Anda di halaman 1dari 17

RISALAH SEJARAH ULAMA ASWAJA NUSANTARA

DAN DISTORSI YG DILAKUKAN KAUM WAHABI


TERHADAPNYA(Part 1)
3 Februari 2013 pukul 3:51

....Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para rohaniawan nonYahudi (*muslim) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara
serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari
ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari faham agama telah dikumandangkan dimanamana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan (*Protokol
zionis ke 17).
Salah satu kejahatan Wahabi dan seluruh varian harokah yg berafiliasi serta menganut akidah yg
sama dengannya diluar pentahrifan kitab kitab ulama klasik adalah memanipulasi sejarah ulama
aswaja, khususnya ulama aswaja nusantara yg sangat dihormati oleh kalangan umat Islam berbasic
tradisional.
Seperti yg ditulis baru baru ini di sebuah situs resmi harokah yg mengklaim bahwa KH. Wahab
hasbullah salah seorang tokoh pendiri NU yg juga berperan dalam pendirian NKRI sebagai seorang
yg mendukung sebuah konferensi yang memperjuangkan tegaknya kembali khilafah, dalam hal ini
tentu saja khilafah versi pemahaman mereka, bukan versi pemahaman aswaja. (*silahkan di cek
tulisan mengenai hal tersebut di http://hizbut-tahrir.or.id/2012/05/15/sejarah-umat-islam-indonesiasejarah perjuangan-syariah-dan-khilafah/).
Sebelum itu telah kami temukan juga sebuah tulisan disebuah blog mengenai KH hasyim asyari yg
di katakan panjang lebar sebagai ulama yg anti terhadap bedug dan perayaan maulid (*silahkan
baca di http://axingx.blogspot.com/2012/07/kh-hasyim-asyary-tolak-beduk-maulid.html).
Selain itu mereka juga memanipulasi fakta sejarah polemik yg terjadi antara Syeikh Ahmad khatib al
minangkabawi dan ulama ulama thariqat di ranah Minang di zamannya sebagai alibi untuk
mengatakan beliau sebagai seorang ulama yg anti thariqat sufi dan pendukung gerakan
pembaharuan islam ala wahabiyah Muhammad abduh.
Hal ini tentunya membuat kami sebagai generasi muda aswaja pemerhati sejarah bertanya tanya:
Manufer apalagi yang dilakukan oleh kaum wahabi di Indonesia sekarang ini? Apakah setelah gagal
atau paling tidak kurang berhasil memalingkan kaum muslimin dunia dan Indonesia pada khususnya
dari akidah asyariyah-maturidiyah dan dari madzhab Imam yg empat dengan segala vonis sesat,
bidah dan kafirnya lalu mereka sekarang melakukan ini?

Atau memang mereka sudah tidak percaya diri lagi mengusung nama ulama ulama wahabiyahnya
yg selama ini selalu mereka jadikan sumber hujjah sehingga mereka berusaha membajak ulama
ulama aswaja sebagai sumber hujjah baru mereka...???
Entahlah..., namun menurut pengamatan kami ketidak pedulian generasi muda Islam akan sejarah
keislaman negerinya sendirilah yg membuat mereka menjadi sasaran empuk bagi kejahatan wahabi
yg satu ini. Siapapun yg cenderung silau dengan apapun yg berbau timur tengah alias Arab sentris,
lebih mengenal ulama ulama kholaf/mutakhir timur tengah wabil khusus yg mengusung sesuatu yg
mereka sebut sebagai gerakan pembaharuan islam yg berpusat di Arab saudi sana, maka dialah
mangsa yg tak perlu lagi diburu oleh para wahabi yg melakukan distorsi sejarah ini. Atau mereka yg
bersemangat meneriakkan gerakan penegakan kembali khilafah, pemberlakuan syariah Islam yg
salah kaprah dan basah kuyup dalam gegap gempita gerakan Pan islamisme radikal-fundamental yg
berakar dari buah fikiran Muhammad abduh, Rasyid ridha, Hassan albana, Taqiyudin an-Nabhani,
Sayyid Quthb dan sejenisnya maka pastilah juga yg menjadi mangsa empuk korban distorsi sejarah
ini.
Kami tidak bicara omong kosong, coba lihat berapa banyak anak muda Islam yg aslinya berasal dari
keluarga berbasic nahdiyin dan mungkin juga Pertiyin yg putar haluan menentang akidah dan
amalan amalan orang tuanya sendiri setelah mengenal Islam dari sumber yg salah. Sumber sumber
yg menampilkan wujud Islam yg tampak kemasan luarnya lebih nyunnah, yg semangatnya berapi
api, gagah dan mengobral syurga instant serta murah berbungkus kaleng berlabel jihad dunia maya
yg merupakan produk import dari Saudi arabia, Mesir, Yaman, Qatar, Kuwait, Iran, Palestina, syuriah
dan Jordania.
Produk produk import wahabisasi global yg berbumbu manis jargon kembali kepada Al Quran dan
hadits sesuai pemahaman para salafus sholeh dengan dalil dalil yg shahih, shorih dan rojih.
Aaahaah...., siapakah yg tak akan mabuk kepayang lupa daratan yg dipijak, lupa air bumi mana yg
diminum dan lupa udara mana yg setiap detiknya dihirup jika terkena slogan agama sedahsyat
itu? Sedangkan yg dari kalangan Muhammadiyin lebih parah lagi karena sejarah Muhammadiyah
memang telah mengalami distorsi sedemikian rupa secara sistematis semenjak berpuluh puluh
tahun lalu. Mereka lebih mengenal tauhid trinitas ala wahabi yg tak berdasar dan bak martabak
dibelah tiga itu ketimbang sifat 20.
Mereka malu mengakui kenyataan bahwa ibunya ikut pengajian aswaja, hobi maulidan, ratiban, dan
tahlilan, atau si mbahnya ada yg berbaiat kepada thariqat thariqat sufi serta hobi tirakatan dan
ngobong menyan. Mereka lebih mengenal pemikiran dan fatwa fatwa Syeikh Abdul aziz bin baaz
dan sang muhadits nomer wahid Syeikh Albani ketimbang pemikiran Syeikh Muhammad sa'ad al
khalidi mungka tuo atau KH. Hasyim asyari misalnya.
Dan kalaupun mereka mengenalnya maka sosok yg dikenal adalah sosok ulama aswaja yg telah
didistorsikan oleh tangan tangan kreatif seperti di 2 buah link yg kami cantumkan diatas.

Lalu yg terjadi kemudian adalah klaim klaim sok tahu kalau mereka dalam aktifitas gerakan
dakwahnya juga terpengaruh oleh pemikiran Yai Hasyim misalnya. Namun disaat bersamaan
mereka memuja muja Syeikh Muhammad bin Abdul wahab sampai ke langit yg ketujuh...., oooooh
muwahiddun..., entah kemana logika dan akal sehatmu kau campakkan? Masihkah dia ada
bersemayam di dalam kepalamu saat ini seperti bersemayamnya Allah di atas arsy-Nya yg kau
yakini sebagai akidah yg haq? Atau dia sudah kabur entah kemana.
Atau mungkin kesadaran historismu yg teramat sangat miskin itulah yg membuatmu begitu? Karena
tidaklah mungkin seorang yg akalnya berfungsi dengan baik mengaku terpengaruh oleh 2 tokoh yg
bahkan dalam masalah ushuludin saja bagai bumi dan langit bedanya, dimana yg satu menyelisihi
yg lainnya.
Namun mereka ini sebenarnya adalah korban..., ya korban dari sebuah konspirasi manipulasi
sejarah yg secara sistematis dilancarkan dari dalam tubuh Islam sendiri oleh Illuminati-Freemasonry
serta agen agennya.
Karenanya, sebuah usaha pangkajian sejarah aswaja nusantara secara mendalam sangatlah
diperlukan. Ketahuilah saudara saudara kami yg hobi klaim dan memanipulasi sejarah sana sini,
tindakan kalian akan mendapat perlawanan yg sengit dari kami, sejarah tak bisa kalian putar
balikkan seenak kepentingan kalian...
KEHEBATAN ULAMA-ULAMA ASWAJA NUSANTARA DI MASA LALU

Ulama ulama kita dahulu memang hebat hebat adanya. Mereka telah menjadi tokoh tokoh dunia dan
mengharumkan serta melambungkan nama nusantara ke pentas dunia islam internasional. Namanama ulama seperti Syekh Yusuf Al- Makassary(Makassar) dan Syekh Abdul Rauf Al-Sinkili
(Singkel, Aceh), merupakan ulama yang malang melintang menuntut ilmu di Haramain pada abad
ke-17. Syekh Abdul Shomad Al-Palimbani (Palembang), Syekh Nafis Al-Banjari (Banjar, Kalsel),
Syekh Arsyad Al-Banjari (Banjar, Kalsel) merupakan ulama tasawuf thariqat Samaniyah yang
berpengaruh pada abad ke-18.

Kita juga mengenal nama-nama seperti Syekh Nurudin Al-Raniri (Aceh), Syekh Abdul Rahman Al
Masry Al Batawi (Jakarta), Syekh Khatib Sambas (Kalimantan), dan lain-lainnya.
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ulama kita malah makin hebat-hebat di Mekkah. Karena
mereka tidak sekadar menuntut ilmu, tapi justru menembus pusat ilmu di Mekkah, yaitu sebagai
pengajar dan imam di Masjidil Haram. Tercatat ada 2 nama ulama Indonesia yg menjadi Imam di
mesjidil haram Mekkah, yaitu Syeikh Nawawi al bantani dan Syeikh Ahmad khatib al Minangkabawi.
Tersebut jualah syeikh Muhammad saad al khalidi mungka tuo yg telah melanglang buana menuntut
ilmu sampai ke Mekkah, Madinah dan Yaman disaat bahkan penduduk Indonesia mungkin belumlah
mengenal memakai celana apalagi yg berbahan dan bermodel pantalon. Atau mungkin sebagian
dari kita juga akan asing mendengar nama KH. Kholil bangkalan, KH. Sholeh darat al Semarangi,
Buya maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli Canduang, Buya H. Sirajuddin Abbas, Syekh Tuanku
Shaliah Keramat dan Syeikh mahfudz al termasyi. Serta masih puluhan bahkan ratusan nama ulama
ulama Indonesia yg hebat di masanya yg tidak mungkin kami sebutkan satu persatu disini..
Seluruh ulama pilih tanding nusantara yg kami sebutkan diatas adalah ulama berakidah asyariyahmaturidiyah dan bermadzhab syafiiyah, madzhab yg lazim dianut oleh penduduk muslim nusantara
semenjak dulu kala.
Tak satupun diantara mereka yg berakidah Mujasimah-musyabihah, dan berfaham ekstrim nyeleneh
anti madzhab imam yg empat alias wahabiyah. Lebih jauh lagi seluruh mereka adalah para sufi,
ulama ulama thariqat yg bertassawuf.
Sebuah kenyataan historis yg mencengangkan mengingat ulama ulama thariqat saat ini dikecam
secara membabi buta dengan sebutan kaum sufi yg tolol dan terbelakang oleh orang-orang
ahistoris tak tahu diri yg mengklaim diri mereka sebagai penegak tauhid.
Mereka buta akan fakta bahwa setelah era keemasan Walisongo di tanah Jawa dan ulama ulama
besar di tanah sumatera serta melayu pada umumnya para ulama sufi yg tolol dan terbelakang itulah
yg menjadi imam imam panutan tempat bertanya dan menuntut ilmu serta merenangi samudera
keilmuan islam yg nyaris tak terlihat bibir pantainya.
Dari tangan tangan mulia para ulama serta wali waliyullah inilah kemudian lahir ulama ulama seperti
KH. Hasyim asyari, KH. Wahab hasbullah, KH. Ahmad dahlan dan lainnya yg kelak sangat berperan
dalam membebaskan bangsa Indonesia pada umumnya dan umat islam nusantara pada khususnya
dari belenggu penjajahan Belanda.
GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM MESIR DAN EFEKNYA PADA ULAMA-ULAMA INDONESIA
SERTA POLEMIK ANTARA GOLONGAN TRADISIONAL SERTA MODERN YANG
DIMANIPULASI OLEH WAHABI DIMASA KINI.

Mereka para ulama yg kami sebutkan panjang pendek perihalnya diatas terkemuka di dalam dunia
keilmuan Islam tak hanya di nusantara melainkan juga di dunia selama abad ke 18 dan paruh kedua
abad ke 19 serta awal abad ke 20.
Hingga akhirnya hembusan gerakan pembaharuan islam bertiup dari Mesir, setelah beberapa waktu
sebelumnya berhembus pula dari Najd. Namun anehnya sumber hembusan terdahsyat justru datang
dari Perancis.
Ya, tersebutlah 3 tokoh disini: Jamaludin al afghani, Muhammad abduh dan Rasyid ridha.
Uniknya majalah Al manaryang merupakan corong propaganda ide ide pembaharuannya diterbitkan
pertama kali saat mereka berada di Paris Perancis. Bukankah sebuah keanehan pembaharuan
islam namun dihembuskan dari negeri kafir penjajah yg terang terang dikenal sebagai salah satu
markas gerakan Freemasonry dunia...??
Sepintas lalu ide pembaharuan yg digagas mereka itu sangatlah luar biasa. Ide ide tentang
modernisasi pendidikan islam, sosial dan politik tentunya tak dapat dipungkiri memang diperlukan
oleh kaum muslimin di seluruh belahan dunia yg terjajah oleh bangsa bangsa barat saat itu. Tiba
tiba saja Al manar menjadi konsumsi bacaan populer para pelajar Islam di Mekkah saat itu, tak
terkecuali ulama ulama asal nusantara seperti KH. Ahmad dahlan dan KH. Hasyim asy'ari yg
sedang belajar disana. Tak sedikit dari para pelajar itu lalu beramai ramai ke Mesir untuk bertemu
dan kursus kilat gerakan tajdid (*pembaharuan) kepada Muhammad abduh dan muridnya Rasyid
ridha.
Namun gerakan modernisasi Islam alias gerakan tajdid ini menyimpan racun yg justru sangat
mematikan bagi umat Islam itu sendiri yaitu pelepasan diri dari kaidah bermadzhab kepada
madzhab yg empat serta pemberangusan thariqat thariqat sufi bahkan yg mutabarah sekalipun.
Mereka juga menolak madzhab akidah asyariyah-maturidiyah yg telah berabad abad dikenal
sebagai akidah ahlussunnah wal jamah. Bayangkan..., bukankah itu ibarat seekor kambing yg tak
bisa mengaum namun ingin diakui sebagai singa bukan???
Selain itu mereka juga mengecam keras tradisi keislaman seperti maulid, perayaan isra miraj dan
berziarah ke makam orang orang sholeh. Dan mereka sangat menekankan bahwa pintu ijtihad
masih terbuka lebar dan siapapun bisa dan berhak melakukannya. Walhasil lahirlah mujtahid
mujtahid gadungan yg kurang ilmu, kering hikmah, miskin khazanah, dan bahkan tanpa sanad
keilmuan yg jelas, sehingga fatwa fatwa yg dihasilkanpun bukan alang kepalang nyeleneh bin
ngawurnya.
Semua orang asal bisa bahasa arab agak sejurus dua jurus, sepukul dua pukul maka dia bisa dan
boleh berijtihad sekehendak hatinya tanpa harus memperhatikan ijma ulama terdahulu.
Kalau perlu silahkan saja menyalahkan pendapat mereka, shahihkan, dhoifkan, maudhu-kan,
bahkan kafirkan muhadits sekelas Imam Bukhari dan imam Muslim jika hadits mereka tak sesuai

dengan akidah wahabiyah yg merujuk kepada Syeikh ibnu taimiyah. Ini sama saja dengan
membebaskan segerombolan anak paud mengurus keperluan hidupnya sendiri tanpa ada bekal yg
cukup dan tanpa ada yg mengawasi.
Agama Islam itu bisa kau fahami dengan seenak nafsu dan akalmu... Do what you want, do what
you wilts. Dari luar gerakan pembaharuan ini sangat mempesona dengan ide ide modernisasi Islam
yg bertujuan mengangkat Islam dari keterbelakangan, namun isinya tak lebih dari gerakan
wahabisme jilid dua.
Bahkan yg menarik adalah Muhammad abduh sendiri mengakui bahwa dia sangat terpengaruh
pemikiran mutazilah alias Islam liberal, suatu faham Islam yg ditolak mentah mentah dengan reaksi
yg sangat overacting oleh pengagum pengagumnya saat ini.
Kemutazilahan Abduh bukanlah sebuah rahasia lagi di dunia kajian sejarah faham wahabi
dikalangan para ulama aswaja dan pemerhati masalah konspirasi saat ini. Bahkan seorang bernama
David livingstone di dalam bukunya Illuminati and terrorism dengan tegas dan berani mengatakan
Abduh, Ridha, dan Jamaludin al afghani sebagai agen-agen freemasonry yg ditanam di dalam tubuh
islam.
PELURUSAN DISTORSI SEJARAH, FITNAH SERTA KLAIM WAHABI TERHADAP SYEIKH
AHMAD KHATIB AL MINANGKABAWI, SERTA POLEMIKNYA DENGAN THARIQAT
NAQSABANDIYAH DI MINANG KABAU.

Gelombang gerakan pembaharuan ini ditanggapi dengan reaksi yg beragam oleh para pelajar dan
ulama Indonesia saat itu baik yg belajar di Mekkah maupun tokoh tokoh pergerakan Islam yg berada
di tanah air.
Golongan pertama adalah mereka yg cenderung menerimanya bulat bulat sebagai sesuatu yg
mutlak dan sebagai sebuah keniscayaan, termasuk ide Abduh dan Ridha untuk meninggalkan taqlid
kepada madzhab imam yg empat dan pemberangusan thariqat thariqat sufi.
Sedangkan golongan kedua adalah mereka yg menerima dan menyerap gagasan pembaharuan
Islam Abduh dalam bidang modernisasi pendidikan, sosial dan kesadaran politik, namun dengan

tegas menolak mentah-mentah gagasan untuk keluar dari kaidah taqlid bermadzhab kepada Imam
madzhab yg empat serta mengikuti dan mengamalkan tassawuf melalui thariqat thariqat sufi.
KH. Hasyim asy'ari dan KH. Ahmad dahlan termasuk kepada golongan yg kedua ini, sedangkan
ulama seperti Syeikh Ahmad syurkati (*pendiri Al Irsyad) dan pimpinan organisasi pergerakan Islam
seperti HOS. Tjokroaminoto termasuk kepada golongan yg kedua. Tentunya terjadi perdebatan,
ketegangan dan tarik menarik diantara kedua golongan ini, namun diantara mereka tetap saling
menghargai dan menghormati. Cita cita untuk mencapai Indonesia yg merdeka dari penjajahan
bangsa kafir Belanda yg menjadi impian seluruh rakyat Indonesia saat itu membuat mereka mau tak
mau harus duduk dan berjuang bersama.
Disinilah kaum wahabi hari ini melakukan distorsi-distorsi sejarah yg cukup signifikan.Mereka
mengatakan bahwa Syeikh Ahmad khatib al Minangkabawi yg merupakan guru dari nyaris seluruh
ulama Indonesia yg belajar di Mekkah saat itu sebagai seorang ulama yg anti tassawuf, anti thariqat
dan anti kaum sufi, sejalan dengan Abduh dan Ridha. Ini tentunya cukup menggelikan, memang
Syeikh Ahmad khatib pernah terlibat polemik permasalahan thariqat dan hukum adat yg berlaku di
alam Minang kabau dengan ulama ulama dan kaum niniak mamak-cadiak pandai di ranah minang.
Memang beliau juga terlibat berbantah bantahan cukup panjang dengan ulama ulama thariqat
Naqsabandiyah dan mengecam thariqat itu melalui kitabnya Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim
bis Shadiqin (*artinya: "Menyatakan kebohongan orang orang yg menyerupai orang orang yg benar",
terbitan 1906). Di kitab yg membuat heboh urang awak di masanya tersebut beliau menyerupakan
orang yg bersuluk dengan memakai rabithah (*Membayangkan wajah mursyid saat melafalkan dzikir
pada prosesi suluk) sama dengan orang menyembah berhala.
Lebih lanjut beliau juga memfatwakan haramnya harta pusako serta hukum berwaris dari mamak
(*paman) kepada kemenakan sebagaimana yg lazim berlaku dalam adat Minang. Kecaman ini telah
dikupas habis oleh seorang ulama besar, pendekar Naqsyabandiyah, Syeikh Muhammad Saad alKhalidi Mungka Tuo (w. 1922) lewat kitab balasannya Irghamu Unufil Mutaannitin fi Inkarihim
Rabitathalwashilin (*artinya: "Meremukkan hidung penantang, yaitu mereka yang mengingkari
Rabithah orang-orang yang telah sampai kepada Allah).
Polemik ini kemudian ramai dibicarakan oleh ulama ulama muda wabil khusus yg berasal dari
Minang kabau yg tentunya mendukung Syeikh Ahmad khatib. Sikap mereka ini disinyalir akibat
terpengaruh oleh bacaan mereka yaitu majalah Al manar yg diasuh oleh Muhammad abduh dan
Rasyid ridha.
Perbantahan seputar masalah thariqat ini kemudian terus berlanjut, masing masing kedua ulama
besar ini kemudian mengeluarkan satu kitab lagi untuk berargumentasi. Namun para ulama Minang
dan seluruh Sumatera sepakat bahwa argumen dan dalil dalil dari Syeikh Muhammad sa'ad mungka
yg didukung dengan ilmu alat yg lengkaplah yg jauh lebih kuat dan unggul ketimbang apa yg
disampaikan oleh Mufthi Mekkah Syeikh Ahmad khatib.

Maulana Syekh Muda Wali al-Khalidi Naqsyabandi, ulama besar di Aceh, pernah menulis dalam
kitabnya "Intan Permata" mengenai keputusan perdebatan Syekh Ahmad Khatib dengan Syekh
Saad Mungka bahwa dalil dalil yg dikemukakan syeikh ahmad khatib itu ibarat seekor harimau yg
telah terpenggal lehernya oleh kitab tulisan Syeikh Muhammad saad mungka tuo.
Kelak di kemudian hari Syeikh Ahmad khatib dan Syeikh Muhammad sa'ad mungka tuo bertemu
disebuah jamuan makan di Mekkah. Syeikh Ahmad khatib tercengang dan takjub dengan
kerendahan hati, kezuhudan serta kefasihan dan kealiman Syeikh Muhammad sa'ad mungka tuo
saat berbicara dengannya. Mereka berbincang bincang akrab, bahkan Syeikh Ahmad khatib yg
adalah seorang mufthi saat itu mempersilahkan Syeikh Sa'ad duduk disebelahnya sbg tanda
penghormatan. Nyata betul kalau perdebatan mereka jauh sekali dari perilaku takfir dan tabdi'
seperti yg lazim ditulis para akademisi sejarah Islam berhaluan wahabi saat ini.
Jelas sekali kalau polemik mereka hanyalah sebatas keilmuan saja, selayaknya 2 raksasa intelekual
Islam yg saling menguji sampai batas mana kefahaman mereka terhadap Al-qur'an dan hadits, tak
lebih.
Hal itu, karena walau bagaimanapun mereka adalah sama sama ulama berakidah asy'ariyahmaturidiyah, sama sama bermadzhab Syafi'iyah dan bahkan lebih dari itu: sama sama mursyid
thoriqoh. Ya..., Syeikh ahmad khatib al minangkabawi walau bagaimanapun keras argumennya
tentang thariqat, namun beliau tetaplah seorang sufi belaka.
Beliau memang mempunyai pandangan pandangan khusus ttg thariqat, namun bukan seluruh
thariqat yg dikritisinya atau bahkan dibantainya seperti yg dilakukan Abduh dan ridha, melainkan
hanyalah thariqat Naqsabandiyah khalidiyah saja, dan itupun argumennya mentah dibasuh oleh
Syeikh Muhammad sa'ad mungka tuo.
Terlebih dari itu bagaimanapun luasnya keilmuan beliau namun hingga akhir hayatnya tak sekalipun
beliau berlepas diri dari madzhab Imam yg empat, dalam hal ini madzhab Syafi'iyah. Begitupula
murid murid beliau baik yg berasal dari Minang maupun dari tanah Jawa, walaupun akrab dengan Al
manar tapi mereka tetaplah berpegang teguh kepada tradisi bermadzhab dan mengikuti thariqat
thariqat sufi.
PELURUSAN DISTORSI SEJARAH YANG DILAKUKAN OLEH WAHABI TERHADAP POLEMIK
PEMBAHARUAN DI MINANGKABAU

Tersebut jualah seorang tokoh ulama besar Indonesia asal Sumatera barat/Minang kabau yg disebut
sebut oleh kaum wahabi saat ini sebagai tokoh pembaharu pendukung dan pengadopsi gerakan
tajdid Muhammad abduh dan Rasyid ridha serta mendukung gerakan pemurnian tauhid ala
Wahabiyah. Beliau adalah Syeikh DR. Abdul Karim Amarullah (*ayah Buya Hamka) di ranah Minang.
Keduanya memang merupakan tokoh modernisasi Islam di Indonesia, dan memang pernah
mengenal dan mengakrabi ide ide Abduh yg termaktub di dalam majalah Al manar.
DR. Abdul Karim amarullah atau yg lebih dikenal dengan Inyiak Rasul ini merupakan pendiri sekolah
dan perkumpulan Sumatera Thawalib di Parabek Padang panjang serta orang yg pertama kali
memperkenalkan perkumpulan Muhammadiyah di ranah Minang.
Bersama DR. Abdullah Ahmad Padang (*pendiri Adabiyah School) dan lainnya dia menerbitkan
surat kabar untuk menyambung ide-ide pembaharuan itu di Padang, dengan nama Majalah alMunir (senada dengan al-Manar di Mesir). Memang seperti halnya guru mereka Syeikh Ahmad
khatib merekapun melakukan kritisi terhadap praktek thariqat wabil khusus thariqat naqsabandiyah
khalidiyah yg lazim dianut kaum ulama tua di Minang kabau.
Hal ini menimbulkan polemik yg merupakan kepanjangan dari polemik thariqat antara Syeikh Ahmad
khatib dan Syeikh Muhammad sa'ad mungka. Masing masing fihak mengemukakan pendapatnya.
Fihak Sumatera Thawalib melalui majalah Al munir nya mengkritisi kejumudan kaum tua yg terlalu
sibuk dengan urusan suluk dan beramal bathiniyah namun melupakan keadaan sosial masyarakat
yg terpuruk dibawah kaki penjajah Belanda saat itu.
Sebagai aksi nyatanya mereka mendirikan sekolah sekolah dinniyah dan madrasah modern yg
pendidikannya mengkombinasikan pendidikan ala Islam dan barat sebagai anti tesis dari pendidikan
Islam ala surau yg lazim berlaku di ranah Minang dan tanah melayu pada umumnya.

Dan ulama ulama tua Minangpun tak tinggal diam, puluhan kitab ditulis mereka untuk membantah
tuduhan jumud dan kolot dari kaum muda tsb. Diantaranya Maulana Syeikh Sulaiman ar-Rasuli (w.
1970) yang mengarang berbagai risalah tentang Naqsyabandiyah, salah satunya yang terkemuka
ialah Risalah Aqwalul Washithah fi Zikri wa Rabithah; kemudian Syeikh Abbas Qadhi Ladang Laweh,
Syeikh Arifin Batu Hampar, kemudian Syeikh Abdul Wahid Beliau Tabek Gadang Payakumbuh.
Dan saat polemik tersebut semakin meruncing sampai ke ranah khilafiyah dan furuiyah fiqih maka
para ulama kaum tua di Minang merespon gerakan pembaharuan kaum muda tsb dengan
mendirikan PERTI atau Persatuan Tarbiyah Islamiyah pada tahun 1930, maka lengkaplah sudah
babak polemik agama Islam antara kaum muda/modernis dan kaum tua/tradisionalis di ranah
minang.
Namun seiring dengan waktu setelah masa pergolakan dan perang dingin antara kaum pembaharu
muda dengan Sumatera Thawalib dan Muhammadiyahnya serta kaum tua dengan PERTI-nya tsb,
mereka lalu hidup berdampingan dalam persaudaraan hingga hari ini. Sungguh ikatan persaudaraan
mereka sebagai muslim dan ikatan emosional adat dan kekerabatan di alam Minang kabau tak
memberi sedikitpun tempat bagi perilaku takfir dan tabdi' ala Wahabiyah.
Terlebih lagi semoderat apapun pemikiran DR. Abdul karim amarullah akibat pengaruh gerakan
tajdid ala Abduh dan Ridha di Mesir dia tetaplah jua seorang ulama yg sangat kental corak dan latar
belakang thariqatnya. Bahkan seperti halnya gurunya diapun adalah seorang sufi belaka jua.
Sang Inyiak Rasul ini adalah anak dari seorang ulama besar dan legendaris Minang kabau bernama
Syeikh Amrullah Tuanku Kisai al-Khalidi Naqsyabandi ad-Danawi. Ayahnya tersebut yg lebih dikenal
di kalangan masyarakat Minang saat itu dengan sebutan Tuanku Kisai ini adalah seorang ulama
pewaris kaum paderi dan seorang mursyid thariqat Naqsabandiyah khalidiyah dan beberapa thariqat
lainnya. Dari ayahandanya inilah Inyiak Rasul mendapatkan ijazah thariqat Alawiyah dan
Haddadiyah.
Begitupula dengan DR. Abdullah ahmad Padang dan Syeikh Muhammad Jalil jambek serta ulama
ulama Minang pengusung modernisme lainnya juga adalah orang orang yg berlatar belakang
thariqat belaka adanya.
Dan perlu juga kami tuturkan disini bahwa tak sedikit pula murid dari Syeikh Ahmad khatib al
minangkabawi yg justru malah menjadi ulama ulama thariqat Naqsabandiyah dan cenderung berdiri
di sisi kaum tua.
Jadi di Minang kabau tak ada itu gerakan tajdid membabi buta ala Abduh dan Ridha di Mesir yg
secara serampangan memberangus thariqat thariqat sufi dengan menggunakan kekuasaan Abduh
sebagai seorang mufthi. Tak ada pula itu obral tabdi' apalagi takfir dan tindakan penghalalan darah
sesama muslim sebagaimana layaknya corak kelam dan menjijikkan yg mewarnai sejarah gerakan
wahabi dimanapun dia berada.

Perdebatan boleh bergemuruh laksana guruh di dalam topan badai, argumen dan dalil boleh
diumbar selebar dan sepanjang jalan berkelok ampek puluah ampek nan mahsyur itu, namun hanya
sebatas kajian keilmuan saja, tiadalah lebih.
Modernisasi tak pelak memang perlu dilakukan sebagai keniscayaan tuntutan zaman, namun bukan
berarti menjadi alibi dan legitimasi untuk mendobrak tatanan kaidah agama yg telah ijma' selama
nyaris 1000 tahun lebih seperti tradisi dan kaidah bermadzhab.
Inilah yg sangat disadari oleh kaum muda pembaharu di Minang kabau, mereka mengganti yg usang
dengan yg baru sesuai tuntutan zaman tanpa harus membuang seluruhnya. Mana yg baik dan bisa
dipakai maka tetaplah dipertahankan karena merenovasi sebuah rumah bukanlah dengan cara
meruntuhkan pondasi rumah tersebut dengan dinamit, sungguh hanya orang kurang akal dan telah
pesong otaknya saja yg melakukan hal itu.
Tapi walaupun demikian adanya, tiadalah dapat dipungkiri kalau angin gelombang pembaharuan ini
berperan tidaklah sedikit dalam memudarkan tradisi belajar agama di surau yg lazim berlaku di
ranah minang.
Lengang sudah surau surau tempat anak nagari mempelajari ilmu agama, mengkaji kitab kitab
kuning ulama ulama terdahulu, mengenal adat nan basandi syara' dan basandi kitabullah, serta
menyelami dan meniti jenjang syariat, hakikat dan ma'rifat menuju sosok insan kamil.
Zaman kini telah berganti, gamis dan sarung, saluak, kopiah serta imamah telah berganti dengan
kemeja, celana pentalon serta setelan jas ala Eropa. Ilmu alat seperti nahwu, shorof, balaghoh,
ma'ani, bayan, mantiq dan ushul telah tergantikan dengan pelajaran agama bermetode barat yg
serba modern dan menggunakan huruf latin. Tradisi "lalok di surau" (*menginap di mesjid/mushola)
selepas mengaji dan sholat Isya telah lenyap sudah menjadi cerita masa lalu bagi generasi muda
nan lugu dan tak tahu asa barasa carito cadiak pandai urang awak.
Dan akibatnya semakin sedikit yg bisa membaca kitab kitab tulisan hasil buah fikiran dan manisnya
lautan madu ilmu ulama ulama angku nan tuo. Kitab itu kini semakin habis dimakan usia, seiring
habis dan terangkatnya kejayaan dan keemasan serta harum mewanginya ranah minang sebagai
salah satu gudangnya ulama, sastrawan serta kaum cerdik pandai di nusantara. Inikah yg
dinamakan pembaharuan yg gegap gempita bergaung suaranya dari Mesir hingga ke pojok pojok
kampung yg orang orangnya bahkan tak tahu ada negeri lain di dunia ini selain nagari nan diapik
gunung singgalang dan danau maninjau....?? Tajdid...., oooooh.... Tajdid...
DR. Abdul karim amarullah dan seluruh ulama pembaharu di ranah Minang hingga akhir hayatnya
tetaplah berpegang teguh kepada madzhab akidah asy'ariyah-maturidiyah, madzhab fiqih Syafi'iyah
dan berthariqat dengan thariqat thariqat yg mu'tabarah.
Tak sejengkalpun mereka melepaskan diri dari taqlid kepada madzhab Imam Syafi'i sebagaimana yg
diserukan Abduh dan Ridha. Beliau tetaplah mengikuti jejak ayahandanya Tuanku Kisai, gurunya

Syeikh Ahmad khatib al minangkabawi dan ulama ulama terdahulu dalam hal kaidah tradisi
bermadzhab kepada salah satu madzhab yg empat, dalam hal ini madzhab Syafi'iyah.
Tiadalah beliau mengenal apalagi menganut tauhid yg dibagi tiga laksana membelah martabak yg
dibeli di pinggir jalan itu, tak ada itu Uluhiyah, Rubbubiyah dan Asma wa shifat dalam kamus dalil
Inyiak Rasul.
Maka dengan itu klaim murahan kaum Wahabi bahwa para pembaharu di Minang adalah kaum
wahabiyah adalah kebohongan belaka. Sebuah usaha pendistorsian sejarah yg sangat licik dan
menjijikkan serta dengan mudah dapat ditelanjangi di siang hari bolong di tengah ramainya orang di
balai.
Coba fikir..., seorang wahabi macam apa yg berbaiat kepada 2 thariqat sekaligus seperti beliau?
Wahabi macam apa pula yg tetap berpegang teguh dan taqlid kepada Imam Syafi'i...? Bahkan
putera beliau yaitu Buya Hamka yg tak luput jua dari distorsi sejarah dan klaim para wahabi bahwa
beliau berfaham tauhid ala Najd itupun sejatinya juga adalah seorang Asy'ariyah-Syafi'iyah.
Walaupun dalam beberapa masalah beliau cukup moderat toh menjelang akhir hayatnya Buya
Hamka akhirnya berbaiat kepada KH. A Shohibulwafa Tajul Arifin atau lebih dikenal dengan Abah
Anom dari pesantren Suryalaya dibawah thariqat Qodiriyah Naqsabandiyah.
Terlebih lagi beliau juga menulis sebuah buku tentang tassawuf berjudul "Tassawuf modern",
patahlah sudah klaim kaum wahabi terhadap beliau laksana kayu lapuk yg telah usang dimakan
rayap.
Dan jika klaim serta distorsi yg mereka lakukan terhadap kaum pembaharu di era modern masih
kurang maka mereka kemudian melakukan hal yg sama liciknya kepada figur ulama ranah Minang
yg jauh lebih tua lagi. Tuanku Imam bonjol, Tuanku nan renceh dan kaum Paderi di Minang diklaim
juga oleh mereka sebagai ulama yg berfaham Wahabiyah.
Hal ini tentunya jauh lebih menggelikan bagi kami karena klaim ini teramat sangatlah lebih mentah
dari klaim mereka terhadap kaum muda pembaharu di era modern. Hal tersebut karena Tuanku
Imam bonjol, Tuanku nan renceh dan seluruh ulama paderi yg mahsyur dengan sebutan "Harimau
nan salapan" itu adalah murid dan salik dari Tuanku nan tuo di koto tuo, seorang ulama tua dan
mursyid thariqat Syattariyah.
Dengan demikian terlepas dari keradikalan mereka dalam menegakkan syari'at Islam di ranah
minang dan menghadapi kaum adat pada masanya, Tuanku Imam bonjol dan kaum paderi lainnya
tak lain tak bukan adalah kaum sufi jualah kiranya.
Mau tak mau lagi lagi kami harus bertanya: Wahabi macam apa pulakah yg berthariqat Syattariah?
Wahabi manakah yg dikepalanya melingkar lilitan imamah seperti kaum paderi?

Kami rasa tak satupun wahabi yg bisa menjawabnya. Sungguh cahaya kebenaran itu memang lebih
terang dari sinar mentari bagi orang orang yg mengetahuinya, bagi yg tak pernah berhenti
manggalinya dan bagi yg diberi petunjuk oleh Allah SWT.
***Bersambuung:
PELURUSAN DISTORSI SEJARAH YANG DILAKUKAN WAHABI TERHADAP KH. AHMAD
DAHLAN DAN MUHAMMADIYYAH-NYA DI TANAH JAWA.
==Milisi Oposisi Naga, 02-03-2013==
Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Contoh ulama nenek moyang kita lainnya yang menolak paham kelompok Wahabi yang
berlandaskan pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah ulama besar Indonesia yang pernah menjadi
imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafii pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Dia memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di
sana menjadi guru para ulama Indonesia.
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Gadang,
IV Koto, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat
di Makkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M)
Awal berada di Makkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid
Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah
al-Makkiy.
Banyak sekali murid Syeikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafii. Kelak di kemudian hari mereka
menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti
Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari Buya Hamka;
Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi;
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi,
Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang,
Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi,
Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki,
Syeikh Khatib Ali Padang,
Syeikh Ibrahim Musa Parabek,
Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan
Syeikh Hasan Maksum, Medan.

Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asyari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masingmasing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib.
Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafii dalam dunia Islam pada
permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap
pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah,
aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi menyanggah beberapa pendapat Barat tentang
kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta peredaran planet-planet lainnya yang beliau
anggap bertentangan dengan pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu.
SANGGAHAN THARIQAT
Sungguhpun Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau sangat terkenal menyanggah thariqat,
namun dalam penelitian saya didapati bahawa yang beliau sanggah ialah beberapa perkara
yang terdapat dalam Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Belum ditemui sanggahannya
terhadap thariqat yang lain seumpama Thariqat Syathariyah, Thariqat Qadiriyah dan lainnya.
Mengenai Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, catatan sejarah yang diperoleh ternyata
Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau yang mendahului pertikaian.
Mengenainya dimulai sepucuk surat yang menanyakan kepadanya, Syeikh Ahmad Khathib
Minangkabau pun menulis:
`Maka adalah pada tahun 1324 daripada hijrah Nabi kita alaihis shalatu was salam datang
kepada yang faqir Ahmad Khathib bin Abdul Lathif, Imam Syafie di Mekah, satu masalah dari
negeri Jawi menyatakan beberapa ehwal yang terpakai pada Thariqat Naqsyabandiyah pada
masa kita ini. Adakah baginya asal pada syariat Nabi kita ? Atau tiada ? Kerana telah bersalahsalahan orang kita Jawi padanya. Maka hamba lihat, menjawab soal ini ialah terlampau
masyaqqah atas hamba, kerana pekerjaan itu telah menjadi pakaian pada negeri hamba hingga
menyangka mereka itu akan bahawasanya segala itu thariqat Nabi kita. Dan orang yang
mungkir akan dia ialah memungkiri akan agama Islam. Padahal sangka itu adalah tersalah,
tiada muthabaqah dengan waqi

Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menuangkan sanggahan terhadap thariqat. Beliau menulis
dalam kitab yang berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai
ditulis pada malam Ahad, 4 Rabiulakhir 1324 H/1906 M.
Kitab tersebut telah mengundang kemarahan seluruh penganut Thariqat Naqsyabandiyah alKhalidiyah dan penganut-penganut tasawuf daripada pelbagai thariqat yang lainnya. Akibatnya,
Syeikh Muhammad Saad Mungka menanggapi karangan tersebut dengan mengarang sebuah

kitab berjudul Irghamu Unufi Mutaannitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang beliau selesaikan
pada akhir bulan Muharam tahun 1325 H/1907 M.
Kemunculan kitab Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin itu
hanya beberapa bulan saja mendahului kitab Mir-atul
a-ajib karya Syeikh Ahmad al-Fathani
menjawab pertanyaan Sultan Kelantan, iaitu sama-sama dikarang dalam tahun 1324 H/1906 M.
Syeikh Muhammad Saad bin Tanta Mungka itu tidak membantah karya gurunya Syeikh Ahmad
al-Fathani, tetapi secara serius karya Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau dipandang sangat
perlu ditanggapi dan beliau membantah dengan hujah-hujah berdasarkan al-Quran, hadis dan
pandangan para ulama shufiyah.
Dengan terbitnya kitab Irghamu Unufi Mutiannitin oleh Syeikh Muhammad Saad Mungka itu,
Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menyerang lagi dengan kitabnya yang berjudul Al-Ayatul
Baiyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Badhil Mutaashshibin.
Kitab ini disanggah pula oleh Syeikh Muhammad Saad Mungka dengan karyanya berjudul
Tanbihul `Awam `ala Taqrirati Badhil Anam. Sesudah karya ini tidak terdapat sanggahan Syeikh
Ahmad Khathib Minangkabau.
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang yang berpendirian keras dan radikal,
sungguhpun beliau menguasai banyak bidang ilmu, namun beliau masih tetap berpegang
(taklid) pada Mazhab Syafie dalam fikih dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah mengikut
Mazhab Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam akidah/itiqad.
Sebagai contoh, dalam pertikaian dua orang muridnya yang berbeda pendapat.
Yang seorang berpihak kepada `Kaum Tua, beliau ialah Syeikh Hasan Masum (1301 H/1884
M-1355 H/1974 M) yang berasal dari Deli, Sumatera Utara.
Dan seorang lagi berpihak kepada `Kaum Muda, beliau ialah Haji Abdul Karim Amrullah (ayah
kepada Prof. Dr. Hamka).
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau berpihak kepada Syeikh Hasan Masum (Kaum Tua).
Bahkan dalam satu kenyataannya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menolak sumber asal
pegangan Haji Abdul Karim Amrullah (Kaum Muda) yang menurut beliau telah terpengaruh
dengan pemikiran Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M 728 H/1328 M), yang ditolak oleh golongan
yang berpegang dengan mazhab.
Syaikh Ahmad Khatib dengan tegas menulis Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Wahhabiyah yang
diikuti oleh anak murid beliau [Syaikh Abdul Karim Amrullah] adalah sesat.
Menurut Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, golongan tersebut sesat kerana keluar daripada
fahaman Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah dan menyalahi pegangan mazhab yang empat. Antara
tulisannya ialah al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bidah at-Talaffuzh
bian-Niyah, Nur al-Syamat fi Ahkam al-Jumah dan lain-lain.

Di antara nasihatnya: Maka betapakah akan batal dengan fikiran orang muqallid yang sematamata dengan faham yang salah dengan taqlid kepada Ibnu al-Qaiyim yang tiada terpakai
qaulnya pada Mazhab Syafie. Maka wajiblah atas orang yang hendak selamat pada
agamanya bahawa dia berpegang dengan segala hukum yang telah tetap pada mazhab kita.
Dan janganlah ia membenarkan akan yang menyalahi demikian itu daripada fatwa yang palsu.
Memang tidak seluruh pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah keliru. Sebagian dari
pemahaman beliau turut mempengaruhi dalam pendirian kalangan Muhammadiyah.
Salah satu yang mengolah dan menfilter pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah ulama dari
kaum muda yakni Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau yang kita kenal dengan
Buya Hamka.
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat,
sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa
Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah
seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal.
Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti
Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx
dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh
terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR
Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi
seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti
pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan
kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang
Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan
pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di
Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera
Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946.
Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada
tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26
Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum
Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena
nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Menulis buku mengenai tasawuf bagi Buya Hamka (1908-1981), semata-mata dilakukan untuk
mengobati jiwa masyarakat modern yang semakin jauh dari nilai dan ajaran agama.
Buya Hamka menulis buku yang bertajuk `Tasawuf Modern` untuk mengobati jiwa masyarakat
modern yang mengalami goncangan jiwa dan gangguan ruhani, kata Kepala Kantor Masjid
Agung Al Azhar, Amliwazir Saidi

Amliwazir menjelaskan, tasawuf yang dimaksud oleh Hamka adalah membicarakan hakekat
kebenaran Tuhan dengan cara bahwa manusia harus mengenal hakekat dirinya sendiri.
Amliwazir menuturkan, Hamka mendefinisikan sufi sebagai meninggalkan budi pekerti yang
tercela dan memasuki budi pekerti yang terpuji, berakhlak tinggi.
Maka, lanjut Amliwazir, yang dimaksud dengan Tasawuf Modern oleh Hamka adalah
mengembalikan akar tasawuf ke asalnya yang semula yaitu ajaran Al Qur`an dan As Sunnah.
Ketua PBNU Dr Said Agil Shiroj dalam kesempatan terpisah, Kamis mengatakan, Hamka
merupakan sosok yang menjadi pionir dalam penyebaran ilmu tasawuf secara nasional di
Tanah Air.
Melalui buku `Tasawuf Modern`, Buya Hamka adalah yang pertama mengangkat tema tasawuf
di tingkat nasional, kata Said.
Menurut Said, melalui karya tersebut tasawuf tidak lagi dikenal sebagai sekumpulan orang yang
kumuh tetapi merupakan suatu pola pikir yang bisa diaplikasikan dalam zaman modern.
Selain itu, ujar dia, banyaknya kutipan dari pemikiran Imam Al Ghazali dalam Tasawuf Modern
juga mengindikasikan bahwa tasawuf Buya Hamka mengacu kepada Tasawuf Sunni.
Tasawufnya Buya Hamka adalah Tasawuf Sunni, bukan Tasawuf Falsafi apalagi Tasawuf
Kejawen, kata Said.( http://salikiin.blogspot.com/2012/03/syaikh-ahmad-khatib-alminangkabawi.html)

Anda mungkin juga menyukai