Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN HIGIENE TANGAN DAN KUKU

DENGAN KEJADIAN ENTEROBIASIS PADA SISWA SDN KENJERAN


NO. 248 KECAMATAN BULAK SURABAYA
Correlation between Hands and Nails Hygiene with Enterobiasis Incidence on Student
in Elementary School of Kenjeran No. 248 Bulak, Surabaya
Andhika Setya Perdana dan Soedjajadi Keman
Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
soedja_keman@yahoo.com
Abstract: Infestation of bowel worm especially Enterobiasis vermicularis is one of health problems in Indonesia and
mostly found in children at elementary school age. Objective of this research was to analyze correlation between hands
and nails hygiene with Enterobiasis incidence in student of grade IV and V in SDN Kenjeran No. 248. This research was
observational and done with analytic cross-sectional design. Questionnaire to identify risk factors was done in order to
collect data and each childs stool samples were taken using scotch adhesive tape for parasitological test. This research
samples were 47 grade IV and V students. The result from inspection showed that 19 students had dirty hands and nails
hygiene. The result obtained from laboratory showed that respondent who was positive with egg were 20 students, and
based on coefficient Phi statistic test obtained = 0.512. It is concluded that correlation of hands and nails hygiene
and the Enterobiasis incidence is strong. It is suggested that the teachers should inspect the students hands and nails
hygiene regularly, the students should keep the hygiene of their hands and nails, and local Puskesmas should control
worm infection early and check the Enterobius vermicularis regularly because of helminthiasis transmitted disease.
Keywords: hygiene of hands and nails, elementary school student, enterobiasis
Abstrak: Infestasi cacing perut di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama cacing
Enterobius vermicularis, di mana prevalensi dan intensitas tertinggi terdapat di kalangan anak usia SD. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara higiene tangan dan kuku dengan kejadian enterobiasis pada
siswa kelas IV dan V di SDN Kenjeran No. 248 Kecamatan Bulak Surabaya. Jenis penelitian yang digunakan adalah
Observasional bersifat analitik karena peneliti berupaya mencari hubungan antar variabel. Kemudian variabel bebas
(faktor risiko) dan variabel tergantung (efek) dinilai secara bersamaan pada suatu saat sehingga termasuk penelitian
cross-sectional. Sampel penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV dan V SDN Kenjeran No. 248 Surabaya yang
berjumlah 47 anak. Hasil dari pengamatan didapatkan responden Higiene Tangan dan Kuku kotor sebanyak 19
anak. Hasil dari Laboratorium, ditemukan responden positif telur sejumlah 20 anak. Berdasarkan uji statistik Koefisien
Phi, didapatkan nilai = 0,512. Disimpulkan bahwa tingkat hubungan antara higiene tangan dan kuku dengan
kejadian enterobiasis merupakan hubungan yang kuat. Diharapkan kepada Puskesmas setempat agar melakukan
penanggulangan kecacingan secara dini, sedangkan peran guru selalu rutin untuk memeriksa higiene tangan dan kuku
para siswa, sedangkan untuk para siswa diharapkan selalu menjaga higiene tangan dan kukunya dan selalu periksa
secara teratur karena cacing Enterobius vermicularis mudah menular.
Kata kunci: higiene tangan dan kuku, siswa sekolah dasar, enterobiasis

PENDAHULUAN

cara untuk menjaga kebersihan perorangan bagi


dirinya dan kebersihan makanan dan minuman
serta cara makan belum diketahui dengan baik.
Banyak keluarga yang tidak memiliki jamban
keluarga sehingga mereka membuang kotoran
atau buang air besar di tanah. Penduduk yang
sangat padat lebih mempermudah penyebaran
infeksi cacing perut ini (Soedarto, 1991).
Cacing Enterobius vermicularis mempunyai
penyebaran terluas di dunia daripada semua
cacing. Ini disebabkan karena hubungan yang
erat antara manusia dan lingkungan. Diperkirakan

Infeksi cacing merupakan penyakit parasit


yang endemik di Indonesia. Sebanyak 6080%
penduduk Indonesia, terutama di daerah pedesaan
menderita infeksi cacing terutama infeksi cacing
perut. Faktor tingginya infeksi ini adalah letak
geografik Indonesia di daerah tropik yang
mempunyai iklim yang panas, akan tetapi lembap
sehingga memungkinkan cacing perut dapat
berkembang biak dengan baik. Banyak penduduk
Indonesia yang masih berpendidikan rendah,
sehingga pengetahuan tentang cara hidup sehat,

8
adanya 208,8 juta orang yang terinfeksi parasit
ini di dunia. Parasit ini juga menyerang semua
golongan (Rukmono dkk, 1983).
Cacing Enterobius vermicularis telah diketahui
sejak dulu dan telah banyak dilakukan penelitian
mengenai biologi, epidemiologi dan gejala
klinisnya. Manusia adalah satu-satunya hospes.
Enterobius vermicularis banyak ditemukan di
masyarakat dan dikenal dengan nama cacing
kremi. Meskipun demikian laporan prevalensi
mengenai enterobiasis masih jarang. Hal ini
diakibatkan oleh cara pemeriksaan diagnosa
yang memakai selotip yang ditempel pada anus
yang menimbulkan rasa enggan atau malu pada
penderita (Hendratno, 1994).
Penelitian di Surabaya yang meneliti kejadian
enterobiasis pada siswa SD di daerah tertinggal
yaitu Kalijudan, didapatkan responden (49,3%)
atau hampir separuh responden yang positif telur
(Sulistyorini dkk, 2001).
Surabaya secara geografis terletak pada
0721 Lintang Selatan dan 1123611254 Bujur
Timur sehingga termasuk daerah yang beriklim
tropis, dan menurut Soedarto (1991), dijelaskan
bahwa Enterobius vermicularis tersebar di seluruh
dunia baik yang beriklim tropis maupun subtropis.
Kenjeran merupakan daerah pinggiran Kota
Surabaya. Menurut Bappeko dan Dinas Sosial
Kota Surabaya (2001), Kenjeran merupakan
daerah yang paling banyak terdapat pemukiman
kumuh daripada daerah lain di Surabaya.
Kejadian enterobiasis sendiri tersebar di
seluruh dunia dengan konsentrasi pada daerah
yang faktor perilaku sehatnya masih rendah.
Meskipun penyakit ini menyerang semua umur,
namun penderita terbanyak adalah anak usia
514 tahun. Hal ini karena perilaku menggaruk
dan daya tahan tubuh masih rendah pada anakanak.
Gejala utama enterobiasis adalah timbul iritasi
di sekitar perianal (pruritus ani). Hal ini terjadi
karena pengaruh migrasi cacing betina dari
usus ke kulit perianal untuk meletakkan telurnya.
Apabila digaruk maka penularan dapat terjadi
di kuku jari tangan ke mulut (self-infection) atau
infeksi oleh diri sendiri. Menurut Padmasutra dkk.
(1992), cara infeksi cacing kremi yang tersering
adalah melalui telur yang melekat pada jari tangan
dan sering ditemukan dalam rumah tangga dan
kelompok seperti taman kanak-kanak, institusi
perawatan (nursery).
Dengan demikian tujuan penelitian ini
adalah untuk menganalisis adanya hubungan

Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 7, No. 1 Juli 2013: 713

antara higiene tangan dan kuku dengan kejadian


enterobiasis pada murid SD kelas IV dan V di SDN
Kenjeran No. 248 Surabaya.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah
observasional bersifat analitik karena berupaya
menganalisis hubungan antar variabel. Variabel
bebas (faktor risiko) dan variabel tergantung
(efek) dinilai secara bersamaan pada suatu saat
sehingga termasuk penelitian cross-sectional
(Sastroasmoro dkk, 2008).
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas IV
dan V di SDN Kenjeran No. 248 Surabaya yaitu
sejumlah 47 anak. Terdiri dari kelas IV sejumlah 21
anak dan kelas V sejumlah 26 anak. Besar sampel
yang diambil adalah sejumlah total populasi
siswa kelas IV dan V di SDN Kenjeran No. 248
Kecamatan Bulak Surabaya, yaitu sejumlah 47
siswa.
Data berupa form kuesioner meliputi
pertanyaan tentang pengetahuan, sikap dan
tindakan responden, form observasi dengan
mengamati higiene tangan dan kuku responden,
dan pengambilan sampel dengan menggunakan
scote adhesive tape pada anus responden yang
kemudian diperiksa di laboratorium.
Data dianalisis dengan menggunakan metode
perhitungan statistik melalui berbagai bentuk
uji statistik yang sesuai dengan skala data dan
tujuan ujinya. Selain itu juga dianalisis faktor yang
memengaruhi higiene tangan dan kuku yaitu faktor
pengetahuan, sikap dan tindakan yang kemudian
diuji untuk mengetahui kuat hubungan antara
faktor pengetahuan, sikap dan tindakan dengan
higiene tangan dan kuku. Maka uji statistik yang
digunakan adalah uji statistik Koefisien Phie untuk
mengetahui kuat hubungan antar variabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah seluruh siswa kelas IV dan V
SDN Kenjeran No. 248 Surabaya sejumlah 47
siswa. Pada saat pengambilan sampel, 2 siswa
dari kelas IV dan 3 siswa dari kelas V tidak
mau diperiksa, sehingga didapatkan sampel
keseluruhan sejumlah 42 siswa dengan masingmasing kelas IV sejumlah 19 siswa (9 laki-laki,
10 perempuan) dan kelas V sejumlah 23 siswa
(14 laki-laki, 9 perempuan).
Berdasarkan hasil pengamatan higiene
tangan dan kuku, disajikan dalam Tabel 1.

A S Perdana dan S Keman, Higiene Tangan dan Kuku dengan Kejadian Enterobiasis

Tabel 1.
Hasil Pengamatan Higiene Tangan dan Kuku Siswa Kelas IV dan V di SDN Kenjeran No. 248
Kecamatan Bulak Surabaya, Mei 2009
Kelas

Higiene Tangan dan Kuku


Bersih

(%)

Kotor

(%)

Jumlah
(anak)

Persentase
(%)

IV

42,1

11

57,9

19

100

30,4

16

69,6

23

100

Jumlah

15

35,7

27

64,3

42

100

Tabel 2.
Hasil Kuesioner Pengetahuan Responden Siswa Kelas IV dan V di SDN Kenjeran No. 248
Kecamatan Bulak Surabaya, Mei 2009
Kelas

Pengetahuan
Baik

(%)

Kurang

(%)

Jumlah
(anak)

Persentase
(%)

IV

21

15

79

19

100

10

43,5

13

56,5

23

100

Jumlah

14

33,3

28

66,7

42

100

Tabel 3.
Hasil Kuesioner Sikap Responden Siswa Kelas IV dan V di SDN Kenjeran No. 248
Kecamatan Bulak Surabaya, Mei 2009
Sikap
Positif

(%)

Negatif

(%)

Jumlah
(anak)

IV

11

57,9

42,1

19

100

11

47,8

12

52,2

23

100

Jumlah

22

52,4

20

47,6

42

100

Kelas

Dari Tabel 1 diketahui untuk murid kelas IV


terdapat 8 siswa (42,1%) dan 7 siswa (30,4%)
untuk murid kelas V yang memiliki higiene tangan
dan kuku bersih. Definisi higiene adalah ilmu
tentang kesehatan dan berbagai usaha untuk
mempertahankan dan memperbaiki kesehatan
(Depdiknas, 2001). Menurut Budioro (1997),
higiene adalah usaha kesehatan yang mempelajari
pengaruh kondisi lingkungan terhadap
kesehatan manusia, usaha untuk mencegah
timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan
kesehatan serta membuat kondisi lingkungan
sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan
kesehatannya.
Dari Tabel 2 diketahui total ada 14 siswa
(33,3%) dengan pengetahuan baik dan 28 siswa
(66,7%) dengan pengetahuan kurang. Hasil
penelitian Rahfiludin dkk. dalam Muniroh dkk.
(2005), tentang pengetahuan mengenai cacingan
pada anak SD di Kota Semarang, didapatkan

Persentase
(%)

bahwa dari segi pengetahuan mengenai cacingan


pada saat pretest hanya sebagian kecil anak SD
yang mempunyai pengetahuan baik.
Pengertian dari pengetahuan itu sendiri
adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan
telinga (Notoatmodjo, 2003).
Berdasarkan hasil kuesioner sikap, hasilnya
disajikan dalam Tabel 3. Dari Tabel 3 diketahui
untuk murid kelas IV terdapat 11 siswa (57,9%)
dengan sikap positif dan 8 siswa (42,1%) dengan
sikap negatif. Sedangkan untuk murid kelas V
terdapat 11 siswa (47,8%) dengan sikap positif
dan 12 siswa (52,2%) dengan sikap negatif. Total
ada 22 siswa (52,4%) dengan sikap positif dan
20 siswa (47,6%) dengan sikap negatif. Hal ini

10

Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 7, No. 1 Juli 2013: 713

Tabel 4.
Hasil Kuesioner Tindakan Responden Siswa Kelas IV dan V di SDN Kenjeran No. 248
Kecamatan Bulak Surabaya, Mei 2009
Tindakan

Kelas

Baik

(%)

Kurang

(%)

Jumlah
(anak)

Persentase
(%)

IV

47,4

10

52,6

19

100

10

43,5

13

56,5

23

100

Jumlah

19

45,2

23

54,8

42

100

Tabel 5.
Hubungan antara Pengetahuan Responden dan Higiene Tangan dan Kuku Siswa Kelas IV dan V
di SDN Kenjeran No. 248 Surabaya, Mei 2009
Pengetahuan

Higiene tangan dan kuku


Bersih

(%)

Kotor
7

(%)

Jumlah
(anak)

Persentase
(%)

Baik

50

50

14

100

kurang

28,6

20

71,4

28

100

Jumlah

15

35,7

27

64,3

42

100

Tabel 6.
Hubungan antara Sikap Responden dan Higiene Tangan dan Kuku Siswa kelas IV dan V
di SDN Kenjeran No. 248 Surabaya, Mei 2009
Sikap

Higiene tangan dan kuku


(%)

Persentase
(%)

(%)

Positif

12

54,5

10

45,5

22

100

negatif

15

17

85

20

100

Jumlah

15

35,7

27

64,3

42

100

menunjukkan bahwa siswa dengan sikap positif


sedikit lebih banyak jika dibandingkan dengan
siswa dengan sikap negatif.
Menurut Kwick dalam Notoatmodjo (2003),
sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk
mengadakan tindakan terhadap objek, dengan
suatu cara yang menyatakan adanya tandatanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi
objek tersebut. Menurut Alport dalam Adryanto,
(1991), sikap adalah keadaan mental dan syaraf
dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman
yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah
terhadap respons individu pada semua objek dan
situasi yang berkaitan dengannya.
Adapun mengenai tindakan yang berkaitan
dengan higiene responden berdasarkan kuesioner,
maka hasil kuesioner tentang tindakan, dapat
dilihat pada Tabel 4. Dari Tabel 4 diketahui untuk
murid kelas IV terdapat 9 siswa dengan tindakan
yang baik sedang untuk murid kelas V terdapat

Kotor

Jumlah
(anak)

Bersih

10 siswa dengan tindakan yang baik. Total ada


19 siswa (45,2%) dengan tindakan yang baik dan
23 siswa (54,8%) dengan tindakan yang kurang
baik.
Untuk mengetahui hubungan antara
pengetahuan responden dengan higiene tangan
dan kuku, dapat dilihat pada Tabel 5. Dari Tabel
5 diketahui untuk nilai pengetahuan kuesioner
baik terdapat 7 siswa dengan higiene tangan
dan kukunya bersih dan 7 siswa dengan
higiene tangan dan kukunya kotor. Untuk nilai
pengetahuan yang kurang terdapat 8 siswa
dengan higiene tangan dan kuku yang bersih dan
20 siswa dengan higiene tangan dan kuku kotor.
Dari uji Koefisien Phi didapatkan nilai =
0,211. Maka hubungan antara pengetahuan
dengan higiene tangan dan kuku merupakan
hubungan yang lemah. Menurut Riyanto (2009),
ada 4 tingkatan kuat hubungan antar variabel.
Didapatkan nilai = 0,211 maka termasuk tingkat

11

A S Perdana dan S Keman, Higiene Tangan dan Kuku dengan Kejadian Enterobiasis

Tabel 7.
Hubungan antara Tindakan Responden dan Higiene Tangan dan Kuku Siswa Kelas IV dan V
di SDN Kenjeran No. 248 Surabaya, Mei 2009
Tindakan

Higiene tangan dan kuku


Bersih

(%)

Baik

Kotor

(%)

Jumlah
(anak)

Persentase
(%)

11

57,9

42,1

19

100

Kurang

17,4

19

82,6

23

100

Jumlah

15

35,7

27

64,3

42

100

Tabel 8.
Prevalensi Kejadian Enterobiasis Siswa Kelas IV dan V di SDN Kenjeran No. 248 Surabaya, Mei 2009
Kelas

Hasil Pemeriksaan
Positif

(%)

Negatif

(%)

Jumlah
(anak)

Persentase
(%)

IV

36,8

12

63,2

19

100

13

56,5

10

43,5

23

100

Jumlah

20

47,6

22

52,4

42

100

hubungan yang lemah. Maka hubungan antara


pengetahuan dan higiene tangan dan kuku,
tingkat hubungannya adalah lemah.
Hal ini disebabkan karena nilai pengetahuan
yang baik tidak memengaruhi banyak sedikitnya
responden dengan higiene tangan dan kuku
yang bersih ataupun kotor. Dari hasil penelitian
didapatkan nilai pengetahuan yang baik, terdapat
7 responden yang higiene tangan dan kukunya
bersih dan 7 responden yang higiene tangan dan
kukunya kotor.
Untuk mengetahui hubungan antara sikap
responden dengan higiene tangan dan kuku,
hasilnya disajikan dalam Tabel 6. Dari Tabel 6
diketahui untuk nilai sikap yang positif terdapat 12
siswa dengan higiene tangan dan kukunya bersih
dan 10 siswa dengan higiene tangan dan kukunya
kotor. Untuk nilai sikap yang negatif terdapat 3
siswa dengan higiene tangan dan kukunya bersih
dan 17 siswa dengan higiene tangan dan kukunya
kotor. Dari uji Koefisien Phi didapatkan nilai
= 0,412. Maka hubungan antara sikap dengan
higiene tangan dan kuku merupakan hubungan
yang sedang. Hal ini disebabkan karena nilai
sikap yang positif kurang memengaruhi banyak
sedikitnya responden yang memiliki higiene
tangan dan kuku yang bersih ataupun kotor.
Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo
(2003), sikap itu merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan
suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah

merupakan pre-disposisi tindakan atau perilaku.


Sikap itu masih merupakan reaksi yang tertutup,
bukan merupakan reaksi yang terbuka tingkah
laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi
bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek.
Menurut Winkel dalam penelitian Muniroh
(2005), menyatakan bahwa sikap (attitude)
seseorang cenderung menerima atau menolak
suat objek berdasarkan penilaian terhadap objek
itu, berguna/berharga baginya atau tidak. Bila
objek dinilai baik untuk saya, dia mempunyai
sikap positif. Bila objek dinilai jelek untuk saya
dia mempunyai sikap negatif.
Untuk mengetahui hubungan antara tindakan
responden dengan higiene tangan dan kuku,
hasilnya disajikan dalam Tabel 7. Dari Tabel 7
diketahui bahwa untuk nilai tindakan yang baik,
terdapat 11 responden yang higiene tangan dan
kukunya bersih dan 8 responden yang higiene
tangan dan kukunya kotor. Dibandingkan nilai
tindakan yang kurang, terdapat 4 responden
yang higiene tangan dan kukunya bersih dan
19 responden yang higiene tangan dan kukunya
kotor. Dari uji Koefisien Phi didapatkan nilai =
0,421. Maka hubungan antara tindakan dengan
higiene tangan dan kuku merupakan hubungan
yang sedang. Hal ini disebabkan karena nilai
tindakan baik kurang memengaruhi banyak
sedikitnya responden yang higiene tangan dan
kukunya bersih maupun kotor.

12

Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 7, No. 1 Juli 2013: 713

Tabel 9.
Hubungan antara Higiene Tangan dan Kuku dengan Kejadian Enterobiasis Siswa Kelas IV dan V
di SDN Kenjeran No. 248 Surabaya, Mei 2009
Higiene Tangan
dan Kuku

Kejadian Enterobiasis
Positif

(%)

Negatif

(%)

Jumlah
(anak)

(%)

Bersih

13,3

13

86,7

15

100

kotor

18

66,7

33,3

27

100

Jumlah

20

47,6

22

52,4

42

100

Prevalensi kejadian enterobiasis pada


anak SD kelas IV dan V di SDN Kenjeran No.
248 Surabaya dapat dilihat pada Tabel 8. Dari
Tabel 8 diketahui untuk murid kelas IV terdapat
7 siswa dengan hasil laboratorium positif dan 12
siswa dengan hasil laboratorium negatif. Untuk
murid kelas V terdapat 13 siswa dengan hasil
laboratorium positif dan 10 siswa dengan hasil
laboratorium negatif. Total ada 20 siswa dengan
hasil laboratorium positif dan 22 siswa dengan
hasil laboratorium negatif.
Penelitian di daerah Jakarta Timur
melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang
menderita enterobiasis adalah anak kelompok
usia 514 tahun (Gandahusada dkk, 2000).
Penelitian di Surabaya yang meneliti kejadian
enterobiasis pada siswa SD di daerah tertinggal
yaitu Kalijudan, didapatkan responden (49,3%)
atau hampir separuh responden yang positif telur
(Sulistyorini dkk, 2001). Penelitian di Pekalongan
Jawa Tengah pada dua SD didapatkan hasil
62,96% dari 54 siswa dan 74,31% dari 109 siswa
yang menderita enterobiasis (Hendratno, 1994).
Penderita terbanyak dari enterobiasis adalah anak
usia 514 tahun. Angka kesakitannya sekitar 200
juta manusia di seluruh dunia. Penyebaran cacing
kremi di dunia merupakan yang terluas di antara
cacing lainnya (Widiyono, 2005).
Untuk mengetahui hubungan antara higiene
tangan dan kuku dengan kejadian enterobiasis
disajikan dalam Tabel 9. Dari Tabel 9 diketahui
untuk higiene tangan dan kuku bersih terdapat
2 siswa dengan hasil laboratorium positif dan
13 siswa dengan hasil laboratorium negatif.
Untuk higiene tangan dan kuku kotor terdapat
18 siswa dengan hasil laboratorium positif dan 9
siswa dengan hasil laboratorium negatif. Dari uji
Koefisien Phi didapatkan nilai = 0,512. Maka
hubungan antara higiene tangan dan kuku dengan
kejadian enterobiasis merupakan hubungan yang
kuat.

Dari hasil penelitian didapatkan higiene


tangan dan kukunya bersih, terdapat
13 responden yang hasil pemeriksaan
laboratoriumnya negatif, dan 2 responden yang
hasil pemeriksaan laboratoriumnya positif,
sedang untuk higiene tangan dan kukunya kotor,
terdapat 9 responden yang hasil pemeriksaan
laboratoriumnya negatif, dan 18 responden
yang hasil pemeriksaan laboratoriumnya positif.
Hasil pemeriksaan laboratorium positif dan hasil
pemeriksaan laboratorium negatif didapatkan
hasil yang signifikan. Higiene tangan dan kuku
yang bersih bisa memengaruhi hasil pemeriksaan
Enterobius vermicularis negatif, higiene tangan
dan kuku yang kotor bisa memengaruhi hasil
pemeriksaan Enterobius vermicularis positif. Hal ini
didukung dari uji Koefisien Phi bahwa hubungan
antara higiene tangan dan kuku dengan kejadian
enterobiasis adalah kuat.
Tangan merupakan organ tubuh yang paling
mudah memindahkan penyakit. Suatu penyakit
akan mudah berpindah dari orang sakit ke orang
sehat atau akan berpindah ketika mengambil
makanan atau setelah ia pergi dari tempat kotor
(Al-Fanjari, 1999). Salah satu metode penularan
cacing Enterobius vermicularis adalah dengan
autoinfection yaitu penularan dari tangan ke mulut
sendiri atau pada orang lain sesudah memegang
benda yang terkontaminasi telur cacing Enterobius
vermicularis infektif (Soedarto, 1991). Gejala
enterobiasis antara lain rasa gatal di sekitar anus
(pruritus ani nocturnal), yang apabila digaruk maka
penularan dapat terjadi di kuku jari tangan ke
mulut (self-infection) atau infeksi oleh diri sendiri
(Widiyono, 2005). Menurut Rukmono dkk. (1992),
cara infeksi cacing kremi yang tersering adalah
melalui telur yang melekat pada jari tangan dan
sering ditemukan dalam rumah tangga dan
kelompok seperti taman kanak-kanak.

13

A S Perdana dan S Keman, Higiene Tangan dan Kuku dengan Kejadian Enterobiasis

KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Disimpulkan bahwa terdapat tingkat


hubungan yang kuat antara higiene tangan dan
kuku dengan kejadian enterobiasis. Semakin
bersih higiene tangan dan kuku, maka semakin
rendah kejadian enterobiasis. Sedangkan faktorfaktor yang memengaruhi higiene tangan dan
kuku adalah pengetahuan responden dengan
terdapat tingkat hubungan yang lemah, sikap
responden dengan tingkat hubungan yang
sedang, dan tindakan responden dengan tingkat
hubungan yang sedang antara tindakan dengan
higiene tangan dan kuku.
Disarankan terhadap pihak sekolah terutama
guru meningkatkan kedisiplinan siswa dalam
memelihara higiene tangan dan kuku, diusahakan
setiap minggu dilakukan razia terhadap siswa
yang tangan dan kuku kotor, serta sekolah
menyediakan sarana tempat cuci tangan yang
dilengkapi dengan sabun. Selain itu peran guru
lebih ditingkatkan terutama pelajaran tentang
masalah pentingnya menjaga kesehatan dan
bahaya dari macam penyakit. Bisa lewat tambahan
jam pelajaran atau penambahan poster maupun
pamflet dalam bagian sekolah.
Selalu menjaga kebersihan perorangan dan
kebersihan lingkungan serta kebersihan makanan
merupakan cara paling efektif untuk mencegah
terjadinya penularan enterobiasis, dan higiene
tangan juga penting untuk pencegahan. Kuku
hendaknya selalu dipotong pendek, tangan dicuci
bersih sebelum makan. Anak yang mengandung
cacing kremi sebaiknya memakai celana panjang,
jika hendak tidur supaya alas kasur yang
terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk
daerah perianal. Tempat tidur selalu dibersihkan
karena mudah sekali terkontaminasi oleh telur
cacing Enterobius vermicularis infektif. Usahakan
sinar matahari langsung dapat memasuki kamar
tidur oleh karena telur Enterobius vermicularis akan
dapat terbunuh oleh sinar matahari tersebut.

Adryanto, M. 1991. Psikologi Sosial. Edisi Kelima Jilid 2.


Jakarta: Penerbit Erlangga.
Al-Fanjari, A.S. 1999. Nilai Kesehatan Dalam Syariat Islam.
Jakarta: Bumi Aksara.
Budioro, B. 1997. Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Gandahusada, S., Ilahude D.H., dan Pribadi, W.
2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Hendratno, S. 1994. Oxyuriasis pada Siswa Sekolah
Dasar di Kecamatan Kandang Serang Kabupaten
Pekalongan. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia,
volume 7 nomor 3: 27.
Muniroh, L., Martini, S., Soedirham, O., Andreas, D.R.
2005. Analisis Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Guru Sekolah Dasar Negeri Surabaya tentang
Masalah Kecacingan. Surabaya: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga.
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Padmasutra, L., Makimian, R., Jukiani, M. 1992. Atlas
Berwarna Parasitologi Klinik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Riyanto, A. 2009. Pengolahan dan Analisis Data
Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Rukmono, B., Hoedojo, Djakaria, N.S., Soeprihatin, S.
D., Margono, S.S., Oemijati, S., Gandahusada, S.,
Pribadi, W. 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta:
PT Gramedia.
Sastroasmoro, S. dan Ismael S. 2008. Dasar-dasar
Metodologi Klinis. Jakarta: Sagung Seto. Edisi
ke-3.
Soedarto. 1991. Helmintologi Kedokteran. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sulistyorini, L. dan Martini, S. 2001. Hubungan Sanitasi
Perumahan dan Kebersihan Perorangan dengan
Kejadian Penyakit Cacing Kremi (Enterobiasis)
pada Murid Sekolah Dasar di Daerah Tertinggal.
Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Airlangga, Surabaya.
Widiyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidemiologi Penularan,
Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta:
Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai