Anda di halaman 1dari 11

Buletin

No : 02-2013
Juni 2013

Kapasitas Waduk Pluit Menurun


Drastis dalam 30 Tahun
- Master Plan Tanggul
Laut Jakarta Mulai
Dikerjakan
- Maju Mundur
Program JEDI

Waduk Pluit 1981


ILWI
(Indonesian Land
reclamation & Water management
Institute), adalah sebuah lembaga kajian
dibidang reklamasi dan pengelolaan air.
Lembaga
ini
berupaya
untuk
menyebarkan informasi dan pengetahuan
di bidang reklamasi & pengelolaan air
kepada masyarakat. Salah satunya
dengan penerbitan buletin.
Buletin ini kami kirimkan
secara gratis. Tulisan, saran dan
pemberitaan media menjadi bagian dari
isi buletin ini.
Alamat :
Jalan Palapa II No 19,
Pasar Minggu,
Jakarta Selatan, 12520
Website : www.pengendalianbanjir.com
Email : landwaterindonesia@gmail.com

ILWI Buletin No 02-2013

PENGANTAR REDAKSI
Pembaca yang budiman, tidak main-main dengan rencanananya membebaskan Jakarta dari banjir, Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta, langsung tancap gas. Meski duet pemimpin Jakarta kompak dalam bertindak, akan tetapi pada
kenyataannya di lapangan mereka tidak gampang melewati tantangan yang ada. Masalah penggusuran warga lagi-lagi menjadi
masalah pelik yang tidak hanya menghabiskan biaya akan tetapi juga membuang banyak waktu. Kasus yang terjadi di waduk
pluit contohnya hingga Mei 2013 masih saja negosiasi berjalan alot. Sekitar 7000 kepala keluarga masih belum mau beranjak dari
tempat itu.
Kasus Waduk Pluit adalah juga potret masalah dibeberapa waduk dan sungai di Jakarta. Dimana karena terjadi
pembiaran secara bertahun-tahun warga berangsur-angsur menempati lahan yang seharusnya bagian dari badan air. Ini
berdampak besar, waduk dan sungai yang seharusnya kapasitasnya semakin diperbesar, baik luas mamupun jumlahnya, justru
berkurang jumlahnya dan ironis luasnya juga semakin menyempit .
Pembaca, berita lain adalah mengenai maju mundurnya program pengerukan sungai-sungai di Jakarta atau dikenal
dengan nama Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI). Bank Dunia sebagai pemberi dana mensyaratkan program
dilaksanakan dalam waktu lima tahun dan pemerintah provinsi Jakarta harus membebaskan permukiman liar di tepi sungai
dengan memberi kompensasi pada warga . Syarat yang dianggap pemerintah provinsi cukup berat. Akan tetapi belakangan
Kementerian Pekerjaan Umum menegaskan bahwa program ini tetap jalan dengan bantuan Bank Dunia.
Pembaca, Buletin ILWI nomor 2 tahun 2013, ini akan membahas tentang waduk pluit yang dari tahun ke tahun
kapasitasnya terus berkurang, disamping itu tentu saja kami menggambarkan pula upaya-upaya yang dilakukan pemerintah
provinsi dalam mengembalikan fungsi waduk tersebut. Di bagian lain kami juga membahas tentang permasalahan pengerukan
sungai dan dimulainya pembuatan master plan pembangunan Tanggul Laut. Akhir kata Selamat membaca buletin kali ini.
.
Redaksi

ILWI Buletin No 02-2013

DE FLUIT KEWALAHAN MENAHAN SERANGAN AIR


Kawasan Pluit sudah akrab dengan air sejak jaman Belanda. Sistem polder yang dibangun lebih tiga
puluh tahun lalu tak berjalan dengan baik. Kini daerah ini dijejali oleh penduduk dan air sulit sekali
bergerak meninggalkan kawasan ini.

Sebagian kawasan waduk pluit yang masih bersih 1980

Jika kita berjalan-jalan di kawasan Pluit


sekarang ini kita tidak pernah menyangka bahwa daerah
ini dulunya adalah rawa-rawa yang selalu basah.
Jangankan dibangun rumah atau jalan di atasnya,
berjalan kaki melewati daerah ini pun orang enggan.
Tahun 1960an hingga tahun tujuh puluh awal hanya
beberapa gelintir saja orang yang mau tinggal di daerah
ini. Bayang-bayang rumah yang selalu berlumpur dan
digenangi air menyebabkan orang ogah bertempat
tinggal diwilayah ini.
Akan tetapi diakhir era tahun 70an akselerasi
pertambahan penduduk di wilayah ini benar-benar
meningkat tajam. Perkembangan industri dan
perdagangan di kawasan ini mendorong orang untuk
berbondong-bondong ke wilayah yang jaraknya dengan
laut ini hanya sepelemparan batu. Kini Kawasan Pluit
nyaris tidak menyisakan lahan kosong lagi, tidak hanya
daratan yang dirambah,
lahan yang seharusnya
merupakan bantaran sungai dan waduk pun didirikan
lapak-lapak hunian.
Konon nama Pluit sendiri berasal berasal dari
kata fluitschip dimana berarti kapal layar. Karena
ILWI Buletin No 02-2013

sangat dekat dengan laut, Belanda sempat meletakan


kapal yang tidak terpakai di daerah ini.
Dalam
menghadapi serangan pasukan kerajaan Banten,
wilayah ini dijadikan daerah pertahanan, yang oleh
VOC dikenal dengan sebutan pasukan De Fluit.
Mengambil nama dari fluitschip tadi.
Karena
penyebutan ini janggal menurut lidah orang melayu,
maka orang-orang menyebutnya dengan sebutan Pluit
saja. Kata itulah yang dipergunakan hingga sekarang.
Sejak jaman Belanda kawasan Utara Jakarta
sudah kerap dilanda banjir. Karena itu diawal abad 20
Herman van Breen seorang profesor Belanda, jauhjauh hari telah merencanakan membangun satu waduk
di kawasan ini sekaligus membuatnya dalam satu sistem
polder. Akan tetapi pelaksanaanya tidak langsung bisa
direalisasikan saat itu, bahkan hingga Belanda angkat
kaki dari Indonesia pembangunan sistem polder di pluit
belum menjadi kenyataan.
Setelah banjir besar di Jakarta tahun 1960,
pemerintah lebih serius lagi menangani banjir di
ibukota. Pada tahun itu kawasan Pluit dinyatakan
sebagai kawasan tertutup dan direncanakan sebagai
3

sebuah sistem Polder Pluit. Bersamaan dengan proyek


sistem polder ini dibuat juga program pengembangan
kawasan ini. Di bawah Otorita Pluit direncanakan
pengembangan Pluit Baru dimana ada beberapa rencana
sekaligus disamping pembangunan waduk, juga ada
perumahan dan industri.

Sedangkan pembangunan waduk pluit sendiri


baru rampung tahun 1981. Saat selesai dibangun itu
luasnya mencapai 80 hektar dengan kapasitas awal
2.5 juta meter kubik. Karena merupakan satu sistem
polder maka waduk itu dilengkapi pompa untuk
mengatur muka air yang ada di waduk. Disaat awal
tersedia 4 stasiun pompa. Sistem polder ini sendiri
dimaksudkan untuk mengendalikan banjir di wilayah
sekitarnya seperti Cideng, Jatibaru, Taman Sari,
Mangga Besar dan lain-lain.
Jika dilihat pemandangan Waduk Pluit saat itu,
masih baik dengan bangunan-bangunan pendukung
tertata apik. Apalagi bangunan-bangunan tidak berijin
juga belum ada, bantaran waduk masih bersih dari
lapak-lapak penghuni liar.
Akan tetapi meski ada waduk, banjir sesekali
masih juga menyambangi wilayah ini. Bahkan ditahun
1981 itu juga terjadi banjir besar di Pluit, ironisnya pada
saat itu pompa yang ada di waduk tersebut tidak bisa
digunakan karena terjadi pemadaman listrik akibat
banjir. Tak ayal daerah tersebut harus kelelep air dalam
beberapa hari. Bisa dibayangkan dengan kapasitas
waduk yang sesuai rencana saja banjir masih menjadi
momok di wilayah ini apalagi dalam keadaan seperti
sekarang ini dimana kapasitas waduk sudah jauh
tergerus.

Perencanaan sistem polder pluit 1976

Secara perlahan namun pasti Pluit terus


berkembang, tahun 1971 Proyek Pluit dilanjutkan dan
dikembangkan wilayahnya hingga ke Jelambar dan
Pejagalan. Dipertengahan
tahun tujuh puluhan
kawasan Pluit sudah mulai disulap menjadi tempat
permukiman orang-orang kaya yang dilengkapi dengan
tempat rekreasi. Disamping itu tentu saja daerah ini
juga menjelma menjadi kawasan industri.

Pembangunan sipon di area waduk pluit 1979

Kini daerah Pluit selalu menjadi bulan-bulanan


banjir. Penduduk yang padat, kiriman air dari daerah
hulu, serta penurunan muka tanah yang semakin dalam,
membuat wilayah ini menjadi tempat air, yang tak bisa
mengalir hingga ke laut. Sialnya jenis tanah di wilayah
ini juga tidak terlalu baik untuk menyerap air. Jenis
tanah lempung atau aluvial, dimana tanah seperti ini
sulit meresapkan air karena terdiri dari pasir halus.
Tanggul yang kokoh dan pompa yang memadai menjadi
andalan Pluit untuk mengenyahkan banjir dari wilayah
itu.
Pembangunan saluran menuju waduk pluit 1976

ILWI Buletin No 02-2013

IKHTIAR MENGEMBALIKAN FUNGSI WADUK PLUIT


Selama 30 tahun Waduk Pluit mengalami penurunan kapasitas secara drastis. Banjir Januari 2013
memaksa pemerintah provinsi untuk mengembalikan fungsi waduk. Meski kompensasinya sudah
dianggap memadai masih saja ada warga yang keberatan.

Penataan lahan sekitar Waduk Pluit

Sejak Januari 2013 entah sudah berapa kali


Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, duet
Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta, mengunjungi kawasan Pluit. Banjir
yang terjadi pertengahan Januari 2013, membuat
mereka sadar bahwa salah satu persoalan banjir di
kawasan itu adalah akibat Waduk Pluit yang tidak lagi
mampu menampung air dalam jumlah besar.
Penyebabnya, apalagi kalau bukan masalah
banyaknya lahan yang sudah ditumbuhi rumah-rumah
penduduk. Bayangkan saja lahan waduk yang dulu
luasnya mencapai 80 hektar menyusut hingga 60 hektar
saja. Belum lagi kedalaman dari waduk tersebut yang
semakin lama semakin dangkal. Tak tanggungtanggung dari kedalaman semula yang mencapai 10
meter kini hanya tinggal 2 sampai 3 meter.
Akibatnya ratusan ribu meter kubik air tidak
lagi bisa masuk ke kolam raksasa itu. Dampaknya
dimusim hujan
pastilah air tersebut
justru
menggenangi daratan yang berada di sekitar kawasan
tersebut. Padahal seandainya waduk tersebut bisa
ILWI Buletin No 02-2013

menampung air dengan kapasitas


seperti saat
pembangunannya,
belum tentu banjir tidak
menggenangi kawasan itu. Terutama jika curah hujan di
hulu dan hilir cukup tinggi. Apalagi jika kapasitas
waduk tergurus hanya tinggal tak lebih dari seperempat
kemampuannya. Tentu kemungkinan banjir menjadi
sangat besar.
Pada Januari 2013 lalu, Waduk Pluit tidak
hanya tak mampu menampung air dari Kali Opak dan
Kali Pakin , luberan air bahkan tertahan beberapa hari
karena pompa air tidak cukup memadai untuk
mengenyahkan air. Gelontoran air yang cukup besar
bahkan merendam beberapa pompa yang ada di waduk
itu, akibatnya dari 7 pompa yang ada, hanya tiga yang
berfungsi.
Tentu saja ini semakin memperparah
genangan di kawasan tersebut, karena kapasitas pompa
yang 6.000 liter per detik dengan jumlah yang terbatas
tidak cukup handal untuk segera memompakan air ke
laut.
Masalah keterbatasan jumlah dan kemampuan
pompa
tentu merupakan masalah teknis yang
5

kedepannya bisa segara di antisipasi. Akan tetapi


masalah banyaknya warga yang bertempat tinggal di
seputar waduk lebih memerlukan waktu yang cukup
lama untuk memindahkannya.
Membebaskan lahan
waduk dari rumah-rumah penduduk kelihatannya
merupakan ujian berat bagi Pemerintah Provinsi
Jakarta.
Meski memberikan tawaran tempat yang lebih
layak, kebaikan pemerintah ini tidak lantas disyukuri
oleh warga di kawasan waduk. Ada saja warga yang
menampik uluran tangan pemerintah. Mereka meminta
diganti lahan juga,
di wilayah bantaran yang
peruntukannya untuk jalur hijau. Warga beralasan
mereka telah bertahun-tahun tinggal di tempat, yang
sebenarnya tanahnya milik negara, itu.
Tentu saja tuntutan warga ini membuat sewot
Ahok, demikian wakil gubernur
biasa disapa,
menurutnya menempatkan warga di rumah susun
(rusun) merupakan pilihan terbaik. Seandainya warga
mendapatkan lahan sekalipun, dikhawatirkan di
kemudian hari warga tidak akan sanggup membayar
pajak bumi dan bangunan (PBB).
Jika mereka
menempati rusun maka mereka tidak harus membayar
PBB. Orang kaya saja, lama-lama tinggal di kota
besar tidak akan tahan karena pajaknya akan terus
naik, jelas Ahok.
Jokowi, sapaan akrab gubernur, mengatakan
akan bertindak tegas karena waktu yang ada sudah
sangat terbatas. Kita kejar-kejaran dengan banjir.
Waduk Pluit itu adalah cara utama mengatasi banjir
Jakarta, ujarnya. Karena itu gubernur rela untuk
beberapa kali melakukan komunikasi dengan warga
untuk mencari titik temu.
Dia juga meminta agar semua warga Pluit
memahami tujuan normalisasi Waduk Pluit, yakni
mencegah banjir. Karena itu relokasi warga di bantaran
Waduk Pluit mutlak harus dilakukan. Karena waduk ini
merupakan waduk terbesar yang digunakan untuk
mengontrol banjir sekaligus menjadi sumber air
cadangan. "Relokasi tidak bisa ditawar lagi," tambah
Jokowi.
Untuk itu pemerintah provinsi menyediakan
bangunan rumah susun di Marunda dan Muara Baru,
Jakarta Utara, bagi warga Waduk Pluit yang ingin
direlokasi. Meski demikian negosiasi masih saja
berjalan alot. Jokowi sendiri dipusingkan dengan
adanya satu orang pemilik yang memiliki beberapa
bangunan untuk disewakan. Menurutnya ada satu orang
yang memiliki 10 sampai 15 bangunan. Ini menjadi
sangat tidak masuk akal, karena tanah yang mereka
tempati sebenarnya milik negara.
Walaupun masalah pemindahan warga belum
juga tuntas, tapi wajah baru dari Waduk Pluit sudah
mulai kelihatan. Bentuk waduknya lebih jelas kelihatan
dibandingkan dahulu . Bagi masyarakat
yang
melewati kawasan Pluit - Muara Baru, sekarang sudah
bisa melihat waduk yang semakin bersih. Dulu rumah-

ILWI Buletin No 02-2013

rumah penduduk, sampah dan enceng gondok menjadi


pemandangan yang tidak mengenakan, tapi meski
masih jauh dari sempurna, perubahan Waduk Pluit,
sudah mulai kelihatan.

Waduk Pluit di kepung bangunan

antara

Dahulu sampah dan banyaknya tumbuhan


ganggang di waduk, memenyebabkan
terjadinya
sedimentasi di kolam raksasa ini.
Karena tidak
langsung dikeruk dan dijaga kondisi permukaan airnya,
maka sedimentasi semakin banyak karena masih
ditambah material-material lain yang tertahan.
Tercatat pengerukan terakhir kali dilakukan
tahun 1977, waduk ini sendiri mulai dibangun tahun
1967.
Akibat semakin banyaknya material padat di
sekitar waduk memudahkan warga membangun rumahrumah liar hingga menjorok berbatasan dengan kolam
air raksasa itu. Permasalahan semakin rumit ketika
pemerintah provinsi tidak langsung melarang bangunanbangunan yang mereka dirikan.
Pemerintah pun terpaksa bekerja ekstra keras
untuk melakukan normalisasi terhadap Waduk Pluit.
Sejak Februari 2013 lalu bangunan-bangunan yang
berada di bantaran Kali Pakin dan Kali Opak mulai
ditertibkan.
Belajar dai pengalaman untuk
menghindari munculnya bangunan liar lagi maka
disepanjang lokasi dibangun jalan inspeksi dikedua sisi
kali. Kawasan Taman Burung dan beberapa wilayah
disekitar waduk yang berdekatan dengan Pluit Village
Mall juga telah dibersihkan, beberapa permukiman liar
telah diratakan dengan tanah.
Sedangkan pengerukannya sendiri memakai
dua sistem yaitu sistem eskavator di tengah dan sistem
sedot di pinggiran. Menurut gubernur proyek ini natinya
bisa menghabiskan dana hingga 1 triliun rupiah.
Dijelaskan jika dananya tersedia maka cukup satu tahun
untuk menyelesaikan waduk ini.
Jika usaha yang dilakukan pemerintah provinsi
DKI Jakarta ini berhasil tentu kita berharap waduk ini
bisa dikembalikan kepada fungsinya. Bahkan bisa
dikembangkan lagi , setidaknya sebagai tempat rekreasi.
Sehingga waduk ini tidak hanya menjadi kolam
pengaman ketika banjir, akan tetapi juga untuk tempat
rekreasi murah yang sekarang ini sangat minim di
ibukota.

MAJU MUNDUR PROGRAM JEDI


Wakil Gubernur Jakarta sempat menolak bantuan Bank Dunia untuk program JEDI. Syarat yang
dianggap memberatkan pemerintah provinsi menjadi penyebabnya. Kementerian pekerjaan umum
menegaskan bahwa pinjaman untuk program ini sudah mulai berjalan.

Pengerukan sungai tahun 1976

Awal April 2013 lalu, Basuki Tjahaja


Purnama, Wakil Gubernur DKI Jakarta, membawa
berita mengejutkan. Ahok, demikian dia biasa disebut,
menyatakan bahwa DKI Jakarta membatalkan utang
139 juta dollar Amerika Serikat, yang sedianya akan
digunakan untuk proyek penanganan banjir, utamanya
pengerukan sungai.
Program pengerukan saluran,
sungai, dan waduk yang dikenal dengan nama Jakarta
Emergency Dredging Initiative (JEDI) skema
pembiayaannya direncanakan dengan menggunakan
dana bantuan Bank Dunia.
Akan tetapi
oleh pemerintah provinsi
(pemprov) bantuan itu ditolak. Alasannya syarat yang
di minta oleh Bank Dunia cukup memberatkan. Ada
dua klausul yang sulit untuk dilaksanakan Pemprov
DKI Jakarta, pertama menyangkut waktu penyelesaian
pengerukan 13 sungai yang ditetapkan selama lima
tahun. Menurut Ahok, penyelesaian pengerukan selama
lima tahun
terlalu lama, dia menginginkan
pengerukannya cukup dua tahun saja.
Sedangkan
yang kedua mengharuskan Pemprov DKI Jakarta
memberi jaminan ganti rugi uang kepada warga di
bantaran kali yang akan digusur.
Menurut Ahok dia sudah melayangkan surat
kepada Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan
meminta untuk membatalkan pinjaman itu."Dalam surat
itu, kami bilang pinjaman Bank Dunia terlalu susah.
Jadi, kita tidak mau terusin," katanya. Pemprov sendiri

ILWI Buletin No 02-2013

lebih memilih untuk


tetap melaksanakan proyek
tersebut, akan tetapi dananya tidak bergantung dengan
Bank Dunia. Sumber dananya kemungkinan akan
menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) DKI Jakarta.
Seperti sudah diketahui bahwa proyek JEDI
ini merupakan rintisan dari Fauzi Bowo, gubernur
sebelumnya, untuk mengurangi risiko banjir di Jakarta.
Menurut Fauzi, program ini sangat diperlukan sebagai
salah satu solusi dalam penanganan banjir di ibukota.
Direncanakan dana yang dibutuhkan untuk proyek ini
sekitar 190 juta dollar AS, dimana ditanggung melalui
pinjaman Bank Dunia dan dana pemerintah. Baik
melalui APBN maupun dari APBD DKI Jakarta.
Besarnya 139 juta dollar AS dari Bank Dunia dan 51
juta dollar AS dari kocek pemerintah.
Sebenarnya Bank Dunia sudah merencanakan
bantuan itu sejak tahun 2008 lalu akan tetapi realisasi
kerjasamanya hingga saat ini tak kunjung
ditandatangani. Ini juga yang membuat wakil gubernur
geram. "Bayangin ya 2008 mulai, 2013, sudah lima
tahun, belum tandatangan, katanya kesal. Menurutnya
jika keadaan seperti ini terus bisa saja Jakarta jadi
terendam lumpur.
Anehnya menurut Ahok, saat sudah mau tanda
tangan Bank Dunia justru merencanakan butuh lima
tahun untuk menyelesaikan proyek ini. Ini dianggap
Basuki justru merepotkan karena bisa saja uang Rp 1,2
triliun itu habis begitu saja, karena pengerukannya
terlalu lama. Baginya pengerukan ini harus bisa
dilakukan dalam waktu dua tahun.
Dilain pihak, Kementerian Pekerjaan Umum
memastikan bawa proyek JEDI
tetap akan
menggunakan pinjaman Bank Dunia. Ini karena pihak
Bank Dunia mulai melunak dari beberapa persyaratan
yang dinilai memberatkan. Menurut Hermanto Dardak,
Wakil Menteri Pekerjaan Umum, program JEDI
merupakan proyek kesatuan yang terbagi dalam
beberapa program Kementerian PU dan Pemprov DKI
Jakarta.
Seperti
dikutip
dari
Bisnis.Com,
menurut Hermanto, proses pencairan pinjaman sebesar
Rp1,2 triliun sudah berjalan. Ini tentu berita gembira,
karena bagi warga Jakarta yang penting program ini
segera berjalan tidak terkatung-katung, sehingga Jakarta
lebih siap menghadapi musim hujan. Mudah-mudahan
saja harapan wakil gubernur agar pengerukan ini bisa
segera diselesaikan bisa terealisasi.

Masterplan Tanggul Laut

MERANCANG KONDISI IDEAL TELUK JAKARTA


Pemerintah Belanda telah menunjuk konsultan untuk membuat Masterplan dan Programme Management
Unit untuk pembangunan Giant Sea Wall (GSW). Peletakan batu pertama rencananya akan dilakukan
sebelum pertengahan tahun depan. Perlu pengawasan yang ketat agar nantinya proyek berjalan sesuai
rencana.

Jakarta segera mempunyai tanggul laut.

Sudah dua bulan belakangan ini Kantor


Kementerian Pekerjaan Umum (PU), di Jalan Patimura
Jakarta,
kerap
didatangi
beberapa
orang
berkebangsaan Belanda. Sesekali mereka
juga
melakukan koordinasi dengan beberapa orang staf dari
Kantor Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian,
Kementerian
PU,
Badan
Perencanaan
dan
Pembangunan Nasional (Bappenas) maupun dari
Pemerintahan Provinsi (pemprov) DKI Jakarta.
Mereka adalah para konsultan yang ditunjuk
oleh Pemerintah Kerajaan Belanda untuk membantu
membuat Masterplan dan Programme Management
Unit untuk pengembangan kawasan pantai di Teluk
Jakarta. Seperti diketahui bahwa Pemerintah Belanda
mendukung dan membantu pemerintah Indonesia dalam
pengemabnagan kawasan ini. Salah satunya adalah
dengan
memberikan
tenaga
ahlinya
untuk
merencanakan pembangun tanggul di pantai utara
Jakarta tersebut.
Jika awalnya perencanan strategis dinamakan
Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS), kemudian
berganti nama menjadi Jakarta Coastal Development
Strategy (JCDS), maka untuk program berikutnya ini
diberi nama National Capital Integrated Coastal
Development (NCICD). NCICD inilah yang kini
berkantor di kawasan Kebon Sirih.
Rencananya
mereka akan bekerja hingga tahun 2014, untuk

ILWI Buletin No 02-2013

Foto:NCICD

merampungkan master plan dan organisasi dan aturanaturan dalam pelaksanaan pembangunan tanggul laut.
Harapan terhadap hasil NCICD menjadi lebih
inggi lagi setelah pemerintah merencanakan melakukan
peletakan
batu pertama (ground breaking)
pembangunan tanggul laut pada tahun depan. Padahal
sesuai rencana sebelumnya pembangunan tanggul laut
ini baru akan dimulai tahun 2020 yang akan datang. Ini
berarti segala sesuatunya harus dilakukan ekstra cepat.
Tentu saja hal ini bukan perkara mudah karena menurut
konsep yang sudah ada, pembangunan tanggul laut
harus diikuti perbaikan di daerah hilir.
Proyek NCICD sendiri bertugas menyiapkan
master plan untuk jangka pendek, menengah dan jangka
panjang. Master plan ini didasarkan pada hasil
perumusan yang sudah dilakukan oleh JCDS.
Diperkirakan Mega Proyek ini akan memakan
dana hampir Rp. 300
triliun.
Meski demikian
mengingat wilayah Teluk Jakarta ini mempunyai nilai
bisnis yang tinggi. Kemungkinan besar dana yang
dikeluarkan tidak perlu terlalu banyak merogoh kocek
pemerintah. Dipastikan banyak kalangan swasta yang
ingin menanamkan modalnya disini.
Karena itu perlu pengawalan yang cukup ketat
agar proses pembangunannya berlangsung sesuai
dengan rencana. Jangan sampai hasil pembangunan
tanggul laut ini tidak optimal, hanya gara-gara kontrol
yang terlalu lemah.
8

BRIBIN MENGHAPUS DAHAGA PANJANG


Gunung Kidul memiliki bendungan bawah tanah yang pertama di dunia. Pegunungan kapur yang
banyak terdapat di sana ternyata banyak dialiri sungai bawah tanah. Bertahun-tahun kesulitan
mendapatkan air bersih di musim kemarau, kini sebagian masyarakat tak lagi kesusahan mendapatkanya.

Bendungan bawah tanah Bribin

Air yang keluar dari kran berukuran 0,5 inch


mengucur deras ke dalam ember hitam milik
Sumiyanto, 44 tahun, warga Kanigoro, Dadapayu,
Semanu, Gunung Kidul. Rencananya air tersebut akan
digunakan untuk memasak oleh istrinya. Bagi Yanto,
demikian dia biasa dipanggil, sudah dua tahun
belakangan ini dia bisa memanfaatkan air bersih yang
berasal dari aliran sungai bawah tanah Bribin.
Ini sangat memudahkan baginya, karena
beberapa tahun lalu dia selalu kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan air bersih, terutama dikala musim
kemarau. Jika diwilayahnya tidak ada air, Sumiyanto
harus rela membawa jerigen berpuluh-puluh kilometer.
Jika tidak, mereka harus patungan untuk mendatangkan
mobil tangki pembawa air bersih. Sekali diantar mereka
harus menebus air itu sekitar Rp. 100 ribu. Jumlah yang
cukup menguras kocek laki-laki yang sehari-hari
bermata pencaharian sebagai petani ini.
Bagi masyarakat Kabupaten Gunung Kidul,
terutama yang berada di bagian selatan, setiap musim
kemarau
hampir
tidak
pernah
memimpikan
ILWI Buletin No 02-2013

foto-foto :batan

mendapatkan air bersih. Sudah puluhan tahun


kabupaten yang paling luas wilayahnya di Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) ini selalu identik dengan
kekeringan di kala musim kemarau. Wilayah ini nyaris
tak menyediakan setitik air pun dikala musim panas
tiba, air melimpah hanya bisa didapat dimusim hujan
saja. Sekitar sebulan setelah memasuki musim kemarau
biasanya masyarakat masih bisa memanfaatkan sekitar
260 telaga yang ada di wilayah itu, akan tetapi selepas
itu warga harus berjibaku untuk mencari air.
Upaya untuk selalu menyediakan air tidak
hanya dilakukan oleh warga setempat, akan tetapi juga
dilakukan oleh pemerintah. Kondisi wilayah yang
cukup tinggi menyebabkan kesulitan untuk mengalirkan
air dari daerah lain. Sangat tidak mungkin mensuplai air
ledeng dari wilayah sekitar, karena daerah-daerah
tersebut relatif jauh lebih rendah dari Gunung Kidul.
Pemerintah perlu memutar otak untuk menyari
sumber air lain. Diawal tahun 80an mulailah dicari
sumber air bawah tanah.
Saat itu mulai
dipertimbangkan potensi sungai bawah tanah di Bribin,
9

sungai yang bermuara di Pantai Baron ini, sangat


dimungkinkan untuk dimanfaatkan.
Bribin sendiri
merupakan sungai d bawah tanah di kawasan karst
Gunung Sewu yang membujur dari Gunung Kidul,
Wonogiri, hingga Pacitan (Jawa Timur).

Pekerja berada di sungai bawah tanah

Sekitar tahun 2000 Institut fur Waser und


Gewasserentwicklung dari
Universitat Karlsruhe,
Jerman, Kementerian Negara Riset dan Teknologi,
Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) ,dan
Pemerintah Provinsi DIY dengan bantuan pemerintah
Jerman, mulai melakukan riset terhadap sumber air
Bribin. Mulai dipikirkan bagaimana membuat
bendungan dan mengangkat air ke atas. Diharapkan
ada sistem baru yang memungkinkan menaikan air
dengan kapasitas besar tanpa terlalu banyak
mengeluarkan biaya operasional.
Pemanfaatan Bribin secara masal juga
pernah dilakukan dalam kurun waktu 1992 1996
dimana sekitar 75.000 jiwa, pengadaan air bersihnya
disuplai melalui sumber ini. Sistim penyediaan air
baku pedesaan semacam ini tidak efisien karena
menggunakan pompa beberapa kali.
Dengan
menggunakan generator solar, setiap jamnya
menghabiskan
200 liter solar. Sedangkan jika
menggunakan pompa listrik setahunnya menghabiskan
dana hingga Rp 265 juta. Akibatnya tentu saja biaya
produksi menjadi sangat mahal. Program ini masuk
dalam proyek Bribin I yang perencanaannya sudah
dilakukan sejak 1984.
Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana
membawa air dalam jumlah banyak keluar sehingga
bisa dikonsumsi oleh lebih banyak orang. Tercetuslah
ide untuk membendung sungai bawah tanah ini, dimana
air itu akan dipompakan dalam jumlah besar ke atas
permukaan tanah. Ide cemerlang lainnya adalah
memanfaatkan
aliran
sungai
tersebut
untuk
menggerakan turbin, dimana energinya nanti dipakai
untuk mengangkat air ke permukaan tanah. Sumber
energi mikro hidro ini memungkinkan penyediaan air
dilakukan dengan biaya operasional yang minim.
Bendungan sendiri berada tepat dititik dimana
air akan dipompakan ke atas. Bukan masalah mudah
untuk menembus bagian atap sungai hingga seratus
ILWI Buletin No 02-2013

meter ke atasnya di mana permukaan tanah baru bisa


didapatkan.
Pengeboran yang dilakukan dengan
menggunakan peralatan yang dibawa dari Jerman ini,
terkadang mengalami beberapa kendala. Maklum
pengeboran semacam ini baru pertama kali dilakukan di
Indonesia.
Proyek Bribin II ini dimulai tahun 2004 dan
rampung tahun 2010, ditandai dengan peresmian yang
dilakukan oleh Djoko Kirmanto, Menteri Pekerjaan
Umum. Untuk pembiayaan pembangunannya sendiri
sebanyak Rp. 35 miliar berasal dari pemerintah
Indonesia dan 3,2 juta euro
yang berasal dari
pemerintah Jerman.
Secara spesifik prinsip kerja Proyek Bribin II
adalah air dipompa melewati pipa setinggi 104 meter
dengan rata-rata berkapasitas 80 100 liter/detik.
Seperti di terangkan di atas pompanya digerakkan
dengan turbin l mikrohidro, yang mempunyai daya
listrik sebesar 200 kilowatt. Daya listrik sebanyak itu
selain digunakan untuk pompa juga untuk penerangan
bawah tanah dan kantor.

Ilustrasi proyek Bribin II

Sesampainya di permukaan tanah, air dialirkan


melalui pipa berdiameter 20 sentimeter sejauh tiga
kilometer menuju tandon air yang memiliki kapasitas
1.000 meter kubik. Letak tandon air ini sendiri di atas
bukit yang tingginya mencapai 144 meter. Sehingga
memudahkan air untuk didistribusikan ke jaringan
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), tampungan
air dialirkan melalui pipa ke rumah-rumah penduduk
hingga jangkauan 30 kilometer.
Setidaknya lebih dari 70 % penduduk
Kecamatan Semanu memanfaatkan air ini.
Dengan
teknologi semacam ini pemompaan bisa dilakukan
secara terus menerus 24 jam tanpa harus mengeluarkan
biaya energi. Tak hanya Semanu empat kecamatan lain
juga memanfaatkan air ini. Air dari Bribin ini hanya
10 % yang didistribusikan menggunakan pipa, sisanya
dialirkan begitu saja untuk memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat terutama pertanian.

10

Pembangunan
Tanggul Laut Jakarta
Akan Dimulai Tahun 2014
Bagaimana Tanggul Laut Bisa Merubah Ibu Kota ?
Baca analisanya di buku :
Memasuki Era Tanggul Laut Harapan Baru di Teluk Jakarta
Membahas mengenai permasalahan Jakarta, kerawanan daerah delta,
kecenderungan semakin tenggelamnya sebagian wilayah
ibukota, isu-isu
strategis dan potensi Teluk Jakarta, analisis keselamatan tanggul laut hingga
pengembangan Jakarta menuju kota modern untuk bersaing dengan kota-kota
terkemuka di dunia.
Bagaimana potensi Jakarta kedepan setelah adanya pembangunan tanggul laut,
apa-apa saja perubahan yang mungkin terjadi, semuanya akan mengubah wajah
ibukota. Disamping itu juga dipaparkan perubahan-perubahan apa yang harus
dilakukan di daerah hulu Jakarta agar pembangunan tanggul laut ini optimal.

Pemesanan bisa melalui email ke:


landwaterindonesia@gmail.com
atau di toko buku Gramedia
di seluruh Indonesia

ILWI Buletin No 02-2013

11

Anda mungkin juga menyukai