur Penelitian; Suatu MetodePraktek Jakarta: PT Rineka Cipta
Bell, F. H,. (1978). Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School). USA: Brown
Company Publisher
Djamarah, S. B. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta
Echols, M. J. (2004). Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Jakarta
English, L. D.(1997). Promoting a Problem Posing Classroom. Teaching Children
Mathematics. November
Gronlund, N. E. (1985). Measurement And Evaluation In Teaching. USA:Macmillan Publishing
Company
Hamalik, O. (1995). Kurikulum Dan Pembelajaran.Jakarta: Bumi Aksara
Mudjiono dkk. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka
Riduwan.(2007). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula,
Bandung: ALFABETA.
Sagala, S. (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta,
Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran Beroreintasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta :
Kencana Prenada Media.
Silver, E. A. Mamona-Downs, J.Leung, S and Kenny, P.A. (1996). Problem Posing
Mathematical Problem. An Extraordinary Study. Journal for Reaserch in Mathematical
Education. (27) 293-309. NTCM
Suherman, E. dkk. (1995). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta : Depdiknas
Sudjana. (2005). MetodeStatistika.Bandung: Tarsito
Sudjana, N. (2006). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Slamet. (2006). Upaya Peningkatan Aktifitas Belajar Mahasiswa Melalui Pendekatan Problem
Posing pada Pembelajaran Matematika. Jurnal Pendidikan. 2(2)
Soeitoe,S. (2001). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Suherman, E. dkk. (1992). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jakarta :
Universitas Pendidikan Indonesia.
Sukmadinata, N. S. (2003). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja
Rosda Karya.
Surtini, S. (2006). Problem Posing Salah Satu Metode Pembelajaran Matematika di Sekolah
Dasar. Semarang : Jurnal Teldiknas.Vol.2
189
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Suryanto. (1998). Problem Posing Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah. PPS IKIP
Malang.
Webster, N. dkk. (2002). The New International Websters Dictionary & Thesaurus Of The
English Language. USA : Trident Press International.
Yuli S, T. (2000). Pengajuan Soal oleh siswa dalam pembelajaran geometry di SLTP. Surabaya
: Insitut Teknologi Surabaya.
190
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Dalam Desain Penelitian ini, Peneliti mengembangkan dugaan teori pembelajaran local (a
conjectured local instruction theory) untuk membantu siswa mengembangkan mental aritmatika
dalam penjumlahan bilangan hingga 500. Selain itu, peneliti menganalisa proses belajar siswa
dengan mental aritmatika baik secara individu maupun dalam komunitas social didalam kelas
untuk merevisi dan menyempurnakan teori tersebut. Fokus dari tulisan ini adalah mengamati
strategi mental aritmatika yang dibangun siswa untuk memecahkan masalah penjumlahan
bilangan sampai 500 menggunakan garis bilangan sebagai model. Mental aritmatika dalam
penelitian ini didefinisikan sebagai suatu cara menangani bilangan secara fleksibel dan
bermakna dalam fikiran mereka dengan melihat hubungan sejumlah bilangan. Penelitian ini
menunjukkan bahwa siswa mampu membangun strategi aritmatika menggunakan garis bilangan
yang mereka bangun sebagai visualisasi/representasi masalah(model-of) yang ingin
diselesaikan, selanjutnya model ini berkembang sebagai model untuk (model-for) mendukung
strategi menghitung siswa. Oleh karena itu, pendekatan yang realistik melalui strategi mental
aritmatika pada garis bilangan disarankan sebagai alternatif untuk membantu siswa dalam
memecahkan masalah penjumlahan bilangan secara fleksibel dan bermakna.
Kata kunci: desain penelitian, teori pembelajaran lokal, mental aritmatika, model garis
bilangan, penjumlahan bilangan
1. Pendahuluan
Beberapa peneliti di bidang pendidikan matematika mulai tertarik menggunakan mental
aritmatika sebagai sebuah terobosan baru yang harus mendahului algoritma dalam melakukan
operasi hitung untuk siswa sekolah dasar (Treffers, 1991; Beishuizen, 1993).
Selain itu,
beberapa manfaat dari melakukan perhitungan dengan mental adalah menghitung di kepala
adalah keterampilan kehidupan praktis dan kemahiran dalam mental matematika memberikan
kontribusi untuk peningkatan keterampilan estimasi dan pemahaman yang lebih baik tentang
nilai tempat, operasi matematika serta sifat dasar bilangan (Hope, et al, 1988).
Namun, strategi mental aritmatika harus diperkenalkan melalui proses berpikir dengan situasi
kontekstual yang mendorong siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan pemahaman
mereka melalui bimbingan guru. Selain itu, Gravemeijer (1994) menunjukkan bahwa garis
bilangan merupakan model yang powerful untuk melakukan strategi mental aritmatika dan
untuk membantu perkembangan strategi yang lebih canggih, dan dapat mewakili strategi
informal siswa secara bersamaan.
Selain itu, penelitian lain menyimpulkan bahwa membekali siswa dengan model yang tepat
seperti garis bilangan, menyadari aspek kognitif dan motivasi belajar, membangun budaya kelas
191
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
yang terbuka di mana solusi siswa sangat dihargai, akan membantu setiap siswa lebih fleksibel
dalam menyelesaikan masalah kontekstual (Klein, 1998). Oleh karena itu, situasi kontekstual,
penggunaan model, peran proaktif dari guru dan budaya kelas memainkan peran penting dalam
pengembangan pembelajaran siswa dalam sebuah komunitas kelas.
Kondisi pendidikan matematika di Indonesia saat seperti yang telah dilaporkan oleh Sembiring,
Hadi dan Dolk (2008) menunjukkan bahwa masalah dalam pendidikan dasar bahwa siswa
mengalami kesulitan untuk memahami konsep-konsep matematika, untuk membangun dan
memecahkan representasi matematis dari masalah kontekstual. Masalah ini disebabkan oleh
metode belajar-mengajar tradisional di mana guru sebagai pusat pembelajaran dan pengetahuan
ditransfer dengan cara menceritakan (satu arah). Dalam metode ini, siswa belajar algoritma
standar sebagai prosedur tetap memecahkan masalah. Armanto (2002) mengungkapkan
beberapa kesalahpahaman yang dihasilkan setelah siswa belajar algoritma standar. Beberapa
guru berpendapat bahwa dengan belajar algoritma standar, siswa dapat menerapkannya untuk
memecahkan masalah dengan mudah. Hal ini menunjukkan guru matematika dalam mengajar
myakini bahwa matematika adalah satu set prosedur tetap. Hal ini akan menyebabkan
ketidakbebasan dalam melakukan matematika dengan cara-cara siswa sendiri.
Di sisi lain, program inovasi progresif, yaitu PMRI (Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia), yang telah berjalan selama lebih dari delapan tahun, memiliki tujuan utama untuk
reformasi pendidikan matematika di Indonesia. Program inovasi ini diadaptasi dari RME
(Realistic Mathematics Education) di Belanda yang memandang matematika sebagai human
activity, (Freudenthal, 1991) di mana siswa membangun pemahaman mereka sendiri dalam
melakukan matematisasi di bawah bimbingan guru. Berbeda dengan pendidikan matematika
tradisional yang menggunakan matematika siap pakai sebagai titik awal untuk pembelajaran,
RME menekankan pendidikan matematika sebagai suatu proses melakukan matematika dalam
realitas yang terara yang pada akhirnya matematika sebagai produk. Sembiring, et al (2008)
merangkum dari semua studi RME di Indonesia bahwa pendekatan RME dapat dimanfaatkan di
Indonesia dan merangsang reformasi dalam pendidikan matematika.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan teori dan perbaikan proses belajar dan
sarana (means) yang didesain untuk mendukung proses belajar siswa dalam penjumlahan
bilangan bulat menggunakan strategi mental aritmatika.
192
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Metode Penelitian.
2.1 Metodelogi Design Research
Metodologi kami berada di bawah judul umum "Design Research" yang pertama kali diusulkan
sebagai "penelitian pengembangan (Developmental research)" oleh Freudenthal di Belanda
untuk mengembangkan apa yang disebut teori instruksi domain-spesifik RME_domain-specific
instruction theory of RME (Gravemeijer & Cobb, 2006; Freudenthal, 1991) Tujuan dari Design
Research ini adalah untuk mengembangkan teori tentang proses belajar dan cara (means) yang
dirancang untuk mendukung pembelajaran, baik itu belajar secara individu, komunitas kelas,
komunitas pengajaran profesional, atau dari sekolah atau distrik sekolah dipandang sebagai
sebuah organisasi (Cobb et al, 2006).
Pada dasarnya, desain penelitian memiliki tiga fase penting, yang merupakan tahap desain
dan persiapan (percobaan berpikir), fase percobaan mengajar (percobaan instruksi), dan tahap
analisis retrospektif (Gravemeijer & Cobb, 2006;. Cobb et ul, 2006) . Masing-masing
membentuk proses siklus baik dalam dirinya dan dalam desain penelitian keseluruhan. Oleh
karena itu desain percobaan terdiri dari proses siklik eksperimen pemikiran dan percobaan
instruksi (Freudenthal, 1991).
Gambar 3.1. Refleksif hubungan antara teori dan eksperimen (Gravemeijer & Cobb, 2006)
Pada tahap pertama dari desain penelitian ini, dugaan teori instruksi lokal dikembangkan di
bawah bimbingan teori instruksi domain-spesifik RME, kemudian diuji pada tahap percobaan
mengajar, dan akhirnya dugaan baik terbukti atau tidak terbukti di tahap analisis untuk
merekonstruksi teori instruksi lokal. Dalam hal ini, dugaan teori instruksi local mengarahkan
secara siklis eksperiment pengajaran sementara percobaan memberikan kontribusi pada
pengembangan teori instruksi lokal.
193
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
194
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Pada aktivitas berikutnya, siswa diajak beramain untuk menebak banyaknyanya manik yang
harus ditambahkan untuk membuat puluhan dan menempatkan bilangan pada garis bilangan.
Tujuan dari aktivitas ini adalah siswa dapat mengingat kombinasi membuat sepuluh melalui
permainan kombinasi, dapat memperkirakan posisi bilangan pada garis bilangan dan dapat
menempatkan bilangan-bilangan pada garis bilangan kosong menggunakan hubungan bilangan.
Kemampuan tersebut menjadi kemampuan bersyarat dalam menggunakan garis bilangan
sebagai model untuk menggunakan strategi mental aritmatika untuk menjumlahkan bilangan.
Perhatikan gambar dibawah ini:
Gambar 2. Hasil kerja kelompok siswa (Hafids) dalam memecahkan masalah kontekstual
penjumlahan bilangan menggunakan garis bilangan sebagai model dengan metode berhitung
jump-of-ten
195
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Hasil kerja siswa tersebut menunjukkan bahwa representasi dari situasi masalah yang kemudian
disebut sebagai model-of situasi dapat membantu strategi berhitung siswa. Dalam hal ini, cara
berhitung yang digunakan siswa dikenal sebagai jump-of-ten, karena untuk menjumlahkan 45 +
37, siswa menjumlahkan 45 dengan 10 (sebanyak 3 kali) dan menambahkan lagi dengan 7
sehingga total yang ditambahkan genap menjadi 37, sehingga diperoleh hasil penjumlahannya
adalah 82.
Namun ada siswa, Bathara, yang menggunakan cara berhitung yang lain, yakni cara jump-viaten. Sebagai contoh, 52 + 38 = (52 + 8) + 10 + 10 + 10 = 90. Perhatikan gambar hasil kerja
siswa berikut ini:
Gambar 3. Hasil kerja kelompok siswa (Bathara) dalam memecahkan masalah kontekstual
penjumlahan bilangan menggunakan garis bilangan sebagai model dengan metode berhitung
jump-via-ten
Berdasarkan hasil pengamatan selama implementasi pembelajaran pada aktivitas ke-empat ini,
secara umum dapat disimpulkan bahwa representasi situasi masalah dalam hal ini garis bilangan
(model-of) yang dibuat siswa dapat mendukung proses berpikir dan membantu strategi
berhitung siswa untuk menjumlahkan bilangan dengan mental aritmatika. Ada dua cara
berhitung yang muncul dan digunakan siswa yakni cara jump-of-ten dan jump-via-ten.
Pada pertemuan kelima, guru memberikan soal penjumlahan bilangan (formal matematika)
sebagai contoh 37 + 56, dst. Dalam sesi pertama, guru memberi satu soal untuk setiap kelompok
untuk dikerjakan didepan kelas secara spontan. Setiap grup, memilih salahsatu anggotanya
untuk mengerjakan soal tersebut didepan kelas. Dalam hal ini, ada pemberian reward bagi
kelompok yang berhasil mengerjakan secara benar.
Berdasarkan hasil kerja siswa, dapat disimpulkan bahwa memecahkan masalah penjumlahan
bilangan, siswa menggunakan garis bilangan sebagai model (model-for) untuk membantu
berpikir dan beragumentasi (menjelaskan) cara mereka dalam menjumlahkan bilangan dengan
196
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
strategi mental aritmatika. Secara umum, cara berhitung yang dipakai oleh siswa adalah cara
jump-of-ten, hanya Bathara yang menggunakan cara jump-via-ten.
4. Kesimpulan
Aktivitas merangkai dan menghitung manik-manik dapat mendukung proses berpikir siswa
dalam menggunakan ide pengelompokan, sepuluhan, untuk mempermudah berhitung. Aktivitas,
mencatat hasil pengukuran dengan menggunakan rangkaian manik-manik yang dibuat siswa
menjadi titik awal munculnya ide garis bilangan. Selanjutnya, aktivitas kemampuan siswa
dalam mengkombinasikan bilangan untuk membuat puluhan dan menempatkan bilangan pada
garis bilangan menjadi kemampuan yang dapat mendukung siswa dalam menggunakan garis
bilangan sebagai model untuk strategi berhitung siswa dengan mental aritmatika.
Penggunaan masalah kontekstual pengukuran yang memuat konsep penjumlahan bilangan,
mampu memunculkan garis bilangan sebagai representasi situasi masalah (model-of) dan
kemudian model ini bertindak sebagai alat (tools) untuk membantu strategi berhitung mereka
(model-for). Secara umum, ada dua metode berhitung yang digunakan siswa yakni metode
jump-of-ten
realistik melalui strategi mental aritmatika pada garis bilangan disarankan sebagai alternatif
untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah penjumlahan bilangan secara fleksibel dan
bermakna.
5. Penghargaan
Makalah ini adalah artikel dari hasil penelitian yang dibiayai oleh I_MHERE Universitas Negeri
Malang tahun anggaran 2011.
6. Pustaka
Armanto, D. (2002). Teaching multiplication and division realistically in Indonesian primary
schools: A prototype of local instructional theory. University of Twente, Enschede:
Doctoral dissertation.
Beishuizen, Meindert. July 1993. Mental Strategies and Materials or models for Addition and
Subtraction Up to 100 in Dutch Second Grades, Journal for Research in Mathematics
Education, Vol.24, No.4, pp. 294 323
Cobb, Paul & Gravemeijer, Koeno. (2006) Educational Design Research, London & New York:
Routledge (Taylor & Francis group).
Freudenthal, H. (1991). Revisiting mathematics education. China lecture, Doordrecht: Kluwer
Academic Publisher.
Gravemeijer, Koeno. 1994. Educational Development and Educational Research in
Mathematics Education, Journal for Research in Mathematics Education 25: 443-71.
Gravemeijer, K. P. E., & Cobb, P. (2006). Design research from a learning design perspective,
In J. Van Den Akker, K. Gravemeijer, S. McKenney, & N. Nieveen (Eds.), Educational
Design Research (pp. 17-51). New York: Routledge.
Hope, J.A., Leutzinger, l., Reys, B.J. & Reys, R.E. (1988) Mental Math in the Primary Grades,
Dale Seymour Publications, Palo Alto.
197
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Klein, A., & Starkey, P. (1998). Universals in the development of early arithmetic cognition,
Childrens Mathematics New Direction for Child Development, no.4.Gravemeijer, Koeno;
Cobb, Paul. 2006. Design Research from a Learning Design Perspective, Educational
Design Research. London and New York: Routledge, pp.17-51
Sembiring, R. K., Hadi, S., & Dolk, M. (2008). Reforming mathematics learning in Indonesian
classroom through RME, ZDM Mathematics Education,DOI 10.1007/s11858-008-0125-9.
Treffers, A. 1991. Meeting Innumeracy at Primary School, Educational Studies in
Mathematics , 22, 333-352
198
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Latar belakang penelitian ini adalah fenomena kenakalan pelajar akhir-akhir ini telah
meresahkan. Umumnya kenakalan pelajar terjadi pada usia remaja, karena pada usia remaja
terjadi gejolak emosi dan mencari jati diri.
Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana profil proses berpikir siswa SMP
yang memiliki kecerdasan emosi tingkat tinggi dalam menyelesaikan masalah aljabar?
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian diperoleh beberapa temuan sebagai berikut:
Memahami Masalah (understand the problem)
Subjek menerima informasi dari masalah dengan cara membaca soal secara serius dan cermat.
Subjek mampu memahami masalah aljabar yang dihadapi. Hal ini ditunjukkan dengan
kemampuan subjek untuk menyampaikan informasi sesuai dengan yang diketahui dan yang
ditanyakan dalam masalah.
Komponen proses berpikir pada tahap memahami masalah adalah menerima informasi dan
menyimpan informasi.
Menyusun Rencana (devise a plan)
Subjek menyusun rencana dengan pemikiran yang mendalam. Kondisi ini ditunjukkan dengan
subjek sering kali membaca ulang masalah yang ada secara serius. Dalam proses menyusun
rencana, subjek menggunakan informasi yang diterima. Rencana yang dibuat oleh subjek
penelitian pada masalah yang diberikan terdapat kesalahan. Hal itu diakibatkan aplikasi dari
pemahaman tersebut yang salah.
Komponen proses berpikir pada tahap menyusun rencana adalah mengolah informasi dan
memanggil kembali informasi.
Melaksanakan Rencana (carry out the plan)
Subjek menulis ulang langkah-langkahnya beserta hasil tiap langkah tersebut. Pada proses ini,
subjek sesekali melihat kembali dan membaca ulang masalah untuk meyakinkan apa yang telah
ditulis.
Komponen proses berpikir pada tahap melaksanakan rencana adalah mengolah informasi,
memanggil kembali informasi, dan menyimpan informasi.
Memeriksa Kembali (look back)
Subjek memeriksa ulang penyelesaian yang telah dikerjakan dengan memberi tanda centang
pada langkah yang telah dikoreksi. Pada tahap ini, subjek mampu merubah rencana
penyelesaian yang dianggap kurang tepat.
Komponen proses berpikir pada tahap memeriksa kembali adalah menerima informasi,
mengolah informasi, memanggil kembali informasi, dan menyimpan informasi.
Kata kunci: Kecerdasan emosi, proses berpikir.
1. Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Fenomena kenakalan pelajar akhir-akhir ini telah meresahkan, baik itu tawuran,
penyalahgunaan obat-obatan maupun video-video yang beredar melalui media elektronik.
199
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Umumnya kenakalan pelajar terjadi pada usia remaja, karena pada usia remaja terjadi gejolak
emosi dan mencari jati diri. Banyak faktor penyebab kenakalan-kenakalan tersebut, misalnya
keluarga, lingkungan pergaulan, pendidikan sekolah, dan lain-lain.
Konopka (Pikunas, 1976) mengatakan bahwa masa remaja terbagi atas beberapa tingkat
yaitu remaja awal: 12 15 tahun; remaja madya: 15 18 tahun; remaja akhir: 19 22 tahun
(Yusuf LN, 2002:184). Siswa SMP umumnya pada rentang usia 12 - 15 tahun, sehingga akan
lebih baik jika emosi pada masa SMP sudah mendapat perhatian agar dapat mengendalikan
dimasa remaja berikutnya atau bahkan pada masa dewasa.
Pada penelitian ini, penulis memfokuskan pada faktor pendidikan sekolah. Pendidikan di
sekolah saat ini telah banyak meninggalkan nilai-nilai afeksi dalam proses belajar mengajar.
Pembelajaran hanya berorientasi pada materi terlebih adanya nilai minimal kelulusan seorang
siswa.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rendahnya nilai atau hasil belajar matematika
dipengaruhi oleh faktor emosi. Penelitian yang dilakukan di Kodya Malang oleh Mulyati pada
tahun 1988 juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara sikap siswa terhadap
pelajaran matematika dengan hasil belajar matematika.
Penelitian yang dilakukan oleh Mukhni pada tahun 1988, menyimpulkan bahwa terdapat
korelasi positif antara motivasi berprestasi dan hasil belajar matematika siswa kelas I semester I
SMA negeri di Surabaya.
Perkembangan psikologi terbaru menyebutkan adanya faktor kecerdasan emosi. Goleman
berpendapat ada lima faktor yang menunjang kecerdasan emosi, yaitu mengenali emosi diri,
mengelola dan mengekspresikan emosi diri , memotivasi diri sendiri, berempati, dan membina
hubungan (Goleman, 2000).
Kecerdasan emosi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan untuk mengenali
emosi diri, kemampuan untuk mengelola dan mengekspresikan emosi dengan tepat, kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri, kemampuan berempati, dan kemampuan membina hubungan
dengan orang lain.
1.2. Pertanyaan penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah
bagaimana profil proses berpikir siswa SMP yang memiliki kecerdasan emosi tingkat tinggi
dalam menyelesaikan masalah aljabar?
200
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Landasan Teoritik
2.1. Proses berpikir dan pemecahan masalah matematika
Proses adalah urutan pelaksanaan atau kejadian yang terjadi secara alami atau didesain.
Proses mungkin menggunakan waktu, ruang, bahan, keahlian atau sumber daya lainnya, yang
menghasilkan sesuatu.
Suryabrata berpendapat bahwa, berpikir adalah proses yang dinamis yang dapat
dilukiskan menurut proses atau jalannya (Suryabrata, 2002: 54).
Solso mengatakan bahwa berpikir dapat didefinisikan sebagai proses menghasilkan representasi
mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara kompleks
antara atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, imajinasi, dan pemecahan masalah
(Solso, 1995).
Marpaung menyatakan bahwa berpikir atau proses kognitif adalah proses yang terdiri atas
penerimaan informasi (dari luar atau dari dalam diri peserta didik), pengolahan, penyimpanan,
dan pengambilan kembali informasi itu dari ingatan peserta didik (Marpaung, 1987).
Proses berpikir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah urutan pelaksanaan atau kejadian
yang digunakan oleh siswa pada saat menerima informasi, mengolah informasi, menyimpan,
dan memanggil kembali jika dibutuhkan.
Tabel 1: Indikator Proses Berpikir
No
Memerima Informasi
Mengolah Informasi
Menyimpan Informasi
Memanggil Kembali
Informasi
201
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Polya mengatakan bahwa masalah adalah suatu soal yang harus dipecahkan oleh
seseorang (termasuk siswa), tetapi cara atau langkah untuk memecahkan soal tersebut tidak
segera ditemukan (Polya, 1973).
Dari pengertian di atas, suatu soal merupakan masalah atau bukan masalah bagi seseorang, hal
itu bersifat relatif. Bersifat relatif dalam hal ini adalah suatu soal itu mungkin menjadi masalah
bagi seseorang tetapi bagi orang lain itu mungkin bukan masalah.
Polya mengklasifikasikan masalah menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Soal mencari (problem to find).
2. Soal membuktikan (problem to prove)
(Polya, 1973).
Masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah masalah mencari (problem to find),
sebab materi di SMP belum difokuskan pada masalah pembuktian.
2.2. Kecerdasan Emosi
Pada umumnya masyarakat menilai bahwa IQ satu-satunya yang menentukan
keberhasilan seseorang. Jika hasil tes IQ seorang anak tinggi maka orang tua mereka bangga
dan memastikan bahwa anak tersebut dapat diterima di sekolah favorit. Setelah lulus nanti akan
mudah mendapatkan pekerjaan. Jika anak tersebut ternyata sekolah atau bekerja ditempat yang
tidak diinginkan, maka orang tua mereka kecewa dan menyalahkan anak yang tidak dapat
memanfaatkan kelebihan yang dimiliki.
Penelitian terbaru dalam bidang psikologi anak menyebutkan ada banyak faktor yang
mempengaruhi kesuksesan seseorang. Salah satu dari faktor tersebut adalah kecerdasan emosi.
Pernyataan ini diperkuat oleh ahli yang memfokuskan di bidang tes kecerdasan yaitu
menemukan adanya keanehan, mengapa banyak anak yang cerdas ternyata mengalami
kegagalan dalam bidang akademik, dalam karir, juga dalam kehidupan sosial, sebaliknya
banyak anak yang di kemudian hari sukses, sebenarnya memiliki taraf kecerdasan rata-rata.
202
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Dalam menyelesaikan masalah baik dengan atau tanpa bantuan orang lain, tentu siswa
membutuhkan informasi-informasi yang ada dalam permasalahan tersebut. Dari permasalahan
tersebut akan diperoleh informasi apa yang diketahui dan yang ditanyakan.
Informasi-informasi data yang diketahui dan yang ditanyakan menunjukkan bahwa siswa
menerima informasi. Dari yang diketahui dan yang ditanyakan tersebut, siswa dapat menggali
atau memanggil kembali informasi-informasi yang dimiliki dan sesuai dengan permasalahan,
misal formula atau konsep-konsep dasar dari permasalahan yang ada. Dengan memanggil
kembali informasi yang dimiliki dan informasi yang diketahui serta yang ditanyakan, maka
terjadi pengolahan informasi. Pengolahan informasi akan menghasilkan suatu rencana atau
rancangan formula untuk menyelesaikan masalah.
Untuk menyelesaikan masalah yang ada, setelah diketahui formula atau membuat rencana
maka siswa menjalankan rencana tersebut sehingga diperoleh hasil penyelesaian masalah.
Setelah mendapatkan penyelesaian masalah, sebaiknya siswa mengecek. Untuk keperluan
pengecekan hasil, siswa dapat mengecek setiap langkah yang telah dilakukan.
Proses berpikir dan kecerdasan emosi tidak saling lepas dalam menyelesaikan suatu
masalah. Proses berpikir dan kecerdasan emosi keduanya saling berkaitan. Permasalahan yang
dihadapi siswa terkadang tidak mudah untuk diselesaikan, sehingga dibutuhkan motivasi dan
ketekunan. Artinya siswa dalam menyelesaikan masalah tidak mudah putus asa. Dalam
menyelesaikan masalah terkadang seseorang membutuhkan bantuan atau pendapat orang lain.
Untuk meminta bantuan orang lain hal ini tergantung dari kemampuan membina hubungan
dengan orang lain.
Penyelesaian masalah atau solusi yang diperoleh merupakan hasil kerja sama proses berpikir
dan kecerdasan emosi. Siswa dalam menyelesaikan masalah membutuhkan langkah-langkah
proses berpikir, ketekunan, motivasi, dan kemampuan membina hubungan. Ketekunan,
motivasi, dan kemampuan membina hubungan adalah komponen-komponen kecerdasan emosi.
Proses berpikir dan kecerdasan emosi merupakan bagian integral dalam diri manusia yang tak
terpisahkan.
3. Metode Penelitian
3.1. Jenis penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksploratif yang bersifat kualitatif dengan data
hasil penelitian berupa kata-kata tertulis atau lisan dari subjek yang diteliti dideskripsikan secara
kualitatif. Metode kualitatif dipilih karena penentuan proses berpikir siswa dalam
menyelesaikan masalah matematika berlatar alamiah (naturalistic) dan instrumen utama adalah
peneliti sendiri.
203
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
b. Menyusun Rencana
(devise a plan)
c. Melaksanakan Rencana
(carry out the plan)
d. Memeriksa Kembali
(look back)
204
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
5. Penutup
4.1. Simpulan
Pada bagian ini merupakan simpulan sementara sebagai gambaran awal, yaitu berupa
profil proses berpikir siswa SMP yang memiliki kecerdasan emosi tingkat tinggi dalam
menyelesaikan masalah matematika.
Hasil penelitian diperoleh beberapa temuan sebagai berikut:
1. Memahami Masalah (understand the problem)
Subjek menerima informasi dari masalah dengan cara membaca soal secara serius dan
cermat. Subjek mampu memahami masalah aljabar yang dihadapi. Hal ini ditunjukkan
dengan kemampuan subjek untuk menyampaikan informasi sesuai dengan yang diketahui
dan yang ditanyakan dalam masalah.
Komponen proses berpikir pada tahap memahami masalah adalah menerima informasi dan
menyimpan informasi.
2. Menyusun Rencana (devise a plan)
Subjek menyusun rencana dengan pemikiran yang mendalam. Kondisi ini ditunjukkan
dengan subjek sering kali membaca ulang masalah yang ada secara serius. Dalam proses
menyusun rencana, subjek menggunakan informasi yang diterima. Rencana yang dibuat
oleh subjek penelitian pada masalah yang diberikan terdapat kesalahan. Hal itu diakibatkan
aplikasi dari pemahaman tersebut yang salah.
Komponen proses berpikir pada tahap menyusun rencana adalah mengolah informasi dan
memanggil kembali informasi.
3. Melaksanakan Rencana (carry out the plan)
Subjek menulis ulang langkah-langkahnya beserta hasil tiap langkah tersebut. Pada proses
ini, subjek sesekali melihat kembali dan membaca ulang masalah untuk meyakinkan apa
yang telah ditulis.
Komponen proses berpikir pada tahap melaksanakan rencana adalah mengolah informasi,
memanggil kembali informasi, dan menyimpan informasi.
4. Memeriksa Kembali (look back)
Subjek memeriksa ulang penyelesaian yang telah dikerjakan dengan memberi tanda centang
pada langkah yang telah dikoreksi. Pada tahap ini, subjek mampu merubah rencana
penyelesaian yang dianggap kurang tepat.
205
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Komponen proses berpikir pada tahap memeriksa kembali adalah menerima informasi,
mengolah informasi, memanggil kembali informasi, dan menyimpan informasi.
4.2. Saran
Perlu adanya kajian mendalam tentang proses berpikir siswa SMP yang memiliki
kecerdasan emosi tingkat tinggi dalam menyelesaikan masalah aljabar.
5. Pustaka
Pertiwi, Aprilia Fajar dkk. (1997). Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak. Ayah Bunda.
Jakarta: Yayasan Aspirasi Pemuda
Goleman, Daniel. (2000). Emotional Intelligence. T. Hermaya, Penerjemah. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Marpaung, Y. (1986). Proses Berpikir Siswa dalam Pembentukan Konsep Algoritma Matematis.
Makalah Pidato Dies Natalies XXXI IKIP Sanata Dharma Salatiga, 25 Oktober 1986.
Polya, G. (1973). How to Solve it (New of Mathematical Method). Second Edition. New Jersey:
Prence University Press.
Solso, Robert L. (1995). Cognitive Psychology. Allyn& Bacon, Needham Heights.
Suryabrata, Sumadi. (2003). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo persada
Yusuf LN, Syamsu. (2002). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
206
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Penelitian tindakan kelas berjudul Peningkatan Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita
Matematika Siswa Kelas IV SDN Kebonsari I Malang Melalui Penerapan Tahapan Analisis
Kesalahan Newman telah dilaksanakan pada semester gasal 2010/2011 pada siswa kelas IV
SDN Kebonsari 1 Malang dengan materi FPB dan KPK. Penelitian menerapkan pembelajaran
yang menerapkan Analisis Kesalahan Newman yang dilaksanakan dalam dua siklus. Penelitian
ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kemampuan menyelesaikan soal cerita
matematika dan ingin mengetahui kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dalam
menyelesaikan soal cerita melalui penerapan tahapan Analisis Kesalahan Newman. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penerapan tahapan Analisis Kesalahan Newman dapat
meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika. Selain itu diketahui bahwa
kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal cerita melalui tahapan
Analisis Kesalahan Newman adalah kurang teliti menuliskan apa yang diiketahui dan
ditanyakan, kesalahan membedakan istilah pemfaktoran dan kelipatan bilangan, kurang lengkap
dan runtut dalam menuliskan langkah-langkah penyelesaian, dan penulisan jawaban akhir
kurang sesuai dengan apa yang ditanyakan.
Kata Kunci: Analisis Kesalahan Newman, Kemampuan, Soal Cerita
Abstract
This classroom action research conducted at odd semester 2010/2011. The research subject was
forth grade SDN Kebonsari 1 Malang. In this research, we applied Newman error analysis
stages for two cyclists. By applying the Newman error analysis stages, we want to improve the
students competency in solving word problems, and to identify students error when solving
such problems. The results show that by applying the Newman error analysis stages, students
competency in solving word problems were improved. Some students make mistakes when
solving the problems were careless in writing what are given and what the goal is, error in
distinguish between factor and multiple, incomplete and irregular in writing steps of solution,
and the final solution was unsuitable to what the goal is.
Keywords :Newman Error Analysis, Competency, Word Problem
1. Pendahuluan
Sebagaimana disebutkan dalam Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, mata
pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar
untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan
kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat
memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan
207
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Selain itu dimaksudkan
pula untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah
dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan
media lain.
Fokus pembelajaran yang disarankan dalam Permendiknas tersebut adalah pendekatan
pemecahan masalah.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap soal cerita dan kemudian siswa dapat
menyelesaikan soal cerita tersebut dengan benar.
Tahapan Analisis Kesalahan Newmann diduga kuat dapat meningkatkan kemampuan siswa
dalam menyelesaikan soal cerita.
Tahapan Analisis Kesalahan Newman diperkenalkan pada tahun 1977 oleh Anne
Newman, seorang guru bidang studi Matematika di Australia.Tahapan ini menyarankan lima
kegiatan untuk membantu menemukan di mana kesalahan yang terjadi pada pekerjaan siswa
ketika menyelesaikan suatu masalah materi soal cerita. Tahapan ini meminta siswa mengerjakan
lima kegiatan berikut sewaktu mengerjakan permasalahan: (i) silakan bacakan pertanyaan
tersebut, jika kamu tidak mengetahui suatu kata tinggalkan saja; (ii) katakan apa pertanyaan
yang diminta untuk kamu kerjakan; (iii) katakan bagaimana kamu akan menemukan
jawabannya; (iv) tunjukkan apa yang akan kamu kerjakan untuk memperoleh jawaban tersebut,
katakan dengan keras sehingga dapat dimengerti bagaimana kamu berfikir; dan (v) tuliskan
jawaban dari pertanyaan tersebut. Kelima kegiatan ini digunakan untuk menemukan di mana
dan kenapa siswa melakukan kesalahan terhadap masalah soal cerita matematika. Kelima
tahapan ini dinamai tahapan membaca (reading), memahami (comprehension), transformasi
(trasformation), ketrampilan proses (process skill), dan penulisan jawaban akhir (encoding).
Prakitipong dan Nakamura (2006) selanjutnya membagi lima tahap Analisis Kesalahan
Newman menjadi dua kelompok kendala yang dialami siswa dalam menyelesaian masalah.
Kendala pertama adalah kemampuan bahasa dan pemahaman konteks. Kendala ini dikaitkan
dengan tahap membaca dan memahami arti suatu permasalahan. Kendala kedua adalah
kemampuan proses matematika yang memuat tahap trasformasi, ketrampilan proses dan
penulisan jawaban akhir.
Clements (1980) menyimpulkan bahwa kesalahan terbanyak yang dilakukan siswa kelas
5-7 di Victoria Australia pada aritmatika soal cerita terjadi pada tahap memahami, transformasi,
ketrampilan proses, dan kecerobohan (carelessness). Sedangkan Watson (1980) menyebutkan
bahwa guru dapat membantu memperbaiki kesalahan yang dibuat siswa dengan menerapkan
Analisis Kesalahan Newman pada kelas matematika awal. Allan L. White (2005) melaporkan
bahwa penerapan Analisis Kesalahan Newman dalam kelas dapat mengaktifkan siswa,
menemukan kesalahan yang dilakukan siswa dan kemudian melakukan sesuatu untuk
membantunya. Prakitipong dan Nakamura (2006) menerapkan Analisis Kesalahan Newman
untuk menganalisis kemampuan (performance) matematika siswa kelas lima. Mereka
melaporkan bahwa kebanyakan kesalahan siswa terjadi pada tahap pemahaman dan tahap
transformasi. Siswa yang mempunyai kemampuan baik tidak mengalami kesalahan dalam tahap
membaca sedang siswa yang kemampuannya rendah mengalami kesalahan pada seluruh tahap.
209
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
M Muksar (2009), juga melaporkan bahwa metode Analisis Kesalahan Newman dapat
meningkatkan kemampuan bahasa Inggris dan Matematika Dasar mahasiswa kelas bilingual.
Pape (2004) mengkategorikan kesalahan menyelesaikan soal cerita dalam dua kelompok,
Reading-related errors dan Mathematics errors. Kesalahan pertama dihasilkan dari suatu
kesalahan interpretasi atau ketidakmampuan menginterpretasikan suatu masalah. Kesalahan
kedua dihasilkan dari ketidakpahaman terhadap relasi-relasi dalam matematika, atau operasioperasi aritmatika, atau melakukan kesalahan aritmatik yang sederhana. Sedangkan Gording
(2009) menemukan beberapa kategori kesulitan dalam mengerjakan soal cerita, yaitu Reading
and Understandsing the Language Used Within a Word Problem, Recognising and Imaging the
Context in Which a Word Problem is Set, Forming a Number Sentence to Represent the
Mathematics Involved in the Word Problem, Craying Out the Mathematics Calculation, dan
Interpreting the Answer in the Context of the Question.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action
research) yang berusaha mengkaji dan merefleksikan secara mendalam beberapa aspek dalam
kegiatan belajar mengajar, yaitu kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa saat menyelesaikan
masalah matematika soal cerita baik kesalahan bahasa (membaca dan memahami) maupun
matematika (transformasi, ketrampilan proses, dan jawaban akhir) yang berdasarkan tahapan
Analisis Kesalahan Newman.
Penelitian tindakan kelas ini menggunakan model Kemmis dan Taggard yang paling
banyak digunakan di Indonesia (Dasna, 2008). Model ini terdiri dari siklus-siklus yang saling
berhubungan di mana pada tiap-tiap siklus terdiri dari tahap-tahapan perencanaan, tindakan,
observasi, dan refleksi.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV SDN Kebonsari I Sukun Malang yang
beralamatkan di Jl. Satsuitubun 178 Kebonsari Sukun Malang. Penelitian dilaksanakan di SDN
Kebonsari I Sukun Malang pada semester pertama tahun ajaran 2010/2011.
Secara operasional prosedur penelitian tindakan kelas yang diterapkan dalam penelitian
ini diuraikan sebagai berikut. Pada Siklus Pertama, peneliti merencanakan tindakan berdasarkan
tujuan penelitian. Beberapa perangkat dan instrumen disiapkan dalam tahap ini, antara lain:
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja siswa (LKS) , kuis dan tes soal cerita,
lembar observasi, dan lembar wawancara. Setelah perangkat dan instrumen telah siap, maka
selanjutnya divalidasi oleh validator.
210
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Pelaksanakan tindakan dilakukan setelah semua perangkat dan instrumen telah selesah
disiapkan dan divalidasi. Model yang digunakan dalam pembelajaran adalah model kooperatif.
Pelaksanaan tindakan yang dilakukan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut: (i) Guru
membagi siswa menjadi beberapa kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 3 - 4
orang berdasarkan kemampuan akademik dan jenis kelamin. (ii) Kemudian guru memberikan
penjelasan tentang materi apa yang akan dibahas, tujuan yang ingin dicapai pada pembelajaran,
dan tahapan Analisis kesalahan Newman. (iii) Setelah itu guru membagikan LKS yang memuat
contoh dan masalah soal-soal cerita berkaitan dengan materi yang akan dibahas. (iv) Berikutnya
secara berkelompok siswa diminta untuk mendiskusikan contoh dan menyelesaikan masalah
dengan mengikuti tahapan Analisis kesalahan Newman. Guru mengamati pekerjaan siswa
dalam kelompok dan mencoba menemukan pada tahap mana kesalahan dilakukan siswa,
kemudian membantu siswa yang mengalami kesulitan. (v) Setelah kerja kelompok, dilanjutkan
diskusi kelas untuk mempresentasikan jawaban dari masing-masing kelompok. (vi) Pada diskusi
kelas guru dan kelompok lainnya memberikan tanggapan terhadap hasil presentasi kelompok.
(vii) Pada sesi akhir pembelajaran, guru memberikan komentar dan kesimpulan tentang materi
yang telah dipelajari, menginformasikan materi yang akan dipelajari pada pertemuan
berikutnya, dan diakhiri dengan kuis.
Selama tahap pelaksanaan, observer melakukan pengamatan terhadap kegiatan diskusi
yang dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung, khususnya pada kegiatan diskusi
kelompok dan diskusi kelas menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan. Selain itu,
peneliti mewancarai empat siswa yang mewakili masing-masing siswa kelompok atas,
kelompok menengah bawah, dan kelompok bawah. Wawancara dilaksanakan setelah
pelaksanaan tes. Wawancara ini digunakan untuk memperoleh data tentang pelaksanaan
pembelajaran, kesalahan-kesalahan yang dilakukan, dan kesesuaian bantuan guru yang
diberikan dalam memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan.
Setelah pelaksanaan tindakan pada satu siklus, maka dilakukan refleksi terhadap tindakan
yang telah dilaksanakan. Refleksi ini dilakukan untuk menguji ketercapaian indikator yang
ditetapkan, dan menentukan perbaikan-perbaikan apabila tindakan yang dilaksanakan belum
mencapai indikator yang ditetapkan. Refleksi dilakukan terhadap hasil observasi, hasil
wawancara, hasil kuis dan tes akhir.Hasil refleksi dan permasalahan yang muncul pada
pelaksanaan tindakan digunakan sebagai dasar untuk melakukan perencanaan ulang pada siklus
berikutnya.
Indikator keberhasilan ditetapkan berdasarkan tes awal yang dilakukan sebelum
pelaksanaan tindakan. Indikator keberhasilan tindakan ditetapkan seperti Tabel berikut.
211
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
- Rata-rata
skor
kemampuan 75
menyelesaikan soal cerita
- Prosentase siswa yang mempunyai
skor kemampuan menyelesaiakan
soal cerita 75
75%
- Kesesuaian
bantuan
diberikan guru
yang 75%
Dihitung dari
tahapan Analisis
Kesalahan Newmann pada hasil tes
akhir siklus
Dihitung
dari
prosentase skor
kemampuan menyelesaikan soal cerita
Dihitung dari data hasil wawancara
siswa
Siklus kedua dilaksanakan apabila kriteria keberhasilan tindakan seperti pada Tabel 1
tidak dipenuhi. Pada siklus kedua ini dilakukan tahapan-tahapan seperti pada siklus pertama
tetapi didahului dengan perencanaan ulang berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh pada siklus
pertama, sehingga kelemahan-kelemahan yang terjadi pada siklus pertama tidak terjadi pada
siklus kedua.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: lembar observasi, lembar
pedoman wawancara, kuis dan tes soal cerita, dan catatan guru/jurnal. Lembar observasi disusun
berdasarkan lima tahapan Analisis Kesalahan Newman. Lembar wawancara digunakan untuk
mengetahui tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran, kesalahan-kesalahan yang
dilakukan, dan kesesuaian bantuan guru yang diberikan dalam memperbaiki kesalahan yang
telah dilakukan. Kuis digunakan untuk mendiskripsikan kesalahankesalahan yang dilakukan
oleh siswa, dan tes soal cerita digunakan untuk mengetahui kemampuan pemahaman soal cerita
dan kemampuan menyelesaikan soal cerita, serta kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siwa.
Pegumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, observasi, wawancara, kuis dan
tes. Teknik dokumentasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan masing-masing siswa sebagai
dasar pembagian kelompok. Teknik observasi, wawancara, dan kuis digunakan untuk merekam
tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran, kesalahan-kesalahan yang dilakukan, dan
kesesuaian bantuan guru yang diberikan dalam memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan.
Untuk mengetahui kemampuan menyelesaikan soal cerita digunakan tes soal cerita.
Data hasil observasi, wawancara, dan catatan guru, dianalisis secara deskriptif untuk
mengetahui pelaksanaan pembelajaran, kesalahan-kesalahan yang dilakukan, dan kesesuaian
bantuan guru yang diberikan dalam memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan. Untuk
mengetahui peningkatan kemampuan menyelesaikan soal cerita dilakukan dengan melihat
indicator keberhasilan yang telah ditetapkan.
212
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
TOTAL
34,00 71,80
34,00 74,50
52,00 77,80
40,00 74,70
213
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa adalah kesalahan dalam menuliskan langkahlangkah penyelesaian dan kemudian dilanjutkan pada kesalahan menuliskan jawaban akhir. Dari
hasil ini terlihat bahwa kemampuan dalam tahapan ketrampilan proses dan penulisan jawaban
akhir masih harus ditingkatkan.
Dari hasil wawancara yang dilakukan pada empat siswa 1, 2, 3, dan 4, diperoleh
informasi sebagai berikut. (i) Semua siswa suka dengan pembelajaran yang menggunakan
tahapan Analisis Kesalahan Newman, karena pembelajarannya menyenangkan dan dibantu
apabila mengalami kesulitan; (ii) Semua siswa lebih suka pembelajaran dengan tahapan Analisis
Kesalahan Newman dari pembelajaran sebelumnya, karena belajarnya berkelompok, dan merasa
lebih mudah dimengerti; (iii) Dengan tahapan Analisis Kesalahan Newman, siswa lebih bebas
bertanya dan berfikir dalam bekerja berkelompok dan diskusi kelas. Karena siswa lebih suka
bertanya dan dibantu temannya, dan merasa malu kalau bertanya pada guru; (iv) Dalam
menyelesaikan permasalahan, siswa merasa dibantu oleh guru ketika mengalami kesulitan.
Bantuan yang diberikan guru misalnya menjelaskan permasalahan menggunakan alat peraga,
membimbing menemukan metode yang digunakan dalam menyelesaikan, dibimbing dalam
menuliskan langkah-langkah penyelesainnya, dan dalam menuliskan jawaban akhir; (v) Semua
siswa merasa bantuan yang diberikan oleh guru telah sesuai dengan masalah yang dihadapi.
Berkenaan dengan penyelesaian soal cerita menggunakan tahapan Analisis Kesalahan
Newman, diperoleh hal-hal sebagai berikut. Pada tahapan membaca, semua siswa membaca
secara lantang masalah yang diberikan, dan tidak ada kata-kata yang sulit. Tahapan memahami,
semua siswa sudah dapat menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Tahapan
transformasi, semua siswa mampu menuliskan metode yang digunakan dalam menyelesaikan
masalah yang diberikan, kecuali siswa ke-4, dua soal terakhir belum dikerjakan karena
waktunya habis. Tahapan ketrampilan proses, Anak 1 dan Anak 2, dapat menuliskan langkahlangkah penyelesaian secara benar untuk soal 1, 3, dan 4. Sedangkan soal 2, langkahnya kurang
teliti. Anak 3 dapat menuliskan langkah-langkah penyelesaian dengan benar untuk soal 1 dan 4,
sedangkan soal 2 dan 3 kurang tepat. Sedangkan anak 4 tidak dapat menuliskan langkahlangkah penyelesaian dengan benar. Tahapan penulisan jawaban akhir, Anak 1 dan Anak 2,
dapat menuliskan jawaban akhir secara benar untuk soal 1, 3, dan 4. Sedangkan soal 2,
jawabannya tidak tepat, karena kurang teliti pada tahapan ketrampilan proses. Anak 3 dapat
menuliskan jawaban akhir dengan benar untuk soal 1 dan 4, sedangkan soal 2 dan 3 kurang
tepat. Sedangkan anak 4 tidak dapat menuliskan semua jawaban akhir dengan benar.
Tes akhir siklus 1 terdiri dari empat soal dengan waktu 60 menit. Soal memuat materi
yang telah dibahas. Soal disusun mulai soal mudah hingga soal sulit. Dua soal pertama
tergolong soal sederhana, sedangkan dua soal terakhir tergolong soal kompleks. Semua soal
214
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
bertipe algoritmik. Hasil tes sikulus 1 dan ketercapaian indikator keberhasilan siklus 1, disajikan
pada tabel berikut.
Tabel 3 Hasil Tes Akhir Siklus 1
Nama
TOTAL
SKOR RATA-RATA
89,50
83,13
77,13
62,88
51,25
72,78
Target
Pencapaian
72,78
100%
45%
Setelah pelaksanaan tindakan pada siklus 1 selesai, maka dilakukan refleksi terhadap
pelaksanaan. Refleksi ini dilakukan terhadap pelaksanaan pembelajaran, hasil observasi pada
setiap pertemuan, hasil kuis, wawancara dan tes akhir. Refleksi dilaksanakan untuk mengetahui
keberhasil tindakan yang dilakukan untuk mencapai indikator yang telah ditetapkan. Kemudian
dari hasil refleksi ini akan digunakan sebagai acuan apakah tindakan terus dilanjutkan atau
diakhiri.
Dari hasil refleksi pada siklus 1 dan capaian target indikator yang ditetapkan seperti
pada tabel 4, maka tim peneliti menyimpulkan bahwa indikator keberhasilan siklus belum
tercapai. Oleh karena itu, tim peneliti sepakat melanjutkan melaksakan tindakan ke siklus 2
dengan perbaikan-perbaikan sebagai berikut. (i) Beberapa anggota kelompok harus diatur
kembali menjadi kelompok-kelompok yang dapat bekerjasama didalam kelompok itu. (ii)
Dalam diskusi kelompok, suatu kelompok diharapkan dapat membantu kelompok lain apabila
pekerjaan sendiri sudah selesai. (ii) Bantuan guru lebih ditekakankan pada tahapan ketrampilan
proses dan penulisan jawaban akhir. (iv) Siswa perlu diberi tugas rumah untuk peningkatan
kemampuan perkalian dan pembagian.
Siklus 2
Pada siklus 2, pelaksanaan tindakan pembelajaran berlangsung sesuai dengan yang
direncanakan. Siswa sudah terbiasa mengerjakan soal cerita dengan tahapan Analisis Kesalahan
Newman. Siswa banyak bertanya karena mereka belum percaya diri dengan jawaban yang
215
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
didapatnya. Sehingga bantuan yang diberikan guru lebih kepada untuk menyakinkan siswa
tentang jawaban yang dituliskannya.
Hasil observasi pada siklus dua ini menunjukkan bahwa beberapa siswa masih kurang
teliti sehingga masih harus diingatkan oleh guru, dan kurang percaya diri dalam mengerjakan
LKS, sehingga sering bertanya pada guru tentang apa yang telah dikerjakan. Siswa kesulitan
menyelesaikan permasalahan yang diberikan, dikarenakan kemampuan ketrampilan dasar
menghitung seperti perkalian dan pembagian masih kurang.
Hasil kuis 4, 5, dan 6 diberikan pada tabel berikut.
Tabel 5. Hasil Kuis pada siklus 2
Nama
TOTAL
100,00 97,00
100,00 59,50
40,00
79,30
62,50
88,00
100,00 92,50
95,50
67,00
40,00
79,00
100,00 96,50
98,50
68,00
47,50
82,10
Kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa adalah kesalahan dalam menuliskan langkahlangkah penyelesaian dan kemudian dilanjutkan pada kesalahan menuliskan jawaban akhir,
serta beberapa kekurang lengkapan menuliskan metode yang digunakan.
Hasil wawancara siklus 2 menunjukkan bahwa: (i) Semua siswa suka pembelajaran yang
menggunakan tahapan Analisis Kesalahan Newman, karena pembelajarannya tidak sulit, asik,
dan beda dengan sebelumnya.; (ii) Semua siswa lebih suka pembelajaran dengan tahapan
Analisis Kesalahan Newman dari pembelajaran sebelumnya, karena belajarnya enak, rame,
berkelompok, dan merasa lebih mudah diterima; (iii) Dengan tahapan Analisis Kesalahan
Newman, semua siswa merasa lebih bebas bertanya dan berfikir dengan bekerja berkelompok
dan diskusi kelas. Karena mengerjakan dengan kelompok, dan bebas bertanya dan berfikir; (iv)
Dalam menyelesaikan permasalahan, semua siswa merasa dibantu oleh guru ketika mengalami
kesulitan. Bantuan yang diberikan guru misalnya diberitahu caranya, menjelaskan permasalahan
menggunakan alat peraga; (v) Semua siswa merasa bantuan yang diberikan oleh guru telah
sesuai dengan masalah yang dihadapi. Bantuan yang sering adalah di tahapan process skill.
Berkenaan dengan penyelesaian soal cerita menggunakan tahapan Analisis Kesalahan
Newman, diperoleh hal-hal sebagai berikut. Tahapan membaca, Anak 1, 2, 3 tidak ada kata-kata
yang sulit. Tetapi anak 4 merasa sulit pada kata 5 hari sekali (soal 1), 3 hari sekali (soal 3).
216
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Tahapan memahami, semua siswa sudah dapat menuliskan apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan. Tahapan transformasi, Tiga anak 1, 2, dan 3 mampu menuliskan metode yang
digunakan dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Tahapan ketrampilan proses ,Anak 1,
2, dan 3 dapat menuliskan langkah-langkah penyelesaian secara benar untuk soal 1, 2, dan 4.
Sedangkan soal 3, langkahnya kurang teliti. Anak 4 bingung ketika ditanya langkah
penyelesaian yang dituliskan. Tahapan penulisan jawaban akhir ,Anak 1, dan 2, dapat
menuliskan jawaban akhir secara benar untuk soal 1 dan 4. Sedangkan soal 2 dan 3, jawabannya
kurang lengkap, karena kurang teliti. Anak 3 dapat menuliskan jawaban akhir dengan benar
untuk soal 1 dan3, sedangkan soal 2 dan 4 kurang yakin. Sedangkan anak 4 tidak dapat
menuliskan semua jawaban akhir dengan benar, dan dia juga tidak yakin dengan jawabannya.
Hasil Tes akhir dan indikator keberhasilan siklus diberikan pada tabel berikut.
Tabel 6. Hasil Tes Akhir Siklus 2
Nama
TOTAL
SKOR RATA-RATA
96,63
97,00
92,88
76,75
63,63
85,38
Target
75%
- Kesesuaian bantuan yang diberikan guru dalam 75%
memperbaiki kesalahan
Siklus 1
Siklus 2
72,78
85,38
45%
90%
100%
100%
Berdasarkan refleksi siklus 2 dan capaian target indikator yang ditetapkan seperti pada tabel
7 di atas, maka disimpulkan bahwa indikator keberhasilan siklus tercapai.
b. Pembahasan
Pembelajaran pada siklus 1 berjalan dengan baik. Sebagaian besar rencana tindakan
yang dipersiapkan berjalan dengan baik. Sedangkan pembelajaran pada siklus 2 juga berjalan
baik dan lebih baik dari siklus 1.
Dari pelaksanan tindakan pada siklus satu maupun siklus dua, menunjukkan bahwa
pembelajaran dengan tahapan Analisis Kesalahan Newman dapat dilaksanakan dan diterima
dengan baik oleh siswa. Berdasarkan hasil observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran metode
Analisis metode Newman mengungkapkan bahwa siswa antusias dan merasa lebih suka
217
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
dibandingkan dengan metode tradisional. Siswa merasa lebih bebas berfikir (berargumentasi)
dengan bekerja secara berkelompok. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Allan
L. White (2005). Selain itu siswa sudah merasa familiar dengan soal cerita dan kemampuan
menyelesaikan soal cerita ini semakin meningkat dibanding sebelum dilakukan pembelajaran
dengan tahapan Analisis Kesalahan Newman. Hal ini disebabkan bahwa dalam tahapan Analisis
Kesalahan Newman terdapat langkah-langkap yang serupa dengan langkah-langkah pemecahan
masalah seperti yang diperkenalkan oleh Polya.
Dengan pelaksanaan pembelajaran tahapan Analisis Kesalahan Newman ini,
menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan menyelesaikan soal cerita mengalami peningkatan
yang nyata. Demikian kemampuan masing-masing tahapan Analisis Kesalahan Newman juga
meningkat. Kesalahan-kesalahan yang dilakakukan siswa dalam menyelesaian soal cerita
dengan menggunakan tahapan Analisis Kesalahan Newman adalah sebagai berikut. Tahapan
membaca, sebagian besar siswa tidak mengalami permasalahan dengan arti kata yang ada dalam
soal cerita. Tahapan memahami, hampir semua siswa tidak mengalami permasalahan dalam
tahapan ini. Kesalahan yang sering terjadi pada tahapan ini, adalah kurang lengkapnya siswa
menuliskan informasi yang ada dalam soal. Demikian juga menuliskan apa yang ditanyakan
kadang juga kurang lengkap. Sifat kurang hati-hati dan teliti menjadi penyebab kesalahan ini.
Tahapan transformasi, dalam menuliskan metode yang digunakan sebagian besar siswa mampu
menuliskan dengan tepat. Beberapa siswa menuliskan metode yang kurang tepat tetapi masih
relevan dengan metode yang seharusnya digunakan. Beberapa siswa menuliskan pemfaktoran
sebagai kelipatan atau sebaliknya. Tahapan ketrampilan proses, beberapa siswa mengalami
kesulitan menuliskan secara lengkap langkah-langkah menyelesaikan masalah yang diberikan,
walapun mereka sudah tahu metode yang digunakan. Hal ini disebabkan kebiasaan siswa
menyelesaikan masalah hanya dicari hasil akhirnya saja. Kesalahan yang sering terjadi pada
siswa adalah, kurang runtutnya langkah-langkah yang dituliskan siswa dalam menyelesaikan
masalah. Tahapan penulisan jawaban akhir, menuliskan jawaban akhir sesuai dengan
ditanyakan, siswa seringkali melakukan kesalahan. Hal ini disebabkan oleh tidak dibacanya
kembali apa yang ditanyakan.
Beberapa kendala dalam pelaksanaan pembelajaran tahapan Analisis Kesalahan
Newman sebagai berikut. Dari segi siswa, kemampuan perkalian dan pembagian yang masih
kurang, menyebabkan penyelesian masalah yang diberikan menjadi lebih lama. Oleh karena itu
pemberian tugas tambahan dalam rangka meningkatkan ketrampilan perkalian dan pembagian
dianggap sangat penting. Selain itu sifat ego dari masing-masing siswa menyebabkan diskusi
kadang kurang optimal.
218
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Dari segi guru, keterbatasan waktu yang digunakan untuk membantu siswa apabila
mengalami kesulitan dalam menyelesaiakan masalah, membuat bantuan yang diberikan kepada
siswa kurang merata. Oleh karena itu pemanfaatan tutor sebaya diperlukan untuk membantu
peran guru dalam membantu siswa yang mengalami kesulitan. Selain itu, kemampuan guru
dalam menysusn soal cerita juga menjadi permasalahan, karena tidak semua guru mempunyai
kemampuan yang baik dalam menyusun soal cerita. Kendala yang lain adalah implementasi
metode ini untuk kelas besar juga menjadi hambatan, karena pengelolaan kelas menjadi
permasalahan tersendiri. Sebaiknya, apabila ukuran kelas besar, lebih dari 25 siswa, maka
disarankan pembelajaran dilaksanakan oleh team teaching, sehingga pengelolaan kelas menjadi
optimal dan bantuan yang diberikan kepada siswa lebih optimal dan merata.
mengamati
pekerjaan siswa dalam kelompok dan mencoba menemukan pada tahap mana kesalahan
dilakukan siswa serta kemudian membantu siswa yang mengalami kesulitan tersebut. (vi)
Setelah kerja kelompok, dilanjutkan dengan diskusi kelas untuk mempresentasikan jawaban
dari masing-masing kelompok dan didiskusikan. Pada diskusi kelas guru dan kelompok
lainnya memberikan tanggapan terhadap hasil presentasi kelompok.(vii) Pada sesi akhir
pembelajaran, guru memberikan komentar dan kesimpulan tentang materi yang telah
dipelajari, menginformasikan materi yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya, dan
diakhiri dengan kuis.
219
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
5. Pustaka
Clements, M.A, (1980). Analyzing Children's Errors On Written Mathematical Tasks.
Educational Studies in Mathematics 11, hal. 1-21. Copyright 1980 by D. Reidel
Publishing Co., Dordreeht, Holland, and Boston, U.S.A.
Dasna, I.W (2008). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Classroom Action Research). Panitia
Sertifikasi Guru Rayon 15 Universitas Negeri Malang 2008.
Gooding, S (2009). Childrens Difficulties with Mathematical Word Problems. Proceedings of
the British Society for Research into Learning Mathematics 29, 3 November 2009
Muksar, M, dan Hasanah, D (2009). Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris dan Hasil
Belajar Matematika Dasar Mahasiswa Bilingual Melalui Penerapan Metode Analiisa
Kesalahan Newman. Laporan Penelitian IMHERE Project 2009.
Nemwan,
A
(1977),
Newman
Prompt,
dari
http://www.curriculumsupport.
education.nsw.gov.au/ secondary/mathematics/numeracy/newman/index.htm.
Pape, S.J (2004). Middle School Childrens Problem-Solving Behavior: A Cognitive Analysis
from a Reading Comprehension Perspective. Journal for Research in Mathematics
Education. National Council of Teachers of Mathematics.
Prakitipong, N and Nakamura, S (2006). Analysis of Mathematics Performance of Grade Five
Studentsin Thailand Using Newman Procedure., Journal of International Cooperation in
Education, Vol.9, No.1, hal. 111 122, CICE Hiroshima University
Segal, Watson, I (1980). Investigating errors of beginning Mathematicians. EducationalStudies
in Mathematics, 11, hal. 319-329. Copyright 1980 by D. Reidel Publishing Co.,
Dordrecht, Holland, and Boston, U.S.A.
White, A.L, (2005). Active Mathematics In Classrooms: Finding Out Why Children Make
Mistakes And Then Doing Something To Help Them. Square One, Vol 15, No 4, hal
15 19.
-, (2006), Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
220
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Sejalan dengan diberlakukannya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) di sekolah dasar
dan menengah, maka pembelajaran yang dilakukan di sekolah seharusnya mengalami
pembaharuan yang sesuai. Pembelajaran matematika juga harus mengalami perubahan dalam
strategi dan pendekatan pembelajarannya, dari paradigma mengajar menjadi paradigma belajar,
demikian pula proses asesmen yang dilakukan. Asesmen yang sesuai dengan KTSP adalah
asesmen autentik.
Para guru SMP/MTs. masih banyak yang mengalami kesulitan untuk mengembangkannya.
Untuk itu diperlukan buku pedoman guru untuk melaksanakan pembelajaran matematika yang
melibatkan proses asesmen autentik yang sesuai dengan KTSP, misalnya: asesmen kinerja,
projek (dan investigasi), asesmen diri dan penilaian tertulis.
Dalam penelitian ini dikembangkan buku pedoman guru tersebut dan diujicobakan kepada 2
(dua) orang guru matematika kelas VIII SMP Khadijah Surabaya. Pengembangan dilakukan
dengan menggunakan model pengembangan Plomp. Hasil uji coba tersebut dilakukan analisis
dengan menggunakan 3 (tiga) kriteria Nieven (kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan) terhadap
buku pedoman guru yang peneliti kembangkan. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh dapat
disimpulkan bahwa buku pedoman guru yang peneliti kembangkan telah memenuhi kriteria
valid, praktis dan efektif.
Kata-kata Kunci: Pedoman Guru, Asesmen Autentik
1. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Implementasi Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional
membawa implikasi terhadap model dan teknik penilaian yang dilaksanakan di kelas. Penilaian terdiri
atas penilaian eksternal dan penilaian internal. Penilaian eksternal merupakan penilaian yang dilakukan
oleh pihak lain yang tidak melaksanakan proses pembelajaran. Sedangkan penilaian internal adalah
penilaian yang direncanakan dan dilakukan oleh guru pada saat proses pembelajaran berlangsung.
Penilaian kelas merupakan bagian dari penilaian internal (internal assessment) untuk
mengetahui hasil belajar peserta didik terhadap penguasaan kompetensi yang diajarkan oleh guru.
Tujuannya adalah untuk menilai tingkat pencapaian kompetensi peserta didik yang dilaksanakan pada
saat pembelajaran berlangsung dan akhir pembelajaran.
Penilaian hasil belajar peserta didik dilakukan oleh guru untuk memantau proses, kemajuan,
perkembangan hasil belajar peserta didik sesuai dengan potensi yang dimiliki dan kemampuan yang
diharapkan secara berkesinambungan. Penilaian juga dapat memberikan umpan balik kepada guru agar
dapat menyempurnakan perencanaan dan proses pembelajaran.
Penyusunan perencanaan, pelaksanaan proses, dan penilaian merupakan rangkaian program
pendidikan yang utuh, dan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
221
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Untuk itu, perlu ada model penilaian yang dapat dijadikan sebagai salah satu acuan atau referensi oleh
guru dan penyelenggaranya di jenjang sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah.
Suyatno (2009) menyatakan bahwa untuk melaksanakan KTSP, guru sebaiknya menggunakan
penilaian kelas yang memandu keterlaksanaan pembelajaran di kelas.Authentik assessment menjadi
acuan dalam penilaian kelas, artinya penilaian yang dilakukan menggambarkan kemajuan belajar siswa
yang diperoleh di sepanjang proses pembelajaran. Oleh karena itu penilaian tidak hanya dilakukan pada
akhir periode tetapi dilakukan secara terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran, artinya kemajuan belajar
dinilai dari proses bukan semata-mata hasil. Penilaian (asesmen) tersebut diharapkan dilakukan dengan
menggunakan berbagai model atau teknik asesmen, dan menekankan kedalaman pengetahuan serta
keahlian, bukan keluasannya. Asesmen demikian biasanya disebut dengan asesmen autentik.
Asesmen autentik dapat dilakukan melalui langkah-langkah: perencanaan, penyusunan alat
asesmen, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar
siswa, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa. Dalam Model Penilaian Kelas
KTSP SMP/MTs dinyatakan bahwa asesmen autentik dapat dilaksanakan melalui 7 (tujuh) model, yaitu
penilaian kinerja, penilaian sikap, penilaian tertulis, penilaian projek, penilaian produk, penggunaan
portofolio, dan penilaian diri (Model Penilaian Kelas KTSP SMP/MTs, 2006: 8).
Dengan adanya pembaharuan proses pembelajaran yang sesuai dengan KTSP, maka seyogyanya
dalam pelaksanaan pembelajaran, guru perlu menggunakan model asesmen yang sesuai untuk mengukur
hasil belajar siswa, juga untuk mengetahui keefektifan proses pembelajaran yang dilakukan. Selain itu,
dalam melaksanakan asesmen seorang guru harus berusaha menyesuaikan antara tingkatan
tujuan/indikator pembelajaran, dan jenis pengetahuan yang dipelajari dengan butir asesmen asesmen yang
diberikan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan asesmen guru perlu memanfaatkan hasil revisi taksonomi
Bloom yangmemperlihatkan keterkaitan antara proses kognitifdan pengetahuanyang dipelajari.
Berdasarkan observasi kelas dan wawancara dengan guru matematika yang peneliti lakukan di
SMP Khadijah Surabaya pada Rabu, 13 Februari 2009, peneliti dapat menyatakan bahwa:
1.
Soal-soal yang disajikan guru masih bersifat soal rutin yang dapat diselesaikan dengan aturan/rumus
yang diberikan.
2.
Guru belum mengaitkan masalah matematika dengan masalah yang ada di lingkungan pondok
pesantren.
3.
Guru hanya melaksanakan penilaian tertulis untuk mengukur keberhasilan para siswanya.
4.
Guru belum melaksanakan kegiatan asesmen seperti yang dianjurkan KTSP, terutama dalam
mengembangkan dan melaksanakan asesmen autentik yang mengukur keterampilan proses siswa.
Dari kajian terhadap soal yang dibuat guru pada soal UAS tampak bahwa soal yang dibuat oleh
guru merupakan soal rutin yang mengukur hasil belajar saja (belum memperhatikan proses belajar) dan
tidak dikaitkan dengan masalah yang ada di lingkungan siswa yaitu pondok pesantren. Dengan demikian
asesmen yang dilakukan hanya mengukur sebagian kecil kemampuan siswa, dan hanya mengukur
222
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
kemampuan kognitif siswa terhadap informasi faktual saja. Alternatif asesmen yang dapat memperhatikan
partisipasi dan kemampuan siswa dalam proses belajar mengajar adalah asesmen autentik.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk dapat melaksanakan penelitian
dengan judul Pengembangan Pedoman Guru SMP/MTs untuk Mengembangkan Asesmen Autentik
dengan Memanfaatkan Hasil Revisi Taksonomi Bloom dalam Pembelajaran Matematika.
B.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pertanyaan penelitian ini adalah: Bagaimana proses
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan pedoman guru SMP untukmengembangkan
asesmenautentik dengan memanfaatkan hasil revisi taksonomi Bloom
dalam pembelajaran
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.
Memberikan panduan kepada guru matematika untuk melaksanakan asesmen autentik dalam
pembelajaran matematika.
3.
Memberikan pertimbangan kepada guru tentang perlu tidaknya penggunaan model asesmen
autentik tertentu pada topik matematika tertentu.
2. Kajian Pustaka
A.
(Educational Objevtive Taxonomy ) dari Bloom. yang biasa dikenal dengan Taksonomi Bloom.
Taksonomi ini mencakup domain kognitif dalam 6 buah tingkatan, yang biasa disimbulkan dengan C1, C2,
C3, C4, C5, dan C6.
Taksonomi tersebut direvisi oleh Anderson dkk.(2001). Klasifikasi hirarkhis itu masih
digunakan lagi dalam revisi taksonomi Bloom, sekalipun ada sedikit perbedaan. Hasil revisi tersebut
menunjukkan perubahan yang penting, yakni dalam revisi taksonomi itu digunakan dua dimensi yang
memperlihatkan keterkaitan antara proses kognitif (sebagai dimensi-1) dan pengetahuan (sebagai
dimensi-2).
223
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Dalam dimensi pertama, yaitu dimensi proses kognitif, terdapat 6 tingkatan yang serupa
dengan 6 tingkatan dari Bloom, tetapi ada perubahan pada tingkatan pertama (C1) yang pecah menjadi
dua dan memunculkan dimensi pengetahuan. Selain itu, terjadi perubahan pada C5 dan C6, yakni C5
menjadi evaluate atau mengevaluasi dan C6 menjadi create atau menciptakan
Dalam dimensi kedua, yaitu dimensi pengetahuan, terdapat 4 tingkatan yaitu: (1) pengetahuan faktual, (2)
pengetahuan konseptual, (3) pengetahuan prosedural, dan (4) pengetahuan metakognitif. Secara singkat
klasifikasi taksonomi Bloom dan hasil revisinya dapat disajikan sebagai berikut.
C1
C2
C3
C4
C5
C6
Pengetahuan
Pemahaman
Penerapan
Analisis
Sintesis
Evaluasi
Mengingat
Memahami
Menerapkan
Menganalisis
Mengevaluasi
Menciptakan
BARU
LAMA
Dimensi
Pengetahuan
Pengetahuan faktual
Pengetahuan konseptual
Pengetahuan prosedural
Pengetahuan metakognisi
Dimensi Proses
Kognitif
dengan kurikulum KTSP adalah asesmen autentik (authentic assessment). Menurut Suurtamm (2004:
507):
"Authentic assessment is an evaluation process that involves multiple forms of performance
measurement reflecting the student's learning, achievement, motivation, and attitudes on
instructionally-relevant activities. Examples of authentic assessment techniques include
performance assessment, portfolios, and self-assessment."
224
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
berkembang dan disinyalir memiliki banyak manfaat baik bagi guru maupun bagi siswa adalah asesmen
autentik. Asesmen autentik adalah asesmen yang mengukur unjuk kerja siswa dalam suatu tugas
kehidupan realistik, situasi yang relevan, atau masalah yang memiliki tujuan dan kegunaan yang jelas,
bermanfaat, bermakna, dan berarti.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dinyatakan bahwa asesmen autentik merupakan asesmen
belajar yang merujuk pada situasi atau konteks dunia nyata, yang memerlukan berbagai macam
pendekatan untuk memecahkan masalah yang memberikan kemungkinan bahwa satu masalah bisa
mempunyai lebih dari satu macam pemecahan. Dengan kata lain, asesmen autentik memonitor dan
mengukur kemampuan siswa dalam bermacam-macam kemungkinan pemecahan masalah yang dihadapi
dalam situasi atau konteks dunia nyata.
Pelaksanaan asesmen autentik tidak lagi menggunakan cara/teknik asesmen tradisional (multiplechoice, matching, true-false, dan paper and pencil test), tetapi menggunakan teknik yang memungkinkan
siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu kinerja dalam memecahkan suatu
masalah.
Menurut Suurtamm (2004: 507):
Authentic assessment in mathematics is difficult for a teacher create and grade, but if it is done
correctly with "real" problems from real situations, the student is motivated to think critically,
analyze, and solve problems. If a student is not giving their best effort during a "test" then the
test results have not measured the true ability of the student.
Asesmen autentik dalam matematika sulit dilaksanakan guru dalam menyusun/mengembangkan dan
menyekornya. Namun, jika asesmen autentik tersebut benar-benar dilaksanakan dengan masalah nyata
dari situasi yang nyata dari siswa, maka siswa akan termotivasi untuk berpikir kristis, menganalisis, dan
termotivasi dalam menyelesaikan masalah. Jika seorang siswa tidak memberikan usaha terbaiknya selama
tes, maka hasil tes tersebut belum mengukur kemampuan siswa yang sebenarnya.
225
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Dari pembahasan yang telah peneliti lakukan, peneliti menyatakan bahwa asesmen autentik
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang
perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan siswa melalui berbagai model/teknik yang
mampu mengungkapkan, membuktikan, atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan
kemampuan tertentu telah benar-benar dikuasai dan dicapai siswa.
C.
sesuai dengan KTSP, yaitu: (1) asesmen kinerja, (2) projek (dan investigasi), (3) portofolio, (4) asesmen
produk, (5) asesmen diri, dan (6) penilaian tertulis. Model-model asesmen tersebut diberikan untuk
melengkapi asesmen yang biasanya hanya menggunakan penilaian tertulis, yang umumnya hanya
memperhatikan hasil belajar siswa saja.Selanjutnya, dibahas lebih rinci beberapa model asesmen di
antaranya yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
investigasi), (3) asesmen diri, dan penilaian tertulis. Keempat model asesmen kelas tersebut merupakan
beberapa model asesmen autentik, kecuali penilaian tertulis dengan bentuk obyektif.
1.
siswa
tentang
konsep
kemampuan
untuk
memecahkan
masalah
dan
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
berkaitan dengan status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya. Teknik asesmen
diri dapat digunakan untuk mengukur kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor.
a.
Penilaian kompetensi afektif, misalnya, siswa dapat diminta untuk membuat tulisan yang memuat
curahan perasaannya terhadap suatu objek tertentu. Selanjutnya, siswa diminta untuk melakukan
penilaian berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan.
c.
kecakapan atau keterampilan yang telah dikuasainya berdasarkan kriteria atau acuan yang telah
disiapkan.
Penggunaan asesmen diri ini dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan
kepribadian siswa. Penggunaan asesmen diri ini juga memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
a.
dapat menumbuhkan rasa percaya diri siswa, karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai
dirinya sendiri;
b.
siswa menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya, karena ketika mereka melakukan penilaian, harus
melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya;
c.
dapat mendorong, membiasakan, dan melatih siswa untuk berbuat jujur, karena mereka dituntut
untuk jujur dan objektif dalam melakukan penilaian.
4. Penilaian tertulis
227
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Penilaian tertulis merupakan penilaiandengan soal yang diberikan kepada siswadan jawaban
yang diinginkan dalam bentuk tulisan. Ada dua bentuk soal untuk penilaian tertulis, yaitu obyektif dan
essay.
Penilaian tertulis bentuk obyektif merupakan penilaian yang dalam pemeriksaannya dapat
dilakukan secara obyektif.Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari penilaian
tertulis bentuk essay.Dari berbagai alat penilaian tertulis, untuk jenis memilih jawaban benar-salah,
menjodohkan dan melengkapi merupakan alat penilaian yang hanya menilai kemampuan berpikir rendah,
yaitu kemampuan mengingat (pengetahuan). Sedangkan jenis pilihan ganda dapat digunakan untuk
menilai kemampuan mengingat dan memahami dengan cakupan materi yang luas. Pilihan ganda
mempunyai kelemahan, yaitu siswa tidak mengembangkan sendiri jawabannya tetapi cenderung hanya
memilih jawaban yang benar dan jika siswa tidak mengetahui jawaban yang benar, maka siswa akan
menerka. Hal ini menimbulkan kecenderungan siswa tidak belajar untuk memahami pelajaran tetapi
menghafalkan soal dan jawabannya. Selain itu pilihan ganda kurang mampu memberikan informasi yang
cukup untuk dijadikan umpan balik guna mendiagnosis atau memodifikasi pengalaman belajar. Karena
itu, penilaian ini tidak cocok digunakan pada proses asesmen autentik dalam pembelajaran Matematika.
Oleh karena itu, sebaiknya penggunaan penilaian tertulis bentuk obyektif ini dihindari dalam pelaksanaan
proses asesmen autentik yang dilakukan.
a.
Essay
Penilaian tertulis bentuk essay merupakan penilaian yang menuntut siswa untuk mengingat,
memahami, dan mengorganisasikan gagasannya atau hal-hal yang sudah dipelajari. Siswa
mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis dengan
menggunakan kata-katanya sendiri. Penilaian ini dapat menilai berbagai jenis kompetensi, misalnya
mengemukakan pendapat, berpikir logis, dan menyimpulkan. Penilaian tertulis bentuk essay dibedakan
atas (a) essay obyektif dan (b) essay non obyektif.
Bentuk essay obyektif adalah soal essay yang memiliki sekumpulan jawaban dengan
rumusan yang pasti sehingga dapat dilakukan penskoran secara obyektif. Soal dengan bentuk seperti ini
merupakan soal essay dengan jawaban konvergen.Sedangakan bentuk essay non-obyektif adalah soal
essay yang menuntut siswa untuk memberikan jawaban berdasarkan pendapat, pikiran, atau pandangan
pribadinya.Soal dengan bentuk seperti ini merupakan soal essay dengan jawaban divergen.
Soal dalam bentuk essay non-obyektif sangat dianjurkan dibuat oleh guru dalam proses
asesmen autentik yang dilakukan dalam pembelajaran matematika, karena soal di atas menuntut siswa
untuk berpikir tingkat tinggi.
D.
menyusun model asesmen autentik dalam pembelajaran matematika di SMP yang memperhatikan dua
dimensi dari revisi taksonomi Bloom, yaitu: dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan.
Pengembangan buku pedoman guru dilakukan dengan mengikuti tahapan pengembangan sebagai hasil
modifikasi model pengembangan yang dikemukakan oleh Plomp (1997), yang disebut model umum
pemecahan masalah pendidikan (The general model of educational problem solving) yang terdiri atas
228
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
lima fase, yaitu: (1) Fase investigasi awal, (2) Fase Desain, (3) Fase Realisasi, (4) Fase Pengujian,
Evaluasi, dan Revisi, dan (5) Fase Implementasi
E.
memanfaatkan 2
dimensi hasil revisi taksonomi Bloom, yaitu: dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan, dan
memanfaatkan aspek lingkungan siswa (Pesantren) selama proses pembelajaran matematika. Secara garis
besar, isi buku pedoman guru berisi:
1.
Pendahuluan
2.
3.
b.
c.
d.
Penilaian Tertulis
4.
5.
6.
7.
8.
9.
F.
materi geometri untuk materi pokok bangun ruang sisi datar dengan standar kompetensi sebagai
berikut.
Memahami sifat-sifat kubus, balok, prisma, limas, dan bagian-bagiannya, serta menentukan
ukurannya.
Adapun kompetensi dasar (KD) yang dijabarkan dari standar kompetensi di atas adalah:
5.1.
Mengidentifikasi sifat-sifat kubus, balok, prisma dan limas serta bagian-bagiannya, serta
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
5.2.
Membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma dan limas, serta penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari.
5.3.
Menghitung luas permukaan dan volume kubus, balok, prisma dan limas, serta penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Kompetensi-kompetensi dasar tersebut dijabarkan menjadi beberapa indikator dengan alternatif model
asesmen yang digunakan sesuai Tabel 2 berikut.
Tabel 2: Kompetensi Dasar, Indikator, Model Asesmen dan waktu yang dibutuhkan
Kompetensi Dasar
229
Indikator
Model
Asesmen
Autentik
Waktu/
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Pertemuan ke
5.1
5.2
Membuat
jaring-jaring
3. Membuat jaring-jaring suatu bangun ruang Asesmen
kubus, balok,
Kinerja
(kubus, balok, prisma atau limas).
pris-ma
dan
Asesmen Diri
limas
4.
4 jam/2-3
dan
Menemukan rumus luas permukaan suatu Projek
Investigasi
bangun ruang (kubus, balok, prisma atau limas).
Asesmen Diri
2 jam/1
2 jam/4
Asesmen
Kinerja
Penilaian Tertulis
2 jam/5
Menghitung
luas permu-kaan 3. Menentukan alternatif ukuran suatu bangun Projek
dan
ruang sisi datar(kubus, balok, prisma atau limas)
Investigasi
dan
volume
yang diketahui luas permukaannya.
kubus,
balok,
ma, limas
dan
pris- 4. Menemukan rumus volume suatu bangun ruang Projek
Investigasi
(kubus, balok, prisma atau limas).
Asesmen Diri
jam/6
Asesmen Kinerja
5. Menghitung volume
suatu bangun ruang Penilian
(kubus, balok, prisma atau limas).
Tertulis
jam/7
dan
asesmen autentik dalam pembelajaran matematika untuk materi bangun ruang sisi datar dengan
pembuatan tabel taksonomi tujuan pembelajaran/indikator, kegiatan pembelajaran dan asesmennya.
230
Tabel 3: Penerapan Pengisian Pola Dua Dimensi dari Hasil Revisi Taksonomi Bloom
Dimensi Pengetahuan
A. Pengetahuan
In1, K1, As1
Faktual (Factual
Knowledge)
(Pert. ke 1)
3. Mengaplikasi-kan 4.
Menganalisis
5.Mengevaluasi
(Apply)
(Analyze)
(Evaluate)
6. Menciptakan
(Create)
(Pert. ke 5)
(Pert. ke 5)
(Pert. ke 2-3)*
(Pert. ke 7)
(Pert. ke 7)
(Pert. ke 6)
B. Pengetahuan
Konseptual
(Conceptual
Knowledge)
C. Pengetahuan
Prosedural
(Procedural
Knowledge)
D. Pengetahuan
In8, K8b, As8b
Metakognitif
(Metacognitive
(Pert. ke 7)
Knowledge)
Keterangan:
Ini = Indikator nomor i , Ki = Kegiatan nomor i , Asi = Asesmen nomor i
I4, K4a,,As4a
(Pert. ke 4)
In4, K4b, As4b
(Pert. ke 4)
231
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
3. Metode Penelitian
A.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk penelitian pengembangan (developmental research). Adapun yang
dikembangkan dalam penelitian ini adalah buku pedoman guru untuk mengembangkan asesmen autentik
matematikaberbasis lingkungan siswa dengan memanfaatkan dimensi proses kognitif dan dimensi
pengetahuan (2 dimensi hasil revisi taksonomi Bloom).
B.
Investigasi Awal
Pada fase ini, peneliti melakukan investigasi tentang segala hal yang berkaitan dengan asesmen
autentik matematika, dan lingkungan SMP Khadijah Surabaya,, menganalisis kurikulum yang berlaku
sekarang, yaitu KTSP, dan melakukan refleksi terhadap realitas yang ada di lapangan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para guru di SMP Khadijah Surabayamasih belum
melaksanakan asesmen autentik seperti yang dianjurkan dalam Model Penilaian Kelas KTSP
SMP/MTs., yang melibatkan asesmen proses dan hasil belajar siswa.
2.
Desain
Pada fase ini, peneliti melakukan beberapa kegiatan, yaitu:
a.
menetapkan teori-teori yang melandasi isi dan konstruksi pedoman guru untuk melaksanakan
asesmen autentik.
b.
merancang garis besar buku pedoman guru untuk melaksanakan asesmen autentik dalam
pembelajaran matematikayang memanfaatkan 2 dimensi hasil revisi taksonomi Bloom, yaitu:
dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan.
c.
merancang instrumen validitas, kepraktisan, dan keefektifan buku pedoman guru untuk
melaksanakan asesmen autentik dalam pembelajaran matematika
3.
Realisasi
Pada fase ini disusun secara rinci buku pedoman guru untuk melaksanakan asesmen autentik
dalam pembelajaran matematikayang memanfaatkan 2 dimensi hasil revisi taksonomi Bloom, disertai
contoh model asesmen autentik matematika beserta cara penilaiannya, khususnya dalam materi bangun
ruang sisi datar.
Pada fase ini, juga direalisasikan penyusunan instrumen-instrumen kevalidan, kepraktisan, dan
keefektifan yang telah dirancang pada Fase-2. Selanjutnya buku pedoman guru dan semua instrumen
yang telah disusun dinamakan draft (prototipe) 1.
4.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
a.
b.
Validasi prototipe 1oleh dua orang ahli. Prototipe 1 yang sudah direvisi siap digunakan, dan
disebut prototipe 2. Prototipe yang sudah memenuhi kriteria kevalidan siap digunakan, dan disebut
prototipe 2.
c.
Melaksanakan Pelatihan para guru matematika kelas VIII SMP Khadijah Surabayadengan
menggunakan Prototipe 2 dan dilanjutkan dengan workshop pengembangan model asesmen autentik
dalam pembelajaran matematika dengan topik bangun ruang sisi datar, yang disajikan secara
lengkap dalam RPP.
Pada saat pelatihan, kedua guru diberi informasi tentang asesmen autentik matematika, cara-cara
mengembangkan dan melaksanakannya, serta diberi contoh beberapa model asesmen autentik dalam
pembelajaran matematika untuk topik bangun ruang sisi datar tertentu, yang disajikan dalam bentuk
RPP.
d.
Kedua guru diminta mengisi angket respon guru, dan angket kesulitan guru.
e.
f.
Kegiatan tersebut di atas dilakukan untuk memperoleh prototipe final yang memenuhi kriteria valid,
praktis dan efektif.
5.
Implementasi
Karena penelitian ini merupakan penelitian pengembangan, maka fase ini tidak dilakukan.Namum,
peneliti mengharapkan bahwa buku pedoman guru untuk melaksanakan asesmen autentik dalam
pembelajaran matematika (prototipe final) telah dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran
matematikaSMP/MTs. selanjutnya, khususnya di SMP Khadijah Surabaya.
D. Pengumpulan Data
Sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah penulis rumuskan, maka pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa instrumen, yaitu: (1) lembar validasi isi dan
konstruk buku pedoman guru, (2) angket respon , (3) angket tentang kesulitan guru (4) soal tugas awal
dan akhir untuk guru, dan (5) lembar validasi instrumen.
E.Analisis Data
1.
Melakukan rekapitulasi hasil validasi kedua ahli ke dalam tabel, yang meliputi aspek, dan hasil
penilaian umum para validator.
b.
Menentukan rerata hasil validasi setiap aspek, dan rerata keseluruhan hasil validasi.
c.
Menentukan kategori validitas setiap aspek atau keseluruhan aspek dengan kategori validitas
yang ditetapkan, sebagai berikut.
3,5 M 4
233
sangat valid
valid
cukup valid
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
M < 1,5
tidak valid
Buku pedoman guru dikatakan memenuhi aspek validitas jika hasil validasi memenuhi kriteria
valid atau sangat valid.
2.
matematika yang memanfaatkan 2 dimensi hasil revisi taksonomi Bloom.Para guru dikatakan
tidak mempunyai kesulitan dalam menggunakan buku pedoman guru, jika minimal 50% guru
tidak memiliki kesulitan terhadap minimal 70% aspek yang ditanyakan.
3.
b.
respon guru terhadap buku pedoman guru.Kedua guru dikatakan memiliki respon positif, jika
minimal 50% guru memberikan respon positif terhadap minimal 70% aspek yang ditanyakan.
2.
3.
4.
5.
234
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
bersangkutan. Oleh karena itu, peneliti memandang perlunya dikembangkan buku pedoman guru
untuk melaksanakan asesmen autentik dalam pembelajaran Matematika di SMP Khadijah Surabaya,.
Karena dalam proses pembelajaran, guru perlu mengaitkan antara tujuan pembelajaran/indikator,
kegiatan pembelajaran dengan asesmen yang dilakukan, maka peneliti merencanakan kegiatan
pengembangan buku pedoman guru untuk melaksanakan asesmen autentiktersebut dilakukan dengan
memanfaatkan hasil revisi taksonomi Bloom dalam pembelajaran Matematika di SMP Khadijah
Surabaya.
2. Fase 2: Desain (Design)
Pada fase ini, dihasilkan rancangan garis besar buku pedoman guru untuk melaksanakan asesmen
autentikuntuk pembelajaran Matematika, yang berisikan beberapa hal yang berkaitan dengan
asesmen autentik, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
berupa: lembar validasi isi dan konstruk buku pedoman guru, lembar angket respon guru, lembar
angket kesulitan guru, serta lembar validasi seluruh instrumen.
3.
hasil pengembangan
235
Hasil Validasi
Kesimpulan
V1
V2
V1
V2
Instrumen 1
Valid
Valid
DS
DS
Instrumen 2
Valid
Valid
DS
DS
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Instrumen 3
Valid
Valid
DS
DS
Instrumen 4
Valid
Valid
DS
DS
Instrumen 5
Valid
Valid
DS
DS
Instrumen 6
Valid
Valid
DS
DS
Instrumen 7
Valid
Valid
DS
DS
Instrumen 8
Valid
Valid
DS
DS
Keterangan:
V1 : Validator 1, V2: Validator 2
DS : Dapat digunakan dengan sedikit revisi
Berdasarkan Tabel 4.1 tersebut dapat dinyatakan bahwa semua instrumen yang peneliti
gunakan dinyatakan valid dan dapat digunakan dengan revisi kecil.
b.
Pada fase ini dipertimbangkan kualitas perangkat pembelajaran yang dikembangkan untuk
selanjutnya dibuat keputusan yang didasarkan pada hasil pertimbangan yang matang. Untuk
itu, pada fase ini buku pedoman guru untuk melaksanakan asesmen autentik dilakukan validasi
oleh dua orang ahli (dua orang dosen Matematika).
Adapun hasil validasi (konstruk dan isi) oleh validator dapat disajikan masing-masing sebagai
berikut.
Tabel 4.2: Hasil Validitas konstruk
Skor
No
hasil
Rata- Ratarata
validasi tiap
A. Format Buku Pedoman Guru:
a. Menggunakan
arahan/petunjuk
V1 V2
yang
jelas
sehingga
tidak
aspek han
4 4 4
4 4 4
isinya.
2.
3,915
4 4 4
4 3 3,5
4 4 4
3,83
4.
236
keseluru
4 4 4
rata
4 3 3,5
4 4 4 3,83
4 4 4
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
a.
b.
c.
5.
4 4 4
4 4 4
V V Valid
Dapat
6.
digunakan
DSDS dengan
sedikit
revisi
Keterangan:
V1: Hasil Penilaian Validator 1
V2: Hasil Penilaian Validator 2
: Rata-rata hasil Penilaian kedua Validator
Pada kolom komentar atau saran, validator 2 menyatakan:I am wondering if your
participant teachers have time and willingness to read this book. If you really want them to read it,
it might be useful for you to prepare a worksheet, asking about the content of the book, or
facilitating them to use learning strategies (underlying, summarizing, and so on).
Dari Tabel 4.2 dapat dinyatakan bahwa buku pedoman guru memenuhi kriteria validitas
konstruk, dan dapat digunakan dengan sedikit revisi.
Tabel 4.3: Hasil Validasi Isi
No
Skor
validasi
V1 V2
rata
rata
tiap
keselu
aspek -ruhan
1.
4,5
4,5
4,25
2.
b.
c.
237
dalam
melaksanakan
asesmen
autentik
dalam
4,042
4
3,5 3,833
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
pembelajaran matematika.
d. Materi buku pedoman guru memotivasi guru matematika untuk
meningkatkan kualitas proses asesmen autentik yang dilakukan.
e.
f.
3,5
3,5
3,5
l.
3,5
j.
3.
Valid
Dapat
4.
digunakan
DS DS dengan
revisi
Keterangan:
V1 : Skor dari Validator 1, V2 : Skor dari Validator 2
: Rata-rata skor dari kedua validator
V
Pada kolom komentar /saran, Validator 1 memberikan saran, yaitu (1) dalam pembuatan
contoh rubrik penskoran (analitik dan holistik)dan kartu penilaian, hendaknya disamakan komponen
penilaian yang digunakan, (2) hendaknya ditambahkan contoh asesmen diri untuk aspek afektif dan
psikomotor.
238
sedikit
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Dari Tabel 4.2 dapat dinyatakan bahwa buku pedoman guru memenuhi kriteria validitas
isi, dan dapat digunakan dengan sedikit revisi.
Pada fase ini, setelah buku pedoman guru dilakukan revisi seperlunya berdasarkan masukan
dari validator dan dinyatakan valid oleh validator serta dapat digunakan (yang selanjutnya disebut
Prototipe 2), maka peneliti melaksanakan Pelatihan pada guru matematika kelas VIII SMP
Khadijah Surabayadengan menggunakan Prototipe 2 tersebut dan dilanjutkan dengan workshop
pengembangan model asesmen autentik dalam pembelajaran matematika dengan topik bangun ruang
sisi datar.
Pada saat pelatihan, kedua guru diberi informasi tentang asesmen autentik matematika,
cara-cara mengembangkan dan melaksanakannya, diberi contoh beberapa model asesmen autentik
dalam pembelajaran matematika untuk topik bangun ruang sisi datar tertentu, serta diberikan contoh
pengembangan RPP untuk topik bangun ruang sisi datar tertentu.
g.
Pada fase ini juga dilakukan analisis terhadap hasil pengembangan model asesmen autentik untuk
pembelajaranmatematika yang disusun para guru, yang disajikan secara lengkap dalam satu RPP.
Analisis dilakukan dengan membandinglan hasil pengembangan guru sebelum pelatihan dan
sesudah pelatihan menggunakan buku pedoman guru. Adapun hasil pengembangan RPP oleh kedua
guru tersebut dapat dinyatakan dalam Tabel 4.3 berikut.
Sesudah
Hasil Pengem-
Pelatihan
Pelatihan
G1
G2
G1
G2
G1
G2
bangan
tujuan pembelajaran
2. kesesuaian soal dalam tugas asesmen autentik
dengan alternatif jawaban
3. kesesuaian soal dalam tugas asesmen autentik
dengan rubrik penskoran/kartu penilaian
4. ada tidaknya pemanfaatan lingkungan siswa dalam
permasalahan asesman autentik
5. Tugas asesmen autentik yang dibuat bersifat open
ended atau tidak.
6. Memanfaatkan hasil revisi taksonomi Bloom dalam
mengembangkan RPP
7. Kesesuaian tujuan pembelajaran dengan kegiatan
pembelajaran yang direncanakan
8. Kesesuaian kegiatan pembelajaran dengan butir
asesmen yang dikembangkan
9. kesesuaian soal dalam tugas asesmen autentik
dengan penentuan tingkatan kemampuan dalam
239
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
taksonomi Bloom
Persentase peningkatanhasil pengembangan guru (%)
55,6
66,7
Keterangan:
G1: Guru 1,
G2 :Guru 2
: ya/sesuai,
+ : ada peningkatan =
: tidak/tidak sesuai,
Dari Tabel 4.3 di atas dapat dinyatatakan bahwa hasil pengembangan model asesmen autentik yang
dikembangkan oleh kedua guru
h.
, )
kesulitan guru. Hasil pengisian angket respon guru disajikan pada Tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4
Hasil Angket Respon Guru
No.
Uraian
PG1PG2 S1
Kate
S2
gori
3,5
membuat
saya
jadi
bingung
dalam
melaksanakan TS S
2,5
3,5
TS 2
pembelajaran matematika.*)
Buku
4.
pedoman
melaksanakan
guru
asesmen
memberikan
autentik
petunjuk
dalam
untuk
pembelajaran SS S
matematika
Buku pedoman guru menyulitkan saya dalam menyusun
5.
6.
pembelajaran matematika.
Saya mengalami kesulitan dalam menggunakan pedoman
7.
guru
untuk
melaksanakan
pembelajaran
matematika TS S
2.5
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
No.
Uraian
PG1PG2 S1
Kate
S2
gori
SS
3,5
2,5
2,5
3,5
11.
pembelajaran
matematika
yang
melibatkan
asesmen
autentik.
Buku pedoman guru membuat saya sulit mengelola waktu
12.
14.
matematika. *)
Buku pedoman guru memudahkan saya menyusun RPP yang
15.
TS 3
2,5
17.
18.
88,89%
+ : Respon positif
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dinyatakan bahwa respon guru terhadap buku pedoman guru
untuk melaksanakan asesmen autentik bersifat positif, dengan persentase 88,89% (lebih dari 70%).
Sedangkan hasil angket kesulitan guru dapat dinyatakan dalam Tabel 4.5 sebagai berikut.
Tabel 4.5: Hasil angket kesulitan guru
No.
Kesulitan Guru
Hasil angket
G1
G2
1.
Tidak
Tidak
2.
Tidak
Ya
3.
Tidak
Tidak
4.
Ya
Tidak
5.
Tidak
Tidak
6.
Ya
Tidak
7.
Tidak
Tidak
8.
Ya
asesmen autentik.
9.
pengelolaan kelas.
Tidak
Tidak
10.
Tidak
Ya
Persentase jawaban Ya
20%
25%
30%
Dari Tabel 4.5 dapat dinyatakan bahwa guru mengalami kesulitan sebesar 25% (kurang dari 50%).
Dari hasil angket tersbut, kedua guru juga menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika guru
1 (Pria) merasakan bahwa (1) siswa lebih giat untuk belajar, (2) siswa lebih aktif berdiskusi dengan
temannya, dan (3) guru lebih rajin dalam menyiapkan proses pembelajaran matematika.
Sementara itu, guru 2 (Wanita) merasakan bahwa (1) guru lebih tertantang untuk lebih mengaktifkan
siswa, (2) waktu sering tersisa untuk menyiapkan tugas dan memeriksa hasil tugas, (3) siswa lebih
aktif berdiskusi dengan temannya, (4) guru lebih rajin dalam menyiapkan proses pembelajaran
matematika.
5.
5. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang telah peneliti sajikan sebelumnya, peneliti dapat menyimpulkan
beberapa hal sebagai berikut.
1.
Proses yang digunakan untuk mengembangkan buku pedoman guru untuk melaksanakan asesmen
autentik pada penelitian ini adalah denganmodel pengembangan yang dikemukakan oleh Plomp
yang terdiri atas lima fase, yaitu:
a.
242
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2.
b.
c.
d.
e.
Pedoman guru untuk melaksanakan asesmen autentik dalam pembelajaran matematika di SMP/MTs
memenuhi kriteria validitas isi dan (2) validitas konstruk berdasarkan hasil validasi oleh kedua
orang ahli.
3.
Pedoman guru untuk melaksanakan asesmen autentik dalam pembelajaran matematika di SMP/MTs
memenuhi kriteria kepraktisan, karena:
a.
didasarkan simpulan dua orang ahli yang menyatakan bahwa pedoman guru tersebut dapat
digunakan dengan sedikit revisi.
b.
kesulitan guru untuk melaksanakan asesmnen autentik dalam pembelajaran matematika sebesar
25% (kurang dari 50%).
4. Pedoman guru untuk melaksanakan asesmen autentik dalam pembelajaran matematika di SMP/MTs
memenuhi kriteria keefektifan, karena:
a.
hasil penyusunsn model asesmen autentik yang dibuat guru sesudah menggunakan buku
pedoman gurulebih baik daripada sebelum menggunakan pedoman guru, dengan persentase
sebesar 61, 15% (lebih dari 50%).
b.
respon guru terhadap buku pedoman guru untuk melaksanakan asesmen autentik dalam
pembelajaran matematika bersifat positif dengan persentase sebesar 88,89% (lebih dari 50%).
6. Pustaka
Aiken, L. 1997. Psychology testing and assessment (9th Edition). USA: Alyn and Bacon.
Anderson, O.W. & Krathwohl, D.R., 2001.A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing (A
Revision of Blooms Taxonomy of Educational Objectives). New York: Addision Wesley
Longman, Inc.
Archbald and Newmann.1988. Using Assessment To Improve Student Learning. Journal of Statistics
Education v.2, n.1.Diakses dari http://www.amstat.org/publications/jse/v2n1/garfield.html pada
tanggal 1 Juni 2009.
Arends, Richard I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mc. Grow-Hill Companies,
Inc.
Depdiknas, 2003, Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Dasar dan
Menengah, Jakarta: Depdiknas.
Eyford, H., 1993. Relevan Education: The cultural dimensions. Papua New Guinea Journal of Educatioan,
29(1), 9-19, Diakses dari: www.mcpfe.org/files/u1/vienna_resolution_v3.pdf pada tanggal 25
April 2009.
Jon
Mueller.
2008.
What
is
Authentic
Assessment?,
Diakses
dari:
http://jonathan.mueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/whatisit.htm.pada tanggal 1 November 2009.
Kerrie Gregory, 2001. Authentic assessment for mathematical achievement.ACE PapersIssue 11,
November 2001, Student Edition.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMP/MTs., 2006.Model Penilaian Kelas, Jakarta: Pusat
Kurikulum.
Lim, Luis dan Colgan, Lynda. 2005. Implementing Multiple Assessment in Mathematics (An Action
Research Study of One Teacher and His Students). The Ontario Action Researcher.Nipissing
University.Diakses dari www.nipissingu.ca/oar/PDFS/V713.pdfpada tanggal 5 April 2009.
Nidhi Khattri, Michael B. Kane, and Alison L. Reeve. 1995. How Performance Assessment Affect
Teaching and Learning. Research Report. Productive Ude of Time and Space, Pages 80-83,
Volume 53, Number 3. Diakses dari: www.uthm.edu.my/pdp/pdp07bi/committee_assess.html pada
tanggal 20 Mei 2009.
243
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Nieveen, Nienke. 1999. Prototyping to Reach Product Quality. In Jan Van den Akker, R.M. Branch, K.
Gustafson, N. Nieveen, & Tj. Design Approach in Tools in Education and Training. 125-135.
Dordrecht, The Nederlands: Kluwer Academic Publishers.
Nur, Mohamad. 2002. Makalah Karakteristik Tes Autentik. UNESA
____________. 2008a. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah.Pusat Sains dan Matematika Sekolah
Unesa.
____________. 2008b. Hasil Penelitian Pendidikan MIPA.Makalah yang dipresentasikan dalam Seminar
Nasional FMIPA UNESA pada Tanggal 29 Nopember 2008.
Rahaju, Endah Budi. dkk., 2007. Evaluasi Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.
Rosidin, Undang. 2007. Model Penilaian Otentik dalam Pembelajaran IPA Materi Fisika
Sekolah Menengah Pertama. Disertasi. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Negeri
Yogyakarta.
Diakses
dari
http://pps.uny.ac.id/index.php?pilih=pustaka&mod=yes&aksi=lihat&id=29 pada tanggal 30 Mei
2009.
Parke, Carol S., 2002. Mathematics Performance Assessment Discovering Why Some Items or Rubrics
Dont Measure Up, West Virginia University: Volume 25, Number 1, ISSN 1084-8959. Diakses
dari: www.ed.gov/rschstat/research/progs/mathscience/descriptions/nmsa.docpada tanggal pada
20-5-2009.
Plomp, Tjeerd., 1997. Educational and Training System Design. Enschede. The Netherlands: University
of Twente.
Suurtamm, Christine A. "Developing Authentic Assessment: Case Studies of Secondary School
Mathematics Teacher's Experiences." Canadian Journal of Science, Mathematics & Technology
Education. 4.4 (2004): 497-513.
Ott, Jack. 1994. Alternative Assessment In Mathematics Classroom. New York: Glencoe/Mc
Graw-Hill.
Ott, Jack. 2001. Performance Assessment In The Mathematics Classroom. New York: Glencoe/Mc
Graw-Hill.
Wellman, H., 1985. The Origins of Metacognition. In D.L.Forrest-Pressley, G.E.MacKinnon, and T.G.
Waller (eds.), Metacognition, Cognition, and Human Performance, volume 1 Theoretical
Perspectives, chapter 1. Academic Press, Inc.
244
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
nenden.shanty@sampoernaeducation.ac.id
Abstract
This study aimed at investigating the development of students learning multiplication fractions
with natural numbers through different levels. Design research was chosen to achieve this
research goal. In design research, the Hypothetical Learning Trajectory (HLT) plays important
role as a design and research instrument. It was designed in the phase of preliminary design and
tested to thirty-seven grade five primary school students (i.e. SDN 179 Palembang). The result
of the experiments showed that length measurement activity could stimulate students informal
knowledge of partitioning in order to produce fractions. Furthermore, strategies and tools used
by the students in partitioning gradually be developed into a more formal mathematics in which
the representation of yarn be used as the model of measuring situation. The representation of
yarn which then called the number line could bring the students to the last activity levels,
namely on the way to rules for multiplying fractions with natural numbers, and became the
model for more formal reasoning. Based on these findings, it can be concluded that students
learning multiplication of fractions with natural numbers in which the learning process become
a more progressive learning developed through different levels.
Keywords: fractions, length measurement, Hypothetical Learning Trajectory, model of,
model for.
1. Introduction
Many educators and researchers confirm the problems which students encounter in learning
fractions, especially when fractions and fractions operations are not firmly connected to concrete
experiences or significant situations (Streefland, 1991, Keijzer, 2003). Behr et al. (1983) attempt
to seek the cause of students difficulties in learning fractions in the necessary transition from
concrete experiences to formal reasoning, in the representation model of fractions, and in
fractions operation (addition, subtraction, multiplication, and division of fractions).
Concerning to multiplication by fractions, in Indonesia, most of the students are required to
master the procedures and algorithms. They just need to memorize formulas and tricks in
calculation to solve the problems. However, we do not know whether the students know and
understand the meaning of the procedures and algorithms lay behind it. Furthermore, in
counting principles, the product of multiplying natural numbers is larger than the factor. On the
other hand, in multiplying fractions, the product may either be higher or lower than the factors.
The fact that multiplication by fractions does not increase the value of the product might
confuse those who remember the definition of multiplication presented earlier for natural
numbers.
Considering the aforementioned issues, it seems to be necessary to remodel mathematics
teaching and learning in which the students could gain more insight about multiplying fractions,
245
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Theoretical Framework
2.1. Multiplication by Fractions
In the late 80s, Streefland (1991) developed a new curriculum on fractions. He emphasized the
necessity of confronting students with meaningful situations in order to force them to generating
their own fractions and language for fractions. He then suggested the five activity levels in
learning fractions operation, namely producing fractions, generating equivalencies, operating
through mediating quantity, doing ones own productions and on the way to rules for the
operations with fractions.
The first activity level is producing fractions. The activities here are concentrated in providing
contexts at the concrete level. In order to solve all the problems, fractions material is produced
by means of estimation and varied distribution. Divergent contexts and processes are explored
which could produce fractions, such as fair sharing, division, measurement (length), making
mixtures, combining and applying recipes.
The second activity level is generating equivalencies. After students has experienced with
notating fractions of their own fractions production, the learning process will continue to
generate equivalencies as students are asked to determine fractions in the same position.
Equivalencies occur when the distribution problem is given, for instance, the case of
partitioning a certain length into eight parts.
The third activity level is operating through mediating quantity. To lead to the idea of fractions
as operator, we can involve the length to a given unit. The fraction which at the first is described
as part of a whole relationship now become a fraction in an operator. Based on Fosnot and Dolk
(2002), this concept is important because it will connect to the idea of double number line.
The fourth activity level is doing ones own productions. At this moment, we cannot put high
expectation that the students will come up with their own production. Therefore, questions
which can provoke them are needed at this level. Multiplication strategies for fractions can be
8
246
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
built upon this equivalence. At this moment, students can also explore multiplication fractions
as repeated addition.
And, the last activity level is on the way to rules for the operations with fractions. Within mini
lesson which include fractions as multipliers, the students reflect on the rules for the
multiplication by fractions operations which may be in force here. The transition to more formal
fractions is preceded by stimulating students to contribute their own informal ways of working.
2.2. Realistic Mathematics Education (RME)
There are five tenets in Realistic Mathematics Education (Treffers, 1991). The descriptions are
as follows.
1. The use of contextual problems.
The mathematical activity is not started from a formal level as students usually face with, but
from a situation that is experientially real for students. Consequently, this study used the
running race route as the context in which the students could act and reason to the given
problems.
2. The use of models or bridging by vertical instruments.
Students informal knowledge as a result of students experience in making partitioning using
tools (i.e., yarn) needed to be developed into formal knowledge of fractions which would lead to
the idea of equivalent fractions. The use of string of yarn here was as a bridge to the number line
model which was in more abstract level.
3. The use of students own creations and contributions.
The biggest contributions to the learning process are coming from student's own constructions
which lead them from their own informal to the more standard formal methods. Students
strategies and solutions can be used to develop the next learning process. The use of string of
yarn served as the base of the emergence model of number line.
4. The interactive character of the teaching process or interactivity.
The explicit negotiation, intervention, discussion, cooperation and evaluation among students
and teachers are essential elements in a constructive learning process in which the students
informal strategies are used to attain the formal ones. Through discussions about running race
problems in each day which were designed in continuity story, students could communicate
their works and thoughts in the social interaction emerging in the classroom.
5. The intertwining of various mathematics strands or units.
From the beginning of the learning process, the learning activities of fractions are intertwined
with proportion. This means that explanation of the unifying relationship between, for instance,
equivalent fractions and proportion was not kept until the very end of the learning process.
3. Research Methodology
247
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
The type of research that we used was design research (Gravemeijer & Cobb, 2004). Design
research consists of three phases, namely developing a preliminary design, conducting pilot and
teaching experiments, and carrying out a retrospective analysis (Gravemeijer, 2004; Bakker,
2004).
In this study, we designed Hypothetical Learning Trajectory (HLT) as a design and research
instrument. Thirty-seven students (i.e., 5 students in the pilot experiment and 32 students in the
teaching experiment) and a teacher of grade five in an Indonesian primary school in Palembang
Indonesia, SDN 179 Palembang, were involved in this research. The data collected in this
research were interviews with the teacher and the students, classroom observations including
field notes, and students works. After we collected all data, we analyzed these data in the
retrospective analysis. Finally, we made conclusions based on the retrospective analysis.
248
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Fractions could be produced when the students were asked to notate the result of partitioning. In
the activity of notating fractions, students came to the idea of an eighth as one part of eight parts
when the teacher posed question: if this yarn divided into eight parts, what fraction each
part?. The students then were asked to give fractions notation to each portioned part. Some
students used unit fractions (e.g., 1 , 1 , 1 , 1 , 1 , 1 , 1 , 1 ) and others used non unit fractions
8 8 8 8 8 8 8 8
8 8
8 8 8
had already learnt fractions in grade 3. However, the differences of students answers about unit
and non-unit fractions would be realized by the students that they would need non-unit fractions
to grasp the next level, namely generating equivalencies.
4.2. Generating Equivalencies
To generate equivalencies, number line was required as a model. The idea of number line
appeared when the students were asked to draw the representation of yarn. Due to the form of
yarn which is thin, it led the students to draw a line as representation of a string of yarn. This
line later named as number line. Connected to the second tenet of RME, namely the use of
models or bridging by vertical instruments, the use of string of yarn here served as the base of
the emergence model of number line. The number line became the model of measuring situation.
From students drawing of number line as a representation of yarn, it was found there were two
pairs of fractions which were in the same position, namely 3 with 4 and 6 with 8 . The idea of
6
simplifying fractions was used. At this phase, the students developed their multiplicative
reasoning of fractions through equivalent fractions.
Moreover, the number line also led the students in learning multiplication of fractions when
they were asked to find the relation between fractions. By discussing the use of the word
jumps in the math congress 1, the students came to the idea of multiplication of fractions as
repeated addition of fractions. For instance, through the problem of finding the relation between
1 -jumps and 5 on the number line, students could see that there were five jumps of 1 -jumps
8
8
8
from zero point to 5 . Then they related this with the definition of multiplication as repeated
8
249
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
informally use fractions as multipliers. Problem in this activity still related to the story in the
first activity.
After all flags and water posts are in its position, Ari and Bimo start their training. They know
the track length from Palembang Indah Mall to Palembang municipality office is 6 kilometers.
After running for a while, Bimo decides to stop because he is exhausted. He stop at the fifth
flag. Ari also decides to stop at the fourth water post. How many kilometers have Bimo and
Ari run? Explain your answer!
Through this problem, the students came to the idea of multiplication of fractions by natural
numbers when they were asked to find 5 of 6 kilometers and 4 of 6 kilometers. For instance,
8
addition of fractions appeared when the students added the length of 1 which was 3 kilometers
8
as many as five times because it took five jumps from zero point to 5 . Then it was written into a
8
the students then related it with the idea of multiplication natural numbers by fractions which
then was written as 5 3 .
4
It was found that there were two strategies. The first strategy used double number line which
later they came to the the result 12 which described again as repeated addition of 3 four times,
3
or can be written as 3 3 3 3 . Second strategy used the idea of jumps which then led them
3
3 3
After comparing two strategies, the students then realized that by using different strategies, it
produced the same result. This fact gave impact to the students to choose a more efficient way
to solve problem involving multiplication of fractions by natural numbers.
4.5. On the Way to Rules for Multiplication of Fractions with Natural Numbers
In the formal, level students reasoning with conventional symbolizations started to be
independent from the support of models for mathematical activity. The last level of emergent
250
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
modeling, the formal level, the focus of discussion move to more specific characteristics of
models related to the concept of equivalent of fractions and multiplication fractions with natural
numbers.
Throughout mini lesson which included fractions as operator, the students reflected on the rule
for the multiplication fractions with natural numbers. However, this activity level had not reach
the level of generalizing rules for multiplication of fractions with natural numbers. As stated in
the title of this level, on the way, the students were still on the process leading to generalizing
rules. Therefore, they need more practices in solving problems related to multiplication of
fractions with natural numbers.
5. Conclusion
In conclusion, this research has shown students progress in learning multiplication fractions
with natural numbers through different levels. In this research, some ideas and concepts from
RME theory has underpinned the design of activities. The context used was about length
measurement activity and we found that this is a good context that has allowed students to
structure and to mathematize following different levels.
Besides, some activities used in this research could be developed to reach other mathematical
topics by intertwining with other mathematics topics. Another mathematics topic that is taught
in grade five is about proportion. We found the close relation between proportions and fractions
during the learning process. Therefore, the suggestion for further research is about proportion.
6. References
A. Bakker. (2004). Design Research in Statistics Education: On Symbolizing and Computer
Tools. Utrecht: CD- Press, pp. 38-39.
Behr et al. (1983). Acquisition of Mathematical Concepts and Processes. New York/London:
Academic Press, 91-126.
Fosnot, C.T & Dolk, M. (2002). Young Mathematicians at Work. Portsmouth: Heinemann.
Gravemeijer, K. (1994). Developing Realistic Mathematics Education Research Group on
Mathematics Education. Utrecht: CD Press.
Gravemeijer, K & Cobb, P. (2004). Educational Design Research: Design Research from a
Learning Design Perspective (pp. 45-85). UK: Routledge.
Keijzer, R. (2003). Teaching Formal Mathematics in Primary Education. Utrecht: Freudenthal
Institute.
Streefland, L. (1991). Fractions in realistic mathematics education. Dordrecht, the Netherlands:
Kluwer Academic Publishing.
251
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Masalah open-start adalah masalah yang dapat diselesaikan dengan cara bervariasi tetpi
mempunyai satu penyelesaian. Masalah yang diberikan adalah masalah dalam matematika.
Dalam menyelesaikannya, siswa dapat menggunakan berbagai cara algoritma penyelesaian yang
sesuai yang sudah diberikan guru sebelumnya.
Aplikasi pemberian masalah open-start ini dilakukan di kelas 9B SMP Negeri 6 Sidoarjo tahun
pelajaran 2010-2011 pada materi Aljabar dan Bangun Datar yang diberikan di semester 1. Hasil
aplikasi ini menunjukkan bahwa hanya lima siswa (13,9%) yang mampu menyelesaikan
masalah open-start dengan baik. Sedangkan sisanya kurang atau tidak baik dalan
menyelesaikan masalah ini. Hal ini mungkin disebabkan siswa tidak terbiasa
menyelesaikan soal pemecahan masalah. Dalam pembelajaran, guru hanya sering
memberikan soal-soal rutin. Jika masalah open-start rutin diberikan dalam
pembelajaran, maka pemberian masalah open-start diharapkan menjadi sarana melatih
siswa untuk berpikir kreatif. Karena tidak semua siswa dapat menyelesaikan masalah
open-start (mungkin disebabkan oleh siswa belum memahami materi atau tidak
mempunyai algoritma penyelesaian), sehingga perlu bimbingan dari guru.
Kata kunci: masalah open-start
1. Pendahuluan
Salah satu kemampuan yang diberikan dalam pembelajaran matematika adalah kemampuan
menyelesaikan pemecahan masalah. Merujuk pada artikel yang ditulis Monaghan, dkk (2009),
salah satu tipe soal pemecahan masalah yaitu masalah open-start. Dalam masalah open-start,
seseorang dapat menyelesaikan sebuah soal pemecahan masalah dengan cara yang bervariasi,
tetapi tetap mempunyai satu jawaban yang benar. Monaghan, dkk (2009) berargumen bahwa
penggunaan masalah-masalah open-start dapat berpengaruh terhadap proses pembelajaran di
kelas, termasuk dalam penilaian.
Menurut Siswono (2008:34), masalah dapat diartikan sebagai situasi atau pertanyaan yang
dihadapi seseorang atau kelompok ketika mereka tidak mempunyai aturan, algoritma/prosedur
tertentu atau hukum yang segera dapat digunakan untuk menentukan jawabannya. Sedangkan
pemecahan masalah adalah suatu proses atau upaya individu untuk merespon atau mengatasi
halangan atau kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban belum tampak jelas (Siswono,
2008:35).
Perhatikan gambar di bawah ini. Yang diminta adalah menentukan luasnya.
Bentuk di bawah ini terdiri dari persegi dan segitiga.
252
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Empat dari bentuk ini ditempatkan dalam suatu persegi panjang berikut:
28 cm
19 cm
Jika gambar di atas diberikan kepada beberapa orang, mungkin respon dari orang tersebut
berbeda-beda, misal:
Soal itu mudah, saya akan menggunakan dengan cara seperti ini, ....
Jika dikaitkan dengan defenisi masalah di atas, maka sebuah soal atau pertanyaan dapat menjadi
masalah bagi seseorang, tetapi dapat juga tidak menjadi masalah bagi orang lain. Sehingga,
masalah itu merupakan hal yang pribadi atau individual.
Polya (1973) menuliskan bahwa untuk menyelesaikan pemecahan masalah terdiri dari 4
langkah, yaitu:
1.
Memahami masalah. Untuk memahami masalah dapat ditunjukkan dari jawabanjawaban pertanyaan seperti:
Data apa yang diketahui pada masalah itu?
Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi? Apakah semua sudah ada?
Cobalah tuliskan kembali masalah itu dengan kalimat sendiri!
Apa yang ditanyakan?
2.
253
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
4.
Memeriksa kembali. Untuk mengetahui hal ini dapat ditunjukkan dari jawaban-jawaban
pertanyaan seperti:
Kesimpulan apa yang dapat diambil dari penyelesaian masalah itu?
Apakah jawaban yang diperoleh sudah dikembalikan lagi ke masalah itu?
Apakah penyelesaian yang dilakukan telah dicek kembali?
Adakah cara lain untuk menyelesaikannya?
2. Masalah Open-Start
Menurut Monaghan, dkk (2009) istilah open-start mengacu pada fakta bahwa seseorang
kadang-kadang menyelesaikan sebuah masalah dengan cara bervariasi. Perhatikan kembali
gambar1 dan gambar 2 pada halaman sebelumnya. Masalah pada gambar itu dapat didekati
dengan beberapa cara antara lain:
1. Secara aljabar:
Misal: sisi persegi = x cm
Tinggi segitiga = y cm
Diperoleh: panjang persegi panjang: 2x + 2y = 28 .................. (1)
Lebar persegi panjang:
2x + y = 19 .................. (2)
= 9
=6
Diperoleh sisi persegi adalah 5 cm dan tinggi segitiga 9 cm. Jadi luas satu bentuk yang
diarsir adalah:
Luar arsiran = Luas persegi + Luas segitiga
254
5.5
1
. 5. 9
2
25
22,5
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
47,5
y
19 cm
14 cm
Jika panjang sisi persegi = x
Tinggi segitiga
=y
= 5
= 9
Diperoleh sisi persegi adalah 5 cm dan tinggi segitiga 9 cm. Jadi luas satu bentuk yang
diarsir adalah:
Luar arsiran = Luas persegi + Luas segitiga
=
5.5
1
. 5. 9
2
25
22,5
47,5
y
19 cm
14 cm
255
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
=y
x+y
2x + y
Keterangan
10
14
18
Tidak memenuhi
14
20
Tidak memenuhi
11
15
19
Tidak memenuhi
14
19
Memenuhi
berdasarkan
3. Pembahasan
3.1 Sumber Data
Sumber data untuk mengetahui kemampuan menyelesaikan masalah open-start ini
adalah siswa kelas 9B SMP Negeri 6 Sidoarjo pada semester 2 tahun pelajaran 2010-2011
yang terdiri dari 36 siswa. Kelas ini merupakan kelas dengan kemampuan heterogen.
256
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
langakah
penyelesaian
menurut
Polya),
kurang
baik
257
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Kelompok tinggi
Siswa yang termasuk dalam kelompok tinggi adalah siswa yang mempunyai
rata-rata nilai harian (N) pada interval 85 N 97. Ada lima siswa yang
termasuk dalam kelompok ini. Hasil tugas kelompok tinggi dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 1: Hasil Kemampuan Menyelesaikan Masalah Open-Start Kelompok Tinggi
No.
Nama
DISA
MEI
NIL
NOV
SHA
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa hanya satu siswa, yaitu SHA, yang
menyelesaikan tugas dengan baik, artinya kedua soal dapat diselesaikan dengan
menggunakan langkah-langkah penyelesaian menurut Polya dan menggunakan
cara penyelesaian yang baik. Hasil kerja siswa dapat dilihat sebagai berikut:
258
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
*Mengapa kamu menyelesaikan soal seperti itu? (sambil menunjuk soal nomor 1)
#Ya..kan caranya menulis dulu yang diketahui, ditanya, penyelesaian dan kesimpulan
*Lalu, kok pakai coba-coba? #Bingung, Bu. Tapi, kan jawabannya benar. *Apakah
kamu langsung menemukan jawabannya? #Ya. *Apakah menurutmu dengan coba-coba
seperti ini lebih mudah? #Tidak, Bu.
Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa siswa yang termasuk
dalam kelompok tinggi ini memahami cara menyelesaikan soal menurut Polya,
yaitu menuliskan hal yang diketahui, ditanyakan, penyelesaian, dan kesimpulan.
Tetapi, dalam langkah penyelesaian, ia menggunakan cara mencoba-coba dan
memahami bahwa cara ini tidak efisien.
259
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Kelompok sedang
Siswa yang termasuk dalam kelompok sedang adalah siswa yang mempunyai
rata-rata nilai harian (N) pada interval 65 N 84. Ada 25 siswa yang
termasuk dalam kelompok ini. Tetapi pada saat kegiatan, ada satu siswa yang
tidak hadir. Hasil tugas kelompok sedang dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2: Hasil Kemampuan Menyelesaikan Masalah Open-Start Kelompok Sedang
No.
1
10
11
12
13
14
15
260
Nama
ADR
ALI
ANG
ARI
ATH
AZI
BIN
ENI
FAJ
FER
FUA
JAN
IND
RIZ
LUTH
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
RUL
MAQ
NUR
RAJ
RAS
RIZA
RIZK
SIT
TRI
BAG
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dalam kelompok sedang hanya tiga siswa
yang menyelesaikan tugas dengan baik, artinya ketiga siswa ini dapat
menuliskan langkah-langkah penyelesaian menurut Polya dan menyelesaikan
masalah dengan benar. Sedangkan 5 siswa menyelesaikan tugas dengan kurang
baik, artinya mereka dapat menuliskan langkah-langkah penyelesaian, tetapi
hanya 1 nomor yang dapat diselesaikan dengan benar. Siswa lainnya
menyelesaikan tugas dengan tidak baik karena mereka dapat menuliskan
langkah-langkah penyelesaian soal, tetapi tidak dapat menyelesaikan soal
dengan benar.
261
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Hasil
kerja
siswa
dapat
dilihat
sebagai
berikut:
262
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
*Apakah kalian paham langkah-langkah dalam penyelesaian soal ini? #Ya, Bu. *Coba,
apa, ATH? #Menuliskan yang diketahui, yang ditanyakan, lalu menyelesaikan dan
menuliskan kesimpulan *Bagus. Lalu, ADR, apakah kamu yakin dengan jawabanmu?
#Ya, Bu. Saya koreksi lagi setelah menemukan jawabannya. * Bagaimana dengan
LUTH, mengapa kamu menyelesaikan soal nomor 1seperti ini? #Ya..coba-coba saja,
Bu. Pokoknya jumlahnya 15. *Tapi, benar, tidak, cara menyelesaikannya? #Tidak, Bu.
*Bisa menunjukkan kesalahanmu? *Ya, Bu. (sambil menjelaskan). *Menurut kalian,
apakah kalian senang jika dalam pembelajaran diberikan soal-soal seperti ini? #Ya, Bu
(menjawab serempak). *Mengapa? #Karena kita bisa mikir, Bu. Tapi..soalnya jangan
sulit-sulit (ATH yang menjawab)
Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa siswa yang termasuk
dalam kelompok sedang ini memahami langkah-langkah penyelesaian masalah
dan mereka senang jika dalam pembelajaran diberikan soal seperti ini. Tetapi,
pada umumnya, siswa dalam kelompok sedang cenderung menggunakan cara
penyelesaian yang tidak benar. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya
latihan mengerjakan soal-soal seperti ini dalam pembelajaran.
Kelompok rendah
Siswa yang termasuk dalam kelompok rendah adalah siswa yang mempunyai
rata-rata nilai harian (N) dengan N 64. Ada 6 siswa yang termasuk dalam
kelompok ini. Hasil tugas kelompok rendah dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
263
Nama
BRO
EGA
ILH
MARK
MJA
NYA
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dalam kelompok rendah hanya satu siswa
yang dapat menyelesaikan tugas, meskipun dengan kurang baik karena ada soal
yang salah dalam penyelesaian. Sedangkan lima siswa lainnya menyelesaikan
soal dengan tidak baik, artinya mereka dapat menuliskan langkah-langkah
penyelesaian masalah menurut Polya dengan baik, tetapi tidak dapat
menyelesaikannya. Hasil kerja siswa dapat dilihat sebagai berikut:
*MJA, apakah kamu memahami langkah-langkah penyelesaian masalah ini? #Ya, Bu.
*Coba, apa? #Menuliskan yang diketahui, yang ditanyakan, lalu menyelesaikan dan
menuliskan kesimpulan *Bagus. Lalu, mengapa kamu tidak bisa menyelesaikan soal
ini? #Bingung, Bu. Soalnya sulit * Bagaimana dengan NYA, soalnya sulit, tidak?
#Ya..sebenarnya mengerti maksudnya, Bu. Seperti nomor 1, kan jawabannya bisa
ditebak 1248, tapi bingung menulisnya. *Apakah kamu senang jika dalam pembelajaran
diberikan soal seperti ini? #Ya, Bu, tapi soalnya tidak sulit. *Mengapa kamu senang?
#Merasa tertantang, Bu.
Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa siswa yang termasuk
dalam kelompok rendah ini memahami langkah-langkah penyelesaian masalah
dan mereka senang jika dalam pembelajaran diberikan soal seperti ini. Tetapi,
264
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
penyelesaian soal.
4. Penutup
4.1 Simpulan
1.
Kemampuan
menyelesaikan
penyelesaian
masalah
menurut
Polya
dan
tetapi
mereka
cenderung
lemah
dalam
penyelesaiannya.
c. Kelompok rendah: hanya satu siswa siswa yang dapat menyelesaikan
masalah dengan baik, artinya dapat menuliskan langkah-langkah
penyelesaian masalah menurut Polya dan menyelesaikannya dengan
benar. Sedangkan lainnya, menyelesaikan masalah dengan tidak baik.
Dari hasil wawancara, siswa pada kelompok rendah mengatakan
265
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
266
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Kemampuan berpikir kritis merupakan hal yang penting dalam kehidupan sosial. Kurikulum
tingkat satuan pendidikan juga menyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan
kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan
kemampuan berpikir kritis. Namun jumlah perangkat yang memperhatikan kemampuan tersebut
masih jarang ditemukan. Penulis menyarankan perangkat pembelajaran Criting untuk
digunakan dalam pembelajaran. Perangkat pembelajaran Criting adalah perangkat
pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan oleh Paul
dan Elder. Saat ini, penyelenggaraan rintisan sekolah berstandar internasional/sekolah
berstandar internasional (RSBI/SBI) masih dapat dikatakan baru, maka perangkat
pembelajarannyapun masih jarang ditemukan. Pada makalah ini, perangkat pembelajaran
tersebut menggunakan Bahasa Inggris karena dikembangkan pada kelas dengan program
RSBI/SBI.
Makalah ini mendeskripsikan proses dan hasil pengembangan perangkat pembelajaran Criting
pada materi lingkaran untuk SMP RSBI/SBI yang valid, praktis, dan efektif. Deskripsi tersebut
berdasarkan penelitian pengembangan dengan subjek penelitian guru matematika dan para siswa
kelas 8-A,dengan banyak siswa 28 orang,SMPN 6 Surabaya Tahun Ajaran 2010-2011.
Kata kunci:
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia berpikir, namun tidak semua manusia berpikir kritis.Kemampuan berpikir kritis
tidak hanya menentukan kesuksesan di sekolah dan pekerjaan, tetapi juga sebagai basis yang
lebih baik dalam mengambil keputusan dan memecahkan masalah di rumah (Starkey,
2004:VIII). Berpikir kritis atau critical thinking sering digunakan untuk mengukur seberapa
bagus performance seseorang di sekolah atau pekerjaannya. Hal-hal tersebut menyatakan bahwa
berpikir kritis merupakan hal yang penting dalam kehidupan sosial.
Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain
secara logis, kritis, dan kreatif serta menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan
inovatif merupakan Standar Kompetensi Kelulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) tingkat
SMP/MTs pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Selain itu, KTSP (2006:345)
menyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik
mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Dengan demikian, di
dalam kurikulum tersebut dinyatakan bahwa berpikir kritis dan pembelajaran yang
memperhatikan kemampuan berpikir kritis merupakan bagian penting dalam proses
pembelajaran matematika.
267
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Hasil analisis terhadap empat buah rencana pembelajaran dan lembar kerja siswa (LKS)
yang telah dibuat oleh beberapa guru matematika di SMP RSBI/SBI menunjukkan bahwa
pembelajarannya belum memperhatikan kemampuan berpikir kritis siswa. Pada rencana
pembelajaran belum terlihat adanya aktifitas yang memperhatikan kemampuan berpikir kritis
siswa. Pada LKS, masih terdapat banyak tuntunan dari guru dalam menyelesaikan masalah.
Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar kemampuan berpikir kritis dikembangkan dalam
pembelajaran.
Untuk menerapkan berpikir kritis dalam pembelajaran, Paul dan Elder dalam situs
criticalthinking.org menyarankan untuk melakukan remodel rencana pembelajaran atau
pendekatan standar pada pembelajaran. Dalam melakukan remodel tersebut guru mengkritisi
pembelajaran standar yang biasanya dilakukan atau rencana yang sudah ada, dikembangkan
rencana baru dengan beberapa strategi critical thinking (untuk diterapkan dalam pembelajaran)
yang disarankan oleh Paul dan Elder.
Kegiatan remodel pembelajaran tersebut peneliti lakukan pada materi keliling dan luas
lingkaran pada sekolah menengah pertama (SMP) yang diajarkan pada awal semester genap
kelas 8. Lingkaran adalah salah satu materi bidang datar yang diajarkan di SMP. Dalam mencari
panjang keliling maupun luas lingkaran merupakan hal yang juga membutuhkan kemampuan
berpikir kritis.
Untukmelengkapiremodelledlesson planini peneliti juga mengembangkan komponen
perangkat pembelajaran lainnya yaitu lesson plan, media, worksheet, homework, dan quiz.
Dalam penelitian ini,
penelitimengembangkan perangkat
pembelajaran yang
dibuat
berorietasicritical thinking yang dikembangkan Paul dan Elder. Perangkat tersebut selanjutnya
peneliti namakan dengan perangkat pembelajaran Criting.
Sejak tahun 2007, pemerintah provinsi dan Departemen Pendidikan Nasional
bertanggung jawab atas penyelenggaraan rintisan sekolah berstandar internasional/sekolah
berstandar internasional (RSBI/SBI). Pada pembelajaran matematika dan ilmu pengetahuan
alamnya diutamakan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi. Dengan
demikian, perangkat pembelajaran yang digunakan juga menggunakan bahasa Inggris. Karena
keberadaan RSBI/SBI masih dapat dikatakan baru maka perangkat pembelajarannyapun masih
jarang ditemukan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis mendeskripsikan proses dan hasil penelitian
pada pengembangan PerangkatPembelajaran Criting pada materi lingkaran untuk SMP
RSBI/SBI.
268
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
1.2 Tujuan
Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan proses pengembangan dan menghasilkan perangkat pembelajaran Criting
pada materi Keliling dan Luas Lingkaran untuk SMP RSBI/SBIyang valid, praktis, dan efektif.
2. Kajian Pustaka
2.1 Critical Thinking
Dalam konteks pendidikan, berpikir atau thinking menurut Moseley (2005:12), used to
meanasa consciously goal-directed process, such as remembering, forming concepts, planning
what to do and say, imagining situation, reasoning, solving problems, considering opinions,
making decisions, and judgment, and generating new perspectives. Dari pernyataan tersebut
dapat dinyatakan bahwa thinking adalah menggunakan akal untuk meraih suatu tujuan, seperti
mengingat, membangun konsep, merencanakan, menggambarkan suatu situasi, memecahkan
masalah,
mempertimbangkan pilihan,
membuat
keputusan,
serta
pertimbangan,
dan
sebagai
strategi
dalam
(http://criticalthinking.org/resources/k12/TRK12-remodelled-lesson-6-9.cfm).
pembelajaran
Guru
dapat
memilih beberapa dimensi critical thinking dengan memperhatikan dan menyesuaikan dengan
materi yang diajarkan serta kondisi lainnya, misal kemampuan siswa dan kondisi lingkungan.
Dimensi-dimensi yang dipilih tersebut digunakan ketika mengembangkan remodelled lesson
plan.
Dalam perangkat ini dimensi-dimensi yang didipilih sebagai berikut.
1. S-1 thinking independently
269
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Prinsip dari thinking independently adalah berpikir untuk diri sendiri. Seseorang
yang memiliki kemampuan ini tidak secara pasif menerima pendapat orang lain. Mereka
menentukan sendiri sesuatu tersebut relevan atau tidak, memonitor diri mereka sendiri,
dapat mendeteksi kesalahan mereka sendiri, serta tidak butuh dituntun terus-menerus untuk
memutuskan sesuatu.
2. S-18 analyzing or evaluating arguments, interpretations, beliefs, or theories
Berpikir kritis digunakan dalam menganalisis argumen untuk mencari kelemahan
dan kelebihannya. Hal-hal tersebut merupakan prinsip dari analyzing or evaluating
arguments, interpretations, beliefs, or theories. Dalam pembelajaran misalnya, siswa
diharuskan dapat menganalisis suatu pernyataan lisan maupun tertulis.
3. S-19 generating or assessing solutions
Orang-orang yang memecahkan masalah dengan kritis menggunakan segalanya
untuk menemukan solusi terbaik yang dapat mereka buat. Mereka meluangkan waktu untuk
memformulasikan masalah-masalah agar menjadi jelas dan akurat. Lalu mereka
mengembangkan beberapa solusi serta memilih yang terbaik. Yang mereka lakukan itu
merupakan prinsip dari generating or assessing solutions. Sehingga ketika diberi suatu
permasalahan, siswa diharapkan dapat mengetahui informasi-informasi yang relevan dan
memahaminya serta dapat merumuskan apa yang harus dicari penyelesaiannya,
mentransformasikan dalam bentuk matematis, mengembangkan penyelesaian, menemukan
penyelesaian yang terbaik, lalu mengembalikan pada masalah yang dicari penyelesaiannya.
4. S-24 practicing Socratic discussion: clarifying and questioning beliefs, theories, or
perspectives
Seorang pemikir kritis selalu melakukan kegiatan bertanya. Kemampuan untuk
bertanya dan menyelidiki sampai ke akarnya, untuk memperoleh gambaran sejelas-jelasnya
merupakaninti dari kegiatan berpikir kritis. Dalam kegiatan diskusi, seseorang yang berpikir
kritisbersikap terbuka dalam menanggapi tanggapan orang lain.
Lebih dari itu, para pemikir kritis merasa nyaman ketika diberi pertanyaan. Mereka
tidak tersinggung, bingung, atau terintimidasi. Mereka menerima dengan senang hati
pertanyaan-pertanyaan sebagai kesempatan untuk meningkatkan pemikirannya.
Pada
http://criticalthinking.org/resources/k12/TRK12-remodelled-lesson-6-
9.cfmremodelled lesson plan yang lengkap terdiri dari tiga hal yaitu:
1. Sebuah "Original Lesson", atau pernyataan mengenai "Standard Approach" atau
pendekatan standar (yang mendeskripsikan topik dan bagaimana topik tersebut
disampaikan, termasuk beberapa tugas dan aktivitas-aktivitasnya);
270
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2. the "Critique" (yang mendeskripsikan topik serta kegunaannya, mengevaluasi lesson plan
semula, dan berisi ide umum pembelajaran yang dapat diremodel);
3. "Remodelled Lesson" (yang mendeskripsikan pembelajaran baru, tugas-tugas yang
diberikan pada siswa, dan aktivitas-aktivitasnya, serta kutipan dimensi strategi critical
thinking yang ditandai dengan nomornya)
Nomor
strategi
pada
umumnya
mengikuti
tugas
atau
aktivitas
yang
271
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
untuk SMP/MTs yaitu standar kompetensinya adalah menentukan unsur, bagian lingkaran
serta ukurannya dengan kompetensi dasar menghitung keliling dan luas lingkaran.
Keliling lingkaran (circumference) adalah busur terpanjang pada lingkaran. Hubungan
antara keliling lingkaran dengan diameternya adalah salah satu hal yang menarik yang dapat
siswa temukan (Van de Walle, 2007:402). Panjang keliling setiap lingkaran kira-kira 3,14 kali
panjang diameternya. Perbandingan panjang keliling dan diameter lingkaran tersebut merupakan
bilangan irasional yang disimbolkan dengan . Nilai mendekati 3,14 atau mendekati
Sehingga dalam menentukan panjang keliling lingkaran dapat dicari dengan mengalikan
panjang diameter dengan .
Luas lingkaran adalah luas daerah yang dibatasi oleh lingkaran. Luas lingkaran dapat
diaproksimasi dengan menghitung persegi-persegi satuan dalam daerah lingkaran. Ada banyak
cara dalam menemukan rumus luas lingkaran. Dalam menemukannya dapat menemukannya
rumus tersebut sesuai dengan kemampuan critical thinking siswa. Salah satu cara untuk
menemukan rumus luas lingkaran adalah dengan memotongnya menjadi beberapa juring yang
kongruen. Lalu menyusunnya menjadi seperti bangun yang telah diketahui rumus luasnya.Salah
satu bangun yang dapat dibentuk adalah jajargenjang. Semakin banyak juring kongruen yang
dibuat dari sebuah lingkaran maka bentuk yang dibentuk pun semakin mendekati jajargenjang
khusus/tertentu yaitu persegipanjang.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
273
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
3. Penutup
Perangkat pembelajaran Criting adalah perangkat yang berorientasi pada critical thinkingyang
berorientasi pada Paul dan Elder. Berdasarkan hasil penelitian pengembangan dengan mdifikasi
model Plomp diperoleh perangkat pembelajaran Criting pada materi lingkaran ini valid,
praktis dan efektif.
Berdasarkan deskripsi dari proses dan hasil pengembangan perangkat, penulis menyarankan halhal sebagai berikut untuk digunakan dalam pembelajaran atau penelitian selanjutnya.
1. Kualitas kemunculan dimensi critical thinking pada siswa diperhatikan.
2. Dalam mengembangkan remodelled lesson plan, lesson planyang sudah ada dikritisi.
3. Perangkat pembelajaran Criting digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran
khususnya mata pelajaran matematika.
4. Pustaka
________.
2009.
Strategy
List:
35
Dimensions
of
Critical
Thought.
http://criticalthinking.org/resources/k12/TRK12-strategy-list.cfm diakses tanggal 12
Oktober 2009 pukul 16.16
________. 2009. Remodelled Lessons: 6-9. http://criticalthinking.org/resources/k12/TRK12remodelled-lesson-6-9.cfm diakses tanggal 12 Oktober 2009 pukul 16.18
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas
Ennis, Robert H.. 1996. Critical Thinking. New Jersey: Prentice Hall
Moseley, David. 2005. Frameworks for Thinking. Cambridge: Cambridge University Press
Nieveen, Nienke. 2000. Prototyping to Reach Product Quality. dalam J. Van den Akker, R. M.
Branch, K. Gustafson, N. Nieveen, dan T. Plomp, (ed.), Design Approaches and Tools
in Education and Training, Chapter 10 halaman 125-136. Nederland: Kluwer
Paul, Richard, Linda Elder dan Ted Bartell. 1994. Study of 38 Public Universities and 28
Private Universities To Determine Faculty Emphasis on Critical Thinking In
Instruction. http://www.criticalthinking.org/about/centerforCT.cfm diakses tanggal 12
Oktober 2009 pukul 16.32
Paul, Richard dan Linda Elder. 2006. Critical Thinking Concepts and Tools.
http://www.criticalthinking.org/files/ConceptsTools.pdfdiakses tanggal 12 Oktober
2009 pukul 16.43
Plomp, Tjeerd. 1997. Educational and Training System Design. Enschede, Netherlands:
University of Twente
Rumpak, Julius C. dkk (ed). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta:
Depdiknas
Scriven, Michael dan Richard Paul. 1987. Critical Thinking as Defined by the National Council
for
Excellence
in
Critical
Thinking.
http://criticalthinking.org/aboutCT/define_critical_thinking.cfmdiakses
tanggal
12
Oktober 2009 pukul 16.11
Starkey, Lauren. 2004. Critical Thinking Skills Success. New York: LearningExpress
Van de Walle, John A. 2007. Elementary and Middle School Mathematics, Teaching
Developmentally. United State of America: Pearson
274
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Makalah ini menyajikan sebuah metode yang relative baru dalam mengevaluasi jawaban siswa
yang terkait dengan criteria yang tidak eksak, vague ataupun penilaian yang subjektif. Metode
ini disebut metode evaluasi fuzzy (Fuzzy evaluation method). Metode ini pertamakali
diperkenalkan oleh Biswas. Metode ini sangat berpotensi lebih halus dibandingkan sistem
grade maupun sistem penilaian tradisional. Bahkan metode ini merupakan kombinasi kedua
sistem itu.
Pertamakali akan didefinisikan keserupaan antara dua himpunan fuzzy, kemudian dibuat
standar fuzzy linguistic hedges, grade huruf dan mid-grade-point. Skor total akan diperoleh
dengan melakukan enam langkah. Skor ini dapat diterjemahkan ke grade huruf . Pada bagian
akhir akan disajikan contoh penggunaan metode ini.
Kata Kunci: himpunan fuzzy, keserupaan, system grade, grade huruf, metode evaluasi fuzzy.
1. Pendahuluan
Himpunan selalu diartikan sebagai kumpulan objek-objek yang terdefinisi dengan jelas.
Terdefinisi dengan jelas mengandung makna bahwa jika kita menunjuk suatu objek, maka kita
dapat memutuskan apakah objek itu masuk dalam kumpulan itu atau tidak. Sehingga kita tidak
dapat mengatakan kumpulan orang-orang cantik sebagai himpunan. Begitupun dengan
kumpulan makanan yang enak, kumpulan buah yang manis, kumpulan orang yang tinggi,
semua itu bukanlah himpunan. Pengertian himpunan seperti di atas kita sebut himpunan klasik
(classical set) atau Crisp set.
Pada kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari kita selalu membicarakan tentang
objek atau kumpulan objek dengan kriteria yang tidak jelas. Misalnya, kita pernah ditanya
teman kita : siapa temanmu yang cantik?. Kitapun selalu bisa menjawab pertanyaan itu, tanpa
harus berdiskusi panjang tentang kriteria cantik. Demikian juga, jika kita ditanya makanan apa
yang enak?, kitapun dapat menjawabnya. Ini terkandung makna bahwa dalam kehidupan kita
(manusia), apa yang kita bicarakan, apa yang kita diskusikan, apa yang kita amati tidaklah
terbatas pada hal, objek yang mempunyai kriteria yang jelas, akan tetapi juga terkait dengan hal
yang tidak jelas kriterianya. Bahkan yang kedua itulah justru yang lebih banyak terjadi dalam
kehidupan manusia. Bukankah kita akhir-akhir ini selalu membicarakan tentang kesopanan,
pendidikan karakter yang semua itu tidak mempunyai kriteria yang jelas (tidak eksak).
275
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Sejalan dengan kenyataan itu, sangat relevan jika pengertian himpunan diperluas dari
pengertian yang klasik . Pengertian himpunan yang lebih luas itu disebut himpunan fuzzy.
Konsep himpunan fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh Zadeh pada tahun 1965. Konsep
kefuzzy-an sampai saat ini berkembang sangat pesat dan luas. Berbagai terapan telah tejadi
pada bidang-bidang seperti kedokteran, teknologi informasi, juga dalam bidang pendidikan.
2. Himpunan Fuzzy
Jika A adalah himpunan (klasik) dan A adalah fungsi dari A ke [0,1], maka =
A (Tia) 0,8 ;
A (Susi ) 0, 3 ;
A ( Rina) 0, 6 ;
A ( Ani ) 0,5
A (Maria ) 0, 7
A ( Meta ) 0,3.
Himpunan
= (Tia, 0.8), ( Ani,0.5), ( Susi, 0.3), ( Maria, 0.7), ( Rina, 0.6), ( Meta, 0.3)
merupakan
himpunan fuzzy dari A . Perlu diingat bahwa orang lain boleh dan bisa mengkonstruksi
himpunan fuzzy yang lain terkait dengan konteks kecantikan pada unsur A . Nilai fungsi A
dari suatu unsur menandakan derajad keanggotaan dari unsur itu. Dengan kata lain, untuk
contoh di atas nilai A semakin mendekati 1 maka semakin cantik orang itu berdasarkan
penilaian penulis. Sering kali untuk mengatakan himpunan fuzzy dari A yang dikarakterisasi
oleh A ( x) hanya kita katakana dengan himpunan fuzzy A atau bahkan hanya ditulis dengan
himpunan fuzzy .
3. Metode Evaluasi Fuzzy
Definisi:
Misalkan
dan
dan
276
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
S ( , )
.
maks{. , . }
< 20, 20
< 54, 54
< 70, 70
< 86, 86
100.
( ), B = 78
[ ( ) ( )], dengan
277
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
4. Penutup
Metode evaluasi fuzzy merupakan satu alternatif dalam memberikan skor terhadap pekerjaan
siswa. Metode ini merupakan kombinasi sistem grade dan sistem penilaian konvensional.
Metode ini lebih halus dibandingkan keduanya.
5. Pustaka
Bai, S.M. and Chen, S.M. (2008a), Automatically constructing grade membership functions of
fuzzy rules for students evaluation. Expert Systems with Applications 35: 14081414.
Bai, S.M. and Chen, S.M. (2008b), Evaluating students learning achievement using fuzzy
membership functions and fuzzy rules. Expert Systems with Applications 34: 399410.
Biswas, R. (1995). An application of fuzzy sets in students' evaluation. Fuzzy Sets and Systems
74: 87-194.
Chang, T.Y and Chen, Y.T. (2009). A peer assessment of student-centered using consistent
fuzzy preference. Expert Systems with Applications 36: 83428349.
Chen, S. M. and Lee, C.H. (1999). New methods for students' evaluation using fuzzy sets. Fuzzy
Sets and Systems 104: 209 218.
Chen, S.M. and Wang, H.Y. (2009). Evaluating students answerscripts based on intervalvalued fuzzy grade sheets. Expert Systems with Applications 36: 98399846.
Michael , H., (2005). Applied Fuzzy Arithmetic. Springer, Berlin.
Rosenfeld, A. (1971). Fuzzy groups. Journal of Mathematical Anal.and.App. 35: 512 - 517.
Zadeh, L.A. (1965). Fuzzy sets. Inform. and. Control. 8: 338 - 353.
Zimmermann, H.J. (1991). Fuzzy Set Theory and its Applications. Masachusetts: Kluwer
Academic Publisher.
278
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Yaketunis (Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam) adalah sebuah yayasan di Yogyakarta yang
memberikan fasilitas kepada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tunanetra dari jenjang
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Fasilitas yang tersedia belum dapat membantu ABK
tunanetra secara maksimal dalam proses pemahaman belajar matematika. Ada beberapa ABK
tunanetra yang masih mengalami kesulitan untuk memahami matematika sebagai ilmu yang
abstrak, seperti membaca grafik, limit dan integral. Belum tersedianya media pembelajaran yang
memadai sesuai dengan kebutuhan ABK tunanetra. ABK tunanetra masih mengalami kesulitan
memahami buku yang belum dalam bentuk Braille. Mereka masih tergantung dengan adanya
relawan yang bersedia membantu dalam memahami materi matematika. Kesulitan yang
dihadapi oleh ABK tunanetra disebabkan karena belum adanya media yang disesuaikan dengan
kebutuhan ABK tunanetra.
Katakunci : ABK tunanetra, kesulitan belajar matematika
1. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara berkembang sedang berupaya keras dalam program pembangunan
nasional dari berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah aspek pendidikan.
Pendidikan merupakan aspek vital yang dapat mempengaruhi segala aspek kehidupan. Dalam
UUD 1945 Pasal 31 bahwa seluruh warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak.
Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan agar setiap
warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian, tidak
ada diskriminasi perlakuan pendidikan termasuk bagi anak penyandang ketunaan (tunanetra,
tunarungu, tunalaras, tunadaksa, dan tunagrahita) dan anak berkesulitan belajar, seperti
membaca, menulis, dan menghitung. Pembahasan mendalam dalam bab selanjutnya adalah
mengenai pendidikan bagi tunanetra.
Bentuk perhatian pemerintah terhadap pendidikan para tunanetra di Indonesia sudah
direalisasikan meskipun di beberapa daerah atau lembaga-lembaga pendidikan tertentu belum
bisa melaksanakan pelayanan dengan maksimal. Terdapat juga lembaga atau yayasan di luar
pemerintah yang peduli dengan pendidikan tunanetra sampai saat ini, salah satu diantaranya
adalah Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam yang disingkat Yaketunis. Yayasan ini berada di
Jalan Parangtritis 46 Yogyakarta. Yaketunis didirikan berdasarkan firman Allah dalam AlQuran Surat Abasa ayat 3 dan 4 yang menjelaskan bahwa tunanetra memiliki potensi untuk
diberikan pendidikan dan pengajaran di bidang mental, spiritual, agama dan keterampilan,
279
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
kecerdasan serta ilmu pengetahuan sehingga perlu didirikan lembaga atau yayasan sebagai
sarana atau wadah untuk melaksanakan dan mengamalkan ayat tersebut.
Berdirinya Yaketunis merupakan ide dari seorang tunanetra bernama Supardi
Abdusomat. Pada saat itu beliau berkunjung ke Perpustakaan Islam di Jalan Mangkubumi 38
menemui Bapak H. Moch. Solichin Wakil kepala Perpustakaan Islam. Kedatangan beliau
bermaksud sharing kepada
mengangkat harkat martabat warga tunanetra. Akhirnya disepakati untuk mendirikan yayasan
yang diberi nama Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) Yogyakarta pada tanggal
12 Mei 1964 dengan alamat Jalan Mangkubumi No. 38 Yogyakarta, Akta Notaris No. 10 tahun
1964. Notaris: Soerjanto Pataningrat,SH. Dengan ijin operasional No. 188/0622/VI Tanggal 16
Maret 2009. Yaketunis sendiri mempunyai Sekolah Dasar Luar Biasa atau SDLB dan Madrasah
Tsanawiyah Luar Biasa atau MTsLB setingkat Sekolah Menengah Pertama atau SMP. Sebagian
besar siswanya tinggal di Yayasan karena mayoritas dari mereka berasal dari luar kota
Yogyakarta. Kegiatan mereka selama di Yayasan adalah belajar bersama baik belajar ilmu
agama islam maupun belajar materi-materi dari sekolah formalnya. Matematika merupakan
salah satu ilmu pokok yang dipelajari oleh ABK tunanetra dari berbagai jenjang pendidikan.
Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi modern memiliki
peranan penting dalam disiplin ilmu lain dan dalam kehidupan sehari-hari manusia.
Keprihatinan terhadap pendidikan matematika di Indonesia tak surut dibicarakan. Fakta yang
muncul berkaitan dengan pendidikan matematika sulit untuk terbantahkan. Perkembangan
pendidikan matematika merupakan sesuatu yang dinamis dan memerlukan penyikapan yang
tepat sesuai dinamika perkembangannya. Termasuk halnya layanan pendidikan yang
diperuntukkan bagi ABK tunanetra harus disesuiakan dengan kebutuhan mereka.
2. Pembahasan
2.1 Pemahaman Matematika Pada Anak Tunanetra
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami
kelainan/penyimpangan (fisik,
mental-intelektual,
sosial,
emosional)
dalam
proses
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Matematika dipelajari oleh semua siswa (termasuk siswa tunanetra) disekolah mulai dari
pendidikan dasar. Dalam pendidikan dasar, diberikan pengetahuan yang menjadi dasar dan
bekal pendidikan umum, penguasaan bahasa tertentu, matematika dan dasar-dasar metode dan
teknik berfikir ilmiah. Sebagian besar orang berfikir bahwa belajar matematika identik dengan
berhitung. Padahal dalam belajar matematika bukan hanya belajar saja, akan tetapi siswa
dituntut untuk menguasai lima aspek kemampuan. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permen) Nomor 23 tahun 2006 disebutkan bahwa mata pelajaran Matematika
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami
konsep
matematika,
menjelaskan
keterkaitan
antar
konsep
dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam
pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang
model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai keguanaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki
rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet
dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Matematika dianggap sebagai salah satu mata pelajaran yang sulit bagi siswa, apalagi bagi siswa
tunanetra yang mempunyai kelainan dalam fungsi penglihatan memiliki kesulitan yang lebih
tinggi dibandingkan anak-anak normal pada umumnya. Kesulitan yang dihadapi oleh siswa
dalam matematika ini terutama pada pemecahan masalah (problem solving). Anak tunanetra
memiliki kemampuan pemecahan masalah yang rendah. Rendanya kemampuan pemecahan
masalah matematika anak tunanetra dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya menurut
Davidoff (1998) bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi keterampilan seseorang dalam
memecahkan masalah, yaitu hasil belajar sebelumnya dan derajat kewaspadaan.
Pada beberapa ABK Tunanetra yang tidak mengalami gangguan pada indra visualnya sejak
lahir, tetapi mereka mengalami gangguan itu dikarenakan beberapa hal seperti kecelakaan,
bancana alam dan lain sebagainya. Pengalaman masa lalu dapat membantu ABK tunanetra
untuk memcahkan suatu masalah, pengalaman seperti ini disebut transfer aktif. Dengan
pengalaman masa lalu yang dapat memperkaya kemampuan ABK tunanetra, maka mereka akan
mampu mempelajari masalah-masalah matematika dengan baik. Tetapi seringkali, para guru
masih memusatkan pembelajaran pada guru bukan pada siswa dan pembelajaran matematika di
281
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
sekolah hanya sebatas perhitungan biasa dan penjelasan rumus. Sedangkan untuk penjelasan
konsep pemecahan masalah masih kurang. Akibatnya hasil belajar sebelumnya tidak dapat
memberikan pengalaman positif terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa tunanetra.
Kehilangan penglihatan pada siswa tunanetra berpengaruh pada derajat kewaspadaan dalam
memecahkan masalah matematika. Karena dalam suatu masalah matematika, seringkali
membutuhkan perangsangan terlebih dahulu. Perangsangan itu antara lain adalah pemusatan
perhatian, ketelitian, kebutuhan dan lain sebagainya.
Ada kalanya siswa tunanetra mengalami masalah yang tidak terlalu rumit, sehingga dengan
sedikit bantuan, mereka dapat menyelesaikan masalah tersebut. Dalam proses pembelajaran
disekolah, guru hanyalah sebagai fasilitator, sehingga guru cukup memberi bantuan-bantuan
tertentu seperti petunjuk, bimbingan, dan lain sebagainya. Tetapi bantuan-bantuan yang
diberikan oleh guru haruslah diberikan sewajarnya saja, karena jika berlebihan hanya akan
membuat
siswa
tunanetra
itu
menjadi
manja
dan
malas.
Gambar 1. Seorang relawan sedang membacakan materi pelajaran kepada siswa tunanetra
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
disampaikan. Dalam menggunakan alat peraga tidak lepas dari ketentuan-ketentuan alat peraga
itu sendiri, misalnya : tidak berbahaya, dapat diraba, tidak terlalu besar sehingga dapat diraba
secara keseluruhan, sudah dikenal anak.
283
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
4. Pustaka
Panduan Kurikiulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah,
Badan Standar Nasional Pendidikan 2006
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Universitas
Pendidikan
Indonesia
diakses
di
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_plb_054585_chapter1.pdf pada hari Sabtu, 8
Oktober 2011
Universitas
Pendidikan
Indonesia
diakses
di
http://abstrak.digilib.upi.edu/Direktori/TESIS/PENDIDIKAN_KEBUTUHAN_KHUSUS
/039330___YANUARTI_D/T_PKKH_039330_Chapter2.pdf pada hari Sabtu, 8 Oktober
2011
284
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Fraction is one of the most difficult tasks for elementary school students. This is normal
considering the complexity of concept involved. In this design research, we emphasized on
teaching equivalence of fractions through meaningful activities and models rather than a set of
learned rules and procedures of calculation for grade 4 of Indonesian elementary school
students. . It is particularly concerned with the association between fractions as a theme and the
use of Realistic Mathematics Education (RME) approach with measurement as a context. There
are three phases of this design research; preparing for the experiment phase, design experiment
phase and retrospective analysis phase. This study used two models that were related to the
given contexts, namely the paper bar and the string rubber bands model At last, we ended up at
analysis of the related models that are taken into account.
Keywords: Models, equivalence of fractions, RME
1. Introduction
Research in the area of Understanding of fraction has been done such as those by
Streefland (1991) and Keijzer (2003). This is due to fraction is one of the most most
difficult tasks for elementary school students. This is normal considering the complexity of
concept involved. In this design research, we emphasized on teaching equivalence of
fractions through meaningful activities and models rather than a set of learned rules and
procedures of calculation for grade 4 of Indonesian elementary school students. . It is
particularly concerned with the association between fractions as a theme and the use of
Realistic Mathematics Education (RME) approach with measurement as a context.
Our design research aimed at developing students understanding on fractions, the
relations among fractions such as equivalence of fractions. In this design research, we
introduced three contextual situations and used some models for learning fractions such as
the paper bar, string rubber bands and number line models. Underneath, we raised a
research question probing the roles of the models which are related to the fraction learning.
In order to answer the research questions, we will initially elaborate on the theoretical
framework underlying fractions as our mathematical domain, measurement and RME
approach. The elaboration will focus on the design research concerning the relation among
fractions as a theme and the use of the RME approach with measurement as a context for
the activity, and the paper bar, the string rubber bands and the number line as the models for
fractions.
285
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Literature Review
Fractions are related to breaking: fracture. Based on that, Freudenthal (1983) defined
four aspects of fractions and considered the fraction as fracturer be one of the aspects.
2.1 Equivalence of fractions
Equivalence of fractions is the base of understanding operations with fractions
(comparing and addition of fractions). Traditionally, students are taught the equivalence
of fractions by multiplying or dividing the fractions by 1 or 2/2, 4/4, etc. For instance,
students are asked to find the equivalence of fractions of 2/3. Traditionally, they
multiplied it with 1 or maybe 2/2. So, the equivalence of 2/3 is 4/6. By that, students
probably understand it algorithmically, but it doesnt make sense for them.
2.2 Mathematical Modeling
Models can be divided into two kinds:
1. The ready to use model such as fraction stick and wooden fraction circle
(Fractions stick)
2. The constructed model such as paper folding, the string rubber bands and the number
line.
There is a difference between using those two models. The ready to use model is a
model that has been made for the learning process. However, the constructed model is a
model that is constructed by students to support the learning process. Learning and working
with the ready to use model is not wrong, but there is a risk in using it. If students used the
ready to use model, for example the fraction stick, they can just read the symbol of fraction
in it (for example 1/12 is smaller than 1/6) and they will lose their reasoning in the
relationship between two fractions.
In this design research, we used the constructed model, such as paper folding, the string
rubber bands and the number line model. Those models were used to develop the use of
landmark fractions for the relation among fractions (exploring comparison of fractions and
the equivalence of fractions), exploring the common denominator of fractions and operation
with fractions (addition of fractions). Models go through three stages based on Gravemeijer,
1999 and Fosnot and Dolk, 2002 in the Jacob and Fosnot, 2007. Those are:
-
286
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
In the plan of sequence activities, the paper bar and the string rubber bands are the
model of situations of fair dividing the cake and cone cap games contexts. The paper bar is
also used as a model for thinking and reasoning of comparing fractions, exploring the
common denominator and addition of fractions. The process of making the division leads to
reasoning. For instance: by dividing into two parts and then further, student can reach four
parts, and can be seen to be 2/4. This model is also helpful to facilitate thinking about the
importance of a common denominator for addition of fractions. Another model, which is the
number line model, functions as model for thinking and reasoning in exploring the relation
among fractions and operation with fractions.
2.3 Realistic Mathematics Education (RME)
RME is a theory of mathematics education that offers a pedagogical and didactical
philosophy on mathematical learning and teaching as well as on designing instructional
materials for mathematics education [A. Bakker, 2004]. The present form of RME is mostly
determined by Freudenthal's view on mathematics [Freudenthal, 1991]. Two of his
important points of views are first; mathematics must be connected to reality and second
mathematics as human activity. Mathematics must be close to children and be relevant to
everyday life situations, so we developed contextual situations that are relevant to and
familiar for the students. Besides, the model plays an important role in the learning process.
Those points are why this principle called RME (Realistic Mathematics Education).
Students should be given the opportunity to experience a process by which mathematics
was invented and the teacher role is as a guide who gives guidance to students. Guidance
here means striking a delicate balance between the force of teaching and the freedom of
learning.
3.
287
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
During the preparation for the experiment phase, we constructed the Hypothetical
Learning Trajectory that developed potential sequence activities concerning the goal of the
research. This construction was developed based on some supports: we explored and studied
prior research on fractions, elaborated mathematical phenomenology related to fractions,
take the data for the experiment and restrospective analysis. The subject of the research are
20 students of grade 4 SD At Taqwa Surabaya.
4.
Discussion
Models played an important role in this design research. In our plan sequence of
activities, we used the paper bar, the string rubber bands and the number line as models.
The paper bar folding was used in some of the first sequence activities. The string rubber
bands were used as generalizing model of the paper bar folding. Then the number line
model could be used as an abstraction of both previous models, the paper bar and the string
rubber bands.
The paper bar was used as a model here because initially it was close to the contextual
situation given: a long bar cake, we called it Lapis that should be divided into several
number parts. This can be illustrated as some paper bars that must be folded into several
numbers. The size of the paper bar should be equal to the size of the cake, because it made
the model make sense for the student. The paper bar is a very good model to develop
students understanding of fraction relations or simple operations with fraction such as
comparing fractions, equivalence of fractions and addition of fractions. With the paper bar,
students could support their reasoning about the equal fractions, for example to find the
equal fractions of ; the conjecture is that they fold the paper into two and have one part be
. They can also do it by folding the paper into 4 and having two parts of or in fraction
notation is 2/4 as of
4 parts.. Beside the equivalence of fractions, students can use the bar model of the papers
shape for reasoning about comparing fractions.
Another task for students related to the paper folding activity is folding the paper bar
into odd numbers such as 5, 7, 9, etc. I believed that students struggle with folding the
paper into those odd numbers. To face this struggle, we introduced the string rubber bands
as generalizing model of the paper bar model. To give an overview, below we give a
picture of string rubber bands to illustrate what we mean:
288
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
The string rubber bands were introduced in the different context as before. We used the
context of the cone cap game that is usually played on the Indonesian Independence day in
which we need the string rubber bands to support the game. The string rubber bands model
helps students to divide a length into odd numbers since the rubber bands can be stretched,
for example: previously students struggled to divide a length into seven parts; now they can
use seven string rubber bands and stretch them as long as the size of the thing that they want
to divide. That is why in the previous explanation, we said that the string rubber bands model
was as a generalized model of the paper bar model, because we could solve the division of
length into odd numbers. The string rubber bands model also helps the student to reinvent
equal fractions. The idea is for example to divide a long thing into two by using two string
rubber bands. If the students use two string rubber bands to divide a long thing into two, it
will be difficult to do since the string rubber band is not stretched enough. To solve it, they
can use four rubber bands and use two parts or 2/4. It means that students will have an idea
that is equal to 2/4.
5. Modeling process
The modeling processes are conducted in this design. In the learning and teaching
process, models play an important role. Modelling is a process in which a model is
initially constituted as a context-specific model of a situation [Gravemeijer, 1994].
Emergent modeling was a part of the three instructional designs of Realistic Mathematics
Education (RME). It is connected to developing more formal mathematical knowledge.
Emergent modeling indicates a long process that covers informal forms of modeling and it
generates the kind of mathematical knowledge that problem solvers need to construct
mathematical models [Gravemeijer & Bakker, 2006]. In the reinvention principle, the idea
is that the students construct models for themselves and this model serves as a basis for
developing formal mathematics knowledge. To be more specific, at first a model is
constituted as a context-specific model of situation. Later on, the model changes character,
it becomes an entity on its own. In this new shape, it can function as a basis, a model for
mathematical reasoning on a formal level [Gravemeijer, 1994]. For example: sharing a
pizza constitutes a situation that generates fraction, a circle is the context-specific model as
it provides an image of the pizza in the sharing process. In short, the model of informal
mathematical activity develops into a model for more formal mathematical reasoning.
In the first activity, students are asked to divide the cake by folding the paper bar under
the cake. In this case, the paper bar is model of the situation of dividing the cake. Beside this
contextual activity, students were also given the chance to explore more contexts. They
were given a place for sharing their own context, for example by giving them a paper to
draw their thinking or their own context. Guidance is always needed especially to bring
them to the bar model. Students used their drawing of a bar as a way to solve fraction
problems and help them reason out their answers. In other words, drawing bars became the
model for thinking and reasoning.
289
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Another tool that was used in this activity is the string rubber bands as generalizing
tool, since this tool can be used to divide the cake even into odd numbers that can not be
done with paper folding.
In the next plan activity, students symbolized the paper folding with the fraction
notation. From symbolizing the paper folding, students are brought to exploring fraction
relation on the number line. They can use the number line model to discuss and reason
about relation among fractions.
In this design research, we intertwined the concept of fraction as part of a whole and
measuring concept. The cake and measurement method are close to the paper bar as model
of situation and the drawing bar as model for reasoning to solve the comparing and adding
of fractions problems.
6. Conclusion
Contextual situation is as the starting point of sequential learning activities modified by the
related models, should remain in the students mind and bring them to engage in the given
context. It should not start with formal procedures of Mathematics, but rather stimulate
students to understand Mathematics better than that in the procedural or direct abstract ways
of learning. If this does still hold, however, it should be done in a way that students should
come to understand mathematical aspects beyond the given problems and in a way that they
are capable of reasoning to their answers.
On the other hand, the three related models should be collaborated with the given
contextual situations that comply with the students imagination. The first model that was
mentioned, the paper bar, is a model for learning fractions in most activities in this research
experiment. Also, it is used as a model for thinking and reasoning about relations among
fractions (comparing fractions and equivalence of fractions), for finding common
denominators as well as for investigating addition of fractions. Moreover, it serves as an
intermediate model to approach the number line model. The model is very powerful one to
explore the relations among fractions and, further, help students do simple operation with
fractions. Another model is the stretchable string rubber bands. This interesting model
functions as a generalizing model to explore the equivalence of fractions and is introduced
to refine the paper folding activity to achieve the goal of finding the equivalence of
fractions.
7. References
Bezuk, N., & Cramer,K. (1989) Teaching about Fractions: What, When and How? in
P.Trafton (Ed),National Council of Teachers of Mathematics 1989 Yearbook: New
Directions for Elementary School Mathematics (pp 156-167).Reston, VA: National
Council of Teachers of Mathematics
Cobb, Paul & Bauersfeld, Heinrich, The Emergence of Mathematical Meaning : Interaction in
classroom cultures, United States of America: Lawrence Erlbaum Associates, publishers,
1995.
290
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Gravemeijer, Koeno, Bowers, Janet & Stephan, Michelle (2003). A Hypothetical Learning
Trajectory in measurement and flexible arithmetic. In : M. Stephan, J. Bowers, P. Cobb &
K. Gravemeijer (Eds.), Supporting students development of measuring conceptions:
Analyzing students development in measuring conceptions: Analyzing students learning
in social context. Journal for research in Mathematics Education Monograph, 12:51-61
Streefland, Leen, Fractions in Realistic Mathematics Education, The Netherlands: Kluwer
Academic Publisher, 1991.
TAL Team, Fraction, Percentages, Decimal and Proportions, Utrecht-The Netherlands, 2007
291
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Pada era globalisasi ini, kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan
masalah merupakan kemampuan yang perlu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Matematika diakui
dapat dipakai sebagai wahana untuk menanamkan sikap kepribadian yang baik, seperti berpikir
kritis dan kreatif. Namun dalam pembelajaran matematika sehari-hari, potensi matematika untuk
menanamkan sikap berpikir kritis dan kreatif masih sering terabaikan.
Salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa setelah siswa belajar matematika adalah
kemampuan memecahkan masalah, sehingga harus diakui pendekatan pemecahan masalah
memegang peranan penting dalam pendidikan matematika. Pembentukan konsep (concept
formation) dan penyelesaian masalah (problem solving) bukanlah dua hal yang lepas satu sama
lain, tetapi keduanya mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama menyiratkan proses konstruksi.
Pembentukan konsep dapat dilakukan dengan menyelesaikan masalah dan dalam menyelesaikan
masalah siswa juga mempelajari konsep.
Dalam makalah ini akan ditunjukkan bahwa pendekatan pemecahan masalah selain dapat
digunakan untuk mengasah kemampuan memecahkan masalah dan pembentukan konsep, dapat
juga digunakan sebagai wahana untuk menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis dan
kreatif.
Kata Kunci: Berpikir Kritis, Berpikir Kreatif, Pemecahan Masalah
1. Pendahuluan
Pada era globalisasi ini, kemampuan berpikir kritis, kreatif dan kemampuan memecahkan
masalah merupakan kemampuan yang perlu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh banyak
kalangan, matematika dianggap dapat dipakai sebagai wahana untuk menanamkan sikap
kepribadian yang baik, misalnya berpikir kritis dan kreatif. Kemampuan problem solving juga
merupakan kemampuan atau kompetensi yang esensial atau utama yang harus dimiliki oleh
siswa setelah siswa belajar matematika. Kemampuan problem solving juga merupakan
kemampuan yang direkomendasikan oleh NCTM untuk dilatihkan serta dimunculkan sejak anak
belajar matematika dari sekolah dasar sampai pendidikan menengah dan pendidikan tinggi
(NCTM, 2000). Namun demikian, dalam pembelajaran matematika sehari-hari, potensi
matematika untuk menanamkan sikap berpikir kritis dan kreatif serta untuk mengasah
kemampuan memecahkan masalah masih sering terabaikan.
Schoenfeld (1994) melaporkan suatu eksperimen pada siswa-siswa sekolah dasar. Kepada
siswa-siswa ini diberikan soal: Kalau dalam sebuah kapal ada 26 ekor biri-biri dan 10 ekor
kambing, berapakah usia kapten kapalnya? Hasilnya sangat menakjubkan, yaitu 76 dari 97
siswa menjawab masalah ini menambahkan bilangan-bilangan tersebut. Mereka merasa dituntut
292
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
untuk memecahkan masalah itu harus dengan menggunakan informasi yang diberikan, sehingga
tidak berusaha memahami persoalan yang dihadapinya.
Dalam dunia pendidikan yang masih banyak menganut cara konvensional yang menuntut
siswa hanya menelan apa yang disampaikan guru memang sulit mengharapkan siswa mampu
mengajukan pemikirannya sendiri. Mereka cenderung tampil sebagai individu yang berpikir
mekanis. Siswa tidak berani menggunakan caranya sendiri, takut salah karena tidak sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh gurunya. Cara berpikir siswa hanyalah tiruan dari cara berpikir
guru. Untuk memperbaiki kondisi seperti ini, perlu dilakukan usaha untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif serta kemampuan memecahkan masalah yang tidak rutin.
Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana menumbuhkankembangkan kemampuan berpikir
kritis dan kreatif melalui kegiatan pemecahan masalah.
2. Berpikir Kritis
Dalam beberapa tahun terakhir, berpikir kritis sering menjadi fokus pembicaraan yang
hangat dalam dunia pendidikan. Berpikir kritis sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari,
mengingat dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu dihadapkan dengan masalah yang perlu
dipecahkan. Untuk dapat memecahkan masalah dengan baik, manusia harus dapat mengambil
keputusan yang tepat. Sedangkan untuk membuat keputusan yang tepat, diperlukan kemampuan
berpikir kritis yang baik.
Menurut Ennis (1996), berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang terjadi pada
seseorang yang bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal mengenai
sesuatu yang diyakini. Krulik dan Rudnick (NCTM, 1999) mengemukakan bahwa berpikir kritis
meliputi menguji, mempertanyakan, menghubungkan, mengevaluasi semua aspek yang ada
dalam situasi atau suatu masalah.
Berpikir kritis (critical thinking) merupakan salah-satu jenis berpikir tingkat tinggi selain
pemecahan masalah (problem solving), pengambilan keputusan (decision making), dan berpikir
kreatif (creative thinking). Beberapa kemampuan yang dikaitkan dengan konsep berpikir kritis
adalah kemampuan untuk memahami masalah, menyeleksi informasi yang penting untuk
menyelesaikan masalah, memahami asumsi-asumsi, merumuskan dan menyeleksi hipotesis
yang relevan, serta menarik kesimpulan yang valid dan menentukan kevalidan dari kesimpulankesimpulan. Cara berpikir kritis merupakan cara berpikir yang terarah, terencana, mengikuti alur
logis sesuai dengan fakta yang diketahui.
Jadi berpikir kritis berkaitan erat dengan serangkaian pernyataan (premis) sebagai dasar
untuk menarik kesimpulan yang dilakukan secara logis berdasarkan premis-premis yang ada.
293
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Dengan demikian, cara berpikir kritis merupakan cara berpikir yang terarah, terencana,
mengikuti aturan-aturan yang logis berdasarkan fakta yang diketahui.
Ennis (1996) secara singkat menyatakan bahwa terdapat 6 unsur dasar dalam berpikir
kritis, yang disingkat FRISCO, yaitu:
a. Focus (Fokus)
Dalam menyelesaikan masalah matematika yang sulit, orang harus fokus. Misalnya tentang
apa masalahnya, apa yang diketahui, apa yang merupakan inti persoalan sebelum ia
memutuskan untuk memilih strategi atau prosedur yang tepat atau sesuai.
b. Reason (Alasan)
Karena matematika merupakan ilmu yang sifatnya deduktif, maka harus ada alasan (reason)
yang tepat sebagai dasar sebelum suatu langkah ditempuh. Alasan itu dapat berasal dari
informasi yang diketahui atau teorema, sifat, dan lain-lain. Alasan digunakan agar kita
bersifat kritis terhadap suatu situasi, misalnya situasi yang disediakan dalam bentuk suatu
soal, atau suatu situasi yang muncul karena pikiran sendiri yang perlu dikritisi berdasarkan
alasan-alasan yang tepat agar kebenaran pemikiran itu mendapat penguatan.
c. Inference (Kesimpulan)
Penarikan kesimpulan yang benar harus didasarkan pada langkah-langkah yang betul dan
mempunyai alasan yang masuk akal atau laogis dari setiap langkahnya. Kesimpulan dapat
melahirkan sesuatu yang baru yang dapat berperan sebagai fokus untuk dipikirkan,
sedangkan alasan merupakan dasar bagi suatu proses penarikan kesimpulan.
d. Situation (Situasi)
Dalam berpikir kritis, konteks atau situasi perlu diperhitungkan, karena hal ini membantu
untuk merujuk pada konsep tertentu dan memilih alasan yang tepat. Suatu situasi yang
menempatkan seseorang dalam keadaan terdesak akan memicunya untuk berpikir kritis
sebelum bertindak membuat suatu keputusan yang tepat.
e. Clarity (Kejelasan)
Kejelasan mengenai masalah yang dihadapi amatlah diperlukan sebelum seseorang bersikap
kritis, misalnya dalam merespon pernyataan yang dikemukakan orang lain secara lesan
maupun tulisan, demikian juga dalam menyampaikan pendapat untuk ditanggapi orang lain.
Jika tidak terdapat kejelasan, maka akan sulit untuk membuat suatu kesimpulan dan
membuat keputusan yang tepat.
294
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
b.
Kelancaran (Fluency)
Kemampuan untuk mencetuskan banyak gagasan dalam menyelesaikan masalah,
memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan banyak hal, bekerja lebih cepat dan
melakukan lebih banyak dari pada yang lain.
c.
Keluwesan (Flexibility)
295
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Keaslian (Originality)
Memberikan gagasan yang baru dalam menyelesaikan masalah dan jarang dilakukan oleh
kebanyakan orang.
4. Pemecahan Masalah
Bell (1981) menyatakan bahwa, suatu situasi merupakan masalah bagi seseorang, apabila
ia menyadari adanya situasi itu, mengakui bahwa situasi itu memerlukan tindakan, dia mau atau
perlu bertindak, dia melakukan tindakan, dan dia tidak segera mampu memecahkan situasi itu.
Sumardyono (2010) mengatakan bahwa tidak setiap soal dapat disebut problem atau
masalah. Ciri-ciri suatu soal disebut masalah jika paling tidak memuat dua hal, yaitu:
a. Soal tersebut menantang (challenging)
b. Soal tersebut tidak otomatis diketahui cara penyelesaiannya (non-routine).
George Polya (1957) menyatakan bahwa mendapat suatu masalah berarti mencari dengan
sadar beberapa tindakan yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang jelas, tetapi tujuan tidak
dapat dicapai dengan segera, dan menyelesaikan suatu masalah berarti menemukan tindakan
tersebut.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu masalah ditandai oleh:
a. Adanya keadaan awal, yaitu informasi tentang situasi tertentu yang dapat dipakai sebagai
titik tolak.
b. Adanya keadaan akhir, yang merupakan tujuan.
c. Adanya kesulitan yang secara sadar dialami oleh siswa untuk membawa atau mengubah
keadaan awal ke keadaan akhir.
Sehingga dapat dikatakan bahwa seorang siswa dikatakan menghadapi masalah apabila dia
menyadari kesulitan untuk membawa atau mengubah keadaan awal ke keadaan akhir. Ini berarti
kalau seorang siswa tidak menyadari adanya kesulitan, atau menyadari tetapi tidak berkeinginan
untuk mengatasinya, atau seseorang tidak mengalami kesulitan untuk membawa keadaan awal
ke keadaan akhir, maka sesuatu itu bukan merupakan masalah bagi siswa tersebut.
296
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Dengan demikian menyelesaikan suatu masalah berarti berusaha memperoleh apa yang
dicari. Dan harus diakui, hal ini bukan merupakan hal yang mudah bagi sebagian besar siswa.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Gagne dalam teori belajarnya, bahwa belajar
memecahkan masalah merupakan kegiatan belajar yang paling tinggi tingkatannya. Pada jenis
belajar ini, seorang siswa dihadapkan pada situasi dimana untuk menanggapinya tidak ada
hukum, rumus, atau teorema yang dapat digunakan, karena mungkin aturan itu belum diketahui
atau karena aturan tersebut memang belum ada sama sekali, sehingga untuk menanggapi situasi
tersebut, siswa harus berpikir dengan serius dalam rangka menentukan suatu tanggapan. Untuk
menentukan tanggapan tersebut, siswa perlu mengingat kembali semua pengetahuan yang kirakira relevan dan kemudian menggabungkan semua pengetahuan itu dengan ciri-ciri yang sesuai
dengan situasi yang dihadapi dan kemudian setelah semua ini diolah dalam pikiran, siswa lalu
dapat menentukan tanggapan atau kesimpulan yang tepat.
Menurut Polya langkah-langkah umum penyelesaian masalah yang disebut metode
heuristik, adalah sebagai berikut:
a.
Memahami Masalah
Kegiatan yang dilakukan pada langkah ini adalah merumuskan apa yang diketahui, apa
yang ditanyakan, apakah informasi yang ada sudah cukup, kondisi (syarat) apa yang harus
dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat
dipecahkan).
b.
c.
Melaksanakan Rencana
Kegiatan yang dilakukan pada langkah ini adalah menjalankan prosedur yang telah dibuat
pada langkah sebelumnya untuk mendapat penyelesaian.
d.
297
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
sudah
diketahui
atau
dari
teorema,
sifat-sifat,
dan
lain-lain.
Kegiatan
menyebutkan/menuliskan alasan sangat berguna agar siswa bersifat kritis terhadap situasi
yang sedang dihadapinya.
b. Menemukan kesalahan dan membetulkannya
Guru memberikan suatu penyelesaian yang mengandung kesalahan, baik kesalahan konsep
atau kesalahan perhitungan. Kemudian siswa diminta untuk menemukan kesalahan itu dan
diminta untuk membetulkannya. Siswa juga dapat diminta untuk menjelaskan apa yang salah
dan mengapa salah. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memberi peluang bagi siswa untuk
mengasah kemampuan berpikir kritis.
5.2 Cara Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kreatif
a. Menyelesaikan masalah dengan beberapa cara berbeda
Menyelesaikan masalah dengan beberapa cara yang berbeda menuntut dan melatih siswa
untuk berpikir kreatif serta memberdayakan pengetahuan dan pengalaman yang telah
dimiliki oleh siswa. Dalam hal ini, guru harus memilih soal-soal divergen yang
penyelesaiannya dapat diperoleh dengan berbagai cara atau beragam jawaban.
298
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
299
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
6. Penutup
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif sangat diperlukan untuk meningkatkan
kemampuan matematika siswa secara optimal. Kemampuan berpikir kritis dan kreatif dapat
dilatih dan ditumbuhkembangkan pada saat siswa sedang berusaha memecahkan masalah yang
tidak rutin. Untuk itu guru harus kreatif dalam memberikan masalah yang menantang bagi
siswanya. Melalui pemecahan masalah yang tidak rutin, dapat diharapkan selain siswa
mempunyai ketrampilan memecahkan masalah, kemampuan siswa dalam berpikir kritis dan
kreatif juga dapat berkembang.
7. Pustaka
Bell, F.H., (1981). Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School). Wm. C. Brown
Company Publishers, Dubuque, Iowa.
Ennis, R.H., (1996). Critical Thinking. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Evans, J.R., (1991). Creative Thinking. United State of America: Prentice Hall, Inc.
Fisher, R., (1995). Teaching Children to Think. London: Stanley Thornes Ltd.
Krulik, S. & Rudnick, J.A., (1999). Innovative Tasks to Improve Critical and Creative Thinking
Skills. Dalam Stiff, L.V. & Curcio, F.R. (eds). Developing Mathematical Reasoning in
Grades K-12. 1999 Year book. p. 138-145. NCTM, Reston, Virginia.
NCTM, (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Virginia.
Pehkonen, E., (1997). The State-of-Art in Mathematical Creativity. http://www.emis.de/
journals/ZDM/zdm973a1.pdf. Diakses 16 September 2011.
Polya, G., (1957). How to Solve It. Doubleday & Company, Inc., Garden City, New York.
Schoenfeld, A.H., (1994). Mathematical Thinking and Problem Solving. Lawrence Erlbaum
Associates, Inc., Publishers, Hillsdale, New Jersey.
Solso, R.L., (1995). Cognitive Psychology. USA: Allyn and Bacon.
Sumardyono, 2010. Pengertian Problem Solving. http://problemsolving.p4tkmatematika.
Org/2010/02/pengertian dasar problem-solving/ diakses 16 September 2011.
300
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Teori pendidikan ada dua macam yaitu teori pendidikan anak atau yang biasa disebut pedagogi
dan teori pendidikan untuk orang dewasa atau yang biasa disebut andragogi. Di sekolah
digunakan pedagogi. Hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran yang berdasar
pedagogi adalah (1) anak sangat bergantung pada orang lain. (2) perlu dibangun pengalaman
pada diri anak, (3) belajar merupakan proses pengumpulan informasi yang sedang dipelajari.
Kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa sebagian guru matematika telah banyak
mengabaikan konsep pedagogi. Guru menjelaskan konsep matematika dengan definisi. Guru
mengajarkan memecahkan soal cerita tanpa melatihkan proses menyelesaikan soal.
Dari beberapa contoh tersebut, menunjukkan bahwa telah terjadi pengikisan konsep pedagogi
dalam pembelajaran matematika.
Katakunci: pedagogi, pengikisan, pembelajaran matematika
1. Pendahuluan
Teori pendidikan ada dua macam yaitu teori pendidikan anak atau yang biasa disebut
pedagogi dan teori pendidikan untuk orang dewasa atau yang biasa disebut andragogi. Di
sekolah digunakan pedagogi. Guru sebagai salah satu pelaku pendidikan di sekolah harus
memiliki kompetensi. Kompetensi guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun
2007 tentang guru, dinyatakan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh guru meliputi
kompetensi pedagogi, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi professional.
Tetapi kenyataan di lapangan, dalam melaksanakan pembelajaran, banyak guru yang
tidak sepenuhnya menerapkan konsep pedagogi dalam mendidik siswa/peserta didik. Hal yang
sering diabaikan tersebut antara lain adalah tidak menerapkan teori belajar yang meliputi teori
psikologi dalam pembelajaran. Padahal dalam kompetensi pedagogi, salah satu kompetensi
yang harus dimiliki guru adalah menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik, dan menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik.
Pada makalah ini akan dibahas tentang konsep pedagogi yang mulai terkikis dalam
pembelajaran.
2. Pembahasan
a. Konsep Pedagogi dalam Pembelajaran
Secara etimologi kata pedagogi berasal dari kata Yunani paedos, yang berarti anak lakilaki dan agogos artinya mengantar, membimbing. Menurut Prof. Dr. J. Hoogveld
301
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
(Belanda) pedagogik adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak ke arah
tujuan tertentu, yaitu supaya kelak ia mampu secara mandiri menyelesaikan tugas
hidupnya.
Jadi pedagogik adalah Ilmu Pendidikan Anak. Beberapa ahli membedakan istilah
pedagogik dengan istilah pedagogi. Pedagogik diartikan dengan ilmu pendidikan, lebih
menitik beratkan kepada pemikiran, perenungan tentang pendidikan. Suatu pemikiran
bagaimana kita membimbing anak, mendidik anak. Sedangkan istilah pedagogi berarti
pendidikan, yang lebih menekankan kepada praktek, menyangkut kegiatan mendidik,
kegiatan membimbing anak.
Berdasar konsep pedagogi, maka yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran adalah: (1)
anak sangat bergantung pada orang lain. Artinya dalam pembelajaran, anak sangat
bergantung pada guru. Siswa tidak tahu apa yang mesti dilakukan kecuali mengikuti apa
yang dilakukan oleh guru. Dalam hal ini guru harus pandai-pandai dalam menentukan
strategi atau metode pembelajaran. (2) perlu dibangun pengalaman pada diri anak. Dalam
pembelajaran anak perlu diberikan pengalaman-pengalaman yang mengarahkan pada
pembentukan konsep pada diri anak. (3) belajar merupakan proses pengumpulan informasi
yang sedang dipelajari. Pada orang dewasa belajar adalah menyelesaikan masalah yang
terjadi saat itu. Berbeda dengan orang dewasa, pada pendidikan anak belajar merupakan
proses pengumpulan informasi untuk kelangsungan hidupnya kelak.
mendidik.
(6)
Memfasilitasi
pengembangan potensi
peserta
didik untuk
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. (2)
Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta
didik dan masyarakat. (3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa,
arif, dan berwibawa. (4) Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga
menjadi guru, dan rasa percaya diri. (5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
Adapun kompetensi social yang harus dikuasai guru adalah (1) Bersikap inklusif, bertindak
objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi
fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi. (2) Berkomunikasi secara efektif,
empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan
masyarakat. (3) Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang
memiliki keragaman sosial budaya. (4) Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri
dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
Dan terakhir kompetensi professional guru adalah (1) Menguasai materi, struktur,
konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. (2)
Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan
yang diampu. (3) Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif. (4)
Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan
reflektif. (5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan
mengembangkan diri.
Kalau kita perhatikan dalam kompetensi pedagogi yang harus dimiliki guru, konsep
pedagogi ada pada poin: (1) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral,
sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (2) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik, (3) Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang
mendidik.
(1) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional,
dan intelektual
Guru dalam menentukan tujuan pembelajaran dan menyampaikan materi harus (a)
memperhatikan karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural,
emosional, dan intelektual, (b) mengidentifikasi potensi peserta didik dalam mata
pelajaran yang diampu, (c) mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik dalam mata
pelajaran yang diampu, (d) mengidentifikasi kesulitan belajar peserta didik dalam mata
pelajaran yang diampu. Guru sebisa mungkin mengakomodir semua karakteristik siswa
di kelasnya.
(2) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik
Dalam pembelajaran guru harus menerapkan teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran. Menurut Skemp (1981), ada dua prinsip dalam mengajar matematika (a)
303
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
untuk mengajarkan konsep yang lebih tinggi dari konsep yang dimiliki siswa, tidak
cukup hanya dengan memberikan definisi, Tetapi siswa bisa diarahkan dengan
memberikan contoh-contoh dari konsep tersebut. (b) siswa akan lebih mudah menguasai
konsep yang diajarkan jika pengetahuan yang terkait dengan konsep tersebut telah
cukup dimiliki oleh siswa. Dalam pembelajaran tidak cukup hanya diberikan definisi
suatu konsep, tetapi siswa harus digiring sedemikian hingga siswa mengonstruksi
pengetahuannya, sesuai dengan teori tentang terbentuknya suatu konsep. Selain itu,
pada prinsip yang kedua, guru harus mempersiapkan siswa sebelum memberikan
pelajaran. Yang dimaksud dengan mempersiapkan siswa adalah guru harus yakin bahwa
pengetahuan prasyarat sudah dimiliki oleh siswa.
(3) Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik.
Dalam menentukan kegiatan dalam pembelajaran, guru harus memperhatikan proses
mental yang harus dilalui oleh siswa. Guru harus bisa mengaplikasikan model dan teori
pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa.
c. Contoh terkikisnya konsep pedagogi dalam pembelajaran matematika
Fenomena yang ada saat ini banyak guru mengeluh karena prestasi siswa rendah.
Guru menyatakan sudah menggunakan berbagai cara untuk menyampaikan konsep tetapi
siswa masih kesulitan dalam memahami konsep tersebut. Kalau kita telusuri lebih lanjut
tentang mengapa siswa mengalami kesulitan dalam memahami suatu konsep terutama
matematika, salah satu penyebabnya adalah mulai terkikisnya konsep pedagogi dalam
pembelajaran.
Pembelajaran saat ini lebih menekankan pada bagaimana materi yang diajarkan bisa
dikuasai oleh siswa. Padahal materi/pengetahuan dapat dikuasai siswa dalam jangka waktu
yang lama jika cara penanamannya tepat. Cara penanaman konsep yang tepat sangat erat
kaitannya dengan konsep pedagogi. Salah satu contoh konsep pedagogi yang terkait dengan
penanaman konsep pada diri siswa adalah pembentukan konsep. Konsep terbentuk melalui
proses klasifikasi, abstraksi, dan generalisasi. Karena konsep terbentuk melalui klasifikasi,
abstraksi, dan generalisasi, maka guru dalam menanamkan konsep pada siswa sebaiknya
memperhatikan proses tersebut.
Berikut akan diberikan tentang contoh-contoh pembelajaran yang menunjukkan mulai
terkikisnya konsep pedagogi.
1. Pembelajaran bilangan bulat
Pembelajaran perkalian bilangan bulat yang terjadi di banyak sekolah adalah langsung
memberikan bahwa:
304
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
dengan memberikan langsung pernyataan di atas, secara tidak langsung guru hanya
mengaharap siswa untuk menghafal. Padahal matematika adalah logika. Dengan
pembelajaran yang demikian berarti guru tidak membangun pengalaman pada diri
anak untuk menemukan/mengonstruksi pengetahuan.
2. Mengajarkan pengetahuan yang lebih tinggi dengan memberikan definisi. Menurut
Skemp (1981) konsep terbentuk melalui pemahaman terhadap contoh konsep
tersebut. Jika guru memberikan konsep dengan definisi, berarti menuntut siswa untuk
menghafal konsep tersebut tanpa memahami. Sebagai contoh dalam mengajarkan
logaritma, siswa hanya diberikan definisi alog b = c artinya ac = b
3. Mengajarkan pemecahan masalah tanpa melatihkan proses pemecahan masalah.
Salah satu tuntutan dari kurikulum adalah siswa terampil dalam memecahkan
masalah. Menurut Polya, proses pemecahan masalah meliputi (a) memahami
masalah, ditunjukkan dengan menuliskan apa yang diketahui dalam soal dan yang
ditanyakan oleh soal; (b) merencanakan, siswa harus mengumpulkan informasi dan
pengetahuan yang dimiliki untuk merencanakan penyelesaian masalah; (c)
menyelesaikan masalah, siswa melaksanakan rencana yang telah dibuat; (d)
memeriksa kembali, setelah ditemukan penyelesaian, siswa memeriksa kembali
apakah penyelesaian yang ditemukan sudah benar atau belum. Soal yang diberikan
kepada siswa dalam soal pemecahan masalah adalah soal non rutin. Karena soal non
rutin maka siswa tidak akan bisa menyelesaikan sesuai dengan langkah penyelesaian
masalah tanpa dilatihkan terlebih dahulu.
3. Penutup
Berdasar uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep pedagogi dalam
pembelajaran matematika mulai terkikis. Guru dalam membelajarkan matematika kurang
memperhatikan faktor psikologis siswa seperti bagaimana konsep terbentuk pada diri siswa,
pengalaman belajar apa yang harus diberikan kepada siswa terkait dengan konsep yang akan
dipelajari. Jika kita memperhatikan konsep pedagogi dalam pembelajaran matematika, konsep
akan dipahami oleh siswa dan akan disimpan lebih lama dalam memori siswa.
4. Pustaka
Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.: 16 Tahun
2007 Tentang Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
Skemp, Richard R., 1981, The psychologi of learning mathematics, illionis
Sofyan, 2010, andragogi dan pedagogi, forum Universitas Negeri Malang, Malang
305
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Pembelajaran matematika di kelas umumnya kurang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengonstruksi pengetahuan yang harus menjadi milik siswa. Guru cenderung
memaksakan cara berpikir siswa dengan cara berpikir mereka. Dengan kondisi yang demikian,
kemampuan kreatif siswa menjadi kurang berkembang. Tujuan utama penelitian ini adalah
untuk memperoleh gambaran mengenai peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang
memperoleh pembelajaran berbasis masalah open-ended dan aktivitas siswa dan guru dalam
pembelajaran. Data hasil penelitian diperoleh melalui tes kemampuan berpikir kreatif dan
lembar observasi. Populasi penelitian adalah siswa SMP Negeri 4 Bandar Lampung dengan
subjek sampel adalah siswa kelas VIII sebanyak dua kelas yang dipilih dengan teknik
purposive sampling. Berdasarkan analisis data, diperoleh bahwa rata-rata peningkatan
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada pembelajaran berbasis masalah open-ended
lebih tinggi dari pada pembelajaran konvensional.
Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah Open-ended, Kemampuan Berpikir Kreatif
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran matematika di
Indonesia telah lama dilakukan, namun keluhan tentang kesulitan belajar matematika masih
sering terdengar. Kesulitan belajar yang timbul tersebut tidak semata-mata bersumber dari diri
siswa, tetapi bisa juga bersumber dari luar diri siswa, misalnya cara penyajian pelajaran yang
dilakukan oleh guru.
Menurut Noer (2009) pembelajaran matematika di SMP kota Bandar Lampung secara
umum terbiasa dengan urutan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut : (1) diajarkan
teori/definisi/teorema; (2) diberikan contoh-contoh; (3) diberikan latihan soal. Selain itu
Yuwono (2001) mengatakan bahwa pada umumnya guru mengajar hanya menyampaikan apa
yang ada di buku paket dan kurang mengakomodasi kemampuan siswanya. Dengan kata lain,
guru tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan
matematika yang akan menjadi milik siswa sendiri. Guru cenderung memaksakan cara berpikir
siswa dengan cara berpikir yang dimiliki gurunya.
Dengan kondisi yang demikian, kemampuan kreatif siswa kurang berkembang. Padahal
sebagai negara berkembang, Indonesia sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang mampu
306
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
memberikan sumbangan yang bermakna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
demi kesejahteraan bangsa ini. Selain itu, pelaksanaan pendidikan menuntut sebuah proses
pembelajaran yang menekankan pada prinsip berpusat pada siswa, mengembangkan kreativitas
siswa, menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam
kemampuan yang bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar
melalui berbuat. Oleh karena itu harus ada upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran yang
terjadi saat ini.
Sebuah model pembelajaran yang didasari oleh pandangan konstruktivisme adalah
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Pembelajaran ini memberikan suatu lingkungan
pembelajaran dengan masalah yang menjadi basisnya, artinya pembelajaran dimulai dengan
masalah yang harus dipecahkan. Masalah dimunculkan sedemikian hingga siswa perlu
menginterpretasi masalah, mengumpulkan informasi yang diperlukan, mengevaluasi alternatif
solusi, dan mempresentasikan solusinya. Ketika siswa mengembangkan suatu metode untuk
mengkonstruksi suatu prosedur, mereka mengintegrasikan pengetahuan konsep
dengan
matematik yang lebih fleksibel dapat meningkat. Hal ini dapat membantu siswa melakukan
pemecahan masalah secara kreatif dan membuat siswa lebih menghargai keragaman berpikir
selama proses pemecahan masalah. Terlihat bahwa pembelajaran ini dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif siswa, karena pembelajaran ini tidak mengharuskan siswa
menghapal fakta-fakta, tetapi mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuan di dalam pikiran
mereka sendiri.
Kondisi secara umum tentang kemampuan berpikir kreatif yang masih rendah, terjadi
juga pada siswa-siswa SMP Negeri di Kota Bandar Lampung. Sebagian besar siswa cenderung
menghafal tanpa makna. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan studi eksperimen
menggunakan pembelajaran berbasis masalah open-ended untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif siswa.
307
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
pembelajaran
matematika, siswa
perlu
dibiasakan
untuk memecahkan
masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bekerja dengan ide-ide. Siswa
harus dapat mengonstruksi pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan
esensi dari teori konstruktivisme yang menekankan bahwa siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks kepada situasi lain, sehingga informasi itu
menjadi milik mereka sendiri atau dapat dikatakan mereka memperoleh pengethuan.
Perolehan pengetahuan siswa diawali dengan diadopsinya hal baru sebagai hasil
interaksi dengan lingkungannya. Kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan konsep awal
yang telah dimiliki. Jika hal baru tersebut tidak sesuai dengan konsepsi awal siswa, maka akan
terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam struktur
kognitifnya. Melalui proses akomodasi, siswa dapat memodifikasi struktur kognitifnya menuju
keseimbangan sehingga terjadi asimilasi (Kusdwiratri-Setiono, 1983; Suparno, 1997; Oakley,
2004; Suryadi, 2005). Pada akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh siswa
melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya (Bell, Driver, dan Leach,
dalam Karli & Yuliartiningsih, 2000).
Dengan dasar itu, pembelajaran matematika harus dikemas menjadi proses
mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran matematika sangat
diharapkan siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam
proses belajar dan mengajar (Labinowicz,1985; Confrey,1994). Salah satu pendekatan
pembelajaran yang didasari oleh pandangan konstruktivisme adalah Problem-based learning
(PBM).
Dalam PBM, siswa diharapkan dapat merumuskan
matematis, yang memuat suatu prosedur yang tidak rutin atau yang tidak terstruktur dengan
baik. Kemudian siswa dapat menggali informasi terkait dengan masalah, membuat konjektur,
dan menggeneralisasi tentang konsep dan prosedur matematika. Di samping itu, siswa
diharapkan dapat membuat koneksi antar ide-ide matematis dengan menyelesaikan masalah
yang baru bagi mereka dalam berbagai cara penyelesaian (Erickson,1999). Oleh karena itu
tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus memperlihatkan suatu situasi yang prosedur atau
algoritmanya belum diketahui siswa. Masalah dalam tugas harus merupakan suatu aktivitas
yang memfokuskan perhatian siswa pada suatu konsep matematika, generalisasi, prosedur atau
cara berpikir tertentu.
Pada pembelajaran berbasis masalah, masalah merupakan alat pembelajaran yang
utama. Terdapat lima strategi dalam memanipulasi masalah menurut (Savery dan Duffy, 1996)
308
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
yaitu: (1) masalah sebagai penuntun, (2) masalah sebagai suatu contoh, (3) masalah sebagai
suatu integrator atau tes, (4) masalah sebagai wahana proses, (5) masalah sebagai stimulus
untuk aktivitas otentik. Bila dilihat dari strukturnya, menurut Matlin (2003) masalah dapat
dibedakan menjadi dua macam, yakni: 1) masalah yang terdefinisi dengan baik (well-defined
problem); 2) masalah yang tidak terdefinisi dengan baik (ill-defined problem). Foshay dan
Kirkley (2003) membagi masalah dalam 3 bentuk yaitu: 1) yang terstruktur dengan baik (wellstructured), 2) yang sedang-sedang saja (moderately-stuctured), 3) yang tidak terstruktur atau
tidak lengkap (ill-stuctured).
Pada pembelajaran berbasis masalah, siswa dihadapkan dengan masalah-masalah illstructured, open-ended, ambigu, dan kontekstual (Fogartty, 1997). Namun pada penelitian ini
masalah yang digunakan bersifat open-ended. Menurut Sawada (1997) Ada tiga tipe
permasalahan open-ended, yaitu: (1) Mencari hubungan, (2) Klasifikasi, (3) Pengukuran.
Permasalahan seperti ini menuntut siswa mengaplikasikan pengetahuan matematis dan
keterampilan yang mereka miliki untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Kreativitas dalam matematika lebih pada kemampuan berpikir kreatif. Hal ini karena
secara umum sebagian besar aktivitas yang dilakukan seseorang yang belajar matematika adalah
berpikir. Beberapa ahli mengatakan bahwa berpikir kreatif dalam matematika merupakan
kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan intuisi tetapi dalam kesadaran
yang memperhatikan fleksibilitas, kefasihan dan kebaruan (Pehkonen, 1999; Krutetskii, 1976;
Haylock, 1997; Silver, 1997).
Berdasarkan analisis faktor, Guilford menemukan bahwa ada 5 ciri yang menandai
munculnya proses kreatif yakni: 1) fluency, 2) flexibility, 3) originality, 4) elaboration, dan 5)
redefinition. Selain itu, Torrance (dalam Tarrow dan Lundsteen, 1978) mengidentifikasi empat
kriteria kreativitas yakni 1) fluency, 2) flexibility, 3) originality, 4) elaboration. Munandar
(1977) mengemukakan: Creativity is process that manifests itself in fluency, in flexibility as
well as in originality of thinking. Sedangkan Silver (1997) memberikan indikator untuk
menilai berpikir kreatif siswa (kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan) menggunakan pengajuan
masalah dan pemecahan masalah.Dengan demikian secara umum terdapat 5 macam ciri kreatif
untuk mengukur kemampuan kreatif seseorang.yakni aspek (1) Kelancaran (fluency); (2)
Keluwesan (flexibility); (3) Keterperincian (elaboration); (4) Kepekaan (sensitivity); dan (5)
Keaslian (Originality)
309
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2. Metode Penelitian
2.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi eksperimen dengan desain Delayed Counter balanced
Design (Noer, 2007). Adapun langkah-langkah penelitian yang dilakukan adalah: (1)
Menentukan sampel penelitian; (2) Sampel dibagi menjadi 2 kelompok yang selanjutnya disebut
kelompok I dan kelompok II; (3) Mengadakan pretes kepada masing-masing kelompok; (4)
Melaksanakan pembelajaran berbasis masalah open ended untuk materi Kubus dan Balok pada
kelompok I dan dengan pendekatan konvensional pada kelompok II; (5) Memberikan tes akhir
untuk mengetahui hasil belajar siswa untuk materi Kubus dan Balok; (6) Melanjutkan
pembelajaran dengan kegiatan Game pada siswa kelompok I maupun siswa kelompok II.
Langkah ini dinamakan langkah delay atau penundaan perlakuan sebagai upaya untuk
mengontrol efek pindahan (Carry over effect); (7) Melaksanakan pembelajaran untuk materi
Prisma dan Limas dengan pendekatan konvensional pada kelompok I dan pembelajaran berbasis
masalah open ended pada kelompok II; (8) Memberikan tes akhir untuk mengetahui hasil
belajar siswa untuk materi Prisma dan Limas; (9) Mengumpulkan data dan mengolahnya; (10)
Menganalisis data.
2.2 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 4 Bandar
Lampung yang terdiri dari 8 kelas dan sampel penelitian sebanyak 2 kelas yang diambil secara
acak. Dalam penelitian ini, terpilih kelas VIII-A sebagai kelompok I dan kelas VIII-H sebagai
kelompok II.
2.3 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini tes digunakan untuk memperoleh nilai kemampuan berpikir kratif
siswa mengenai materi Bangun ruang. Butir tes untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif
disusun dalam bentuk tes uraianyang berbentuk soal open-ended dan skor jawaban siswa diukur
berdasarkan 5 indikator kemampuan berpikir kreatif sebagaimana diuraikan di atas. Sebelum
soal tes dipergunakan,terlebih dahulu diujicobakan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya
pembeda , dan indeks kesukarannya.
2.4 Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data penelitian maka dilakukan dengan cara: (1) menguji
normalitas dan homogenitas variansi kedua kelompok data, dilanjutkan dengan (2) menguji
perbedaan dua rata-rata.
310
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
xmin
xmaks
Eksperimen
100
8,33
96,43
59,86
20,71
Kontrol
100
8,93
95,83
57,26
24,32
Kelas
Tes Akhir
berdistribusi normal. Selanjutnya uji homogenitas variansi skor kemampuan berpikir kreatif
matematis dengan menggunakan uji Levenemenyimpulkan bahwa variansi dari kedua kelompok
sampel tersebut adalah homogen. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan rata-rata
kedua kelompok sampel, dilakukan uji perbedaan rata-rata skor kemampuan berpikir kreatif
matematis menggunakan uji-t. Berdasarkan pengujian, diperoleh nilai
311
t = 0,647dan nilai
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
probabilitas (sig.) = 0,004. Hal ini berarti hipotesis nol ditolak. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif matematis siswa
pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Berdasarkan skor yang diperoleh terlihat
bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dalam pembelajaran berbasis masalah
open-ended lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran secara konvensional.
5. Pustaka
Confrey, J. (1994). A Theory of Intellectual Development (Part. I). For the Learning of
Mathematics, 14 (3), XIV, 2-8.
Erickson, D.K. (1999). A Problem-Based Approach to Mathematics Instruction. The
Mathematics Teacher. Reston, VA: NCTM.
Foshay, R. dan Kirkley, J. (2003).Principles for Teaching Problem Solving. [Online]. Tersedia:
www.plato.com/downloads/paper_04.pdf (14 April 2008)
Fogartty, R. (1997). Problem-Based Learning and Other Curriculum Models for The Multiple
Intelligences Classroom. Australia: Hawker Brownlow Education.
Karli, H dan Yuliariatiningsih, M.S. (2002). Implementasi KBK 1. Jakarta: Bina Media
Informasi.
Krutetskii, V.A. (1976). The Psychology of Mathematical Abilities in School Children.
Chicago: University of Chicago Press.
Kusdwiratri-Setiono (1983). Teori Perkembangan Kognitif. Bandung: Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran.
Labinowicz, E.(1985). Learning from Children: New Beginnings for Teaching Numerical
Thinking: A Piagetian Approach. Menlo Park, CA: Addison-Wesley.
Matlin, M.W. And Geneseo, S. (2003). Cognition (5th Ed). New Jersey: John Wiley & Sons Inc.
Munandar, S.C.U. (2002). Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif
dan Bakat. Jakarta: Granada Pustaka Utama.
Noer, S. H. (2007). Pembelajaran Open-ended Untuk meningkatkan Kemampuan Berpikir
Kreatif.dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa. Tesis SPs UPI
312
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
----------------(2009). Model Bahan Ajar Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Kritis, Kreatif dan Reflektif (K2R). Makalah: Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas
Lampung.
Oakley, L. (2004). Cognitive Development. London: Routledge.
Pehkonen, E. (1992). Using Problem-Field as a Method of Change. Mathematics Education
3(1), 3-6.
Silver, E.A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem
Solving
and
Problem
Posing.
Tersedia:
http://www.fizkarlsruhe.de/fiz/publications/zdm/2dm97343.pdf
Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan
Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Bandung: Disertasi SPs UPI. Tidak
diterbitkan.
Yuwono, I. (2001). Pembelajaran Matematika secara Membumi. Malang: Jurusan Matematika
FMIPA UM Malang.
313
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Penguasaan konsep himpunan pada siswa yang belajar matematika di SMP dan SMA akan
sangat menentukan pemahamannya terhadap banyak materi matematika yang lain, untuk itu
perlu dicari berbagai alternatif model pembelajaran untuk memicu siswa gemar belajar konsep
himpunan. Oleh karena itu, telah dilakukan penelitian tindakan di kelas VIIA SMPN 1 Sedati
Sidoarjo dalam mata pelajaran matematika pada materi pokok himpunan.
Dalam penelitian ini dicoba menggunakan model pembelajaran Trade Informations Method
(Foster, 1993) untuk menyampaikan materi pokok himpunan, menggunakan model penelitian
tindakan dari Eliot (Hopkins, 1985) dengan empat putaran yang setiap putaran identik dengan
satu kali tatap muka (2 x 40 menit) di kelas.
Penelitian ini menunjukkan hasil yang positif karena rata-rata nilai siswa pada evaluasi akhir di
kelas mencapai 82. Nilai rata-rata ini telah melebihi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) di
SMPN 1 Sedati untuk mata pelajaran matematika yaitu 80. Oleh karena itu model pembelajaran
Trade Informations Method bisa direkomendasikan untuk bisa digunakan dalam pembelajaran
matematika di SMP.
Katakunci: Trade Information Method, Himpunan
1. Pendahuluan
Himpunan adalah salah satu materi dalam matematika sekolah yang sangat penting karena
mendasari beberapa materi yang lain. Apabila konsep himpunan tidak dikuasai dengan baik dan
benar oleh siswa, maka mereka akan mengalami kesulitan ketika belajar konsep-konsep
matematika lainnya yang berkaitan dengan himpunan, misalnya materi relasi dan fungsi. Untuk
itu dibutuhkan berbagai alternatif strategi atau model pembelajaran yang bisa membuat siswa
benar-benar menguasai konsep-konsep himpunan.
Keabstrakan konsep himpunan bisa disiasati dengan pemaparan konsep berkali-kali, harapannya
siswa lebih mampu menyerap materinya masuk ke memori jangka panjang sehingga menjadi
konsep yang terkodifikasi dan tak terlupakan.
2. Metode Penelitian.
2.1
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2.2
Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti model penelitian tindakan dari
Elliot (Hopkins, 1985) dengan 4 (empat) putaran. Setiap putaran identik dengan dua
pertemuan di kelas VIIA yakni satu kali kegiatan pembelajaran selama 2 jam pelajaran (2 x
40 menit). Rancangan Penelitian selengkapnya bisa dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 : Rancangan pelaksanaan penelitian
Kegiatan penelitian
a. Menyiapkan bahan ajar : Pengertian & Cara Menyatakan
A. Rancangan
Himpunan
b. Proses pembelajaran : Trade Informations Method
B. Kegiatan &
Pengamatan
C. Refleksi
A. Rancangan
B. Kegiatan &
Pengamatan
C. Refleksi
A. Rancangan
himpunan
b. Proses pembelajaran : Trade Informations Method
B. Kegiatan &
Pengamatan
C. Refleksi
A. Rancangan
B. Kegiatan &
Pengamatan
315
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
C. Refleksi
3. Kajian Pustaka
3.1. Pemrosesan Informasi
Jika seseorang menerima informasi ( input), dengan segera benaknya akan memproses informasi
itu untuk memahami informasi yang diterima tadi. Setelah dia paham maka pemahaman
terhadap informasi itu akan direpresentasikan sebagai hasil/produk pemahaman informasi
(output). Model teoritik pemrosesan informasi yang terjadi dalam benak seseorang diungkap
oleh Hudoyo (200) sebagai berikut :
Apabila informasi berupa tugas (sebagai input) diberikan kepada siswa, tugas dapat berupa
simbul/verbal
atau
benda
manipulatif/gambar/diagram.
Simbul/verbal
atau
benda
PROSES
OUTPUT
E1
B1
C1
D1
D3
B2
C2
D2
E2
316
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
A = Tugas
B1 = Simbol/Verbal
B2 = Material Manipulatif/
Gambar diagram
C1 = Informasi verbal
C2 = Informasi non-verbal
E2 = pengetahuan
D1 = Bayangan verbal
non verbal
D2 = Bayangan non-verbal
yang diketahui
D3 = Strategi transformasi
F = Hasil/produk
E1 = pengetahuan verbal yang diketahui.
kemampuan untuk belajar sesuatu yang khusus atas kemampuan sendiri. Sedangkan yang kedua
adalah tingkat potensial, yakni dapat memfungsikan atau mencapai tingkat itu dengan bantuan
orang lain (guru, orang tua atau sejawatnya) yang berkemampuan lebih tinggi. Pembelajaran
terjadi melalui interaksi sosial dengan guru dan sejawatnya. Mereka yang ada di daerah
perkembangan terdekat (Zone of Proximal Development) ini perlu schafolding yakni bimbingan
yang secara bertahap intensitasnya dikurangi sampai akhirnya lepas sama sekali (Nur &
Wikandari, 2004).
3.3. Konsep Himpunan dalam Matematika
Sebagian besar konsep matematika sekolah didasarkan pada konsep himpunan. Konsep
Bilangan, konsep Fungsi atau Pemetaan, dan konsep Statistik dan Peluang adalah contoh materi
matematika sekolah yang didasarkan pada konsep Himpunan. Sehingga saat ini himpunan telah
menjadi salah satu unsur pokok dalam landasan matematika modern (Susilo, 2006).
317
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Konsep himpunan yang diajarkan di SMP adalah konsep Himpunan Tegas. Himpunan Tegas
adalah kumpulan obyek sejenis yang anggotanya terdefinisi dengan tegas. Oleh karena
dikembangkan oleh Georg Cantor ( 1845 1918 ) pada akhir abad ke-19, maka himpunan tegas
(Crisp Set) sering juga disebut sebagai himpunan Cantor. (Susilo, 2006). Lawan dari himpunan
tegas adalah himpunan kabur yang saat ini sedang populer sebagai salah satu konsep baru dalam
matematika.
Himpunan di SMP bisa dinyatakan dalam tiga bentuk yakni dengan cara Roster, Notasi
Pembentuk Himpunan dan Diagram Venn.
mendaftar semua anggotanya dalam batasan kurung korawal dan dipisahkan dengan tanda
koma. Contoh : Himpunan bilangan cacah kurang dari 5 = {0, 1, 2, 3, 4}. Kalau himpunan ini
ditulis dalam bentuk Notasi Pembentuk Himpunan, menjadi {x/ x< 5 , x A}. Seperti halnya
bilangan, himpunan juga bisa dioperasikan dengan himpunan yang lain. Dikenal operasi irisan
dua himpunan atau lebih gabungan dua himpunan atau lebih dan komplemen sebuah himpunan.
3.4. Trade Informations Method
Trade Informations Method (TIM) merupakan modifikasi dari model pembelajaran Trade A
Problem (Foster, 1993). Pada Trade A Problem siswa menyusun problem kemudian ditawarkan
kepada teman-teman untuk diselesaikan kemudian dicocokkan hasilnya (Foster, 1993).
Sedangkan pada TIM setiap siswa wajib menguasai sebuah konsep yang ditentukan oleh guru,
kemudian setiap siswa harus bertukar informasi dengan semua temannya sedemikian hingga
setiap siswa mendapatkan informasi tentang semua konsep yang hari itu disiapkan untuk
dipelajari. Setelah waktu yang disediakan untuk bertukar informasi habis, guru mencoba untuk
mengevaluasi penguasaan konsep siswa dengan pertanyaan. Sesudah pasti siswa menguasai
konsep, dimulai latihan soal dengan cara TIM juga,baru kemudian dibahas di kelas dengan cara
presentasi kelompok.
4. Pembahasan Hasil
Pembelajaran dengan TIM dalam matematika khususnya materi pokok himpunan telah berjalan
dengan baik dengan hasil sebagai berikut :
Putaran 1 :
a. Rancangan : Diambilkan dari Math Module (Anonymous, 2007) halaman 207 s.d 230 dan
dipergunakan dengan sempurna dalam pembelajaran kali ini oleh para siswa dengan
bimbingan guru. Untuk shoping news telah disiapkan Mathematics Information Exchange
318
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
(MIE) yang akan digunakan oleh para siswa dalam memahami materi pokok yang dipelajari
hari ini.
b. Kegiatan Belajar & Pengamatan : Kegiatan Belajar dimulai dengan berdoa bersama
kemudian guru melakukan brainstorming tentang himpunan, baru kemudian siswa dibagi
menjadi 4 kelompok. Setiap kelompok berisi 6 7 siswa. Setiap siswa diberi lembaran MIE.
Setelah mengisi nama, kelas dan topic hari ini, setiap kelompok diberi 2 istilah yang harus
mereka pelajari dari bahan ajar untuk dikuasai konsepnya dalam kurun waktu 10 menit.
Kemudian setiap kelompok harus memilih dua orang anggotanya sebagai duta untuk
menjelaskan dua istilah
tadi kepada kelompok lain dalam waktu 2 menit untuk setiap kelompok. Inilah yang disebut
dengan shopping news method. Kegiatan ini diulang dengan duta siswa yang berbeda.
Ditemukan beberapa siswa tidak mengisi MEInya karena belum memahami makna dari
kegiatan ini. Setelah selesai tukar informasi, ditayangkan problem set untuk didiskusikan
oleh siswa dengan kelompoknya, kemudian dibahas di kelas.
c. Refleksi : Sebelum pembelajaran berakhir, guru membimbing siswa untuk merefleksi seluruh
kegiatan hari itu sekaligus merangkum materi yang sudah dipelajari dan membekali siswa
dengan pekerjaan rumah untuk latihan. Hasil refleksi menyatakan bahwa duta 2 siswa ke
kelompok lain belum bertugas dengan sempurna, karena ada yang penjelasannya
dilakukan oleh salah satu duta saja, yang lain hanya melihat. Maka pada pembelajaran
berikutnya harus diatur bahwa kedua duta ini harus menjelaskan sendiri-sendiri.
Putaran 2 :
a. Rancangan : Bahan ajar yang akan dipelajari adalah soal-soal latihan dari Math Module
(Anonymous, 2007) Task 6.1, 6.2, 6.3, 6.4a dan 6.4b. Tentu tidak akan
dibahas seluruhnya, akan tetapi dikerjakan denganshopping news, setiap 2
siswa mendapat tugas satu soal untuk dipelajari kemudian dijelaskan kepada
yang lain.
b. Kegiatan Belajar & Pengamatan : Brainstorming dilakukan untuk mengingat kembali materi
yang telah dipelajari ada pertemuan sebelumnya. Siswa diberi lembar MEI
untuk mengerjakan soal yang ditentukan oleh guru. Waktu mengerjakan soal
hanya 5 menit kemudian dimulai shopping news dalam waktu 20 menit.
Setelah itu empat siswa presentasi hasil kerjanya kemudian dibahas di kelas.
319
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
c. Refleksi : Setelah presentasi, guru membimbing siswa merefleksi semua kegiatan hari dan
menyimpulkan bahwa duta siswa sudah berjalan baik, namun sebagian siswa
merasa kurang waktu untuk menyelesaikan soal-soal yang menjadi bagiannya.
Putaran 3 :
a. Rancangan : Bahan ajar yang digunakan adalah dari Math Module halaman 234 240
(Anonymous, 2007) ditambah dengan bahan ajar dari guru untuk melengkapi.
MEI disiapkan untuk tukar menukar informasi melalui shopping news method.
b. Kegiatan Belajar & Pengamatan : Brainstorming untuk topik macam-macam himpunan dan
hubungan antar himpunan berlangsug selama kurang lebih 10 menit. Setelah
dibagi menjadi 4 kelompok, setiap siswa diberi MEI dan 2 istilah untuk dicari
dan dipahami konsepnya. Waktu untuk ini adalah 10 menit. Kemudian dimulai
shopping news selama 30 menit. Lalu ditayangkan problem set untu
didiskusikan oleh siswa dengan kelompoknya kemudian dibahas di kelas.
c. Refleksi : Refleksi hari ini mengarah kepada waktu yang dirasa oleh sebagian siswa masih
kurang untuk mempelajari dan menyampaikan konsep kepada temantemannya. Guru menanggapi hal ini sebagai latihan untuk membiasakan diri
bekerja dan berpikir cepat. Seperi biasa, sebelum usai pembelajaran guru
membekali siswa dengan pekerjaan rumah.
Putaran 4 :
a. Rancangan : Bahan ajar hari ini adalah soal-soal latihan yang sudah diinformasikan sebagai
pekerjaan rumah ditambah soal evaluasi individual untuk mengukur
keberhasilan siswa dalam belajar konsep himpunan selama 4 putaran ini.
b. Kegiatan Belajar & Pengamatan : Setelah brainstorming selama 10 menit, guru meminta
beberapa siswa mempresentasikan hasil pekerjaan rumahnya untuk
kemudian
dibahas
di
kelas.
Sebanyak
siswa
yang
berhasil
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
5. Pustaka
Anonymous. 2007. Math Module for Junior High School Years 7 International Standard
School. Departement of National Education, Directorate General Management of Primary
and Secondary Education, Directorate of Junior High School Development
David Hopkins. 1985. A Teachers Guide to Classroom Action Research. Open
University
Press : Philadelphia
Foster, Alan G. 1993.Cooperative Learning In The Mathematics Classroom. Glencoe Mc Graw
Hill. New York. p. 25 26
Herman Hudoyo. 2005. Pemrosesan Informasi Dalam Belajar Matematika. Makalah Utama
pada Seminas Matematikan dan Pend. Matematika di Unesa 28 Pebruari 2005.
Mohamad Nur & Prima R Wikandari. 2004. Pengajaran Berpuisat Pada Siswa dan
Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Edisi Ke-4. Pusat Sains dan Matematika
Sekolah. Univ. Negeri Surabaya. p.1 16.
Mohammad Soleh. 1998. Pokok-pokok Pengajaran Matematika Sekolah. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI : Jakarta. p. 5 10.
Muslimin Ibrahim & Mohammad Nur. 2000. Pembelajarn Berdasarkan Masalah. PSMS PPS
Unesa. Penerbit University Press:Surabaya. p. 16 23.
Susilo, Frans, 2006, Himpunan dan Logika Kabur serta Aplikasinya. Penerbit Graha Ilmu :
Yogyakarta. p. 36 43
321
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan tujuan untuk menghasilkan
suatu model pembelajaran investigasi beserta perangkat pembelajarannya untuk meningkatkan
kompetensi penalaran, pemecahan masalah dan komunikasi matematika bagi siswa SMP sekota
Palu yang berkualitas valid, praktis danefektif.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka jenis penelitian pengembangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tipe prototypical studies melalui tiga tahap pengembangan yaitu: (1) fase
hulu hilir dengan menggunakan studi pustaka dan lapangan serta datanya akan dianalisis
melalui expert jugment; (2) fase pengembangan melalui kegiatan validasi oleh pakar dan uji
coba I dan; (3) fase penilaian melalui kegiatan uji coba II dengan rancangan Quasi Eksprimen
serta datanya akan dianalisis dengan Anava.
Produk yang diharapkan untuk tahun pertama adalah draf model pembelajaran invsetigasi
matematika SMP beserta perangkatnya yang berkualitas valid. Sedangkan untuk tahun kedua
adalah model pembelajaran investigasi matematika SMP serta perangkat pembelajarannya
dengan kriteria valid, praktis dan efektif.
Hasil penelitian untuk tahun pertama ini merupakan hasil pengembangan prototipe awal dari
model pembelajaran yang dikembangkan. Hasil pengembangan prototipe awal ini berupa sintak
dan perangkat pembelajaran investigasi yang telah memenuhi kualitas valid. Perangkat
pembelajaran yang dihasilkan terdiri dari Buku Guru (BG), Buku Siswa (BS) dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP). Sedangkan sintak pembelajaran dan komponen
pembelajarannya dimuat dalam Buku Model (BM). Sedangkan untuk kriteria praktis dan efektif
akan dilanjutkan pada tahun ke dua (2012).
Kata kunci: Pengembangan, model pembelajaran dan investigasi.
1. Pendahuluan
Untuk menghadapai persaingan global dewasa ini, peran pendidikan sangat penting. Karena
dengan hanya melalui proses pendidikan yang berkualitas dapat menghasilkan sumberdaya
manusia yang bermutu serta mampu bersaing. Dalam rangka meningkatkan meningkatkan
kualitas pendidikan,yaitu agar para lulusan berani menantang masalah hidup dan kehidupan dan
mampu proaktif mencari pemecahannya, maka kompetensi penalaran dan pemecahan masalah
serta kompetensi kumunikasi matematika merupakan kompetensi yang mendasar untuk
menjawab tantang tersebut.
Mengingat pentingnya penalaran dalam matematika, maka Puskur Depdiknas (2003)
menyatakan bahwa materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran
322
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika. Oleh karena itu tidak dapat dibayangkan
apa yang terjadi dengan kompetensi kognitif (kemampuan berpikir) para siswa bila mereka tidak
mempelajari matematika. Pola berpikir yang dikembangkan matematika membutuhkan dan
melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis dan kreatif. Kemampuan bernalar tidak hanya
dibutuhkan para siswa saat belajar matematika atau pelajaraan lainnya, tetapi sangat dibutuhkan
setiap manusia di saat memecahkan masalah ataupun di saat menentukan keputusan. Oleh
karena itu betapa pentingnya kemampuan dan keterampilan bernalar bagi setiap manusia dalam
menghadapi problematika kehidupannya. Untuk itu salah satu komponen penting dalam
kuikulum yang sedang diberlakukan sekarang (KTSP) adalah penalaran. Kerena penalaran
merupakan salah satu aspek penting
khususnya. Hal ini senada dengan pendapat Fadjar Shadiq (2004) bahwa pemecahan masalah
akan menjadi hal yang akan sangat menentukan keberhasilan pendidikan matematika, sehingga
pengintegrasian pemecahan masalah selama proses pembelajaran berlangsung hendaknya
menjadi suatu keharusan.
Kemampuan mengkomunikasikan ide, pikiran atau pendapat sangatlah penting di era
globalisasi ini. Kompetensi ini sangat perlu dilatih dan ditingkatkan baik komunikasi dalam
bentuk tulis maupun lisan. Implikasinya dalam pembelajaran matematika, aktivitas ini dapat
dilatih dalam bentuk diskusi-diskusi selama pembelajaran berlangsung. Selain meningkatkan
kemampuan komunikasi, aktivitas ini dapat meningkatkan kemampuan penalaran dan
kemampuan pemecahan masalah bila seting pembelajarannya berorientasi pada konstruktivisme
dengan mengutamakan aktivitas proaktif siswanya dalam menemukan ide dan konsep-konsep
matematika. Karena itu menurut Puskur Depdiknas (2002) menyatakan bahwa salah satu
kompotensi yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika yang terkait dengan
kemahiran matematika adalah kompetensi mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
grafik, atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah atau pemecahannya. Kemampuan
yang dipilih serta ditetapkan dirancang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan siswa agar
dapat berkembang secara optimal, maka kompetensi yang terkait dengan kompetensi ini harus
dicapai selama proses pembelajaran berlangsung di kelas.
Secara teoritis pendekatan investigasi merupakan salah satu alternatif untuk
meningkatkan ketiga kompetensi (penalaran, pemecahan masalah dan komunikasi) dalam
pembelajaran matematika. Kerena karakteristik pendekatan ini relevan dengan aspek-aspek pada
kompetensi-kompetensi tersebut. Dalam rangka menentukan strategi pembelajaran investigasi
yang efektif baik terhadap signifikansi keterlaksanaannya maupun terhadap aspek kompenesi
siswa yang diharapkan, maka dipandang perlu ada usaha- usaha yang inovatif untuk hal
tersebut. Dengan demikian dipandang perlu ada suatu penelitian pengembangan untuk
323
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
menentukan suatu
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan tipe prototypical studies dengan
tujuan untuk menghasilkan model pembelajaran investigasi untuk meningkatkan kompetensi
penalaran, pemecahan masalah dan komunikasi matematika siswa SMP. Pengembangan model
pembelajaran ini menggunakan model pengembangan Plomp (1999) dengan tiga fase
pengembangan yakni fase analisis hulu hilir (front-end analysis), fase pengembangan
(prototyping phase) dan fase penilaian (assesment phase). Penelitian ini dirancang dalam dua
tahap yakni tahap pertama (2011) dan tahap kedua (2012). Untuk tahun ini (2011) kegiatannya
hanya meliputi fase analisis hulu hilir dan sebagian dalam kegiatan pada fase pengembangan.
Analisis hulu hilir merupakan fase persiapan atau analisis konteks. Dalam hal ini
kegiatan yang dilakukan adalah menganalisis tentang: (1) kurikulum KTSP terutama isi
(materi), standar proses dan indikator pencapaian masing- masing standar kompetensi atau
kompetensi dasar yang hendak dicapai; (2) aspek- aspek kemahiran matematika khususnya
tentang kompetensi penalaran dan pemecahan masalah matematika dalam KTSP; (3) konsep
penalaran dan pembelajaran pemecahan masalah (teori Polya) serta teori- teori belajar dan
pembelajaran yang relevan untuk mengkonstruksi
dikembangkan; (4) kondisi siswa tentang perkembangan kompetensi kognitif yang telah
dimilikinya.
Instrumen yang digunakan dalam analisis hulu hilir ini berupa dokumentasi,
pedoman wawancara, dan tes. Hasil analisis hulu hilir ini berupa kerangka teoritis model
pembelajaran beserta draf awal perangkat pembelajarannya (Buku Guru, Buku Siswa, dan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran).
Fase pengembangan prototipe merupakan fase pengembangan model pembelajaran
beserta draf awal perangkat pembelajaranya yang telah diperoleh pada fase hulu hilir. Pada
tahap pertama ini sebagian kegiatan yang telah dilaksanakan pada fase ini adalah: (a) merancang
dan menyusun draf awal (Draf I) model dan perangkat pembelajaran yang dikembangkan; (b)
melakukan validasi oleh para pakar yang dipandang berkompeten terhadap Draf I yang telah
disusun; (b) merevisi dan menformulasikan Draf I menjadi Draf II; Instrumen yang digunakan
324
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
pada fase ini terdiri dari lembar validasi. Data yang terkumpul dianalisis dan digunakan sebagai
bahan menyempurnakan Draf I menjadi Draf II.
Pada penelitian pengembangan, hal yang perlu diperhatikan adalah kualitas produk
yang dihasilkan. Menurut Plomp (1999) dan Nieveen (1999) memberi kriteria kualitas produk
yaitu valid (merefleksikan pengatahuan state-of the art dan konsisten internal), mempunyai nilai
tambah (added value), praktis dan efektif. Produk dikatakan valid bila komponen- komponen
materinya berdasarkan pengetahuan state-of the art (validasi isi) dan semua komponen
berkaitan secara konsisten (validasi konstruk). Produk dikatakan berkualitas praktis bila
menurut guru-guru atau ahli lain materinya berguna dan mudah dilaksanakan oleh guru dan
siswa. Kriteria efektif , bila merefleksikan pengalaman siswa dan hasil belajar siswa yang
diharapkan. Mengingat pengembangan model pembelajaran ini cukup relatif baru untuk daerah
Sulawesi Tengah khususnya, maka telah dianggap mempunyai nilai tambah. Sehingga fokus
perhatian kualitas produk yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah valid, praktis dan efektif.
Khusus pada tahap pertama (2011) produk dari hasil penelitian ini hanya fokus pada kualitas
valid.
325
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
siswa untuk lebih mendalami konsep-konsep yang telah dipelajari melalui tugas pekerjaan
rumah (PR).
Sedangkan perangkat pembelajaran yang dihasilkan pada penelitian tahap pertama ini
adalah draf Buku Siswa (BS), draf Buku Guru (BG) dan draf Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP). Draf Buku Siswa memuat bahan ajar tentang topik Bilangan Bulat di kelas
VII SMP yang dirancang sedemikianrupa sehingga siswa dalam mempelajarinya melalui proses
investigasi. Karena karakteristik sajian bahan ajar dan tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa
bersifat investigatif. Sajian bahan ajar diawali dengan contoh-contoh sederhana kemudian
dilanjutkan dengan tugas-tugas investigasi, sehingga dengan melalui tugas-tugas itu siswa dapat
membuat konjektur (dugaan) tentang sifat atau definisi konsep yang sedang dipelajarinya.
Kemudian melalui proses kegiatan pembelajaran (presentasi dan diskusi antar kelompok) siswa
dapat membuktikan kebenaran konjektur yang telah dibuatnya.
Draf Buku Guru (BG) dan RPP yang dihasilkan merupakan perangkat pembelajaran
yang memuat petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan proses pembelajaran yang akan dilakukan
guru di kelas. Kegiatan proses pembelajaran ini merupakan implementasi dari sintak model
pembelajaran yang dikembangkan pada Buku Model. RPP ini terdiri dari enam kali pertemuan
dan setiap pertemuan membutuhkan waktu 2 x 40 menit matapelajaran. Adapun komponenkomponen dalam RPP model pembelajaran investigasi ini terdiri dari: (a) kompetensi dasar
sesuai dengan topik bahan ajar yang akan diajarkan; (b) indikator untuk mencapai kompetensi
dasar yang diharapkan; (c) materi pembelajaran yang akan diajarkan; (d) materi prasyarat yang
harus dikuasi siswa sebelum mengikuti materi pembelajaran; (e) media pembelajaran yang
mendukung pelaksanaan kegiatan pembelajaran; (f) strategi pembelajaran menggunakan
pendekatan konstruktivis; (g) metode pembelajaran menggunakan metode diskusi, tanyajawab
dan presentasi; (h) kegiatan pembelajaran sesuai dengan sintak dalam Buku Model.
326
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Untuk mencapai target hasil penelitian pada tahap kedua yang lebih baik, maka kami
tim peneliti sangat mengharapkan masukan dari teman-teman pembaca/ peserta seminar demi
kesempurnaan hasil penelitian ini.
5. Pustaka
Akker.(1999). Principles and Methods of Development Research. In J.vam den Akker, R
Branch, K Gustafson, N Nieveen and Tj.Plomp (Eds). Design and Development
Methodology in Education. Dodrecht: Kluwer Academic Publisher.
Arends, R. I., Wenitzky, N. E., & Tannenboum, M. D. (2001). Exploring teaching: An
introduction to education. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: MC Grow-Hill
Companies, Inc.
Artzt, Alice F. dan Yaloz-Femia, S. (1999) Mathematical Reasoning during Small-Group
Problem Solving dalam Lee V. Stiff dan Frances R. Curcio (edt) Developing
Mathematical Reasoning in Grades K-12, 115-126. Virginia USA: NCTM.
Bafadal.2001. Kurikulum Pendidikan Nasional dalam Otonomi Pengelolaan Pendidikan.
Makalah disajikan dalam Simposium dan Musyawarah Nasional I Alumni Program
Pascasarjana Universitas Negeri Malang Tanggal 13 Oktober 2001.
C. Asri Budiningsih. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Copi, Irving M. (1978). Introduction to Logic. New York: Mcmillan Publishing Co, Inc.
Cooney, T.j, Henderson, K.B.(1975). Dynamics of Teaching Secondary School Mathematics.
Boston: Houghton Mifflin Company.
Eggen, Paul D & Kauchak. (1979). Strategis for teachers teaching content and thinking skills.
New Jersey: Prentice Hall.
Fadjar Shadiq, (2004). Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi Dalam Pembelajaran
Matematika.Depdiknas Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah PPPG Matematika.
Yogyakarta.
Gie, The Liang. (1991). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Hudoyo, Herman (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Dirjen Dikti
Jones, G.A, Thornton, C.A, Langrall, C.W, dan Tarr, J.E. (1999) Understanding Students
Probabilistic Reasoning. dalam Lee V. Stiff dan Frances R. Curcio (edt) Developing
Mathematical Reasoning in Grades K-12, 146-155. Virginia USA: NCTM.
Joyce, Bruce; Weil, Marsha; & Showers, B. (1992). Models of Teaching. Fourth Edition.
Boston: Allyn & Bacon.
Kemp, Jerrold.E, Morisson, Gary.R, dan Ross, Steven. M. (1994). Designing Effective
Instruction. New York: Macmillan College Publishing, Inc.
------, (1985). The Instructional Desain Process. New York: Harper & Row, Publisher,
Inc.
Nieveen, Nienke. (1999). Prototyping to Reach Product Quality. In Jan Van den Akker, R.M.
Branch, K. Gustafson, N. Nieveen & Tj. Plomp (Eds). Design Approaches and Tools in
Education and Training (pp 125 135) Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, the
Nederlands.
NCTM. (2000a). Principle and Standards for School Mathematics: USA.
-----, (2000b). Mathematics Assesment: a Practical Handbook for Grade 6-8: USA.
Plomp, (1999). Development Reseach in On Education and Training. Netherlands:
Twente
Puskur (2001). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mata Pelajaran Matematika. Depdiknas.
-----, (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mata Pelajaran Matematika. Depdiknas.
-----, (2006). Model Penilaian Kelas SD dan Madrasah Ibtidaiyah. Depdiknas. Tersedia di:
www.puskur.net.
327
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
-----,
328
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Salah satu kegiatan PPL I di kampus adalah penyusunan RPP dan pelaksanaannya pada teman
sebaya (peer teaching). Pada diskusi penyusunan RPP matematika kelas VIII SMP ditemukan
beberapa Kompetensi Dasar yang tidak mungkin disusun dalam RPP yang berbeda. Selain itu,
ditemukan juga beberapa Kompetensi Dasar yang tidak perlu ada atau sudah terintregasikan
pada Kompetensi Dasar terkait. Dalam diskusi, landasan yang digunakan untuk menetapkan
keterlaksanaan penyusunan RPP adalah (1) pembelajaran matematika dimulai dari masalah
kontekstual dan (2) RPP disusun untuk setiap satu Kompetensi Dasar. Berdasarkan diskusi
tersebut, tampaknya diperlukan adanya telaah ulang terhadap susunan atau hirarkis Kompetensi
Dasar yang telah ada atau kajian mendalam tentang ketetapan penyusunan satu RPP untuk
pembelajaran tercapainya satu KD.
Kata kunci: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
1. Pendahuluan
Praktek Pengalaman Lapangan merupakan salah satu matakuliah yang menfasilitasi
mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Matematika dalam mempraktekkan pengetahuan yang telah
diperoleh selama perkuliahan. Salah satu kegiatan dalam matakuliah tersebut adalah PPL I yang
dilaksanakan di kampus. Dalam PPL I, sekelompok mahasiswa merancang suatu kegiatan
pembelajaran yang akan dipraktekkan di sekolah (PPL II). Dengan didampingi dosen
pembimbing sekelompok mahasiswa menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),
kemudian melaksanakannya dalam kelas kecil (peer teaching).
Dalam kegiatan diskusi penyusunan RPP, mahasiswa menemui kesulitan dalam
menyusunnya untuk 3 (tiga) Kompetensi Dasar berikut ini. KD: 1. Menyelesaikan sistem
persamaan linear dua variabel, 2. Membuat model matematika dari masalah yang berkaitan
dengan sistem persamaan linear dua variabel, dan 3. Menyelesaikan model matematika dari
masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dua variabel dan penafsirannya. Apa
yang menyebabkan mahasiswa mengalami kesulitan tersebut?
2. Pembahasan
Mengajar (membelajarkan) matematika tidak hanya memandangnya sebagai mengajar
aturan komputasi atau prosedur, tetapi guru juga harus mengajarkan matematika dalam bentuk
bagaimana belajar matematika (Hudojo, 2005:60). Pembelajaran adalah usaha terencana,
terarah, dan bertujuan agar siswa dapat memperoleh pengalaman yang bermakna, dan kegiatan
pembelajaran berpu sat pada kepentingan siswa (Permendiknas no 41 tahun 2007). Jadi
329
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
matematika
sekolah bertujuan
membekali
siswa
menggunakan
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
4. Pustaka
Hudojo, Herman, 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang; Penerbit
Universitas Negeri Malang
Permendiknas no 22 tahun 2006, Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
Permendiknas no 41 tahun 2007, Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
332
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstract
Up to now, education is tested to become the front guard as main supporting in development.
This matter is in line with Indonesia constitution section 3 No. 20/2003, National education is
to develop ability and to build character and also to build useful nation civilization to make the
nations life intelligent. Character is humans behavior values related to the one God, self,
fellow human, environment, nationality implemented in the thought, attitude, feeling, speech
and action based on religious norms, law, manner, culture and habit. The objective of
mathematics teaching program is that the students are able to understand and do mathematics
questions maximally. Answering mathematics questions through problem solving insists
optimal critical thinking skill. Critical thinking skill can be trained and developed while
problem solving is a learning method that focuses on teaching, and problem solving skill is
trusted by skill strengthening. This research is intended to develop critical thinking character
toward mathematics at the topic of happening opportunity by using problem solving method at
the sixth semester of the third grade students of STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung
school year 2010/2011.
This research uses classroom action research that consists of three cycles. Every cycle consists
of planning, acting, observing, and reflecting. The research conducted at STKIP
Muhammadiyah Pringsewu Lampung at even semester of school year 2010/2011 with 85
students research object, 19 male students and 71 female students. The collected data is
quantitative data, acquired from students learning result observation by giving mathematics
questions at the end of every cycle.
Based on the result analysis of research data, it can be concluded that problem solving can
develop critical thinking character ability toward mathematics. Critical thinking character
development toward mathematics students can be shown by students learning result percentage
increasing at every cycle. At the first cycle, it is gotten the score average percentage is 37,5 %,
the second cycle is 52,5% and at the third cycle is 87,5 %.
Kata kunci: character, critical thinking, problem solving method
1. Pendahuluan
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya dan adat istiadat. Upaya dukungan terhadap terwujudnya karakter serta
peradaban bangsa yang bermartabat tesirat secara jelas dalam tujuan pendidikan nasional untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
333
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Allah maupun dengan urusan duniawi, 6) kebencian terhadap suatu kaum, tidak mendorongnya
untuk tidak berbuat jujur atau tidak berlaku adil, 7) adil dalam memberikan kesaksikan tanpa
melihat siapa orangnya walaupun akan merugikan diri sendiri, sahabat dan kerabat, 8)
menegakkan
keadilan
dalam
segala
hal.
Sumber:
http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2034769-ciri-ciri-berpikir kritis/#ixzz1Q4IYJqLL
Paradigma baru pembelajaran matematika memposisikan guru sebagai pengelola pembelajaran
matematika, tidak hanya mengantarkan mahasiswa untuk memahami konsep saja, tetapi sampai
pada mengantarkan mahasiswa untuk dapat menggali atau menggunakan penalaran, mampu
memecahkan masalah, dan dapat melihat kegunaan matematika dalam kehidupan. Karakteristik:
1) selalu dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem),
2) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (komputer, alat peraga, media, dll), 3)
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian mahasiswa, 4) proses
pembelajaran terselenggara secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, &
memotivasi, 5) adanya pergeseran paradigma dari teacher centered learning menjadi student
active learning, 6) menggunakan strategi pembelajaran matematika yang baru.
Program pengajaran matematika bertujuan, mahasiswa mampu memahami dan mengerjakan
soal-soal matematika secara maksimal. Menjawab soal-soal matematika melalui metode
problem solving menuntut keterampilan berpikir kritis secara optimal. Keterampilan berpikir
kritis dapat dilatih dan dikembangkan, yang dilakukan melalui proses berpikir secara sistematis
dan empiris. Metode problem solving merupakan metode pembelajaran yang memusatkan pada
pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah yang diyakini dengan penguatan
keterampilan. Penggunaan metode ini mengarahkan mahasiswa untuk mampu menyelesaikan
masalah secara sistematis dan logis dalam proses pembelajarannya. Belajar merupakan suatu
proses interaksi secara sadar antara individu dengan lingkungannya yang berpeluang mahasiswa
dapat berkembang secara utuh, baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotornya (Wina
Sanjaya, 2010: 213). Mengembangkan karakter berpikir kritis sama halnya dengan
mengembangkan ketrampilan motorik, harus memerlukan latihan. Salah satu pendekatan yang
terbaik untuk mengembangkan karakter berpikir kritis adalah dengan memberikan pertanyaanpertanyaan sambil membimbing mahasiswa dan mengaitkannya dengan konsep yang sudah
dimiliki. A. Chaedar Alwasilah (2009: 210) mengungkapkan bahwa Berpikir adalah sebuah
proses aktif, teratur, dan penuh makna yang kita gunakan untuk memahami dunia. Sedangkan
kritis adalah tepat dan tajam dalam berpikir. Sehingga berpikir kritis adalah aktivitas mental
sistematis yang dilakukan oleh orang-orang yang toleran dengan pikiran terbuka untuk
memperluas pemahaman mereka.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
masalah/menjawab
soal/pertanyaan
yang
diberikan.
Peluang
yang
memungkinkan kondisi ini terjadi diduga karena guru terlihat sangat mendominasi kelas
sehingga mahasiswa pasif dalam proses pembelajaran, penjelasan materi secara klasikal, dan
penggunaan metode pembelajaran yang kurang tepat. Data pra penelitian menunjukkan 60%
mahasiswa hasil belajar matematikanya masih berada dibawah standar KKM yang ditetapkan.
Untuk itu peneliti mencoba meneliti developing critical thinking character toward mathematics
using problem solving method.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian Tindakan Kelas, yang pada hakikatnya merupakan
rangkaian riset tindakan riset tindakan secara siklik dalam rangka memecahkan
masalah, sampai masalah tersebut terpecahkan. Tergolong penelitian kualitatif, berrsifat
kontekstual dan tidak dapat digeneralisasikan. Dengan beberapa karakteristik: masalah yang
diteliti merupakan masalah riil kelas, berorientasi pada pemecahan masalah, berorientasi pada
peningkatan mutu, spesifik, berbagai cara koleksi data dipergunakan, situasional, partisipatif,
336
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
self evaluation, luwes dan menyesuaikan, serta siklus. Lokasi penelitian dilaksanakan di STKIP
Muhammadiyah Pringsewu Tahun Pelajaran 2010/2011 pada mata kuliah Struktur Aljabar,
standar kompetensi yang diharapkan dalam mata kuliah ini adalah mahasiswa memiliki
ketrampilan belajar dalam memahami dan membuktikan konsep struktur aljabar dengan satu
operasi biner, serta mahasiswa terampil dalam menyelesaikan soal-soalnya. Subjek dalam
penelitian ini sebanyak 85 orang mahasiswa, 19 laki-laki dan 71 perempuan. Selanjutnya dibagi
kedalam kelompok yang heterogen baik jenis kelamin maupun kemampuan akademiknya,
dengan tujuan mengaktifkan kerjasama kelompok maupun antarkelompok. Penelitian ini
dibantu dosen mitra sebagai pembantu pengamatan keterlaksanaan baik proses maupun tujuan.
Pelaksanaan penelitian ini menggunakan tiga siklus, pada setiap siklus memiliki empat tahapan
yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.
3. Hasil Penelitian
Siklus I, siklus II, dan siklus III dilaksanakan sebanyak tiga kali pertemuan, yaitu tanggal 1
November 2010, tanggal 8 November 2010, dan tanggal 15 November 2010 dengan materi
konsep struktur aljabar dengan satu operasi biner melalui metode problem solving. Pada setiap
siklus ini berlangsung selama 4 jam tatap muka (4 x 50 menit). Pada siklus I mahasiswa diberi
dua soal essay pada tes akhir. Setelah data dianalisis nilai rata-rata siswa adalah 55,875.
Persentase tuntas pada siklus ini 37,50%. Nilai tes akhir pada siklus ini berguna juga untuk
menentukan poin peningkatan individu dan kelompok. Berdasarkan poin kelompok ini,
kemudian ditentukan kelompok terbaik, pada siklus ini diperoleh satu kelompok mendapat
criteria super hebat, empat kelompok mendapatkan criteria hebat dan tiga kelompok
mendapatkan criteria baik. Refleksi pada siklus I didapat temuan bahwa kemampuan berpikir
kritis siswa belum memenuhi indicator keberhasilan yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan
karena penerapan metode problem solving belum memenuhi kondisi yang diharapkan. Faktor
penyebab lain, adalah a) sebagian besar mahasiswa belum terbiasa belajar dengan
menggunakan metode problem solving; b) mahasiswa masih kesulitan beradaptasi dengan
teman dalam satu kelompoknya; c) diskusi dalam kelompok belajar masih kurang. Beberapa
hal yang harus diperhatikan untuk siklus berikutnya adalah a) dosen perlu lebih
memperhitungkan alokasi waktu baik dalam penyampaian materi, kegiatan diskusi kelompok,
maupun dalam presentasi hasil kelompok; b) dosen menjelaskan kembali aturan pelaksanaan
pembelajaran agar mahasiswa terbiasa dengan penerapan metode pembelajaran yang
digunakan; c) dosen secara simultan terus memotivasi mahasiswa untuk bekerjasama dalam
kelompok dan berani menggunakan hak bertanya yang dimiliki.
Pada siklus II, mahasiswa diberi lima soal essay untuk diselesaikan, nampak ada peningkatan
rata-rata hasil belajar yang diperoleh mahasiswa menjadi 57,375 dengan persentase ketuntasan
337
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
52,5%. Pada siklus ini pelaksanaan pembelajaran sudah lebih baik dibandingkan siklus
sebelumnya, ditandai dengan adanya peningkatan persentase kemampuan berpikir kritis dari
37,5% menjadi 52,5%. Kemudian terdapat satu kelompok yang mendapatkan criteria super
hebat dan tiga kelompok mendapat criteria hebat. Pada siklus ini mahasiswa mulai terbiasa
dengan pembelajaran menggunakan metode problem solving meskipun masih ada beberapa
mahasiswa yang kurang tertarik dengan pembelajaran yang berlangsung. Kendala-kendala
masih ada pada siklus II ini antara lain a) masih terdapat kelompok/anggota dalam kelompok
yang kurang termotivasi untuk dapat bekerjasama dalaam kelompoknya; b) beberapa kelompok
masih mengandalkan anggota kelompok yang pandai untuk bertanya ataupun menjawab
pertanyaan; c) ada beberapa mahasiswa yang keluar kelas saat pembelajaran berlangsung
sehingga mengganggu proses pembelajaran; d) dosen kurang memperhatikan kelompok yang
kurang aktif selama proses pembelajaran. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan pada siklus
berikutnya (siklus III). Perbaikan dimaksud adalah a) dosen memberikan motivasi lebih banyak
kepada kelompok yang kurang dapat bekerjasama dan kurang aktif; b) dosen memberikan
motivasi kepada mahasiswa untuk beranio mengemukakan pendapat dan pertanyaan; c) dosen
memaparkan lebih jelas materi pelajaran yang disampaikan; d) dosen secara simultan
memberikan pengarahan pada kelompok-kelompok diskusi mahasiswa pada saat mengerjakan
latihan.Pada akhir siklus III, diberikan empat soal essay, diperoleh temuan rata-rata hasil
belajar mahasiswa cukup signifikan yaitu sebesar 70,25, dengan persentase ketuntasan sebesar
87,5%. Pada siklus ini diperleh satu kelompok mendapat criteria super hebat, empat kelompok
lainnya mendapat criteria hebat dan tiga kelompok lainnya mendapat criteria baik. Pada akhir
siklus III ini kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar mahasiswa sudah memenuhi indicator
keberhasilan yang telah ditetapkan, meskipun belum mencapai kesempurnaan 100%.
Mahasiswa sudah mulai terbiasa dengan metode pemblejaran yang diimplementasikan,
meskipun tidak dapat dipungkiri masih terdapat kendala-kendala pada saat pembelajaran
berlangsung, yaitu a) perhatian guru terhadap kelompok yang kurang aktif belum optimal; b)
ada beberapa orang mahasiswa yang belum berani mengajukan pertanyaan baik kepada dosen
maupun kepada temannya.
4. Pembahasan Hasil
Ketidakmampuan mahasiswa mengembangkan berpikrir kritis pada siklus I karena mahasiswa
baru pertama kali mengikuti pembelajaran dengan metode problem solving sehingga kegiatan
utama yang dilakukan mahasiswa selama proses pembelajaran masih terpaku pada
memperhatikan penjelasan dosen, membaca buku, dan mengerjakan latihan. Mahasiswa masih
belum mempercayai teman sekelompoknya sehingga lebih memilih untuk bertanya langsung
kepada dosen jika terdapat hal-hal yang tidak dimengertinya. Beberapa mahasiswa masih
338
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
kesulitan beradaptasi dengan teman dalam kelompoknya, sehingga mereka cenderung untuk
mengerjakan latihan secara individu. Kemudian pembentukan kelompok serta penjelasan teknis
pembelajaran demikian menyita waktu, sehingga presentasi dilakukan pada saat waktu
perkuliahan habis, hal ini merupakan suatu masalah tersendiri karena mahasiswa menjadi tidak
focus pada aktivitas yang harus dilakukan. Namun demikian pada siklus-siklus berikutnya
karena sudah terjadi proses pembiasaan maka kendala-kendala ini dapat diatasi. Adanya
pengembangan kemampuan berpikir kritis pada mahasiswa karena mahasiswa mulai memahami
pentingnya kerjasama dan saling membantu dalam memecahkan masalah yang diberikan dengan
rasa ingin tahu yang tinggi dan bimbingan dari dosen. Dengan kata lain mahasiswa mulai
mengerti tujuan dari pembelajaran dengan metode problem solving. Selain daripada itu,
pemberian motivasi, peningkatan pengelolaan pembelajaran oleh dosen, pemberian penghargaan
terhadap perkembangan kemampuan yang diperoleh mahasiswa mendorong mereka untuk terus
mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya dalam kegiatan pembelajaran. Motivasi yang
diberikan oleh dosen memberikan pengaruh terhadap perkembangan kemampuan berpikir kritis
dan hasil belajar mahasiswa. Mahasiswa menyadari pentingnya kerjasama dalam kelompok
karena mereka memiliki rasa tanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya. Mahasiswa
juga termotivasi untuk giat dalam belajarnya karena adanya pemberian penghargaan bagi
kelompok melalui perolehan poin tertinggi. Selain itu mahasiswa sudah mampu bernalar dengan
baik dan berpikir reflektif yang difokuskan untuk memutuskan/mempertimbangkan sesuatu
untuk diambil kesimpulan. Sejalan dengan pendapat Zubaidah dalam Hadi (2007:77) yang
menyatakan bahwa berpikir kritis adalah suatu kemampuan yang dimiliki individu untuk
melihat dan memecahkan masalah yang ditandai dengan sifat-sifat dan bakat kritis yaitu
mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi imajinatif dan selalu tertantang oleh kemajemukan,
berani mengambil resiko, dan mempunyai sifat yang tak kalah pentingnya adalah selalu
menghargai hak-hak orang lain, arahan, bahkan bimbingan orang lain. Juga pendapatnya
Spitler (1992:90) yang mengemukakan bahwa keterampilan berpikir kritis adalah keterampilan
bernalar dan berpikir reflektif yang difokuskan untuk memutuskan hal-hal yang diyakini dan
dilakukan.
5.
Kesimpulan
Berdasarkan proses, temuan penelitian, dan analisis yang dilakukan disimpulkan bahwa metode
pembelajaran problem solving dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan alokasi waktu baik
dalam penyajian materi, kegiatan diskusi kelompok, maupun dalam presentasi hasil kerja
kelompok. Dosen harus memperhatikan dengan seksama penjelasan aturan main metode
pembelajaran yang diimplementasikan untuk melaksanakan pembelajaran, member motivasi
kepada mahasiswa agar bekerjasama dalam kelompok dan berani mengajukan pendapat atau
339
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
pertanyaan. Selain itu, dosen harus memaparkan secara jelas materi pelajaran yang akan
disampaikan serta memberikan arahan kepada mahasiswa agar bekerjasama dan saling
membantu memahami materi dan ketika mengerjakan latihan. Metode problem solving dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kritis terhadap mata kuliah struktur aljabar khususnya
pada materi konsep struktur aljabar dengan satu operasi biner pada mahasiswa STKIP
Muhammadiyah lampung tahun ajaran 2010-2011. Hipotesis Melalui metode problem solving
dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis terhadap mata kuliah struktur aljabar
khususnya pada materi konsep struktur aljabar dengan satu operasi biner diterima. Melalui
penelitian ini disarankan beberapa hal sebagai berikut: a) untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kritis dan hasil belajar mahasiswa, metode problem solving dapat dijadikan sebagai
salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran; b) dalam menerapkan
metode pembelajaran problem solving hendaknya dosen dapat mengarahkan mahasiswa agar
berkerjasama dan saling membantu dalam memahami materi serta ketika mengerjakan latihan
dalam kelompoknya.
6.
Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar, (2007). Membangun Sumber Daya Manusia dengan Kesinergisan
antara Kecerdasan Spiritual, Emosional, dan Intelektual. Pidato Ilmiah Penganugerahan
Gelar Kehormatan Doctor Honoris Causa di Bidang Pendidikan Karakter, UNY.
Azra, Azyumardi, (2006). Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter Bangsa.
Djalil, Sofyan A. dan Megawangi, Ratna. (2006). Peningkatan Mutu Pendidikan di Aceh
melalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter. Makalah Orasi
Ilmiah pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis ke 45 Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh.
Elkind, David H. dan Sweet, Freddy, (2004). How to Do Character Education (Artikel)
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi, (2001). Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah.
Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Jay Verlinden, (2005). Critical Thinking and Everyday Argument, Australia: Humboldt State
University
Lickona, Thomas, (1992). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility. New York: Bantam Books.
Lickona, Tom; Schaps, Eric, dan Lewis, Catherine, (2007). Eleven Principles of Effective
Character Education. Character Education Partnership.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, (2009). Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa. Yogyakarta:
PP Muhammadiyah.
Sairin, Weinata, (2001). Pendidikan yang Mendidik. Jakarta: Yudhistira.
Suyanto dan Hisyam, Djihad, (2000). Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III: Refleksi
dan Reformasi. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Suyatno; Sumedi, Pudjo, dan Riadi, Sugeng (Editor), (2009). Pengembangan Profesionalisme
Guru: 70 Tahun Abdul Malik Fadjar. Jakarta: UHAMKA Press.
Stephen D. Brookfield, (1987). Developing Critical Thinkers, England: Open University Press.
U. S. Department of Education. Office of Safe and Drug-Free Schools. 400 Maryland Avenue,
S.W. Washington, DC.
http://id.shvoong.com/social-sciences/communication-media-studies/2034770-pengertianberpikir-kritis/#ixzz1Q4DQaFTE
http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2034769-ciri-ciri-berpikir kritis/#ixzz1Q4IYJqLL
340
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk
memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak tuna netra.
Pada disiplin ilmu sosial, ABK masih bisa mengikuti proses pembelajaran tersebut, tetapi pada
ilmu eksak terutama matematika ABK masih terkendala untuk memahaminya, baik geometri,
aljabar maupun analisis. Hal ini dikarenakan untuk memahami materi tersebut ABK
memerlukan kemampuan visual yang mereka tidak miliki. Selain itu, ABK juga membutuhkan
bantuan dari para relawan untuk memahami materi tersebut, sehingga mereka bisa menerima
materi tersebut secara baik selayaknya anak normal.
Kata kunci : Anak berkebutuhan khusus (ABK), kemampuan matematis
1. Pendahuluan
Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Islam atau sering disebut Yaketunis berada di Jalan
Parangtritis Yogyakarta. Sesuai dengan namanya, yayasan ini memberikan fasilitas yang
memadahi bagi penyandang tunanetra. Yaketunis dihuni oleh 50 orang yang terdiri dari putra
dan putri dengan latar belakang yang berbeda-beda dari seluruh Indonesia dengan rentang usia
antara 5 s/d 25 tahun. Sebagian besar dari mereka adalah pelajar yang menimba ilmu di tingkat
SD sampai SMA atau sederajat, bahkan beberapa dari mereka sudah ke jenjang Perguruan
Tinggi.
Para Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang tinggal di Yaketunis rata-rata menuntut
ilmu di sekolah inklusif yang ada di Yogyakarta. Tidak mudah bagi mereka untuk
menyesuaikan keadaan merekan dengan lingkungan sekolah mereka. Demikian juga dengan
gaya belajar yang tentunya harus disesuaikan dengan sekolah inklusif, dimana selain terdapat
siswa yang memiliki kebutuhan khusus juga terdapat siswa yang normal.
Pada dasarnya kemampuan berfikir dari anak tuna netra sama dengan anak normal
lainnya, bahkan ada beberapa dari mereka yang memiliki kemampuan berfikir yang lebih tinggi
dari anak normal. Tetapi karena keterbatasanyang dimiliki akhirnya kemampuan itu tidak bisa
dimaksimalkan, tidak terkecuali pada mata pelajaran Matematika. Beberapa materi dalam
matematika memerlukan visual dalam penyampaiannya, diantaranya vektor, matriks, geometri,
statistika, aljabar dan lain-lain.
Kesulitan yang dialami pada materi vektor, geometri dan statistika yaitu karena pada
materi ini terdapat banyak gambar yang susah untuk dipahami. Anggapan dari para penyandang
341
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
tuna netra bahwa matriks memilikai bentuk operasi dan penulisan yang rumit merupakan
kendala lain yang harus kita pikirkan bersama solusinya. Sedangkan untuk materi aljabar
mereka terkendala pada variabel-variabelnya, ketika variabel dalam aljabar menggunakan
bentuk yang berbeda atau pangkat pangkat yang terlalu besar, maka tampa penglihatan yang
baik penyelesaiannya pun nantinya akan rumit seperti pada materi matriks.
2. Pembahasan
2.1 Keadaan Anak Berkebutuhan Khusus ( Tunanetra ) di Yaketunis
Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai kekurangan dan kelebihan. Hal tersebut
tercermin dari keunikan setiap individu yang selalu berbeda antara yang satu dengan yang lain,
termasuk para penyandang tuna netra yang memiliki kekurangan dalam penglihatan. Di dalam
kekurangan yang dimiliki oleh para penyandang tuna netra sebenarnya terdapat kelebihan yang
perlu dikembangkan agar kehidupan mereka lebih baik.
Menyadari bahwa para penyandang tuna netra memiliki kekurangan dan kelebihan yang
harus dikembangkan maka perlu dibuat sebuah lembaga yang khusus mengurus penyandang
tuna netra. Akhirnya pada tanggal 12 Mei 1964 didirikan yayasan Yaketunis di Yogyakarta
yang khusus mengurus para penyandang tuna netra. Di Yaketunis para anak tuna netra dibina
untuk mempersiapkan diri, baik secara mental, ketrampilan ataupun pendidikan mereka agar
bisa bersekolah di sekolah inklusif. Selain itu mereka juga dibekali ilmu agama, seperti
membaca al-Quran dengan hurup Braile dan lain-lain.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dalam pelaksanaanya, meskipun para penderita tuna
netra sudah dianggap mampu untuk bersekolah inklusif, tetapi mereka masih tetap
membutuhkan bantuan dalam belajar. Hal tersebut dikarenakan pada saat ini sumber belajar
yang dapat diakses oleh anak tuna netra masih sangat minim. Kebanyakan sumber belajar yang
ada saat ini masih dalam bentuk huruf alfabet, sedangkan yang sudah dalam bentuk tulisan
Braile masih sangat sedikit. Bahan ajar yang ada di sekolah inklusif, misalnya LKS atau sumber
yang lain pun masih menggunakan huruf alfabet.
Bantuan yang diberikan selain dari pengurus asrama juga berasal dari para relawan yang
dengan sabar membantu dan melayani mereka. Ketika berada disekolah selain dari guru
Matematikanya sendiri, biasanya teman yang duduk di sampingnya lah yang membantu siswa
tuna netra dalam belajar. Tetapi, jika keduanya tidak dapat membantu maka siswa tuna netra
tersebut akan dibawa ke ruangan khusus untuk dibimbing oleh guru yang khusus membidangi
masalah anak berkebutuhan khusus.
342
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
digunakan mewajibkan semua materi yang ada pada tiap semester harus selesai pada semester
itu juga. Akibatnatnya terkadang guru tidak memperhatikan tingkat penguasaan materi dari para
siswanya. Melainkan, guru kebanyakan hanya mengejar target selesai materi yang diajarkan
entah murid itu paham atau tidak.
Karena matematika adalah ilmu yang sistematis maka jika siswa tidak mampu
menguasai salah satu materi maka materi selanjutnya pun akan kesulitan untuk dikuasai. Dari
sinilah anggapan itu muncul, dan karena hal ini berlangsung secara terus menerus maka para
siswa pun menjadi malas untuk belajar matematika. Ini merupakan pekerjaan yang besar bagi
kita untuk mencari dan menemukan metode yang tepat agar materi matematika dapat dikuasai
oleh para siswa denga baik.
Seperti kita ketahui bersama bahwa meskipun kemampuan berfikir anak tuna netra
sama denga anak yang normal lainnya, bahkan banyak di antara mereka yang memiliki
kemampuan lebih tinggi dari anak normal tetapi karena keterbatasan dalam mengakses sumber
belajar bagi mereka membuat perkembangan mereka terhambat. Maka di yayasan Yaketunis
para anak tuna netra diberikan solusi dengan cara menyediakan fasilitas belajar matematika
yang dibutuhkan, meskipun jumlahnya juga masih terbatas.
Menurut Bapak Mulyono yang merupakan salah satu pengajar di SMA Muhamadiyah 4
Yogyakarta mengatakan bahwa pada saat ini para siswa tuna netra hanya diajarkan bagaimana
memahami konsep dalam matematika. Menurut beliau para penyandang tuna netra dengan
keterbatasan yang ada hanya membutuhkan matematika sebagai pelajaran yang harus mereka
tempuh, bukan mata pelajaran yang dapat menunjang profesi mereka. Jika siswa tuna netra
tersebut mampu menjawab soal yang diberikan maka siswa tersebut sudah dianggap menguasai
materi tersebut. Karena keterbatasan visual yang diderita para siswa tuna netra, akibatnya
mereka sulit untuk mengikuti pembelajaran matematika.
Hal ini jelas terlihat karena para penyandang tuna netra pada saat ini hanya diarahkan
untuk mempelajari ilmu sosial, agama dan bahasa. Ini merupakan sebuah realitas yang ada di
sekitar kita. Para siswa tuna netra hanya akan mempelajari materi-materi sosial saja. Ilmu-ilmu
eksak seperti IPA dan Matematika dianggap kuarang sesuai untuk mereka. Hal tersebut memang
benar karena pada ilmu IPA orang yang bisa melihat tetapi memiliki kelainan seperti buta
warna pun tidak bisa masuk.
Tetapi bagaiman dengan Matematika? Dalam Matematika tidak ada syarat khusus yang
harus dimiliki oleh siapapun yang ingin mendalaminy. Sebenarnya beberapa anak tuna netra
yang ada di Yaketunis memiliki kemampuan aritmatika yang lebih baik dari pada anak normal
lainnya. Seperti dalam melakukan oprasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian dan
344
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
akar. Meskipun pada oprasi logaritma para anak tuna netra kurng begitu menguasai, nmun
apabila mereka melakukan latihan secara terus menerus bakan hal yang tidak munkin bahwa
anak tuna netra dapat menguasainya dengan baik
Walaupun masih terdapat anggapan di benak para pengajar/guru bahwa matematika
bukanlah ilmu yang belum bisa ditekuni oleh para anak tuna netra, tetapi bukan hal yang
mustahil jika kelak terdapat matematikawan yang berasal dari penyandang tuna netra. Hal inilah
yang terus diusahakan oleh pengelola yayasan Yaketunis, mereka berfikir bagaimana para anakanak tuna netra bisa mengikuti matematika denagn baik.
Para anak tuna netra yang tinggal di Yaketunis memiliki gaya belajar matematika yang
berbeda beda-beda. Ada yang cukup dibacakan kemudian dia sudah bisa mengerti dan
memahami materi tetapi ada pula yang harus dijelaskan dengan rinci dan berulang-ulang agar
untuk dapat memahaminya. Selain itu pada beberapa materi matematika yang lainnya anak tuna
netra membutuhkan alat peraga untuk menggambarkan materi yang akan dijelaskan.
Misalkan pada materi geometri dibuatkan replika bangun datar dan bangun ruang,
sehingga dengan adanya replika tersebut mereka akan menangkap konsep bangun ruang
tersebut. Pada materi matriks mereka ditanamkan baris dan kolom dalam bentuk yang lebih
mudah, sajikan angka-angka yang sudah dapat di raba atau dibedakan oleh anak tuna netra,
kemudian letakan angka-angka tersebut ke dalam bentuk segi empat, dengan demikian konsep
baris dan kolom akan mereka kuasai.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
anak tuna netra tidak jarang memberikan masukan terkait penguasaan pemahaman matematis
para anak tuna netra Tetapi pada intinya para anak tuna netra harus dibiasakan hidup mandiri,
karena dalam kehidupan nyata mereka tidak bisa bergantung terus menerus pada orang lain.
Para penyandang tuna netra yang ada di Yaketunis memiliki motivasi yang luar biasa
untuk menghadapi kehidupan ini, semangat menghadapi hari-hari yang tanpa mereka sadari
dalam kondisi buta merupakan cerminan betapa semangatnya mereka. Mereka tidak ingin
dikasihani oleh orang lain, melainkan mereka ingin dianggap oleh orang lain sebagai pribadi
yang bermartabat selayaknya anak normal. Bahkan, untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang sulit mereka lakukan sebagai penderita tuna netra, mereka tetap mengerjakannya, seperti
mencuci baju, naik kendaraan umum dan lain sebagainya. Mereka memanfaatkan fasiltas yang
ada di Yaketunis untuk mengembangkan diri, belajar apapun yang bisa mereka pelajari untuk
bekal mereka manghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan. Diharapkan dengan
semangat itu para anak tuna netra juga akan menguasai pelajaran-pelajaran yang ada di
sekolahan termasuk juga dalam pelajaran matematika.
3. Penutup
Yaketunis adalah tempat di mana para anak berkebutuhan khusus (tuna netra) di bina
untuk menjadi mandiri yang tangguh, sehingga mereka dapat hidup mandiri selayaknya anak
normal biasa.
Dalam belajar metematika meraka kesulitan dalam beberapa materi, seperti materi
vektor, geometri dan statistika yaitu karena pada materi ini terdapat banyak gambar yang susah
untuk dipahami. Anggapan dari para penyandang tuna netra bahwa matriks memilikai bentuk
operasi dan penulisan yang rumit merupakan kendala lain yang harus kita pikirkan bersama
solusinya. Sedangkan untuk materi aljabar mereka terkendala pada variabel-variabelnya, ketika
variabel dalam aljabar menggunakan bentuk yang berbeda atau pangkat pangkat yang banyak,
maka penyelesaiannya pun nantinya akan rumit seperti matriks.
Untuk mendapatkan pemahaman matematis secara maksimal mereka membutuhkan
sarana penunjang untuk membantu kekurangan mereka
4. Pustaka
Panduan Kurikiulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah,
Badan Standar Nasional Pendidikan 2006.
Pedoman Manajemen dan Pembelajaran Sekolah Inklusi (Tunanetra). Direktorat Pembinaan
Sekolah Luar Biasa Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah
Kementrian Pendidikan Nasional 2010.
Rofah, MA, Ph.D, dkk. 2010. Membangun Kampus Inklusi (Best Practices) Pengorganisasiaan
Layanan Difabel. PSLD UIN SUKA Yogyakarta.
346
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Kecerdasan buatan adalah representasi proses berpikir manusia melalui mesin, dalam hal ini
komputer. Representasi ini dimaksudkan agar perilaku komputer menampilkan perilaku
manusia dan membuat komputer lebih baik dan lebih pintar dalam melakukan tugas dan tujuan
tertentu.
Berbagai upaya inovasi pembelajaran matematika telah dilakukan agar pembelajaran
matematika menjadi lebih menarik dan menumbuhkan minat siswa. Salah satu inovasi
pembelajaran matematika berbantuan komputer yang sudah sering dilakukan adalah
pengembangan media pembelajaran matematika berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Namun media ini memberikan materi, latihan dan evaluasi yang sama bagi semua siswa.
Sehingga tujuan pembelajaran tidak akan tercapai secara optimal karena seringkali pada
faktanya siswa memiliki kemampuan yang beragam.
Penerapan kecerdasan buatan dalam pembelajaran matematika berbantuan komputer akan
menghasilkan media pembelajaran yang dapat mengatasi keragaman kemampuan siswa. Media
ini disebut sistem tutorial yang cerdas karena akan berperilaku seperti tutor dan mempunyai
relasi one to one yang berarti satu tutor ke satu siswa. Sistem tutorial yang cerdas ini
mempunyai tampilan dan konten yang berbeda antara satu siswa dengan siswa yang lainnya
sesuai dengan kedalaman ilmu yang dimilikinya. Dengan kecerdasan yang dimiliki sistem
tutorial ini maka tujuan pembelajaran akan tercapai lebih optimal.
Katakunci: kecerdasan buatan, sistem tutorial yang cerdas.
1. Pendahuluan
Matematika merupakan mata pelajaran yang seringkali dianggap sulit dan akhirnya kebanyakan
siswa menjadi kurang tertarik dan malas belajar matematika. Berbagai upaya inovasi
pembelajaran matematika telah dilakukan agar pembelajaran matematika menjadi lebih menarik
dan menumbuhkan minat siswa. Salah satu inovasi pembelajaran matematika berbantuan
komputer yang sudah sering dilakukan adalah pengembangan media pembelajaran matematika
berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Namun media ini memberikan materi, latihan dan
evaluasi yang sama bagi semua siswa. Sehingga tujuan pembelajaran tidak akan tercapai secara
optimal karena seringkali pada faktanya siswa memiliki kemampuan dan kebutuhan yang
beragam.
Disisi lain, ada disiplin ilmu lain yaitu kecerdasan buatan, representasi proses berpikir manusia
melalui mesin, dalam hal ini komputer. Representasi ini dimaksudkan agar perilaku komputer
menampilkan perilaku manusia dan membuat komputer lebih baik dan lebih pintar dalam
melakukan tugas dan tujuan tertentu.
347
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Oleh karena itu penerapan kecerdasan buatan dalam pendidikan khususnya pembelajaran
matematika memungkinkan pembelajaran berbantuan komputer lebih mendekati keberadaan
tutor. Sistem ini disebut dengan sistem tutorial matematika yang cerdas. Dengan relasi satu tutor
satu siswa menjadikan sistem lebih menarik dan lebih sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh
siswa ketika memahami materi matematika tertentu. Pada akhirnya sistem ini akan dapat
mengoptimalakan tujuan pembelajaran matematika.
348
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Skenario sama untuk semua tingkat pengetahuan dan kecerdasan siswa sehingga tidak
ada mekanisme untuk menyesuaikan dengan kebutuhan siswa
Oleh karena itu, kelemahan CAI mendorong banyaknya penelitian untuk mengatasi kelemahan
CAI tersebut. Penelitian ini merupakan upaya inovasi pembelajaran sehingga materi yang
disajikan dinamis dan skenario pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa dalam arti sesuai
dengan tingkat pengetahuan dan kecerdasan siswa. Upaya inovasi yang telah dilakukan yaitu
penggunaan kecerdasan buatan dalam pembelajaran berbantuan komputer.
3. Kecerdasan Buatan
Kecerdasan buatan merupakan teknologi yang mensimulasikan kecerdasan manusia, yaitu
bagaimana mendefinisikan dan mencoba menyelesaikan persoalan menggunakan komputer
dengan meniru bagaimana manusia menyelesaikan dengan cara yang lebih baik.
Kemajuan yang lebih sempurna tentang kecerdasan buatan terjadi pada 1950,
Alan Turing,
seorang matematikawan Inggris, pertama kali mengusulkan adanya tes untuk melihat bisa
tidaknya sebuah mesin, dalam hal ini komputer, dikatakan cerdas. Hasil tes tersebut kemudian
dikenal dengan Turing Test, dimana si komputer tersebut menyamar seolah-olah sebagai
seseorang didalam suatu permainan yang mampu memberikan respon terhadap serangkaian
pertanyaan yang diajukan.
Turing beranggapan bahwa jika komputer dapat membuat seseorang percaya bahwa dirinya
mampu berkomunikasi dengan orang lain, maka dapat dikatakan bahwa kompute tersebut
cerdas(seperti layaknya manusia). Gambar yang memvisualisasikan tentang turing tes
diperlihatkan pada gambar 1.
Kecerdasan Buatan sendiri dimunculkan oleh seorang profesor dari Massachusetts Institute of
Technology (MIT) yang bernama John McCarthy pada tahun 1956 pada saat Dartmouth
Conference yang dihadiri oleh para peneliti kecedasan buatana (Artificial Intelligent).
349
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
kesehatan, kecerdasan buatan dapat mendiagnosis penyakit tertentu seolah-olah seorang dokter
(Expert system). Dibidang komputer vision, sebuah sistem dapat mengenali muka. Dibidang
robotika, kita telah berhasil membuat sebuah kendaraan yang hampir sepenuhnya autonomous.
Untuk pengenalan suara,dengan kecerdasansusra bisa mengenali beberapa ribu kata dalam
pembicaraan yang terus menerus.dibidang industri, sistem perencanaan dan penjadwalan dengan
kecerdasan buatan telah digunakan pada percobaan penjadwalan teleskop hubble. Dibidang
pendidikan, sistem pembelajaran telah mampu melakukan kategorisasi sampai hingga 1000
topik. Penggunaan kecerdasan buatan dalam bidang lain masih cukup banyak. Penggunaan
kecerdasan buatan dalam berbagai bidang dapat digambaruatan kan pada pohon kecerdasan
buatan seperti terlihat pada gambar 2.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Modul Siswa
Modul ini menyimpan informasi yang spesifik untuk tiap-tiap siswa. Modul ini minimal
seperti model penelusuran yaitu memperlihatkan dengan baik bagaimana siswa mempelajari
materi tertentu. Lebih baik lagi apabila modul ini dapat merekam miskonsepsi karena modul
siswa ini nantinya menyediakan data untuk modul pedagogik sistem, dan semua informasi yang
didapat akan digunakan oleh tutor.
Modul Pedagogik
Komponen ini menyediakan model tentang proses pengajaran. Untuk contoh, informasi
tentang kapan mengulang penjelasan, kapan menghadirkan topik baru, dan topik yang mana
yang disajikan, semuanya akan dikontrol oleh modul pedagogik. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, model siswa digunakan sebagai input untuk komponen ini, sehingga keputusankeputusan pedagogik merefleksikan kebutuhan yang berbeda dari tiap siswa.
paling penting karena jika tanpa informasi itu maka tidak akan mungkin ada pengajaran ke
siswa. Secara umum, komponen ini membutuhkan ilmu teknik yang merupakan pengetahuan
signifikan untuk menggambarkan sumber/ domain sehingga bagian-bagian yang lain dari tutor
dapat mengaksesnya.salah satu isu penelitian yang berkaitan adalah bagaimana menggambarkan
352
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
pengetahuan sedemikian sehingga pemetaan pengetahuan untuk sumber/domain yang lebih luas
dapat dilakukan dengan mudah. Selain permasalahan itu, bagaimana menggambarkan sumber
pengetahuan yang lain seperti fakta dan prosedur seperti model konsep dan mental.
Modul Komunikasi
Interaksi dengan siswa, meliputi dialog dan tampilan, dikontrol dengan komponen ini.
Bagaimana materi disajikan kesiswa dengan cara yang paling efektif juga di lakukan oleh modul
ini juga.
Model keahlian ini hampir sama dengan sumber pengetahuan (domain knowledge) yang
didalamnya mengandung informasi yang dipelajari oleh siswa. Bagaimanapun model ini lebih
dari representasi dari data; model ini adalah model dari bagaimana seseorang yang ahli bidang
tertentu menyajikan pengetahuan yang dimilikinya. Pada umumnya, model ini mengambil
bentuk dari model keahlian yang runnable. Seperti permasalahan pemecahan dalam domain
tertentu. Dengan menggunakan model keahlian, tutor dapat membandingkan solusi siswa
dengan solusi ahli dan dapat mengambil kesimpulan tentang kesulitan yang dialami siswa.
Matematika merupakan mata pelajaran yang seringkali dianggap sulit karena abstrak dan
imajinatif, sehingga keberadaan sistem tutorial matematika yang cerdas dapat mengoptimalkan
pembelajaran matematika berbantuan komputer karena sistem ini mempunyai relasi one-to-one
satu tutor satu siswa.
penilaian
terhadap
kemampuan
353
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
kelangkah berikutnya.
Gambar
memperlihatkan E-Tutor.
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
5. Kesimpulan
Penerapan kecerdasan buatan dalam pembelajaran matematika berbantuan komputer
akan
yang memberikan reaksi yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang
lainnya, tergantung dengan kemampuan dan kebutuhan siswa. Sehingga sistem tutorial ini
mempunyai relasi one to one yang berarti satu tutor ke satu siswa. Sistem tutorial yang cerdas
ini mempunyai tampilan dan konten yang berbeda antara satu siswa dengan siswa yang lainnya
sesuai dengan kedalaman ilmu yang dimilikinya. Dengan kecerdasan yang dimiliki sistem
tutorial ini maka sistem ini dapat mengoptimalkan pencapaian tujuan pembelajaran.
6. Pustaka
Subakti Irfan, (2002), Knowledge-Based Systems.: p 15-21.
Martiana Entin, SekilasTentangKecerdasanBuatan.
Razzaq, L. & Heffernan, N. T (2004), Tutorial dialog in an equation solving intelligent tutoring
system , Workshop on Dialog-based Intelligent Tutoring Systems: State of the art and
new research directions at the 7th Annual Intelligent Tutoring Systems Conference,
Maceio, Brazil.
Melis Erica & Siekmann Jorg, ActiveMath: An Intelligent Tutoring System for Mathematics,
German Research Institute for Artificial Intelligence (DFKI) Stuhlsatzenhausweg, 66123
Saarbrucken, Germany.
R. S. Baker, I. Roll, A. T. Corbett, K. R. Koedinger,L. Razzaq, M. Feng, G. Nuzzo-Jones, N.
T.Heffernan, K. R. Koedinger, B. Junker, S. Ritter, A.Knight, C. Aniszczyk, S. Choksey,
T. Livak, E.Mercado, Turner, U. T. E., R., J. A. Walonoski, M.A. Macasek, and K. P.
Rasmussen, "The ASSISTment Project:Blending Assessment and Assisting," presented at
The12th Annual Conference on Artificial Intelligence in Education, 2005.
Beck Joseph & Mia Stern & Haugsjaa Erik, 2010, Applications of AI in Education, The ACM
Student Magazines.
356
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Abstrak
Internet merupakan kemajuan teknologi yang memungkinkan orang untuk belajar ilmu apapun
khususnya matematika tanpa dibatasi ruang dan waktu. Alamat-alamat website di internet yang
kontennya pembelajaran matematika tersedia sangat banyak, baik meliputi tingkat pra sekolah
sampai perguruan tinggi. Pemanfaatan alamat website matematika ini memberikan variasi
proses belajar-mengajar matematika tidak monoton dan lebih interaktif. Selain konten
pembelajaran matematika menampilkan animasi dan fitur-fitur yang menarik, website juga
memasukkan unsur permainan (games).
Banyaknya alamat website tentang pembelajaran matematika ini akan lebih sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai apabila alamat-alamat website dikompilasi sesuai
dengan kompetensi dasar untuk tiap tingkat. Oleh karena itu pembangunan website dengan
konten kompilasi alamat website sangat diperlukan agar pengguna baik guru maupun siswa
dapat lebih mudah dan lebih sesuai dalam memilih alamat website matematika tersebut.
Kata kunci: website matematika, kompilasi website.
1. Pendahuluan
Saat ini teknologi informasi dan komunikasi telah mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Keberadaan internet merupakan efek dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ini.
Internet
memberikan keleluasaan tempat dan waktu dalam mempelajari ilmu apapun, ini
berarti bahwa kita dapat mempelajari ilmu apapun dimanapun, dan saat kapanpun. Dengan
keleluasaan fasilitas internet maka kita bisa mempergunakan internet sebagai sumber belajar
segala ilmu pengetahuan khususnya matematika.
Ketika kita mencari (browse) alamat-alamat diinternet yang berkaitan dengan pembelajaran
matematika dengan mesin pencari(search engine), maka kita akan menemukan banyak sekali
tersedia alamat tersebut, baik itu pembelajaran matematika untuk level rendah (pra sekolah)
sampai level tinggi(perguruan tinggi). Dengan alamat-alamat website pembelajaran matematika
ini tentu saja dapat dipergunakan untuk menunjang proses belajar dan mengajar matematika
misalnya guru sebagai pengguna dapat memberikan variasi pembelajaran yang lebih menarik
karena website menyediakan media pembelajaran yang interaktif, tampilan yang berwarnawarni dan beranimasi. Selain itu, siswa sebagai pengguna juga akan cenderung tidak bosan
karena adakalanya website menyediakan fasilitas permainan matematika (games matematika)
sehingga mereka tanpa terasa mempelajari matematika ketika bermain dengan media tersebut.
357
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Dengan begitu banyak website pembelajaran matematika yang tersedia diinternet, seringkali
kita kesulitan dan membutuhkan waktu yang lama untuk memilih website yang sesuai dengan
materi matematika yang ingin dipelajari dan level/tingkat pengguna (guru dan siswa) dalam hal
ini Sekolah Menengah Tingkat Pertama. Alamat-alamat website yang sesuai dengan materi
matematika level tertentu akan lebih mudah dan lebih cepat dalam penggunaannya apabila
dikompilasi dalam satu alamat website tertentu. Oleh karena itu, pengembangan website dengan
konten kompilasi alamat-alamat website pembelajaran matematika sangat diperlukan.
Makalah ini akan terdiri dari pendahuluan, perancangan website, implementasi website,
kesulitan dan keterbatasan website serta kesimpulan.
2. Perancangan Website.
Perancangan website untuk menunjang proses belajar belajar matematika tingkat sekolah
menengah pertama ini terdiri dari 2 diagram alir utama yaitu yang pertama untuk proses
pembangunan website dan
Flowchart
perancangan website ini terlihat pada gambar 2(fasilitas kelas VIII), gambar 3(fasilitas
kelas VII) serta gambar 4(fasilitas kelas IX).
Tahap III:Pembuatan website
Pembuatan website dalam penelitian ini dibangun dengan menggunakan tool
dreamweaver, flash 8 dan scripting language(java script). Pemilihan dreamweaver
untuk perancangan grafis ini disebabkan tool ini mempunyai kemampuan untuk
digabung dengan lingkungan tool yang lain misal flash.
358
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Perancangan website
Pembuatan website
Website sesuai
tidak
ya
Website versi akhir
selesei
Gambar 1. Proses Pembangunan website
359
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Standar
Kompetensi
Bilangan
1.
Memahami
sifat-sifat
operasi
hitung
bilangan dan
penggunaan
nya dalam
pemecahan
masalah
Komptensi
Dasar
1.1
elakukan
operasi
hitung
bilangan
bulat dan
pecahan
website
Isi
http://math.com/school/subject1/lessons/S1U1L10GL.html
What integers is
http://math.com/school/subject1/lessons/S1U1L11GL.html
http://math.com/school/subject1/lessons/S1U1L12GL.html#sm1
http://math.com/school/subject1/lessons/S1U3L2GL.html
http://www.coolmath4kids.com/fractions/fractions-02-mixed-numbers-01.html
http://www.coolmath4kids.com/fractions/fractions-03-magic-one-01.html
Mixed numbers
http://www.coolmath4kids.com/fractions/fractions-04-equivalent-01.html
http://www.coolmath4kids.com/fractions/fractions-06-equivalent-01.html
Equivalent Fraction-part 1
http://www.coolmath4kids.com/fractions/fractions-05-simplying-reducing-01.html
http://www.coolmath4kids.com/fractions/fractions-07-improper-01.html
Equivalent Fraction-part 2
Simplifying fraction
http://www.coolmath4kids.com/fractions/fractions-08-which-fraction-is-greater-01.html
360
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Kelas VII
Mulai
Kelas VII
yes
Aljabar
yes
Geometri
Kompetensi
Alamat2 website
Konten website
Geometri
Kompetensi Geometri
no
no
yes
Aljabar
yes
Kelas VIII
Aljabar
Kompetensi
Alamat2 website
Konten website
Aljabar
Selesei
Kompetensi Aljabar
no
yes
Contoh RPP
no
Standar
RPP Geometri
no
Rpp kelas VIII
yes
yes
Contoh RPP
RPP Aljabar
Contoh RPPAljabar
no
no
yes
Statistika
Kelas IX
no
Barisan & Deret (BD)
D
Rpp Kelas IX
yes
F
361
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
B
Standar
Bilangan
yes
Alamat2 website
Konten website
Bilangan
Keterangan Bilangan
Kompetensi
no
Statistik &
Peluang
Kompetensi
Standar
Kompetensi
Alamat2 website
Konten website
S&P
Kompetensi S&P
no
Standar
yes
Geometri
Alamat2 website
Kompetensi
Konten website
Geometri
Kompetensi
no
F
yes
Contoh RPP
RPP Geometri
no
yes
Contoh RP
RPP Bilangan
Standar
Bilangan
Kompetensi
Alamat2 website
no
Contoh RPP
Keterangan Bilangan
Kompetensi
no
Konten website
Bilangan
yes
RPP S&P
yes
Aljabar
Standar
Kompetensi
Alamat2 website
no
Kompetensi
no
Standar
yes
Geometri
Konten website
Aljabar
Kompetensi
Alamat2 website
Konten website
Geometri
Kompetensi
no
E
yes
Contoh RPP
RPP Geometri
C
no
Contoh RP
yes
RPP Bilangan
Contoh RPP
yes
RPP Aljabar
no
362
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
2.2
Website yang dibangun menyediakan fitur-fitur mulai kelas VII sampai kelas IX beserta
contoh RPP, dimana fitur-fitur ini berguna untuk menunjang proses belajar dan mengajar
matematika. Tampilan akhir dari website ini adalah alamat dari website dari setiap materi
yang dipelajari untuk masing-masing kelas. Fitur-fitur website diperlihatkan dengan
diagram alir. Diagram alir kelas VIII diperlihatkan pada gambar 2, kelas VII
diperlihatkan gambar 3 dan diagram alir kelas IX diperlihatkan pada gambar 4.
3. Implementasi Website
Implementasi rancangan website menggunakan 2 tool yaitu dreamweaver dan flash.
Dreamweaver digunakan untuk merancang frame-frame yang berisi tentang fitur-fitur
untuk kelas VII sampai IX
3.1 Dreamweaver
Dreamweaver merupakan tool/alat untuk memanagement web site dan juga sebagai
alat yang mudah sekali untuk membuat halaman web. Banyak sekali profesional web
developer yang menggunakan Dreamweaver ini untuk membangun dan mengelola suatu
web site dengan hasil yang
sangat memuaskan. Selain itu, dreamweaver digunakan sebagai tool untuk membuat
design web dengan HTML dan melakukan coding scripting PHP untuk membuat web
yang dinamis. Lingkungan Dreamweaver diperlihatkan pada gambar 5.
Insert bar berisi tombol-tombol untuk memasukkan berbagai type object, seperti
image, table, dan layer, ke dalam document Dreamweaver.
Document toolbar berisi tombol-tombol dan menu pop-up yang menyediakan view
Document window.
Document windowuntuk menampilkan document sekarang ini yang sedang kita buat
atau sedang kita kembangkan (editing).
Panel groups merupakan sekumpulan panel group yang secara bersama-sama dalam satu
heading.
Tag selector memperlihatkan kepada kita relevansi tag HTML sesuai yang kita pilih
(selected) di Document window.
Property inspector memperlihatkan kepada kita view dan fasilitas untuk mengubah
berbagai macam property object / text yang sesuai kita pilih.
363
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Segi grafis dan animasi yang berbasis vektor grafis yang mempunyai kecepatan
dan kualitas yang tinggi walau dapat diisi dengan bitmap yang diimpor dari
program lain.
Pembuatan movie akan lebih menarik karena grafis statis dibuat dengan efek
yang seolah-olah nampak bergerak
Tool ini mempunyai panel-panel dan fasilitas yang dapat menunjang pembuatan movie
dengan lebih baik. Lingkungan dari tool flash ini dapat dilihat pada 6 gambar berikut ini :
364
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Simbol
Movie Explorer
Panel
Timeline Stage
Library Window
Lingkungan flash pada gambar 1 terdiri dari beberapa bagian penting antara lain:
Timeline adalah tempat dimana obyek gambar yang diletakkan pada frame diatur
tampilannya berdasarkan urutan waktunya
Simbol merupakan media aset dari movie yang dapat dipakai ulang
Movie explorer merupakan tempat dimana kita dapat melihat keseluruhan movie
beserta strukturnya.
Panel-panel merupakan bagian dari flash yang memuat berbagai elemen dalam
movie.
Tampilan utama website versi awal mengandung animasi flash terlihat pada gambar
5. Namun animasi flash ini tidak muncul apabila spesifikasi software dari user tidak
sesuai, dimana hal ini menyebabkan tampilan menjadi kurang menarik. Untuk
tampilan utama website akhir ini ditunjukkan pada gambar 6.
365
Semnastika Unesa Matematika Membangun Insan Kritis dan Kreatif, Surabaya 22 Oktober 2011
ISBN No. 978-979-028-417-3
Pada tahap IV khususnya tahap verifikasi data dan pemberian hak akses terjadi
ketidaksesuaian data sehingga proses upload website tertunda.
5. Kesimpulan
Internet
dapat
belajar
dan media
6. Pustaka
Hibah Stranas Nasional 2010, Pemanfaatan Internet untuk Pengembangan Profesi Guruguru Matematika SMP RSBI/SBI Jawa Timur
McFarland Sawyer D, 2009, Dreamweaver CS4: The Missing Manual,United Stated of
America
Gonzalez , James. Macromedia Flash Professional 8 Hands-On Training.
366