Anda di halaman 1dari 13

MASJID SEBAGAI PERADABAN ISLAM

Munculnya berbagai problem kebangsaan yang kini menjadi bagian dari


kehidupan seluruh masyarakat di tanah air kita, tidak bisa dilepaskan dari
implikasi nyata atas gagalnya peran kelompok masyarakat madani selama
ini. Banyak aspek dalam pengembangan masyarakat madani yang begitu
dilupakan, salah satunya adalah keberadaan masjid. Hampir seluruh sejarah
perubahan dalam islam senantiasa diawali dengan kemampuan para aktor
masyarakat madani dalam membangun perubahan melalui sarana masjid.
Peran masjid sebagai basis pembangunan masyarakat madani begitu
menonjol, baik pada awal kebangkitan islam maupun pada masa pengembangan
dan penyebaran islam. Masjid bukan hanya semata-mata dijadikan sarana
ibadah mahdhah, melainkan ia menjadi sarana dan sekaligus kekuatan dalam
membangun dan menanamkan nilai-nilai kebaikan dan pembaharuan kehidupan
umat. Sehingga perubahan dalam konteks politik kebangsaan secara luas, bukan
hanya perubahan dalam arti struktur dan sistem politik, namun jauh dari itu adalah
perubahan terhadap nilai-nilai dankebudayaan politik yang dibangun melalui basis
masjid.
Masjid adalah simbol keislaman. Ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
umat Islam, karena masjid merupakan bentuk ketundukan umat kepada Allah swt.
Kata masjid terulang 28 kali dalam Alquran dalam berbagai bentuk. Secara bahasa
masjid berasal dari kata sajada-yasjudu-sujudan yang secara etimologis beraarti
patuh; taat; tunduk dengan penuh hormat. Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut,
dan kaki ke bumi, atau bersujud adalah bentuk lahiriyah yang paling nyata dari
makna-makna tersebut. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan
untuk shalat dinamai masjid, tempat bersujud.
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat
kaum Muslim. Tapi karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh,
hakikat masjid menjadi tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung
kepatuhan kepada Allah swt. Alquran menegaskan: Sesungguhnya masjid-masjid
itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyembah sesuatu didalamnya
selain Allah. (QS. Jinn {72} : 18). Rasulullah saw. bersabda:Telah dijadikan

untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri.
(HR Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah).
Masjid memiliki peran sangat penting bagi masyarakat muslim sejak
periode nabi Muhammad Saw. dan sejak masa awal eksistensi masyarakat muslim
di Madinah. Ketika hijrahnya dari Makkah ke Madinah, beliau membangun
masjid sebagai upaya konkret yang pertama bagi peradaban Islam. Sejak periode
penting ini masjid yang ia bangun dipandang sebagai pusat utama bagi beragam
aktifitas masyarakat muslim. Dengan kata lain masjid menjadi pusat komunitas
dan naungan bagi segala bentuk program dan aktifitas sosial dan pendidikan
masyarakat muslim.
Penjelasan di atas menggambarkan betapa masjid pada awal sejarah
penyebaran Islam memiliki peran penting dan menjadi basis utama bagi segala
aktifitas umat muslim dalam proses pengembangan ajaran-ajaran Islam dan
berfungsi secara aktif dalam pengembangan dan kemajuan pendidikan Islam.
Masjid pada periode tersebut tak hanya menjadi tempat suci untuk pelaksanaan
ibadah-ibadah yang bersifat mahdhah seperti shalat, berdzikir dan membaca al
Quran tetapi berfungsi secara lebih luas dan beragam. Quraish Shihab bahkan
mencatat beberapa peranan strategis yang dimiliki masjid nabawi, antara lain :
sebagai tempat ibadah (shalat, zikir), tempat konsultasi dan komunikasi (masalah
ekonomi-sosial budaya), tempat pendidikan, tempat santunan sosial, tempat
latihan militer dan persiapan alat-alatnya, tempat pengobatan para korban perang,
tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, aula dan tempat menerima tamu,
tempat menawan tahanan, dan pusat penerangan atau pembelaan agama.

A. MASJID DALAM MASA PERIOE AWAL ISLAM


Pada periode awal Islam yaitu pada masa Rasulullah Saw. masjid memiliki
peran signifikan dan strategis baik ketika di Makkah atau di Madinah. Di Makkah,
masjid al Haram menjadi tempat sosialisasi wahyu dari Allah secara terbuka
sehingga mengundang reaksi keras dari golongan musyrikin Quraisy seperti

dialami oleh Abdullah ibn Masud. Demikian pula sewaktu nabi singgah di Quba
dalam perjalanannya ke Yatsrib, selama 4 (empat) hari beliau mendirikan masjid
yang kemudian dikenal dengan sebutan masjid Quba, masjid yang pertama kali
dibangun oleh nabi pada tahun ke- 13 kenabiannya atau tahun ke- 1 hijriah (28
Juni 622 M). Masjid Quba ini merupakan tempat peribadatan umat Islam pertama
yang kemudian menjadi model atau pola dasar bagi umat Islam dalam
membangun masjid-masjid di kemudian hari. Masjid Quba disamping sebagai
tempat peribadatan yang menjadi fungsi utamanya, juga sebagai tempat
pendidikan dan pengajaran agama Islam. Untuk itu, Rasulullah menempatkan
Muadz ibn Jabal sebagai imam sekaligus guru agama di majid Quba ini. Selain
itu, Rasulullah sendiri kerap berkunjung ke masjid ini, baik dengan mengendarai
unta ataupu berjalan kaki, dan menunaikan shalat.
Kemudian setibanya di Yatsrib, langkah pertama yang dilakukan
Rasulullah Saw. adalah membangun masjid yang sangat sederhana, berukuran 35
x 30 m2. Dengan berlantaikan tanah, dinding terbuat dari tanah yang dikeringkan,
tiangnya dari batang pohon kurma dan atapnya dari pelepah dan daunnya. Masjid
ini kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Nabawi. Di sebelah timur masjid,
dibangun tempat tinggal Rasulullah yang tentunya lebih sederhana lagi dari
masjid, dan di sebelah barat dibangun sebuah ruangan khusus untuk orang-orang
miskin muhajirin, yang kemudian dikenal dengan sebutan al shuffah.
Di Masjid Nabawi inilah, seperti dijelaskan Quraish Shihab, fungsi-fungsi
penting yang terkait dengan kehidupan masyarakat muslim pada masa itu
dijalankan dengan baik karena Rasulullah sendiri yang secara langsung memimpin
pemberdayaan masjid sebagai tempat dan basis utama mengelola masyarakat
muslim dengan sebaik-baiknya yang di kemudian hari melahirkan sebuah
masyarakat ideal yang disebut masyarakat madani.1
Selain dari dua masjid di atas, Rasulullah dan para sahabat juga
membangun dan memperhatikan beberapa masjid dalam waktu yang berbeda
antara lain : masjid Qiblatain, masjid Salman, masjid Sayyidina Ali, masjid
1 Istilah masyarakat madani dipopulerkan oleh Nurcholis Madjid yang memiliki makna
masyarakat kota yang memiliki perangai dinamis, sibuk, berfikir logis, berpola hidup
praktis, berwawasan luas, dan mencari-cari terobosan baru demi memperoleh
kehidupan yang sejahtera. Perangai tersebut didukung dengan mental akhlak karimah .

Ijabah, masjid Raya, masjid Suqiya, masjid Fadikh, masjid Bani Quraizhah,
Masjid Afr dan masjid al Aqsha yang notebene masjid tertua kedua setelah masjid
al haram di Makkah.
Pada masa Khulafa al Rasyidin juga dibangun beberapa masjid baru di
wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai. Di Bayt al Maqdis, misalnya, khalifah
Umar ibn Khattab membangun sebuah masjid yang berbentuk lingkaran (segi
delapan), dindingnya terbuat dari tanah liat, tanpa atap, tepatnya di atas bukit
Muriah. Masjid ini kemudian dikenal dengan nama masjid Umar. Di Kufah pada
tahun 17 H Saad ibn Abi Waqqash, sebagai panglima perang, membangun sebuah
masjid dengan bahan-bahan bangunan dari Persia lama dari Hirah dan selesai
dibangun pada tahun 18 H. Masjid ini sudah memiliki mihrab dan menara. Di kota
Basrah, pada tahun 14 H juga dibangun sebuah masjid oleh Utbah ibn Ghazwan.
Di Madain, pada tahun 16 H. Saad ibn Abi Waqqash menjadikan sebuah gedung
sebagai masjid. Di Damaskus, pada tahun 14 H. gereja St. John dibagi dua,
sebagian (sebelah timur) menjadi milik muslim dan dibuat sebagai masjid oleh
Abu Ubaidah ibn Jarrah. Di Fustat, Mesir, pada tahun 21 H. Amr ibn Ash, ketika
menjadi panglima perang untuk menaklukan daerah tersebut membangun masjid
al Atiq. Secara fisik masjid tersebut sudah berkembang lebih maju dibandingkan
masjid-masjid lain yang telah ada.

B. MASJID DAN PENDIDIKAN


Pada masa nabi Muhammad Saw dan khalifah Abu Bakar Shiddiq masjid
masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan pendidikan Islam tanpa ada pemisahan
yang jelas antara keduanya hingga masa Amirul Mukminin, Umar ibn Khattab.
Pada masanya, di samping atau di beberapa sudut masjid dibangun kuttab-kuttab
untuk tempat belajar anak-anak. Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar
kataba yang artinya menulis atau tempat menulis, jadi kuttab adalah tempat
belajar menulis. Sebelum datangnya Islam kuttab telah ada di negeri arab
meskipun belum banyak dikenal oleh masyarakat. Ahmad Syalabi menulis

bahwa kuttab adalah tempat memberi pelajaran menulis, dimana tempat belajar
membaca dan menulis ini teruntuk bagi anak-anak.
Sejak masa inilah pengaturan pendidikan anak-anak dimulai. Hari Jumat
adalah hari libur mingguan sebagai persiapan melaksanakan shalat Jumat.
Khalifah Umar ibn Khattab mengusulkan agar para pelajar diliburkan pada waktu
dzuhur hari kamis, agar mereka bersiap-siap menghadapi hari Jumat. Usul ini
kemudian menjadi tradisi hingga sekarang.
Sebagai institusi pendidikan Islam periode awal, masjid menyelenggarakan
kajian-kajian baik dalam bentuk diskusi, ceramah dan model pembelajaran yang
memiliki bentuk atau format tersendiri yang disesuaikan dengan tingkat
perkembangan masyarakat muslim pada masa itu yang pada masa-masa
berikutnya terus mengalami inovasi dan pembaruan. Hasil inovasi dan pembaruan
tersebut sebagai konsekwensi dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat muslim
terhadap pendidikan Islam yang terus mengalami perubahan dan peningkatan.
Format dasar pendidikan masjid adalah lingkaran studi, lebih dikenal
dalam Islam sebagai `ilm al-Halaqat atau singkatnya: Halaqa. Halaqa, dieja
Halqa dalam edisi baru Ensiklopedi Islam, yang didefinisikan sebagai pertemuan
orang yang duduk membentuk lingkaran.
Lingkaran (halaqa) adalah bentuk tertua dari pengajaran Islam, sejak masa
Nabi Muhammad, yang berperan memimpin kegiatan bagi para pengikutnya baik
pria maupun wanita. Dalam halaqa tradisional, guru duduk di atas bantal
membelakangi dinding atau pilar. Para siswa duduk dalam setengah lingkaran di
sekitar guru, sesuai peringkat pengetahuannya. Pada awal Islam, para guru di
halaqa termasuk laki-laki dan perempuan. Situs pertama untuk kalangan belajar
berada di masjid (masjid). Guru terkenal dikaitkan dengan kota dan masjid
tertentu, dan biasanya juga untuk nama pilar bagi ulama terkenal yang duduk di
sana. Lingkaran belajar juga diadakan di lembaga lain dan rumah. Siswa
melakukan perjalanan untuk duduk dalam lingkaran seorang sarjana terkenal.
Tradisi merekam pemaparan pengajar berkembang menjadi pengajaran yang lebih
sistematis. Metode yang dilakukan para guru dalam mengampu mata pelajaran,
memungkinkan siswa mereka untuk mengajukan pertanyaan dan menguji

pengetahuan mereka. Kesuksesan belajar dihargai dengan surat, atau sertifikat


belajar (ijazah). Tradisi halaqa formal dan informal berlanjut sampai hari ini
dalam kebudayan Muslim.
Meski belum terstruktur, kelompok belajar yang disebut halaqa ini pada
akhirnya berkembang menjadi lembaga formal. Pada mulanya seorang guru
menjadi syaikh secara alami. Pada tahap selanjutnya dengan persiapan formal
seorang syaikh halaqa dapat diangkat menjadi pengurus masjid. Pada akhirnya,
syaikh halaqa berkembang menjadi penafsir yang menetapkan hukum
sebagaimana termaktub dalam al Qur`an dan hadits. Pada tahap selanjutnya para
ulama secara khusus diangkat menjadi guru agama dan memimpin berbagai
halaqa sehingga sejarah lembaga pendidikan tinggi berikutnya berawal pada
terbentuknya berbagai halaqa lainnya di berbagai masjid.
Di dalam format pendidikan masjid berupa halaqa tersebut terdapat
beberapa subjek pengajar yang masing-masing secara hirarkis memiliki tugas dan
fungsi yang berbeda dan saling mendukung, yaitu : 1. Syaikh yang berarti guru
utama yang juga disebut mudarris dan bertugas menjadi imam masjid pemimpin
shalat jamaah, khotib shalat jumat, pengajar dan administrator dalam proses
pendidikan masjid, 2. Na`ib, sebagai asisten syaikh yang sewaktu-waktu
menggantikan syaikh dalam mengajar jika syaikh berhalangan atau menunjuknya
untuk mengajar, 3. Muid, sebagai juru ulang (repetitor) materi-materi yang telah
diajarkan oleh syaikh atau mudarris kepada santri atau murid yang tidak sempat
mengikuti pertemuan belajar, dan 4. Mufid, sebagai tutor yang bertugas membantu
murid-murid yang lebih muda atau pemula tetapi belum dianggap mampu
mengulang ceramah mudarris seperti halnya muid.
Dalam halaqa yang diselenggarakan di masjid siapapun bisa bergabung
baik statusnya sebagai murid yang terdaftar ataupun sekedar pengunjung yang
berminat mengikuti kajian. Mereka yang menjadi murid pada halaqa tersebut
diberi tugas untuk melakukan pembacaan terhadap sumber-sumber keilmuan
penunjang agar tidak mengalami kesulitan dalam memahami uraian mudarris
ketika proses kajian berlangsung, juga dituntut untuk berkonsentrasi secara

sungguh-sungguh. Kegiatan diskusi aktif pun diintensifkan untuk menggali lebih


dalam untuk menangkap wawasan lebih luas tentang ajaran Islam.
Kadang-kadang dalam satu masjid terdapat beberapa halaqa dengan
mudarris yang masing-masing mengajara satu ilmu, seperti ilmu tafsir, fiqih,
tarikh dan sebagainya. Di masjid Amr ibn Ash (13 H), misalnya, yang mula-mula
diajarkan di masjid ini ialah pelajaran agama dan budi pekerti. Kemudian secara
berangsur-angsur ditambahkan beberapa mata pelajaran. Pada waktu imam Syafii
datang ke masjid ini untuk menjadi guru pada tahun 182 H, ia melihat sudah ada
delapan buah halaqa yang penuh dengan pelajar. Pada masa Umayyah terdapat
masjid sebagai pusat ilmu yakni Cordoba, masjid ash- Shahra, masjid Damaskus,
dan masjid Qairawan. Pada masa Abbasiyyah, terdapat juga masjid sebagai pusat
ilmu, periode pertama 132-232 H (750-847 M), yakni masjid Basrah, yang
didalamnya terdapat halaqa al- Fadh, halaqa al Fiqh, halaqa al- tafsir wa al
hadits, halaqa al- Riyadiyyah, halaqa al Sirr wa al- Adab (belum ada
madrasah/sekolah).
Beberapa data historis di atas hanyalah menggambarkan sedikit dari
puluhan ribu masjid yang secara faktual telah menyelenggarakan proses
pendidikan Islam dengan ragam disiplin keilmuan Islam dan memberikan
sumbangan penting bagi proses transmisi keilmuan dari periode ke periode.
Pemilahan materi ajar pun belum dilakukan secara sistematis dan terstruktur yang
pada perkembangan selanjutnya pembakuan kurikulum terstruktur tersebut
dilakukan pada lembaga pendidikan Islam yang formal yaitu : madrasah.
Kemunculan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan fase
terpenting dalam sejarah intelektual pendidikan Islam yang mengubah secara
signifikan format penyelenggaraan pendidikan Islam menjadi lebih sistematis dan
terstruktur. Format halaqa yang semula digunakan dalam kajian-kajian keilmuan
Islam bergeser ke lembaga baru bernama madrasah yang menggunakan sistem
kelas dalam praktek pengajaran dan pembelajarannya.
Faktor yang mendorong perlunya pendirian madrasah sebagai pengganti
fungsi pendidikan masjid adalah kenyataan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan
telah melahirkan kelompok intelektual baru, tentunya memajukan dan

mengembangkan lembaga pendidikan seperti madrasah merupakan usaha untuk


menyediakan lahan baru bagi mereka.

C. MASJID DAN PEMERINTAHAN


Pada masa perkembangan Islam di Madinah, kegiatan umat muslim
terpusat di masjid. Seperti yang telah dipaparkan, masjid menjadi sarana tempat
berdiskusi, bertukar pikiran, menyampaikan wahyu, serta pengkajian Aqidah.
Selain itu semua kegiatan kepemerintahan Islam juga dilakukan di Masjid.
Rasulullah SAW menjadikan masjid sebagai tempat gedung parlemen tempat
mengatur segala urusan kepemerintahan. Para sahabat dari berbagai kabilah
berkumpul dalam satu majlis yang bertempat di masjid nabawi untuk berdiskusi,
bertukar pikiran atau hanya untuk berkumpul bersama Rasulullah.
Namun fungsi masjid sebagai pusat peradaban pada masa Rasulullah ini
lambat laun bergeser dengan berdirinya Istana sebagai pusat pemerintah. Semua
urusan keduniawian berangsur-angsur bergeser ke istana. Pada saat itu, peran
masjid hanya untuk ibadah semata.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, khususnya pada era kerajaan
Islam Jawa. Lokasi masjid sebagai tempat ibadah terpisah dari istana. Istana
dilambangkan sebagai pusat peradaban manusia dijadikan sebagai pusat
pemerintahan . Sedangkan masjid, adalah bagian dari unsur ketuhanan yang hanya
digunakan untuk kegiatan ibadah mahdhoh seperti shalat dan dzikir saja.
D. MASJID DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Masjid sebagai sentral kegiatan umat muslim tidak akan lepas oleh
kegiatan ekonomi. Sebuah peradaban akan dianggap berhasil jika ia dapat
menghasilkan stabilitas ekonomi pada masyarakatnya. Oleh karena itu
pengelolaan masjid masa kini harus mampu mengembalikan peranan masjid
dalam mengatasi keterbelakangan umat, khususnya menanggulangi kemiskinan
dan kebodohan. Seperti lembaga Baitul Mal pada zaman Rasulullah yang
berfungsi mengatur urusan perputaran zakat dan infaq dan penyalurannya kepada
faqir miskin.

Masjid seharusnya bisa berperan dalam mengumpulkan, mengelola dan


menyalurkan zakat. Tak hanya zakat fitrah saja yang harus dikelola oleh masjid,
namun juga zakat penghasilan, pertanian, perniagaan dan perusahaan.
Di sisi lain, perlu adanya edukasi kepada masyarakat bahwa membayar
zakat bisa dilakukan kapan saja, tak harus di bulan Ramadhan. Zakat yang
berkaitan dengan bulan Ramadhan hanya zakat fitrah saja. Zakat-zakat yang lain
tidak ada kaitannya dengan bulan Ramadhan, kecuali kalau misalkan haul-nya
masa perputaran tahunnya memang jatuh pada bulan Ramadhan. Zakat perniagaan
apabila dia sudah berputar satu tahun dianggapnya dia harus mengeluarkan zakat,
tidak harus menunggu pada bulan Ramadhan. Zakat pertanian itu kalau di panen
harus dikeluarkan zakatnya. Andaikata panennya tiap bulan ya harus
mengeluarkan zakat tiap bulan. Begitu aturannya, ungkap Imam Besar Masjid
Istiqlal Jakarta, Prof KH Ali Mustafa Yaqub, yang juga seorang pakar hadits.
(Republika, Jumat, 3 September 2010).
Edukasi tentang zakat dapat dijelaskan takmir masjid saat sholat Jumat
atau acara pengajian rutin. Masjid dapat memanfaatkan media massa dan
teknologi informasi sebagai media informasi kepada masyarakat. Yang lebih
utama, masjid harus mampu mengelola dan memberdayakan dana zakat tersebut.
Penyaluran zakat harus diupayakan tidak bersifat konsumtif yang habis pada
waktu itu saja. Jadi, harus diupayakan dana zakat yang diberikan itu berupa
pemberian modal kerja, pelayanan kesehatan, program pendidikan, bahkan
layanan jenazah gratis bagi kaum dhuafa.
Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang murni lahir dari umat
Islam sendiri yang pada masa awal menjadi institusi sentral dan menjadi basis
utama sebagai tempat ibadah, pendidikan, pemerintahan sosial dan peran-peran
lain yang berhubungan langsung dengan persoalan-persoalan keumatan.
Begbagai fungsi Masjid yang bisa disimpulkan dari pemaparan diatas
antara lain :
1. Masjid sebagai pusat peribadatan (Fungsi Keagamaan)
2. Masjid sebagai pusat pemerintahan dan peradaban

3.
4.
5.
6.

Masjid sebagai pusat persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah)


Masjid sebagai pusat pendidikan
Masjid sebagai pengumpulan dana (Baitul Mal)
Masjid sebagai simbol persamaan
Pola baku pendidikan pada masjid adalah berupa halaqa (lingkaran studi)
yang menyelenggarakan kajian-kajian ilmu-ilmu keislaman seperti al Qur`an,
hadits, fiqih, tafsir, ilmu bahasa dan lain sebagainya dengan tokoh guru utama
yang disebut syaikh atau mudarris dibantu oleh na`ib, mu`id dan mufid. Masa itu
masjid seakan menjadi lembaga pendidikan primadona yang sangat diminati oleh
para pencari ilmu dari berbagai daerah. Keahlian dan nama besar syaikh sendiri
sebagai pemimpin halaqa menjadi magnet tersendiri yang menentukan apakah
halaqa-halaqa tersebut memiliki banyak pengikut ataukah sedikit.
Namun seiring perkembangan zaman dan merunyaknya tuntutan
kehidupan masyarakat muslim yang kompleks posisi masjid sebagai lembaga
pendidikan Islam terganti oleh lembaga pendidikan Islam lain (madrasah) yang
muncul kemudian. Sedangkan Fungsi kepemerintahan masjid tergantikan dengan
berdirinya Istana.
Meskipun demikian optimalisasi fungsi-fungsi masjid sampai saat ini
masih terus dilakukan umat Islam terutama masjid-masjid kota. Tak jarang
ditemukan masjid-masjid kota tak hanya diperuntukan sebagai sarana tempat
ibadah tetapi pula dilengkapi fasilitas perpustakaan, ruang administrasi, ruang
belajar baca tulis al Qur`an. Bahkan pada masjid-masjid tertentu dijadikan sebagai
obyek wisata religi yang ramai dikunjungi karena keindahan dan kemegahan
arsitektur masjid tersebu, seperti masjid Istiqlal di Jakarta yang diklaim sebagai
masjid terbesar di Asia Tenggara, masjid Dian al Mahri di Depok yang terkenal
dengan sebutan Masjid Kubah Emas, masjid Agung Semarang yang memiliki
payung elektrik seperti masjid Nabawi Madinah dan sebagainya.
Salah satu komponen penting dalam pengembangan masjid adalah Remaja
Masjid. Remaja masjid menjadi penting untuk menghidupkan masjid karena sifat
dasar dari remaja dan pemuda itu sendiri yaitu penuh ide kreatifitas dan inovasi.
Sehingga kegiatan masjid akan lebih beraneka dan tidak monoton serta mampu

menarik jamaah dari kalangan muda. Yang tidak kalah penting adalah tujuan
untuk kaderisasi, generasi muda yang cinta masjid kelak akan menjadi penerus
sebagai pengurus masjid. Tidak hanya menjadi pengurus masjid, optimalisasi
masjid

untuk

menghasilkan

generasi

cinta

masjid

diharapkan

mampu

menghasilkan pemimpin-pemimpin yang cinta masjid, seperti halnya sahabatsahabat Rasulullah SAW.

Daftar Pustaka
Aminullah, Ghilman. Fungsi Masjid Dalam Membangun Peradaban Islam.
https://www.academia.edu/5544793/Fungsi_Masjid_Dalam_Membangun_Perada
ban_Islam. Di akses pada tanggal 28 Maret 2015
Kristono, Anton. Optimalisasi Peran Masjid Sebagai Pusat Pemberdayaan Umat.
http://blog.kompasiana.com/2011/10/Optimalisasi-Peran-Masjid-Sebagai PusatPemberdayaan-Umat. Di akses pada tanggal 28 Maret 2015 .
Taufik, Ahmad, dkk. 2013. Pendidikan Agama Islam. Surakarta: Yumna Pustaka.
Supardi dan Teuku Amiruddin. 2001. Manajemen Masjid Dalam Pembangunan
Masyarakat: Optimalisasi Peran dan Fungsi Masjid. Yogyakarta: Uli Press

Anda mungkin juga menyukai