Anda di halaman 1dari 61

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi sumberdaya ikan
yang sangat melimpah. Dalam pembangunan sektor perikanan selain sebagai
penyokong kebutuhan protein hewani bagi masyarakat, juga membuka lapangan
kerja, menambah pendapatan masyarakat serta sebagai sumber devisa negara.
Bahkan saat ini komoditas perikanan mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi
karena sebagian besar komoditas perikanan merupakan komoditas ekspor
(Tampubolon dan Mulyadi, 1989 ).
Pemanfaatan perairan laut dan pantai Indonesia serta sumber dayanya
untuk kegiatan budidaya ikan telah lama dikembangkan dan terus ditingkatkan.
Salah satu perairan laut pantai yang menjanjikan prospek yang bagus adalah
budidaya ikan kerapu. Ikan Kerapu mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan
untuk dibudidayakan karena pertumbuhannya cepat dan dapat diproduksi massal
untuk melayani permintaan pasar ikan kerapu dalam keadaan hidup.
Berkembangnya pasaran ikan kerapu hidup karena adanya perubahan selera
konsumen dari ikan mati atau beku kepada ikan dalam keadaan hidup, telah
mendorong masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar ikan kerapu melalui
usaha budidaya (Sudirman dan Karim, 2008).
Beberapa jenis ikan kerapu seperti ikan kerapu bebek (Cromileptis
altivelis) potensial untuk dibudidayakan (Sudirman dan Karim, 2008). Ikan
kerapu bebek (Cromileptes altivelis) berpotensi besar untuk dikembangkan dan

telah terbukti dapat dibudidayakn dengan baik di keramba jaring apung maupun di
petakan kolam laut atau bak (Akbar dan Sudaryanto, 2001).
Kerapu bebek merupakan salah satu komoditi perikanan yang mempunyai
prospek pemasaran cukup baik terutama untuk pasar ekspor. Di tingkat
pengumpul ikan kerapu persentase ikan kerapu bebek yang tertangkap sangat
kecil dibandingkan dengan kerapu jenis lain. Hal ini yang menyebabkan kerapu
bebek sulit di jumpai dipasaran. Permintaan pasar akan komoditas ini stabil
bahkan cenderung meningkat. (
Dengan

demikian

Daftar pustaka

pengembangan

usaha

)
budidaya

kerapu

bebek

mempunyai prospek yang sangat cerah. Namun demikian masih menjadi perhatian
utama adalah ketersediaan benih yang belum dapat terpenuhi baik jumlah, mutu
maupun kesinambungannya. Benih yang berasal dari alam ketersediaannya belum
dapat dipastikan (Anonimous, 1999). Benih yang diperoleh dari hatchery
jumlahnya masih sangat terbatas hal ini disebabkan tingkat survival rate yang
masih rendah dan terbatasnya fasilitas hatchery.
Tingkat kelangsungan hidup kerapu bebek sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan tempat hidupnya, antara lain: suhu, cahaya, salinitas, arus. Fluktuasi
kedaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode, migrasi
musiman serta terdapatnya ikan. Keadaan perairan serta perubahannya juga
mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan (Baskoro et al., 2010).
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari praktek magang ini adalah untuk mengetahui secara langsung
teknik pemeliharaan larva ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) yang
dilaksanakan di BBAP serta mengidentifikasi masalah yang ada dan mencari

solusi dari masalah tersebut. Manfaat dari hasil praktek magang diharapkan dapat
menambah

wawasan,

pengalaman

dan

keterampilan

mahasiswa

dalam

menerapkan ilmu yang ditekuni untuk dijadikan bekal ke masyarakat dalam


menyongsong dunia kerja.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1.

Taksonomi dan Morfologi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)


Menurut Randall (1987), Klasifikasi ikan kerapu bebek (Cromileptes

altivelis) adalah Filum: Chordata, Sub-Filum: Vertebrata, Kelas (class):


Osteichthyes, Sub-kelas: Actinopterigi, Ordo : Percomorphi, Sub-ordo :
Percoidea, Famili : Serranidae, Subfamili : Epinephelinae, Genus : Cromileptes,
Spesies : Cromileptes altivelis. Morfologinya dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: www.google.com

Gambar 1. Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)


Menurut Akbar (2001), ikan kerapu bebek adalah jenis ikan karang yang
hanya hidup dan tumbuh cepat di daerah tropis. Ikan ini terkenal dengan dua nama
yaitu kerapu bebek dan kerapu bebek. Ciri khasnya terletak pada bentuk moncong
yang menyerupai bebek sehingga disebut kerapu bebek dan kepala datar mirip
kepala bebek sehingga populer juga dengan nama kerapu bebek. Sisik dan sirip
kerapu berbentuk bulat. Bagian punggungnya meninggi dan cembung. Ketebalan
tubuh sekitar 6,6-7,6 cm dari panjang spesifik (Kordi dan Ghufran, 2004).
Menurut Akbar (2001), bentuk tubuh bagian punggung meninggi dengan
bentuk cembung (Concaver). Panjang tubuh maksimal sampai 70 cm. Ikan ini

tidak mempunyai gigi canine (gigi yang terdapat dalam geraham ikan) lubang
hidung hidung besar berbentuk bulan sabit dertical, kulit berwarna terang abu-abu
kehijauan dengan bintik-bintik hitam diseluruh kepala, badan dan sirip. Pada
kerapu bebek muda, bintik hitamnya lebih besar dan sedikit.
Kerapu bebek mempunyai sisik berbentuk sikloid, deskripsi sirip
punggung (dorsal fin) X, 17-18. Sirip dubur (anal fin) III, 10, sirip dada (fectoral
fin) 17-18, sirip ekor membulat, sisik garis linea lateralis 53-55, bagian dorsal
meninggi berbentuk concave (cembung), lubang hidung besar berbentuk bulat
sabit vertikal, warna kulit terang abu-abu kehijauan dengan bintik-bintik hitam
disekitar kepala, badan dan sirip. (Akbar dan Sudaryanto, 2001).
Menurut Sunyoto (1994), Ikan kerapu terdapat dalam 46 spesies yang
hidup di berbagai tipe habitat. Dari jumlah tersebut berasal dari 7 genus, yaitu
Aethaloperca,

Anyperodon,

Cephalopholis,

Chromileptes,

Epinephelus,

Plectropomus dan Variola. Dari ketujuh genus tersebut, genus Chromileptes,


Epinephelus, dan Plectropomus yang sekarang digolongkan ikan komersial, dan
mulai dibudidayakan. Ikan kerapu Bebek (Cromileptes altivelis), dalam
perdagangan internasional dikenal dengan nama Humback seabass, Polka-dot
grouper, ataupun Hump-backed rocked.
Ikan kerapu bebek dalam perdagangan Internasional mendapat julukan
sebagai Panther fish karena di sekujur tubuhnya dihiasi bintik-bintik kecil bulat
berwarna hitam. Kerapu bebek selain ikan konsumsi, yang berukuran kecil
mempunyai bentuk dan penampilan yang menarik sebagai ikan hias akuarium,
oleh karena itu kerapu bebek mempunyai nama lain yang cukup populer dan
cantik yaitu Grace Kelly (Antoro dkk. dalam Anonimous, 1999).

II.2.

Habitat dan Penyebaran


Pada umumnya, penyebaran ikan kerapu dapat dikatakan identik dengan

penyebaran terumbu karang, daerah tersebut merupakan habitat utamanya


(Murtidjo, 2002). Kerapu muda biasanya hidup di perairan karang pantai dengan
kedalaman 0,5 3 meter. Setelah menginjak dewasa berpindah ke perairan yang
lebih dalam, yakni di kedalaman 7 40 meter. Biasanya perpindahan ini
berlangsung pada siang dan sore hari (Tampubolon dan Mulyadi, 1989 dalam
Subyakto dan Cahyaningsih, 2005).
Ikan kerapu termasuk kelompok ikan stenohaline (Brett dan Groves,
1979), oleh karena itu jenis ikan ikan mampu beradaptasi pada lingkungan
perairan yang berkadar garam rendah. Ikan kerapu merupakan organisme yang
bersifat nocturnal, dimana pada siang hari lebih banyak bersembunyi di liangliang karang dan pada malam hari aktif bergerak di kolom air untuk mencari
makan. Habitat favorit larva dan kerapu bebek muda adalah perairan pantai
dengan dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun (Anonymous,
1991).
Menurut Chua dan Teng (1978), parameter-parameter ekologis yang cocok
untuk pertumbuhan ikan kerapu, yaitu temperatur berkisar 24 31 C, salinitas
berkisar 30 33 ppt, kandungan oksigen terlarut lebih dari 3,5 ppm dan pH antara
7,8 8,0. Perairan dengan kondisi tersebut pada umumnya terdapat pada perairan
terumbu karang (Nybakken, 1988).
Daerah penyebaran kerapu bebek mulai dari Afrika Timur sampai Pasifik
Barat Daya (Valencennes dalam Randall, 1987). di Indonesia ikan kerapu banyak

ditemukan diperairan Pulau Sumatera, Jawa, Selawesi, Pulau Buru dan Ambon.
Salah satu indikator adanya kerapu adalah perairan karang. Indonesia memilki
perairan karang yang cukup luas sehingga potensi sumberdaya ikan kerapu sangat
besar (Tampubolon dan Mulyadi, 1989).
II.3.

Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva merupakan kegiatan utama pada usaha pada usaha

pembenihan ikan kerapu dalam menghasilkan benih, pengolahan dalam


pemeliharaan larva meliputi : persiapan bak, pemberian pakan baik pakan hidup
maupun pakan buatan dan pengelolaan kualitas air media pemeliharaan. Bak
pemeliharaan sebelum digunakan harus dicuci bersih dan disterilkan dengan
menggunakan kaporit. Penebaran larva dilakukan dengan dua cara, yaitu
penebaran telur atau penebaran larva. Larva D1 diberi fitoplankton jenis
Nannocloropsis sp. Pemberian fitoplankton dimaksudkan sebagai penetral kualitas
air terhadap gas peracun sebagai rotifer yang diberikan pada larva D3. Kepadatan
pakan yang diberikan larva D20 adalah 3-6 induvidu ind/ml. rotifer diberikan
hingga D20 hari. Pakan buatan mulai diberikan sedikit demi sedikit pada larva
D15. Pengelolaan air dilakukan dengan penyiponan dan pergantian air.
Penggantian air semakin meningkat dengan bertambanya umur larva (Sutrisno,
ddk, 1987).
Pemeliharaan larva kerapu dapat menggunakan bak semen bervolume 0,5
10 ton. Larva kerapu seperti jenis larva ikan laut yang lain tidak tahan terhadap
perubahan lingkungan yang besar seperti : perubahan suhu, salinitas, pH air dan
intensitas cahaya. Dalam pemeliharaan larva, keberhasilan larva untuk
memanfaatkan pasokan pakan dari luar terutama pada saat cadangan makanan dari

dalam tubuh sudah habis merupakan kunci bagi kelangsungan hidup bagi larva
selanjutnya. Masa kritis pertama terjadi pada saat larva mulai buka mulut sampai
saat kuning telur habis terserap. Oleh karena itu harus menyediakan pakan awal
yang mempunyai ukuran lebih kecil dari ukuran bukaan mulutnya, dalam jumlah
dan mutu nutrisi yang cukup (Kawahara et al., 2000).
Menurut Sunyoto dan Mustahal (1997), sebelum larva ditebar, bak-bak
untuk pemeliharaan harus disiapkan. Bak-bak diisi air laut yang telah difilter
dengan jumlah kira-kira 80% dari kapasitasnya serta dipasok aerasi pada tingkat
kecepatan rendah, artinya gelembung-gelembung udara yang keluar diusahakan
sekecil mungkin, tetapi tidak berhenti. Sekitar 1 2 jam sebelum menetas, telurtelur ditebarkan dengan pelan-pelan ke dalam bak pemeliharaan. Penebaran telur
dilakukan pada tingkat kepadatan 50 butir per liter air pemeliharaan.
Panjang tubuh total larva kerapu bebek hampir sama dengan jenis kerapu
lainnya, yakni berkisar 1,5-2 mm. Sedangkan menurut Kohno et al, (1990)
panjang total larva kerapu bebek, yakni 1,287-1,393 mm. Ketika larva berumur
satu hari (D1), saluran pencernaanya sudah mulai terlihat, tetapi mulut dan
anusnya masih tertutup dan calon matanya yang transparan sudah terbentuk. Larva
berumur dua hari (D2) bersifat planktonis, bergerak mengikuti arus, sistem
penglihatannya belum berufungsi, dan masih memiliki kuning telur (yolk egg).
II.4.

Kualitas air
Guna mendukung benih ikan kerapu bebek hidup dan tumbuh dengan

baik, selain harus tersedia pakan yang bergizi dalam jumlah dan kualitas yang
baik, kondisi lingkungan fisik dan kimiawi air harus berada pada kisaran yang
optimum. Kualitas air yang berperan terhadap kelangsungan hidup pada

pertumbuhan ikan kerapu bebek meliputi : suhu air, oksigen terlarut, pH air,
salinitas dan ammonia (Akbar dan Sudaryanto, 2001).
Suhu air mempengaruhi suhu tubuh ikan, selanjutnya akan mempengaruhi
laju metabolisme dan laju pertumbuhan. Jika suhu meningkat maka kebutuhan
makanan untuk pemeliharaan tubuh meningkat, sehingga ikan lebih aktif
mendapatkan pakan dalam jumlah yang lebih banyak. Menurut Tridjoko et al,
(1998) suhu optimum untuk pemeliharaan larva ikan kerapu bebek antara 27 - 31
o

C, sedangkan menurut Sugama, dkk (1998) berkisar antara 26.8 - 28.9 oC.
Penggunaan energi pada ikan juga dipengaruhi oleh jumlah pakan yang

dikonsumsi sehingga fasilitas budidaya perlu dirancang. Faktor pembatas utama


dalam budidaya ikan adalah kandungan oksigen dalam air bak. Konsumsi oksigen
oleh ikan akan meningkat setelah ikan mengonsumsi pakan, akibat meningkatnya
aktivitas fisik dan panas yang diproduksi selama proses metabolisme (Akbar dan
Sudaryanto, 2001). Akbar dan Sudaryanto, (2001) bahwa ikan kerapu bebek
dapat hidup optimal pada konsentrasi oksigen lebih dari 5 ppm. pH air dapat
mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad
renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah dapat membunuh ikan.
Hubungan antara pH air dan kehidupan ikan budidaya. pH rendah kandungan
oksigen terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun,
aktifitas pernapasan naik dan selera makan akan berkurang (Akbar dan
Sudaryanto, 2001).
Kesesuaian salinitas sangat berperan dalam proses osmoregulasi tubuh,
kondisi yang terbaik untuk pertumbuhan ikan adalah pada saat lingkungan air
isotonis dengan tubuh ikan. Hal ini sangat menguntungkan karena energi yang

10

digunakan untuk osmoregulasi minimal sehingga sebagian besar energi dapat


dipakai untuk proses pertumbuhan dan salinitas yang optimal untuk pertumbuhan
larva ikan kerapu bebek berkisar antara 31-33 ppt ( Tridjoko et al., 1998).
Asmawi (1983), batas minimum pH yang ditoleransi ikan air tawar pada
umumnya 4,0 dan batas maksimum 11,0.

Amoniak bebas (NH3) yang tidak

terionisasi (unionized) bersifat toksit terhadap organisme akuatik dan toksisitas


amoniak terhdap terhadap organisme akuatik dan meningkat jika terjadi
penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu (Effendi, 2003).
II.5.

Pemberian Pakan dan Kebiasaan Makan


Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

pertumbuhan ikan, baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut.
Sedangkan pakan dibutuhkan oleh ikan sejak mulai hidup yaitu dari larva, dewasa
sampai ukuran induk.
Pakan buatan tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan nutisi, yang di
maksud dengan pengetahuan nutrisi adalah pengetahuan mengenai pemberian
pakan ikan berdasarkan zat-zat gizi yang dikandungnya. Pemberian pakan yang
sesuai dengan kebutuhan selain dapat menjamin kehidupan ikan juga akan
mempercepat pertumbuhannya (Afrianto dan Liviawaty, 2005).
Tiga jenis pakan yang biasa dipakai untuk pemeliharaan larva adalah rotifer,
artemia dan pakan buatan. Ada dua jenis rotifer menurut ukuran yaitu SS (super
small) dengan ukuran panjang lorica 120-140 m dan S (small) dengan ukuran
panjang lorica 180-200 m (Sugama et al., 2003).
Sebagaimana jenis ikan kerapu lainnya, kerapu bebek bersifat karnivora,
terutama memangsa larva moluska (trokofor), rotifer, mikrokrustasea, kopepoda,

11

dan zooplankton untuk larva. sedangkan untuk ikan kerapu bebek yang lebih
dewasa memangsa ikan-ikan kecil, crustacea dan cephalopoda.
Rotifera (Brachionus plicatilis) adalah jenis pakan alami yang secara luas
telah digunakansebagai pakan awal dalampemeliharaan larva berbagai jenis ikan
dan crustacea, karena selain ukurannya yang relatif sesuai dengan bukaan mulut
larva, gerak renangnya lambat, dapat di kultur secara massal dan rata-rata
reproduksinya tinggi (Lubzens et al., 1989 dalam Fulks dan Main, 1991).
Artemia merupakan pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha
budidaya ikan dan udang, di indonesia belum ditemukan adanya artemia, sehingga
sampai saat ini Indonesia masih mangimpor artemia sebanyak 50 ton/tahun.
Walaupun pakan buatan dalam berbagai jenis telah berhasil dikembangkan dan
cukup tersedia untuk larva ikan dan udang, namun artemia masih tetap merupakan
bagian yang esensial sebagai pakan larva ikan dan udang di unit pembenihan.
Keberhasilan pembenihan ikan kerapu juga memerlukan ketersediaan artemia
sebagai pakan alami esensialnya, serta dengan adanya kenyataan bahwa
kebutuhan artemia untuk larva ikan kerapu 10 kali lebih banyak dibandingkan
dengan larva udang, maka kebutuhan kista atemia akan semakin meningkat
(Daulay, 1998).
Pakan buatan dengan kandungan nutrisi cukup harus diberikan sedini
mungkin yaitu setelah larva berumur 15-17 hari, agar tidak terjadi kekurangan
nutrisi pada larva yang mengakibatkan syndrom kematian pada usia diatas 25 hari
atau 25-day syndrome (Sugama et al., 2003).
Menurut Nybakken (1988) sebagai ikan karnivora, kerapu cenderung
menangkap mangsa yang aktif bergerak di dalam kolom air. Kerapu mempunyai

12

kebiasaan makan pada siang dan malam hari, lebih aktif pada waktu fajar dan
senja hari (Tampubolon dan Mulyadi, 1989). Berdasarkan prilaku makannya, ikan
kerapu menempati struktur tropik teratas dalam piramida rantai makanan
(Randall, 1987). Sebagai ikan karnivora, kerapu mempunyai sifat buruk yaitu
kanibalisme.

Kanibalisme

merupakan

salah

satu

penyebab

kegagalan

pemeliharaan dalam usaha pembenihan.


Ikan kerapu bebek merupakan hewan karnivora yang memangsa ikan-ikan
kecil, kepiting, dan udang-udangan. Ikan kerapu bebek bersifat karnifora dan
cenderung menangkap/memansa yang aktif bergerak di dalam kolam air
(Nybakken, 1988 dan Anonim, 2001). Ikan kerapu bebek mencari makan hingga
menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya dengan cara memakan satu per
satu makanan yang diberikan sebelum makanan tersebut sampai ke dasar
(Anonim, 2001 ).
Tidak semua makanan yang dimakan ikan digunakan untuk pertumbuhan.
Sebagian besar energi dari makanan digunakan untuk metabolisme basal
(pemeliharaan) sisanya digunakan untuk aktifitas, pertumbuhan dan reproduksi
(Fujaya, 2004).
II.6.

Pengendalian Hama dan Penyakit


Dalam suatu usaha pembenihan ikan yang intensif dengan padat penebaran

tinggi, dengan penggunaan pakan buatan yang sangat besar dapat mengakibatkan
terjadinya suatu masalah. Masalah terbesar yang sering dianggap menjadi
penghambat budidaya ikan adalah munculnya serangan penyakit. Serangan
penyakit yang disertai gangguan hama dapat menyebabkan pertumbuhan ikan

13

menjadi sangat lambat (kekerdilan), mortalitas meningkat, konversi pakan


manjadi sangat tinggi dan menurunnya hasil panen (produksi) (Rukyani, 2001).
Ikan yang dipelihara dapat terserang hama dan penyakit karena
diakibatkan oleh kualitas air yang memburuk dan malnutrisi. Ikan yang sehat akan
mengalami pertumbuhan berat badan yang optimal. Ikan yang sakit sangat
merugikan bagi para pembudidaya karena akan mengakibatkan penurunan
produktivitas. Oleh karena itu agar ikan yang dipelihara di dalam wadah
pembenihan tidak terserang hama dan penyakit harus dilakukan pencegahan.
Pencegahan merupakan tindakan yang paling efektif dibandingkan dengan
pengobatan, Sebab, pencegahan dilakukan sebelum terjadi serangan, baik hama
maupun penyakit, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar. (Sugama
dan Yuasa, 2001).
Penanggulangan masuknya bibit hama dan penyakit dapat dilakukan
dengan pemberian insektisida yang direkomendasikan pada saat pengisian air
kolam. Penanggulangan organisme patogen dapat dilakukan dengan pengelolaan
lingkungan budidaya yang baik serta pemberian pakan yang teratur dan
mencukupi. Pengobatan dapat menggunakan obat-obatan yang direkomendasikan.
Pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan melakukan persiapan kolam
secara baik. Jika perlu memperbaiki kondisi air kolam dengan menambahkan
bahan probiotik.
Ada dua cara pengendalian hama dan penyakit yang bisa dilakukan, yaitu
pencegahan dan pengobatan. Pencegahan merupakan upaya untuk menjaga agar
tidak terjadi serangan, sedangkan pengobatan merupakan upaya untuk mengobati
ikan-ikan yang sakit agar sembuh. Dari kedua cara tersebut, pencegahan

14

merupakan cara yang paling efektif dibanding pengobacan karena biayanya lebih
murah dan tidak ada efek sampingan terhadap ikan dan orang yang mengonsumsi
ikan.
II.7.

Panen
Kegiatan panen dan paska panen terutama pengangkutan menjadi faktor

penentu mutu benih dilokasi pembesaran. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan
guna mendukung keberhasilan panen antara lain persiapan, ukuran dan umur
benih, waktu dan cara panen. Ada dua tahap panen dalam usaha pembenihan,
yaitu panen benih dari hasil pemeliharaan larva dan panen benih dari hasil
pendederan. Transportasi benih yang biasa digunakan ada dua cara yaitu,
transportasi tertutup dan terbuka. Pengangkutan secara tertutup merupakan cara
paling umum digunakan meskipun dalam jarak dekat dan melalui jalan darat
karena cara ini lebih aman dan mudah pelaksanaannya. Pengangkutan yang waktu
angkutnya lebih dari 20 jam, sebaiknya dilakukan pengemasan ulang terutama
penggantian oksigen. Pengangkutan terbuka digunakan untu jarak dekat dan jalan
yang ditempuh melalui darat ( Dhoe dkk., 2004 ).
Pemanenan dilakukan setelah benih mencapai ukuran 5 7 cm atau
disebut gelondongan, ukuran ini bisa mencapai masa pemeliharaan 3 4 minggu.
Persiapan alat panen harus dilakukan untuk mendapatkan hasil panen yang
maksimal. Adapun alat yang digunakan pada pemanenan benih adalah skop-net,
wadah penampung seperti ember, dan waring. Waktu yang tepat dalam melakukan
pemanenan yaitu pada pagi dan sore hari. Pemanenan benih diawali dengan
pengurangan air dari dalam bak hingga tersisa 1/3 volume awal. Selanjutnya benih
digiring dengan waring ke sudut bak untuk mempermudah penangkapannya. Jika

15

benih telah berkumpul di sudut bak maka benih dapat dengan mudah di tangkap
dengan skop-net dan di masukkan ke wadah penampung (Akbar dan Sudaryanto,
2001).
Setelah dipanen benih yang akan dipasarkan dipacking menggunakan
kantong plastik jenis PL. Ketika benih akan dipacking, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan yaitu pada saat panen benih harus dalam kondisi dipuasakan
atau tidak diberi pakan yang disesuaikan dengan tingkat berat dan ukuran. Benih
yang berukuran kurang dari 3 gr dipuasakan 12 24 jam sebelumnya sedangkan
untuk yang lebih dari 3 gr, 36 46 jam menjelang pengangkutan. Kondisi benih
demikian sangat aman untuk di packing.
Packing dilakukan dengan cara meletakan kantong plastik dalam wadah
styrofoam dan diberi batu es secukupnya, kemudian ikan siap untuk dikirim ke
tempat tujuan. Biasanya, 1 wadah styrofoam ukuran standart 75 x 42 x 32 cm
dapat diisi 8 buah kantong plastik dan cukup diberi 2 buah batu es yang dibungkus
kantong plastik berukuran 10 x 15 cm dan koran bekas. Kepadatan setiap kantong
antara 20 25 ekor (Subyakto dan Cahyaningsih, 2005).

16

III.

METODE PRAKTEK

III.1. Waktu dan Tempat


Praktek magang ini dilaksanakan pada tanggal 23 Januari sampai 23
Februari 2014 bertempat di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo yang
terletak di Desa Klatakan Kecamatan Kendit Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa
Timur.
III.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam praktek magang ini yaitu larva ikan kerapu
bebek (Cromileptes altivelis), pakan alami minyak cumi, rebon, artemia, rotifera,
chlorella sp. pakan buatan yang digunakan sebagai pakan ikan antara lain
Otohime A1,B1, R2, pakan cair bahan-bahan desinfektan antara lain klorin,
vikron, develop, elbasin, dan kapurit untuk membersihkan bak-bak pemeliharaan
larva serta sarana dan prasana pendukung keberhasilan dalam kegiatan
pemeliharaan larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis) yang terdapat di Balai
Budidaya Air Payau Situbondo di Jawa Timur.
Sedangkan alat yang digunakan adalah aerasi untuk menambah kadar
Oksigen dalam air, keranjang, filter bag untuk menyaring air masuk, penggaris,
timbangan mikron untuk menimbang berat larva, mangkok, gayung untuk
memberi pakan alami dan bahan-bahan desinfektan, scoop net dan untuk
penyaringan pakan alami, hapa untuk penampungan larva sementara, baskom
untuk sampling dan grading, waring, gelas untuk sampling, selang dan pipa untuk
penyiponan, sikat untuk membersihkan lantai pembenihan, plastik untuk menutup

17

bak larva, peralatan praktek seperti pH meter untuk mengukur derajat keasaman
air (pH), refraktometer untuk mengukur salinitas, thermometer untuk mengukur
suhu, DO meter untuk menghitung oksigen terlarut, spectrometer untuk mengukur
amoniak, titrasi untuk mengukur hardness, aquarium, aerator. Peralatan tulis
seperti buku tulis, pena, pensil, penggaris, dan kusioner serta kamera sebagai
dokumentasi dari kegiatan magang ini.
III.3. Metode Praktek
Metode yang digunakan dalam praktek ini adalah metode studi kasus atau
mengikuti aktivitas dan melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan budidaya
yang dilaksanakan di BBAP Situbondo. Data yang dikumpulkan meliputi data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil praktek yang di
laksanakan di Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Data sekunder diperoleh dari
instansi terkait yang berhubungan dengan data yang diperlukan, serta
ditambahkan dengan literatur yang mendukung kelengkapan dan kejelasan
mengenai data yang didapatkan tersebut.
III.4. Analisis Data
Data yang didapat dari Balai Budidaya Air Payau Situbondo dikumpulkan
dan ditabulasikan dalam bentuk tabel serta dianalisis secara deskriptif untuk
memberikan gambaran tentang teknik pemeliharaan larva di Balai Budidaya Air
Payau Situbondo dan masalah-masalah yang ada yang kemudian akan dicari
solusinya.
III.4.1.Data Primer
Data primer sangat diperlukan dalam pembuatan laporan praktek magang
ini, data primer diperoleh dari hasil observasi dan wawancara. Data observasi

18

diperoleh dengan cara mengamati dan mencatat kegiatan-kegiatan apa saja yang
dilakukan serta berpartisipasi langsung di dalam kegiatan yang dilakukan selama
praktek di lapangan. Namun data yang diperoleh dengan observasi tidaklah cukup
untuk mendapatkan informasi mengenai pemeliharaan larva, oleh karena itu
dilakukan wawancara

yang diperoleh dengan cara bertanya jawab dengan

narasumber yang bersangkutan secara sistematis berdasarkan pada tujuan


penelitian dan diperlukan komunikasi yang baik antara peneliti dan narasumber
atau pegawai yang bersangkutan. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis
secara deskriptif untuk mengetahui teknik pemeliharaan larva yang tepat sesuai
Standar Prosedur Operasional (SPO) di Balai Budidaya Air Payau Situbondo serta
permasalahan yang ada dapat diatasi dan menganalisis prospek pengembangan
dimasa mendatang.
Data yang di ukur pada meliputi derajat penetasan telur (Hatching Rate),
pertumbuhan panjang mutlak, berat mutlak dan kelulushidupan larva (Survival
Rate). Adapun data tersebut di hitung dengan menggunakan rumus:
1. Menurut Murtidjo (2001), HR dapat dihitung menggunakan rumus berikut ini:
HR =

Jumlah telur yang menetas(ekor)


Jumlah telur yang ditebar

x 100%

2. Pertumbuhan Berat Mutlak sesuai dengan rumus yang dikemukan oleh


Effendi (2004):
Wm = Wt Wo
Keterangan :
Wm : Pertumbuhan berat mutlak (gr)
Wt

: Berat akhir larva ikan (gr)

19

Wo : Berat awal larva ikan (gr)


3. Pertumbuhan Panjang Mutlak sesuai dengan rumus yang dikemukan oleh
Effendi (2004) :
Lm = Lt Lo
Keterangan :
Lm : Pertumbuhan Panjang mutlak (mm)
Lt

: Panjang akhir larva ikan (mm)

Lo

: Panjang awal larva ikan (mm)

4. Tingkat kelangsungan hidup sesuai dengan rumus yang dikemukakan oleh


Effendi (2004) :
Nt
SR = No

x 100%

Keterangan :
SR : Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt : Jumlah total ikan hidup sampai akhir penelitian
No : Jumlah total ikan pada awal penelitian
III.4.2.Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi terkait yang
berhubungan dengan data yang diperlukan, serta ditambahkan melalui studi
pustaka dari buku buku, jurnal dan literatur lainnya yang menyangkut diluar halhal dari kegiatan magang yang dilakukan.

20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Profil BBAP Situbondo


4.1.1. Sejarah Berdirinya Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo
Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo berdiri pada tahun 1986
yang pada awalnya bernama proyek Sub Senter Udang Windu Jawa Timur di
bawah naungan Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian. Sub senter
udang windu ini terletak di Desa Blitok, Kecamatan Mlandingan Kabupaten
Situbondo dan merupakan cabang dari BBAP Jepara, Jawa Tengah. Kemudian
melepaskan diri dari BBAP Jepara dan berganti nama menjadi Loka Balai
Budidaya Air Payau yang ditetapkan pada tanggal 18 april 1994 melalui surat
keputusan Menteri Pertanian nomor : 246/Kpts/OT.210/4/94. Loka Balai
Budidaya Air Payau terdiri dari tiga divisi meliputi divisi ikan, divisi udang dan
divisi budidaya.

Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 2. BBAP Situbondo

21

Loka Balai Budidaya Air Payau Situbondo merupakan Unit Pelaksana


Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan bidang pengembangan produksi
budidaya perikanan air payau yang bertanggung jawab kepada Direktorat Jendral
Perikanan. Dengan beban tugas dan tanggung jawabnya semakin berat maka pada
tanggal 1 mei 2001 Status Loka Balai Budidaya Air Payau berubah nama menjadi
Balai Budidaya Air Payau Situbondo berdasarkan surat Keputusan menteri
perikanan dan Kelautan No. KEP.26 D.MEN/2001.
4.1.2. Lokasi dan Letak Geografis BBAP Situbondo
Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo terdiri dari lima divisi yakni,
divisi ikan, divisi udang, divisi budidaya, instalasi udang Gelung dan instalasi
pembenihan udang Tuban. Secara geografis BBAP Situbondo terletak pada posisi
11305556 BT 11400000 BT dan 0704032 LS 0704235 LS. Divisi ikan
sekaligus sebagai kantor utama BBAP Situbondo terletak di Dusun Pecaron, Desa
Klatakan, Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo. Divisi udang terletak di
Desa Blitok, Kecamatan Mlandingan Kabupaten Situbondo. Sedangkan divisi
budidaya berlokasi di Desa Pulokerto, Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.
Sedangkan instalasi pembenihan Gelung terletak di Desa Gelung, Kecamatan
Panarukan Kabupaten Situbondo. Batas-batas lokasi BBAP Situbondo yakni :
1.
2.
3.
4.

Sebelah utara berbatasan dengan selat Madura


Sebelah Timur berbatasan dengan PT. Central Pertiwi Bahari (CPB)
Sebelah selatan berbatasan dengan rumah penduduk
Sebelah barat berbatasan dengan pemukiman penduduk Desa Klatakan

4.1.3. Tugas dan Fungsi BBAP Situbondo


Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
KEP.26D/MEN/2001, Balai Budidaya Air Payau Situbondo mempunyai tugas

22

melaksanakan penerapan teknik pembenihan pembudidayaan ikan air payau serta


pelestarian sumberdaya induk/benih ikan dan lingkungan. Dalam melaksanakan
tugas, BBAP Situbondo menyelenggarakan fungsi :
1. Pengkajian, pengujian, dan bimbingan penerapan standar pembenihan dan
pembudidayaan ikan air payau
2. Pengkajian standar dan pelaksanaan sertifikasi sistim mutu dan sertifikasi
personil pembenihan serta pembudidayaan ikan air payau
3. Pengkajian system dan tata laksana produksi dan pengelolaan induk penjenis
dan induk dasar ikan payau
4. Pelaksanaan pengujian teknik pembenihan dan pembudidayaan ikan air payau
5. Pengkajian standar pengawasan benih, pembudidayaan, serta pengendalian
hama dan penyakit ikan air payau
6. Pengkajian standar pengendalian lingkungan dan sumber daya induk/benih
ikan air payau
7. Pelaksanaan sistim jaringan labolatorium pengujian, pengawasan benih, dan
pembudidayaan ikan air payau
8. Pengelolaan dan pelayanan informasi dan publikasi pembenihan dan
pembudidayaan ikan air payau
9. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
4.1.4. Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja
Berdasarkan surat keputusan menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP. 26
D/MEN/2001 pembagian tugas dan fungsi kerja dengan susunan organisasi terdiri
dari seksi standarisasi dan informasi, seksi pelayanan teknis, sub bagian tata usaha
dan kelompok jabatan fungsional.
Kepala

BBAP Situbondo

bertugas

untuk

merumuskan

kegiatan,

mengkoordinasi dan mengarahkan tugas penerapan teknik pembenihan dan


pembudidayaan ikan air payau serta pelestarian sumber daya induk atau benih
ikan air payau dan lingkungan serta membina bawahan dan di lingkungan BBAP

23

Situbondo sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku untuk kelancaran
pelaksanaan tugas.
Seksi standarisasi dan informasi mempunyai tugas untuk melakukan
pengkoreksian data yang telah diperoleh dari pembenihan dan pembudidayaan air
payau, menyiapkan bahan bahan standar teknik dan pengawasan pembenihan dan
pembudidayaan ikan air payau, pengendalian hama dan penyakit ikan,
lingkungan, sumberdaya induk serta segala kegiatan yang dilakukan ditempat
tersebut. Sub bagian tata usaha mempunyai tugas melakukan administrasi
keuangan, kepegawaian, persuratan, perlengkapan dan rumah tangga serta
pelaporan. Kelompok jabatan fungsional di lingkungan BBAP Situbondo bertugas
melaksanakan kegiatan perekayasaan, pengujian, penerapan, bimbingan hama dan
penyakit ikan, pengawasan pembenihan, pembudidayaan dan penyuluhan serta
kegiatan lain sesuai tugas masing-masing jabatan fungsional berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Struktur organisasi tenaga kerja
secara menyeluruh dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tenaga Kerja Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo Tahun 2013
Tenaga Jumlah
Pegawai Negeri Sipil
kontrak
SDM
Gol
Tingkat pendidikan
Gol I
Gol II Gol III
IV
DOKTOR S-3
- Akuakultur
1
1
MAGISTER S-2
- Biologi
2
1
3
- Manajemen
2
2
- Akuakultur
4
2
6
- Pertanian
1
1
SARJANA S-1
- Perikanan
24
3
4
31
- Biologi
1
1
- Pertanian
3
3
- Ekonomi
3
1
4
- Kedokteran Hewan
1
1

24

- Hukum
- Teknik Kimia
- Administrasi Negara
DIPLOMA 4 (D4)
- Budidaya Perikanan
DIPLOMA 3 (D3)
- Perikanan
- Kimia
- Peralatan Mesin
- Akuntansi
- Informatika
SEKOLAH LANJUTAN
- SMA
- SUPM
- SPMA
- SFMA
- STM Bangunan
- STM Mesin
- STM Listrik
- SMEA
- SMK
- SLTP
SEKOLAH DASAR
- SD
JUMLAH
Sumber : BBAP Situbondo 2013

3
1
1

1
1

4
1
2

6
1
1
-

2
1
-

3
1
1

11
1
2
1
1

2
5
1
1
-

3
1
1
1
1
1
1
-

9
1
3
6
3
1
6
9

14
7
1
1
4
8
3
2
7
10

1
2

17

59

11

9
59

10
148

25

Kepala Balai
Ir. Dwi Soeharmanto,M.

Kepala Seksi bag. Tata


usaha

Kepala Seksi Pelayanan Teknis


Akhmad Bohani Muslim SP, M.Si

Kepala Seksi Stand. dan Info


Ahmad Romadlon, S.PT, M. Si

Kelompok Jabatan Fungsional

Perekayasaan

Litkayasa

Pengawas Benih
Peng. Hama dan Penyakit

Pengawas Budidaya

Pranata Humas

Gambar 3. Struktur Organisasi BBAP situbondo


4.1.5. Fasilitas
4.1.5.1. Fasilitas Utama
Wadah yang digunakan di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo
untuk melaksanakan kegiatan pembenihan meliputi tandon air yang berbentuk
persegi panjang yang terbuat dari beton dengan berbagai ukuran, wadah
pemeliharaa induk, wadah inkubasi telur (aquarium), wadah penetasan telur,
wadah pemeliharaan larva, wadah kultur pakan alami chlorella sp, rotifera,
karantina induk, tambak udang vanname, dan broodstock center udang vanname.

26

a. Bak Pemeliharaan Induk


Bak pemeliharaan induk yang terdapat di BBAP Situbondo berjumlah 6
buah yang terbuat dari beton berbentuk bulat dengan diameter 10 m dan
kedalaman 3 m dengan ketebalan 20 cm dan mampu menampung air dengan
kapasitas 235,5 ton, serta dibagian luar bak dilengkapi dengan bak tempat
penampungan telur. Bak tempat penampung telur dilengkapi dengan egg colector
yang berbentuk segi empat dengan jaring berwarna putih dengan ukuran mata
jaring 200 mikron. Bentuk bak pemeliharaan induk di BBAP Situbondo dapat
dilihat pada Gambar 4.

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar 4. Bak Pemeliharaan Induk


b. Bak Pemeliharaan Larva
Bak pemeiharaan larva yang terdapat di BBAP Situbondo semuanya
berjaumlah 24 bak. Bak-bak larva tersebut dibagi atas 3 divisi, 12 bak terdapat
pada pembenihan barat, 6 bak terdapat pada pembenihan tengah dan 6 bak
terdapat pada pembenihan timur dengan kapasitas bak 12 ton. Bak pemeliharaan
juga berfungsi sebagai bak penetasan telur dan bak pembenihan berukuran 5 x 2 x

27

1.25 m terbuat dari beton memiliki sudut yang tumpul untuk berfungsi untuk
memudahkan dalam pembersihan bak. Masing-masing bak dilengkapi dengan
selang aerasi sebanyak 16 dan dihubungkan dengan pipa aerator inchi dan pada
bak larva juga dilengkapi dengan pipa inlet berukuran 3 inchi untuk pemasukan
air laut dan pakan alami chlorella sp serta pipa outlet berdiameter 4 inchi untuk
pembuangan. Bak pemeliharaan larva dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 5. Bak pemeliharaan larva pembenihan timur


c. Bak Kultur Pakan Alami
Bak pakan alami yang di kultur secara massal untuk pemeliharaan larva
antara lain chlorella sp, rotifera terdapat diluar ruangan (outdoor) bertujuan untuk
membantu pertumbuhannya karena terkena sinar matahari langsung. Bak kultur
pakan alami terbagi dua bagian, yaitu bak kultur di pembenihan barat yang
berjumlah 16 bak, 4 bak untuk pakan alami fitoplankton (Chlorella sp) dan 12 bak
untuk pakan alami zooplankton (rotifera). Pada pembenihan timur total bak kultur
pakan alami berjumlah 14 bak, 10 bak untuk kultur pakan alami fitoplankton
(Chlorella sp) dan 4 bak untuk kultur pakan alami zooplankton (rotifera). Bakbak tersebut berukuran 5 x 3x 1,4 dengan kapasitas 12 ton dan pada semua bak
dilengkapi dengan beberapa titik aerasi.

28

(a)

Sumber :Dokumentasi pribadi

(b)
Gambar 6. Bak pakan alami chlorella sp (a), bak pakan alami rotifera (b)
d. Bak Penampungan air
1) Air laut
Sistem pemasukan air laut pada awalnya diambil dengan pompa sejauh
200-300 m dari permukaan laut dengan menggunakan pompa yang berkapasitas
7,5 PK melalui pipa PVC berukuran 4 inchi, pada bagian ujungnya di bungkus
waring dan ijuk untuk mencegah partikel kasar dari perairan. Lalu air ditampung
didalam bak tandon berukuran 4 x 4 x 2,5 yang didalamnya terdapat filter mekanis

29

berukuran 225 x 80 x 100 cm dengan komposisi batu kerikil, arang kayu atau
arang tempurung kelapa, ijuk dan pasir yang pada setiap lapisan di beri waring
sebelum dialirkan ke masing-masing bak. Bak penampung air laut berjumlah 3
unit namun yang digunakan hanya 2 yaitu untuk pembenihan barat, pembenihan
tengah dan pembenihan timur. Air laut yang digunakan untuk kegiatan
pembenihan dan kultur pakan alami adalah air yang telah melewati sistem filtrasi.
Tandon air laut dapat dilihat pada Gambar 5.

(A)

(B)
Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 7. (A) Tandon air laut, (B) Pompa air laut


Untuk lebih detailnya, jumlah dan spesifikasi fasilitas wadah budidaya di
BBAP Situbondo dapat dilihat pada Tabel 2.

30

Tabel 2. Fasilitas wadah budidaya di BBAP Situbondo


Bakb

Bak

Bentuk

Ukuran

Volume

Jumlah

1. Tandon

Persegi

4,2 x 4,2 x 2,3 m

41, 45 ton

4 unit

2. Bak filter fisik

Persegi

4,2 x 4,2 x 1,37 m

24, 16 ton

5 unit

3. Pemeliharaan induk bandeng

Bulat

D: 10 m, t: 3 m

33, 9 ton

3 unit

4. Pemeliharaan induk kerapu

Bulat

D: 10 m, t: 3 m

23, 5 ton

4 unit

5. Pemijahan induk kerapu

Bulat

D: 10 m, t: 3 m

23, 5 ton

4 unit

6. Pemijahan induk bandeng

Bulat

D: 10 m, t: 3 m

33, 9 ton

3 unit

7. Penetasan telur (aquarium)

Persegi

50 x 50 x 50 cm

100 l

5 unit

8. Penetasan Telur

Persegi

2 x 5 x 1,25 m

12 ton

24 unit

9. Pemeliharaan larva

Persegi

2 x 5 x 1,25 m

12 ton

24 unit

10. Pemeliharaan benih

Persegi

2 x 5 x 1,25 m

12 ton

24 unit

11. Chlorella

Persegi

3 x 5 x 1,4 m

21 ton

14 unit

12. Rotifera

Persegi

2 x 5 x 1,25 m

12 ton

16 unit

13. Bak karantina

Persegi

2 x 5 x 1,25 m

12 ton

8 unit

Sumber : BBAP Situbondo 2014

2) Air tawar
Air tawar diperoleh dari sumur bor dengan kedalaman 80-100 m dan
ditampung di bak tandon air tawar. Bak penampung air tawar memiliki

31

kapasitas 8 ton. Air tawar akan didistribusikan menggunakan pipa yang


terdapat di bawah dan disuplai ke unit pembenihan, perumahan karyawan,
asrama, laboratorium, kantor dan lain-lain. Tandon air tawar dapat dilihat
pada Gambar 6.

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar 8. Tandon air tawar


e. Sistem aerasi
Aerasi berfungsi untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut didalam air
agar suplay oksigen untuk ikan yang dipelihara cukup, maka untuk menyuplai
oksigen diperlukan blower sebagai sumber oksigen. BBAP Situbondo
menggunaan blower berkekuatan 4,5 PK yang dialirkan melalui pipa paralon ke
bak pemeliharaan induk, pembenihan, kultur pakan alami, dan laboratorium untuk
budidaya alga menggunakan bower 100 watt (1,5 PK).
Tabel 3. Sumber aerasi berupa blower dan spesifikasinya di Balai Budidaya Air
Payau (BBAP) Situbondo

32

No
1

Sumber aerasi
Blower Fortex

Daya
Daya 7 PK

Rood Blower

Daya 5 PK

Blower vortex 2

Daya 7 PK

Distribusi
Bak penggelondongan dan bak induk
timur
Bak karantina, pembenihan timur,
pembenihan tengah dan kultur pakan
alami timur
Pembenihan barat, kultur pakan
alami barat dan sebagian pembenihan
timur

Sumber : BBAP Situbondo 2013

4.1.5.2. Fasilitas Pendukung


1. Tenaga Listrik
Sumber tenaga listrik yang digunakan di Balai Budidaya Air Payau
Situbondo berasal dari PLN dengan kapasitas 60 KVA dengan tegangan 220 volt.
BBAP Situbondo memiliki cadangan listrik berupa generator set (Genset)
sebanyak 3 buah dengan kapasitas 80 KVA.
2. Bangunan
Fasilitas pendukung yang dimilki oleh BBAP Situbondo antara lain, rumah
karyawan, asrama, laboratorium kesehatan dan lingkungan, laboratorium pakan
alami, laboratorium nutrisi dan pakan, guest house, auditorium, ruang kuliah,
perpustakaan, koperasi, musholla.

33

Tabel 4. Fasilitas pendukung di BBAP Situbondo


Uraian

Spesifikasi

Jumlah

1. Tenaga listrik

Pln 60 kva

1 unit

Genset 80 KVA
Kantor Utama

2 Unit
1 Unit

Kantor tata usaha


Laboratorium pakan alami

1 unit
1 unit

Laboratorium nutrisi

1 unit

Laboratorium kesehatan dan

1 unit

2. Kantor
3. Laboratorium

lingkungan
4. Rumah karyawan
5. Asrama
6. Bangsal pakan
8. Alat transportasi

7. Lain-lain

Sumber : BBAP Situbondo 2013

Bioteknologi
Rumah karyawan

1 unit
7 unit

Rumah tamu

1 unit

Mahasiswa dan Peserta PKL

16 kamar

Pembuatan pakan ikan

1 unit

Pick up L-300

1 unit

Isuzu panther

1 unit

Ford ranger

1 unit

Mobil kesehatan dan lingkungan


Toyota hilux

1 unit
1 unit

Kijang innova

2 unit

Honda CRV

1 unit

Isuzu Elf

1 unit

Truk mitsubishi

1 unit

Bus
Auditorium
Ruang kuliah

1 unit
1 unit
1 unit

Perpustakaan

1 unit

Musholla

1 unit

34

4.2. Teknik Penanganan Telur


4.2.1. Persiapan Wadah Penetasan Telur
Sebelum dilakukan proses penetasan telur terlebih hal yang harus
dilakukan terlebih dahulu adalah persiapan wadah. Bak yang digunakan pada
proses penetasan telur yaitu bak berukuran 2 x 5 x 1,25 m dengan kapasitas
optimal 10 ton. Bak beton yang digunakan berbentuk persegi panjang dengan
sudutnya yang dibuat melengkung dengan tujuan agar mempermudah proses
pembuangan dan pembersihan bak. Bak-bak tersebut juga dilengkapi oleh saluran
inlet dan outle yang terbuat dari pipa PVC. Saluran inlet pada bak terbagi 2 yaitu
saluran untuk pemasukan pakan alami chlorella sp. dengan ukuran pipa inchi
dan saluran inlet untuk pemasukan air laut dengan ukuran pipa 2 inchi. Sedangkan
ukuran saluran pipa outlet yaitu 3 inci.
Bak penetasan dan seluruh peralatan yang akan digunakan seperti selang
aerasi, dan batu aerasi yang akan digunakan terlebih dahulu di sinfektan dengan
larutan kaporit dengan dosis 100-150 ppm dan dibiarkan hingga kering selama 1-2
hari. Pemberian kaporit ini berfungsi agar dapat mematikan mikroba-mikroba
yang bersifat patogen yang menempel pada dinding dan dasar bak. Kemudian
dilakukan pemasangan aerasi pada 16 titik bak penetasan dengan pengaturan
kecepatan gelembung udara berkisar 25 % bertujuan agar telur yang ditebar dapat
teraduk secara merata dan dilakukan pemasangan termometer pada bak penetasan
telur. Bak untuk penetasan telur dan juga untuk pemeliharaan larva terletak
diruangan tertutup untuk menjaga kestabilan suhu dan mengurangi intensitas
cahaya yang masuk agar tidak terlalu tinggi. Setelah pengeringan selesai, bak
dicuci dengan menggunakan deterjen hingga bau kaporit hilang lalu bak diisi

35

dengan air laut sebanyak 9 ton melalui pipa inlet air laut dan engisian air
membutuhkan waktu 1-2 jam.
Air laut yang digunakan untuk media penetasan telur dan pemeliharaan
larva berasal dari bak tandon air laut yang terdapat di dekat kultur pakan alami
chlorella sp bagian timur. Pada saat pemasukan air dibagian ujung pipanya diberi
filter bag agar kotoran tidak masuk. Sebelum digunakan untuk media penetasan
telur air laut yang telah diisi pada bak tandon di treatment terlebih dahulu. Cara
treatment air yang telah berada pada bak tandon yaitu dengan pemberian larutan
formalin 600 ml lalu didiamkan selama 8 jam. Kemudian diberi larutan Nathiosulfat dengan dosis dari dosis disenfektan yang diberikan sehingga air laut
netral dan siap digunakan untuk kegiatan penetasan dan pemeliharaan larva. Air
dialirkan melalui pipa inlet yang telah terpasang pada bak penetasan. Namun,
sebelum dilakukan pengisian air pada bagian ujung pipa inlet diberi filter bag
yang berfungsi sebagai penyaring air agar

Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 9. Wadah penetasan telur


4.2.2. Penebaran dan penetasan telur
Bak yang telah telah diisi air kemudian diberi aerasi siap digunakan untuk
penebaran telur. Penebaran telur dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 08.0009.00 wib. Sebelum telur ditebar, telur yang berada di plastik packing

36

diaklimatisasi selama 30 menit. Aklimatisasi bertujuan untuk menyesuaikan suhu


lingkungan didalam plastik packing dengan suhu wadah penetasan karena dapat
mempengaruhi hatching rate, tingkat kelangsungan hidup larva selama
pemeliharaan. Telur ditebar secara perlahan-lahan pada aerasi agar telur dapat
merata keseluruh wadah pemeliharaan. Telur ditebar pada bak 5 dan 6 berjumlah
100.000-200.000 butir telur/bak. Setelah penebaran telur wadah penetasan ditutup
dengan plastik biru agar suhu media pemeliharaan stabil dan mengurangi
intensitas cahaya. Telur yang telah ditebar akan menetas dalam waktu 20-24 jam
dengan suhu 28-30 oC dan salinitas 32-34.

Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 10. Penebaran telur kerapu bebek (Cromileptes altivelis)


4.2.3. Perhitungan Hatching Rate (HR)
Hatching rate (HR) adalah daya tetas telur atau jumlah telur yang menetas.
Untuk mendapatkan HR maka harus dilakukan sampling larva langsung di bak
penetasan untuk mendapatkan jumlah larva, Menurut Murtijo (2001), HR dapat
dihitung menggunakan rumus berikut ini :
HR=

Jumlah telur yang menetas


jumlah telur yang ditebar

x 100 %

37

4.3. Teknik Pemeliharaan Larva


4.3.1. Perkembangan Larva
Telur yang telah terbuahi akan mengalami perkembangan menjadi larva.
Larva yang baru menetas atau D1 memiliki panjang tubuh 1,47-2,25 mm memiliki
warna tubuh putih transparan dan bersifat primitif karena pergerakannya
diperairan belum aktif sehingga melayang-layang mengikuti arus yang
ditimbulkan oleh gelembung aerasi. Oleh karena itu pada awal pemeliharaan
larva hingga berumur 8-10 hari diberikan minyak cumi untuk mengurangi
terjadinya tegangan permukaan sehingga tubuh larva tidak terbawa ke permukaan
perairan. Jika larva berada diatas permukaan air terlalu lama maka ia akan
terjebak di permukaan dan tak bisa lagi kembali ke bawah air ini dikarenakan
larva bersifat planktonis atau bergerak mengikuti arus air.
Salah satu penyebab mortalitas tinggi pada larva salah satunya yaitu
karena kurangnya pemberian minyak cumi pada awal pemeliharaan larva sehingga
larva terperangkap pada tegangan permukaan air. Selain itu larva yang baru
menetas cenderung memiliki respon terhadap cahaya sehingga saat larva melihat
cahaya pada permukaaan perairan maka larva akan cenderung berenang naik ke
permukaan perairan dan kebanyakan larva tidak dapat turun karena terjebak di
permukaan air. Perkembangan larva dapat dilihat pada Tabel 5.

38

Tabel 5. Pertumbuhan larva kerapu bebek


Umur
D1

Tahap Perkembangan
Panjang (mm)
Larva berwarna transparan, saluran pencernaan 1,49
sudah mulai terlihat, tapi mulut dan anus masih

D2-D3

tertutup, masih memiliki yolk egg (kuning telur)


Kuning telur (yolk egg) mulai habis, telah timbul 2,4 - 2,9

D8-D10
D12-D15

bintik hitam di bagian kepala


Bakal sirip punggung telah mulai kelihatan
3 - 3,9
Tonjolan bakal sirip punggung dan sirip perut 5, 18 - 6, 21

D20-D25

telah terlihat panjang


Mengalami metamormofis, spina menjadi duri 9,43 - 10,21

D30

keras pertama pada sirip punggung dan sirip perut


Mulai tumbuh bintik hitam dan bintik hitam itu 13,22 - 15,1
akan merata hingga D45, sebagian larva yang
mengalami pertumbuhan cepat telah menjadi
burayak atau menyerupai ikan kerapu dewasa
Dari tabel diatas dapat dilihat perkembangan larva mulai D1 hingga D30.

Pada awal perkembangan larva D1 bentuk tubuh larva masih primitif, mulutnya
masih tertutup dan gerakannya planktonik atau masih mengikuti arus, tubuh
transparan dan masih mengandalkan kuning telur sebagai makanannya hingga
berumur D3 atau 3 hari pasca menetas. Pada D4 mulai muncul bintik hitam dan
itu menandakan mulut telah terbuka dan saat pasokan kuning telur telah habis
maka larva telah bisa memakan plankton seperti rotifera dan chlorella sp.
Perkembangan sirip punggung mulai terlihat pada umur D8, bakal sirip punggung
mulai berkembang hingga berumur D20 sirip punggung telah terbentuk dengan
sempurna. Larva mengalami pertambahan panjang tubuh sangat singnifikan pada
umur D12 D25 dengan penambahan panjang lebih dari 3 mm. Dari data
pertambahan panjang yang telah diketahui dapat dihitung pertumbuhan panjang
mutlak larva selama pemeliharaan dengan rumus :

39

Lm

= Lt Lo
= 1, 49 15,1
= -13,61

Lm

= - 13,61
Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa pertumbuhan panjang mutlak larva

ikan kerapu bebek (croileptes altivelis) pada awal pemeliharaan hingga berumur
D30 yaitu 13,61 mm. Dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan baru
terdapat beberapa fase kritis yang dapat mengakibatkan mortalitas pada larva.

Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 11. Tahap perkembangan larva :


1. D1

3. D8-D13

2. D4-D7

4. D19-D22

40

Fase-fase kritis dalam tahap perkembangan larva antara lain:


Fase kritis I
D3-D7 persediaan yolk egg sebagai makanannya telah habis namun mulut
larva masih terlalu kecil untuk memakan rotifer serta organ pencernaan belum
berkembang secara sempurna sehingga belum mampu untuk memanfaatkan
makanan yang diberikan.
Fase kritis II
D10-D14 awal mulai tumbuhnya sensor sehingga membutuhkan tambahan
nutrisi untuk pertumbuhan namun pakan yang diberikan namun pada umur
tersebut pakan yang diberikan masih sama dengan fase selanjutnya.
Fase kritis III
D21-D25 metamorfosa spina berubah menjadi sirip punggung.
Fase kritis IV
D35 sifat kanibal mulai muncul sehingga perlu dilakukan grading atau
pemilahan ukuran.
4.3.2. Manajemen Pemberian pakan
Pakan adalah faktor yang sangat berperan penting dalam menentukan
keberhasilan pemeliharaan larva hingga dapat mengasilkan benih nantinya. Pakan
juga merupakan dapat mempengaruhi laju pertumbuhan larva baik dari segi
kyangualitas maupun kuantitas. Pakan yang diperoleh larva kerapu bebek pada
awal pemeliharaan biasanya berasal dari yolk egg sehingga belum membutuhkan
pakan dari luar. Pada saat yolk egg telah habis maka larva akan beradaptasi untuk
mengkonsumsi pakan yang diberikan dari luar. Pemberian pakan pertama kali
dilakukan yaitu pada hari ke 3 setelah menetas atau D2 karena kuning telur telah

41

habis. Pemberian pakan pertama kali biasanya pada sore hari karena diperkirakan
pada malam hari terjadi perubahan pola makan larva dari endogeneus menjadi
eksogeneus. Pakan diberikan secara ad libitum atau pakan selalu tersedia dalam
bak pemeliharaan. Pakan yang diberikan pertama kali yaitu minyak cumi dan
waktu pemberian pakannya biasanya pukul 06.00 pagi dan pada pukul 15.00 sore.
Metode pemberian minyak cumi sebagai pakan larva dengan cara
menebarkan pada beberapa titik aerasi yang terdapat pada bak pemeliharaan dan
dengan sendirinya minyak cumi tersebut akan menyebar merata dengan sendirinya
ke seluruh bagian bak. Pada fase ini

larva mengalami fase kritis karena

sebenarnya bukaan mulut larva belum sempurna sehingga belum dapat


memanfaatkan pakan dari luar secara optimal. Hal inilah yang menyebabkan
tingginya tingkat mortalitas yang terjadi pada larva kerapu bebek (Cromileptes
altivelis) hingga saat ini. Chlorella menjadi pakan alami larva dan sekaligus dapat
dijadikan media pemeliharaan larva kerapu bebek (cromileptes altivelis). Selain
pakan alami chlorella, dalam kegiatan pemeliharaan larva kerapu bebek
(Cromileptes altivelis) juga diberikan beberapa jenis pakan alami yang lainnya
seperti rotifera, artemia sp, rebon (jambret) dan jenis-jenis pakan buatan yang
diberikan berupa otohime (A1 dan B1), rotemia.
4.3.2.1. Pakan Alami dan Kultur Chlorella sp (Nannochloropsis aculata)
Pakan alami sangat penting sebagai pakan untuk larva kerapu bebek
karena memiliki ukuran yang sangat kecil serta sesuai dengan bukaan mulut larva.
Kultur pakan alami berfungsi untuk menjamin ketersediaan pakan alami secara
berkesinambungan sesuai kebutuhan yang dibutuhkan oleh ikan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis). Chlorella sp dengan jenis Nannochloropsis aculata adalah

42

salah satu jenis pakan alami yang di budidayakan di BBAP Situbondo.


Nannochloropsis aculata adalah salah satu pakan alami yang memiliki kandungan
nutrisi tinggi, yang sesuai dengan bukaan mulut larva, mudah diproduksi secara
massal, dan cepat berkembang biak serta memiliki toleransi tinggi terhadap
lingkungan.
Pemberian pakan Nannochloropsis aculata pada larva ikan kerapu bebek
(cromileptes altivelis) mulai D2 menggunakan pipa PVC ukuran inchi yang
terdapat pada bagian sudut bak larva. Pipa tersebut dihubungkan langsung dari
selang bak kultur Nannochloropsis aculata ke pemeliharaan larva. Pada saat
pemberian Nannochloropsis aculata pada ujung pipa PVC diberikan plastik filter
atau pryaring untuk mencegah kotoran masuk ke dalam bak. kepadata chlorella sp
yang diberikan pada larva berkisar antara 50.000-100.000 sel/ml dengan frekuensi
pemberian sebanyak 1 kali sehari yaitu pukul 06.00-07.00 pagi. Tujuan dari
pemberian Nannochloropsis aculata adalah sebagai keseimbangan air serta
sebagai penyangga kualitas air.
Teknik kultur massal pakan alami Nannochloropsis aculata yaitu diawali
dengan persiapan bak kultur. Bak yang digunakan dalam kultur Nannochloropsis
aculata berukuran 5 x 3 x 1,4 m dengan kapasitas optimal 18 ton serta dilengkapi
dengan aerasi sebanyak 3 titik. Bak diisi air sebanyak 7 ton dan diberi kaporit
dengan dosis 5 ppm (50 gr). Bak didiamkan selama 12 jam dan dinetralkan
dengan larutan Na thiosulfat dengan dosis 1,25 ppm. Setelah itu di cek kenetralan
air dengan menggunakan larutan klorin dengan cara mengambil sampel air dengan
botol lalu teteskan 2 tetes klorin dan dilihat warnanya. Apabila air berwarna
orange maka airnya belum netral dan jika airnya tidak berwarna maka airnya telah

43

netral. Setelah air netral selanjutnya dilakukan pemasukan bibit menggunakan


pipa celup 1 sebanyak 3 ton dan diberi aerasi kuat untuk menyebarkan
Nannochloropsis aculata secara merata keseluruh bak. Bibit yang digunakan
berasal dari bak lain yang telah panen dan pada umumnya telah berumur 3-7 hari.
Selanjutnya dilakukan proses penebaran pupuk, komposisi pupuk yang akan
diberikan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi jenis pupuk kultur Nannochloropsis aculata
Jenis Bahan
Urea
ZA
TSP
FeCl3
EDTA

Dosis (ppm)
50-60
30-40
20-30
1
1

Semua bahan-bahan untuk pembuatan pupuk terlebih dahulu dicampur


hingga merata ditambahkan air secukupnya dan baru dilakukan penebaran.
Penebaran pupuk dilakukan dengan cara menaburi dibagian aerasi agar merata
keseluruh bak. pemberian pupuk berfungsi untuk pertumbuhan Nannochloropsis
aculata karena adanya unsur nitrogen dan fosfat. Panen Nannochloropsis aculata
dilakukan pada hari ke 5-7 melalui pipa PVC Nannochloropsis aculata dialirkan
ke bak rotifera dan pemeliharaan larva.

(1)

Sumber :Dokumentasi pribadi

(2)

44

Gambar 12. Pupuk kultur chlorella (1) dan Pemasukan bibit (2)
4.3.2.2. Pakan alami dan Kultur Rotifera (Brachionus plicatilis)
Rotifera juga salah satu pakan alami yang memiliki nutrisi yang tinggi dan
sangat baik digunakan sebagai pakan untuk larva. Rotifera mulai diberikan pada
larva umur D3 sampai D30 karena dalam periode tersebut larva membutuhkan
asupan

nutrisi

tinggi

dalam

meningkatkan

laju

pertumbuhannya

serta

pembentukan organ-organ tubuh secara sempurna. Pemberian rotifera biasanya


pada pagi hari antara pukul 07.00-08.00. sebelum diberikan pada larva ikan,
rotifera terlebih dahulu diperkaya dengan scott emulsion (15ml/0.65 L) yang telah
dilarutkan pada air sebanyak 500 ml. Pengkayaan ini bermaksud sebagai
penambahan nilai nutrisi yang terkandung dalam rotifera. Pemebrian rotifera
dilakukan secara perlahan disetiap titik aerasi agar tersebar merata pada setiap bak
pemeliharaan larva. Dosis Pada pemberiannya rotifer berjumlah pada D2 yaitu 13 ind/ml. Namun pada umur D3-D30 dosis rotifera yang diiberikan yaitu 3-5
individu/ml.
Teknik kultur rotifera diawali dengan pembersihan bak dan pemasukan
Nannochloropsis aculata melalui pipa inlet yang terdapat pada bak kultur rotifera
sebanyak 3 ton lalu ditambahkan dengan air laut sebanyak 1 ton. Masukkan bibit
rotifera yang diambil dari bak lain yang telah dipanen dengan kepadatan 15/20
ind/ml. Penambahan fitoplankton Nannochloropsis aculata dilakukan setiap
harinya sebanyak 1 ton sebagai pakan rotifera hingga pada hari ke 5-7 rotifera siap
dipanen dengan kepadatan 200 ind/ml. Pemanenan rotifera dilakukan dengan cara
membuka pipa outlet dan rotifera yang keluar dari pipa outlet ditampung dan
disaring hingga 30% dari total volume bak. Proses pemanenan dapat dilakukan

45

setiap

harinya

karena

sistem

kultur

rotifera

yang

dilakukan

secara

berkesinambungan.

Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 13. Kultur rotifera

4.3.2.3. Pakan Alami Artemia


Naupli artemia mulai diberikan pada larva kerapu bebek (Cromileptes
altivelis) yaitu pada umur D15-D35 dengan frekuensi pemberian 2-3 kali sehari
( pagi jam 8.30, siang jam 12.00 dan sore hari pukul 16.00) disesuaikan dengan
bukaan mulut larva. Artemia diberikan dengan kepadatan 1-3 ind/ml untuk larva
yang berumur D16 sampai D22 (2 kali/hari) dan ditingkatkan menjadi 3-5 ind/ml
untuk pada saat larva berumur D23-D45 (2 kali/hari). Teknik pemberian artemia
yaitu dengan menebar pada aerasi agar merata ke seluruh bak.
Waktu penetasan kista artemia dalam air laut adalah 24-36 jam pada suhu
25 oC. Penetasan kista (telur) artemia harus dilakukan dalam waktu yang lebih
singkat dan dalam jumlah yang besar. Sehingga dibutuhkan teknologi terapan
yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut, teknologi yang telah berkembang untuk
menjawab tantangan tersebut adalah dekapsulasi kista artemia. Cara dekapsulasi
dilakukan dengan mengupas bagian luar kista menggunakan larutan hipoklorit
tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Cara dekapsulasi merupakan

46

cara yang tidak umum digunakan pada panti-panti benih, namun untuk
meningkatkan daya tetas dan meneghilangkan penyakit yang dibawa oleh kista
artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan (Bougias, 2008).
Teknik dekapsulasi cyste artemia yang pertama kali yaitu dengan
merendam cyste artemia pada air tawar selama 1 jam. Setelah 1 jam cyste artemia
disaring menggunakan scoopnet bilas dengan air tawar dan dimasukkan kembali
ke dalam ember yang telah diisi air tawar. Kemudian diberikan 250 ml liter
klorin dan cyste artemia diaduk cepat dengan menggunakan paralon dan
mempertahankan suhu < 40 oC. Siram ember dengan air secara terus menerus agar
suhu stabil. Lakukan teknik dekapsulasi tadi sebanyak 3 kali hingga cyste artemia
berwarna orange. Setelah berwarna orange artemia disaring lalu dibilas dengan air
tawar hingga bau klorinnya hilang. Tuang artemia ke dalam ember dan diberi Na
Thiosulfat sebanyak 8 gr dan tunggu selama 20 menit. Saring kembali artemia dan
bilas hingga bersih lalu dikeringkan. Bungkus di dalam plastik dan disimpan di
freezer.
Setelah proses dekapsulasi selanjutnya dilakukan proses penetasan.
Penetasan dilakukan dengan cara mengambil cyste artemia dari freezer tuang ke
dalam scoopnet lalu di bilas hingga bersih serta dilakukan pengadukan agar tidak
menggumpal. Tuang pada air laut dan beri aerasi selama 18- 28. Pemanenan
dilakukan dengan menarik selang aerasi agar telur yang tidak menetas mengendap
di dasar dan artemia yang menetas berada di permukaan. Tuang artemia yang
berada di permukaan ke dalam scoopnet lalu dibilas hingga bersih masukkan ke
dalam air laut da beri aerasi.

47

Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 14. Artemia dan proses penetasan cyste artemia


4.3.2.4. Pakan rebon (Jambret)
Rebon diberikan pada larva yang telah berumur D30-D45. Sebelum
pemberian rebon terlebih dahulu di cuci dengan air tawar hingga bersih dan
disediakan ember yang telah berisi campuran antara air laut dan air tawar dengan
perbandingan 1:1. Rebon diberikan pada larva secara ad libitum (sekenyangkenyangnya) dengan frekuensi 1 kali sehari yaitu pada pukul 09.00-10.00 pagi.
4.3.2.5. Pakan Buatan
Pakan buatan pertama kali di berikan pada larva yang telah berumur D8
sampai D13 yaitu pakan buatan jenis R2 dengan frekuensi pemberian 5 kali/hari
sebanyak 8 gr atau seujung sendok. Pakan buatan yang diberikan pada larva yang
telah berumur D14 sampai D25 adalah pakan buatan dengan jenis Otohime A1
diberikan sebanyak 10 gr dengan frekwensi pemberian 5 kali/hari. Larva yang
telah berumur D26-D30 keatas diberikan pakan buatan dengan jenis Otohime B1.
Frekuensi pemberian pakan biasanya pada pukul 05.30, 07.00, 10.00, 13.00 dan
16.00 sore secara ad libitum. Cara pemberiannya dengan menebarkan pakan pada
titik-titik aerasi agar mempermudah larva dalam menghampiri pakan tersebut.

48

Jumlah pakan yang diberikan sesuai kebutuhan karena semakin besar larva maka
frekwensi pemberian pakan semakin sedikit.

(1)

(2)

(3)

(4)
Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 15. Pakan Buatan (Otohime A1 (1),


Rotemia (2), epicore (3), Otohime B1(4))

49

Tabel 7. Jadwal pemberian pakan larva ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis)
Umur larva

Jenis
pakan

Waktu Pemberian Pakan


05.30

D3

MC

D4-D7
D8-D14

D14-D20

D21-D31

R
C
MC
R
C
MC
R
C
Rotemi
a
R2/LH
F
R
C
Oto A1
A
R
A
Oto B1
Re

06.0
0

07.0
0

08.0
0

09.00

12.00

13.00

14.00

16.00

Keterangan :
MC

: Minyak cumi

: Rotifera

: Chlorella

: Artemia

Re

: Rebon

R2

: Pakan buatan cair

Oto A1, B1 : Pakan buatan pellet

50

Tabel 8. SOP (Standar Operasional Prosedur) Pemberian Pakan Pada


Pemeliharaan Larva Kerapu di BBAP Situbondo
Stadium
Jenis
Dosis
Frekwensi
Keterangan
Larva
Makanan
D0-D1
Yolk egg
_
_
Siphon cangkang
dan telur yang
mengendap
D2
Chlorella
50-100 ribu sel/ml
1 kali
Siphon
D3-D7
Chlorella
50-100 ribu sel/ml
1 kali
_
Rotifera
3-5 ind/ml
3 kali
D8-D20
Chlorella
50-100 ribu sel/ml
1 kali
Pergantian
air
Rotifera
3-5 ind/ml
3 kali
sebanyak 10%
Pakan buatan
8 gr
2 kali
Artemia
1-3 ind/ml
2 kali
mulai D15
D21-30
Chlorella
50-100 ribu sel/ml
2 kali
Pergantian air 20Rotifera
3-5 ind/ml
3 kali
50 %, siphon
Pakan buatan
10 gr
2 kali
Artemia
1-3 ind/ml
2-3 kali
D31-D45
Pakan buatan
15 gr
3 kali
Pergantian air 50Artemia
1-3 ind/ml
3 kali
75 %
Udang rebon
Secukupnya
2 kali
D46-D50
Pakan buatan
15 gr
3 kali
Pergantian air 75Udang rebon
Secukupnya
4 kali
100%
D51Rebon
Secukupnya
2 kali
Pergantian
Panen
Terinasi
3-5 % bobot
2-3 kali
Flowthrogh
Pakan buatan
Sekenyangnya
4 kali
Sumber : BBAP Situbondo 2013

4.3.3. Pengelolaan kulitas air


Pada kegiatan pemeliharaan larva pengelolaan kualitas air sangat penting
untuk mencegah timbulnya penyakit yang disebabkan oleh kualitas air yang tidak
baik.Untuk itu perlu dilakukan pergantian air pada bak pemeliharaan larva.
Pergantian air dilakukan mulai dilakukan saat larva berumur D8-D20 dengan
kisaran 10-20%. Pada larva yang telah berumur D21-D30 pergantian air dapat
dilakukan pada kisaran 20-50%. Larva yang telah berumur D31-45 pergantian air
sebanyak 50-75%. Larva yang berumur D46-D50 dilakukan pergantian air

51

sebanyak 75-100%. Pada larva yang siap panen dilakukan pergantian air menjadi
flow through. Parameter-parameter yang diukur dalam pengelolaan kualitas air
antara lain suhu, pH, salinitas, nitrit, amoniak dan dissolved oxygen (DO) atau
kandungan oksigen terlarut. Pengamatan kualitas air perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya fluktuasi yang mengakibatkan ikan mati massal secara
mendadak. Data parameter kualitas air yang diukur sebanyak 2 kali selama
praktek magang dilakukan yaitu pada minggu pertama dan ketiga dapat dilihat
pada Tabel 9. Sedangkan SOP (Standar Prosedur Operasional) kualitas air di
BBAP Situbondo dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 9. Data pengukuran kualitas air
Tanggal
28 januari 2014

14 Februari 2014

Parameter
Suhu
pH
Salinitas
DO
Nitrit
Amoniak
Suhu
Ph
Salinitas
DO
Nitrit
Amoniak

Kisaran
28,3 oC
7,7
32 ppt
6,09 ppm
2,59 mg/L
0,018 mg/L
29,5 oC
33 ppt
6,65 ppm

Tabel 10. SOP (Standar Operasional Prosedur) kualitas air di BBAP Situbondo
Parameter

Kisaran

52

Salinitas
Ph
Suhu
DO
Nitrit
Amoniak

28-35 ppt
7,8-8,3
28-32oC
> 5 ppm
< 1 ppm
< 0,01 ppm

Sumber : BBAP Situbondo 2013

Pengelolaan kualitas air dilakukan selama pemeliharaan larva dan


penyiponan pertama dilakukan saat larva berumur D18 kemudian dilakukan
penyiponan 3 kali hingga saat dilakukan grading pertama pada umur D40. Teknik
penyiponan dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi pengadukan kotoran di
dasar bak dan sehari sebelum dilakukan penyiponan diberikan develop sebanyak 5
gr yang telah dilarutkan di air bertujuan untuk mengendapkan kotoran di dasar
bak sehingga mudah dalam melakukan penyiponan. Bahan lain yang digunakan
untuk menetralisir kualitas air yaitu dengan pemberian Vikron 5 gr setiap 4 hari
sekali.

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar 16. Vikron dan Develop


4.3.4. Pengendalian Hama dan Penyakit
Penyakit pada ikan didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mengganggu
proses kehidupan ikan, sehingga pertumbuhan menjadi tidak normal. Secara
umum penyakit dibedakan menjadi dua kelompok yaitu penyakit infeksi dan non
infeksi. Penyakit infeksi disebabkan oleh organisme hidup seperti parasit, jamur,

53

bakteri, dan virus. Sedangkan penyakit non infeksi disebabkan oleh faktor non
hidup seperti pakan, lingkungan, keturunan dan penanganan (Afrianto dan
Liviawaty, 2003).
Penyakit ikan biasanya timbul karena adanya interaksi antara tiga faktor
yaitu lingkungan, inang dan adanya jasad penyebab penyakit. Penyakit ikan
dapat disebabkan karena faktor mikroorganisme seperti jamur, virus dan protozoa
(Aryani, et al, 2004).
Kordi (1997), membagi penyakit ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis)
dalam 2 bagian besar yaitu, 1) penyakit parasiter, dan 2) penyakit non parasiter.
Penyakit parasiter pada ikan kerapu disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa,
jamur, cacing, dan crustacea (udang renik), penyakit non parasiter disebabkan
kondisi lingkungan yang tidak baik, pemberian pakan yang tidak sesuai dengan
dosis dan waktu, serta faktor keturunan.
Salah satu masalah penyakit yang sering menggangu dalam budidaya ikan
kerapu terutama pada fase larva dan benih adalah penyakit Viral Nervous Necrosis
(VNN). VNN adalah jenis virus Nodaviridae yang dapat menyebabkan kematian
massal mencapai prevalensi 100%. Larva dan benih akan mengalami kematian
total hanya dalam kurun waktu 3 hari jika terserang virus VNN. Pencegahan harus
dilakukan agar terhindar dari terjangkitnya virus VNN dengan cara melakukan
sanitasi lingkungan dan tes PCR di laboratorium kesehatan dan lingkungan BBAP
Situbondo. Sanitasi lingkungan dilakukan dengan memasukkan larutan PK pada
Foot bath dan mencuci alat-alat yang telah digunakan serta menjaga biosecurity
lingkungan pemeliharaan larva dan benih.

54

4.3.5. Grading
Grading merupakan kegiatan penyeragamam ukuran karena dalam
pemeliharaan larva pertumbuhan ikan ini seringkali tidak seragam, terlebih lagi
karena kerapu bebek bersifat kanibal. Sifat buasnya itu akan menonjol apabila
terjadi perbedaan ukuran, tidak hanya memangsa yang kecil, tetapi juga menjadi
penguasa yang dikarenakan perbedaan ukuran tubuh yang sangat signifikan.
Sehingga ikan kecil akan tersisih dalam segala hal, termasuk dalam persaingan
makanan, untuk mencegahnya perlu dilakukan penyeragaman ukuran pada umur
D45 sampai umur 2 bulan. Grading dilakukan dengan cara menyeragamkan
ukuran langung dan memisahkan ikan sesuai ukuran tubuhnya. Seluruh ikan yang
berada di bak diambil dan di masukkan ke dalam ember dan pisahkan ikan yang
kecil maupun besar kedalam ember lainnya. Setelah dilakukan grading kemudian
semua ikan dihitung secara keseluruhan sehingga dapat diketahui tingkat
kelangsungan hidupnya.

Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 17. Proses grading dan Hasil grading


4.3.6. Tingkat Kelulushidupan (SR)
Perhitungan survival rate atau tingkat kelangsungan hidup dilakukan
untuk mengetahui berapakah tingkat kelangsungan hidup larva selama
pemeliharaan hingga dapat dipanen menjadi benih. Kegiatan pemeliharaan larva

55

ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) merupakan kegiatan utama yang


dilaksanakan dan untuk mendapatkan tingkat survival rate (SR) yang tinggi maka
harus ada manajemen yang baik dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
mortalitas yang tinggi dapat diperkecil. Survival rate yang tinggi dapat diperoleh
jika faktor-faktor yang menentukan tingginya kelangsungan hidup dapat terpenuhi
dengan baik. Rumus untuk menghitung survival rate menurut Effendi (2004) :
Survival Rate (SR) =

Jumlah larva yang hidup


Jumlah larva yang mati

x 100%

Dari hasil panen benih kerapu bebek (Cromileptes altivelis) yang


dilakukan didapatkan data perhitungan survival rate sebagai berikut :

56

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Pada teknik pemeliharaan larva kerapu tikus terdapat berbagi aspek yang
mendukung berhasil tidaknya kegiatan pemeliharaan serta adapula berbagai
kendala. Manajemen pemberian pakan larva kerapu bebek disesuaikan
berdasarkan umur dan bukaan mulut larva. Pakan yang digunakan dalam
pemeliharaan larva antara lain artemia, Chlorella, rotifera, rebon dan pakan
buatan. Larva pada umumnya mengalami fase-fase kritis dimana pada fase
tersebut tingkat mortalitas larva tinggi yang disebabkan karena proses
penyesuaian diri baik itu pakan, suhu air, salinitas dll. Tahapan fase kritis tersebut
yaitu fase kritis 3 pada umur D3-D7, fase kritis 2 pada umur D10-D14, fase kritis
3 pada umur D21-D25, dan fase kritis pada umur D35.
Tingkat mortalitas yang tinggi merupakan permasalahan utama dalam
pemeliharaan larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis) di BBAP situbondo.
Selain faktor di atas, faktor lain yang menyebabkan tingginya mortalitas adalah
manajemen pengelolaan kualitas air yang kurang baik, terjadinya fluktuasi suhu
secara drastis dan adanya penyakit parasiter yang disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur dll.
5.2. Saran
Saran yang saya berikan sebaiknya:
1. Untuk kedepannya bapak pegawai atau teknisi lapangan mengadakan evaluasi
setiap 2 minggu bagi para mahasiswa dan siswa praktek lapangan dan magang

57

yang dilaksanakan di BBAP Situbondo untuk menguji apakah mahasiswa atau


siswa tersebut benar-benar belajar dan mengikuti kegiatan yang dilaksanakan
di BBAP Situbondo.
2. Penerapan biosecurity agar mencegah adanya kontaminasi dari pengunjung
yang datang ke lokasi pemeliharaan larva.
3. Manajemen pengelolaan kualitas air dan pakan lebih ditingkatkan lagi untuk
meningkatkan tingkat kelulushidupan larva kerapu bebek (Cromileptes
altivelis)

58

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E & Liviawaty, E. 2003. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan.


Kanisius. Yogyakarta. 42 hal.
Afrianto, E. dan Liviawaty, E. 2005. Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Aryani, N., Henny, S,. Iesje, L,. Morina, R,. 2004. Parasit dan Penyakit Ikan.
Penerbit UNRI PRESS. Pekanbaru
Akbar, S. & Sudaryanto. 2001. Pembenihan dan Pembesaran Ikan Kerapu Bebek.
Jakarta: Penebar Swadaya. hlm. 103.
Anonymous, 1991. Operasional Pembesaran Ikan Kerapu Macan dalam
Keramba jaring Apung. Balai Penelitian Perikananan Budidaya Pantai
Maros Buletbangun. Deptan. Jakarta.
Anonimous. 1999. Pembenihan Ikan Kerapu Bebek (Chromileptes altivelis).
Departemen Pertanian, Direktorat Jendral Perikanan, Balai Budidaya Laut.
Lampung.
Anonim. 2001. Petunjuk Teknis Produksi Benih Ikan Kerapu Bebek (Chromileptes
altivelis). Pusat riset dan pengembangan Eksplorasi laut dan Perikanan
Departemen kelautan dan perikanan dan Japan International Cooperation
Agency, balai riset budidaya laut. Gondol.
Asmawi, S. 1983. Pemeliharaan ikan Dalam Keramba. Gramedia, Jakarta. 82
halaman.
Baskoro, Mulyono S., Taurusman, Am Azbas dan Sudirman. 2010. Tingkah Laku
Ikan Hubungannya dengan Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap. Lubuk
Agung. Bandung. 258 Hlm.
Bougias, 2008. Pakan Ikan Alami. Kanisius, Yogyakarta.
Brett, JR. and T. D. D. Groves. 1979. Physiological Energetic. In : W.S. Hoar.,
D.J.Randall dan JR. Brett (Eds). Fish Physiology vol VIII. Academic Press.
London. P 279 - 3 56.
Chua, T. E. and S. K. Teng. 1978. Effects of feeding frecwency on the growth of
young estuary grouper, Epinephelus tauvina (FORSKAL), Cultured in
floating net-cages aquaculture, 14:31-47.

59

Daulay, T., 1998. Artemia Salina (Kegunaan, Biologi dan Kulturnya). INFIS
Manual Seri No.12. Direktorat Jendral Perikanan dan International
Development Research, Jakarta.
Dhoe, S. B., Aditya, T.W., dan Supriya, 2004. Teknik panen dan transportasi
dalam pembenihan ikan kerapu. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Balau Budidaya laut Lampung. Bandar Lampung.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya
Lingkungan Perairan. Kanasius. Yogyakarta. 257 hal.
Effendi, M. I. 2004. Metode biologi perikanan. Penerbit Dwi Sri, Bogor.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rieka
Cipta, Jakarta. 179 hal.
Fulks, W. and K.L. Main. 1991. Rotifer and microalgae Culture System.
Proceedings of a U.S.-Asia Workshop. The Oceanic Institute, Honolulu,
Hawai. 363p.
Kordi, H. G. M., 1997. Budidaya Ikan Kakap Biologi Dan Teknis. Dahara Press.
Semarang 101 hal.
Kordi, M. Ghufran, H. 2004. Buku Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis.
Penerbit ANDI : Jakarta.
Kawahara, S., E. Setiadi, S. Ismi, Tridjoko dan K. Sugama, 2000. Kunci
Keberhasilan Produksi Masal Juvenil Kerapu bebek (Chromileptes
altivelis). Lokasi Penelitian Perikanan Pantai Gondol dan Japan
International Cooperation Agency. Gondol.
Murtidjo, B.A. 2001. Beberapa Metode Pemijahan Air Tawar. Kanisius.
Yogyakarta, 22-24 hal
Murtidjo, B. A. 2002. Budidaya Kerapu Dalam Tambak. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Nybakken, James W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta:PT.
Gramedia.
Randall, J. E., (1987). A Preliminary Synopsis of the Groupers (Perciformes :
Serranidae; Epinephelinae) ot the indo-pacific Region in J.J. Polovina, S.
Ralston (editor), Tropical Snapper and Groupers : Biology and Fisheries
Management. Westview Press. Inc., Boulder and London.
Rukyani, A., 2001. Strategi Pengendalian Penyakit Virus pada Budidaya Ikan
Kerapu dalam Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming
di Indonesia. Departemen Perikanan dan Kelautan dan JICA.

60

Subyakto, S., dan Cahyaningsih, S., 2005. Pembenihan Kerapu Skala Rumah
Tangga. Agromedia pustaka. Jakarta.
Sudirman, H., Karim, M. Y. 2008. Ikan Kerapu. Biologi, Eksploitasi, Manajemen
dan Budidaya. Jakarta: Yarsif Watampone. hlm. 9.
Sugama, K., S. Ismi, S. Kawahara and M. Rimmer. 2003. Improvement of Larval
Rearing Technique for Humpback Grouper (Cromileptes altivelis).
Aquaculture Asia Megazine July-September 2003. NACA. Bangkok.
Thailand. Page 34 37.
Sugama, K., Yuasa, K., 2001. Iridovirus. Penyebab Kematian pada Budidaya
Kerapu Lumpur Epinephelus coioide : Deteksi dengan Teknik Polymerase
Chain Reaction (PCR) dalam Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan
Sea Farming di Indonesia, Departemen Perikanan dan Kelautan dan JICA.
Sugama, K., Wardoyo, D. Rohaniawan dan H. Matsuda, 1998. Teknologi
Pembenihan Ikan Kerapu Bebek (Chromileptes altivelis). Loka Penelitian
Perikanan Pantai Gondol dan Japan International Cooperation Agency.
Gondol.
Sunyoto, P. 1994. Pembesaran Kerapu. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sunyoto, P. dan Mustahal. 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Sutrisno, Totok, dkk. 1987. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta.
Tampubolon, G.H. dan E. Mulyadi, 1989. Sinopsis Kerapu di Perairan Indonesia.
Semarang.
Tridjoko, B. Siamet, D. Makatutu, dan K. Sugama. 1998. Pengamatan pemijahan
dan perkembangan telurikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis)
secaraterkontrol. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 2(2): 55-62.

61

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai