Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Durian
Durian adalah nama tumbuhan tropik yang berasal dari Asia Tenggara,
sekaligus nama buahnya yang bisa dimakan. Nama ini diambil dari ciri khas kulit
buahnya yang keras dan berlekuk-lekuk tajam sehingga menyerupai duri. Varian
namanya yang juga populer adalah duren. Adapun klasifikasi ilmiah dari durian
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Class

: Agnoliophyta

Ordo

: Magnoliopsida

Family

: Bombacea

Genus

: Durio

Species

: Durio zibethinus
Tumbuhan durian ini sebenarnya bukanlah spesies tunggal tetapi sekelompok

tumbuhan dari marga (genus) Durio namun umumnya, yang dimaksud dengan durian
biasa (tanpa imbuhan apa-apa) adalah yang memiliki nama ilmiah Durio zibethinus
(Anonim, 2009).
2.2 Pektin
Pektin merupakan produk karbohidrat yang dimurnikan dan diperoleh dari
ekstrak asam encer dari bagian dalam kulit buah jeruk sitrus atau apel, terutama terdiri
dari asam poligalakturonat yang termetoksilasi sebahagian. Berbentuk serbuk kasar
atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir tidak berbau dan memiliki rasa seperti
musilago. Hampir larut sempurna dalam 20 bagian air, membentuk cairan kental,

Universitas Sumatera Utara

praktis tidak larut dalam etanol atau pelarut organik lainnya (Ditjen POM, 1995).
Pektin memiliki struktur molekul sebagai berikut (Lihat Gambar 1).
COOCH3

COOH
O

H
OH

H
H

OH

OH

H
H

OH

Gambar 1. Rumus Bangun Pektin


Pektin merupakan polisakarida diperoleh dari buah-buahan dan biasanya
digunakan dalam pembuatan jeli dan sebagai bahan tambahan untuk pengental dalam
makanan. Pektin ialah polimer linier dari asam D-galakturonat yang berikatan dengan
ikatan 1,4--glikosidik. Asam D-galakturonat memiliki sturktur yang sama seperti
struktur D-galaktosa, perbedaannya terletak pada gugus alkohol primer C6 yang
memiliki gugus karboksilat (Hart, et al., 2003). Sebagian gugus karboksilat pada
polimer pektin mengalami esterifikasi dengan metil menjadi gugus metoksil dan
biasanya mengandung sekitar 8,0-11,0% gugus metoksil (Ranganna, 2000).
2.2.1 Sifat Pektin
Ditinjau dari sifat fisika pektin dapat bersifat koloid reversibel, yaitu dapat
dilarutkan dalam air, diendapkan, dikeringkan dan dilarutkan kembali tanpa
perubahan sifat fisiknya. Pada penambahan air pada pektin kering akan terbentuk
gumpalan seperti pasta yang kemudian menjadi larutan. Proses tersebut dapat
dipercepat dengan ekstraksi dan penambahan gula. Larutan pektin yang berupa larutan
koloid bereaksi asam terhadap lakmus, tidak larut dalam alkohol dan dalam pelarut
organik lainnya seperi metanol, aseton, atau propanol. Kelarutan pektin akan
meningkat dengan derajat esterifikasi dan turunnya berat molekul. Semakin mudah
pektin larut dalam air maka akan semakin mudah untuk mengendapkannya dengan
suatu elektrolit. Larutan dari pektin bersifat asam karena adanya gugus karboksilat.

Universitas Sumatera Utara

Pemanasan dengan asam akan menyebabkan hidrolisis gugus ester metil, seperti
halnya hidrolisa ikatan glikosida yang akhirnya menjadi asam galakturonat (Cruess,
1988).
Berat molekul rata-rata preparat pektin sangat bervariasi, berkisar antara
30.000 hingga 300.000, tergantung pada sumber, metode pembuatan dan metode
pengukuran. Sedangkan viskositas larutan pektin bergantung pada berat molekul,
derajat esterifikasi, pH, temperatur dan konsentrasi elektrolit. Peningkatan konsentrasi
elektrolit akan menyebabkan menurunnya viskositas (Kirk dan Othmer, 1967).
2.2.2 Ekstraksi Pektin
Ekstraksi pektin dapat dilakukan secara biokimia dan kimia. Secara kimia
pektin dapat diekstraksi dari jaringan tanaman dengan pemanasan dalam asam encer
sedangkan ekstraksi secara biokimia dengan menggunakan enzim, dimana enzimenzim ini berperan pada degradasi hidrolitik dari subtansi pektin yang terdiri dari
pektin metilesterase dan pektin poligalakturonase (Kirk dan Othmar, 1967).
Ekstraksi pektin secara kimia dapat dilakukan dengan cara mengekstraksi
dari berbagai kulit buah-buahan segar dengan pemanasan pada suhu 90-95C selama
satu jam dalam asam encer pada pH 4,5 menggunakan asam yang sesuai seperti asam
klorida. Pektin dalam filtrat diendapkan dengan menggunakan etanol 96% (Ranganna,
2000).
Lamanya waktu ekstraksi yang dilakukan mempengaruhi berat pektin yang
didapat, semakin lama waktu ekstraksi yang dilakukan maka semakin besar pula berat
pektin yang diperoleh dan kenaikan berat pektin sejalan dengan peningkatan suhu
pada proses ekstraksi dilakukan. Pencucian pektin dengan alkohol menghasilkan
jumlah pektin yang tidak terlalu jauh dengan pencucian tanpa menggunakan alkohol,

Universitas Sumatera Utara

namun pektin yang dihasilkan memberikan warna yang lebih baik yaitu putih
kekuningan (Akhmalludin dan Kurniawan, 2005).
Pektin yang lebih mudah larut dalam air dapat diperoleh dengan
memodifikasi pH dan suhu pada metode ekstraksi. Pektin yang diperoleh dengan cara
ini memiliki rantai lebih pendek dan tidak bercabang sehingga akan lebih mudah larut
dibandingkan pektin yang memiliki rantai yang lebih panjang (Wong, et al., 2008).
2.2.3 Penggunaan Pektin
Pektin digunakan dalam bidang industri makanan dan dalam bidang farmasi.
Dalam bidang makanan pektin digunakan sebagai bahan pembentuk gel untuk
pembuatan jam dan jelly. Dimana kemampuan pektin membentuk gel tergantung pada
kandungan gugus metoksilnya. Kemampuan pektin untuk dapat membentuk gel
merupakan sifat yang unik dari pektin. Penggunaan pektin selain dari pembentuk gel
pektin juga digunakan dalam produk buah-buahan kemasan, juice dan es krim sebagai
penstabil (Cruess, 1988).
Penggunaan pektin dalam bidang farmasi digunakan untuk diare, dimana
pektin bekerja sebagai adsorbent dalam usus dan juga digunakan untuk obat luka
sebagai hemostatik agent. Selain itu pektin digunakan sebagai anti koagulan yang
memiliki efek heparin dan juga dapat digunakan untuk menurunkan kolesterol darah
pada diet kolesterol. Juga telah dilakukan penelitian penggunaan pektin juga dapat
digunakan sebagai antidotum yang efektif terhadap keracunan logam berat, melalui
pembentukan garam-garam yang tidak larut (Kirk dan Othmer, 1967).

2.3 Mekanisme Penyerapan Logam Berat oleh Pektin


Gugus karboksilat dari pektin dapat bereaksi dengan ion logam berat untuk
membentuk senyawa kompleks yang tidak larut dalam air dan dapat diekskresi

Universitas Sumatera Utara

melalui feses. Reaktivitas pektin terhadap ion logam berat sangat tergantung pada
derajat esterifikasinya (Kupchik, et al., 2005).
Didalam larutan, pektin berkumpul membentuk kantung-kantung dimana kantung ini
dapat membentuk komplek dengan kation logam. Setiap kantung tersebut bermuatan
negatif sehingga memiliki daya tarik yang kuat terhadap muatan positif dari kation
logam. Namun, pada logam yang beracun, terutama raksa, kadmium, dan logam
radioaktif memiliki afinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan logam esensial.
Setelah logam terikat pada serat pektin maka dengan mudah dapat diekskresikan dari
tubuh melalui feses (Eliaz, et al., 2007).
2.4 Daya Serap Pektin
Pektin terdapat diseluruh jaringan tumbuhan terutama pada buah, pektin
memiliki kemampuan sebagai antidotum untuk pertama kali ditemukan pada tahun
1951, dan pada tahun 1952 dibuktikan secara in vivo terhadap penyerapan strontium
dalam jaringan gastroinstestinal. Strontium 0,1% yang terdapat dalam darah setelah
diberikan pektin dalam waktu 24 jam kandungan strontium dalam darah berkurang.
Pengikatan logam oleh pektin karena adanya gugus-gugus yang memiliki pasangan
elektron bebas terhadap kation logam seperti gugus karboksilat dan hidroksi yang
terdapat pada polimer pektin, sehingga kation logam dapat tertarik dan berikatan
membentuk kompleks pektin dan logam. (Endress, 1991).
Daya serap pektin dapat ditingkatkan dengan memodifikasi pektin, seperti
yang telah dilakukan Wong, at al (2008) yang memodifikasi pektin dari kulit buah
durian dan kulit buah jeruk membentuk rantai yang lebih pendek dan lebih larut.
Urutan efektifitas penyerapan logam dari pektin kulit durian adalah Cu > Pb > Ni >
Cd > Zn. Kelarutan pektin akan meningkat dengan derajat esterifikasi dan turunnya
berat molekul dan semakin mudah pektin larut dalam air maka akan semakin mudah

Universitas Sumatera Utara

untuk mengendapkannya dengan suatu elektrolit. Sedangkan yang dilakukan


Kupchik, et al (2005) pada pectin dari kulit buah jeruk pomace yang ditujukan untuk
penggunaan antidotum dilakukan modifikasi dengan mengurangi gugus metoksil dari
pektin, sehingga jumlah gugus karboksilat yang mengikat logam menjadi lebih besar
dibandingkan dengan jumlah logam yang terikat pada pektin yang tidak dimofikasi
(Cruess, 1988).
2.5 Logam Berat
Logam berat memiliki respon biokimia spesifik terhadap organisme hidup
yang dibagi dalam 3 kelompok, yaitu: logam-logam yang mudah mengalami reaksi
dengan unsur oksigen, logam yang mudah bereaksi dengan unsur nitrogen dan atau
sulfur dan logam transisi yang memiliki sifat khusus sebagai logam pengganti untuk
logam atau ion logam dari kelas A atau logam dari kelas B. Logam dapat
dikelompokan menjadi logam berat (berat jenis > 5) dan logam ringan (berat jenis <
5), logam esensial dan tidak esensial, dan logam yang terdapat dalam jumlah yang
sangat kecil dalam kerak bumi ( 1000 ppm) (Palar, 2008; Soemirat, 2003).
Logam berasal dari kerak bumi yang berupa bahan murni. Secara alami
siklus perputaran logam adalah dari kerak bumi yang kemudian ke lapisan tanah,
kemudian ke mahkluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) lalu kedalam air,
mengendap dan akhirnya kembali ke kerak bumi. Adapun logam yang dapat
menyebabkan keracunan adalah jenis logam berat saja. Logam ini termasuk logam
esensial seperti Cu dan Zn (Darmono, 1995).
2.4.1 Tembaga
Tembaga (Cu) merupakan logam yang berwarna merah muda yang lunak,
dapat ditempa dan liat. Memiliki titik lebur 1038C, tidak larut dalam asam klorida
dan asam sulfat encer dan mudah larut dalam asam nitrat. Logam tembaga dapat

Universitas Sumatera Utara

diidentifikasi dengan beberapa reaksi pengendapan, uji katalitik dengan thiosulfat dan
uji kering (uji nyala) menghasilkan nyala hijau dengan pembasahan asam klorida
pekat sebelum pemanasan (Vogel, 1989).
Unsur tembaga di alam ditemukan dalam bentuk logam bebas, namun lebih
banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan ion seperti CuCO3+, CuOH+ dan lain
sebagainya. Unsur tembaga juga terdapat dalam bentuk mineral yang teradapat pada
tanah dan batuan seperti kalkosit (Cu2S), kalkopirit (CuFeS2) dan bornit (Cu5FeS4).
Secara alamiah unsur tembaga dapat masuk ke dalam tatanan lingkungan sebagai
akibat dari peristiwa alam seperti erosi dari batuan mineral. Masuknya unsur tembaga
ke dalam tatanan lingkungan secara tidak alamiah akibat dari aktivitas manusia seperti
limbah dari industri yang menggunakan unsur tembaga dalam proses produksinya
(Palar, 2008).
2.4.2 Seng
Seng (Zn) merupakan logam yang berwana putih kebiruan, memiliki titik
lebur 410C dan mendidih pada 906C, sangat mudah larut dalam asam klorida encer
dan asam sulfat encer. Seng dapat diidentifikasi dengan beberapa reaksi pengendapan,
uji ditizon membentuk senyawa kompleks berwarna merah yang dapat diekstraksi
dengan tetraklorida (Vogel, 1989).
Seng di alam tidak berada dalam keadaan bebas, namun dalam bentuk terikat
dengan unsur lainnya berupa mineral seperti kalamin, franklinit, smithsonit, willemit
dan zinkit. Seperti halnya unsur tembaga, seng memasuki tatanan lingkungan secara
alamiah melalui proses erosi dan secara tidak alamiah terjadi oleh faktor limbah
industri (Widowati, dkk., 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.5 Keracunan Logam


Kejadian keracunan logam paling sering disebabkan pengaruh pencemaran
lingkungan dari logam berat, seperti penggunaan logam untuk pembasmi hama
(peptisida), pemupukan atau limbah buangan pabrik yang menggunakan logam.
Logam tembaga dan seng termasuk logam esensial yang dalam dosis tertentu
dibutuhkan sebagai unsur nutrisi pada hewan, namun bila kadar logam ini melebihi
jumlah dosis tertentu akan menyebabkan keracunan (Darmono, 1995).
Sumber keracunan logam juga dapat terjadi akibat dari penggunaan bahan
bahan rumah tangga, seperti penggunaan alat masak dan wadah penyimpanan
makanan atau minuman. Logam yang terlarut dari alat masak atau wadah tempat
penyimpanan makanan atau minuman dapat melarutkan logam, umumnya karena
makanan tersebut bersifat asam, seperti logam kadmium, tembaga dan seng. Makanan
yang bersifat basa juga dapat melarutkan logam, antara lain alumunium atau seng
(Sartono, 2002).
Logam dapat memasuki tubuh secara inhalasi ataupun oral. Absorbsi secara
inhalasi dapat terjadi bila ukuran logam cukup halus antara 2-5 . Efek yang terjadi
tergantung pada jumlah, tempat absorbsi dan sifat kimia fisis logam. Logam yang
masuk secara oral dapat diabsorbsi melalui saluran pencernaan, akan berdifusi pasif
dan ditranspor ke organ target ataupun bereaksi sehingga terjadi berbagai transformasi
senyawa logam sehingga efeknya menjadi beragam (Soemirat, 2003).
Toksisitas logam dapat bersifat kronis dan akut, sangat bergantung pada
berbagai faktor. Adapun yang mempengaruhi toksisitas logam yang akut tergantung
pada dosis tinggi sekaligus dalam waktu pendek maka biasanya berefek akut dan
parah, waktu pemaparan yang pendek namun massif, dan tergantung pada penyerapan
dari organ tersebut terhadap logam yang memungkinkan masuk keperedaran darah

Universitas Sumatera Utara

dengan cepat. Toksisitas kronis tergantung pada dosis yang tidak tinggi, tetapi
paparan yang menahun, gejala yang tidak mendadak dan terpapar pada seluruh bagian
organ (Soemirat, 2003).
Logam tembaga diketahui sebagai mineral esensial sejak tahun 1924 pada
waktu dilakukan penelitian pada tikus. Kegunaan tembaga sebagai logam esensial
yaitu sebagai pembentukan hemoglobin, pembebasan Fe dari sel ke plasma, berperan
dalam metabolisme oksigen dan berperan dalam pigmentasi pada rambut. Namun
kelebihan logam tembaga dapat menyebabkan keracunan. Keracunan logam tembaga
dapat menyebabkan keracunan yang kronis. Keracunan yang diakibatkan dari logam
tembaga adalah mual, muntah, diare, sakit perut hebat, hemolisis darah,
hemoglobinuria, nefrosis, kejang hingga menyebabkan kematian (Darmono, 1995).
Senyawa garam seng yang larut dalam air, biasanya digunakan pada
generator asap dan pengelasan, keracunan biasanya terjadi karena menghirup uap
seng tersebut, selain itu keracunan juga terjadi dari pemotongan logam, dan
melelehkan logam campuran seng. Akibat keracunan logam seng terutama iritasi
saluran pernafasan yang dapat menyebabkan edema paru dan kerusakan saluran nafas.
Batas paparan uap seng adalah 5 mg/meter3, dan batasan paparan uap seng klorida 1
mg/meter3 (Sartono, 2002). Namun logam seng juga merupakan logam esensial,
karena seng merupakan logam yang terbanyak yang berkaitan dengan enzim dimana
sekitar 200 jenis enzim mengandung seng (Darmono, 1995).
2.6 Penentuan Kadar Logam Tembaga dan Seng
Penentuan kadar logam tembaga dan seng dapat dilakukan dengan metode
titrasi kompleksometri menggunakan reaksi zat-zat pengkompleks organik dengan ion
logam. Zat pengkompleks yang paling sering digunakan adalah asam etilen diamina
tetra asetat (EDTA) yang membentuk senyawa kompleks yang stabil terhadap logam,

Universitas Sumatera Utara

termasuk logam tembaga dan seng, kemudian dititrasi langsung dengan EDTA dalam
suasana asam dan ditentukan titik akhir titrasi menggunakan indikator jingga xylenol
atau dapat dititrasi dengan penambahan larutan penyangga menggunakan indikator 4(2-piridilazo) resorsinol. Logam tembaga dan seng juga dapat dititrasi pada suasana
basa menggunakan indikator Murexide (Sukardjo, 1990).
Penentapan kadar logam tembaga dan seng juga dapat dilakukan dengan cara
metode ekstraksi yang terdiri dari tahap pengkhelatan dengan ammonium pyrolidin
dithiocarbamate (APDC) dan dilakukan ekstraksi dalam methyl isobutyl keton
(MIBK) dan dilakukan pengukuran pada panjang gelombang 324,7 nm dan 213,9 nm
untuk analisis logam tembaga dan seng dengan tipe nyala udara asitilen (2200C)
menggunakan spektrofotometer serapan atom. Metode ini dilakukan untuk penetapan
kadar logam yang sangat kecil (Sofyan, 2010). Menurut Sony (2009) penetapan kadar
logam dapat dilakukan dengan tahap destruksi sampel terlebih dahulu yang kemudian
dapat dilarutkan dengan menggunakan pelarut yang sesuai seperti asam nitrat yang
kemudian dapat dilanjutkan dengan pengukuran menggunakan spektrofotometri
serapan atom.

Universitas Sumatera Utara

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Makanan Fakultas
Farmasi USU dan Laboratorium Penelitian Pabrik Kelapa Sawit RISPA Medan.
3.1 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan antara lain: Spektrofotometri Serapan Atom (GBC
Avanta ) (Gambar dapat dilihat pada lampiran 11 gambar 8), lemari asam, alas
pemanas, pengaduk magnetik, Neraca listrik (AND GF-200), pisau dapur, blander,
lemari pengering, termometer 100C, spatula, kertas saring Whatman no.42,
sentrifugasi dan alat alat gelas.
3.2 Bahan-bahan
Kulit buah durian, akuades, larutan CuSO4 10 mmol/L, larutan ZnSO4 10
mmol/L, HCl 1N, HCl 3N, HCl 4%, NaOH 2N, Etanol 95%, larutan standar tembaga
(Cu) 1000 ppm dan larutan standar seng (Zn) 1000 ppm.
3.3 Prosedur
3.3.1 Pembuatan Pereaksi
3.3.1.1 Pembuatan Larutan Asam Klorida
Untuk pembuatan larutan HCl 1N dengan cara mengambil larutan HCl pekat
sebanyak 8,5 ml yang dimasukan kedalam labu ukur 100 ml dan dicukupkan
volumenya dengan akuades hingga garis tanda. Untuk pembuatan larutan HCl 4%,
dengan mengambil larutan HCl pekat sebanyak 10,8 ml yang dimasukan kedalam
labu ukur 100 ml dan dicukupkan volumenya dengan akuades hingga garis tanda
(Ditjen POM, 1994).

Universitas Sumatera Utara

3.3.1.2 Pembuatan Larutan Alkohol Asam


Untuk pembuatan larutan alkohol asam yaitu, 960 ml larutan etanol 95%
dalam labu ukur 1000 ml dan ditambahkan larutan HCl 4% hingga garis tanda (Wong,
et al., 2008).
3.3.2 Persiapan Sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampling purposif dan
diasumsikan semua jenis durian yang ada di Kota Medan adalah homogen. Durian
yang diperoleh dari penjual durian di pasar Pringgan Jl. Iskandar Muda Medan. Kulit
buah durian segar yang diambil adalah bagian kulit dalam yang berwarna putih
dengan cara mengiris bagian kulit terluar buah durian (Gambar sampel dapat dilihat
pada lampiran 10). Kemudian kulit bagian dalam durian yang telah dipisahkan dari
bagian kulit terluar, dicuci bersih dari kotoran menggunakan air.
3.3.3 Ekstraksi Pektin
Bagian dalam kulit buah durian ditimbang 460 g dan ditambahkan akuades
sebanyak 4,14 L dan dihaluskan menggunakan blender, kemudian ditambahkan
dengan larutan HCl 1N hingga pH 2, kemudian dipanaskan pada suhu 90C selama 4
jam. Selanjutnya disaring menggunakan kain saring. Filtratnya diambil dan
didinginkan pada suhu ruang dan ditambahkan 13,36 L etanol asam dan biarkan
selama 1 jam. Kemudian disaring menggunakan kain saring sehingga diperoleh
bagian gelnya yang kemudian ditambahkan 1,28 L akuades, lalu ditambahkan lagi 3 L
etanol 95% dan disaring kembali menggunakan kain saring, sehingga diperoleh pektin
basah. Pektin basah kemudian dikeringkan pada suhu 25C. Kemudian pektin kering
digerus hingga halus dan diayak menggunakan mesh 60 (Wong, et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

3.3.4 Identifikasi Pektin


Larutkan 1 g pektin dalam 100 ml air suling, kemudian ditambahkan etanol
95% dengan perbandingan yang sama lalu ditambah NaOH 2N sehingga didapat
bentuk gel, yang bila ditambahkan HCl 3N serta dipanaskan akan terbentuk gumpalan
(Ditjen POM, 1995).
3.3.5 Pembuatan kurva kalibrasi
3.3.5.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Baku Tembaga
Larutan standar tembaga (1000 mcg/ml) dipipet 10 ml dimasukkan kedalam
labu ukur 100 ml, kemudian ditambah air suling sampai garis tanda (konsentrasi 100
mcg/ml). Larutan standar tembaga konsentrasi 100 mcg/ml dipipet 10 ml dimasukkan
kedalam labu 100 ml ditambah air suling sampai garis tanda (konsentrasi 10 mcg/ml).
Pipet 3, 4, 5, 10, 15, 20 ml larutan baku (10 mcg/ml), dimasukkan kedalam labu ukur
50 ml lalu ditambah air suling sampai garis tanda. Larutan tersebut mengandung 0,6
mcg/ml, 0,8 mcg/ml, 1 mcg/ml, 2 mcg/ml, 3 mcg/ml, 4 mcg/ml. Diukur pada panjang
gelombang 324,7 nm.
3.3.5.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Baku Seng
Larutan standar seng (1000 mcg/ml) dipipet 10 ml dimasukkan kedalam labu
ukur 100 ml, kemudian ditambah air suling sampai garis tanda (konsentrasi 100
mcg/ml). Larutan standar seng konsentrasi 100 mcg/ml dipipet 10 ml dimasukkan
kedalam labu 100 ml ditambah air suling sampai garis tanda (konsentrasi 10 mcg/ml).
Pipet 2, 3, 4, 5, 6, 7 ml larutan baku (10 mcg/ml), dimasukkan kedalam labu ukur 50
ml lalu ditambah air suling sampai garis tanda. Larutan tersebut mengandung 0,4
mcg/ml, 0,6 mcg/ml, 0,8 mcg/ml, 1,0 mcg/ml, 1,2 mcg/ml, 1,4 mcg/ml. Diukur pada
panjang gelombang 213,9 nm.

Universitas Sumatera Utara

3.3.6 Pengujian Daya Serap Pektin Terhadap Logam


Dimasukan 1 gram pektin dalam labu tentukur 100 ml yang masing-masing
berisi 50 ml larutan CuSO4 10 mmol/L dan ZnSO4 10 mmol/L, kemudian diaduk
selama 2 jam menggunakan pengaduk magnetik. Lalu larutan tersebut disentrifugasi
pada 3000 rpm selama 5 menit, ambil bagian supernatannya dan diukur konsentrasi
logam menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 324,7
nm dan 213,9 nm masing-masing untuk tembaga dan seng (Wong, et al., 2008). Nilai
absorbansinya yang diperoleh berada dalam rentang nilai kurva kalibrasi larutan baku
sehingga konsentrasi tembaga dan seng dalam larutan dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan garis regresinya. Besar daya serap pektin terhadap logam
dapat dihitung dalam bentuk persen menggunakan rumus sebagai berikut:
Lb Ls
x100%
Lb
Keterangan:
%=

% = daya serap pektin, Lb = larutan blanko (tanpa penambahan pektin), Ls = larutan


sampel (dengan penambahan pektin). Persen daya serap pektin berdasarkan rata-rata
dari enam kali perlakuan (Eliaz, at al., 2007).
3.4 Rata Rata Persentasi Tembaga dan Seng
Konsentrasi tembaga dan seng yang diperoleh dari hasil pengukuran masing
masing enam larutan sampel, menggunakan persamaan regresi yang didapat dari
perhitungan kurva kalibrasi dan ditentukan rataratanya secara statistik dengan taraf
kepercayaan 95% dengan rumus sebagai berikut:
=
SD =

x t (1-1/2
)dk. SD

( Xi - X )

n
(Harmita, 2004).

n-1

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai