Anda di halaman 1dari 4

Kopi Seledri

Seperti senja ini, aku mengenangmu. Bersama semua cerita dan bayangan yang pernah ada,
membentuk sepetak fatamorgana di depan mata, ditemani cangkir mungil kopi seledri.
Bersama selarik black forrest yang manisnya seperti masih tertinggal di ujung lidah. Bersama
pendar-pendar bola matamu yang kadang tampil malu-malu. Bersama senyummu yang selalu
dirindukan. Aku hanya bisa mengingat dan mengenangnya, karena pertemuan sudah menjadi
sesuatu yang asing.
Sebuah pertemuan yang kau tawarkan membuatku bergairah. Kehadiranmu adalah bening.
Pertemuan adalah penyegar bagi dahaga panjang kenangan. "Aku ingin bertemu denganmu
besok sore," begitu yang terbaca di layar ponselku.
Aku langsung memencet tombol paling kiri atas dan menuliskan: "Jam brp? Di mana?"
Aku sangat antusias, seperti hujan pagi hari yang menyegarkan. Ini adalah kabar pertama
setelah tujuh tahun lalu. Tak lama ponselku bergetar lagi: "Di tmpt biasanya. Pokoknya sore
selepas kerja."
Pertemuanku dengan Maya memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Pertemuan antara
dua bayangan masa lalu yang terpenggal, lalu secara perlahan kembali dipertemukan oleh
waktu. Dua bayangan itu tiba-tiba saling mendekat, tanpa kita pernah merasa kalau kita
sebenarnya telah dekat. Dari sebuah rasa yang hanya bisa dikhayalkan, akhirnya bisa menjadi
sebuah kenyataan. Seperti pertemuan dua muka, pertemuan dua telapak tangan, yang selama
ini mungkin hanya hadir dalam cermin. Aku mensyukuri semuanya, seperti halnya
mensyukuri pertemuan ini. Aku semakin yakin jika putaran waktu semakin tidak bisa ditebak
dan tak terukur.
Pertemuan kami adalah seperti takdir. Aku hanya berani bilang "seperti" karena takdir itu
sebenarnya bukan milik kami. Sebuah takdir yang terus menjaga perasaan (yang tersimpan
bertahun-tahun tanpa harus bisa berbuat apa), lalu menghadirkan kembali di saat yang tepat.
Sebuah takdir yang mampu membuat sebentuk pertemuan indah seperti pertemuan mentari
dan batas cakarawala yang selalu menawarkan keindahan berbeda, saat pagi dan senja, dari
hari ke hari.
Maya menyisakan rangkaian kisah bernama kenangan setelah menikah dengan seorang
bankir pilihan orang tuanya. Katanya, menikah dengan bankir lebih terjamin hidupnya,
banyak uang. Mungkin orang tuanya terilhami peribahasa: dekat wak haji bisa jadi santri,
dekat penjambret bisa jadi penjahat, dan kerja di bank berarti mandi uang. Tak peduli itu uang
orang. Busyet!
Sebuah senja yang indah menyapa, ketika sore yang dijanjikan itu datang. Dari langit
temaram mentari sore menyemburkan sinarnya, membentuk larik-larik merah-jingga di ufuk
barat. Sinar-sinar itu menerobos daun-daun yang melambai dan membentuk kotak-kotak
keemasan di atas tanah. Aku pun membayangkan apa yang kau lakukan di sore yang indah
ini? Apakah wajahmu sudah kembali bersinar dan seindah sore yang menyejukkan kalbu?
Ataukah masih dilanda bad mood yang membuatmu enggan berkata-kata?

Aku dan Maya punya tempat favorit. Sebuah kafe taman di kota ini. Tempat duduknya di
ujung kanan, bukan paling pojok tapi nomor dua dari ujung, di bawah pohon jambu air yang
satu-satunya tumbuh di taman itu. Dari tempat ini kami serasa mendapat ruang tersendiri
meski jarak kursi lain tak jauh.
Di bawah pohon jambu yang tak juga tinggi, kini aku menunggu Maya, menunggu kenangan,
dengan cemas dan penuh harap. Aku hendak menelepon, aku ingin memastikan pertemuan
ini. Nomor ponselnya sudah tertera di layar. Namun dalam batin terjadi perang antara ya
dan tidak. Akhirnya aku pencet tombol merah, aku tak jadi meneleponnya. Aku hanya ingin
dengar suaranya langsung dengan melihat bibirnya terbuka.
Sebuah pesan singkat masuk lagi: "Aku agak telat, ada rapat kecil evaluasi. Tunggu dulu."
Menunggu sebenarnya membosankan, tetapi menunggu kenangan adalah sebuah keasyikan.
Aku segera me-replay: "Tak apa, selesaikan dulu pekerjaanmu."
Di ujung jalan terlihat senja mulai turun. Merah keemasan menyiratkan berbagai kisah hari
ini. Mega-mega kuning memecah cakrawala. Sinar-sinarnya mulai membuncah, bergelora
menyergap barisan para pekerja yang menyemut di jalanan. Mungkin mereka sedang dalam
perjalanan pulang. Mungkin saja sedang bergegas menjemput istrinya. Mereka tampak sekali
"bernafsu" ingin menaklukkan waktu. Mungkin mereka termasuk orang-orang yang
mengkeret di sudut mata istrinya. Mungkin pula mereka takut karena istrinya baru saja lulus
ujian sabuk hitam karate kyokushinkai. Yang jelas, mereka begitu takut dengan waktu (dan
istrinya). Semua terlihat bergegas, berburu waktu. Itulah kota ini, ketika waktu sudah tak lagi
cukup 24 jam.
Aku merasa tak pernah seperti mereka. Belum pernah aku bekerja seperti mesin waktu,
berjalan normal dari pukul 09.00-17.00 WIB. Aku tak bisa seperti mereka ketika waktu
bergerak selalu sama dari hari ke hari. Aku punya putaran waktu sendiri.
Waktu terus beringsut hingga berada di antara bibir senja dan malam. Cahaya mentari mulai
meredup digantikan sinar-sinar elektronik. Udara sedikit sejuk. Aku mulai resah. Sudah
hampir satu jam aku menunggu tetapi tubuh semampai dengan balutan rok tiga perempat tak
juga muncul. Aku masih ingat baunya. Ia suka wangi Obsession. Tetapi hingga detik ini ujung
hidungku belum terbetik wangi itu. Aku tetap bertahan, sebuah pertemuan setelah tujuh tahun
belum tentu kembali terulang. Jangankan pertemuan, bertukar suara saja tidak. Kurun sering
tak menentu, meski kadang datang dan pergi tak tentu arah. Begitu juga dengan hidup ini,
selalu berjalan antara kejutan dan kenangan.
Jantungku berdegup semakin kencang. Pantatku mulai panas. Benakku terus dipenuhi
pertanyaan: pertemuan ini jadi atau tidak? Apakah aku harus meninggalkan tempat ini?
Aku masih bertahan, dengan potongan-potongan kenangan yang beberapa penggal telah
mengabur seiring langkah yang kian menjauh. Namun tetap menyilaukan, hingga aku tahu ke
mana harus mencari titik-titik dirimu, antara senja dan malam berbintang.
Panggung kecil di tengah resto kebun itu mulai terang. Itu tanda pemusik yang memainkan
nada-nada lembut siap beraksi. Hari itu Selasa, sebuah hari yang sebenarnya tak begitu pas
untuk membuat kenangan tujuh tahun itu menjadi kenyataan. Tapi aku tak peduli. Aku terus
menunggu, menunggu datangnya sebuah kenangan.

Aku dan Maya punya bayangan yang sama tentang masa lalu. Memendam kekaguman tanpa
harus banyak bicara. Menyimpan rasa tanpa harus tahu ke mana jejaknya akan pergi. Tetapi
apakah sebuah kekaguman itu harus dibicarakan? Aku rasa tidak. Rasa akan dijawab dengan
rasa, jiwa akan dibalas dengan jiwa. Aku tak ingin orang lain menjadi elemen ketiga dari rasa
kita, jiwa kita. Bukankah ini adalah rasa kita berdua? Bukankah ini jiwa kita berdua? Sebuah
kekaguman, keinginan, rasa, dan jiwa yang kemudian dipertemukan. Aku ingin menikmati
semuanya ini berdua, dengan rasa, dengan jiwa. Tanpa curiga, dan tanpa orang lain yang
kadang tak paham dengan dunia kita.
Aku memesan kopi seledri, minuman kesukaan Maya. Selama ini bayangku tentang Maya
hanya tertumpah dalam satu bentuk: kopi seledri. Aneh memang, tapi itulah kopi yang
membuatku ingat padanya. Juga dengan kejap matanya ketika menghirup kepul uapnya.
Sebenarnya itu adalah coffee mint. Tetapi ia lebih suka menyebutnya kopi seledri. Mungkin
karena bentuk daun mint lebih mirip daun seledri.
Aku mulai tak sabar. Sayup-sayup terdengar intro Kenangan, lagu Bebi Romeo ketika
ditinggal kekasihnya. Aku kirim SMS padanya: "Sudah sampai mana? Brp lama lagi aku
harus menunggu?" Tak ada sepotong pun jawaban.
Mungkinkah dia terjebak macet hingga dua jam? Apakah rapat kantornya terlalu serius untuk
diakhiri? Atau dia ditimpa kecelakaan lalu lintas? Dengan cepat aku menghapus bayangan
buruk itu. Aku sahut cangkir, dan aku minum tiga teguk sekaligus.
Malam semakin pekat. Rembulan tiba-tiba muncul di angkasa, menyeruak dari balik awan
hitam yang telah menyelimuti langit sejak sore hari. Rembulan itu kuning benar meski bukan
saat purnama. Di sekelilingnya berbinar cahaya putih yang mengikuti ke mana pun dia pergi.
Bulan itu seperti tersenyum, menawarkan sebuah keindahan malam setelah beberapa malam
ini selalu tersembunyi. Aku pun bertanya-tanya, apakah bulan juga menyimpan dunia
keindahan? Aku pun kembali bertanya, apakah di sana juga ada dua insan yang menyimpan
kenangan dan memendam rindu?
Debar jantung mulai bergeser jadi resah. Aku membunuh waktu dengan membuka games di
ponsel. Aku memilih snake, aku ingin memperbaiki rekor yang masih 710. Tetapi pikiranku
sudah telanjur kacau. Angka yang tercatat tak pernah lebih dari 400 sebelum game over.
Aku sudah benar-benar tak sabar. Penat dan gerah sudah semakin tak mampu kutahan.
Batinku seakan mau marah. Ingin sekali aku meneleponnya dan memakinya sekalian. Tapi
selalu tertahan. Haruskah aku marah pada sebuah kenangan yang indah? Amarah itu surut
diterpa kelebat bayangmu, dengan rambut tersibak bak iklan shampo.
Kopi seledri di hadapanku tinggal separo. Aku semakin gelisah, ditingkahi amarah. Apakah
dia akan mempermainkanku sekali lagi? Aku pandangi lekat-lekat keramik broken white
dengan garis hijau di sampingnya. Masih sama persis dengan tujuh tahun lalu. Bentuknya
manis, tapi aku tak yakin itu bikinan FX Wijayanto.
Darahku kembali naik ke otak. Hatiku mulai panas, tak seperti sisa kopi ini yang semakin
dingin. Crazy milik Julio Iglesias yang mengalun lembut tak mampu melunakkan hatiku.
Akhirnya aku kirim SMS lebih keras: "Kita jadi bertemu atau tidak?" Aku tunggu beberapa
saat. Tak ada jawaban. Batinku menjadi hening, pikiranku melayang-layang. Semua panca
inderaku seperti dikepung bayangan Maya. Muncul kerlip sesaat, dengan cepat kubuka,

ternyata hasil report dari pesan yang lalu.


Aku masih menunggu dengan rona muka yang tak lagi secerah sore tadi. Waktu terus
berputar. Tak juga ada jawaban.
Anganku buyar. Aku memandang sesaat kursi kayu di depanku, tempat duduk Maya tujuh
tahun lalu, juga kopi seledri yang tinggal seteguk lagi.
Ponselku kembali bergetar. Aku tahu itu dari dia, mungkin tinggal beberapa langkah lagi ia
akan di depanku. Dengan sigap aku buka inbox. Betul dari dia. Dunia benar-benar gelap.
Aliran darah seakan berbalik arah. Seribu tanya yang berkubang di kepala berubah menjadi
beku. Ia menulis singkat: "Aku tak jadi bertemu, itu selingkuh." (*)

Anda mungkin juga menyukai