Anda di halaman 1dari 2

Perubahan orientasi pendidikan pesantren menghadapi kemodernan

Mau kemana pesantren ?


Pesantren memang perlu mengakomodir modernisasi, namun ketika
modernisasi tersebut malah memposisikan pesantren makin tercerabut dari
tradisi mulia (great tradition)-nya. Inilah yang kemudian melahirkan
beberapa tipologi pesantren salafiyah, khalafiyah (modern) dan salafiyahkhalafiyah (kombinasi)
Keberadaan sebuah pesantren setidaknya mengemban tiga misi, misi social,
misi dakwah dan misi pendidikan. Namun dalam perkembangannya, peran
pesantren tergerus secara terus menerus hingga (tidak jarang kemudian)
terkonsentrasi ke dalam salah satu aspek saja. Mayoritas pesantren
memerankan dirinya sebagai lembaga pendidikan an sich. Nyaris misi
sosialnya kurang tersentuh, apalagi yang berkaitan dengan kehidupan
perekonomian maupun politik. Banyak pesantren yang mengalami
pergeseran orientasi, termasuk perannya yang hanya sebagai lembaga
dakwah.
Kecenderungan pesantren mengikuti trend-yang katanya-modern adalah
sebuah ironi. Sebab label pesantren dengan ketradisionalannya ternyata
menyimpan potensi kemodernan yang telah melampaui zamannya. Namun
disayangkan bahwa hal itu tidak disadari oleh pengelolanya. Mungkin karena
mereka tidak begitu menganggap penting tipologi modern atau tidak
modern. Namun ketika pesantren larut dalam mainstream untuk
memodernkan diri, berarti dia akan terjebak pada ranah simbolik, yang
justru membahayakan bagi diri eksistensi pesantren. Karena konsentrasinya
menjadi terpecah, dari yang mengurusi sisi substansi menjadi mengurusi
symbol saja.
Pesantren dan regulasi pemerintah
Ketika sains dan teknologi menjadi tuhan baru, maka seluruh energy
masyarakat tersedot untuk menggapai tujuan tersebut, termasuk dibidang
pendidikan. Kebijakan pendidikan telah digirng ke arah itu. Kemunculan
berbagai nomenklatur institusi pendidikan seperti madrasah model,
madrasah unggulan, madrasah terpadu dan lain sebagainya adalah bagian
dari responsibilitas lembaga pendidikan agama atas tuhan sains dan
teknologi. Semangat mengejar ketertinggalan saintek ini juga mewarnai UU
No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional nomenklatur baru
lembaga pendidikan seperti sekolah berstandar nasional (SSN) dan
berstandar internasional (SBI) adalah salah satu konsekuensi undang-undang
tersebut. Sementara yang tidak bernuansa sains dan teknologi diabaikan.
Tentu kondisi demikian sangat menyakitkan seperti penurunan jumlah jam

pelajarana (JL) muatan agama islam yang hanya dialokasikan sebanyak dua
jam, meski disebut minimal. Madrasah mau tidak mau harus ikuti
mainstream tersebut jika ingin menjadi lembaga pendidikan favorit.
Sebagai kelanjutan regulasi dari sebuah peraturan perundang-undangan
adalah adanya peraturan pemerintah (PP) dan Peraturan Menterei (permen).
Kemunculan pp No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan
makin menuntut lembaga pendidikan di Indonesia untuk lebih modern,
dengan standar yang sangat bersifat materialism. Dengan kata lain
lembaga-lembaga pendidikan yang tidak memenuhi standar yang
ditentukan-seperti kelengkapan infrastruktur-akan terancam gulung tikar.
Secara perlahan lembaga pendidikan islam yang sebagian besar adalah hasil
kreasi yang kental nilai lokalitasnya akan tergusur oleh konse dari luar.
Pemerintah telah menjadi agen penerjemahan modernism, yang merupakan
salah satu produk kapitalisme. Padahal untuk belajar, infrastruktur tidak
bernilai mutlak.
Pemerintah yang mempunyai kebijakan untuk meregulasi pendidikan
mengalami disorientasi, yang justru menggiring pesantren ke arah
formalism. Sementara formalisme selama ini dijauhi pesantren karena
formalism tersebut akan mengantarkan pada arah mengunggulkan
simbolisme.

Anda mungkin juga menyukai