Anda di halaman 1dari 3

HIMMAH BERBICARA : PENDIDIKAN KAPITALIS

Himmah Berbicara merupakan diskusi rutin yang diadakan oleh LPM Himmah setiap
minggunya. Pada diskusi kali ini (29/11) Himmah Berbicara membahas tentang Pendidikan
Kapitalis dengan rujukan buku Sekolah Kapitalis Yang Licik karya Paulu Freire.
Nurcholis Ainul Tri selaku staf Jaringan Kerja Himmah dan pemantik diskusi malam ini
mengawali diskusi dengan menjelaskan bahwa Paulo Freire memiliki gagasan-gagasan tentang
pendidikan yang ia dapatkan semenjak ia duduk di bangku universitas. Menurutnya, pendidikan
memiliki tujuan untuk merangsang fikiran kritis siswa, merangsang rasa ingin tahu siswa dan
merangsang partisipasi demokrasi siswa. Ada 2 kategori kaum dalam pendidikan yaitu kaum
tertindas dan kaum penindas. Menurut Paulo Freire juga ada 2 jenis pendidikan; pertama,
pendidikan gaya bank dimana tugas guru hanya mengajar sekaligus sebagai objek dan murid
hanya diajar dan tidak tahu apa-apa yang diajarkan oleh gurunya karena murid disini hanya
sebagai objek. Kedua, pendidikan terhadap masalah yang menekankan guru dan murid berdialog
dalam proses belajar mengajar. Inti dari pendidikan yaitu Humanisasi atau memanusiakan
manusia. Freire juga mengkategorikan kesadaran manusia menjadi tiga, yaitu kesadaran magis,
kesadaran naf dan kesadaran kritis.
Terkait penjelasan yang diberikan oleh pemantik, Irwan A. Syambudi, Pemimpin Redaksi
Himmah menanggapi bahwa pemikiran Paulo Freire sangat menarik karena kondisi Amerika
Latin saat itu sama dengan kondisi Indonesia sekarang. Irwan menambahkan tiga poin penting
terkait pendidikan yaitu; pertama, bagaimana memahami pendidikan yang melegitimasi
kekuasaan, ketika pendidikan melegitimasi kekuasaan maka pendidikan itu bersifat menindas.
Kedua, bagaimana murid atau mahasiswa dapat menggambarkan pendidikan terhadap
masyarakat adalah ketika realita dipelintir oleh pemerintah dan pemerintah terlihat kalang kabut
ketika pelajar dapat menggambarkan hal yang terjadi. Ketiga,bagaimana slogan yang sudah tidak
ful meaning lagi seperti slogan Ilmu ya sama dengan ilmu dan Seni ya sama dengan se ni, ini
terlihat ketika awal Orde Baru pemerintah kesulitan mencari mahasiswa yang tertarik dengan
pelajaran eksakta, yang akhirnya pemerintah Orde Baru menggelontorkan beasiswa-beasiswa
dijurusan sains. Pemberian beasiswa ini merupakan support dari pemerintah sehingga banyak
terjadi penyetiran-penyetiran mahasiswa yang mendapat beasiswa.
Moch. Ari Nasichuddin, Pemimpin Umum Himmah menambahkan bahwa realita itu berawal
dari regulasi. Seharusnya negaara bisa mengatur dari regulasi yang ada. Adanya UU terkait
pendidikan tinggi ada hubungannya dengan Bank Dunia. Dana-dana asing masuk dalam bidang
pendidikan Indonesia.
Menanggapi pernyataan-pernyataan tersebut Muhammad Hanid Alwasi, Redaktur artistic
Himmah mengatakan bahwa Gramsi membagi intelektual menjadi dua yaitu intelektual
tradisional dan intelektual organic. Hanif juga menyatakan kapitalisme pendidikan yang tidak
bisa dibunuh, hanya bisa dikendalikan oleh wacana bahkan Rawamangun meningatkan
kapitalisme tidak bisa dibunuh hanya bisa dilawan. Melihat Indonesia sebagai Negara
berkembang membutuhkan tenaga terampil dari pendirian Universitas. Masalah Negara
berkembang tidak hanya dari sector ekonomi melainkan juga dari sector pendidikan dan jangan
dianggap masalah pendidikan sama dengan masalah ekonomi. Menurut Hanif pendidikan berarti

merdeka secara ekonomi, social, budaya dan lain-lain. Hanif menambahkan bahwa pembagian
kementerian pendidikan oleh kabinet kerja sekarang dikritik oleh kementrian pendidikan
sebelumnya yang menyatakan bahwa pembagian itu didasari oleh politik kepentingan.
Kurikulum Indonesia hanya berkacamata dari lingkungan Jakarta, seharusnya kurikulum
dikembangkan dan ditelisik lebih dalam disetiap daerah di Indonesia. Nurcholis Ainul R. T.
menanggapi pernyataan Hanif yaitu pendidikan hanya melegitimasi kekuasaan diantaranya
globalisasi pendidikan, pendidikan dan kekuasaan serta pendidikan dan realitas social.
Pendidikan harus menciptakan ideology tandingan.
Hanif langsung menanggapi, pendidikan bias melawan kehidupan social dan tonggak kekuasaan.
Bagaimana sultan Yogyakarta megizinkan penjualan tanah di beberapa daerah di Yogyakarta
ketika penduduk sekitar kesulitan mencari sandang, pangan dan papan. Ini akan membunuh
masyarakat golongan akar rumput pelan-pelan.
Ari menambahkan bagaimana pendidikan yang terjadi di UII yang hanya berkorelasi dengan
ekonomi. Untuk menelaah itu semua harus ditelaah secara ideologis. Otonomi daerah masalah
pendidikan perlu disorot pemerintah serta tumpulnya gerakan mahasiswa terhadap instrument
kapitalis.
Terkait pernyataan Hanif tentang pembagian kementrian pendidikan, Desi Rachmawati, staf
penelitian dan pustaka Himmah menanggapi kesetujuaannya terkait pembagian kementrian
pendidikan yang dibagi menjadi dua yaitu Kementerian Negara Riset dan Teknologi
( Menristek ) untuk pendidikan tinggi dan Kementerian Budaya Pendidkan Dasar dan Menengah
( Dikdasmen ) untuk pendidikan SD sampai SMA. Urgensi pendidikan harus dipisah dengan
alasan pendidikan perguruan tinggi agar lebih aplikatif dan akan mengeluarkan banyak dana
apabila masih digabung menjadi satu. Desi melihat pendidikan sekarang semakin menindas,
contohnya Paud dan TK diwajibkan harus sudah bisa membaca. Sistem pendidikan terhadap
masalah sudah pernah diterapkan namun siswa cenderung merasa bersalah. Pendidikan karakter
merupakan bagian dari itikad baik pemerintah untuk menerapkannya.
Irwan menanggapi pernyataan Desi, semua formulasi pemerintah meskipun itu itikad yang baik
tidak berjalan dan ini menjadi masalah. Irwan juga menanggapi pernyataan Ari terkait otonomi
daerah, otonomi daerah yang diimplementasikan pada pendidikan menjadi sebuah anomaly,
implementasi itu lebih keperhiasan dibidang ekonomi dan yang lain menjadi nomor dua. Saat
otonomi daerah masuk pendidikan, kurikulum lokal menjadi komoditas. Irwan juga mengatakan
pendidik sama dengan kontruksi dari perguruan tinggi seorang pendidik.
Ari menjawab pernyataan masalah otonomi daerah, apakah Indonesia sudahsiap ?seperti di
majalah Himmah yang membahas tentang otonomi daerah. Dalam pemerintah sendiri masih ada
mafia-mafia, yang ini hanya akan menyebabkan pembentukan lingkaran setan dalam tubuh
pemerintah meskipun ada pendidikan anti korupsi. Ari menambahkan sebuah pertanyaan terkait
gerakan mahasiswa, siapa yang akan menggerakkan mahasiswa ?
Irwan menjawab pertanyaan ini bahwa keoptimisan dari forum-forum seperti inilah jawabannya.
Otonomi daerah yang didadsarkan pancasila tetapi tidak berjalan sesuai dengan asas pancasila.

Kholid Anwar, Staf Jaringan Kerja Himmah mengajukan pertanyaan tentang pendidikan yang
ideal menurut Paulo Freire.
Nurcholis Ainul R. T. mengatakan pendidikan yang ideal menurut Paulo Freire yaitu harus bisa
menciptakan humanis, merangsang siswa untuk kritis dan berpartisipasi dalam demokrasi.
Fahmi, peserta diskusi berpendapat jika pendidikan dari sudut pandang ekonomi bertolak
belakang dengan perubahan sosial yang ada. Ketika kebijakan-kebijakannya tidak sejalan dengan
kualitas pendidikan dan pendidikan hanya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.
Hanif menanggapi dan berpendapat bahwa pendidikan didominasi oleh barat. Pendidikan
sekarang adalah paksaan dengan alasan tuntutan ekonomi. Masyarakat seharusnya tidak
melupakan pendidikan dari segi historisnya, saat pendidikan bersifat tuntutan dan menjajah.
Pendidikan tinggi menyesuaikan dengan moral bukan dengan keadaan pasar. Pendidikan juga
punya batasan otomatis, tidak selamanya disekolah karena semua masyarakat bisa terlibat dalam
semua pendidikan.
Al-aina Nur Rodiyah, staf pelita dan moderator diskusi menyimpulkan bahwa pendidikan yang
bersifat menindas yang seharusnya mencerdaskan masyarakat. Paulo freire dalam bukunya
berharap negara mengganti total sistem pendidikan yang sudah melenceng jauh dari tujuan
utamanya yaitu humanisasi. Solusinya yaitu menerapkan sistem pendidikan dari pemikiranpemikiran Plato, Aristoteles, Marxis dan ditambah dengan kesadaran spiritual.

Anda mungkin juga menyukai