Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAGIAN FARMASI
PUSKESMAS KASIHAN 1
DISUSUN OLEH
LINDA SUNDASWARI 20090310160
ESTIANNA KHOIRUNNISA 20090310108
NIKE RATNA KEMALA 20090310007
ARUM AYU KARTIKA 20090310152
HAFIDLOTUL MUAWANAH 20090310011
PENDAHULUAN
Dalam Era Globalisasi dan Pasar Bebas (AFTA) Tahun 2003 mendatang Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan
ekonomi antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota termasuk Indonesia.
Beberapa Komitmen global baik yang berskala bilateral maupun multilateral telah pula mengikat
bangsa Indonesia untuk memenuhi standar-standar K3.
Beban ini cukup besar, karena di Indonesia Jumlah usia kerja pada tahun 2000 adalah
mencapai 126,417.742 Jiwa terdiri atas laki-laki 62.678.901 Jiwa dan perempuan 63.738.841
jiwa, jumlah angkatan kerja adalah 95.650.961 orang terdiri dari 58.779.722 laki-laki dan
36.871.239 perempuan, (BPS 2000), dengan sebaran lapangan pekerjaan utama penduduk yang
terbanyak pada sektor informal yang meliputi pertanian dan perdagangan (44.07%), transportasi
dan makanan-minuman (20.89%) dan sisanya (35,04%) pada sektor jasa baik di pemerintahan
maupun swasta.
Visi Indonesia Sehat 2010 yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan yang misinya
antara lain : pemeliharaan dan peningkatan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan
terjangkau serta memelihara dan meningkatkan kesehatan individu,keluarga dan masyarakat
beserta lingkungannya. Dalam undang-undang No 23Tahun 1992 pasal 23 tentang kesehatan
kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib diselenggarakan pada setiap tempat kerja.
khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan bagi pekerja agar pekerja
dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, untuk
memperoleh produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program perlindungan
tenaga kerja.
Program kesehatan kerja merupakan suatub upaya kesehatan kerja bagi masyarakat
pekerja. Bentuk upaya pelayanan kesehatan kerja adalah pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada masyarakat pekerja mencakup upaya peningkatan dan pemeliharaan kesehatan,
pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan.
Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa
daerah diberi wewenang yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional Sebagai
penjabaran lebih lanjut telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Salah satunya
bidang kesehatan termasuk kesehatan kerja menjadi kewenangan daerah yang wajib
dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.
Dibeberapa daerah di Indonesia pelayanan kesehatan kerja belum banyak dilakukan, hal
ini berdasarkan hasil need assessment survey yang dilakukan pada beberapa propinsi di
Indonesia. Secara faktual menggambarkan wawasan mengenai kesehatan kerja masih kurang dan
sumber daya manusia di bidang K3 masih kurang serta sistem informasi kesehatan kerja yang
belum dilaksanakan. Salah satu permasalahan kesehatan nasional, baik masa kini maupun dekade
mendatang adalah penanggulang dan penatalaksanaan berbagai penyakit yang berkaitan dengan
adanya peningkatan intensitas industrialisasi. Berbagai penyakit sehubungan dengan pencemaran
lingkungan maupun penyakit-penyakit yang diperoleh dari tempat kerja atau karena
pekerjaannya diperkiraan akan meningkat baik kuantitas maupun intensitasnya. Untuk itu
diperlukan perencanaan maupun pengembangan institusi pelayanan yang memiliki kemampuan,
mutu pelayanan dalam satu kerangka sistem rujukan yang berkesinabungan.
Penatalaksanaan Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Penyakit Akibat Hubungan kerja
(PAHK), Haruslah dilaksanakan dan dikembangkan berdasarkan suatu bentuk atau pola
pelayanan dasar, Peran serta masyarakat dan rujukan upaya kesehatan Dengan kata lain penatalaksanaan penyakit akibat kerja, harus dilakukan dan dikembangkan secara berjenjang dan
memiliki sistem rujukan dari bentuk pelayanan yang paling sederhana sampai kepada bentuk
pelayanan yang sesuai dengan kemajuan IPTEK, tanpa mengabaikan bentuk-bentuk partisipasi
masyarakat dan kerja sama lintas sektor pada setiap jenjang pelayanan.
Pendekatan kesisteman dalam penatalaksanaan PAK dan PAHK, meliputi adanya
standardisasi pelayanan, penatapan fungsi dan wewenang institusi secara berjenjang sesuai
kemampuan dan kebutuhan (dalam perspaktif penatalaksanaan penyakit) serta kerjasama antar
institusi (atau pada dasarnya merupakan komponen sistem) di dalam satu jaringan yang memiliki
tujuan bersama, yakni mengabdalikan timbulkan PAK dan PAHK serendah-rendahnya,
pemulihan/rehabilitasi secepatcepatnya, serta optimasi pembiayaan yang ditimbulkan akibat
adanya PAK dan PAHK.
Standardisasi Pelayanan kesehatan kerja dasar dimaksudkan untuk terwujudnya
peningkatan mutu pelayanan kesehatan kerja dasar, dalam rangka optimalisasi
derajat kesehatan masyarakat pekerja untuk meningkatkan produktivitas kerjanya,
Terwujudnya pelayanan kesehatan kerja dasar yang bermutu tercakup dalam Pedoman Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas.
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
PEDOMAN
PELAYANAN KEFARMASIAN
DI PUSKESMAS
KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
NOMOR:HK.00.DJ.II.924
TENTANG
PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN PEDOMAN PELAYANAN KEFARMASIAN
DI PUSKESMAS
terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar Puskesmas
dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah yaitu desa/ kelurahan atau dusun/rukun warga
(RW).
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah tercapainya
kecamatan sehat. Kecamatan sehat mencakup 4 indikator utama, yaitu lingkungan sehat, perilaku
sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu dan derajat kesehatan penduduk. Misi
pembangunan kesehatan yang diselenggarakan Puskesmas adalah mendukung tercapainya misi
pembangunan kesehatan nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat mandiri dalam hidup
sehat.
Untuk mencapai visi tersebut, Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan
dan upaya kesehatan masyarakat. Dalam menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan
upaya kesehatan masyarakat, Puskesmas perlu ditunjang dengan pelayanankefarmasian yang
bermutu. Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah berubah paradigmanya dari orientasi obat
kepada pasien yang mengacu pada asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care).
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker/asisten apoteker sebagai
tenaga farmasi dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat
berinteraksi langsung dengan pasien.
Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sumber daya (SDM, sarana prasarana,
sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan serta administrasi) dan pelayanan farmasi klinik
(penerimaan resep, peracikan obat, penyerahan obat, informasi obat dan pencatatan/penyimpanan
resep) dengan memanfaatkan tenaga, dana, prasarana, sarana dan metode tatalaksana yang sesuai
dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan.
Sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di Puskesmas adalah apoteker
(Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Kompetensi apoteker di Puskesmas
sebagai berikut:
Mampu menyediakan dan memberikan pelayanan kefarmasian yang bermutu
Mampu mengambil keputusan secara profesional
Mampu berkomunikasi yang baik dengan pasien maupun profesi kesehatan
lainnya dengan menggunakan bahasa verbal, nonverbal maupun bahasa lokal
Selalu belajar sepanjang karier baik pada jalur formal maupun informal, sehingga
ilmu dan keterampilan yang dimiliki selalu baru (up to date).
Sedangkan asisten apoteker hendaknya dapat membantu pekerjaan apoteker dalam
melaksanakan pelayanan kefarmasian tersebut.
Tersedia sumber informasi dan literatur obat yang memadai untuk pelayanan informasi obat.
Antara lain Farmakope Indonesia edisi terakhir, Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO)
dan Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI).
Tersedia tempat dan alat untuk melakukan peracikan obat yang memadai
Tempat penyimpanan obat khusus seperti lemari es untuk supositoria, serum dan vaksin, dan
lemari terkunci untuk penyimpanan narkotika sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
Tersedia kartu stok untuk masing-masing jenis obat atau komputer agar pemasukan dan
pengeluaran obat, termasuk tanggal kadaluarsa obat, dapat dipantau dengan baik.
Tempat penyerahan obat yang memadai, yang memungkinkan untuk melakukan pelayanan
informasi obat.
Administrasi
Administrasi adalah rangkaian aktivitas pencatatan, pelaporan, pengarsipan dalam rangka
penatalaksanaan pelayanan kefarmasian yang tertib baik untuk sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan maupun pengelolaan resep supaya lebih mudah dimonitor dan dievaluasi.
Administrasi untuk sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan meliputi semua tahap
pengelolaan dan pelayanan kefarmasian, yaitu :
Perencanaan
Permintaan obat ke instalasi farmasi kabupaten/ kota
Penerimaan
8
Pelayanan Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker
untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang
berlaku.Pelayanan resep adalah proses kegiatan yang meliputi aspek teknis dan non teknis yang harus
dikerjakan mulai dari penerimaan resep, peracikan obat sampai dengan penyerahan obat kepada
pasien. Pelayanan resep dilakukan sebagai berikut :
Penerimaan Resep
Setelah menerima resep dari pasien, dilakukan hal-hal sebagai berikut :
9
Pemeriksaan kelengkapan administratif resep, yaitu : nama dokter, nomor surat izin praktek
(SIP), alamat praktek dokter, paraf dokter, tanggal, penulisan resep, nama obat, jumlah obat,
cara penggunaan, nama pasien, umur pasien, dan jenis kelamin pasien
Pemeriksaan kesesuaian farmasetik, yaitu bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, cara dan
lama penggunaan obat.
Pertimbangkan klinik, seperti alergi, efek samping, interaksi dan kesesuaian dosis.
Konsultasikan dengan dokter apabila ditemukan keraguan pada resep atau obatnya tidak
tersedia
Peracikan Obat
Setelah memeriksa resep, dilakukan hal-hal sebagai berikut :
Pengambilan obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan menggunakan alat, dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat
Peracikan obat
Pemberian etiket warna putih untuk obat dalam/oral
Etiket warna biru untuk obat luar, serta menempelkan label kocok dahulu pada sediaan
obat dalam bentuk larutan
Memasukkan obat ke dalam wadah yang sesuai dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk
menjaga mutu obat dan penggunaan yang salah
Penyerahan Obat
Setelah peracikan obat, dilakukan hal-hal sebagai berikut :
Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai
penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat.
Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik dan sopan
mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya kurang stabil.
Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya
Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal lain yang terkait dengan obat
tersebut, antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan
efek samping, cara penyimpanan obat, dll.
10
11
Sediaan cair untuk bayi dan balita harus jelas dosisnya, gunakan sendok takar dalam kemasan
obatnya.
Cara penggunaan sebelum minum obat oral adalah cuci tangan
Dijelaskan cara menggunakan obat tetes telinga
Jika sediaan berupa suspensi, sediaan harus dikocok terlebih dahulu
Setelah penggunaan, tangan penderita dicuci bersih
Jika penderita hamil, maka sebelum menggunakan berkonsultasi terlebih dahulu dengan
Obat mempunyai bentuk sediaan yang berbeda-beda, seperti sirup, tablet, injeksi, salep atau
krim. Dalam sistem ini, obat disimpan berdasarkan bentuk sediaannya. Selanjutnya metodemetode pengelompokan lain dapat digunakan untuk mengatur obat secara rinci.
Untuk obat yang sering digunakan (fast moving) seharusnya disimpan pada ruangan yang
dekat dengan tempat penyiapan obat.
Kondisi Penyimpanan Khusus
Beberapa obat perlu disimpan pada tempat khusus untuk memudahkan pengawasan, yaitu
obat narkotika, dan psikotropika, vaksin dan supositori dalam lemari es
Beberapa cairan mudah terbakar seperti aseton, eter dan alkohol disimpan dalam lemari yang
berventilasi baik, jauh dari bahan yang mudah terbakar dan peralatan elektronik. Cairan ini
disimpan terpisah dari obat-obatan.
BAB III
12
PEMBAHASAN
MONITORING DAN EVALUASI
Sebagai tindak lanjut terhadap pelayanan kefarmasian di Puskesmas perlu dilakukan
monitoring dan evaluasi kegiatan secara berkala. Monitoring merupakan kegiatan pemantauan
terhadap pelayanan kefarmasian dan evaluasi merupakan proses penilaian kinerja pelayanan
kefarmasian itu sendiri.
Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan memantau seluruh kegiatan pelayanan
kefarmasian mulai dari pelayanan resep sampai kepada pelayanan informasi obat kepada pasien
sehingga diperoleh gambaran mutu pelayanan kefarmasian sebagai dasar perbaikan pelayanan
kefarmasian di Puskesmas selanjutnya.
Hal-hal yang perlu dimonitor dan dievaluasi dalam pelayanan kefarmasian di Puskesmas,
antara lain :
Sumber daya manusia (SDM) sudah baik
Pengelolaan sediaan farmasi (perencanaan, dasar perencanaan, pengadaan, penerimaan dan
distribusi)
Pelayanan farmasi klinik (pemeriksaan kelengkapan resep, skrining resep, penyiapan sediaan,
pengecekan hasil peracikan dan penyerahan obat yang disertai informasinya serta
pemantauan pemakaian obat bagi penderita penyakit tertentu seperti TB, Malaria dan Diare)
Mutu pelayanan (tingkat kepuasan konsumen) dari segi waktu sudah baik, pasien tidak harus
menunggu lama untuk mendapatkan obat.
Membagi dan membungkus obat dengan merata(tidak terdapat timbangan gram dan
Memeriksa kembali kesesuaian antara jenis, jumlah dan cara penggunaan obat
dengan permintaan pada resep
Memanggil dan memastikan nomor urut/ nama pasien
Menyerahkan obat disertai pemberian informasi obat
Memastikan bahwa pasien telah memahami cara penggunaan obat
Meminta pasien untuk menyimpan obat di tempat yang aman dan jauh dari
jangkauan anak-anak dan cahaya matahari langsung.
15
Membendel resep yang mempunyai tanggal yang sama berdasarkan urutan nomor resep dan
kelompok pembiayaan pasien
Membendel secara terpisah resep yang ada narkotiknya
Menyimpan bendel resep pada tempat yang ditentukan secara berurutan berdasarkan tanggal
agar memudahkan dalam penelusuran resep (setiap hari semua resep dikumpulkan dalam rak
tertentu)
16
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Departemen Kesehatan RI, 2003. Kebijakan dasar Puskesmas (Menuju Indonesia Sehat 2010).
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
2. Departemen kesehatan RI, 2002. Daftar Tilik Jaminan Mutu (Quality Assurance) Pelayanan
Kefarmasian di Pelayanan Kesehatan Dasar. Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Jakarta
3. Departemen Kesehatan RI, 1994. Pedoman Pengelolaan Obat di Puskesmas. Direktorat Jenderal
Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Jakarta
4. Departemen Kesehatan RI, 1983. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Pasal 1 ayat 2 dan 5,
Pasal 3.
5. Departemen Kesehatan RI, 1993. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 919/Menkes/ Per/X/ 1993
tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep, Pasal 1, 2 dan 3
6. Departemen Kesehatan RI, 1978. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28/Menkes/Per/I/ 1978
tentang Penyimpanan Narkotika. Pasal 7
7. Departemen Kesehatan RI, 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
17
18