PENDAHULUAN
telah terbukti dapat dibudidayakn dengan baik di keramba jaring apung maupun di
petakan kolam laut atau bak (Akbar dan Sudaryanto, 2001).
Kerapu bebek merupakan salah satu komoditi perikanan yang mempunyai
prospek pemasaran cukup baik terutama untuk pasar ekspor. Di tingkat
pengumpul ikan kerapu persentase ikan kerapu bebek yang tertangkap sangat
kecil dibandingkan dengan kerapu jenis lain. Hal ini yang menyebabkan kerapu
bebek sulit di jumpai dipasaran. Permintaan pasar akan komoditas ini stabil
bahkan cenderung meningkat. (
Dengan
demikian
Daftar pustaka
pengembangan
usaha
)
budidaya
kerapu
bebek
mempunyai prospek yang sangat cerah. Namun demikian masih menjadi perhatian
utama adalah ketersediaan benih yang belum dapat terpenuhi baik jumlah, mutu
maupun kesinambungannya. Benih yang berasal dari alam ketersediaannya belum
dapat dipastikan (Anonimous, 1999). Benih yang diperoleh dari hatchery
jumlahnya masih sangat terbatas hal ini disebabkan tingkat survival rate yang
masih rendah dan terbatasnya fasilitas hatchery.
Tingkat kelangsungan hidup kerapu bebek sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan tempat hidupnya, antara lain: suhu, cahaya, salinitas, arus. Fluktuasi
kedaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode, migrasi
musiman serta terdapatnya ikan. Keadaan perairan serta perubahannya juga
mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan (Baskoro et al., 2010).
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari praktek magang ini adalah untuk mengetahui secara langsung
teknik pemeliharaan larva ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) yang
dilaksanakan di BBAP serta mengidentifikasi masalah yang ada dan mencari
solusi dari masalah tersebut. Manfaat dari hasil praktek magang diharapkan dapat
menambah
wawasan,
pengalaman
dan
keterampilan
mahasiswa
dalam
II.1.
Sumber: www.google.com
tidak mempunyai gigi canine (gigi yang terdapat dalam geraham ikan) lubang
hidung hidung besar berbentuk bulan sabit dertical, kulit berwarna terang abu-abu
kehijauan dengan bintik-bintik hitam diseluruh kepala, badan dan sirip. Pada
kerapu bebek muda, bintik hitamnya lebih besar dan sedikit.
Kerapu bebek mempunyai sisik berbentuk sikloid, deskripsi sirip
punggung (dorsal fin) X, 17-18. Sirip dubur (anal fin) III, 10, sirip dada (fectoral
fin) 17-18, sirip ekor membulat, sisik garis linea lateralis 53-55, bagian dorsal
meninggi berbentuk concave (cembung), lubang hidung besar berbentuk bulat
sabit vertikal, warna kulit terang abu-abu kehijauan dengan bintik-bintik hitam
disekitar kepala, badan dan sirip. (Akbar dan Sudaryanto, 2001).
Menurut Sunyoto (1994), Ikan kerapu terdapat dalam 46 spesies yang
hidup di berbagai tipe habitat. Dari jumlah tersebut berasal dari 7 genus, yaitu
Aethaloperca,
Anyperodon,
Cephalopholis,
Chromileptes,
Epinephelus,
II.2.
ditemukan diperairan Pulau Sumatera, Jawa, Selawesi, Pulau Buru dan Ambon.
Salah satu indikator adanya kerapu adalah perairan karang. Indonesia memilki
perairan karang yang cukup luas sehingga potensi sumberdaya ikan kerapu sangat
besar (Tampubolon dan Mulyadi, 1989).
II.3.
Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva merupakan kegiatan utama pada usaha pada usaha
dalam tubuh sudah habis merupakan kunci bagi kelangsungan hidup bagi larva
selanjutnya. Masa kritis pertama terjadi pada saat larva mulai buka mulut sampai
saat kuning telur habis terserap. Oleh karena itu harus menyediakan pakan awal
yang mempunyai ukuran lebih kecil dari ukuran bukaan mulutnya, dalam jumlah
dan mutu nutrisi yang cukup (Kawahara et al., 2000).
Menurut Sunyoto dan Mustahal (1997), sebelum larva ditebar, bak-bak
untuk pemeliharaan harus disiapkan. Bak-bak diisi air laut yang telah difilter
dengan jumlah kira-kira 80% dari kapasitasnya serta dipasok aerasi pada tingkat
kecepatan rendah, artinya gelembung-gelembung udara yang keluar diusahakan
sekecil mungkin, tetapi tidak berhenti. Sekitar 1 2 jam sebelum menetas, telurtelur ditebarkan dengan pelan-pelan ke dalam bak pemeliharaan. Penebaran telur
dilakukan pada tingkat kepadatan 50 butir per liter air pemeliharaan.
Panjang tubuh total larva kerapu bebek hampir sama dengan jenis kerapu
lainnya, yakni berkisar 1,5-2 mm. Sedangkan menurut Kohno et al, (1990)
panjang total larva kerapu bebek, yakni 1,287-1,393 mm. Ketika larva berumur
satu hari (D1), saluran pencernaanya sudah mulai terlihat, tetapi mulut dan
anusnya masih tertutup dan calon matanya yang transparan sudah terbentuk. Larva
berumur dua hari (D2) bersifat planktonis, bergerak mengikuti arus, sistem
penglihatannya belum berufungsi, dan masih memiliki kuning telur (yolk egg).
II.4.
Kualitas air
Guna mendukung benih ikan kerapu bebek hidup dan tumbuh dengan
baik, selain harus tersedia pakan yang bergizi dalam jumlah dan kualitas yang
baik, kondisi lingkungan fisik dan kimiawi air harus berada pada kisaran yang
optimum. Kualitas air yang berperan terhadap kelangsungan hidup pada
pertumbuhan ikan kerapu bebek meliputi : suhu air, oksigen terlarut, pH air,
salinitas dan ammonia (Akbar dan Sudaryanto, 2001).
Suhu air mempengaruhi suhu tubuh ikan, selanjutnya akan mempengaruhi
laju metabolisme dan laju pertumbuhan. Jika suhu meningkat maka kebutuhan
makanan untuk pemeliharaan tubuh meningkat, sehingga ikan lebih aktif
mendapatkan pakan dalam jumlah yang lebih banyak. Menurut Tridjoko et al,
(1998) suhu optimum untuk pemeliharaan larva ikan kerapu bebek antara 27 - 31
o
C, sedangkan menurut Sugama, dkk (1998) berkisar antara 26.8 - 28.9 oC.
Penggunaan energi pada ikan juga dipengaruhi oleh jumlah pakan yang
10
pertumbuhan ikan, baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut.
Sedangkan pakan dibutuhkan oleh ikan sejak mulai hidup yaitu dari larva, dewasa
sampai ukuran induk.
Pakan buatan tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan nutisi, yang di
maksud dengan pengetahuan nutrisi adalah pengetahuan mengenai pemberian
pakan ikan berdasarkan zat-zat gizi yang dikandungnya. Pemberian pakan yang
sesuai dengan kebutuhan selain dapat menjamin kehidupan ikan juga akan
mempercepat pertumbuhannya (Afrianto dan Liviawaty, 2005).
Tiga jenis pakan yang biasa dipakai untuk pemeliharaan larva adalah rotifer,
artemia dan pakan buatan. Ada dua jenis rotifer menurut ukuran yaitu SS (super
small) dengan ukuran panjang lorica 120-140 m dan S (small) dengan ukuran
panjang lorica 180-200 m (Sugama et al., 2003).
Sebagaimana jenis ikan kerapu lainnya, kerapu bebek bersifat karnivora,
terutama memangsa larva moluska (trokofor), rotifer, mikrokrustasea, kopepoda,
11
dan zooplankton untuk larva. sedangkan untuk ikan kerapu bebek yang lebih
dewasa memangsa ikan-ikan kecil, crustacea dan cephalopoda.
Rotifera (Brachionus plicatilis) adalah jenis pakan alami yang secara luas
telah digunakansebagai pakan awal dalampemeliharaan larva berbagai jenis ikan
dan crustacea, karena selain ukurannya yang relatif sesuai dengan bukaan mulut
larva, gerak renangnya lambat, dapat di kultur secara massal dan rata-rata
reproduksinya tinggi (Lubzens et al., 1989 dalam Fulks dan Main, 1991).
Artemia merupakan pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha
budidaya ikan dan udang, di indonesia belum ditemukan adanya artemia, sehingga
sampai saat ini Indonesia masih mangimpor artemia sebanyak 50 ton/tahun.
Walaupun pakan buatan dalam berbagai jenis telah berhasil dikembangkan dan
cukup tersedia untuk larva ikan dan udang, namun artemia masih tetap merupakan
bagian yang esensial sebagai pakan larva ikan dan udang di unit pembenihan.
Keberhasilan pembenihan ikan kerapu juga memerlukan ketersediaan artemia
sebagai pakan alami esensialnya, serta dengan adanya kenyataan bahwa
kebutuhan artemia untuk larva ikan kerapu 10 kali lebih banyak dibandingkan
dengan larva udang, maka kebutuhan kista atemia akan semakin meningkat
(Daulay, 1998).
Pakan buatan dengan kandungan nutrisi cukup harus diberikan sedini
mungkin yaitu setelah larva berumur 15-17 hari, agar tidak terjadi kekurangan
nutrisi pada larva yang mengakibatkan syndrom kematian pada usia diatas 25 hari
atau 25-day syndrome (Sugama et al., 2003).
Menurut Nybakken (1988) sebagai ikan karnivora, kerapu cenderung
menangkap mangsa yang aktif bergerak di dalam kolom air. Kerapu mempunyai
12
kebiasaan makan pada siang dan malam hari, lebih aktif pada waktu fajar dan
senja hari (Tampubolon dan Mulyadi, 1989). Berdasarkan prilaku makannya, ikan
kerapu menempati struktur tropik teratas dalam piramida rantai makanan
(Randall, 1987). Sebagai ikan karnivora, kerapu mempunyai sifat buruk yaitu
kanibalisme.
Kanibalisme
merupakan
salah
satu
penyebab
kegagalan
tinggi, dengan penggunaan pakan buatan yang sangat besar dapat mengakibatkan
terjadinya suatu masalah. Masalah terbesar yang sering dianggap menjadi
penghambat budidaya ikan adalah munculnya serangan penyakit. Serangan
penyakit yang disertai gangguan hama dapat menyebabkan pertumbuhan ikan
13
14
merupakan cara yang paling efektif dibanding pengobacan karena biayanya lebih
murah dan tidak ada efek sampingan terhadap ikan dan orang yang mengonsumsi
ikan.
II.7.
Panen
Kegiatan panen dan paska panen terutama pengangkutan menjadi faktor
penentu mutu benih dilokasi pembesaran. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan
guna mendukung keberhasilan panen antara lain persiapan, ukuran dan umur
benih, waktu dan cara panen. Ada dua tahap panen dalam usaha pembenihan,
yaitu panen benih dari hasil pemeliharaan larva dan panen benih dari hasil
pendederan. Transportasi benih yang biasa digunakan ada dua cara yaitu,
transportasi tertutup dan terbuka. Pengangkutan secara tertutup merupakan cara
paling umum digunakan meskipun dalam jarak dekat dan melalui jalan darat
karena cara ini lebih aman dan mudah pelaksanaannya. Pengangkutan yang waktu
angkutnya lebih dari 20 jam, sebaiknya dilakukan pengemasan ulang terutama
penggantian oksigen. Pengangkutan terbuka digunakan untu jarak dekat dan jalan
yang ditempuh melalui darat ( Dhoe dkk., 2004 ).
Pemanenan dilakukan setelah benih mencapai ukuran 5 7 cm atau
disebut gelondongan, ukuran ini bisa mencapai masa pemeliharaan 3 4 minggu.
Persiapan alat panen harus dilakukan untuk mendapatkan hasil panen yang
maksimal. Adapun alat yang digunakan pada pemanenan benih adalah skop-net,
wadah penampung seperti ember, dan waring. Waktu yang tepat dalam melakukan
pemanenan yaitu pada pagi dan sore hari. Pemanenan benih diawali dengan
pengurangan air dari dalam bak hingga tersisa 1/3 volume awal. Selanjutnya benih
digiring dengan waring ke sudut bak untuk mempermudah penangkapannya. Jika
15
benih telah berkumpul di sudut bak maka benih dapat dengan mudah di tangkap
dengan skop-net dan di masukkan ke wadah penampung (Akbar dan Sudaryanto,
2001).
Setelah dipanen benih yang akan dipasarkan dipacking menggunakan
kantong plastik jenis PL. Ketika benih akan dipacking, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan yaitu pada saat panen benih harus dalam kondisi dipuasakan
atau tidak diberi pakan yang disesuaikan dengan tingkat berat dan ukuran. Benih
yang berukuran kurang dari 3 gr dipuasakan 12 24 jam sebelumnya sedangkan
untuk yang lebih dari 3 gr, 36 46 jam menjelang pengangkutan. Kondisi benih
demikian sangat aman untuk di packing.
Packing dilakukan dengan cara meletakan kantong plastik dalam wadah
styrofoam dan diberi batu es secukupnya, kemudian ikan siap untuk dikirim ke
tempat tujuan. Biasanya, 1 wadah styrofoam ukuran standart 75 x 42 x 32 cm
dapat diisi 8 buah kantong plastik dan cukup diberi 2 buah batu es yang dibungkus
kantong plastik berukuran 10 x 15 cm dan koran bekas. Kepadatan setiap kantong
antara 20 25 ekor (Subyakto dan Cahyaningsih, 2005).
16
III.
METODE PRAKTEK
17
bak larva, peralatan praktek seperti pH meter untuk mengukur derajat keasaman
air (pH), refraktometer untuk mengukur salinitas, thermometer untuk mengukur
suhu, DO meter untuk menghitung oksigen terlarut, spectrometer untuk mengukur
amoniak, titrasi untuk mengukur hardness, aquarium, aerator. Peralatan tulis
seperti buku tulis, pena, pensil, penggaris, dan kusioner serta kamera sebagai
dokumentasi dari kegiatan magang ini.
III.3. Metode Praktek
Metode yang digunakan dalam praktek ini adalah metode studi kasus atau
mengikuti aktivitas dan melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan budidaya
yang dilaksanakan di BBAP Situbondo. Data yang dikumpulkan meliputi data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil praktek yang di
laksanakan di Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Data sekunder diperoleh dari
instansi terkait yang berhubungan dengan data yang diperlukan, serta
ditambahkan dengan literatur yang mendukung kelengkapan dan kejelasan
mengenai data yang didapatkan tersebut.
III.4. Analisis Data
Data yang didapat dari Balai Budidaya Air Payau Situbondo dikumpulkan
dan ditabulasikan dalam bentuk tabel serta dianalisis secara deskriptif untuk
memberikan gambaran tentang teknik pemeliharaan larva di Balai Budidaya Air
Payau Situbondo dan masalah-masalah yang ada yang kemudian akan dicari
solusinya.
III.4.1.Data Primer
Data primer sangat diperlukan dalam pembuatan laporan praktek magang
ini, data primer diperoleh dari hasil observasi dan wawancara. Data observasi
18
diperoleh dengan cara mengamati dan mencatat kegiatan-kegiatan apa saja yang
dilakukan serta berpartisipasi langsung di dalam kegiatan yang dilakukan selama
praktek di lapangan. Namun data yang diperoleh dengan observasi tidaklah cukup
untuk mendapatkan informasi mengenai pemeliharaan larva, oleh karena itu
dilakukan wawancara
x 100%
19
Lo
x 100%
Keterangan :
SR : Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt : Jumlah total ikan hidup sampai akhir penelitian
No : Jumlah total ikan pada awal penelitian
III.4.2.Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi terkait yang
berhubungan dengan data yang diperlukan, serta ditambahkan melalui studi
pustaka dari buku buku, jurnal dan literatur lainnya yang menyangkut diluar halhal dari kegiatan magang yang dilakukan.
20
21
22
BBAP Situbondo
bertugas
untuk
merumuskan
kegiatan,
23
Situbondo sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku untuk kelancaran
pelaksanaan tugas.
Seksi standarisasi dan informasi mempunyai tugas untuk melakukan
pengkoreksian data yang telah diperoleh dari pembenihan dan pembudidayaan air
payau, menyiapkan bahan bahan standar teknik dan pengawasan pembenihan dan
pembudidayaan ikan air payau, pengendalian hama dan penyakit ikan,
lingkungan, sumberdaya induk serta segala kegiatan yang dilakukan ditempat
tersebut. Sub bagian tata usaha mempunyai tugas melakukan administrasi
keuangan, kepegawaian, persuratan, perlengkapan dan rumah tangga serta
pelaporan. Kelompok jabatan fungsional di lingkungan BBAP Situbondo bertugas
melaksanakan kegiatan perekayasaan, pengujian, penerapan, bimbingan hama dan
penyakit ikan, pengawasan pembenihan, pembudidayaan dan penyuluhan serta
kegiatan lain sesuai tugas masing-masing jabatan fungsional berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Struktur organisasi tenaga kerja
secara menyeluruh dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tenaga Kerja Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo Tahun 2013
Tenaga Jumlah
Pegawai Negeri Sipil
kontrak
SDM
Gol
Tingkat pendidikan
Gol I
Gol II Gol III
IV
DOKTOR S-3
- Akuakultur
1
1
MAGISTER S-2
- Biologi
2
1
3
- Manajemen
2
2
- Akuakultur
4
2
6
- Pertanian
1
1
SARJANA S-1
- Perikanan
24
3
4
31
- Biologi
1
1
- Pertanian
3
3
- Ekonomi
3
1
4
- Kedokteran Hewan
1
1
24
- Hukum
- Teknik Kimia
- Administrasi Negara
DIPLOMA 4 (D4)
- Budidaya Perikanan
DIPLOMA 3 (D3)
- Perikanan
- Kimia
- Peralatan Mesin
- Akuntansi
- Informatika
SEKOLAH LANJUTAN
- SMA
- SUPM
- SPMA
- SFMA
- STM Bangunan
- STM Mesin
- STM Listrik
- SMEA
- SMK
- SLTP
SEKOLAH DASAR
- SD
JUMLAH
Sumber : BBAP Situbondo 2013
3
1
1
1
1
4
1
2
6
1
1
-
2
1
-
3
1
1
11
1
2
1
1
2
5
1
1
-
3
1
1
1
1
1
1
-
9
1
3
6
3
1
6
9
14
7
1
1
4
8
3
2
7
10
1
2
17
59
11
9
59
10
148
25
Kepala Balai
Ir. Dwi Soeharmanto,M.
Perekayasaan
Litkayasa
Pengawas Benih
Peng. Hama dan Penyakit
Pengawas Budidaya
Pranata Humas
26
27
1.25 m terbuat dari beton memiliki sudut yang tumpul untuk berfungsi untuk
memudahkan dalam pembersihan bak. Masing-masing bak dilengkapi dengan
selang aerasi sebanyak 16 dan dihubungkan dengan pipa aerator inchi dan pada
bak larva juga dilengkapi dengan pipa inlet berukuran 3 inchi untuk pemasukan
air laut dan pakan alami chlorella sp serta pipa outlet berdiameter 4 inchi untuk
pembuangan. Bak pemeliharaan larva dapat dilihat pada Gambar 5.
28
(a)
(b)
Gambar 6. Bak pakan alami chlorella sp (a), bak pakan alami rotifera (b)
d. Bak Penampungan air
1) Air laut
Sistem pemasukan air laut pada awalnya diambil dengan pompa sejauh
200-300 m dari permukaan laut dengan menggunakan pompa yang berkapasitas
7,5 PK melalui pipa PVC berukuran 4 inchi, pada bagian ujungnya di bungkus
waring dan ijuk untuk mencegah partikel kasar dari perairan. Lalu air ditampung
didalam bak tandon berukuran 4 x 4 x 2,5 yang didalamnya terdapat filter mekanis
29
berukuran 225 x 80 x 100 cm dengan komposisi batu kerikil, arang kayu atau
arang tempurung kelapa, ijuk dan pasir yang pada setiap lapisan di beri waring
sebelum dialirkan ke masing-masing bak. Bak penampung air laut berjumlah 3
unit namun yang digunakan hanya 2 yaitu untuk pembenihan barat, pembenihan
tengah dan pembenihan timur. Air laut yang digunakan untuk kegiatan
pembenihan dan kultur pakan alami adalah air yang telah melewati sistem filtrasi.
Tandon air laut dapat dilihat pada Gambar 5.
(A)
(B)
Sumber : Dokumentasi pribadi
30
Bak
Bentuk
Ukuran
Volume
Jumlah
1. Tandon
Persegi
41, 45 ton
4 unit
Persegi
24, 16 ton
5 unit
Bulat
D: 10 m, t: 3 m
33, 9 ton
3 unit
Bulat
D: 10 m, t: 3 m
23, 5 ton
4 unit
Bulat
D: 10 m, t: 3 m
23, 5 ton
4 unit
Bulat
D: 10 m, t: 3 m
33, 9 ton
3 unit
Persegi
50 x 50 x 50 cm
100 l
5 unit
8. Penetasan Telur
Persegi
2 x 5 x 1,25 m
12 ton
24 unit
9. Pemeliharaan larva
Persegi
2 x 5 x 1,25 m
12 ton
24 unit
Persegi
2 x 5 x 1,25 m
12 ton
24 unit
11. Chlorella
Persegi
3 x 5 x 1,4 m
21 ton
14 unit
12. Rotifera
Persegi
2 x 5 x 1,25 m
12 ton
16 unit
Persegi
2 x 5 x 1,25 m
12 ton
8 unit
2) Air tawar
Air tawar diperoleh dari sumur bor dengan kedalaman 80-100 m dan
ditampung di bak tandon air tawar. Bak penampung air tawar memiliki
31
32
No
1
Sumber aerasi
Blower Fortex
Daya
Daya 7 PK
Rood Blower
Daya 5 PK
Blower vortex 2
Daya 7 PK
Distribusi
Bak penggelondongan dan bak induk
timur
Bak karantina, pembenihan timur,
pembenihan tengah dan kultur pakan
alami timur
Pembenihan barat, kultur pakan
alami barat dan sebagian pembenihan
timur
33
Spesifikasi
Jumlah
1. Tenaga listrik
Pln 60 kva
1 unit
Genset 80 KVA
Kantor Utama
2 Unit
1 Unit
1 unit
1 unit
Laboratorium nutrisi
1 unit
1 unit
2. Kantor
3. Laboratorium
lingkungan
4. Rumah karyawan
5. Asrama
6. Bangsal pakan
8. Alat transportasi
7. Lain-lain
Bioteknologi
Rumah karyawan
1 unit
7 unit
Rumah tamu
1 unit
16 kamar
1 unit
Pick up L-300
1 unit
Isuzu panther
1 unit
Ford ranger
1 unit
1 unit
1 unit
Kijang innova
2 unit
Honda CRV
1 unit
Isuzu Elf
1 unit
Truk mitsubishi
1 unit
Bus
Auditorium
Ruang kuliah
1 unit
1 unit
1 unit
Perpustakaan
1 unit
Musholla
1 unit
34
35
dengan air laut sebanyak 9 ton melalui pipa inlet air laut dan engisian air
membutuhkan waktu 1-2 jam.
Air laut yang digunakan untuk media penetasan telur dan pemeliharaan
larva berasal dari bak tandon air laut yang terdapat di dekat kultur pakan alami
chlorella sp bagian timur. Pada saat pemasukan air dibagian ujung pipanya diberi
filter bag agar kotoran tidak masuk. Sebelum digunakan untuk media penetasan
telur air laut yang telah diisi pada bak tandon di treatment terlebih dahulu. Cara
treatment air yang telah berada pada bak tandon yaitu dengan pemberian larutan
formalin 600 ml lalu didiamkan selama 8 jam. Kemudian diberi larutan Nathiosulfat dengan dosis dari dosis disenfektan yang diberikan sehingga air laut
netral dan siap digunakan untuk kegiatan penetasan dan pemeliharaan larva. Air
dialirkan melalui pipa inlet yang telah terpasang pada bak penetasan. Namun,
sebelum dilakukan pengisian air pada bagian ujung pipa inlet diberi filter bag
yang berfungsi sebagai penyaring air agar
36
x 100 %
37
38
Tahap Perkembangan
Panjang (mm)
Larva berwarna transparan, saluran pencernaan 1,49
sudah mulai terlihat, tapi mulut dan anus masih
D2-D3
D8-D10
D12-D15
D20-D25
D30
Pada awal perkembangan larva D1 bentuk tubuh larva masih primitif, mulutnya
masih tertutup dan gerakannya planktonik atau masih mengikuti arus, tubuh
transparan dan masih mengandalkan kuning telur sebagai makanannya hingga
berumur D3 atau 3 hari pasca menetas. Pada D4 mulai muncul bintik hitam dan
itu menandakan mulut telah terbuka dan saat pasokan kuning telur telah habis
maka larva telah bisa memakan plankton seperti rotifera dan chlorella sp.
Perkembangan sirip punggung mulai terlihat pada umur D8, bakal sirip punggung
mulai berkembang hingga berumur D20 sirip punggung telah terbentuk dengan
sempurna. Larva mengalami pertambahan panjang tubuh sangat singnifikan pada
umur D12 D25 dengan penambahan panjang lebih dari 3 mm. Dari data
pertambahan panjang yang telah diketahui dapat dihitung pertumbuhan panjang
mutlak larva selama pemeliharaan dengan rumus :
39
Lm
= Lt Lo
= 1, 49 15,1
= -13,61
Lm
= - 13,61
Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa pertumbuhan panjang mutlak larva
ikan kerapu bebek (croileptes altivelis) pada awal pemeliharaan hingga berumur
D30 yaitu 13,61 mm. Dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan baru
terdapat beberapa fase kritis yang dapat mengakibatkan mortalitas pada larva.
3. D8-D13
2. D4-D7
4. D19-D22
40
41
habis. Pemberian pakan pertama kali biasanya pada sore hari karena diperkirakan
pada malam hari terjadi perubahan pola makan larva dari endogeneus menjadi
eksogeneus. Pakan diberikan secara ad libitum atau pakan selalu tersedia dalam
bak pemeliharaan. Pakan yang diberikan pertama kali yaitu minyak cumi dan
waktu pemberian pakannya biasanya pukul 06.00 pagi dan pada pukul 15.00 sore.
Metode pemberian minyak cumi sebagai pakan larva dengan cara
menebarkan pada beberapa titik aerasi yang terdapat pada bak pemeliharaan dan
dengan sendirinya minyak cumi tersebut akan menyebar merata dengan sendirinya
ke seluruh bagian bak. Pada fase ini
42
43
Dosis (ppm)
50-60
30-40
20-30
1
1
(1)
(2)
44
Gambar 12. Pupuk kultur chlorella (1) dan Pemasukan bibit (2)
4.3.2.2. Pakan alami dan Kultur Rotifera (Brachionus plicatilis)
Rotifera juga salah satu pakan alami yang memiliki nutrisi yang tinggi dan
sangat baik digunakan sebagai pakan untuk larva. Rotifera mulai diberikan pada
larva umur D3 sampai D30 karena dalam periode tersebut larva membutuhkan
asupan
nutrisi
tinggi
dalam
meningkatkan
laju
pertumbuhannya
serta
45
setiap
harinya
karena
sistem
kultur
rotifera
yang
dilakukan
secara
berkesinambungan.
46
cara yang tidak umum digunakan pada panti-panti benih, namun untuk
meningkatkan daya tetas dan meneghilangkan penyakit yang dibawa oleh kista
artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan (Bougias, 2008).
Teknik dekapsulasi cyste artemia yang pertama kali yaitu dengan
merendam cyste artemia pada air tawar selama 1 jam. Setelah 1 jam cyste artemia
disaring menggunakan scoopnet bilas dengan air tawar dan dimasukkan kembali
ke dalam ember yang telah diisi air tawar. Kemudian diberikan 250 ml liter
klorin dan cyste artemia diaduk cepat dengan menggunakan paralon dan
mempertahankan suhu < 40 oC. Siram ember dengan air secara terus menerus agar
suhu stabil. Lakukan teknik dekapsulasi tadi sebanyak 3 kali hingga cyste artemia
berwarna orange. Setelah berwarna orange artemia disaring lalu dibilas dengan air
tawar hingga bau klorinnya hilang. Tuang artemia ke dalam ember dan diberi Na
Thiosulfat sebanyak 8 gr dan tunggu selama 20 menit. Saring kembali artemia dan
bilas hingga bersih lalu dikeringkan. Bungkus di dalam plastik dan disimpan di
freezer.
Setelah proses dekapsulasi selanjutnya dilakukan proses penetasan.
Penetasan dilakukan dengan cara mengambil cyste artemia dari freezer tuang ke
dalam scoopnet lalu di bilas hingga bersih serta dilakukan pengadukan agar tidak
menggumpal. Tuang pada air laut dan beri aerasi selama 18- 28. Pemanenan
dilakukan dengan menarik selang aerasi agar telur yang tidak menetas mengendap
di dasar dan artemia yang menetas berada di permukaan. Tuang artemia yang
berada di permukaan ke dalam scoopnet lalu dibilas hingga bersih masukkan ke
dalam air laut da beri aerasi.
47
48
Jumlah pakan yang diberikan sesuai kebutuhan karena semakin besar larva maka
frekwensi pemberian pakan semakin sedikit.
(1)
(2)
(3)
(4)
Sumber : Dokumentasi pribadi
49
Tabel 7. Jadwal pemberian pakan larva ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis)
Umur larva
Jenis
pakan
D3
MC
D4-D7
D8-D14
D14-D20
D21-D31
R
C
MC
R
C
MC
R
C
Rotemi
a
R2/LH
F
R
C
Oto A1
A
R
A
Oto B1
Re
06.0
0
07.0
0
08.0
0
09.00
12.00
13.00
14.00
16.00
Keterangan :
MC
: Minyak cumi
: Rotifera
: Chlorella
: Artemia
Re
: Rebon
R2
50
51
sebanyak 75-100%. Pada larva yang siap panen dilakukan pergantian air menjadi
flow through. Parameter-parameter yang diukur dalam pengelolaan kualitas air
antara lain suhu, pH, salinitas, nitrit, amoniak dan dissolved oxygen (DO) atau
kandungan oksigen terlarut. Pengamatan kualitas air perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya fluktuasi yang mengakibatkan ikan mati massal secara
mendadak. Data parameter kualitas air yang diukur sebanyak 2 kali selama
praktek magang dilakukan yaitu pada minggu pertama dan ketiga dapat dilihat
pada Tabel 9. Sedangkan SOP (Standar Prosedur Operasional) kualitas air di
BBAP Situbondo dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 9. Data pengukuran kualitas air
Tanggal
28 januari 2014
14 Februari 2014
Parameter
Suhu
pH
Salinitas
DO
Nitrit
Amoniak
Suhu
Ph
Salinitas
DO
Nitrit
Amoniak
Kisaran
28,3 oC
7,7
32 ppt
6,09 ppm
2,59 mg/L
0,018 mg/L
29,5 oC
33 ppt
6,65 ppm
Tabel 10. SOP (Standar Operasional Prosedur) kualitas air di BBAP Situbondo
Parameter
Kisaran
52
Salinitas
Ph
Suhu
DO
Nitrit
Amoniak
28-35 ppt
7,8-8,3
28-32oC
> 5 ppm
< 1 ppm
< 0,01 ppm
53
bakteri, dan virus. Sedangkan penyakit non infeksi disebabkan oleh faktor non
hidup seperti pakan, lingkungan, keturunan dan penanganan (Afrianto dan
Liviawaty, 2003).
Penyakit ikan biasanya timbul karena adanya interaksi antara tiga faktor
yaitu lingkungan, inang dan adanya jasad penyebab penyakit. Penyakit ikan
dapat disebabkan karena faktor mikroorganisme seperti jamur, virus dan protozoa
(Aryani, et al, 2004).
Kordi (1997), membagi penyakit ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis)
dalam 2 bagian besar yaitu, 1) penyakit parasiter, dan 2) penyakit non parasiter.
Penyakit parasiter pada ikan kerapu disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa,
jamur, cacing, dan crustacea (udang renik), penyakit non parasiter disebabkan
kondisi lingkungan yang tidak baik, pemberian pakan yang tidak sesuai dengan
dosis dan waktu, serta faktor keturunan.
Salah satu masalah penyakit yang sering menggangu dalam budidaya ikan
kerapu terutama pada fase larva dan benih adalah penyakit Viral Nervous Necrosis
(VNN). VNN adalah jenis virus Nodaviridae yang dapat menyebabkan kematian
massal mencapai prevalensi 100%. Larva dan benih akan mengalami kematian
total hanya dalam kurun waktu 3 hari jika terserang virus VNN. Pencegahan harus
dilakukan agar terhindar dari terjangkitnya virus VNN dengan cara melakukan
sanitasi lingkungan dan tes PCR di laboratorium kesehatan dan lingkungan BBAP
Situbondo. Sanitasi lingkungan dilakukan dengan memasukkan larutan PK pada
Foot bath dan mencuci alat-alat yang telah digunakan serta menjaga biosecurity
lingkungan pemeliharaan larva dan benih.
54
4.3.5. Grading
Grading merupakan kegiatan penyeragamam ukuran karena dalam
pemeliharaan larva pertumbuhan ikan ini seringkali tidak seragam, terlebih lagi
karena kerapu bebek bersifat kanibal. Sifat buasnya itu akan menonjol apabila
terjadi perbedaan ukuran, tidak hanya memangsa yang kecil, tetapi juga menjadi
penguasa yang dikarenakan perbedaan ukuran tubuh yang sangat signifikan.
Sehingga ikan kecil akan tersisih dalam segala hal, termasuk dalam persaingan
makanan, untuk mencegahnya perlu dilakukan penyeragaman ukuran pada umur
D45 sampai umur 2 bulan. Grading dilakukan dengan cara menyeragamkan
ukuran langung dan memisahkan ikan sesuai ukuran tubuhnya. Seluruh ikan yang
berada di bak diambil dan di masukkan ke dalam ember dan pisahkan ikan yang
kecil maupun besar kedalam ember lainnya. Setelah dilakukan grading kemudian
semua ikan dihitung secara keseluruhan sehingga dapat diketahui tingkat
kelangsungan hidupnya.
55
x 100%
56
5.1 Kesimpulan
Pada teknik pemeliharaan larva kerapu tikus terdapat berbagi aspek yang
mendukung berhasil tidaknya kegiatan pemeliharaan serta adapula berbagai
kendala. Manajemen pemberian pakan larva kerapu bebek disesuaikan
berdasarkan umur dan bukaan mulut larva. Pakan yang digunakan dalam
pemeliharaan larva antara lain artemia, Chlorella, rotifera, rebon dan pakan
buatan. Larva pada umumnya mengalami fase-fase kritis dimana pada fase
tersebut tingkat mortalitas larva tinggi yang disebabkan karena proses
penyesuaian diri baik itu pakan, suhu air, salinitas dll. Tahapan fase kritis tersebut
yaitu fase kritis 3 pada umur D3-D7, fase kritis 2 pada umur D10-D14, fase kritis
3 pada umur D21-D25, dan fase kritis pada umur D35.
Tingkat mortalitas yang tinggi merupakan permasalahan utama dalam
pemeliharaan larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis) di BBAP situbondo.
Selain faktor di atas, faktor lain yang menyebabkan tingginya mortalitas adalah
manajemen pengelolaan kualitas air yang kurang baik, terjadinya fluktuasi suhu
secara drastis dan adanya penyakit parasiter yang disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur dll.
5.2. Saran
Saran yang saya berikan sebaiknya:
1. Untuk kedepannya bapak pegawai atau teknisi lapangan mengadakan evaluasi
setiap 2 minggu bagi para mahasiswa dan siswa praktek lapangan dan magang
57
58
DAFTAR PUSTAKA
59
Daulay, T., 1998. Artemia Salina (Kegunaan, Biologi dan Kulturnya). INFIS
Manual Seri No.12. Direktorat Jendral Perikanan dan International
Development Research, Jakarta.
Dhoe, S. B., Aditya, T.W., dan Supriya, 2004. Teknik panen dan transportasi
dalam pembenihan ikan kerapu. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Balau Budidaya laut Lampung. Bandar Lampung.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya
Lingkungan Perairan. Kanasius. Yogyakarta. 257 hal.
Effendi, M. I. 2004. Metode biologi perikanan. Penerbit Dwi Sri, Bogor.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rieka
Cipta, Jakarta. 179 hal.
Fulks, W. and K.L. Main. 1991. Rotifer and microalgae Culture System.
Proceedings of a U.S.-Asia Workshop. The Oceanic Institute, Honolulu,
Hawai. 363p.
Kordi, H. G. M., 1997. Budidaya Ikan Kakap Biologi Dan Teknis. Dahara Press.
Semarang 101 hal.
Kordi, M. Ghufran, H. 2004. Buku Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis.
Penerbit ANDI : Jakarta.
Kawahara, S., E. Setiadi, S. Ismi, Tridjoko dan K. Sugama, 2000. Kunci
Keberhasilan Produksi Masal Juvenil Kerapu bebek (Chromileptes
altivelis). Lokasi Penelitian Perikanan Pantai Gondol dan Japan
International Cooperation Agency. Gondol.
Murtidjo, B.A. 2001. Beberapa Metode Pemijahan Air Tawar. Kanisius.
Yogyakarta, 22-24 hal
Murtidjo, B. A. 2002. Budidaya Kerapu Dalam Tambak. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Nybakken, James W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta:PT.
Gramedia.
Randall, J. E., (1987). A Preliminary Synopsis of the Groupers (Perciformes :
Serranidae; Epinephelinae) ot the indo-pacific Region in J.J. Polovina, S.
Ralston (editor), Tropical Snapper and Groupers : Biology and Fisheries
Management. Westview Press. Inc., Boulder and London.
Rukyani, A., 2001. Strategi Pengendalian Penyakit Virus pada Budidaya Ikan
Kerapu dalam Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming
di Indonesia. Departemen Perikanan dan Kelautan dan JICA.
60
Subyakto, S., dan Cahyaningsih, S., 2005. Pembenihan Kerapu Skala Rumah
Tangga. Agromedia pustaka. Jakarta.
Sudirman, H., Karim, M. Y. 2008. Ikan Kerapu. Biologi, Eksploitasi, Manajemen
dan Budidaya. Jakarta: Yarsif Watampone. hlm. 9.
Sugama, K., S. Ismi, S. Kawahara and M. Rimmer. 2003. Improvement of Larval
Rearing Technique for Humpback Grouper (Cromileptes altivelis).
Aquaculture Asia Megazine July-September 2003. NACA. Bangkok.
Thailand. Page 34 37.
Sugama, K., Yuasa, K., 2001. Iridovirus. Penyebab Kematian pada Budidaya
Kerapu Lumpur Epinephelus coioide : Deteksi dengan Teknik Polymerase
Chain Reaction (PCR) dalam Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan
Sea Farming di Indonesia, Departemen Perikanan dan Kelautan dan JICA.
Sugama, K., Wardoyo, D. Rohaniawan dan H. Matsuda, 1998. Teknologi
Pembenihan Ikan Kerapu Bebek (Chromileptes altivelis). Loka Penelitian
Perikanan Pantai Gondol dan Japan International Cooperation Agency.
Gondol.
Sunyoto, P. 1994. Pembesaran Kerapu. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sunyoto, P. dan Mustahal. 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Sutrisno, Totok, dkk. 1987. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta.
Tampubolon, G.H. dan E. Mulyadi, 1989. Sinopsis Kerapu di Perairan Indonesia.
Semarang.
Tridjoko, B. Siamet, D. Makatutu, dan K. Sugama. 1998. Pengamatan pemijahan
dan perkembangan telurikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis)
secaraterkontrol. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 2(2): 55-62.
61
LAMPIRAN