Anda di halaman 1dari 11

RESUME PRESENTASI

KIMIA MEDISINAL
HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT FISIKOKIMIA IBUPROFEN DAN
KETOPROFEN DENGAN ABSORBSI, DISTRIBUSI DAN ELIMINASI

OLEH :
KELOMPOK 1

1. Nurul Isnaini
2. Siti Zulaikha
3. Septian Cahya D.
4. Anita Meilina A.
5. Dewi Gayatri
6. Doby Ridyan
7. Neny Arisandy
8. Angelia Theodora
9. Hendra Kurniawan
10. Deryl Agustin Y.

(09-85)
(10-18)
(10-29)
(10-43)
(10-57)
(10-75)
(10-85)
(10-90)
(10-94)
(10-95)

11. Vita Ariati


12. Maulina Hari P.
13. Anis Rohmawati
14. Nurul Faridah
15. Maulana Fadlil S.
16. Dewi Nima L. Q.
17. Yora Utami
18. Dyah Raahma
19. Alela Putri
20. Lukman Fakhrudi

(11-19)
(11-46)
(11-61)
(11-64)
(11-66)
(11-69)
(11-76)
(11-84)
(11-86)
(11-87)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2015
1. Sifat Fisika Kimia dan Struktur Kimia Ibuprofen dan Ketoprofen
Ibuprofen dan ketoprofen merupakan senyawa kimia turunan asam propionat dengan
struktur dan sifat sebagai berikut :
IBUPROFEN

a. Rumus molekul : C13H18O2


b. Berat molekul : 206,28
c. Sifat fisika
- Pemerian : Serbuk hablur, putih hingga hampir putih; berbau khas lemah.
- Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; sangat mudah larut dalam etanol, dalam
metanol, dalam aseton dan dalam kloroform; sukar larut dalam etil asetat (Ditjen
POM,1995).
- pKa : 4,4; 5,2 (Moffat et al, 1986)
KETOPROFEN

a.
b.
c.
-

Rumus molekul : C16H14O3


Berat molekul : 254,3
Sifat fisika
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih, tidak atau hampir tidak
berbau.

Kelarutan : Mudah larut dalam etanol, dalam kloroform dan dalam eter ; praktis

tidak larut dalam air (Ditjen POM ,1995).


pKa : 4,5 (Kasim et al , 2003).

2. Aktivitas Ketoprofen dan Ibuprofen serta Mekanisme Antiinflamasi


Ibuprofen dan ketoprofen memiliki aktivitas umum sebagai antiinflamasi dan
analgesik-antipiretik. Ibuprofen terutama digunakan untuk mengurangi rasa nyeri
akibat keradangan pada berbagai kondisi rematik dan artritis, sedangkan ketoprofen
digunakan untuk mengurangi rasa nyeri akibat keradangan pada berbagai kondisi
rematik dan kelainan degeneratif pada sistem otot rangka.
Keradangan timbul karena pengaktifan fosfolipase A2, enzim yang
menyebabkan pelepasan asam arakidonat, yang kemudian diubah menjadi
prostaglandin oleh prostaglandin sintetase. Analgetik non narkotik menimbulkan efek
antiradang melalui beberapa kemungkinan, antara lain adalah menghambat biosinteis
dan pengeluaran prostaglandin dengan cara memblok secara terpulihkan enzim
siklooksigenase sehingga menurunkan gejala keradangan. Mekanisme yang lain
adalah menghambat enzim-enzim yang terlibat pada biosintesis mukopolisakarida dan
glikoprotein, meningkatkan pergantian jaringan kolagen dengan memperbaiki
jaringan penghubung dan mencegah pengeluaran enzim-enzim lisosom melalui
stabilisasi membran yang terkena radang. Analgetika non narkotik efektif untu
mengurangi keradangan tetapi tidak dapat mencegah kerusakan jaringan pada
penderita artritis
3. Perbedaan Ibuprofen dan Ketoprofen
a. Berdasarkan Struktur (13-93)
Turunan asam arilasetat secara umum mempunyai gambaran struktur
sebagai berikut: (Siswandono, 1995)
1. Mempunyai gugus karboksil atau ekivalennya seperti asam enolat, asam
hidroksamat, sulfonamide dan tetrasol, yang terpisah oleh satu atom C dari inti
aromatic datar. Pemisahan dengan lebih dari satu atom C misal pada turunan
asam propionate atau butirat akan menurunkan aktivitas.
2. Adanya gugus -metil pada rantai samping asetat dapat meningkatkan
aktivitas antiradangnya. Makin panjang jumlah atom C aktivitasnya makin
menurun. Sehingga ibuprofen memiliki aktivitas yang lebih tinggi dari
ketoprofen.
3. Adanya -substitusi menyebabkan senyawa bersifat optis aktif dan kadangkadang isomer 1 lebih aktif dibanding yang lain. Konfigurasi yang aktif adalah

bentuk isomer S. contoh : S (+) ibuprofen lebih aktif dibanding isomer (-),
sedangkan isomer (+) dan (-) fenoprofen mempunyai aktivitas yang sama.
4. Mempunyai gugus hidrofob yang terikat pada atom C inti aromatic pada posisi
meta atau para dari gugus asetat.
5. Turunan ester dan amida juga mempunyai aktivitas antiradang karena secara
in-vivo dihidrolisis menjadi bentuk asamnya. Demikian pula untuk turunan
alcohol dan aldehida, secara in-vivo dioksidasi menjadi gugus karboksil.
b. Berdasarkan Farmakokinetik
Hubungan struktur aktivitas obat tersebut dapat memberikan efek
farmakologis yang berbeda-beda. Berikut ini hubungan struktur aktivitasnya
dengan sifat farmakokinetiknya:
1. Absorpsi
Obat-obat antiinflamasi diserap di usus halus setelah pemberian oral.
Dimana pH usus halus adalah 8 yang bersifat basa sehingga obat-obat
dengan pKa tinggi akan benyak berada dalam bentuk tak terionkan atau
keadaan bebas dan akan lebih mudah diabsorpsi dan dihantarkan menuju
tempat target. Ibuprofen memiliki pKa paling tinggi yaitu 4,91 dibandingkan
dengan ketoprofen 4,45 sehingga ibuprofen diserap lebih baik dibandingkan
ketoprofen.
2. Distribusi
Distribusi dari ibuprofen, dan ketoprofen dapat dilihat dari ikatan
protein plasma dan volume distribusinya. Ikatan protein dari kedua obat
tersebut sama yaitu 99% sehingga kemampuan terdistribusinya hampir sama.
Volume distribusi dari masing-masing obat tersebut adalah ibuprofen 0,14
L/kg dan ketoprofen 0,1 L/kg (Renal Drug Handbook ed.3). Ibuprofen
memiliki volume distribusinya yang paling besar dan polar sehingga obat akan
lebih mudah terdistribusi ke jaringan dan konsentrasi obat dalam plasma akan
lebih kecil. Senyawa non polar akan lebih mudah melewati transport
transmembran dan mudah berikatan dengan reseptor dan akhirnya berefek
farmakologis. Semakin cepat obat didistribusikan maka akan lebih cepat
membentuk ikatan obat-reseptor dan cepat menimbulkan aktivitas biologis.
3. Metabolisme
Ibuprofen banyak (90-99%) terikat pada protein plasma, tetapi hanya
menduduki sebagian dari seluruh tempat ikatan obat pada konsentrasi biasa.

Ibuprofen melintas dengan lambat ke dalam ruang sinovial dan mungkin tetap
berada pada konsentrasi yang lebih tinggi jika konsentrasi dalam plasma
menurun. Sedangkan ketoprofen terikat pada protein plasma (99%), dan
terkonjugasi dengan asam glukoronat dalam hati, dimana konjugat ini
diekskresi

dalam

urin.

Sehingga

penderita

gangguan

ginjal

akan

mengeliminasi obat ini dengan lambat (Renal Drug Handbook ed.3)


4. Ekskresi
Obat-obat antiinflamasi mengalami eliminasi lewat ginjal. Penurunan
kadar obat dalam plasma terutama disebabkan oleh proses metabolisme dan
ekskresi yang dinyatakan sebagai waktu paruh eliminasi. Obat yang
mengalami metabolisme dengan cepat akan memiliki waktu paruh yang
pendek, sehingga ekskresinya dari dalam tubuh juga berlangsung dengan
cepat. Dari kedua obat tersebut, ibuprofen memiliki waktu paruh paling
pendek yaitu 2 - 4 jam (Renal Drug Handbook ed.3) dibandingkan dengan
ketoprofen 1,1 - 4 jam. Sehingga ketoprofen akan diekskresi lebih cepat dari
dalam tubuh dibandingkan dengan ibuprofen, dimana persentase ekskresi
ketoprofen di urin adalah < 1 % yang lebih kecil dari persentase ekskresi
ibuprofen di urin yaitu 1 % (Renal Drug Handbook ed.3).
Pada saat ekskresi, ibuprofen berikatan pada protein plasma sehingga
meningkatkan efek toksisitas. Sedangkan ketoprofen tidak menginduksi enzim
metabolisme sehingga klirens dari ginjal lebih sedikit sehingga lebih baik
untuk dikonsumsi oleh penderita gagal ginjal.
c. Berdasarkan Bioavailibilitas (13-33)
Log P Ibuprofen lebih tinggi dari Ketoprofen yaitu sebesar 3,97 sedangkan
Ketoprofen sebesar 3,12 sehingga obat dapat menembus membran dengan lebih
baik dan menghasilkan bioavaibilitas yang baik pula.

4. Tabel ekskresi (13-57)

Nilai ekskresi ibuprofen 1 menunjukkan bahwa hasil ekskresi yang berada di


ginjal sebesar 1,sedangkan pada ketoprofen kurang dari 1 sehingga yang berada di
ginjal lebih sedikit. Obat ketoprofen lebih baik untuk penderita gangguan ginjal
karena metabolit yang tertinggal di ginjal lebih sedikit. Sedangkan nilai t pada
ketoprofen lebih cepat di capai dari ibuprofen.
5. Contoh dan Penjelasan Tabel Bioavailibilitas (13-89)
Bioavailabilitas merupakan persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu
produk obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh
atau aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah
terhadap waktu dari ekskresinya dalam urin (BPOM, 2004).
Macam bioavailabilitas
1. Bioavailabilitas relatif adalah bioavailabilitas dari suatu obat dibandingkan
dengan obat lain yang memiliki bahan aktif yang sama atau dibandingkan pada
suatu standar tertentu.
2. Bioavailabilitas Absolut adalah Jumlah total obat yang diabsorpsi kadang-kadang
menjadi lebih besar dari yang diperkirakan pada pasien-pasien dengan penyakit
kronik maupun subkronik seperti diabetes dan hipertensi. Pada kondisi ini obat
dengan multiple dose diberikan dan pertambahan akumulasi obat merupakan
faktor yang penting pada penentuan dosis regimen yang diberikan pada pasien.
Pada sub bahasan bioavailabilitas kami menggunakan data dari jurnal berupa
data dosis tunggal yang diberikan pada naracoba kemudian di hitung dengan
perhitungan farmakokinetika.hasil dari jurnal tersebut sebagai berikut :

Pertanyaan bioavailabilitas mengenai ketoprofen.

Tabel 1. Perkembangan Kadar Rata-rata Ketoprofen Dalam Plasma (mg/ml) Setelah


Pemberian Masing-masing Sediaan Dalam Dosis tunggal.
Tabel di atas menjelaskan mengenai absorbsi dari ketroprofen,dan dapat
disimpulkan dari tabel tersebut adalah :

Ketoprofen diabsorpsi dengan cepat dari saluran cerna setelah pemberian


sediaan kapsul dengan waktu pencapaian kadar maksimum lebih kurang satu

jam
Pada pemberian tablet salut enterik terlihat adanya waktu tunda (lag time),
tetapi dengan harga yang relatif kecil, yaitu sekitar setengah jam dengan waktu
pencapaian kadar maksimum lebih kurang dua jam. Hal ini sangat mungkin
terjadi karena tablet salut enterik baru akan hancur dan melepaskan zat aktif

saat masuk ke dalam usus.


Pada pemberian secara rektal dalam bentuk supositoria absorpsi ketoprofen
berlangsung lebih lambat dengan waktu pencapaian kadar maksimum lebih
kurang 1,5 jam. Pada pemberian secara rektal fasilitas absorpsi jauh lebih
terbatas dibandingkan pada pemberian secara oral.
Dari data di atas kita dapat menyimpulkan bahwa di antara sediaan di atas

ketoprofen lebih baik dan stabil resiko bioavailabilitasnya yaitu menggunakan sediaan
rectal,karena waktu absorbsi yang singkat dan resiko penurunan bioavailabilitas
sedikit.
Berikut merupakan perbandingan nilai beberapa parameter farmakokinetik
dari berbagai sediaan ketoprofen yang diberikan dalam dosis tunggal.

Tabel 2. Beberapa Parameter Farmakokinetik Ketoprofen Setelah Pemberian


Masing-masing Sediaan Dalam Dosis Tunggal.
Keterangan: analisis dilakukan terhadap 6 sukarelawan.
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa berdasarkan nilai Ka, sediaan kapsul
memiliki nilai Ka paling besar yaitu sebesar 1,63 diikuti dengan sediaan supositoria
dengan nilai Ka sebesar 1,07 dan sediaan tablet bersalut dengan Ka terkecil yaitu
1,06. Nilai Ka sebanding dengan laju absorpsi, sehingga semakin besar nilai Ka, maka
laju absorpsi akan semakin besar. Untuk itu, sesuai dengan data yang diperoleh pada
tabel 1, maka sediaan ketoprofen supositoria akan lebih cepat mencapai konsentrasi
maksimum didalam plasma (t maks kecil). Sebaliknya, ketoprofen dalam bentuk
tablet salut enterik akan lebih lama mencapai kadar maksimum dalam darah (t maks
lebih besar).
Selanjutnya jika melihat nilai waktu paruh yang dimiliki oleh masing-masing
bentuk sediaan, sediaan tablet bersalut enterik memiliki waktu paruh sebesar 3 jam,
sediaan kapsul memiliki waktu paruh sebesar 2,61 jam, dan sediaan supositoria
memiliki waktu paruh sebesar 2,1 jam. Waktu paruh merupakan waktu yang
diperlukan oleh suatu obat untuk mencapai konsentrasi setengah dari konsentrasi
semula. (shargel, 2005). Semakin besar waktu paruh, maka semakin lama obat berada
didalam plasma. Dengan demikian, tingginya waktu paruh akan menurunkan
frekuensi pemberian obat.
NSAID dengan waktu paruh panjang memerlukan waktu yang lebih lama
untuk mencapai tahap steady state dalam plasma dan cairan sinovium, dan mereka
dapat tinggal dalam tubuh lebih lama setelah pemberian dihentikan. (Albar, 1995)
6. Aturan Lipinski

Aturan the rules of five, dimana obat yang mampu mencapai target bila
diberikan oral harus memenuhi syarat berikut:
1.
2.
3.
4.

Berat molekul kurang dari 500


Jumlah gugus donor ikatan hidrogen tidak lebih dari 5
Jumlah gugus penerima ikatan hidrogen tidak lebih dari 10
Nilai log P hitung kurang dari +5
Berdasarkan aturan Lipinski Rule Of Five ibuprofen memiliki karakteristik
sebagai berikut:

Jumlah ikatan donor hydrogen


Akseptor ikatan hydrogen
BM
Log P

:1
:2
: 206.28082 g/mol
: 3,97

Berdasarkan aturan Lipinski Rule Of Five ketoprofen memiliki karakteristik


sebagai berikut:

Jumlah ikatan donor hydrogen


Akseptor ikatan hydrogen
BM
Log P

:1
:3
: 254.28056 g/mol
: 3,12

Dari kedua senyawa obat tersebut dapat disimpulkan bahwa ibuprofen dan
ketoprofen memenuhi aturan Lipinski Rule Of Five.
7. Akseptor dan Donor Ikatan Hidrogen
Ikatan hidrogen adalah sebuah interaksi tarik menarik (dipol-dipol) antara
atom yang bersifat elektronegatif dengan atom hidrogen yang terikat pada atom lain
yang juga bersifat elektronegatif. Ikatan hidrogen tidak hanya terjadi pada satu
molekul melainkan sebagai donor dan sebagai akseptor. Dalam hal ini atom H adalah
sebagai donor ikatan hidrogen dan atom O sebagai akseptor ikatan hidrogen. Ikatan
hidrogen dapat dilihat pada gambar berikut :

a. Ibuprofen

Donor hidrogen
Akseptor hidrogen

b. Ketoprofen

Donor hidrogen

Akseptor hidrogen

8. Insufisiensi Ginjal dan deconjugation (13-13)


Jawab :

Gagal ginjal atau juga disebut insufisiensi ginjal adalah kondisi ketika ginjal
tidak lagi berfungsi cukup untuk mempertahankan keadaan normal kesehatan.
Ada dua macam gagal ginjal:
Gagal ginjal akut, yang terjadi tiba-tiba. Hal ini mungkin karena infeksi,
obat, luka trauma, operasi besar, racun nefrotoksik, dll.
Insufisiensi ginjal kronis, yang terjadi saat sebuah penyakit secara perlahan
dan bertahap menghancurkan kapasitas penyaringan ginjal. Kadang-kadang
kondisi ini disebut juga sebagai insufisiensi ginjal progresif, penyakit ginjal
kronis atau gagal ginjal kronis. Kerusakan semacam ini saat ini tidak dapat
diperbaiki (ireversibel). Seseorang mungkin telah mengalami gagal ginjal
kronis selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, sebelum memerlukan
dialisis atau transplantasi ginjal.

Pada metabolisme ketoprofen berlangsung secara konjugasi glukoronida untuk


membentuk asil glukoronida yang stabil. Gugus asam glukuronat dapat
dikonversi kembali ke senyawa induk. Sehingga , metabolit berfungsi sebagai
reservoir potensial untuk obat induk , dan mungkin penting pada orang dengan
insufisiensi ginjal, dimana konjugat dapat terakumulasi dalam serum dan
mengalami desconjugation kembali ke obat induk misalnya pada gangguan renal.
Maksud dari deconjugation diatas adalah terpisahnya kompleks konjugat dengan
obat menjadi obat bebas dan konjugatnya (molekul pengkonjugasinya).
Obat mengalami metabolisme dengan konjugasi seperti ini, dia akan dikeluarkan
melalui ginjal. Kalau dalam bentuk terkonjugasi lebih mudah keluar atau
diekskresikan dari tubuh melalui ginjal.Tapi, bagi yang mengalami insufisiensi
ginjal dia mengalami deconjugasi itu berat untuk mengeluarkannya. Akibatnya
jika tidak cepat diekskresikan maka pasien yang mengalami isufisiensi t 1/2 lebih
panjang daripada orang normal. t panjang berarti ekskresi berjalan lambat.

Anda mungkin juga menyukai